Pendidikan Pesantren dalam Menghadapi Tantangan Radikalisme PENDIDIKAN PESANTREN DALAM MENGHADAPI TANTANGAN RADIKALISME Oleh: Abdul Halim Program Pascasarjana Jurusan Interdisciplinary Islamic Studies, Konsentrasi Bimbingan dan Konseling Islam UIN Sunan Kalijaga [email protected] ABSTRACT Pesantren educational institution is one of the containers, who participate in educating and participating in building the nation. Pondok pesantren who in p apply the principle hablum minallah (relationship with God), hablum minannas and hablum minalnas. The role of pesantren education is very strategic in preventing the existence of religious radicalism. Which is the phenomenon of radicalism that happened to lead to violence. the possibility of such events will continue to be a threat as well as a challenge for the world of boarding schools as well as challenges for the religions in Indonesia in general. Growing anti-violence religion with all the values of the wisdom of pesantren education, perhaps is an attempt to build a normative theological awareness as well as social consciousness, in which we live in a complex society with existing problems and plural society in terms of religion, culture, ethnicity of its various social diversity. Keywords: Pendidikan, Pesantren, Radikalisme PENDAHULUAN Di era keterbukaan seperti sekarang ini, banyak permasalahan yang terjadi, salah satunya seperti isu-isu politis mengenai radikalisme Islam yang merupakan tantangan baru bagi pemeluk agama Islam dalam menyikapi dan menjawabnya. Isu radikalisme Islam ini sebenarnya sudah lama mencuat di permukaan wacana internasional. Radikalisme Islam sebagai fenomena historis-sosiologis merupakan masalah yang banyak dibicarakan dalam wacana politik dan peradaban global akibat kekuatan media yang memiliki potensi besar dalam menciptakan persepsi masyarakat dunia. Banyak lebel-lebel yang diberikan oleh kalangan Eropa Barat dan Amerika untuk menyebut gerakan Islam radikal, dari sebutan kelompok garis keras, Islam kanan ekstrimisme, militan, fundamentalisme, sampai yang sekarang di kenal dengan kelompok terorisme. Ketika pasca hancurnya ideologi komunisme negara-negara barat memandang Islam sebagai sebuah gerakan dari peradaban yang menakutkan. Falasifa, Vol. 8 Nomor 1 Maret 2017 | 165 Abdul Halim Tidak ada gejolak politik yang lebih ditakuti melebihi bangkitnya gerakan Islam yang diberinya lebel radikalisme Islam. Tuduhan-tuduhan dan propaganda Barat atas Islam sebagai sebagai agama yang menopang gerakan radikalisme telah menjadi retorika internasional.1 Apabila dilihat secara komprehensip, agama sebagai sistem yang mencerminkan kekuatan moral baik secara individu maupun sosial. Dalam memberikan dorongan moral kepada individu, agama selalu mengajak pemeluknya untuk berbuat kebaikan, menjauhkan diri dari kemungkaran, dan hawa nafsu serta mengejar keselamatan dan ketentraman di dunia maupun akhirat. Sedangkan secara sosial, agama sebagai cermin bagi terjadinya penafsiran dan pemahaman akhlak dan budi pekerti dalam masyarakat. Maka dengan demikian agama menolak dengan apa yang tidak sesuia dengan tindakan yang bertentangan dengan cita-cita agama tersebut. Demikian halnya dengan kekerasan, penindasan, mustahil agama mendorong para pemeluknya untuk bertindak dengan cara-cara kekerasan dan represif yang secara sosial dapat mengancam atau bahkan menyengsarakan orang lain. Karena tidak sesuai dengan karakter dan fitrah agama. Fitrah agama berkaitan dengan usaha manusia untuk membangun hubungan yang baik dengan Tuhan, manusia bahkan alam yang ada di sekitarnya, sehingga tidak terjadi yang namanya radikalisme. Beberapa ragam jenis kekerasan yang telah terjadi di Indonesia, yang mengatasnamakan agama Islam, seperti halnya kasus perusakan gedung yang diduga tempat pertemuan waria di Purwokerto, Jawa Tengah, pada tanggal 26 Juli. pengrusakan terhadap warung-warung di Puncak, Bogor, pada tanggal 20 Agustus; dan perusakan mobil milik penjual miras di Senayan, Jakarta 27 Agustus dan juga aksi demo yang berakhir ricuh dan anarkis di