Analisis Produksi Dan Pemasaran Gambir Di

advertisement
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Kinerja Usahatani Komoditas Gambir
Penelitian usahatani gambir yang dilakukan oleh Yuhono (2004), Ermiati
(2004) dan Tinambunan (2007), masing-masing memiliki metode, lokasi dan
waktu, serta tujuan penelitian yang berbeda, tapi menyimpulkan hal yang sama
tentang usahatani gambir. Bahwa masalah utama dalam pengelolaan usahatani
gambir adalah produksi, produktivitas serta mutu yang rendah. Teknologi
budidaya dan pengolahan yang dilakukan petani masih bersifat tradisional
sehingga mutu rendemen dan pendapatan petani rendah.
Yuhono (2004), meneliti pendapatan usahatani gambir di Desa Manggilang
Kecamatan Pangkalan Kotobaru, Kabupaten Lima Puluh Kota, Sumatera Barat,
sebagai daerah sampel yang dipilih secara sengaja karena merupakan desa sentra
produksi gambir. Keragaan usahatani dianalisis secara deskriptif, pendapatan
usahatani dianalisis melalui analisis pendapatan. Penelitian komoditas gambir
yang dilakukan oleh Ermiati (2004), juga mengambil satu desa sebagai sampel
yaitu Desa Solok Bio-bio di Kecamatan Harau, Kabupaten Lima Puluh Kota.
Penelitiannya tentang budidaya, pengolahan hasil dan kelayakan usahatani
gambir. Beberapa hal yang dapat disimpulkan berdasarkan hasil penelitian
keduanya adalah: (1) adopsi teknologi yang dilakukan petani masih rendah, (2)
usahatani yang dilakukan petani tergolong tidak intensif, (3) kegiatan pemupukan
dan pemberantasan hama dan penyakit belum pernah dilakukan, (4) pemeliharaan
hanya berupa penyiangan, (5) keterampilan usahatani umumnya diperoleh secara
turun-temurun, (6) latar belakang pendidikan petani umumnya rendah, sehingga
13
kemampuan managerial dan kewiraswastaan juga rendah, (7) pembaharuan dan
alih teknologi sulit dilakukan, dan (8) biaya usahatani yang terbesar adalah biaya
panen dan pengolahan hasil.
Tinambunan (2007), yang melakukan penelitian tentang analisis pendapatan
usahatani di Kabupaten Pakpak Bharat, Sumatera Utara, mengungkapkan hal yang
relatif sama dengan yang disimpulkan oleh Yuhono dan Ermiati. Bahwa walaupun
gambir termasuk salah satu komoditas unggulan Kabupaten Pakpak Bharat, tetapi
prospek yang baik terhadap permintaan gambir di dalam maupun di luar negeri
belum disertai dengan peningkatan produktivitas dan pendapatan petani. Hal ini
disebabkan antara lain karena terbatasnya informasi pasar, masalah pengolahan
dan modal untuk pengembangan usahatani gambir, disamping teknik budidaya
yang diterapkan belum sesuai dengan teknologi anjuran. Penelitiannya mengambil
tiga kecamatan sebagai daerah studi yang ditetapkan secara sengaja yaitu
Kecamatan Sitellu Tali Urang Jehe, Kerajaan dan Tinada. Hal yang berdeda dalam
usahatani di Kabupaten Pakpak Bharat adalah, produk yang dijual oleh petani di
daerah ini selain dalam bentuk gambir kering, juga dalam bentuk daun dan ranting
muda (tanpa pengolahan) dan getah basah (bubur gambir yang belum dicetak dan
dikeringkan). Hasil analisis pendapatan dari ketiga bentuk output yang dijual
petani, bentuk produk gambir kering lebih menguntungkan meskipun ada
tambahan biaya dan waktu pengolahan.
Kesimpulan mengenai kinerja usahatani gambir perkebunan rakyat, secara
umum belum diusahakan secara intensif tetapi tetap menguntungkan serta layak
untuk dikembangkan. Nilai Investasi Sekarang (Net Present Value/NPV) dari
usahatani gambir Rp 9 763 523, Internal Rate of Return (IRR) 57 persen dengan
14
discount factor 15 persen. Titik impas investasi (Break Even Point/BEP) 3.27
tahun dengan nilai investasi Rp 3 282 500 per hektar serta nilai R/C
(Revenue/Cost Ratio) 1.61 (Ermiati, 2004). Yuhono (2004), yang juga melakukan
penelitian usahatani gambir memperoleh R/C rasio 1.69 terhadap biaya total dan
2.11 terhadap biaya tunai, serta margin harga yang diterima petani sebesar 67
persen. Sedangkan menurut Tinambunan (2007), usahatani gambir juga layak
untuk diusahakan, dengan perolehan pendapatan bersih petani Rp 11 476 200 jika
panen dalam bentuk daun dan ranting muda, Rp 14 073 200 untuk output getah
basah, serta Rp 15 129 200 untuk menjual dalam bentuk gambir kering.
