Untitled - Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian

advertisement
Daftar Isi
Halaman Judul
Daftar Isi ...............................................................................................................
Bab I Pendahuluan ................................................................................................
1.1
Latar Belakang .................................................................................................
1.2
Tujuan ..............................................................................................................
Bab II Studi Kepustakaan .......................................................................................
2.1
Landasasan Teori..............................................................................................
2.2
Pengalaman di Negara Lain .............................................................................
Bab III Metodologi ......................................................................................................
3.1
Teknik Analisis RIA ...........................................................................................
3.2
Data .................................................................................................................
Bab IV Hasil Regulatory Impact Analysis (RIA) .....................................................
4.1
Kondisi Usaha Mikro, Kecil dan Menengah dan Aspek Pembiayaan................
4.2
Pandangan Terhadap Regulasi.........................................................................
4.3
Kondisi Eksisting Perusahaan Penjaminan.......................................................
i
1
1
2
4
4
9
15
15
17
19
19
24
39
4.4
Business Model Penjaminan Kredit.................................................................
45
4.5
Pandangan Terhadap Credit Re-guarantee......................................................
4.6
Analisis Biaya dan Manfaat..............................................................................
4.6.1 Manfaat ...........................................................................................................
4.6.2 Biaya ................................................................................................................
Bab V Kesimpulan dan Saran ...............................................................................
5.1
Kesimpulan yang dapat diambil dari kajian ini antara lain:.............................
5.2
Saran ...............................................................................................................
Daftar Pustaka .....................................................................................................
46
49
50
53
57
57
58
60
i
BAB I: PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
Berdasarkan peraturan presiden No 2 tahun 2008 bahwa Penjaminan kredit adalah kegiatan
pemberian jaminan atas pemenuhan kewajiban finansial Penerima Kredit dan/atau Pembiayaan
berdasarkan Prinsip Syariahsedangkan Penjaminan Ulang adalah kegiatan pemberian jaminan
atas pemenuhan kewajiban keuangan Perusahaan Penjaminan yang telah menjamin
pemenuhan kewajiban finansial Penerima Kredit dan/atau pembiayaan berdasarkan Prinsip
Syariah. Sedangkan Perusahaan Penjaminan adalah badan hukum yang bergerak di bidang
keuangan dengan kegiatan usaha pokok melakukan Penjaminan dan perusahaan Penjaminan
Ulang adalah badan hukum yang bergerak di bidang keuangan dengan kegiatan usaha
melakukan Penjaminan Ulang.
Penjaminan menjadi sangat penting bagi perekonomian Indonesia karena motor penggerak
perekonomian didominasi oleh usaha mikro, kecil ,dan menengah dimana kemampuan mereka
dalam mengakses kredit masih rendah maupun pengembalian kredit masih cukup tinggi
hambatan yang dihadapi serta bagi penyedia dana pinjaman juga masih beranggapan bahwa
UMKM cukup berisiko dalam hal kemampuan pengembalian kredit. Hal ini terbukti,
berdasarkan data Kementrian Koperasi dan UKM tahun 2014, dengan kontribusi UMKM
terhadap pangsa dari unit usaha yang mencapai 99,99 % dari jumlah unit usaha yang ada di
Indonesia, dan 96,99 % menyerap tenaga kerja nasional, dan sumbangan terhadap pendapatan
nasional sebesar lebih dari 60 % tetapi hanya mendapat kredit dari perbankan sebesar kurang
dari 20 % dari total alokasi kredit perbankan. Meskipun penjaminan bukan merupakan syarat
mutlak pembiayaan, tetapi hal ini penting, Selama ini, beberapa kegiatan pembiayaan program
pemerintah kepada UMKM telah didukung oleh perusahaan penjaminan. Tetapi dalam
pelaksanaannya, kapasitas perusahaan penjaminan masih sangat terbatas, dan perlu
meningkatkan kapasitas penjaminan kepada UMKM yang jumlahnya mencapai 55 juta unit
usaha. Salah satu peningkatan tersebut dengan adanya skema penjamin ulang
1
Sampai saat ini terdapat empat Perusahaan Penjaminan Kredit dengan lingkup nasional, yaitu:
Perum Jamkrindo, PT Penjaminan Jamkrindo Syariah dan PT. PKPI. Selain itu terdapat lima belas
Perusahaan Penjaminan Kredit yang ruang lingkup operasionalnya di daerah, yaitu: PT.
Jamkrida Jatim, PT. Jamkrida Bali Mandara, PT. Jamkrida Riau, PT. Jamkrida NTB Bersaing, PT.