dpn Istana Negara menyebabkan sejumlah orang yg terluka yang terjadi pada tanggal 4/11/2016 serta penangkapan beberapa orang yang diduga prahara terjadinya kericuhan dan kekerasan.Berangkat dari beragam konflik tersebut, maka perlu adanya sebuah langkah dalam menghadapi konflik yang terjadi, agar tidak terus-menerus terjadi di negara ini. Penerapan penafsiran tentang ajaran agama dan pemahaman Islam secara utuh merupakan tanggungjawab bersama. Salahsatu lembaga yang ada di Indonesia adalah Pesantren, yang secara umum telah ikut berpartisipasi dalam perdamaian, menjaga stabilitas, dan mengakomodasi hubungan yang harmonis antara tradisi lokal dan nilai-nilai dari luar. Serta perlu adanya program-program 1 Bahri Ghazali, Pesantren Berwawasan Lingkungan, (Jakarta: Prasasti, 2002). Hal, 4 166 | Falasifa, Vol. 8 Nomor 1 Maret 2017 Pendidikan Pesantren dalam Menghadapi Tantangan Radikalisme seperti upaya menurunkan paham radikal dari kecenderungan memaksakan kehendak, keinginan menghakimi orang yang berbeda dengan mereka dan hal-hal radikal lainnya, untuk memberikan pandangan serta menekan perkembangan ideologi yang tidak benar dalam sebuah komunitas pesantren. Dengan maraknya gerakan-gerakan radikal yang berbasis agama, sebenarnya pesantren sebagai komunitas yang lebih fokus dalam pengajaran pemahaman keagamaan, memiliki peran yang besar dalam mengantisipasi adanya arus gerakangerakan radikal tersebut di masyarakat. Pada tataran normatif dan empiris pesantren memiliki kontribusi besar untuk memberikan pandangan, sikap serta alternatif untuk meminimalisir berkembangnya gerakan radikal yang berbasis agama, seperti terorisme diantaranya dengan menerapkan pemahaman tentang hablum minallah, hablum minannas dan hablum minal ‘alam sebagai upaya antisipasi di kalangan pesantren dan masyarakat yang ada di sekitarnya. Sudah terbukti bahwa pondok pesantren telah banyak melahirkan santri yang pemahaman tentang keilmuan keagamaan dan umumnya luas. Disamping itu, santri juga dibekali dengan pembelajaran kitab yang terkait dengan akhlak, tasawwuf, fikih dan akidah, sehingga diharapkan keluaran pondok pesantren, mampu untuk menciptakan generasi-generasi Islam yang mumpuni, mampu membendung arus radikalisme agama yang terjadi di masyarakat Indonesia pada umumnya. A. Pendidikan Pesantren Kata Pendidikan Pesantren terdiri dari dua kata yang memiliki makna yang berbeda. Pertama kata Pendidikan, kedua kata Pesantren.Dalam bahasa Romawi pendidikan diistilahkan sebagai educate yang berarti memperbaiki moral dan melatih intelektual. Sedangkan menurut Doni Koesuma A, pendidikan merupakan sebuah proses yang membantu menumbuhkan, mengembangkan, mendewasakan membuat yang tidak terata atau liar menjadi semakin tertata, semacam proses penciptaan sebuah kultur dan tata keteraturan dalam diri maupun dalam diri orang lain. Selain itu, pendidikan juga berarti proses pengembangan berbagai macam potensi yang ada dalam diri manusia, seperti kemampuan akademis, relasional, bakat, talenta kemampuan fisik, atau daya seni.2kemudian menurut Wahyudin pendidikan adalahusaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, Doni Koesuma A, Pendidikan Karakter (Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana Indonesia, 2007), hal. 53 2 Falasifa, Vol. 8 Nomor 1 Maret 2017 | 167 Abdul Halim kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya dan masyarakat.3 Sedangkan kata Pesantren Secara etimologi berasal santri yang mendapat awalan pe- dan akhiran an yang menunjukkan tempat, maka arti dari pesantren adalah tempat para santri. ada juga yang berpendapat bahwa Kata santri sendiri, menurut C. C Berg berasal dari bahasa India, shastri , yaitu orang yang tahu buku-buku suci agama Hindu atau seorang sarjana ahli kitab suci agama Hindu. Sedangkan kata shastri berasal dari kata shastra yang berarti buku-buku suci, bukubuku suci agama atau buku-buku tentang ilmu pengetahuan.4 Sementara itu, A.H. John menyebutkan bahwa istilah santri berasal dari bahasa Tamil yang berarti guru mengaji.5Nurcholish Madjid juga memiliki