the analysis of legal considerations surrounding constitutional court

advertisement
THE ANALYSIS OF LEGAL CONSIDERATIONS SURROUNDING
CONSTITUTIONAL COURT RULING NO. 34/PUU-XI/2013 FILED BY
ANTASARI AZHAR REGARDING LIMITATION OF JUDICIAL REVIEW
ACTION
Skripsi
Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Persyaratan Dalam
Memperoleh Gelar Sarjana Dalam Ilmu Hukum Pada
Fakultas Hukum Universitas Slamet Riyadi
Surakarta
Oleh :
NANDITO PRABU WIDOTO
13100059
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SLAMET RIYADI
SURAKARTA
2016
1
ANALISIS PERTIMBANGAN PUTUSAN
MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 34/PUU-XI/2013
YANG DIAJUKAN OLEH ANTASARI AZHAR MENGENAI
PEMBATASAN UPAYA HUKUM PENINJAUAN KEMBALI
Penulis : Nandito Prabu Widoto
Fakultas Hukum Universitas Slamet Riyadi Surakarta
Abstract
This legal writing aims to analyze the legal consideration of Constitutional Court ruling No.
34/PUU-XI/2013 and to analyze the juridical implication of the ruling submitted by Antasari
Azhar about the limitation of judicial review action.
The background of this legal writing is that Antasari Azhar, who was sentenced to 18 years in
prison, felt that his constitutional right was restricted because he could not file another legal
action, after a series of rejection of his appeal, cassation, and judicial review, since the Code of
Procedural Law article 268 clause (3) had stated that “A judicial review may be requested and
granted once”. Antasari and his family filed a judicial review to the Constitutional Court judges
which resulted in Constitutional Court ruling No. 34/PUU-XI/2013 that was in his favor. Then
Supreme Court released circular letter about filing judicial review (Sema and Perma) which
explained that judicial review may only be requested once, and that the Supreme Court is not
supposed to release Supreme Court Circular Letter and Supreme Court Regulation because of
Constitutional Court ruling No. 34/PUU-XI/2013 which ruled that judicial review may be
requested more than once.
This research is included in normative juridical research. The research uses the qualitative
approach method. The type of data used in this research is secondary data. The data was taken
from library materials which include books, literally works, legislation, official documents,
research results in the form of reports, and other sources related to the research. The data were
analyzed by using qualitative data analysis method for the legislations about judicial review
action that matches with the problem of the research.
The research reveals that the legal consideration of Constitutional Court judges in the verdict
related to the judicial review action is linked to the Code of Procedural Law which is the
implementation of the enforcement and the protection of Human Rights as the constitutional
provision in 1945 Constitution of Indonesia. The reason of the judicial review is the discovery of
new evidence or novum, amd the juridical implication of the court ruling is that “the judicial
review that is may only be requested once” is generally contained in the Law on Judicial Power
(lex generalis), while for the criminal case is contained in the Code of Procedural Law (lex
specialis), so in the criminal case, judicial review can be submitted more than once but requires
the discovery of new evidence or novum. The court ruling is erga omnes, which means final and
binding, not only for the litigants but for general use, and no other legal action which can cancel
the court rulings.
2
A. Pendahuluan
1. Latar Belakang
Antasari Azhar merupakan mantan ketua KPK,Antasari Ashar terjerat kasus
pembunuhan Nazarudin Zulkarnaen direktur putra rajawali banjaran,yang didakwa turut
serta menganjurkan orang lain supaya melakukan perbuatan dengan sengaja dan rencana
terlebih dahulu atas Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan tanggal 11 Februari
2010 Nomor 1532/Pid.B/2009/PN.Jkt.Sel dengan dijatuhi pidana selama 18
tahun.Antasari Azhar merasa tidak pernah melakukan pembunuhan berencana terhadap
Nasruddin Zulkarnaen dan mengajukan Banding, Kasasi hingga Peninjauan Kembali
pada Mahkamah Agung tanggal 13 Februari 2011 dengan putusan Nomor 117
PK/PID/2011 namun ditolak merasa hak konstitusionalnya dibatasi karena tidak bisa
mengajukan upaya hukum lain sebagaimana Pasal 268 ayat (3) KUHAP yang
menyatakan bahwa “Permintaan peninjauan kembali atas suatu putusan hanya dapat
diajukan satu kali saja”. Oleh karena itu Antasari dan keluarga mengajukan uji materiil
ke Mahkamah Konstitusi dengan Putusan Nomor 34/PUU-XI/2013 yang mengabulkan
permohonan dan menyatakan bahwa Pasal 268 ayat (3) KUHAP bertentangan dengan
UUD Tahun 1945 serta tidak
mempunyai kekuatan hukum mengikat. Mahkamah
Konstitusi berpendapat bahwa secara umum KUHAP bertujuan untuk melindungi Hak
Asasi Manusia (Selanjutnya disebut HAM) dari kesewenang-wenangan terutama terkait
hak hidup dan kebebasan sebagai hak fundamental manusia, Pengadilan yang
seharusnya melindungi HAM tidak membatasi Peninjauan Kembali hanya sekali.
Dengan membatasi Peninjauan Kembali, pengadilan telah menutup proses pencarian
keadilan dan kebenaran. Sebab mungkin saja ada keadaan baru atau novum yang
ditemukan setelah Peninjauan Kembali diajukan sebelumnya, novum dapat ditemukan
kapan saja tanpa batas waktu.setelah dikabulkannya putusan, setelah penetapan putusan
Mahkamah Konstitusi terdapat banyak perbedaan pendapat tentang pengajuan
Peninjauan Kembali yang dapat diajukan lebih dari satu kali, salah satunya Mahkamah
Agung. Ketua Mahkamah Agung Hatta Ali mengeluarkan Surat Edaran Mahkamah
Agung Nomor 7 Tahun 2014 tentang Pengajuan Permohonan Peninjauan Kembali
dalam Perkara Pidana (Selanjutnya disebut SEMA PK Pidana), yang berlaku bagi
3
seluruh hakim di Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi di seluruh Indonesia dan
Pada tanggal 31 Desember 2015 MA mengeluarkan SEMA Nomor 7 Tahun 2014
tentang Pengajuan Permohonan Peninjauan Kembali dalam Perkara Pidana yang
menyatakan bahwa Peninjauan Kembali hanya boleh satu kali. Pembuat peraturan
kebijakan tidak mempunyai kewenangan perundang-undangan, kewenangan yang
dimiliki hanya dibatasi pada segi-segi pelaksanaan dan tidak ada kewenangan untuk
mengatur (wetgever). SEMA ini merupakan peraturan kebijakan yang hanya mengikat
pihak internal dalam hal ini hakim pada Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi, tidak
seharusnya Mahkamah Agung mengeluarkan SEMA karena telah dikeluarkannya
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 34/PUU-XI/2013 yang menyatakan Peninjauan
Kembali lebih dari satu kali.
