Bab 2 Landasan Teoritik Pembelajaran Berpikir Matematik A. Pengertian Berpikir Apa yang dimaksud dengan berpikir, dan bagaimana prosesnya? Walaupun berpikir merupakan istilah yang sudah sangat dikenal luas oleh masyarakat serta prosesnya dilakukan oleh setiap orang, akan tetapi istilah tersebut sangat sulit untuk didefinisikan secara operasional. Untuk memperoleh gambaran tentang kedua hal tersebut ada baiknya dimulai dari tanya jawab yang terjadi antara A dan B seperti di bawah ini. A: Apa yang kamu pikirkan? B: Apa yang Anda maksud? A: Ketika kamu berpikir… dari mana hal yang dipikirkan tersebut datang? B: Saya tidak tahu, mungkin bisa datang dari mana saja. A: Jika kamu berpikir tentang sesuatu, dengan apa kamu berpikir? B: Ya, saya menggunakan otak saya. A: Dari mana kamu tahu? B: Menurut guru saya, bahwa fungsi otak itu adalah untuk berpikir. A: Apakah kamu bisa melihat pikiran? B: Tidak. A: Apakah sesuatu yang dipikirkan dapat dilihat (dibayangkan)? B: Ya. A: Misalnya? B: Jika saya berpikir tentang suatu benda, maka benda tersebut terbayang dalam benak saya. Pandangan A tentang berpikir yang digambarkan dalam dialog di atas merefleksikan sejumlah asumsi intuitif tentang apa dan bagaimana proses berpikir tersebut yaitu: berpikir berkaitan erat dengan apa yang terjadi di dalam otak manusia, berpikir berkaitan dengan fakta-fakta yang ada dalam dunia, berpikir mungkin bisa divisualisasikan, dan berpikir (manakala diekspresikan) bisa diobservasi dan dikomunikasikan. Pandangan tentang makna dan proses berpikir dapat ditinjau dari dua sisi berbeda yakni filsafat dan psikologi. Para ahli filsafat telah lama memandang otak manusia (mind) sebagai tempat muncul serta tumbuhnya alasan-alasan atau nalar. Bidang filsafat memberikan penekanan lebih besar 1 pada studi tentang berpikir kritis (critical thinking) melalui analisis terhadap argumen serta aplikasi logik. Sementara ahli psikologi lebih memfokuskan pengkajiannya mengenai berpikir pada aspek mekanismenya ( mechanism of mind). Lebih khusus lagi, ahli psikologi kognitif cenderung memberi penekanan pada berpikir kreatif yakni bagaimana ide-ide yang merupakan hasil proses berpikir dihasilkan oleh otak manusia. Berpikir meliputi dua aspek utama yakni kritis dan kreatif. terjadi dalam setiap aktivitas mental manusia yang Berpikir berfungsi untuk memformulasikan atau menyelesaikan masalah, membuat keputusan, serta mencari pemahaman. Melalui berpikirlah manusia mampu memperoleh makna atau pemahaman tentang setiap hal yang dihadapinya dalam kehidupan. Aktivitas utama dalam berpikir dilakukan dalam keadaan sadar, walaupun tidak tertutup kemungkinan berkaitan dengan sesuatu yang diperoleh secara tidak sadar. Walaupun aktivitas berpikir terjadi secara personal dan individual, akan tetapi dalam kenyataannya tidak merupakan aktivitas yang terisolasi. Aktivitas tersebut terkait erat dengan faktor atau fihak-fihak lain yang berinteraksi. Dengan demikian, aktivitas berpikir itu sebenarnya terkait erat dengan konteks sosial, serta dipengaruhi oleh aspek budaya dan lingkungan. Sebagai akibatnya, belajar berpikir tidak bisa terjadi secara optimal dalam situasi yang terisolasi dari fihak lain atau lingkungan. Dalam proses pembelajaran berpikir, Piaget (dalam Fisher, 1995) mengemukakan tiga faktor berikut: (1) perlunya memperhatikan mengapa seorang anak perpikir dengan cara tertentu, (2) perlu diingat bahwa berpikir itu adalah berbuat dan dengan demikian merupakan suatu proses yang aktif, dan (3) perlunya bagi anak untuk melakukan eksplorasi tentang konsep-konsep kunci tertentu yang dapat mengungkapkan potensi yang mereka miliki. Fisher (1995) selanjutnya menambahkan bahwa apa yang dikemukakan Piaget belumlah lengkap karena menurutnya ada faktor sentral lain, yakni bahasa, yang sangat berperan dalam pengembangan pemahaman anak tentang suatu konsep serta peran orang dewasa dalam menyediakan suatu situasi yang dalam istilah Bruner (dalam Fisher, 1995) disebut cognitive scaffolding. Proses terjadinya berpikir merupakan faktor penting untuk melakukan pembelajaran berpikir. Karena itu pembahasan lebih mendalam tentang pandangan serta hasil studi yang berkenaan dengan hal tersebut perlu diungkapkan lebih jauh lagi. Salah satu pandangan yang dikemukakan para ahli 2 psikologi seperti disampaikan Fisher (1995) adalah bahwa otak manusia merupakan suatu tempat atau bagian untuk melakukan proses informasi atau idea (idea-processing). Menurut Sternberg (dalam Fisher,1995), kapasitas otak manusia untuk melakukan proses informasi meliputi tiga komponen yakni komponen kontrol (metacomponents), komponen output (performance components), dan komponen input (knowledge acquisition components). Sistem proses informasi tersebut oleh Sternberg digambarkan seperti diagram di bawah ini. Intelegensi METACOMPONENTS PERFORMANCE COMPONENTS KOWLEDGE ACQUISITION COMPONENTS Proses tingkat tinggi (control) Apa yang dilakukan (output) Belajar materi baru (input) Misalnya melakukan kontrol terhadap: Misalnya : Misalnya: Mengingat Melakukan refleksi Menghasilkan ide Pemecahan masalah Melihat Memori Perencanaan Pengambilan keputusan Evaluasi Mendengar Membaca Gambar 2.1. Komponen Proses Informasi Menurut analisis Fisher (1995), keberhasilan dalam proses berpikir ditentukan oleh ketiga operasi dari: (1) pemerolehan pengetahuan ( input), (2) strategi penggunaan pengetahuan dan pemecahan masalah ( output), serta (3) metakognisi dan pengambilan keputusan (control). Keberhasilan ini pada ahirnya akan berpengaruh terhadap pengembangan intelegensi seseorang seperti diperlihatkan melalui diagram di atas. B. Dimensi Berpikir Menurut Marzano, dkk. (1988) berpikir meliputi lima dimensi yaitu metakognisi, berpikir kritis dan kreatif, proses berpikir, kemampuan berpikir inti, dan dimensi hubungan antara berpikir dengan pengetahuan tertentu. Walaupun kelima dimensi ini tidak membentuk suatu taksonomi, akan tetapi masing-masing dimensi tidak berdiri sendiri melainkan saling terkait erat. 3 1. Metakognisi Secara sederhana metakognisi diartikan sebagai kesadaran seseorang tentang proses berpikirnya pada saat melakukan tugas tertentu dan kemudian menggunakan kesadaran tersebut untuk mengontrol apa yang dilakukan. Istilah ini muncul karena dilihat dari makna intinya metakognisi dapat diartikan sebagai cognition about cognition (Flavell, 1985). Menurut Flavell (1985) kemampuan metakognisi diyakini memainkan peranan yang sangat penting dalam aktivitas kognitif yang meliputi komunikasi oral, persuasi oral, pemahaman oral, pemahaman membaca, menulis, pemerolehan bahasa, persepsi, perhatian (attention), memori, pemecahan masalah, kognisi sosial, dan berbagai variasi self-instruction dan self-control. Dalam pembicaraan tentang metakognisi, setiap ahli cenderung menggunakan pendekatan yang berbeda-beda dalam mengklasifikasikan konsep tersebut ke dalam komponenkomponennya. Sebagai contoh, Brown (dalam Marzano dkk., 1988) membagi pembicaraan tentang metakognisi menjadi tiga komponen yakni perencanaan, monitoring, dan perbaikan. Sedangkan menurut Flavell (1985) pem-bicaraan metakognisi dapat dibagi dalam dua bagian yaitu pengetahuan tentang metakognisi (metacogitive knowledge) yang meliputi pengetahuan tentang diri, jenis tugas yang dikerjakan, serta strategi, dan pengalaman tentang metakognisi (metacognitive experiences). Sementara Marzano dkk., mencoba mengklasifikasikan metakognisi menjadi dua bagian utama yaitu pengetahuan dan kontrol diri (self-control) yang meliputi komitmen, sikap, dan perhatian, serta pengetahuan dan kontrol proses. 1.1. Pengetahuan dan Kontrol Diri Kontrol diri atau self-control memegang peranan yang sangat penting dalam metakognisi. Tiga faktor utama yang merupakan bagian dari kontrol diri tersebut adalah komitmen, sikap, dan perhatian. Berikut adalah uraian mengenai masing-masing faktor tersebut. Komitmen. Menurut Blasi dan Oresick (dalam Marzano,1988) komitmen pada hakekatnya merupakan suatu keputusan yang diambil seseorang untuk mencurahkan energinya pada suatu tugas yang dihadapi. Secara intuitif, komitmen diyakini merupakan faktor kunci suksesnya seseorang dalam menyelesaikan suatu tugas khususnya tugas akademik. Sebagai contoh, seorang anak yang mencurahkan perhatiannya secara penuh pada saat 4 mengerjakan tugas yang diberikan guru memiliki peluang besar untuk mampu menyelesaikan tugas tersebut dengan hasil yang baik. Keyakinan ini didukung oleh hasil penelitian Perkins (dalam Marzano dkk.,1988) yang menemukan bahwa orang yang dipandang memiliki kreativitas tinggi ternyata didukung oleh adanya komitmen yang kuat terhadap apa yang dia kerjakan. Sikap. Dalam pembelajaran matematika, Riedesel, Schwartz, dan Clements (1996) menemukan bahwa anak pada umumnya hanya belajar matematika bukan belajar berpikir matematik. Dalam proses belajarnya mereka cenderung tidak menggunakan apa yang sudah mereka ketahui sebelumnya. Menurut Riedesel dkk., belajar menggunakan suatu cara penyelesaian masalah dalam matematika merupakan suatu hal yang penting. Akan tetapi, belajar tentang bagaimana menggunakan cara tersebut serta pada situasi seperti apa digunakannya, merupakan hal yang lebih penting lagi. Salah satu kemampuan metakognisi yang sangat penting dalam belajar matematika adalah kemampuan untuk menemukan strategi yang tepat. Menurut Pressley (dalam Riedesel dkk., 1996), seorang pemecah-masalah yang baik dalam matematika adalah mereka yang memiliki pengetahuan tentang berbagai strategi serta kemampuan untuk menggunakannya secara tepat. Model tripartit tentang prilaku manusia yang dikemukakan oleh Weiner (dalam Marzano, dkk., 1988) pada dasarnya menjelaskan bahwa prilaku manusia dapat digambarkan sebagai suatu interaksi dari tiga komponen utama yakni sikap, emosi, dan aksi. Suatu saat, emosi yang menjadi penyebab utama munculnya sikap dalam ber-prilaku. Akan tetapi, sikap juga dapat menjadi penyebab munculnya emosi yang pada gilirannya akan mempengaruhi prilaku. Karena sikap merupakan faktor yang sangat mempengaruhi prilaku atau aksi seseorang dalam menghadapi suatu tugas, termasuk tugas akademik, maka dalam proses pembelajaran matematika faktor tersebut perlu ditumbuhkembangkan secara optimal sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai. Karena belajar berpikir matematik merupakan hal yang lebih penting dari sekedar belajar matematika secara prosedural (Riedesel, dkk., 1996), dan belajar berpikir matematik merupakan landasan utama dalam belajar matematika (Kennedy dan Tips, 2000) maka untuk berhasilnya proses pembelajaran matematika, sikap siswa nampaknya perlu diarahkan pada aspek-aspek yang berkenaan dengan pengembangan kemampuan berpikir matematik. 