pendapat berbeda. Dalam pandangannya asal usul kata “santri” dapat dilihat dari dua pendapat. Pertama, pendapat yang mengatakan bahwa “santri” berasal dari kata “sastri”, sebuah kata dari bahasa Sansekerta yang artinya melek huruf. Pendapat ini menurut Nurcholish Madjid didasarkan atas kaum santri kelas literary bagi orang Jawa yang berusaha mendalami agama melalui kitab-kitab bertulisan dan berbahasa Arab. Kedua, pendapat yang mengatakan bahwa perkataan santri sesungguhnya berasal dari bahasa Jawa, dari kata “cantrik” berarti seseorang yang selalu mengikuti seorang guru kemana guru ini pergi menetap.6 Sedangkan secara epistemologi, pengertian pesantren diungkapkan oleh Abdurrahman Wahid, bahwa yang dinamakan pesantren adalah sebuah kehidupan yang unik, sebuah komplek dengan lokasi yang umumnya terpisah dari kehidupan sekitarnya, yang didalam komplek tersebut terdiri dari pengasuh (dalam bahasa jawa kyai), sebuah surau atau masjid, tampat pengajaran diberikan (bahasa Arab Madrasah yang juga sering mengandung konotasi sekolah), dan asrama tempat tinggal para siswa.7 Juga diungkapkan oleh Zamakhsyari Dhofier dalam bukunya yang berjudul Tradisi Pondok pesantren mendefinisikan pesantren sebagai lembaga pendidikan tradisional Islam untuk mempelajari, memahami, menghayati dan mengamalkan Din Wahyudin, Pengantar Pendidikan, (Jakarta, Universitas Terbuka, 2009), cet.17, hlm. 2 4 Yasmadi, Modernisasi Pesantren, (Jakarta: Ciputat Press, 2002), hal. 62 5 Babun Suharto, Dari Pesantren Untuk Umat: Reiventing Eksistensi Pesantren di Era Globalisasi , (Surabaya: Imtiyaz, 2011), cet. Ke-1. Hal. 9 6 Yasmadi, Modernisasi Pesantren: Kritik Nurcholish Madjid Terhadap Pendidikan Islam Tradisional, (Jakarta: Ciputat Press, 2005), cet. Ke-2, hal. 61 7 Abdurrahman Wahid, Menggerakkan Tradisi, (Yogyakarta: LKIS, 2010), Cet. III, Hal. 4 3 168 | Falasifa, Vol. 8 Nomor 1 Maret 2017 Pendidikan Pesantren dalam Menghadapi Tantangan Radikalisme ajaran Islam dengan menekankan pentingnya moral keagamaan sebagai pedoman perilaku sehari-hari.8 Sedangkan M, Arifin mengartikan pesantren sebagai suatu lembaga pendidikan Islam yang tumbuh serta diakui masyarakat sekitar, dengan sistem asrama (komplek) dimana santri-santri menerima pendidikan agama melalui sistem pengajian atau madrasah yang sepenuhnya berada dibawah kedaulatan dari seorang atau beberapa orang kyai dengan ciri-ciri khas yag bersifat kharismatik serta independen dalam segala hal.9 Terlepas dari perbedaan pendapat di atas, yang jelas pesantren merupakan lembaga yang paling menentukan watak keislaman dari kerajaan-kerajaan Islam dan yang memegang peranan paling penting bagi penyebran Islam sampai kepelosok-pelosok. Dari uraian panjang lebar di atas dapat diambil kesimpulan bahwa pengertian pesantren adalah suatu lembaga pendidikan dan keagamaan yang berusaha melestarikan, mengajarkan dan menyebarkan ajaran Islam serta melatih para santri untuk siap dan mampu mandiri. Atau dapat juga diambil pengertian dasarnya sebagai suatu tempat dimana para santri belajar pada seseorang kyai untuk memperdalam/memperoleh ilmu, utamanya ilmu-ilmu agama yang diharapkan nantinya menjadi bekal bagi santri dalam menghadapi kehidupan di dunia maupun akhirat. Termasuk lembaga pendidikan pertama di Indonesia adalah pesantren, yang sejak awal keberadaannya bertujuan hendak membina individu-individu Muslim agar memiliki kepribadian yang Islami, tampil dalam pola pikir, pola sikap dan pola tindakannya. Oleh karena itu, dasar pendidikannya adalah pembinaan akhlak. Meskipun demikian, pada pesantren-pesantren tradisional tujuan ini tidak dituangkan secara eksplisit secara tertulis, tetapi secara emplisit terekspesikan dari bahan pelajaran yang diberikan, proses dan cara pengajaran, dan norma-norma yang berlaku dalam interaksi pendidikan yang dikembangkannya. Secara sosiologis tujuan daripada pesantren diungkapkan oleh Dhofier, yaitu pendidikan tidak semata-mata untuk tidak memperkaya fikiran murid dengan penjelasan-penjelasan, tetapi untuk meningkatkan moral, melatih dan meningkatkan semangat, menghargai nilai-nilai spiritual dan kemanusiaan, mengajarkan sikap dan tingkah laku jujur dan bermoral, dan menyiapkan para murid untuk hidup sederhana dan bersih hati. Setiap murid diajarkan agar menerima etika agama di atas etika-etika 8 Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren: Studi Tentang Pandangan Kyai, (Jakarta: LP3ES, 1982), hal. 43. 