2. Rumusan Masalah
Untuk mempermudah pemahaman terhadap permasalahan yang akan dibahas
serta untuk lebih mengarahkan pembahasan, maka perumusan masalah yang diangkat
adalah :
a. Bagaimana pertimbangan putusan Mahkamah Kostitusi Nomor 34/PUU-XI/2013
yang diajukan oleh Antasari Azhar mengenai pembatasan upaya hukum peninjaua
kembali?
b. Bagaimana implikasi yuridis putusan mahkamah konstitusi nomor 34/PUUXI/2013mengenai pembatalan pasal 268 ayat (3) KUHAP?
3. Tujuan Penelitian
Dalam suatu penelitian ada tujuan-tujuan yang ingin dicapai oleh peneliti.
Tujuan ini tidak lepas dari permasalahan yang telah dirumuskan sebelumnya. Adapun
tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis pertimbangan putusan Mahkamah
Kostitusi Nomor 34/PUU-XI/2013 yang diajukan oleh Antasari Azhar mengenai
pembatasan upaya hukum peninjauan kembali. Dan untuk menganalisis implikasi
yuridis putusan mahkamah konstitusi nomor 34/PUU-XI/2013 mengenai pembatalan
pasal 268 ayat (3) KUHAP.
4
4. Tinjauan Pustaka
a. Tinjauan Tentang Kekuasaan Kehakiman
1) Kekuasaan Kehakiman dan Penyelenggaranya Menurut UndangUndang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Kekuasaan kehakiman menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 merupakan kekuasaan yang merdeka yang dilakukan oleh
sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam
lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan
militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah
Konstitusi, untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan
keadilan.
2) Prinsip-prinsip Penyelenggaraan Kekuasaan Kehakiman
Didalam Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang kekuasaan
kehakiman mengatur Asas-asas penyelenggaraan kekuasaan kehakiman antara
lain sebagai berikut :
1) Asas peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat dan biaya ringan;
2) Asas equality before the law atau asas mengadili menurut hukum tanpa
membedakan orang;
3) Asas hakim pasif artinya jika tidak ada perkara yang diajukan kepada hakim
maka hakim bersifat menunggu datangnya perkara yang diajukan kepadanya;
4) Asas hakim tidak boleh menolak untuk memeriksa dan mengadili sesuatu
perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukumnya tidak atau kurang jelas;
5) Asas hakim dianggap tahu akan hukum (ius curia novit);
6) Asas terbuka untuk umum, asas ini dimaksudkan untuk lebih menjamin
objektivitas kekuasaan kehakiman kecuali apabila undangundang menentukan
lain.
5
3) Tinjauan Tentang Mahkamah Konstitusi
Berdasarkan ketentuan Pasal 24 ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945 juncto
Pasal 2 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi,
kedudukan Mahkamah Konstitusi adalah :
a) Merupakan salah satu lembaga Negara yang melakukan kekuasaan
kehakiman;
b) Merupakan kekuasaan kehakiman yang merdeka; dan
c) Sebagai penegak hukum dan keadilan.
Wewenang Mahkamah Konstitusi berdasarkan Pasal 10 Undang-Undang
Nomor 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagai berikut :
a) Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan
terakhir yang putusannya bersifat final untuk :
1) Menguji Undang Undang terhadap Undang Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945;
2) Memutus sengketa kewenangan lembaga negara;
3) Kewenangannya diberikan oleh Undang Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945;
4) Memutus pembubaran partai politik; dan
5) Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
b) Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat DPR bahwa
Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga telah melakukan pelanggaran
hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak
pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, dan/atau tidak lagi memenuhi
syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud
6
dalam Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Ketentuan sebagaimana dimaksud pada Ayat (2) berupa :
1) Pengkhianatan terhadap negara adalah tindak pidana terhadap keamanan
negara sebagaimana diatur dalam undang undang;
2) Korupsi dan penyuapan adalah tindak pidana korupsi atau penyuapan
sebagaimana diatur dalam undang undang;
3) Tindak pidana berat lainnya adalah tindak pidana yang diancam dengan
pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih;
4) Perbuatan tercela adalah perbuatan yang dapat merendahkan martabat
Presiden dan/atau Wakil Presiden. tidak lagi memenuhi syarat sebagai
Presiden dan/atau Wakil Presiden adalah syarat sebagaimana ditentukan
dalam Pasal 6 Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945.
b. Tinjauan Tentang Putusan
Putusan merupakan pintu masuk kepastian hukum dan keadilan para pihak
yang berperkara yang diberikan oleh hakim berdasarkan alat bukti dan
keyakinannya. Undang-Undang No 48 Tahun 2009 Tentang kekuasaan Kehakiman
mengatur Unsur-unsur penting yang menjadi syarat untuk dapat disebut sebagai
putusan sebagai berikut :
1) Putusan diucapkan oleh pejabat Negara yang diberi kewenangan oleh
Peraturan Perundang-undangan;
2) Putusan diucapkan dalam persidangan perkara yang terbuka untuk umum;
3) Putusan yang dijatuhkan sudah melalui proses dan prosedural hukum;
4) Putusan yang dibuat dalam bentuk yang tertulis;
5) Putusan bertujuan untuk menyelesaikan atau mengakhiri suatu perkara
7
1) Putusan Hakim
Putusan hakim merupakan hasil proses peradilan dipengadilan. Putusan
hakim
di
pengadilan
mencerminkan
kepastian
hukum,
keadilan
dan
kemanfaatan.
2) Putusan Mahkamah Konstitusi
Mahkamah konstitusi dalam memutus perkara harus didasarkan pada UUD
1945 dengan berpegang pada alat bukti dan keyakinan masing-masing hakim
konstitusi.alat bukti yang dimaksud sekurang-kurangnya dua (2) seperti hakim
dalam memutus perkara tindak pidana.