2.2. Penelitian Efisiensi Produksi pada Berbagai Usahatani Komoditas
Pertanian
Harsoyo (1999), meneliti tentang kinerja produksi dan mengukur perbedaan
efisiensi kinerja produksi salak pondoh antarpetani berdasarkan perbedaan skala
pengusahaan dan letak geografis di Daerah Istimewa Yogyakarta. Penelitian
dilakukan di empat desa di Kecamatan Turi, Kabupaten Sleman. Pendekatan
analisis adalah model biaya dan keuntungan translog. Ia juga melakukan
pembandingan antarskala pengusahaan dan antardesa untuk memperoleh efisiensi
ekonomi relatif. Hasil analisis fungsi biaya translog menghasilkan kesimpulan
yang konsisten dengan hasil analisis fungsi keuntungan translog, bahwa kondisi
usaha dan produksi salak pondoh adalah increasing return to scale, artinya
persentase tambahan produk lebih besar daripada persentase tambahan faktorfaktor produksi. Pengusahaan dalam skala lebih dari seribu rumpun lebih efisien
dan produksi di Desa Girikerto dan Wonokerto lebih efisien dibandingkan dua
desa lainnya.
15
Slameto (2003), meneliti efisiensi produksi usahatani kakao untuk
mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi produksi kakao di Provinsi
Lampung. Lokasi penelitian dipilih secara sengaja yang mencakup tiga kabupaten
sebagai daerah sampel. Analisis menggunakan fungsi produksi Cobb-Douglas.
Produksi kakao rakyat sangat dipengaruhi oleh input tenaga kerja, pupuk kandang,
pestisida, luas lahan, jumlah dan umur tanaman kakao, serta penggunaan klon
unggul, seluruhnya memberikan pengaruh positif terhadap produksi. Penggunaan
input produksi dapat meningkatkan produksi kakao rakyat dengan proporsi yang
sama yang ditunjukkan oleh ekonomi skala usaha yang cenderung pada kondisi
constant return to scale.
Pendekatan fungsi produksi Cobb-Douglas relatif sering dipakai dalam
penelitian efisiensi produksi pada berbagai usahatani komoditas pertanian. Berikut
hasil ulasan singkat beberapa penelitian menyangkut efisiensi produksi usahatani
berbagai komoditas pertanian, yaitu: (1) enam penelitian menyangkut efisiensi
produksi pada komoditas tanaman perkebunan tahunan, yaitu: salak pondoh
(Harsoyo, 1999), kakao (Slameto, 2003; Sahara et al. 2006), sawit (Hasiholan,
2005), lada (Sahara et al. 2004; Sahara dan Sahardi, 2005), (2) lima penelitian
menyangkut efisiensi produksi pada komoditas tanaman musiman, yaitu: cabai
merah (Sukiyono, 2005), ubi kayu (Asnawi, 2003), bawang merah (Suciaty,
2004), padi (Jauhari, 1999; Sahara dan Idris, 2005), melon (Yekti, 2004), dan (3)
dari sebelas penelitian tersebut hanya satu penelitian yang memakai pendekatan
translog, sedangkan yang lainnya memakai pendekatan Cobb-Douglas.
16
2.3. Penelitian Efisiensi Pemasaran pada Berbagai Usahatani Komoditas
Pertanian
Tinambunan (2007), meneliti efisiensi pemasaran gambir di Kabupaten
Pakpak Bharat, Sumatera Utara, sedangkan Yuhono (2004), menganalisis
pemasaran gambir di Desa Manggilang, Kecamatan Pangkalan Kotobaru,
Kabupaten
Lima
Puluh
Kota,
Sumatera
Barat.
Keduanya
sama-sama
menggunakan pendekatan margin pemasaran dan farmer’s share sebagai alat
analisis efisiensi pemasaran. Tinambunan menjelaskan bahwa margin pemasaran
yang terbentuk pada lembaga pemasaran yang terlibat dalam saluran pemasaran
tiga macam output gambir (daun/ranting muda, bubur gambir dan gambir kering)
sudah cukup seimbang dan efisien, sedangkan bagian harga yang diterima petani
juga lebih dari 75 persen. Yuhono dengan menggunakan pendekatan yang sama,
menyebutkan bahwa saluran pemasaran gambir cukup pendek dan sederhana,
yaitu dari petani ke pedagang pengumpul dan dari pedagang pengumpul ke
eksportir. Pendeknya rantai pemasaran membuat marjin pemasaran yang terjadi
cukup seimbang dan cukup efisien. Keduanya lebih lanjut menyebutkan,
meskipun usahatani gambir sudah menguntungkan dan layak untuk diusahakan,
serta saluran pemasaran gambir sudah efisien, akan tetapi semuanya belum tentu
dapat meningkatkan kesejahteraan hidup petani.