9 M. Arifin, Kapita Selekta Pendidikan Islam dan Umum, (Jakarta: Bumi Aksara, 1991), h. 240 Falasifa, Vol. 8 Nomor 1 Maret 2017 | 169 Abdul Halim yang lain. Tujuan pendidikan pesantren bukanlah untuk mengejar kepentingan kekuasaan, uang dan keagungan duniawi, tetapi ditanamkan kepada mereka bahwa belajar adalah semata-mata kewajiban dan pengabdian kepada Tuhan.10 Selain tujuan diatas, pesantren juga mempunyai tujuan sebagai berikut : a. Untuk memberikan respon terhadap kondisi sosial suatu masyarakat yang tengah dihadapkan pada runtuhnya sendi-sendi moral, melalui transformasi nilai yang ditawarkan. b. Memperluas informasi ajaran tentang universalitas Islam ke seluruh pelosok nusantara yang masih berwatak pluralis, baik dalam dimensi kepercayaan, budaya maupun kondisi sosial masyarakat. c. Menciptakan dan mengembangkan kepribadian Muslim yang beriman dan bertaqwa kepada Allah, berakhlak mulia, bermanfaat bagi masyarakat dan bangsa dengan jalan menjadi abdi masyarakat, mempunyai kepribadian yang tangguh, mencintai ilmu dan mengembangkan kepribadian yang muhsin, tidak hanya sekedar Muslim.11 Melihat dari pemaparan tersebut, sangat jelas, bahwa pesantren tidak hanya menitik beratkan pendidikannya kepada masalah ukhrawi semata, tetapi ia juga mementingkan kepentingan duniawi dengan anjuran untuk selalu menuntut ilmu agar dikemudian hari dapat mandiri dan berguna bagi masyarakat luas, bisa membangun hubungan yang baik dengan masyarakatserta mempunyai kepribadian yang selalu berakhlakul karimah. 1. Sistem Pendidikan dan Pengajaran Pondok Pesantren Pola pendidikan dan pengajaran diPesantren erat kaitannya dengan tipologi pesantren maupun ciri-ciri atau karakteristik pesantren itu sendiri. Dalam melaksanakan proses pendidikan sebagian besar Pesantren di Indonesia pada umumnya menggunakan beberapa sistem pendidikan dan pengajaran tradisional. Sistem tradisional adalah sistem yang berangkat dari pola sorogan, bandongan, wetonan dan musyawaroh dalam mengkaji kitab-kitab agama yang ditulis oleh para ulama’ zaman abab pertengahan dan kitab-kitab itu dikenal dengan istilah “kitab kuning”. a. Sistem Sorogan Sistem Sorogan adalah pengajaran kitab kuning yang datang dari inisiatif santri sendiri, yangingin mendalami suatu kitab dalam ilmu tertentu. Karena itu, bersifat individual atau sekelompok santri yang bermaksud untuk memperdalam Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren Tentang Pandangan Hidup Kyai, (Jakarta: LP3ES, 1994), Hal. 21 11 Binti Maunah, Tradisi Intelektual Santri dalamTantangan dan hambatan Pendidikan Pesantren di Masa Depan, (Yogyakarta: Teras, 2009), hal. 26 10 170 | Falasifa, Vol. 8 Nomor 1 Maret 2017 Pendidikan Pesantren dalam Menghadapi Tantangan Radikalisme dan menguasai suatu kitab dalam ilmu tertentu. Sorogan biasanya dilakukan oleh keluarga kiai atau santri-santri yang diharapkan dikemudian hari menjadi orang yang alim.12 b. Wetonan atau Bandungan Proses penyampaian bahan pelajaran yang paling tradisional lebih umum dilakukan secara klasikal yang untuk materi-materi pelajaran lanjutan, diajarkan secara langsung oleh guru utama (kiai). Adapun untuk materi-materi pelajaran dasar dan menengah, kiai dibanti oleh para santri seniornya, yang sering disebut sebagai ustadz atau wakil kiai. Karena buku acuan berbahasa arab, maka metode pengajaran lebih menekankan pada metode ceramah dan eksplanasi, dengan proses sebagai berikut : 1) Kiai atau ustadz membacakan isi kitab beberapa baris dan santri menyimaknya sambil memberikan tanda-tanda baca pada kitab pegangannya masing-masing. 