Dalam putusan Mahkamah Konstitusi harus memuat fakta yang terungkap
dalam persidangan dan pertimbangan hukum yang menjadi dasar putusan apakah
putusan menolah permohonan,permohonan tidak diterima atau permohonan
dikabulkan.dalam memutuskan suatu permohonan,mahkamah konstitusi harus
menempuh musyawarah yang diputuskan hakim mahkamah konstitusi yang
berjumlah 9 orang dalam siding pleno,yang jika tidak tercapai kata musyawarah
maka putusan diambil melalui voting atau suara terbanyak.Hakim konstitusi
yang berbeda pendapat tetap dimuat didalam putusan yang disebut dissenting
opinion.
c. Tinjauan Tentang Upaya Hukum
Menurut ketentuan dalam Pasal 1 angka 12 KUHAP, yang dimaksud dengan
upaya hukum adalah “Hak terdakwa atau penuntut umum untuk tidak menerima
putusan pengadilan yang berupa perlawanan atau banding atau kasasi
1) Upaya Hukum Biasa
Untuk memperbaiki kesalahan yang dibuat oleh instansi sebelumnya,
untuk kesatuan pengadilan dan sebagai perlindungan terhadap tindak sewenangwenang hakim atau pengadilan.Upaya hukum biasa terdiri dari :
a) Banding
Apabila salah satu pihak dalam suatu perkara tidak menerima suatu
putusan pengadilan negeri karena merasa hak-haknya terserang oleh adanya
putusan itu atau menganggap putusan itu kurang benar atau kurang adil,
Tujuan banding itu sendiri ada dua, antara lain :
8
1) Menguji putusan pengadilan tingkat pertama tentang ketepatannya;
2) Untuk pemeriksaan baru untuk keseluruhan perkara itu
b) Kasasi
Upaya Hukum Kasasi adalah hak terdakwa atau penuntut umum untuk
meminta pembatalan putusan Pengadilan Negeri atau Pengadilan Tinggi
karena tidak berwenang atau melampaui batas kewenangan. Tujuan kasasi
adalah :
1) Melakukan koreksi terhadap kesalahan putusan pengadilan di tingkat
bawah.
2) Menciptakan dan membentuk hukum baru.
3) Melakukan pengawasan untuk menciptakan keseragaman penerapan
hukum.
2) Upaya Hukum Luar Biasa
Merupakan pengecualian dan penyimpangan dari upaya hukum biasa,
upaya banding dan kasasi. Upaya hukum luar biasa bertujuan untuk mengoreksi
serta meluruskan kesalahan yang terdapat dalam putusan tersebut dan pelurusan
kesalahan tersebut dimaksudkan demi tegaknya hukum dan kebenaran serta
keadilan. Upaya hukum Luar Biasa terdiri dari:
a) Kasasi Demi Kepentingan Hukum
Kasasi demi kepentingan hukum hanya dapat diajukan terhadap putusan
pengadilan negeri dan pengadilan tinggi yang telah berkekuatan hukum tetap,
hal ini berbeda dengan peninjauan kembali, tidak hanya terbatas pada putusan
pengadilan negeri dan atau putusan pengadilan tinggi, tetapi juga terhadap
putusan Mahkamah Agung.
b) Peninjauan Kembali
Putusan pengadilan yang dapat dimintakan peninjauan kembali yaitu:
1) Dapat diajukan terhadap semua putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap;
2) Dapat diajukan terhadap semua putusan pengadilan;
3) Kecuali terhadap putusan bebas dan lepas dari segala tuntutan hukum.
9
Pasal 263 ayat (1) menyatakan bahwa orang yang berhak mengajukan
peninjauan kembali yaitu terpidana atau ahli warisnya. Sehingga jaksa
penuntut umum tidak berhak mengajukan permintaan peninjauan kembali
karena undang-undang tidak memberikan hak kepada penuntut umum guna
melindungi kepentingan terpidana
d. Tinjauan Tentang Peninjauan Kembali
1) Peninjauan Kembali Putusan
Perundang-undangan
yang
mengatur
Peninjauan
“Peninjauan Kembali“ diterjemahkan dari kata herziening.
Kembali
Kata
Perundang-
undangan yang mengatur Peninjauan Kembali ( PK ) adalah sebagai berikut :
a) Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman yang
dimuat dalam pasal 23 ayat (1),.
b) Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang KUHAP yang dimuat dalam
pasal 263.
c) Undang-Undang No. 5 Tahun 2004 Tentang Mahkamah Agung yang dimuat
dalam pasal 34.
2) Peninjauan Kembali berdasarkan KUHAP
Berdasarkan ilmu hukum pidana pengajuan Peninjauan Kembali harus
memenuhi syarat formil dan syarat materiil sebagaimana ditentukan KUHAP.
a) Syarat Formil
Syarat- syarat formil bagi pengajuan Peninjauan Kembali adalah :
1) Adanya putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.
2) Putusan pengadilan tersebut memuat pemidanaan, artinya bukan
putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum.
3) Diajukan oleh terpidana atau ahliwarisnya.
4) Diajukan kepada Panitera Pengadilan yang telah memutus perkara
tersebut dalam tingkat pertama (Pasal 263 ayat (2) jo. Pasal 264 ayat (1)
KUHAP).
5) Terpidana atau ahli warisnya, belum pernah mengajukan PK (Pasal 268
ayat (3) KUHAP).
10
b) Syarat Materiil
Syarat-syarat
materiil
pengajuan
Peninjauan
Kembali
yang
merupakan dasar/alasan pengajuan Peninjauan Kembali yang ditentukan
undang-undang sebagai berikut :
1) Adanya novum yakni bukti atau keadaan baru yang belum pernah
diajukan dalam pemeriksaan perkara.
2) Adanya 2 (dua) atau lebih putusan pengadilan yang saling bertentangan.
3) Adanaya kekeliruan/kekhilafan Hakim secara nyata (Pasal 263 ayat (2)
KUHAP).
3) Tata Cara Peninjauan Kembali
Tata cara pengajuan Peninjauan Kembali diatur dalam Pasal 264 KUHAP
yang dapat dijelaskan sebagai berikut :
a) Permintaan Peninjauan Kembali diajukan kepada panitera Pengadilan Negeri
yang memutus perkara dalam tingkat pertama.
b) Permintaan Peninjauan Kembali disertai alasan-alasannya. Alasan-alasan
tersebut dapat diutarakan secara lisan yang dicatat oleh panitera yang
menerima Peninjauan Kembali tersebut.
c) Permintaan Peninjauan Kembali oleh panitera ditulis dalam surat keterangan
yang ditandatangani panitera serta pemohon, dicatat dalam daftar dan
dilampirkan pada berkas perkara.
d) Ketua Pengadilan Negari menunjuk hakim yang tidak memeriksa perkara
semula yang dimintakan Peninjauan Kembali, untuk memeriksa apakah
permintaan peninjauan kembali itu memenuhi alasan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 263 ayat (2) KUHAP.
e) Dalam pemeriksaan itu pemohon dan penuntut umum ikut hadir dan dapat
menyampaikan pendapatnya.
f)
Atas pemeriksaan tersebut dibuat berita acara pemeriksaan yang
ditandatangani oleh hakim, penuntut umum, pemohon dan panitera dan
berdasarkan berita acara tersebut dibuat berita acara pendapat yang
ditandatangani hakim dan panitera.