5 Kilpatrick, Swafford, dan Findell (2001), menyatakan bahwa terdapat lima kecakapan matematik yang saling berkaitan satu dengan lainnya yaitu conceptual under-standing, procedural fluency, strategic competence, adaptive reasoning, dan productive disposition. Salah satu dari lima kecakapan tersebut yakni productive disposition sebenarnya berkaitan erat dengan masalah sikap positif terhadap matematika yang menunjang pengembangan empat kecakapan lainnya. Secara lengkapnya Kilpatrick, dkk. (2001, h. 131) menyatakan, Productive disposition refers to the tendency to see sense in mathematics, to perceive it as both useful and worthwhile, to believe that steady effort in learning mathematics pays off, and to see oneself as an effective learner and doer of mathematics. If students are to develop conceptual understanding, procedural fluency, strategic competence, and adaptive reasoning abilities, they must believe that mathematics is understandable, not arbitrary; that with diligent effort, it can be learned and used; and that they are capable of figuring it out. Perhatian. Tingkat perhatian seseorang terhadap sesuatu atau permasalahan yang dihadapi merupakan salah satu faktor kunci dalam proses kontrol diri. Menurut Norman (dalam Marzano, dkk., 1988), setiap saat seseorang pasti akan menerima banyak stimulus baik yang dilakukan secara sengaja maupun tidak. Orang tersebut tentu saja tidak akan mampu memfokuskan perhatiannya pada semua stimulus yang diterima, melainkan hanya pada sejumlah stimulus saja. Menurut Marzano, dkk. (1988), jenis perhatian seseorang pada dasarnya ada dua macam yaitu yang bersifat otomatis dan bersifat sengaja. Perhatian otomatis merupakan reaksi refleksif yang dilakukan di luar kesadaran penuh, sementara perhatian bersifat sengaja adalah suatu perhatian yang dilakukan di bawah kontrol kesadaran sehingga prosesnya lebih bersifat aktif. Dalam proses pembelajaran, siswa seharusnya menyadari bahwa setiap tugas berbeda memerlukan perhatian yang berbeda pula. Tingkatan kesadaran tersebut hanya bisa tumbuh dengan baik melalui pengalaman bervariasi dalam wujud tugas-tugas akademik berbeda baik tingkat kesulitannya, kemampuan berpikir yang digunakan, maupun bidang kajian atau permasalahannya. 1.2. Berpikir Kritis dan Kreatif 6 Berpikir kritis dan kreatif merupakan dua kemampuan manusia yang sangat mendasar karena keduanya dapat mendorong seseorang untuk senantiasa memandang setiap permasalahan yang dihadapi secara kritis serta mencoba mencari jawabannya secara kreatif sehingga diperoleh suatu hal baru yang lebih baik dan bermanfaat bagi kehidupannya. Uraian berikut ini mencoba mengungkap lebih jauh lagi tentang masing-masing kemampuan tersebut. Berpikir Kritis Berpikir kritis seringkali dibicarakan sebagai suatu kemampuan manusia yang sangat umum sehingga menyentuh hampir setiap aktivitas berpikir yang dilakukan dalam kehidupan sehari-hari. Berdasarkan sintesis terhadap hasil-hasil penelitian yang relevan, Costa dan Ennis (dalam Marzano dkk., 1988) mendifinisikan berpikir kritis sebagai suatu proses penggunaan kemampuan berpikir secara efektif yang dapat membantu seseorang untuk membuat, mengevaluasi, serta mengambil keputusan tentang apa yang diyakini atau dilakukan. Yang dimaksud dengan kemampuan berpikir menurut deskripsi tersebut serta secara luas digunakan dalam berbagai penelitian tentang berpikir matematik adalah membandingkan, mengkontraskan, membuat konjektur, menggunakan penalaran induktif, membuat generalisasi, membuat spesialisasi, penalaran mengklasifikasikan, deduktif, membuat menggunakan kategorisasi, visualisasi, menggunakan mengurutkan ( ordering), merangkai (sequencing), memprediksi, malakukan validasi, membuktikan, menghubungkan, menganalisis, mengevaluasi, dan mencari pola (O’Daffer dan Thornquist, 1993). Berdasarkan hasil penelitian Fawcett (dalam O’Daffer dan Thornquist, 1993), ditemukan bahwa apabila siswa menggunakan berpikir kritisnya maka mereka melakukan di antara hal berikut: (1) memilih kata dan ungkapan yang tepat dalam setiap pernyataan penting yang diungkapkan serta bertanya tentang hal yang memerlukan pendefinisian secara jelas, (2) mencari buktibukti yang dapat mendukung suatu kesimpulan, sebelum kesimpulan tersebut diterima atau dibuat, (3) menganalisis bukti-bukti tersebut serta membedakan antara fakta dan asumsi, (4) memperhatikan asumsi-asumsi penting berkenaan dengan kesimpulan baik yang dinyatakan secara eksplisit maupun tidak, (5) mengevaluasi asumsi-asumsi tersebut serta menerima sebagian atau menolak 7 sebagian lainnya, (6) mengevaluasi argumen terhadap suatu kesim-pulan yang menjadi dasar untuk menerima atau menolak kesimpulan tersebut, dan (7) menguji kembali asumsi-asumsi yang melatarbelakangi pandangan serta proses pengambilan kesimpulan yang telah dilakukan. Berdasarkan hal-hal yang sudah diutarakan di atas, selanjutnya O’Daffer dan Thornquist (1993) mengajukan suatu model dari proses berpikir kritis seperti tampak pada gambar di bawah ini. Memahami masalah Melakukan pengkajian terhadap bukti, data, dan asumsi Melakukan pengkajian terhadap hal di luar bukti, data, dan asumsi di atas Menyatakan dan mendukung suatu kesimpulan, keputusan, atau solusi Menerapkan kesimpulan, keputusan, atau solusi O’Daffer dan Thornquist (1993) juga mencoba melakukan sintesis terhadap hasil-hasil penelitian yang berfokus pada berpikir kritis sehingga diperoleh beberapa kesimpulan berikut: (1) siswa pada umumnya menunjukkan hasil belajar yang kurang memuaskan dalam menghadapi tugas-tugas akademik yang memuat tuntutan penerapan kemampuan berpikir kritis, (2) Disposisi untuk berpikir secara kritis merupakan suatu komponen berpikir kritis yang sangat efektif, (3) Terdapat sejumlah bukti kuat bahwa upaya untuk melakukan pembelajaran berpikir kritis dapat dilakukan secara efektif, walaupun masih sedikit bukti yang diketahui tentang penyebab utama berkembangnya kemampuan berpikir kritis seseorang, dan (4) Kemampuan berpikir kritis dapat diterapkan secara efektif pada suatu tugas akademik 8 manakala dikembangkan tiga hal berikut: kemampuan berpikir kritis, pengetahuan materi subyek, dan pengalaman untuk menerapkan kedua hal tersebut. Karena kurangnya bukti tentang penyebab berkembangnya kemampuan berpikir kritis seseorang, sejumlah peneliti mencoba mencari jawaban melalui studi yang berfokus pada penggunaan matematika sebagai bidang studi untuk meningkatkan kemampuan tersebut. Sebagai contoh, Fawcett (dalam O’Daffer dan Thornquist, 1993, h.41) menyatakan dalam studinya bahwa “ It is the purpose of this study to describe classroom procedures by which geometric proof may be used as a means for cultivating critical and reflective thought and to evaluate the effect of such experiences on the thinking of the pupils. ” Dalam studi tersebut Fawcett mencoba menggunakan contoh-contoh permasalahan nyata sehari-hari untuk membantu siswa melakukan transfer berpikir kritisnya yang biasa digunakan dalam proses bembuktian geometri terhadap situasi sehari-hari. Untuk mengetahui dampak dari upaya tersebut, telah dilakukan wawancara dengan orangtua siswa yang antara lain menunjukkan keyakinannya bahwa cara tersebut berdampak positif pada kemampuan berpikir kritis anak-anaknya. Studi lain yang dilakukan Lewis (O’Daffer dan Thornquist, 1993) juga mencoba mengembangkan kemampuan berpikir kritis siswa melalui pembelajaran pembuktian dan logika pada bidang geometri yang dikaitkan dengan situasi sehari-hari. Studi tersebut mene-mukan bahwa cara yang dilakukan dapat secara efektif meningkatkan kemampuan berpikir kritis siswa. Sementara Price (dalam O’Daffer dan Thornquist, 1993) yang melakukan studi tentang pengaruh penggunaan pendekatan penemuan dan pembelajaran yang dirancang untuk menemukan bahwa meningkatkan kemampuan pendekatan tersebut dapat berpikir matematik, mempengaruhi secara signifikan terhadap peningkatan kemampuan berpikir kritis siswa. Berpikir Kreatif Kreativitas adalah kemampuan untuk mengungkap hubungan-hubungan baru, melihat sesuatu dari sudut pandang baru, dan membentuk kombinasi baru dari dua konsep atau lebih yang sudah dikuasai sebelumnya. Kreativitas juga merupakan suatu kemampuan yang bersifat spontan, terjadi karena adanya arahan yang bersifat internal, dan keberadaannya tidak bisa diprediksi. Dengan demikian, kreativitas tidak mungkin muncul karena adanya pesanan 9 (Evans, 1991). Evans selanjutnya menjelaskan bahwa ide-ide kreatif biasanya muncul karena adanya interaksi dengan lingkungan atau stimulasi eksternal. Selama bertahun-tahun, kreativitas telah menjadi obyek studi serius dalam berbagai penelitian ilmiah. Pada tahun tujuhpuluhan, sejumlah peneliti berkeyakinan bahwa kreativitas merupakan suatu sifat dari otak kiri manusia bagian kanan, sedangkan otak bagian kiri berfungsi sebagai pengontrol aktivitas berpikir logik. Namun demikian, para ahli saat ini memiliki keyakinan lain bahwa dikotomi sederhana semacam itu dapat menyesatkan. Berdasarkan hasil-hasil penelitiannya, para ahli pada ahirnya menemukan bahwa kreativitas sebenarnya merupakan hasil aktivitas mental manusia yang melibatkan komponen-komponen otak. Kreativitas muncul sebagai akibat dari terjadinya aktivitas mental yang meliputi aspek pengetahuan, imajinasi, logika, intuisi, kemunculan ide takterduga, dan evaluasi konstruktif untuk mengungkap hubungan-hubungan baru antara ide dan obyek tertentu. 