2) Kiai atau Ustdz menerjemahkan bahan bahasan ke dalam bahasa daerah kata demi kata bersamaan dengan status gramatikalnya, sementara santri mencatatkan arti-arti kata yang belum diketahuinya di bawah kata arabnya dan memberikan tanda0tanda tatabahasa sesuai dengan fungsi kata dalam kalimat. 3) Kiai atau Ustadz kenjelaskan isi keseluruhan paragraf yang dibahas, dan santri menyimak penjelasan kiai. 4) Kiai atau Ustadz meminta beberapa santri secara acak dan spontan untuk membacakan bahan ajar yang baru selesai diajarkan, santri yang ditunjuk membaca sambil menerjemahkannya kata demi kata. Apabila ada kesalahan koreksi dilakukan oleh kiai atau santri yang lainnya, atas inisiatif santri sendiri atau atas petunjuk kiai. 5) Kiai atau ustadz sering menanyakan argumen-argumen berkenaan dengan sebab-sebab mengapa suatu kata dibaca begini, begitu dan seterusnya berdasarkan kitab berbahasa Arab pada level yang telah dikuasai santrinya. c. Mentoring Pegajaran klasikal dalam Pesantren tradisional, didikuti oleh santri dengan tingkat kempuan yang heterogen. Oleh karena itu, seringkali santri dalam satu kelas dengan kitab yang sama kemampuannya berbeda, karena memang diantara santri ada yang telah mengulang dan ada yang baru. Untuk itu, diluar jadwal dilaksanakan secara sukarela dan berdasarkan permintaan santri lain kepada santri 12 Bahri Ghazali, Pesantren Berwawasan Lingkungan, (Jakarta: Prasasti, 2002), hal. 29 Falasifa, Vol. 8 Nomor 1 Maret 2017 | 171 Abdul Halim yang lain yang lebih faham dan pandai, untuk mengajarkan atau memahamkan bahan yang telah diajarkan oleh Kiai atau Ustaudz. d. Setoran Hafalan Hafalan merupakan salahsatu cara yang ditempuh Pesantren dalam membelajarkan santri dalam menguasai bahan pelajaran, terutama bahan pelajaran yang menyangkut dasar-dasar pengetahuan keislaman seperti tajwid, Nahwu, dan Shorof. Metode hafalan berlangsung dengan tekhnis, para santri menghafalkan materi atau kitab yang harus dihafalkan diluar waktu-waktu belajar yang sudah terjadwal, kemudian menyetorkannya kepada kiai atau yang mewakilinya. B. Radikalisme 1. Defnisi Radikalisme Istilahradikalisme berasal dari bahasa latin radix, yang artinya akar, pangkal dan bagian bawah, atau bisa juga secara menyeluruh, habis-habisan dan amat keras untuk menuntut perubahan, sedangkan secara terminologi Radikalisme adalah aliran atau faham yang radikal terhadap tatanan politik; paham atau aliran yang menuntut perubahan sosial dan politik dalam suatu negara secara keras (Eka Yani). Radikalisme secara umum dipahami sebagai suatu gerakan sosial yang mengarah kepada hal-hal yang negatif. Setidaknya persepsi itu dikonsepkan oleh Lukman Hakim, wakil kepala LIPI, dalam pengantar buku Islam dan Radikalisme diIndonesia. Dari persepsi tersebut, maka muncul istilah ekstrim, anti Barat, anti Amerika dan teroris.13 Setidaknya radikalisme bisa dibedakan menjadi dua level, yaitu level pemikiran dan level aksi atau tindakan. Pada level pemikiran, radikalisme masih berupa wacana, konsep dan gagasan yang masih dieperbincangkan, yang intinya mendukung penggunaan cara-cara kekerasan untuk mencapai tujuan. Adapun pada level aksi atau tindakan, radikalisme bisa berada di ranah sosial-politik dan agama. Pada ranah politik paham ini tampak tercermin dari adanya tindakan memaksakan pendapatnya dengan cara-cara yang inkonstitusional, bahkan bisaberupa tindakan mobilisasi masa untuk kepentingan polotik tertentu dan berujung pada konflik sosial. Dalam bidang keagamaan, fenomena radikalisme agama tercermin dari tindakan-tindakan destruktif-anarkis atas nama agama dari sekelompok orang terhadap kelompok pemeluk agama lain (eksternal) atau kelompok seagama (internal) yang berbeda dan dianggap sesat. Termasuk dalam tindakan radikalisme Endang Turmudzi dan Riza sihbudi, Islam dan Radikalisme di Indonesia, (Jakarta; LIPI Press, 2005), hal. 24 1313 172 | Falasifa, Vol. 8 Nomor 1 Maret 2017 Pendidikan Pesantren dalam Menghadapi Tantangan Radikalisme agama bisa adalah aktifitas untuk memaksakan pendapat, keinginan dan cita-cita pemeluk agama. 