11
g) Ketua pengadilan
melanjutkan permintaan Peninjauan Kembali yang
dilampiri berkas perkara semula, berita acara pemeriksaan dan berita acara
pendapat kepada Mahkamah Agung yang tembusan kata pengantarnya
sampai kepada pemohon dan penuntut umum.
4) Asas-asas yang ditentukan dalam upaya hukum Peninjauan Kembali
Asas-asas yang melekat dalam upaya hukum Peninjauan Kembali ada
beberapa macam, asas-asas tersebut masih perlu peningkatan dan dapat
dipergunakan sebagai pedoman dalam proses dan pelaksanaan Peninjauan
Kembali.
a) Pidana yang dijatuhkan tidak boleh melebihi putusan semula.
Asas tersebut diatur dalam Pasal 266 ayat (3) KUHAP yang
menegaskan bahwa pidana yang dijatuhkan dalam putusan Peninjauan
Kembali tidak boleh melebihi pidana yang telah dijatuhkan dalam putusan
semula.
b) Permintaan Peninjauan Kembali tidak menangguhkan pelaksanaan putusan.
Asas tersebut tidak mutlak menangguhkan maupun menghentikan
pelaksanaan eksekusi. Peninjauan Kembali tidak merupakan alasan yang
menghambat apalagi menghapus pelaksanaan
pelaksanaan putusan
sehingga proses permohonan Peninjauan Kembali dapat berjalan namun
pelaksanaan putusan juga tetap berjalan.
c) Permintaan Peninjauan Kembali hanya dapat dilakukan satu kali.
Pasal 283 ayat (3) KUHAP membenarkan atau memperkenankan
Peninjauan Kembali atas suatu perkara hanya satu kali saja. Asas ini
disebut sebagai asas Nebis In Idem yang dikemukakan dalam Pasal 76
KUHP, sedang dalam perkara perdata diatur dalam Pasal 1918 BW.
5) Putusan Peninjauan Kembali
Putusan Mahkamah Agung dalam hal Peninjauan Kembali dapat berupa :
a) Menolak permintaan Peninjauan Kembali;
b) Menerima permintaan Peninjauan Kembali.
12
Dalam hal ini Mahkamah Agung membenarkan alasan pemohon,
membatalkan putusan yang dimintakan Peninjauan Kembali dan mengadili
sendiri serta menjatuhkan putusan yang dapat berupa:
a) Putusan bebas;
b) Putusan lepas dari segala tuntutan hukum;
c) Putusan tidak dapat menerima tuntutan Penuntut Umum;
d) Putusan dengan menerapkan ketentuan pidana yang lebih ringan. Pidana
yang dijatuhkan tidak boleh melebihi pidana yang telah dijatuhkan dalam
putusan yang semula.
6) Prinsip umum Peninjauan Kembali
a) Pidana yang dijatuhkan tidak boleh melebihi putusan semula
Prinsip ini diatur dalam Pasal 266 ayat 3 KUHAP yang berbunyi
Pidana yang dijatuhkan dalam putusan peninjauan kembali tidak boleh
melebihi pidana yang telah dijatuhkan dalam putusan semula.
b) Peninjauan Kembali tidak menangguhkan atau menghentikan eksekusi
Secara normatif undang-undang mengatur bahwa Peninjauan Kembali
tidak menangguhkan atau menghentikan eksekusi (pelaksanaan putusan).
c) Yang dapat mengajukan Peninjauan Kembali
Pasal 263 ayat 1 KUHAP menegaskan bahwa yang berhak
mengajukan Peninjauan Kembali ialah terpidana atau ahli warisnya.
13
B. Metode Penelitian
Dalam penelitian ini,metode yang akan di pakai penulis adalah sebagai berikut
1. Jenis penelitian
Jenis penelitian ini adalah penilitian hukum Yuridis normatif,dengan metode
pendekatan kualitatif penelitian normative dapat di artikan sebagai penelitian yang di
lakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data dan bahan hukum tersier.
2. Jenis Data
Jenis data yang di gunakan dalam metode penelitian ini adalah data sekunder yaitu
data dari bahan-bahan kepustakaan yang antara lain meliputi : buku-buku, laporan
literature,peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan permasalahan yang di
teliti.
3. Sumber Data
Sumber data yang akan di gunakan dalam penelitian normative adalah sumber data
sekunder yang meliputi bahan-bahan kepustakaan yang dapat berupa buku-buku, laporan
hasil penelitian, literature, peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan masalah
yang di teliti. Sumber data sekunder yang digunakan dalam penelitian ini meliputi :
a. Bahan buku primer
b. Bahan hukum sekunder
4. Teknik pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu studi dokumen
atau pengumpulan data sekunder berupa bahan-bahan kepustakaan yang terdiri dari bukubuku, laporan hasil penelitian, peraturan perundang-undangan serta pengumpulan data
melalui media internet yang berkaitan dengan masalah yang di teliti.
5. Teknik Analisis Data
Teknik analisis data yang di lakukan penulis adalah dengan menggunakan cara
content analysis (analisis isi) dan sahih data dengan memperhatikan kontennya. Penulis
menggunakan content analysis terhadap peraturan perundang-undangan mengenai
peninjauan kembali yang sesuai dengan permasalahan yang di teliti.
14
C. Hasil dan Pembahasaan
1. Pertimbangan Putusan Mahkamah Kostitusi Nomor 34/PUU-XI/2013 yang
Diajukan Oleh Antasari Azhar Mengenai Pembatasan Upaya Hukum Peninjauan
Kembali
Dasar pengajuan Peninjauan Kembali diatur dalam Pasal 263 ayat (2) KUHAP,
yang menjadi titik pembahasan dalam tulisan ini adalah Pasal 263 ayat (2) huruf a yaitu
permintaan Peninjauan Kembali dilakukan atas dasar :
a. apabila terdapat keadaan baru yang menimbulkan dugaan kuat, bahwa jika keadaan itu
sudah diketahui pada waktu sidang masih berlangsung, hasilnya akan berupa putusan
bebas atau putusan lepas dari segala tuntutan hukum atau tuntutan penuntut umum
tidak dapat diterima atau terhadap perkara itu diterapkan ketentuan pidana yang lebih
ringan.