1.3. Proses Berpikir Marzano, dkk. (1988) mengajukan delapan komponen utama dari proses berpikir yakni pembentukan konsep, pembentukan prinsip, pemahaman, pemecahan masalah, pengambilan keputusan, penelitian, penyusunan, dan berwacana secara oral. Komponen-komponen ini dipilih karena beberapa alasan antara lain sering muncul sebagai kajian teoritik maupun literatur hasil penelitian, komponen-komponen tersebut secara konsep sangat jelas sehingga memungkinkan untuk diajarkan, serta dipandang sebagai hal yang sangat fundamental untuk mengajarkan berbagai bidang studi termasuk matematika. Jika dilihat dari terbentuknya pengetahuan seseorang yang diakibatkan dari komponen-komponen proses berpikir tersebut, maka proses berpikir tersebut dapat dikelompokan menjadi dua bagian yaitu pemerolehan pengetahuan dan produksi atau aplikasi pengetahuan. Hal tersebut secara diagram dapat dinyatakan seperti di bawah ini (Marzano, dkk., 1988). Proses Berpikir Pemerolehan Pengetahuan Produksi atau Aplikasi Pengetahuan Pemahaman Pembentukan konsep Penyusunan Berwacana 10 secara oral Pemecahan masalah Pembuatan keputusan Penelitian Dari diagram ini terlihat bahwa tiga komponen pertama proses berpikir yaitu pemahaman, pembentukan konsep, dan pembentukan prinsip nampaknya lebih terarah pada proses pemerolehan pengetahuan. Ketiga komponen tersebut merupakan landasan utama berhasilnya proses berpikir pada komponen-komponen lainnya. Jika ketiga komponen dari proses pemerolehan pengetahuan tersebut tidak berjalan dengan baik, maka proses produksi atau aplikasi pengetahuan yang diwujudkan melalui komponen-komponen lainnya tidak akan berjalan dengan baik. 1.4. Kemampuan Berpikir Utama Menurut Marzano, dkk. (1988), kemampuan berpikir yang utama mencakup delapan kelompok yaitu kemampuan memfokuskan, kemampuan mendapatkan informasi, kemampuan mengingat, kemampuan mengorganisasi, kemampuan menganalisis, kemampuan menghasilkan, kemampuan mengintegrasikan, dan kemampuan mengevaluasi. Daftar berikut memuat semua kemampuan berpikir dari delapan kelompok tersebut. Daftar Kemampuan Berpikir Utama Kemampuan memfokuskan 1. Mendefinisikan masalah 2. Menentukan tujuan Kemampuan menganalisis 11. Mengidentifikasi ciri dan komponen 12. Mengidentifikasi hubungan dan pola 13. Mengidentifikasi ide utama 14. Mengidentifikasi kesalahan Kemampuan mendapatkan informasi 3. Mengobservasi 4. Memformulasikan pertanyaan Kemampuan mengingat 5. Menyebutkan kembali 6. Menguraikan kembali Kemampuan Menghasilkan 15. Membuat kesimpulan (inferring) 16. Memprediksi 17. Mengelaborasi Kemampuan mengorganisasi 7. Membandingkan 8. Mengklasifikasikan 9. Mengurutkan 10. Merepresentasikan Kemampuan mengintegrasi 18. Mengintisarikan 11 19. Meretrukturisasi Kemampuan mengevaluasi 20. Membuat kriteria 21. Memverifikasi 1.5. Berpikir Matematik Tingkat Tinggi Walaupun terdapat uraian beragam tentang komponen-komponen berpikir matematik tingkat tinggi, akan tetapi masing-masing komponen berpikir dari ahli-ahli berbeda mengandung banyak kesamaan. Berikut akan disajikan tiga pendapat senada mengenai berpikir matematik tingkat tinggi yang dapat dijadikan sebagai acuan. Menurut Henningsen dan Stein (1997, h. 525), kemampuan berpikir matematik tingkat tinggi pada hakekatnya merupakan kemampuan berpikir non-prosedural yang antara lain mencakup hal-hal berikut: kemampuan mencari dan mengeksplorasi pola untuk memahami struktur matematik serta hubungan yang mendasarinya; kemampuan menggunakan fakta-fakta yang tersedia secara efektif dan tepat untuk memformulasikan serta menyelesaikan masalah; kemampuan membuat ide-ide matematik secara bermakna; kemampuan berpikir dan bernalar secara fleksibel melalui penyusunan konjektur, generalisasi, dan jastifikasi; serta kemampuan menetapkan bahwa suatu hasil pemecahan masalah bersifat masuk akal atau logis. Dalam upaya mengidentifikasi perkembangan kemampuan berpikir matematik siswa, Shafer dan Foster (1997), mengajukan tiga tingkatan berpikir matematik yaitu tingkatan reproduksi, koneksi, dan analisis. Tingkatan reproduksi merupakan tingkatan berpikir paling rendah, sementara analisis adalah tingkatan berpikir yang paling tinggi. Berikut adalah komponenkomponen dari masing-masing tingkatan berpikir tersebut. Tingkat I Reproduksi Mengetahui fakta dasar Menerapkan algoritma standar Mengembangkan keterampilan teknis Tingkat II Koneksi Mengintegrasikan informasi Membuat koneksi dalam dan antar domain matematika Menetapkan rumus (tools) yang akan digunakan untuk menyelesaikan masalah 12 Memecahkan masalah tidak rutin Tingkat III Analisis Matematisasi situasi Melakukan analisis Melakukan interpretasi Mengembangkan model dan strategi sendiri Mengembangkan argumen matematik Membuat generalisasi Dalam Assessment Frameworks and Specifications 2003, Mullis, dkk. (2001) mengungkapkan empat ranah kognitif matematika yakni pengetahuan tentang fakta dan prosedur, penggunaan konsep, pemecahan masalah rutin, dan penalaran matematik. Keempat ranah kognitif tersebut mencerminkan tahapan berpikir matematik yang dijadikan acuan dalam pengembangan soalsoal pada studi TIMSS. Penalaran, yang merupakan tahapan berpikir matematik tertinggi, mencakup kapasitas untuk berpikir secara logik dan sistematik. Mengenai hal ini, Mullis (2001, h. 32) mengungkapkan, Reasoning mathematically involves the capacity for logical, systhematic thinking. It includes intuitive and inductive resoning based on patterns and regularities that can be used to arrive at solutions to non-routine problems. Non-routine problems are problems that are very likely to be unfamiliar to students. They make cognitive demands over and above those needed for solution of routine problems, even when the knowledge and skills required for their solution have been learned. Non-routine problems may be purely mathematical or may have real-life settings. Both type of items involve transfer of knowledge and skills to new situation, and interactions among skills are usually a feature. Menurut Mullis (2001), penalaran matematik mencakup kemampuan menemukan konjektur, analisis, evaluasi, generalisasi, koneksi, sintesis, pemecahan masalah tidak rutin, dan jastifikasi atau pembuktian. Kemampuankemampuan tersebut dapat muncul pada saat berpikir tentang suatu masalah atau penyelesaian masalah matematik. Pada saat siswa melakukan aktivitas seperti itu, komponen-komponen penalaran tersebut tidak muncul secara sendiri-sendiri melainkan saling berkaitan satu dengan lainnya. Tabel berikut memuat deskripsi masing-masing komponen penalaran matematik disertai 13 contoh masalah yang dapat mendorong terjadinya proses berpikir matematik tertentu. Komponen Penalaran Konjektur Deskripsi dan Contoh Masalah Mengajukan konjektur atau dugaan pada saat meneliti pola, mendiskusikan ide matematik, mengajukan model, menguji kumpulan data, dan membuat spesifikasi tentang suatu hasil (outcome) yang didapat dari suatu operasi atau percobaan. Contoh: Bilangan prima kembar adalah pasangan bilangan Analisis Evaluasi Generalisasi prima yang di antaranya terdapat satu bilangan lain. Jadi 5 dan 7, 11 dan 13, serta 17 dan 19 merupakan contoh pasangan bilangan prima kembar. Buatlah konjektur tentang bilangan-bilangan antara pasangan bilangan prima kembar. Menentukan dan membicarakan atau menggunakan hubungan-hubungan antar variabel atau obyek dalam situasi matematik; menganalisis data statistik; melakukan dekomposisi gambar geometri untuk menyederhanakan proses penyelesaian masalah; menggambar jaringan dari suatu bangun ruang yang tidak lazim; menyusun inferensi sahih dari informasi yang diberikan. Mendiskusikan dan mengevaluasi suatu ide matematik, konjektur,strategi pemecahan masalah, metoda, atau pembuktian secara kritis. Memperluas domain sehingga hasil pemikiran matematik atau pemecahan ma-salah dapat diterapkan secara lebih umum atau lebih luas. Contoh. Diketahui bahwa jumlah sudut-sudut suatu segitiga Koneksi adalah dua kali sudut siku-siku, dan diketahui poligon sisi-4, 5, dan 6 yang dibagi ke dalam beberapa segitiga.Tentukan hubungan antara banyaknya sisi poligon dengan jumlah sudut-sudutnya dalam bentuk sudut siku-siku. Menghubungkan pengetahuan baru dengan pengetahuan yang telah ada; membuat hubungan antara elemen-elemen pengetahuan berbeda dengan representasi yang berkaitan; membuat hubungan antara ide matematik yang berkaitan dengan obyek tertentu. Contoh. Sebuah segitiga ABC memiliki sisi AB = 3 cm, BC = 4 Sintesis cm, dan CA = 5 cm. Mana dari yang berikut ini merupakan luas daerah dari segitiga tersebut: 6 cm2, 7.5 cm2, 10 cm2, atau 12 cm2. Mengkombinasikan atau mengintegrasikan prosedurprosedur matematik untuk memperoleh hasil yang diinginkan; mengkombinasikan beberapa hasil untuk memperoleh hasil lebih jauh. Contoh. Mengkombinasikan hasil yang didapat dari dua Pemecahan masalah tidak rutin grafik berbeda untuk menyelesaikan suatu masalah. Menyelesaikan masalah dalam konteks matematik atau kehidupan sehari-hari dengan tujuan agar siswa terbiasa menghadapi masalah serupa; menerapkan suatu prosedur matematik dalam konteks yang baru dihadapi. Contoh. Diketahui iklan beberapa produk saling bersaing 14 Jastifikasi/ pembuktian yang memuat data serta kondisi-kondisi tertentu. Siswa diminta untuk memilih data yang relevan