2. Ciri-ciri Radikalisme Rubaidi menguraikan lima ciri gerakan radikalisme, yaitu sebagai berikut : a. Menjadikan Islam sebagai ideologi final dalam mengatur kehidupan individual dan juga politik ketatanegaraan. b. Nilai-nilai Islam yang dianut mengadopsi sumbernya di Timur Tengah secara apa adanya tanpa mempertimbangkan perkembangan sosial dan politik ketika Al-Qur’an dan Hadist hadir dimuka bumi ini, dengan realitas lokal kekinian c. Karena perhatian lebih terfokus pada teks Al-Qur’an dan Hadist, maka purufikasi ini sangat berhati-hati untuk menerima segala budaya non asal Islam, termasuk berhati-hati menerima tradisi lokal karena khawatir mencampuri Islam dengan bid’ah. d. Menolak ideologi non Timur Tengah termasuk ideologi Barat, seperti demokrasi, sekularisme, dan liberalisme. Kelompok ini menginginkan, segala peraturan yang diterapkan harus merujuk kepada Al-Qur’an dan Hadist. e. Gerakan radikalisme sering berseberangan dengan masyarakat luas dan pemerintah. Oleh karenanya, terkadang terjadi gesekan ideologis bahkan fidik dengan kelompok lain, termasuk pemerintah.14 C. Penyebab Radikalisme Agama Peningkatan radikalisme keagamaan banyak berakar pada kenyataan kian merebaknya berbagai penafsiran, pemahaman, aliran bahkan sekte didalam satu agama tertentu. Menurut azyumardi Azra, dikalangan Islam, radikalisme keagamaan itu banyak bersumber dari : 1. Pemahaman keagaman yang literal, sepotong-sepotong terhadap ayat-ayat AlQur’an. Pemahaman seperti itu hampir tidak memberikan ruang bagi akomodasi dan kompromi dengan kelompok-kelompok Muslim lain yang umunya moderat, dan karena itu menjadi arus utama umat. Kelompok umat Islam yang berfaham seperti ini sudah muncul sejak masa al-Khulafa’ alRasyidin keempat yaitu Ali bin Abi Thalib dalam bentuk kaum Khawarij yang sangat radikal dan melakukan banyak pembunuhan terhadap pemimpin muslim yang telah mereka nyatakan kafir. 2. Bacaan yang salah terhadap sejarah Islam dikombinasikan dengan idealisasi berlebihan terhadap Islam pada masa tertentu. Ini terlihat dalam pandangan A. Rubaidi, Radikalisme Islam, Nahdlatul Ulama’; Masa depan Moderatisme Islam di Indonesia, (Yogyakarta: Logung Pustaka, 2010), hal. 63 14 Falasifa, Vol. 8 Nomor 1 Maret 2017 | 173 Abdul Halim 3. dan gerakan Salafi, khususnya pada spektrum sangat radikal seperti Wahabiyah yang muncul di semenanjung Arabia pada akhir abad 18 awal sampai dengan abad 19 dan terus merebak sampai sekarang ini. Tema kelompok dari kelompok ini adalah pemurnian Islam, yakni membersihkan Islam dari pemahaman dan praktek keagamaan yang mereka pandang sebagai bid’ah, yang tidak jarang mereka lakukan dengan cara-cara kekerasan. Dengan pemahaman dan praksis keagamaan seperti itu, kelompok yang radikal ini menyempal dari mainstream Islam yang memegang dominasi dan hegemoni otoritas teologis dan hukum agama dan sekaligus kepemimpinan agama. Karena itu respon dan reaksi keras sering muncul dari kelompok-kelompok mainstream arus utama, dalam agama. Mereka tidak jarang mengeluarkan ketetapan, bahkan fatwa yang menetapkan kelompok-kelompok sempalan tersebut sebagai sesat dan menyesatkan. Ketetapan fatwa tersebut dalam prakteknya tidak jarang pula digunakan kelompok-kelompok mainsteam tertentu sebagai dasar dan justifikasi untuk melakukan tindakan main hakim sendiri. Deprivasi politik, sosial dan ekonomi yang masih bertahan dalam masyarakat. Pada saat yang sama, disorientasi, dilokasi sosial budaya, akses globalisasi, dan semacamnya sekaligus merupakan tambahan faktor-faktor penting bagi kemunculan kelompok-kelompok radikal. Kelompok-kelompok sempalan tersebut tidak jarang mengambil bentuk kultus, yang sangat eksklusif, tertutup dan berpusat pada seseorang yang dipandang kharismatik. Kelompok-kelompok ini dengan dogma eskatologis tertentu bahkan memandang duniasudah menjelang akhir zaman dan kiamat, sekarang waktunya bertaubat melalui pemimpin dan kelompok mereka. Doktrin dan pandangan teologis-eskatologis seperti ini, tidak lain dengan segeradapat menimbulkan reaksi dari agama-agama mainstream, yang dapat berujung pada konflik sosial dan kekerasan bernuansa intra dan antar agama; juga bahkan antaruma tberagama dengan negara. Ini terlihat jelas, misalnya seperti halnya kasus perusakan gedung yang diduga tempat pertemuan waria di Purwokerto, Jawa Tengah, pada tanggal 26 Juli. pengrusakan terhadap warung-warung di Puncak, Bogor, pada tanggal 20 Agustus; dan perusakan mobil milik penjual miras di Senayan, Jakarta 27 Agustus dan juga aksi demo yang berakhir ricuh dan anarkis di dpn Istana Negara menyebabkan sejumlah orang yg terluka yang terjadi pada tanggal 4/11/2016 serta penangkapan beberapa orang yang diduga prahara terjadinya kericuhan dan kekerasan. 