Pengajuan Peninjauan Kembali dapat dilakukan apabila ada novum, jika ada suatu
perkara pidana dimana terpidana atau ahli warisnya telah mengajukan Peninjauan
Kembali dan kemudian diterima ataupun ditolak oleh Mahkamah Agung maka pada suatu
waktu apabila terpidana atau ahli warisnya menemukan novum untuk perkaranya maka
terpidana atau ahli warisnya tidak boleh mengajukan Peninjauan Kembali kembali ini
sesuai dengan ketentuan Pasal 268 ayat (3) KUHAP. Namun semua telah berubah ketika
dikeluarkannya putusan Nomor 34/PUU-XI/2013 oleh Mahkamah Konstitusi yang
memutuskan bahwa Pasal 283 ayat (3) tidak mengikat lagi dan permohonan Peninjauan
Kembali dapat dilakukan lebih dari sekali.
Dasar pertimbangan Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan judicial
riview Pasal 268 ayat (3) antara lain :
a. Pasal tersebut bertentangan dengan UUD Negara Republik Indonesia 1945 yang
secara umum memusatkan bahwa Pasal 268 ayat (3) bertentangan dengan asas
keadilan yang begitu dijunjung tinggi oleh kekuasaan kehakiman Indonesia untuk
menegakkan hukum dan keadilan;
b. pelanggaran HAM dimana kebebasan untuk mengembangkan diri dan mendapat
pengakun pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta
perlakuan yang sama di hadapan hukum telah dicederai dengan adanya penerapan
Pasal 268 ayat (3) KUHAP sebagai pembatasan Peninjauan Kembali;
15
c. Peninjauan Kembali secara historis-filosofis merupakan upaya hukum yang lahir demi
melindungi kepentingan terpidana;
d. Peninjauan Kembali bertujuan untuk menemukan keadilan dan kebenaran materiil.
Keadilan tidak dapat dibatasi oleh waktu atau ketentuan formalitas yang membatasi
Peninjauan Kembali hanya dapat diajukan satu kali. Kemungkinan setelah diajukannya
Peninjauan Kembali dan diputus, ada keadaan baru (novum) yang substansial baru
ditemukan saat Peninjauan Kembali sebelumnya belum ditemukan.
e. Peninjauan Kembali sebagai upaya hukum luar biasa yang diatur dalam KUHAP
haruslah dalam kerangka untuk menegakkan hukum dan keadilan. Mahkamah
Konstitusi menegaskan bahwa upaya pencapaian kepastian hukum sangat layak
dibatasi. Namun, tak demikian upaya pencapaian keadilan. Sebab, keadilan kebutuhan
manusia yang sangat mendasar lebih mendasar daripada kepastian hukum.
Hakim merupakan pelaksana kekuasaan kehakiman untuk menegakkan hukum dan
keadilan, dalam melaksanakan kekuasaan kehakiman hakim harus memahami tugas dan
kewajibannya. Tugas hakim menegakkan hukum berdasarkan pancasila dengan jalan
menafsirkan hukum dan mencari dasar-dasar serta asas-asas yang menjadi landasannya,
melalui perkara-perkara yang dihadapkan kepada hakim. Sehingga putusan hakim dapat
mencerminkan kepastian, manfaat dan keadilan.
Peninjauan Kembali secara historis filosofis merupakan upaya hukum demi
melindungi kepentingan terpidana. Menurut Mahkamah Konstitusi, Peninjauan Kembali
berbeda dengan banding atau kasasi sebagai upaya hukum biasa. Upaya hukum biasa
harus dikaitkan dengan kepastian hukum dengan menentukan limitasi waktu. Sedangkan
Peninjauan Kembali sebagai upaya hukum luar biasa bertujuan menemukan keadilan dan
kebenaran materiil. Keadilan tidak dapat dibatasi waktu karena mungkin saja setelah
diajukan Peninjauan Kembali dan diputus, ada novum baru ditemukan, ada kemungkinan
novum dapat muncul dalam jangka waktu yang tidak lama maupun dalam jangka waktu
yang cukup atau sangat lama. Hal tersebut dimungkinkan berdasarkan perkembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi.
Secara umum KUHAP bertujuan untuk melindungi HAM dari kesewenangwenangan negara, terutama terkait dengan hak hidup dan kebebasan sebagai hak
fundamental bagi manusia sebagaimana UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
16
Upaya pencapaian kepastian hukum sangat layak untuk diadakan pembatasan, namun
upaya pencapaian keadilan hukum tidaklah demikian, karena keadilan merupakan
kebutuhan manusia yang sangat mendasar, lebih mendasar dari kebutuhan manusia
tentang kepastian hukum. Pasal 28 J ayat (2) UUD Negara Republik Indonesia Tahun
1945 bahwa :
“Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada
pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud sematamata untuk
menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk
memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama,
kemanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.
Pembatasan pada Pasal 28 J ayat (2) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945
tidak dapat diterapkan untuk membatasi pengajuan Peninjauan Kembali hanya satu kali
karena pengajuan Peninjauan Kembali dalam perkara pidana sangat terkait dengan HAM
yang paling mendasar yaitu menyangkut kebebasan dan kehidupan manusia. Pengajuan
Peninjauan Kembali tidak terkait pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan
orang lain dan tidak terkait pula pemenuhan tuntutan yang adil sesuai pertimbangan
moral, nilai-nilai agama, kemanan, dan ketertiban umum dalam masyarakat yang
demokratis. Dalam ilmu hukum terdapat asas litis finiri oportet yakni setiap perkara harus
ada akhirnya. Namun menurut Mahkamah Konstitusi hal itu terkait kepastian hukum,
sedangkan untuk keadilan dalam perkara pidana tidak secara rigid dapat diterapkan
karena dengan membolehkan Peninjauan Kembali hanya satu kali, manakala
diketemukan novum justru bertentangan dengan asas keadilan yang begitu dijunjung
tinggi oleh kekuasaan kehakiman untuk menegakkan hukum dan keadilan serta
konsekuensi dari negara hukum.
2. Implikasi Yuridis Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 34/PUU-XI/2013
Mengenai Pembatalan Pasal 268 Ayat (3) KUHAP
Terkait dengan Implikasi Yuridis Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 34/PUUXI/2013 mengenai pembatalan Pasal 268 Ayat (3) KUHAP bahwa Pasal 268 ayat (3)
KUHAP menyatakan bahwa “Permintaan peninjauan kembali atas suatu putusan hanya
dapat diajukan satu kali saja”, bertentangan dengan UUD Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Atas dasar putusan
17
Mahkamah Konstitusi dapat diketahui bahwa ketentuan dalam UUD Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 sebagai dasar acuan membatalkan pasal yang diajukan judicial
review. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 34/PUU-XI/2013 bersifat final and
binding, berdasar Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang
Mahmakah Konstitusi menyatakan bahwa Putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final,
yakni Putusan Mahkamah Konstitusi langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak
diucapkan dan tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh. Sifat final dalam putusan
Mahkamah Konstitusi dalam undang-undang ini mencakup pula kekuatan hukum
mengikat (final and binding). Putusan Mahkamah Konstitusi yang mengabulkan uji
materiil pasal 268 ayat (3) KUHAP langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak
diucapkan dan tidak ada upaya lain yang dapat ditempuh karena Mahkamah Konstitusi
merupakan pengadilan konstitusi pertama dan terakhir, dengan sendirinya Putusan
Mahkamah Konstitusi telah mengubah ketentuan KUHAP tentang Peninjauan Kembali
sehingga sejak dibacakan Putusan Mahkamah Konstitusi sudah mulai berlaku dan setiap
penyelenggara negara serta warga negara tidak dapat lagi menjadikan sebagai dasar
hukum kebijakan atau tindakan.