serta menemukan cara untuk membandingkan dan menetapkan pilihan atas produk yang ditawarkan sesuai dengan kriteria yang ditetapkan. Menyajikan bukti validitas suatu aksi atau kebenaran suatu pernyataan dengan berpedoman pada hasil atau sifat-sifat matematik yang diketahui; mengembangkan argumen matematik untuk membuktikan atau menyangkal suatu pernyataan. Contoh. Tunjukkan bahwa jumlah tiap dua bilangan ganjil adalah bilangan genap. Selain membahas hal di atas, Mullis, dkk. (2001) juga menyatakan bahwa aspek komunikasi matematik merupakan bagian dari kompetensi matematik yang dapat dikembangkan bersamaan dengan dikembangkannya kemampuan dari ranah kognitif matematik. Kemampuan mengkomunikasikan ide dan proses matematik serta berkomunikasi secara matematik dapat dipandang sebagai suatu keterampilan matematik penting yang dapat menunjang pengembangan kecakapan hidup (life skills) dan khususnya menunjang pembelajaran matematika. Merepresentasikan, memodelkan, dan menginterpretasikan merupakan tiga contoh komunikasi matematik. Sementara kemampuan matematik sendiri pada hakekatnya merupakan hasil pendidikan matematik yang sangat penting. Komunikasi merupakan hal yang sangat mendasar dan tidak bisa dipisahkan dari tiap kategori ranah kognitif matematika yaitu: pengetahuan tentang fakta dan prosedur, penerapan konsep, pemecahan masalah rutin, dan penalaran matematik. C. Teori Belajar Pendukung Memahami teori tentang bagaimana orang belajar serta kemampuan menerapkannya dalam pengajaran matematika merupakan persyaratan penting untuk menciptakan proses pengajaran yang efektif. Berbagai studi tentang perkembangan intelektual manusia telah menghasilkan sejumlah teori belajar yang sangat bervariasi. Walaupun di antara para ahli psikologi, ahli teori belajar, dan para pendidik masih terdapat banyak perbedaan pemahaman tentang bagaimana orang belajar serta metoda paling efektif untuk terjadinya belajar, akan tetapi di antara mereka terdapat juga sejumlah kesepahaman. Menurut Bell (1978, h.97), tiap teori dapat dipandang sebagai suatu metoda untuk mengorganisasi serta mempelajari berbagai variabel yang berkaitan 15 dengan belajar dan perkembangan intelektual, dan dengan demikian guru dapat memilih serta menerapkan elemen-elemen teori tertentu dalam pelaksanaan pengajaran di kelas. Bagaimana nampaknya matematika sederhana, akan seharusnya tetapi dipelajari? memerlukan Pertanyaan jawaban yang ini tidak sederhana. Karena pandangan guru tentang proses belajar matematika sangat berpengaruh terhadap bagaimana mereka melakukan pembelajaran di kelas, maka mempelajari teori-teori yang berkaitan dengan belajar matematika harus menjadi prioritas bagi para pendidik matematika. Gagasan tentang belajar bermakna yang dikemukakan oleh William Brownell pada awal pertengahan abad duapuluh merupakan ide dasar dari teori konstruktivisme. Menurut Brownell (dalam Reys, Suydam, Lindquist, & Smith, 1998), matematika dapat dipandang sebagai suatu sistem yang terdiri atas ide, prinsip, dan proses sehingga keterkaitan antar aspek-aspek tersebut harus dibangun dengan penekanan bukan pada memori atau hapalan melainkan pada aspek penalaran atau intelegensi anak. Selanjutnya Reys dkk. (1998) menambahkan bahwa matematika itu haruslah make sense. Jika matematika disajikan kepada anak dengan cara yang demikian, maka konsep yang dipelajari menjadi punya arti; dipahami sebagai suatu disiplin yang terurut, terstruktur, dan memiliki keterkaitan satu dengan lainnya; serta diperoleh melalui proses pemecahan masalah yang bervariasi. Dalam NCTM Standards (1989) belajar bermakna merupakan landasan utama untuk terbentuknya mathematical connections. Selain Brownell, ahli-ahli lain seperti Piaget, Bruner, dan Dienes memiliki kontribusi yang signifikan terhadap perkembangan konstruktivisme. Berdasarkan pandangan ini, pengetahuan matematik dibentuk melalui tiga prinsip dasar berikut ini. Pengetahuan tidak diterima secara pasif. Pengetahuan dibentuk atau ditemukan secara aktif oleh anak. Seperti disarankan Piaget bahwa pengetahuan matematika se-baiknya dikonstruksi oleh anak sendiri bukan diberikan dalam bentuk jadi. Anak mengkonstruksi pengetahuan matematika baru melalui refleksi terhadap aksi-aksi yang dilakukan baik yang bersifat fisik maupun mental. Mereka melakukan observasi untuk menemukan keterkaitan 16 dan pola, serta membentuk generalisasi dan abstraksi (Dienes, 1969, h.181). Bruner (dalam Reys dkk., 1998, h. 19) berpandangan bahwa belajar, merefleksikan suatu proses sosial yang di dalamnya anak terlibat dalam dialog dan diskusi baik dengan diri mereka sendiri maupun orang lain termasuk guru sehingga mereka berkembang secara intelektual. Prinsip ini pada dasarnya menyarankan bahwa anak sebaiknya tidak hanya terlibat dalam manipulasi material, pencarian pola, penemuan algoritma, dan menghasilkan solusi yang berbeda, akan tetapi juga dalam mengkomunikasikan hasil observasi mereka, membicarakan adanya keterkaitan, menjelaskan prose-dur yang mereka gunakan, serta memberikan argumen-tasi atas hasil yang mereka peroleh. Jelaslah bahwa prinsip-prinsip di atas memiliki implikasi yang signifikan terhadap pengajaran matematika. Prinsip-prinsip tersebut juga mengindikasikan bahwa konstruktivisme merupakan suatu proses yang memerlukan perkembangan waktu dalam serta merefleksikan memahami adanya konsep-konsep sejumlah tahapan matematika. Menurut Vygotsky (dalam John dan Thornton, 1993), proses peningkatan pemahaman pada diri siswa terjadi sebagai akibat dari adanya pembelajaran. Diskusi yang dilakukan antara guru-siswa dalam pembelajaran, mengilustrasikan bahwa interaksi sosial yang berupa diskusi ternyata mampu memberikan kesempatan pada siswa untuk mengoptimalkan proses belajarnya. Interaksi seperti itu memungkinkan guru dan siswa untuk berbagi dan memodifikasi cara berfikir masing-masing. Selain itu terdapat juga kemungkinan bagi sebagian siswa untuk menampilkan argumentasi mereka sendiri serta bagi siswa lainnya memperoleh kesempatan untuk mencoba menangkap pola berfikir siswa lainnya. Episode seperti ini, diyakini akan dapat meningkatkan pengetahuan serta pemahaman tentang obyek yang dipelajari dari tahap sebelumnya ke tahapan yang lebih tinggi. Proses yang mampu menjembatani siswa pada tahapan belajar yang lebih tinggi seperti ini menurut Vygotsky dikenal sebagai zone of proximal development. Menurut Vygotsky, belajar dapat membangkitkan berbagai proses mental tersimpan yang hanya bisa dioperasikan manakala seseorang berinteraksi dengan orang dewasa atau berkolaborasi dengan sesama teman. Pengembangan kemampuan yang diperoleh melalui proses belajar sendiri 17 (tanpa bantuan orang lain) pada saat melakukan pemecahan masalah disebut sebagai actual development, sedangkan perkembangan yang terjadi sebagai akibat adanya interaksi dengan guru atau siswa lain yang mempunyai kemampuan lebih tinggi disebut potential development. Zone of proximal development selanjutnya diartikan sebagai jarak antara actual development dan potential development. Vygotsky (dalam John dan Thornton, 1993) selanjutnya menjelaskan bahwa proses belajar terjadi pada dua tahap: tahap pertama terjadi pada saat berkolaborasi dengan orang lain, dan tahap berikutnya dilakukan secara individual yang di dalamnya terjadi proses internalisasi. Selama proses interaksi terjadi baik antara guru-siswa maupun antar siswa, kemampuan berikut ini perlu dikembangkan: saling menghargai, menguji kebenaran pernyataan fihak lain, bernegosiasi, dan saling mengadopsi pendapat yang berkembang. Selain adanya tahapan perkembangan dalam memahami konsep-konsep matematika, terdapat juga tahapan perkembangan dalam kaitannya dengan intelektual atau kognitif anak seperti yang dikemukakan oleh Piaget, Bruner, dan Dienes. Sekalipun tahapan perkembangan yang dikemukakan oleh mereka masing-masing berbeda, akan tetapi kerangka dasar yang dikemukakan ketiganya pada prinsipnya adalah sama. Menurut Piaget perkembangan intelektual anak mencakup empat tahapan yaitu sensori motor, preoperasi, operasi kongkrit, dan operasi formal. Selain itu, Piaget (dalam Bell, 1978) juga menyatakan bahwa perkembangan intelektual anak merupakan suatu proses asimilasi dan akomodasi informasi ke dalam struktur mental. Asimilasi adalah suatu proses dimana informasi atau pengalaman yang diperoleh seseorang masuk ke dalam struktur mentalnya, sedangkan akomodasi adalah terjadinya restrukturisasi dalam otak sebagai akibat adanya informasi atau pengalaman baru. Piaget selanjutnya men-jelaskan bahwa perkembangan mental seseorang dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor yakni kematangan, pe-ngalaman fisik, pengalaman matematis-logis, transmisi so-sial (iteraksi sosial), dan keseimbangan. Bruner mengemukakan bahwa perkembangan intelektual anak itu mencakup tiga tahapan yaitu enaktif, ikonik, dan simbolik. Pada tahap enaktif, anak biasanya sudah bisa melakukan manipulasi, konstruksi, serta penyusunan dengan memanfaatkan benda-benda kongkrit. Pada tahap ikonik, anak sudah 18 mampu berfikir representatif yakni dengan menggunakan gambar atau turus. Pada tahap ini mereka sudah bisa berfikir verbal yang didasarkan pada representasi benda-benda kongkrit. Selanjutnya pada tahap simbolik, anak sudah memiliki kemampuan untuk berfikir atau melakukan manipulasi dengan menggunakan simbol-simbol. Sementara itu Dienes berpandangan bahwa belajar matematika itu mencakup lima tahapan yaitu bermain bebas, generalisasi, representasi, simbolisasi, dan formalisasi. Pada tahap bermain bebas anak biasanya berinteraksi langsung dengan benda-benda kongkrit sebagai bagian dari aktivitas belajarnya. Pada tahap berikutnya, generalisasi, anak sudah memiliki kemampuan untuk mengobservasi pola, keteraturan, dan sifat yang dimiliki bersama. Pada