174 | Falasifa, Vol. 8 Nomor 1 Maret 2017 Pendidikan Pesantren dalam Menghadapi Tantangan Radikalisme D. Gerakan Penyebaran radikalisme Islam Para pendukung faham radikalisme Islam menggunakan berbagai sarana dan media untuk menyebar luaskan pemahaman mereka, baik dalam pengkaderan internal anggota maupun untuk kepentingan sosialisasi kepada masyarakat luas. Berikut ini sarana yang ditempuh untuk menyebarluaskan faham radikalisme. 1. Melalui pengkaderan organisasi. Pengkaderan organisasi adalah kegiatan pembinaan terhadap anggota dan atau calon anggota dari organisasi simpatisan atau pengusung radikalisme. 2. Melalui masjid-masjid yang berhasil“dikuasai”.Kelompok Islam radikal juga sangat lihai memanfaatkan masjid yang kurang“diurus”oleh masyarakat sekitar. 3. Melalui majalah, buletin, dan booklet. Penyebaran ideologi radikalisme juga dilakukan melalui majalah,buletin dan booklet. 4. Melalui penerbitan buku-buku. Faham radikalisme juga disebarkan melalui buku-buku,baik terjemahan dari bahasa Arab, yang umumnya ditulis oleh para penulisTimurTengah, maupun tulisan mereka sendiri. E. Pendidikan Pesantrendalam Menghadapi Radikalisme Radikalisme bisa menimpa siapa saja, kapan saja dan dimana saja.Tidak peduli anak anak, remaja, orang dewasa, tidak pandang mereka miskin atau kaya, tidak pandang mereka kelompok elit ataupun rakyat jelata. Radikalisme lebih banyak disebabkan oleh adanya faham atau pemikiran yang sempit terhadap suatu fenomena. Oleh sebab ituradikalisme alan bisa ditelan atau dieliminir bahkan dihilangkan harus diawali dari pembinaan atau bimbingan cara pandang atau cara fikir terhadap suatu fenomena. Nur Syam (2009) dalam buku Tantangan Multikulturalisme Indonesia memiliki analisis yang cukup menarik bahwa untuk melahirkan cara pandang yang tepat perlu belajar dari Interaksi Santri. Sebagai sebuah lembaga pendidikan, keberadaan Pesantren tidak bisa dipisahkan dengan beberapa faktor yang melingkupinya, antara Kiai, Ustadz, Masyarakat, Pondok dan lingkungan. Dalam proses pembelajaran faktor-faktor tersebut akan saling berinteraksi, sehingga terdapat berbagai interaksi yang terjadi didalam, diluar Pesantren dan setelah keluar dari Pesantren. Interaksi tersebut ada yang bersifat individu dan kelompok. a. Interaksi dengan Tuhan Didalam dunia pesantren, para santri sangat ditekankan dalam ibadahnya, mulai dari sholat, puasa dzikir, istighosah, dan ibadah-ibadah yang lain, mulai dari ibadah yang sunnah sampai ke yang wajib, tentunya hal seperti ini adalah untuk melatih sekaligus mengajarkan santri agar selalu membangun dan meningkatkan Falasifa, Vol. 8 Nomor 1 Maret 2017 | 175 Abdul Halim hubungan santri dengan Allah. b. Interaksi dengan Manusia Santri juga didalam Pesantren diajarkan untuk berinteraksi dengan Kiai, Ustadz, sesama santri dan juga masyarakat yang ada disekitar pesantren, tidak membedakan suku, karakteristik, strata, atau bahkan agama ketika ada diluar Pesantren, bagaimana sekiranya santri bersikap lemah lembut, sopan dan berakhlakul karimah, sesuai dengan apa yang diajarkan di Pesantren, hal ini sesuai dengan butir dari Pancasila yaitu kemanusiaan yang adil dan beradap dan persatuan Indonesia. Pelajaran tentang hablum minannas (hubungan sesama manusia) di Pesantren, adalah suatu gambaran kecil, bahwa pesantren juga menanamkan dan mengajarkan tentang kerukunan dan perdamaian, tentunya dengan pelajaran ini, bagaimana nantinya santri ketika sudah keluar dari Pesantren, itu bisa mempraktekkannya, yaitu dengan menjalin