Harsoyo (1999), meneliti tentang efisiensi pemasaran salak pondoh di
Daerah Istimewa Yogyakarta. Tujuannya untuk mengetahui bagaimana pengaruh
perubahan harga di tingkat pedagang pengecer terhadap perubahan harga di
tingkat petani, apakah pasar salak pondoh terintegrasi secara vertikal, serta
bagaimana distribusi margin pemasarannya. Alat analisis yang digunakan adalah
elastisitas transmisi harga, analisis integrasi pasar, analisis margin pemasaran dan
17
farmer’s share. Ia menemukan bahwa pemasaran komoditas salak pondoh sudah
efisien. Berdasarkan analisis transmisi harga dan integrasi didapatkan bahwa
perubahan harga yang terjadi di tingkat pedagang pengecer diteruskan ke tingkat
petani. Petani juga ikut menikmati kenaikan harga tersebut dan dari analisis
margin pemasaran disimpulkan bahwa penyebaran margin cukup merata serta
bagian harga yang dinikmati petani sudah cukup besar, yaitu lebih dari 70 persen.
Hukama (2003), Kurniawan (2003) dan Slameto (2003), menggunakan
pendekatan yang lebih menyeluruh jika dibandingkan dengan Harsoyo,
Tinambunan dan Yuhono. Pendekatan SCP (Structure-Conduct-Performance)
digunakan dalam menganalisis efisiensi pemasaran. Hukama (2003), menganalisis
pemasaran jambu mete dengan daerah sampel dua kecamatan di Kabupaten Buton
dan satu kecamatan di Kabupaten Muna, Provinsi Sulawesi Tenggara. Pendekatan
SCP digunakan untuk mengetahui pola saluran pemasaran, struktur pasar yang
terbentuk dan perilaku pasar, faktor-faktor yang mempengaruhinya dan
keterpaduan pasar kacang mete. Kesimpulan dari penelitian tersebut adalah
pemasaran jambu mete belum efisien karena saluran pemasaran untuk
gelondongan maupun kacang mete masih panjang dan melibatkan banyak pelaku
pemasaran. Struktur pasar mengarah ke oligopsoni, praktek pencampuran jenis
mutu super dengan non super masih terjadi di pasar kacang mete. Keuntungan
pemasaran sebagian besar masih dinikmati oleh pedagang. Farmer’s share belum
adil jika ditinjau dari aspek resiko karena resiko paling besar ditanggung petani.
Jika ditinjau dari hasil analisis keterpaduan pasar kacang mete, dominasi
pedagang besar dalam menetapkan harga menempatkan petani sebagai penerima
harga.
18
Kurniawan (2003), yang meneliti kelembagaan pemasaran gaharu di
Kalimantan Timur, menggunakan pendekatan SCP untuk menganalisis perilaku
usaha pengumpul dan pedagang gaharu. Sedangkan untuk mengetahui
karakteristik kelembagaan pemasaran gaharu, dianalisis secara deskriptif
kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa bentuk kelembagaan yang
diterapkan dalam kelembagaan pemasaran gaharu adalah sistem patron-klien,
struktur pasar gaharu baik di tingkat kelembagaan pengumpul (desa), maupun
pedagang gaharu (kota) adalah oligopsoni. Hasil lain yang dikemukakan adalah
tidak seluruh patron (pedagang) dapat mengambil keuntungan dalam pemasaran
gaharu. Perilaku patron cenderung eksploitatif kepada kliennya sehingga klien
yang merasa dirugikan akan merespon dengan mengurangi loyalitasnya kepada
patron dimana perilaku ini menimbulkan moral hazard dalam kelembagaan
gaharu.
Slameto (2003), menganalisis kinerja kelembagaan pemasaran kakao rakyat
di Lampung dengan pendekatan SCP. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
struktur pasar cenderung pada kondisi oligopoli dengan perilaku pasar cenderung
terjadi transaksi pada pedagang yang sama. Harga ditentukan pedagang dan belum
dipatuhinya grading dan standarisasi produk. Keragaan pasar kakao belum baik
dimana hubungan antara pasar lokal (petani) dengan pasar acuan (eksportir)
kurang padu, sehingga harga yang terjadi tidak ditransmisikan secara sempurna ke
petani dan saluran pemasaran yang efisien adalah petani - pedagang pengumpul
tingkat kecamatan - eksportir.
Kesimpulan dari studi literatur menyangkut efisiensi produksi dan
pemasaran pada berbagai usahatani komoditas pertanian, terdapat dua penelitian
19
yang menggabungkan sekaligus analisis produksi dan pemasaran dalam satu
penelitian, yaitu penelitian tentang komoditas salak pondoh yang dilakukan
Harsoyo (1999) dan kakao yang diteliti oleh Slameto (2003). Seperti halnya
gambir, kedua komoditas tanaman perkebunan tahunan di atas juga didominasi
oleh perkebunan rakyat yang dalam proses produksi sampai pemasarannya
dihadapkan pada situasi dan kondisi dimana struktur pasar dan mekanisme
pembentukan harga yang terjadi cenderung merugikan petani produsen. Karena
itu penggabungan analisis kedua aspek (produksi dan pemasaran) dalam satu
kajian, bertujuan agar dapat memberikan alternatif solusi yang lebih menyeluruh
menyangkut semua partisipan dalam pasar, mulai dari petani, lembaga pemasaran
terkait, sampai ke konsumen akhirnya.
Download