tahap representasi, anak memiliki kemampuan untuk melakukan proses berfikir dengan menggunakan representasi obyek-obyek tertentu dalam bentuk gambar atau turus. Tahap simbolisasi, adalah suatu tahapan dimana anak sudah memiliki kemampuan untuk menggunakan simbolsimbol matematik dalam proses berfikirnya. Sedangkan tahap formalisasi, adalah suatu tahap dimana anak sudah memiliki kemampuan untuk memandang matematika seba-gai suatu sistem yang terstruktur. Berdasarkan tiga pandangan yang dikemukakan oleh Piaget, Bruner, dan Dienes, dapat diperoleh hal-hal berikut ini. Anak dapat secara aktif terlibat dalam proses belajar dan kesempatan untuk mengemukakan ide-ide mereka meru-pakan hal yang sangat esensial dalam proses tersebut. Terdapat sejumlah karakteristik dan tahapan berfikir yang teridentifikasi dan dapat dipastikan bahwa anak melalui tahapantahapan tersebut. Belajar bergerak dari tahapan yang bersifat kongkrit ke tahapan lain yang lebih abstrak. Kemampuan untuk menggunakan simbol serta represen-tasi formal secara alamiah berkembang mulai dari taha-pan yang lebih kongkrit. Pengajaran yang efektif antara lain ditandai dengan keberhasilan anak dalam belajar. Dengan demikian untuk berhasilnya pengajaran matematika, pertimbangan-pertimbangan tentang bagaimana anak belajar merupakan langkah awal yang harus diperhatikan. Dalam upaya untuk melakukan hal 19 tersebut, diperlukan beberapa prinsip dasar seperti yang akan dibahas di bawah ini. Prinsip-prinsip tersebut adalah merupakan implikasi dari teori belajar yang telah dikemukakan sebelumnya. Siswa Terlibat Secara Aktif Prinsip ini berlandaskan pada pandangan bahwa keterlibatan anak secara aktif dalam suatu aktivitas belajar memungkinkan mereka memperoleh pengalaman yang mendalam tentang bahan yang dipelajari, dan pada ahirnya akan mampu meningkatkan pemahaman anak tentang bahan tersebut. Sebagaimana pepatah cina yang menyatakan bahwa ”Saya mendengar dan saya lupa; saya melihat dan saya ingat; serta saya mencoba dan saya mengerti”, mengisyaratkan bahwa keterlibatan secara aktif merupakan hal yang sangat penting dalam membangun pemahaman tentang sesuatu yang dipelajari. Keterlibatan siswa secara aktif bentuknya bisa secara fisik, dan yang lebih penting lagi secara mental. Bentuk-bentuk aktivitasnya antara lain bisa berupa interaksi siswa-siswa atau siswa-guru, memanipulasi benda-benda kongkrit seperti alat eksploratif, dan menggunakan bahan ajar tertentu seperti buku dan alat-alat teknologi. Memperhatikan Pengetahuan Awal Siswa Karena sifat matematika yang merupakan suatu struktur yang terorganisasikan dengan baik, maka pengetahuan prasyarat siswa merupakan hal penting yang harus diperhatikan dalam proses pembelajaran matematika. Pendekatan spiral yang dikembangkan dalam pengajaran matematika, merupakan langkah yang sangat tepat untuk memberi kesempatan kepada anak mengembangkan pengetahuannya secara bertahap baik horizontal maupun vertikal. Dengan bermodalkan pengetahuan awalnya serta lingkungan belajar yang diciptakan guru, maka siswa diharapkan mampu mengembangkan pengetahuannnya secara lebih baik. Mengembangkan Kemampuan Komunikasi Siswa Salah satu syarat untuk berkembangnya kemampuan interaksi antara satu individu dengan individu lainnya adalah berkembangnya kemampuan komunikasi. Beberapa hal yang bisa dilakukan untuk mengembangkan kemampuan tersebut antara lain adalah memberikan kesempatan kepada siswa untuk menjelaskan dan berargumentasi secara lisan atau tertulis, 20 mengajukan atau menjawab pertanyaan, dan berdiskusi baik dalam kelompok kecil maupun kelas. Mengembangkan Kemampuan Metakognisi Siswa Metakognisi adalah suatu istilah yang berkaitan dengan apa yang diketahui seseorang tentang individu yang belajar dan bagaimana dia mengontrol serta menyesuaikan prilakunya. Selain itu, metakognisi juga merupakan bentuk kemampuan untuk melihat pada diri sendiri sehingga apa yang dia lakukan dapat terkontrol secara optimal. Dengan kemampuan seperti ini maka siswa dimungkinkan mengembangkan kemampuannya secara optimal dalam belajar matematika, karena dalam setiap langkah yang dia kerjakan senantiasa muncul pertanyaan seperti: “Apa yang saya kerjakan?”, “Mengapa saya mengerjakan ini?”, “Hal apa yang bisa membantu saya menyelesaikan masalah ini?” Mengembangkan Lingkungan Belajar yang Sesuai Lingkungan belajar hendaknya diciptakan sesuai dengan kebutuhan siswa dalam belajar. Terciptanya lingkungan belajar yang baik dapat membantu siswa dalam mencapai perkembangan potensialnya seperti yang dikemukakan oleh Vygotsky. Selain beberapa prinsip di atas, berdasarkan teori Vygotsky, diperoleh tiga hal utama yang berkaitan dengan pembelajaran yakni: (1) pembelajaran efektif mengarah pada perkembangan, (2) pembelajaran efektif akan berhasil dikembangkan melalui setting pemecahan masalah, dan (3) pembelajaran efektif berfokus pada upaya membantu siswa untuk mencapai potential development mereka. Untuk mencapai pembelajaran efektif tersebut maka beberapa saran berikut nampaknya penting untuk diperhatikan: (1) tingkatkan sensitivitas bahwa siswa terlibat secara aktif dalam setting belajar yang dikembangkan, (2) ciptakan problem solving interaktif yang mengarah pada proses belajar, (3) sajikan soal-soal yang bersifat menantang, (4) gunakan on- going assessment untuk memonitor pembelajaran, (5) ciptakan kesempatan bagi siswa untuk menampilkan kemampuan berfikir tingkat tingginya, (6) beri dorongan serta kesempatan pada siswa untuk menampilkan berbagai solusi serta strategi berbeda pada penyelesaian suatu masalah, (7) tingkatkan komunikasi, yakni dengan mendorong siswa untuk memberikan penjelasan 21 serta jastifikasi pemikiran mereka, (8) gunakan berbagai variasi strategi mengajar dan belajar, dan (9) upayakan untuk menelusuri hal-hal yang belum diketahui siswa sehingga guru mampu membantu proses peningkatan potensial mereka. Dalam kajiannya tentang implikasi pandangan konstruktivisme untuk pencapaian hasil belajar dalam matematika, Burton (1992) mengajukan suatu model pengimplementasian kurikulum yang memuat tiga dimensi yakni dimensi silabi, pedagogi, dan evaluasi. Dalam model ini, silabi dimaknai sebagai sesuatu yang diharapkan tercapai oleh kurikulum, pedagogi adalah cara yang digunakan dalam proses pembelajaran, sedangkan evaluasi adalah rangkaian strategi yang digunakan guru, siswa, atau fihak lain untuk mengetahui sejauh mana hasil belajar yang sudah dicapai. Akar epistimologis dari interpretasi konstruktivis terhadap pembelajaran matematika, juga merupakan hal yang sangat penting dalam pengembangan model pembelajaran matematika. Dalam hal ini, Barbin (1992) mengemukakan bahwa terdapat dua kemungkinan konsep-si yang bisa muncul yakni pengetahuan matematika dipan-dang sebagai produk dan proses. Dalam konsepsi pertama, matematika dipandang sebagai suatu sistem yang sudah baku dan siap pakai, sedangkan konsepsi kedua lebih menitik beratkan pada matematika sebagai suatu aktivitas (mathematical activity). Pembelajaran matematika dalam in-terpretasi konstruktivis lebih cocok dengan konsepsi yang kedua. Proses terbentuknya pengetahuan baru (khususnya dalam matematika) diyakini sebagai hasil dari suatu rangkaian proses yang diperkenalkan Dubinsky sebagai Action-Process-Object-Schema (APOS). Object yang telah tersimpan dalam memori seseorang sebagai pengetahuan akan diproses manakala terjadi action yang diakibatkan adanya stimulus tertentu. Proses ini dijelaskan oleh Tall (1999) melalui diagram seperti di bawah ini. 22 APOS Theory adalah sebuah teori konstruktivis tentang bagaimana seseorang belajar suatu konsep matematika. Teori tersebut pada dasarnya berlandaskan pada hipotesis tentang hakekat pengetahuan matematik (mathematical knowledge) dan bagaimana pengetahuan tersebut berkembang. Pandangan teoritik tersebut dikemukakan oleh Dubinsky (2001, h.11) yang menyatakan, An individual's mathematical knowledge is her or his tendency to respond to perceived mathematical problem situations by reflecting on problems and their solutions in a social context and by constructing mathematical actions, processes, and objects and organizing these in schemas to use in dealing with the situations. Istilah-istilah aksi (action), proses (process), obyek (object), dan skema (Schema) pada hakekatnya merupakan suatu konstruksi mental seseorang dalam upaya memahami sebuah ide matematik. Menurut teori tersebut, manakala seseorang berusaha memahami suatu ide matematik maka prosesnya akan dimulai dari suatu aksi mental terhadap ide matematik tersebut, dan pada ahirnya akan sampai pada konstruksi suatu skema tentang konsep matematik tertentu yang tercakup dalam masalah yang diberikan. Aksi adalah suatu transformasi obyek-obyek mental untuk memperoleh obyek mental lainnya. Hal tersebut dialami oleh seseorang pada saat menghadapi suatu permasalahan serta berusaha menghubungkannya dengan pengetahuan yang telah dimiliki sebelumnya. Seseorang dikatakan mengalami suatu aksi, apabila orang tersebut memfokuskan proses mentalnya pada upaya untuk memahami suatu konsep yang diberikan. Seseorang yang memiliki pemahaman lebih mendalam tentang suatu konsep, mungkin akan melakukan aksi yang lebih baik atau bisa juga terjadi bahwa fokus perhatiannya keluar dari konsep yang diberikan sehingga aksi yang diharapkan tidak terjadi. Ketika suatu aksi diulangi, dan kemudian terjadi refleksi atas aksi yang dilakukan, maka selanjutnya akan masuk ke dalam fase proses. Berbeda dengan aksi, yang mungkin terjadi melalui bantuan manipulasi benda atau sesuatu yang bersifat kongkrit, proses terjadi secara internal di bawah kontrol individu yang melakukannya. Seseorang dikatakan mengalami suatu proses tentang sebuah konsep yang tercakup dalam masalah yang dihadapi, apabila berpikirnya terbatas pada ide