hubungan yang baik antar manusia yang lain, dengan tidak membedakan suku, ras, keturunan, strata ataupun agama. Pesantren mengajarkan santri dengan hidup rukun, damai ,menyelesaikan masalah dengan jalan musyawarah, bukan dengan jalan kekerasan. c. Interaksi dengan Alam Sebagaimana interaksi sosial lainnya, keharmonisan hubungan antara santri dengan lingkungan merupakan suatu keharusan. Santri sebagai individu maupun kelompok yang hidup dan menuntut ilmu di Pesantren, tidak bisa memisahkan diri dari lingkungan masyarakat sekitarnya. Hal ini dikarenakan Pesantren tidak bisa lepas dari lingkungan masyarakat dimana Pesantren itu berada.15 Santri diajarkan bagaimana cara menjaga lingkungan sekitarnya, agar nantinya santri faham akan pentingnya lingkungan bagi dirinya dan masyarakat pada umumnya. Ketika lingkungan dijaga maka manfaatnya bukan hanya bagi dirnya sendiri tetapi juga bagi masyarakat, begitupun sebaliknya, ketika lingkungan dikotori atau dirusak maka akan merugikan dirinya sendiri dan masyarakat di sekitarnya. Pemahaman seperti diatas, seperti interaksi dengan Tuhan, interaksi dengan manusia dan interaksi dengan alam, harus lebih ditingkatkan lagi, lebih-lebih pada ranah interaksi sesama manusia, bagaimana sekiranya santri tidak memandang golongan, budaya dan agama dalam berhubungan, maka dari itu perlu penekanan dan pemahaman yang inten pada waktu pembelajaran, ataupun dalam kehidupan sehari-harinya, agar santri mampu dan terus menerus mengamalkannya ketika berada dilingkungan pesantren dan masyarakat. Binti Maunah, Tradisi Intelektual Santri dalamTantangan dan hambatan Pendidikan Pesantren di Masa Depan, (Yogyakarta: Teras, 2009), hal.136 15 176 | Falasifa, Vol. 8 Nomor 1 Maret 2017 Pendidikan Pesantren dalam Menghadapi Tantangan Radikalisme KESIMPULAN Radikalisme dalam pendidikan memiliki potensi ancaman yang sangat berbahasa dalam mewujudkan kelangsungan kualitas pendidikan. Radikalisme bisa muncul kapan saja,dari mana saja dan dapat dilakukan oleh siapa saja. Oleh sebab itu radikalsime perludisikapi secara utuh dan komprehensif yang meliputi berbagai aspek melakukan sinergi secara rapi dantepat. Radikalisme menyangkut persoalan cara pikir, kepribadian dan sikap perilaku, oleh sebab itu cara untuk mengeliminir munculnya radikalisme dimulai dari pemahaman yang kontekstual dalam melihat fenomena yang ada didapan kehidupan sosial. Cara pikir dan kepribadian tawazun, moderat dan mengedepankan kebenaran universal adalah langkah pertama dan utama untuk mengeleminir gerakan radikalisme. Langkah teknis lainnya berbagai elemen pendidikan yang berwewenang harus segera melakukan langkah langkah strategis dan teknis untuk menyusun peraturan tentang perlindungan guru. DAFTAR PUSTAKA Arifin, 1991, Kapita Selekta Pendidikan Islam dan Umum,Jakarta: Bumi Aksara. Doni Koesuma A, 2007, Pendidikan Karakter, Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana Indonesia. Ghazali, Bahri, 2002, Pesantren Berwawasan Lingkungan, Jakarta: Prasasti. Maunah,Binti, 2009, Tradisi Intelektual Santri dalamTantangan dan hambatan Pendidikan Pesantren di Masa Depan, Yogyakarta: Teras. Rubaidi, 2010, Radikalisme Islam, Nahdlatul Ulama’; Masa depan Moderatisme Islam di Indonesia, Yogyakarta: Logung Pustaka. Suharto, Babun, 2011, Dari Pesantren Untuk Umat: Reiventing Eksistensi Pesantren di Era Globalisasi,Surabaya: Imtiyaz. Turmudzi Endang, dan sihbudi, Riza, 2005, Islam dan Radikalisme di Indonesia, Jakarta; LIPI Press. Wahid,Abdurrahman, 2010, Menggerakkan Tradisi, Yogyakarta: LKIS. Wahyudin, Din, 2009, Pengantar Pendidikan, Jakarta, Universitas Terbuka. Yasmadi, 2002, Modernisasi Pesantren, Jakarta: Ciputat Press. _______, 2005, Modernisasi Pesantren: Kritik Nurcholish Madjid Terhadap Pendidikan Islam Tradisional,Jakarta: Ciputat Press. Zamakhsyari Dhofier, 1982, Tradisi Pesantren: Studi Tentang Pandangan Kyai, Jakarta: LP3ES. http://abdullah-ubaid.blogspot.com/2007/02/rebutan-masjid-atawa-rebutan. Falasifa, Vol. 8 Nomor 1 Maret 2017 | 177 Abdul Halim 178 | Falasifa, Vol. 8 Nomor 1 Maret 2017