Peninjauan Kembali pada prinsipnya merupakan upaya hukum luar biasa
(extraordinary remedy) terhadap putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap
(inkracht van gewisjde), bertujuan untuk memberikan kepastian hukum, dan bisa
diajukan oleh pihak yang berperkara. Peninjauan Kembali merupakan hak terpidana
selama menjalani masa pidana di dalam lembaga pemasyarakatan. Ada tiga alasan
permintaan Peninjauan Kembali berdasarkan Pasal 263 ayat (2) KUHAP, yaitu fakta
adanya novum, fakta terdapat putusan yang saling bertentangan, atau fakta adanya
kekhilafan/ kekeliruan nyata dari majelis hakim.
Kedudukan hukum serta kekuatan putusan Mahkamah Konstitusi dikaitkan dengan
peraturan perundang-undangan merupakan putusan konstitusional yang dapat dianggap
sederajat dengan undang-undang akan tetapi hanya berlaku satu kali sebelum undangundang mengatur lebih lanjut. Karena putusan Mahkamah Konstitusi dapat membatalkan
produk perundang-undangan, pada pasal 57 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011
tentang Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa :
18
(1) Putusan Mahkamah Konstitusi yang amar putusannya menyatakan bahwa materi
muatan ayat, pasal, dan/atau bagian undang-undang bertentangan dengan UndangUndang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945, materi, muatan ayat, pasal, dan/atau
bagian undang-undang tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
(2) Putusan Mahkamah Konstitusi yang amar putusannya menyatakan bahwa
pembentukan undang-undang dimaksud tidak memenuhi ketentuan pembentukan
undang-undang berdasarkan UndangUndang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945,
undang-undang tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
(3) Putusan Mahkamah Konstitusi yang mengabulkan permohonan wajib dimuat dalam
Berita Negara Republik Indonesia dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh)
hari sejak putusan diucapkan.
Putusan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan bertentangan dengan UUD Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 serta tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, dalam
hal ini terkait Pasal 268 ayat (3) KUHAP setelah dibacakan oleh Mahkamah Konstitusi
menjadi tidak berlaku lagi. Pasal 58 Undang-Undang Mahkamah Konstitusi menyatakan
“Undang-Undang yang diuji oleh Mahkamah Konstitusi tetap berlaku, sebelum ada
putusan yang menyatakan bahwa undang-undang tersebut bertentangan dengan UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”. Jadi KUHAP tetap berlaku,
tetapi pasal 268 ayat (3) tentang Peninjauan Kembali hanya sekali sudah tidak berlaku
lagi karena adanya Putusan Mahkamah Konstitusi, sehingga Putusan Mahkamah
Konstitusi menggantikan kedudukan Pasal 268 ayat (3) KUHAP.
Putusan MK No. 34/ PUU-XI/2013 yang mengeliminasi ketentuan Pasal 268 ayat
(3) KUHAP bersifat conditionally constitutional. Hal ini tidak dapat diartikan bahwa
Peninjauan Kembali dapat diajukan beberapa kali secara serta merta untuk ketiga alasan
pengajuan Peninjauan Kembali sebagaimana diatur dalam Pasal 263 ayat (2) KUHAP.
Peninjauan Kembali dapat diajukan lebih dari satu kali hanya diperbolehkan apabila
ditemukan novum baru berdasarkan pemanfaatan iptek dan teknologi. Dengan demikian,
pengajuan PK ini tidak akan mengganggu keseimbangan antara kepastian hukum dan
keadilan, karena kepastian hukum pada prinsipnya sudah mulai tercipta sejak ada putusan
inkracht van gewisjde.
Putusan Mahkamah Konstitusi terdapat perbedaan pendapat dengan aturan yang
sudah ada sebelumnya antara lain :
19
a. Pasal 24 ayat (2) UndangUndang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman yang menyatakan bahwa terhadap putusan peninjauan kembali tidak
dapat dilakukan peninjauan kembali;
b. Pasal 66 ayat (1) UndangUndang Mahkamah Agung yang menyatakan bahwa
permohonan peninjauan kembali dapat diajukan hanya satu kali;
c. SEMA Nomor 7 Tahun 2014 tentang pengajuan permohonan Peninjauan Kembali
dalam perkara pidana pada angka 3 menyatakan bahwa Mahkamah Agung
berpendapat permohonan peninjauan kembali dalam perkara pidana dibatasi hanya
satu kali.
Peristiwa hukum yang terjadi dalam pengajuan Peninjauan Kembali pidana setelah
adanya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 34/PUU-XI/2013 adalah Peninjauan
Kembali dapat diajukan lebih dari satu kali, tetapi terdapat perbedaan atau konflik norma
atau konflik aturan dengan peraturan yang sudah ada. Dalam hal ini Putusan Mahkamah
Konstitusi berlaku menggantikan kedudukan Pasal 268 ayat (3) KUHAP, sedangkan
untuk perkara perdata dan tata usaha negara tetap berlaku Pasal 24 ayat (2) UndangUndang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman serta Pasal 66 ayat (1)
Undang-Undang Mahkamah Agung. Berdasarkan Pasal 76 Undang-Undang Mahkamah
Agung yang menyatakan bahwa dalam pemeriksaan permohonan peninjauan kembali
putusan perkara pidana yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap digunakan acara
peninjauan kembali sebagaimana diatur dalam kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana. Dari pasal ini terlihat bahwa untuk Peninjauan Kembali perkara pidana telah
dikhususkan dengan menggunakan acuan KUHAP. Sedangkan untuk Peninjauan
Kembali perkara perdata terdapat pada Pasal 67 Undang-Undang Mahkamah Agung.