matematik yang dihadapi serta ditandai dengan 23 munculnya kemampuan untuk membicarakan (to describe) atau melakukan refleksi atas ide matematik tersebut. Proses-proses baru dapat dikonstruksi dari proses lainnya melalui suatu koordinasi serta pengai-tan antar proses. Jika seseorang melakukan refleksi atas operasi yang digunakan dalam proses tertentu, menjadi sadar tentang proses tersebut sebagai suatu totalitas, menyadari bahwa transformasi-transformasi tertentu dapat berlaku pada proses tersebut, serta mampu untuk melakukan transformasi yang dimaksud, maka dapat dinyatakan bahwa individu tersebut telah melakukan konstruksi proses menjadi sebuah obyek kognitif. Dalam hal ini dapat dinyatakan bahwa proses-proses yang dilakukan telah terangkum (encap-sulated) menjadi sebuah obyek kognitif. Seseorang dapat dikatakan telah memiliki sebuah konsepsi obyek dari suatu konsep matematik manakala dia telah mampu memperlakukan ide atau konsep tersebut sebagai sebuah obyek kognitif yang mencakup kemampuan untuk melakukan aksi atas obyek tersebut serta memberikan alasan atau penjelasan tentang sifat-sifatnya. Selain itu, individu tersebut juga telah mampu melakukan penguraian kembali ( de-encapsulate) suatu obyek menjadi proses sebagaimana asalnya pada saat sifat-sifat dari obyek yang dimaksud akan digunakan. Sebuah skema dari suatu materi matematik tertentu adalah suatu koleksi aksi, proses, obyek, dan skema lainnya yang saling terhubung sehingga membentuk suatu kerangka kerja saling terkait di dalam pikiran atau otak seseorang. Untuk mendapatkan gambaran lebih jelas tentang penjelasan teori APOS di atas, berikut kita pandang sebuah konsep fungsi sebagai contoh. Seseorang yang belum mam-pu menginterpretasikan suatu situasi sebagai sebuah fungsi kecuali memiliki sebuah formula tunggal serta mampu menentukan nilai fungsi tersebut, dapat dinyatakan telah memiliki kemampuan untuk melakukan aksi atas fungsi tersebut. Dengan kata lain, individu tersebut telah memiliki suatu konsepsi aksi dari sebuah fungsi. Seseorang yang telah memiliki konsepsi proses tentang sebuah fungsi, berarti telah mampu berpikir tentang masukan yang bisa diterima, memanipulasi masukan tersebut dengan cara-cara tertentu, serta mampu menghasilkan keluaran yang sesuai. Selain itu, pemilikan konsepsi proses juga bisa meliputi kemampuan untuk menentukan balikan atau komposisi fungsi-fungsi yang diberikan. Indikator bahwa seseorang telah memiliki konsepsi obyek suatu fungsi adalah telah mampu 24 membentuk sekumpulan fungsi serta mampu melakukan operasi-operasi pada fungsi-fungsi tersebut. Sementara indikator bahwa seseorang telah memiliki suatu skema tentang konsep fungsi, adalah mencakup kemam-puan untuk mengkonstruksi contoh-contoh fungsi sesuai dengan persyaratan yang diberikan. Kalau proses pembentukan schema disepakati seperti uraian di atas, maka langkah selanjutnya adalah bagaimana proses pembelajaran berpikir matematik harus dilakukan sehingga diperoleh hasil yang lebih optimal. Salah satu landasan yang dapat digunakan untuk mencapai tujuan tersebut antara lain adalah teori Zone of Proximal Development (ZPD) dari Vygotsky seperti yang sudah dikemukakan sebelumnya. D. Matematika dan Peningkatan Kemampuan Berpikir Matematik Kontribusi pendidikan matematika sedikitnya dapat ditinjau dari tiga hal yaitu dari kebutuhan perkembangan anak, masyarakat, dan dunia kerja. Agar materi matematika yang diberikan dapat menunjang kebutuhan perkembangan anak, maka dalam pengembangan kurikulumnya (yang mencakup desain, implementasi, dan evaluasi) antara lain perlu memperhatikan perkembangan kognitif anak dan kemampuan berpikirnya, serta tuntutan kemampuan dasar matematik (conceptual understanding, procedural fluency, productive disposition, strategic competence, dan adaptive reasoning) yang diperlukan untuk melanjutkan studi ke jenjang yang lebih tinggi. Selain itu kemampuan berpikir matematik yang relevan untuk menunjang kehidupan di masyarakat dan dunia kerja serta memungkinkan dikem-bangkan melalui kegiatan bermatematika (doing mathe-matics) perlu juga menjadi perhatian yang serius. Untuk melihat sejauh mana ketiga dimensi kebutu-han di atas dapat dicapai melalui matematika, berikut ini adalah sejumlah pandangan mengenai makna matematika serta kemampuan yang bisa dikembangkan melalui matematika. Matematika bukan sekedar aritmetika . Jika berbicara tentang matematika, masyarakat seringkali memandangnya secara sempit yakni hanya sebagai aritmetika. Dengan demikian, kurikulum matematika, terutama untuk sekolah dasar, hanya dipandang sebagai kumpulan keterampilan berhitung seperti penjumlahan, pengurangan, perkalian, dan pembagian bilangan. Akibatnya, 25 penguasaan dengan baik keterampilan tersebut dipandang sebagai hal yang memadai bagi anak dalam belajar matematika khususnya untuk tingkat sekolah dasar. Padahal, jika kita perhatikan lebih jauh lagi, matematika memuat keterampilan lebih luas dari sekedar berhitung. Matematika pada hakekat-nya merupakan suatu cara berpikir serta memuat ide-ide yang saling berkaitan. Matematika merupakan problem posing dan problem solving. Dalam kegiatan bermatematika, pada dasarnya anak akan berhadapan dengan dua hal yakni masalah-masalah apa yang mungkin muncul atau diajukan dari sejumlah fakta yang dihadapi (problem posing) serta bagaimana menyelesaikan masalah tersebut (problem solving). Dalam kegiatan yang bersifat problem posing, anak mem-peroleh kesempatan untuk mengembangkan kemampuannya mengidentifikasi fakta-fakta yang diberikan serta permasalahan yang bisa muncul dari fakta-fakta tersebut. Sedangkan melalui kegiatan problem solving, anak dapat mengembangkan kemampuannya untuk menyelesaikan permasalahan tidak rutin yang memuat berbagai tuntutan kemampuan berpikir termasuk yang tingkatannya lebih tinggi. Matematika merupakan studi tentang pola dan hubungan. Dalam aktivitas ini tercakup kegiatan memahami, membicarakan, membedakan, mengelompokan, serta menjelaskan pola baik berupa bilangan atau fakta-fakta lain. Matematika merupakan bahasa. Sebagai bahasa, matematika menggunakan istilah serta simbol-simbol yang didefinisikan secara tepat dan berhati-hati. Dengan demikian matematika dapat digunakan untuk meningkatkan kemampuan anak dalam berkomunikasi secara matematik baik dalam ilmu pengetahuan, hehidupan sehari-hari, maupun dalam matematika sendiri. Matematika merupakan cara dan alat berpikir. Karena cara berpikir yang dikembangkan dalam matematika menggunakan kaidah-kaidah penalaran yang konsisten dan akurat, maka matematika dapat digunakan sebagai alat berpikir yang sangat efektif untuk memandang berbagai permasalahan termasuk di luar matematika sendiri. Matematika merupakan ilmu pengetahuan yang berkembang secara dinamik. Perkembangan yang sangat pesat serta kontribusinya yang 26 luas dalam berbagai aspek kehidu-pan manusia, telah menyebabkan bergesernya pandangan dari matematika sebagai ilmu yang statik ke matematika sebagai ilmu yang bersifat dinamik generatif. Perubahan pandangan ini telah berimplikasi pada berubahnya aspek pedagogis dalam pembelajaran yang lebih menekankan pada matematika sebagai pemecahan masalah dan pengembangan adalah aktivitas kemampuan berpikir matematik. Matematika (doing mathematics). Aktivitas bermatematika tidak hanya berfokus pada solusi akhir yang dicari, melainkan pada prosesnya yang antara lain mencakup pencarian pola dan hubungan, pengujian konjektur, serta estimasi hasil. Dalam aktivitas tersebut, anak dituntut untuk menggunakan dan mengadaptasi pengetahuan yang sudah dimiliki mengarah pada pe-ngembangan pemahaman baru. Dari sejumlah pandangan di atas, nampak jelas bahwa berbagai kemampuan yang bisa dikembangkan melalui matematika, baik langsung maupun tidak, dapat berkontribusi pada ketiga dimensi kebutuhan anak yaitu untuk melanjutkan pendidikan pada jenjang lebih tinggi, digunakan dalam kehidupan sehari-hari di lingkungan masyarakat, atau untuk menunjang kebutuhan yang berkaitan dengan pekerjaan. Substansi dari pengembangan tersebut pada dasarnya berfokus pada peningkatan kemampuan berpikir matematik yang dapat diterapkan dalam menghadapi berbagai permasalahan baik dalam kaitannya dengan bidang akademik di lingkungan sekolah maupun dalam kehidupan sehari-hari atau dunia kerja. E. Pembelajaran Berpikir Matematik Tingkat Tinggi 1. Gambaran Umum Pembelajaran Matematika Berdasarkan penelitian Utari, Suryadi, Rukmana, Dasari, dan Suhendra (1998) yang dilakukan di kelas 3, 5, dan 6 sekolah dasar diperoleh gambaran umum bahwa pembelajaran matematika masih berlangsung secara tradi-sional yang antara lain memiliki karakteristik sebagai berikut: pembelajaran lebih berpusat pada guru; pendekatan yang digunakan lebih bersifat ekspositori, guru lebih mendominasi proses aktivitas kelas, latihan-latihan yang diberikan lebih banyak yang bersifat rutin, dan dalam proses belajar siswa lebih bersifat 27 pasif. Dalam kaitannya dengan aktivitas bermatematika, studi tersebut juga mene-mukan beberapa kesamaan kesukaran yang dialami siswa secara umum yaitu mengenai penyelesaian soal cerita, cara menerapkan rumus matematika yang tepat; menaksir atau mengestimasi jawaban soal, serta memberikan alasan yang tepat terhadap pengerjaan soal. Studi yang sama juga menemukan adanya keserupaan keterampilan matematika yang dirasakan sukar oleh guru untuk mengajarkannya yaitu mengenai penyelesaian soal cerita, memberi alasan yang rasional, dan menerapkan rumus matematika dalam penyelesaian soal. Studi lain yang dilakukan di Amerika Serikat oleh Romberg dan Carpenter (1986) menyimpulkan bahwa gambaran umum pembelajaran matematika pada tahun delapan puluhan antara lain memiliki karakteristik berikut: berpusat pada guru, tanya-jawab dilakukan dalam konteks kelas, dan siswa bekerja sendiri-sendiri di tempatnya masing-masing. Studi yang dilakukan Peterson dan Fennema (dalam Peterson,1988) yang melibatkan 36 kelas empat sekolah dasar juga menemukan bahwa 43% dari waktu belajar di kelas digunakan guru untuk menjelaskan materi kepada seluruh anak dan 47% dari waktu belajar digunakan siswa untuk mengerjakan soal-soal latihan. Sementara dalam studi Goodlad (dalam Peterson, 1988) yang melibatkan 1000 kelas, ditemukan kesamaan karakteristik yang muncul di tiap tingkatan kelas (SD sampai SMU) yaitu sebagai berikut: (1) pembelajaran umumnya dilakukan secara tradisional yakni guru menjelaskan untuk seluruh siswa dalam kelas, (2) jika pembelajaran dilakukan dalam seting kelompok kecil, siswa lebih banyak bekerja sendiri-sendiri, (3) guru berperan sebagai pigur sentral dalam menentukan aktivitas dan mengendalikan pembelajaran, (4) guru melakukan kontrol secara dominan terhadap posisi duduk serta aktivitas siswa, (5) siswa jarang sekali terlibat secara aktif dalam proses belajar dengan sesama teman dan jarang sekali berinisiatif untuk melakukan komunikasi dengan guru. Sejumlah hasil penelitian juga menunjukkan bahwa sebagian besar waktu belajar, khususnya di sekolah dasar, lebih banyak digunakan untuk mengembangkan kemampuan berpikir matematik tingkat rendah. Sebagai contoh, Peterson dan Fennema (1985), dalam studinya di sekolah dasar, menemukan bahwa hanya 15% dari waktu belajar yang digunakan untuk mengembangkan kemampuan berpikir matematik tingkat tinggi, 62% waktu belajar digunakan untuk mengembangkan kemampuan berpikir matematik 28 tingkat rendah, dan 13% sisanya digunakan untuk kegiatan yang tidak ada kaitannya dengan pembelajaran matematika. 2. Beberapa Hasil Studi yang Relevan Dalam kaitannya dengan upaya peningkatan kemampuan berpikir matematik tingkat tinggi, Henningsen dan stein (1997) mengemukakan beberapa aktivitas bermatematika (doing mathematics) yang mendukung yaitu: mencari dan mengeksplorasi pola untuk memahami struktur matematik serta hubungan yang melandasinya; menggunakan bahan yang tersedia secara tepat dan efektif pada saat memformulasikan dan menyelesaikan masalah; menjadikan ide-ide matematik secara bermakna; berfikir serta beralasan dengan cara yang fleksibel; mengembangkan konjektur, generalisasi, jastifikasi, serta mengkomunikasikan ide-ide matematik. Mengembangkan serta mengimplementasikan bahan ajar yang memuat tugas-tugas matematik yang sesuai sehingga memungkinkan anak menggunakan kemampuan berpikir tingkat tingginya secara aktif dipandang sangat sulit baik bagi guru maupun peneliti pendidikan matematika secara umum. Hal ini diperkuat oleh Doyle (dalam Henningsen dan Stein, 1997) yang menyatakan bahwa “Such engagement can evoke in students a desire for a reduction in task complexity that, in turn, can lead them to presure teachers to further specify the procedures for completing the task or to relax accountability requirements” (h.526). Namun demikian, Fraivillig, & Fuson (1999) berkeyakinan bahwa melalui pengungkapan metoda penyelesaian yang dibuat siswa, mendorong pemahaman konseptual mereka, serta dengan mengembangkan kemampuan berpikir matematik mereka, kemampuan berpikir matematik anak dapat ditingkatkan secara efektif. Dengan demikian, penggunaan tugas matematik atau bahan ajar tertentu bersamaan dengan penerapan kerangka kerja dari Fraivillig dan Fuson sangat mungkin untuk dikembangkan serta diimplementasikan. Dalam pengembangan model pembelajaran yang kondusif untuk meningkatkan kemampuan berpikir matematik tingkat tinggi, penataan kelas (classroom setting) memegang peranan yang sangat penting. Menurut Good, dkk. (1992), jika guru bermaksud mendorong siswa agar berhasil dengan baik dalam pemecahan suatu masalah, maka langkah pertama yang harus diusahakan adalah mendorong mereka menjadi pembelajar yang adaptif. Sementara karakteristik pembelajar seperti ini antara lain dapat dicapai secara 29 efektif melalui kegiatan pemecahan masalah (problem-solving). Berdasarkan sebuah riviu hasil penelitian yang berfokus pada penggunaan small-group cooperative learning dalam pembelajaran matematika, Good, dkk. (1992) menyimpulkan bahwa kegiatan pemecahan masalah dapat digunakan untuk proses belajar adaptif melalui kerjasama kelompok. Untuk itu mereka mengemu-kakan argumentasi bahwa: (1) pertukaran (exchange) dalam kerja kelompok dapat menstimulasi siswa untuk aktif dalam berpikir tingkat tinggi, (2) keberagaman dalam kerja kelompok dapat mendorong terjadinya akomodasi berbagai opini anggota kelompok dan karenanya siswa akan berusaha berpikir secara aktif dalam proses penyelesaian masalah yang dihadapi, (3) kerja kelompok mampu memberikan kesempatan pada siswa untuk menyampaikan pendapatnya secara lisan serta mencoba mengintegrasikan pendapat yang berkembang dalam diskusi, dan (4) dimungkinkan terjadinya saling bantu di antara anggota kelompok untuk mencapai suatu tahap pemahaman (h.176). Hasil pengkajian yang dilakukan oleh Brophy dan Good (1986) tentang penelitian yang berkaitan dengan efektivitas pembelajaran matematika antara lain menyimpulkan bahwa model pembelajaran langsung (direct instruction) merupakan cara yang paling efektif untuk mengembangkan kemampuan tingkat dasar. Dalam hasil pengkajian tersebut dijelaskan bahwa dalam pembelajaran cara langsung, guru menyiapkan serta menyajikan materi kepada siswa, membantu mereka untuk mengaitkannya dengan pengetahuan yang sudah dimiliki, melakukan monitoring terhadap hasil belajar secara sistematik, dan menyediakan koreksi balikan selama melakukan aktivitas belajar. Dalam model pembelajaran seperti ini, guru berpe-ran sebagai pigur sentral di kelas dalam melakukan monitor seluruh aktivitas serta mengendalikan prilaku dan kegiatan akademik siswa sehingga keterlibatan mereka dalam proses belajar dapat berjalan secara optimal. Walaupun pembelajaran cara langsung terbukti sangat efektif untuk meningkatkan kemampuan berpikir matematik tingkat rendah, akan tetapi jika diterapkan pada pembelajaran yang bertujuan untuk meningkatkan kemampuan berpikir matematik tingkat tinggi belum ada bukti yang meyakinkan tentang efektivitas pendekatan tersebut. Sejumlah hasil penelitian menunjukkan bahwa pendekatan pembelajaran yang bersifat tidak langsung serta memberi-kan otonomi lebih luas kepada siswa dalam belajar diyakini dapat meningkatkan kemampuan berpikir matematik ting-kat tinggi. Sebagai 30 contoh, penelitian Peterson (1979) antara lain menemukan bahwa model pembelajaran cara langsung telah berhasil meningkatkan prestasi belajar siswa dalam kaitannya dengan kemampuan berpikir matematik tingkat rendah. Sedangkan untuk soal-soal yang berkaitan dengan kemampuan tingkat tinggi seperti pemecahan masalah, siswa pada umumnya menunjukkan hasil belajar yang kurang baik. Hasil serupa ditunjukkan dalam studi Peterson dan Fennema (1985) yang berhasil menemukan bahwa tipe aktivitas tertentu yang dikembangkan melalui pembelajaran langsung (direct instruction) lebih cocok untuk meningkatkan kemampuan berpikir tingkat rendah, sementara tipe aktivitas belajar lainnya yang dikembangkan melalui pembelajaran tidak langsung lebih berhasil meningkatkan kemampuan berpikir matematik tingkat tinggi siswa. Berdasarkan riviu terhadap hasil-hasil penelitian tentang psikologi kognitif, Doyle (dalam Peterson, 1988) menyarankan bahwa untuk tujuan peningkatan kemam-puan berpikir matematik tingkat tinggi, penggunaan pendekatan pembelajaran tidak langsung yang didasarkan pada makna dan pemahaman lebih dianjurkan untuk digunakan. Rasional yang dikemukakan untuk mengajukan saran tersebut antara lain bahwa penemuan sendiri (selfdiscovery) merupakan hal sangat penting bagi siswa untuk memperoleh makna dan pemahaman tentang tugas-tugas akademiknya dalam belajar matematika. Aktivitas akade-mik hendaknya disusun berlandaskan pada apa yang sudah diketahui serta bagaimana siswa memproses informasi yang sudah diketahuinya dalam matematika. Namun demikian, dalam hal aktivitas belajar sebaiknya tidak dirancang terlalu terstruktur, dengan harapan agar siswa memperoleh kesempatan untuk mengalami pengolahan materi secara langsung dan aktif sehingga mereka mampu menurunkan generalisasi serta menemukan algoritmanya sendiri. Hasil-hasil penelitian dalam bidang psikologi kognitif antara lain didasarkan pada asumsi bahwa pengetahuan dan pemahaman dikonstruksi oleh anak, dan dengan demikian muncul suatu pandangan bahwa dalam belajar konsep dan keterampilan matematika, anak dapat secara aktif melakukan konstruksi pengetahuan dan pemahaman-nya. Dalam studi Carpenter, Hiebert, dan Moser (dalam Peterson, 1988) tentang soal cerita yang memuat penjumlahan dan pengurangan di sekolah dasar, misalnya, antara lain ditemukan bahwa anak telah berhasil melakukan analisis serta menyelesaikan masalah yang 31 diberikan dengan menggunakan model informal dan strategi perhitungan menurut cara mereka sendiri. Pengetahuan informal ini ternyata dapat menjadi jembatan bagi anak untuk menggunakannya sebagai landasan dalam mengembangkan pemahaman konsep dan keterampilan serta pemahaman matematika secara lebih bermakna. Studi yang dilakukan Suryadi (2001) di sekolah dasar kelas dua juga menunjukkan hasil serupa. Dalam studi tersebut antara lain ditemukan bahwa anak yang sudah memiliki pengetahuan dan keterampilan penjumlahan dan pengurangan dengan menggunakan model informal ternyata mampu menggunakannya secara efektif untuk menyelesaikan soal cerita yang memuat pembagian, padahal mereka belum mempelajari konsep tersebut. Yang menarik dari hasil penelitian ini, bahwa strategi yang digunakan siswa untuk memperoleh hasil pembagian ternyata sangat bervariasi antara lain mencakup penerapan strategi penjumlahan, strategi pengurangan, dan strategi gambar atau model informal. Salah satu implikasi dari hasil-hasil penelitian tentang ilmu kognitif dalam pembelajaran matematika adalah bahwa proses pembelajaran seharusnya lebih menekankan pada makna dan pemahaman sejak usia sekolah dasar. Dalam hal ini Peterson (1988) menyarankan bahwa untuk memberikan penekanan pada makna dan pemahaman tersebut serta untuk mengembangkan kemampuan berpikir dengan tingkat yang lebih tinggi, maka pemecahan masalah dalam matematika tidak hanya merupakan bagian terintegrasi dalam pembelajaran, melainkan harus menjadi dasar atau inti dari kegiatan pembelajaran. Namun demikian, kenyatan di lapangan menunjukkan bahwa keterampilan berhitung harus diajarkan lebih dahulu sebelum pemecahan masalah atau soal cerita diberikan. Hasil-hasil penelitian yang dilakukan secara kualitatif oleh Anderson (dalam Peterson, 1988) serta Blumenfeld, Pintrich, Meece, dan Wessels (dalam Peterson,1988) antara lain menemukan bahwa anak sangat sulit memperoleh pengertian dan makna konsep yang dipelajari dari model pembelajaran yang bersifat langsung (direct instruction). Dari hasil-hasil wawancara yang dilakukan Anderson dengan sejumlah anak yang mengerjakan tugas matematika di kelas, juga diperoleh kesimpulan bahwa mereka tidak berusaha untuk memfokuskan pekerjaannya pada makna dari materi yang terkandung dalam tugas yang diberikan guru melainkan menyelesaikan tugas tersebut secepat mungkin. 