Penafsiran atau interpretasi yang dilakukan oleh hakim Mahkamah Konstitusi dalam
perkara Nomor 34/PUU-XI/2013 yang diajukan oleh terpidana Antasari Azhar adalah
dengan menafsirkan kata dalam Pasal 268 ayat (3) KUHAP yang secara eksplisit
Peninjauan Kembali dapat dilakukan lebih dari satu kali, sedangkan dasar Peninjauan
Kembali hanya dapat dilakukan satu kali juga terdapat pada undang-undang kekuasaan
kehakiman. Undang-undang kekuasaan kehakiman merupakan peraturan perundangundangan yang mana keberlakuannya mengikat secara umum (lex generalis) dalam
pengaturan Peninjauan Kembali baik perdata ataupun tata usaha negara, sedangkan untuk
20
Peninjauan Kembali pidana telah dikhususkan (lex spesialis) dalam KUHAP yang mana
terdapat pada Pasal 263 sampai 269 KUHAP. Undang-undang kekuasaan kehakiman
termasuk dalam sumber hukum formal undang-undang, sedangkan putusan Mahkamah
Konstitusi merupakan sumber hukum formal yurisprudensi yang erat kaitannya dengan
putusan hakim, hakim tidak dapat dipengaruhi oleh cabang kekuasaan lainnya baik
eksekutif ataupun legislatif karenanya putusan hakim harus dianggap benar sesuai asas
res judicata pro veritate habetur ketika terjadi pertentangan antara undang-undang
dengan putusan hakim maka putusan hakim yang digunakan sebagai dasar acuan.
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 34/PUU-XI/2013 berlaku sejak diucapkan dalam
sidang terbuka tanggal 6 Maret 2014, yang mana dimaksudkan bahwa Peninjauan
Kembali pidana dapat diajukan lebih dari satu kali, meskipun Mahkamah Agung
mengeluarkan SEMA Peninjauan Kembali Pidana pada tanggal 31 Desember 2014 yang
menyatakan Peninjauan Kembali hanya dapat diajukan satu kali tidak menghapus
ketentuan yang telah diputuskan oleh putusan Mahkamah Konstitusi karena putusan
Mahkamah Konstitusi bersifat erga omnes yakni mengikat secara umum tidak hanya bagi
para pihak yang berperkara tetapi juga seluruh warga negara Indonesia karena pada
hakikatnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 34/PUU-XI/2013 mengatakan bahwa
Pasal 268 ayat (3) KUHAP tidak mempunyai kekuatan hukum tetap, dimana KUHAP itu
sendiri berlaku bagi seluruh warga negara Indonesia tanpa kecuali.
Putusan Mahkamah Konstitusi tidak hanya berlaku terhadap pihak-pihak yang
secara langsung berperkara, tetapi juga secara keseluruhan terhadap warga negara yang
tunduk terhadap konstitusi. Hal ini dikarenakan sifat norma undang-undang yang diuji
dan norma yang dijadikan dasar pengujian adalah norma yang bersifat umum (abstract
and impersonal). Oleh karena itu, putusan Mahkamah Konstitusi sudah semestinya dapat
berlaku mengikat terhadap seluruh warga negara Indonesia sejak putusan itu dikeluarkan.
SEMA tidak termasuk dalam peraturan perundang-undangan, tetapi hanya sebagai
peraturan kebijakan yang berlaku bagi pihak internal dalam hal ini berlaku bagi hakim
Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi tingkat Banding bukan mengatur dan mengikat
warga negara Indonesia secara keseluruhan, dengan demikian SEMA telah melanggar
prinsip pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik karena mengatur materi
yang bukan kewenangannya. Dikeluarkannya SEMA dianggap sebagai bentuk
21
ketidakpatuhan terhadap putusan Mahkamah Konstitusi, Mahkamah Konstitusi
menganggap
bahwa
SEMA
Peninjauan
Kembali
pidana
ini
sebagai
bentuk
pembangkangan dari konstitusi, pembatasan pengajuan Peninjauan Kembali lebih dari
satu kali melanggar prinsip keadilan dan perlindungan HAM. Undang-undang kekuasaan
kehakiman merupakan peraturan perundangan organik yang dibentuk berdasarkan
ketentuan dalam UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tentang kekuasaan
kehakiman. Undang-undang organik bertujuan untuk menjabarkan pasal-pasal UUD
Negara Republik Indonesia Tahun 1945, penjabaran yang ada dalam teks undang-undang
kekuasaan kehakiman tetap atau sulit berubah, sementara masyarakat terus berubah,
undang-undang selalu tertinggal dengan peristiwa ataupun fakta maka ketika diajukan
judicial review ke Mahkamah Konstitusi dengan kewenangan constitutional review
menimbulkan sebuah kewenangan baru dengan menafsirkan konstitusi atau sering disebut
constitutional court sebagai penjaga konstitusi berdasarkan kewenangan dalam memutus
apakah sebuah produk perundang-undangan telah sesuai dengan konstitusi atau tidak.
Hak untuk memberikan tafsir terhadap konstitusi maupun produk hukum agar
memberikan penafsiran terhadap text konstitusi memiliki kekuatan hukum yang dapat
diakui seluruh elemen negara, maka peradilan diberikan kewenangan memberikan tafsir.
Oleh karena itu dibutuhkan penafsir undang-undang yang memahami tujuan hukum dan
keputusannya memiliki legitimasi yang mengikat maka diserahkan wewenang tersebut
kepada lembaga peradilan, apalagi dalam hal ini Mahkamah Konstitusi merupakan
tempat terakhir pencari keadilan pengajuan undang-undang terhadap UUD Negara
Republik Indonesia Tahun 1945. Putusan Mahkamah Konstitusi bersifat erga omnes
khususnya dalam pengujian Pasal 268 ayat (3) KUHAP terhadap UUD Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa pasal tersebut bertentangan dan tidak
mempunyai kekuatan hukum mengikat, KUHAP sendiri merupakan perundang-undangan
yang harus ditaati oleh seluruh warga negara Indonesia, dengan dinyatakan tidak
mempunyai kekuatan hukum mengikat maka Pasal 268 ayat (3) KUHAP juga tidak
berlaku lagi bagi seluruh warga negara Indonesia, yang secara eksplisit dapat mengajukan
Peninjauan Kembali lebih dari satu kali.
Putusan Mahkamah Konstitusi sebagai negative legislator, pasti memiliki
implikasi karena mempengaruhi apa yang menjadi hukum dan apa yang tidak menjadi
22
hukum. Dalam konteks Putusan Mahkamah Konstitusi No. 34/PUU-XI/2013 terkait
pembatalan pembatasan permohonan pengajuan Peninjauan Kembali dalam pasal 268
ayat (3) KUHAP yang menjadi inti putusan adalah bahwa pasal yang mengatur tentang
permohonan pengajuan Peninjauan Kembali yang dimohonkan pemohon bertentangan
dengan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan sudah tidak memiliki kekuatan
hukum mengikat. Sejak Putusan Mahkamah Konstitusi dibacakan maka Peninjauan
Kembali dalam perkara pidana dapat diajukan lebih dari satu kali. Sedangkan untuk
undang-undang kekuasaan kehakiman pada pasal 24 ayat (2) yang menyatakan Terhadap
peninjauan kembali tidak dapat diajukan peninjauan kembali, berlaku bagi perkara
perdata dan tata usaha negara.
D. Kesimpulan dan Saran
1. Kesimpulan
Dalam penelitian ini maka dapat ditarik simpulan bahwa :
a. Pertimbangan putusan mahkamah konstitusi Nomor 34/PUU-XI/2013 yang
diajukan oleh antasari azhar mengenai pembatasan upaya hukum peninjauan
kembali adalah :
1) pasal 268 ayat (3) bertentangan dengan UUD 1945/bertentangan dengan asas
keadilan yang begitu dijunjung tinggi oleh kekuasaan kehakiman Indonesia untuk
menegakan hukum dan keadilan.
2) Pelanggaran HAM dimana kebebasan untuk mengembangkan diri dan mendapat
pengakuan ,jaminan,perlindungan,dan kepastian hukum yang adil serta pengakuan
yang sama dihadapan hukum telah dicederai dengan adanya penerapan pasal 268
ayat (3) KUHAP sebagai pembatasan peninjauan kembali.
3) peninjauan kembali secara historis-filosofis merupakan upaya hukum yang lahir
demi melindungi kepentingan terpidana,
4) peninjauan kembali bertujuan untuk menemukan keadilan dan kebenaran materiil,
5) peninjauan kembali sebagai upaya hukum luar biasa yang diatur dalam KUHAP
haruslah dalam kerangka untuk menegakan hukum dan keadilan.
23
b. Implikasi yuridis putusan mahkamah konstitusi Nomor 34/PUU-XI/2013
mengenai pembatalan pasal 268 ayat (3) KUHAP
Putusan mahkamah konstitusi nomor 34/PUU-XI/2013 bersifat final dan
mengikat,langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dan tidak ada
upaya hukum yang dapat ditempuh, Maka dapat ditarik simpulan bahwa Peninjauan
Kembali hanya dapat dilakukan satu kali secara umum terdapat pada Undang-Undang
Kekuasaan Kehakiman (lex generalis) sedangkan untuk perkara pidana terdapat pada
KUHAP (lex spesialis) sehingga untuk perkara pidana, Peninjauan Kembali dapat
diajukan lebih dari satu kali dengan syarat adanya novum atau bukti baru. Serta
SEMA yang dikeluarkan Mahkamah Agung tentang Peninjauan Kembali pidana
seharusnya tidak mengikat seluruh warga negara Indonesia. Karena pada hakikatnya
SEMA hanya mengikat bagi pihak internal yang mana SEMA hanya merupakan
peraturan kebijakan sedangkan putusan Mahkamah Konstitusi merupakan putusan
yang bersifat erga omnes yaitu mengikat kepada publik tidak hanya bagi pihak yang
berperkara tetapi secara umum. Mahkamah Konstitusi berhak menguji Pasal 268 ayat
(3) KUHAP dimana KUHAP sendiri keberlakuannya terhadap semua pihak, seluruh
warga negara Indonesia, tidak terkecuali sehingga jika ada putusan Mahkamah
Konstitusi yang membatalkan salah satu pasal dalam KUHAP berarti juga berlaku
bagi seluruh warga Indonesia yang tunduk dalam KUHAP.
2. Saran
Berdasarkan kesimpulan diatas dapat diajukan beberapa saran sebagai berikut:
1. Putusan mahkamah konstitusi tersebut baiknya perlu dimasukan dalam agenda revisi
KUHAP yang sedang dibahas oleh DPR RI terhadap pasal 268 ayat (3) mengenai
persyaratan
dan
pembatasan
pengajuan
peninjauan
kembali
agar
tercipta
keseimbangan antara kepastiaan hukum dan keadilan.
2. Sebaiknya kedepan Mahkamah Konstitusi harus lebih cermat lagi dalam melakukan
judicial review terhadap KUHAP dan perjelas lagi aturan tentang novum/keadaan
baru agar tidak menimbulkan keresahan dan kekawatiran di masyarakat.
24
DAFTAR PUSTAKA
Andi Hamzah. 2001. Hukum Acara Pidana Indonesia edisi Revisi. Jakarta : CV. Sapta Artha
Jaya.
Bagir Manan dan Kuntana Magnar. 1997. Beberapa Masalah Hukum Tata Negara Indonesia.
Bandung : Alumni
Bambang Sutiyoso dan Sri Hastuti Puspitasari. 2005. Aspek-Aspek Perkembangan Kekuasaan
Kehakiman di Indonesia. Yogyakarta : UII Press.
Bambang Waluyo. 2002. Pidana dan Pemidanaan. Jakarta : Sinar Grafika.
Fence M. Wantu. 2011. Kepastian Hukum,Keadilan dan Kemanfaatan. Yogyakarta : Pustaka
Pelajar.
Hari Sasangka dan Lily Rosita. 2003. Komentar KUHAP. Bandung : Mandar Maju.
Leden Marpaung. 2000. Perumusan Memori Kasasi dan Peninjauan Kembali Perkara Pidana.
Jakarta : Sinar Grafika
Moeljatno. 2008. Asas-asas Hukum Pidana Edisi Revisi. Jakarta : Rineka Cipta.
Moch. Faisal Salam. 2001. Hukum Acara Pidana Dalam Teori dan Praktek. Bandung : Mandar
Maju.
Mahkamah Konstitusi. 2009. Mengawal Demokrasi Menegakan Keadilan Subsatntif. Jakarta
M.Yahya Harahap.2002. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP. Jakarta : Sinar
Grafika.
Mukti Fajar dan Yulianto Achmad. 2010. Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris.
Yogyakarta : Pustaka Pelajar
Rusli. Muhammad. 2006. Potret Lembaga Pengadilan Indonesia. Jakarta : Raja Grafindo
Persada.
Soerjono Soekanto.1986. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta : Universitas Indonesia (UI
Press).
Sudikno Mertokusumo. 2005. Mengenal Hukum Sebuah Pengantar. Yogyakarta: Liberty.
Perundang-undangan
Undang-Undang Dasar 1945 Amandemen ke IV.
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia.
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
Peraturan Perundang-undangan lainnya yang berkaitan.
Internet
http://www.hukumonline.com ( 6 Juni 2016 pukul 10.30 )
http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/dndx.php?
Download