32 hanya sekedar ingin Fraivillig, Murphy, dan Fuson (1999) melalui studinya tentang peningkatan kemampuan berpikir matematik telah berhasil mengembangkan kerangka kerja pedagogis yang relevan untuk meningkatkan kemampuan berpikir matematik siswa. Hal terpenting yang menjadi tujuan utama studi ini adalah mencoba memahami bagaimana seorang guru dapat secara efektif meningkatkan kemampuan berpikir matematik anak dalam kelas berbasis inkuiri tanpa mengurangi kebebasan intelektual anak secara otonom. Strategi pembelajaran yang digunakan seorang guru berpengalaman dalam mendukung fleksibilitas penalaran anak pada saat melakukan penyelesaian masalah serta mencoba mendorong partisipasi mereka dalam diskusi matematik yang konstruktif telah berhasil diidentifikasi serta diartikulasikan. Secara teoritik, aktivitas kelas yang dilaporkan dalam penelitian ini berbasis pada pandangan konstruktivis yang dipadukan dengan konsep zones of proximal development dari Vigotsky. Indentifikasi kerangka kerja pedagogis yang dilakukan dalam studi ini telah berhasil mengungkapkan tiga komponen penting dari upaya guru dalam mengembangkan kemampuan berpikir siswa yaitu: (1) strategi guru dalam mengungkap metoda penyelesaian yang digunakan siswa (mengungkap), (2) strategi guru dalam upaya mendorong peningkatan pemahaman konsep atau masalah yang dihadapi (mendorong), dan (3) mengembangkan daya berpikir matematik siswa (mengembangkan). Strategi mengungkap adalah upaya guru untuk memfasilitasi kemungkinan terungkapnya kemampuan siswa melalui berbagai pertanyaan yang diajukan pada kelas atau kelompok selama proses penyelesaian soal berlangsung. Dengan cara seperti ini terlihat bahwa ide-ide anak untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi dapat terdorong untuk muncul karena termotivasi oleh pertanyaan-pertanyaan yang diajukan guru. Jika diamati secara seksama, jenis pertanyaan yang memungkinkan hal tersebut terjadi adalah pertanyaan yang menantang siswa untuk berpikir secara lebih terarah pada permasalahan yang dihadapi. Melalui pertanyaan-pertanyaan yang diajukan guru, adakalanya terselip rambu-rambu atau klu yang memungkinkan siswa mampu mengungkap pengetahuannya yang masih tersembunyi jauh dalam memori mereka. Berdasarkan hasil identifikasi terhadap strategi mengungkap yang digunakan guru, didapat dua cara utama yakni cara guru memfasilitasi respon siswa, dan cara guru menghidupkan diskusi dalam 33 kelompok. Penjabaran dari komponen pertama antara lain mencakup pengungkapan berbagai cara penyelesaian yang digunakan siswa, berusaha menunggu dan mendengarkan apa yang sedang dijelaskan atau diupayakan siswa, mendorong siswa untuk mengelaborasi jawaban yang diberikan, menerima jawaban siswa dengan terbuka sekalipun masih ada kesalahan, dan mengupayakan terjadinya kolaborasi antar siswa dalam kelompok masingmasing. Penjabaran komponen kedua antara lain mencakup: berusaha untuk menggunakan jawaban siswa sebagai bahan diskusi, dan berusaha memonitor kesungguhan siswa untuk tetap mela-kukan pencarian cara penyelesaian masalah yang dihadapi. Strategi mendorong adalah upaya guru yang dimak-sudkan untuk mendorong siswa pada saat mereka mencoba menyelesaikan permasalahan yang dihadapi. Berdasarkan hasil identifikasi terdapat empat kategori yang berkenaan dengan cara guru mendorong siswanya yaitu mendorong proses berpikir siswa pada saat memberikan penjelasan, mendorong proses berpikir siswa pada saat mendengarkan penjelasan guru atau siswa lainnya, mendorong peningkatan pemahaman konsep yang berkenaan dengan permasalahan yang dihadapi, serta mendorong proses berpikir siswa melalui ajakan pada mereka untuk bertanya. Kategori pertama mencakup beberapa kegiatan berikut : mengingat-kan siswa pada konsep atau situasi yang sejenis atau mirip, mengingatkan kembali pada pengetahuan pendukung yang diperlukan, dan membantu siswa dalam upaya mengklarifikasi penyelesaian yang mereka buat. Untuk kategori ke-dua antara lain mencakup hal berikut: mencoba mengulang kembali apa yang dibicarakan, dan mendemonstrasikan cara memilih metoda penyelesaian tanpa berusaha untuk mendorong siswa agar meniru metoda yang dicontohkan. Kategori ketiga antara lain mencakup hal berikut: menuliskan representasi permasalahan yang dihadapi siswa pada papan tulis atau kertas kerja siswa, dan mencoba bertanya tentang hal yang dijelaskan seorang anak kepada anak lainnya. Penjabaran kategori keempat antara lain adalah mendorong siswa untuk bertanya manakala mereka menghadapi kesulitan. Strategi mengembangkan adalah suatu upaya guru untuk memfasilitasi siswa agar kemampuan berpikir matematik mereka bisa meningkat. Berdasarkan hasil observasi, didapat empat hal penting yang sempat terungkap yaitu: mendorong siswa untuk melakukan atau mengerjakan sesuatu 34 secara lebih baik walaupun masalah yang dihadapi lebih sulit, mendorong siswa untuk melakukan refleksi terhadap hasil-hasil yang sudah diperoleh sebelumnya, mendorong siswa untuk mencari alternatif penyelesaian yang lebih baik, dan mendorong siswa untuk terbiasa menghadapi masalah-masalah yang sulit. 3. Implikasi untuk Pengembangan Model Pembelajaran Inovatif Karena hasil studi Utari, dkk (1998) antara lain menunjukkan bahwa terbuka kemungkinan pengemba-ngan kemampuan berpikir matematik tingkat tinggi melalui kegiatan pemecahan masalah matematika bahkan sejak kelas tiga sekolah dasar, maka pengembangan tersebut sangat mungkin diterapkan untuk level yang lebih tinggi lagi. Dalam upaya meningkatkan kemampuan berpikir matematik serta pemecahan masalah, beberapa peneliti-an (misalnya Nohda,2000; Shigeo, 2000; Henningsen & Stein,1997) menyarankan bahwa guru perlu memperhatikan hal-hal berikut ini: jenis berpikir matematik yang sesuai untuk anak, jenis bahan ajar, penataan kelas, peran guru, dan otonomi siswa. Jenis berpikir matematik yang dikemukakan oleh shigeo (2000) atau karakteristik berpikir matematik tingkat tinggi yang dikemukakan Henningsen dan Stein dapat dijadikan acuan awal untuk mengembangkan bahan ajar yang sesuai dengan tuntutan tujuan dan kurikulum, perkembangan anak, kemampuan guru, serta lingkungan sekolah. Ketika guru atau peneliti mencoba mengembangkan bahan ajar, disarankan untuk memperhatikan karakteristik masalah yang dikemukakan Nohda (2000) yaitu proses penyelesaian masalah bersifat terbuka, solusi ahir suatu masalah bersifat terbuka, dan cara untuk menyelesaikan masalah juga terbuka. Memperhatikan metoda yang digunakan dalam penelitian Utari, dkk (1988) serta Nohda (2000) yang menekankan pada penggunaan diskusi, maka apapun penataan kelas yang digunakan sejauh guru mencoba mendorong siswa untuk terlibat secara aktif dalam proses diskusi, bertanya serta menjawab pertanyaan, berpikir secara kritis, menjelaskan tiap jawaban yang diberikan, serta mengajukan alasan untuk setiap jawaban yang diajukan, maka upaya menngembangkan kemampuan berpikir matematik dan pemecahanmasalah sangat mungkin diterapkan melalui metoda apapun. Karena kerangka strategi pembelajaran yang dikembangkan Fraivillig, dkk (1999) nampaknya memiliki kontribusi yang sangat signifikan terhadap upaya peningkatan 35 kemampuan berpikir matematik dan pemecahan masalah, penerapan kerangka ini pada situasi yang sesuai di sekolah perlu dipertimbangkan. Hasil studi yang dilakukan oleh Shimizu (2000) dan Yamada (2000) menunjukkan bahwa guru memiliki peran yang sangat penting dalam proses belajar siswa melalui pengungkapan, pemberian dorongan, serta mengembangkan proses berpikir matematik siswa. Dalam Studi Shimizu, misalnya, pertanyaan guru dapat secara efektif menggiring proses berpikir siswa ke arah penyelesaian yang benar, sedangkan dalam studi Yamada, perubahan baik dalam aktivitas dan representasi yang dibuat siswa dapat secara efektif diawali oleh pertanyaan-pertanyaan guru. Namun demikian, walaupun guru masih memainkan peran yang sangat pital dalam proses pembela-jaran matematika, hasil studi Utari, dkk serta Nohda mengindikasikan bahwa siswa memiliki kesempatan yang sangat terbuka untuk mengembangkan serta meningkatkan kemampuan berpikir mereka melalui penyelesaian masalah-masalah yang bervariasi. Dengan demikian, agar proses pengembangan kemampuan berpikir matematik ini dapat mencapai hasil yang lebih baik, maka guru harus memperhatikan serta menghargai otonomi siswa manakala mereka mengajukan atau mencari penyelesaian masalah yang diberikan. 36