Jamkrida Jabar dan PT. Jamkrida Sumbar, PT Jamkrida NTT, PT Jamkrida Banten, PT Jamkrida
Kalsel, PT Jamkrida Kaltim, PT Jamkrida Kalteng, PT Jamkrida Papua, PT Jamkrida Jateng, PT
Jamkrida Sumsel, dan PT Jamkrida Babel. Namun demikian, perusahaan penjaminan tersebut
belum didukung oleh perusahaan penjaminan ulang karena sampai sekarang perusahaan
penjaminan ulang masuh belum ada. Padahal dengan adanya perusahaan penjaminan ulang
akan semakin meningkatkan kapasitas penjaminannya. Perusahaan-perusahaan penjaminan
tersebut, saat ini kapasitasnya masih kecil. Sebagai contoh, Perum Jamkrindo yang melakukan
penjaminan KUR dari tahun 2007 – 2014 mencapai Rp. 93,3 triliun seharusnya dapat
memberikan penjaminan yang makin meningkat jika ada penjaminan ulang.
Mempertimbangkan terbatasnya kelembagaan dan kapasitas penjaminan perusahaan
penjamin, sedangkan praktek penjaminan semakin meningkat dan besar, maka perlu dilakukan
kajian Kemungkinan Pendirian Perusahaan Penjaminan Ulang. Kajian ini diantaranya untuk
mengetahui kapasitas penjaminan yang ada dibandingkan jumlah kredit perbankan kepada
UMKM pada umumnya dan kemungkinan kebutuhan pendirian perusahaan penjaminan ulang
di Indonesia. Diharapkan hasil kajian baik dari aspek regulasi, ekonomi, kelembagaan tersebut
dapat memberikan rekomendasi yang dapat dijadikan masukan untuk pembahasan kebijakan
penjaminan ulang dan mendukung perlu adanya perusahaan penjaminan ulang baik dalam
bentuk BUMN maupun non BUMN serta memungkinkan keberadaan perusahaan penjaminan
ulang lebih dari satu.
1.2
Tujuan
Maksud dan tujuan kajian ini adalah untuk mengetahui kemungkinan pendirian perusahaan
penjaminan ulang , diantaranya mencakup:
a. Menginventarisasi regulasi dan kebijakan yang terkait dengan penjaminan ulang
2
b. Menginventarisasi kendala dan permasalahan yang terjadi pada pelaksanaan kebijakan
penjaminan ulang termasuk juga apakah pemerintah perlu menyediakan dukungan
APBN terkait dengan perusahaan penjaminan ulang
c. Menganalisa aspek ekonomi, kelembagaan (perlu tidaknya mendirikan lembaga baru
atau merubah lembaga yang sudah ada baik dalam bentuk BUMN maupun non BUMN)
d. Merekomendasikan hal-hal yang harus dilakukan (rencana tindak) dalam rangka
pendirian perusahaan penjaminan ulang.
3
BAB II: STUDI KEPUSTAKAAN
2.1
Landasan Teori
Ada beberapa teori yang penting untuk mendukung kajian pendirian penjaminan ulang kredit
antara lain teori resiko kredit, resiko sistemik, credit rationing atau rasionalisasi kredit, dan
keuangan inklusif. Jika dibagi menjadi pelaku dalam industri penjaminan kredit maka bisa dibagi
menjadi sisi permintaan dan penawaran. Sisi permintaan adalah usaha mikro kecil dan
menengah dan perbankan sedangkan dari sisi permintaan adalah perusahaan penjamin dan
penjaminan ulang. Kedua sisi pelaku tersebut mempunyai potensi kegagalan atau default risk.
Risiko kredit (credit risk) adalah kondisi risiko kerugian yang disebabkan oleh ketidakmampuan
atau gagal bayar (default) dari debitur (penerima kredit) atas kewajiban pembayaran utangnya
baik utang pokok ataupun bunganya kepada kreditur (penyalur kredit). Risiko kredit biasanya
dapat terjadi karena adanya perilaku agen yang dikenal dengan istilah moralhazard
(pelanggaran moral). Dalam ilmu ekonomi, moral hazard dapat terjadi ketika seseorang
menanggung risiko lebih besar karena tindakan orang lain yang seharusnya menanggung
risiko tersebut. Moral hazard juga dimaknai ketika ada perilaku suatu pihak yang membuat
pihak lain mengalami kerugian setelah transaksi ekonomi terjadi. Moral hazard biasanya
muncul disebabkan karena adanya sebuah fenomena informasi yang tidak simetris (asymmetric
information). Informasi yang tidak simetris atau setara menimbulkan risiko bagi kreditur karena
kreditur tidak memiliki informasi kondisi debitur yang sesungguhnya.
Faktor lain yang berpengaruh dalam menentukan resiko kredit adalah informasi yang tidak
simetris atau kredit adalah informasi tidak sempurna dimaknai sebagai adanya salah satu
pihak yang memiliki informasi lebih banyak dibandingkan pihak yang lain. Kondisi ini
cenderung menyebabkan terjadinya pengeksploitasian sumberdaya ekonomi atau informasi
bagi pihak tertentu yang mengetahui informasi lebih banyak. Akibatnya, pihak yang kekurangan
informasi dapat dirugikan dan memicu terjadinya kegagalan pasar (market failure).
4
Dalam kasus pendirian perusahaan penjaminan ulang, risiko kredit yang timbul adalah adanya
perilaku moral hazard dari beberapa stakeholders (perbankan dan perusahaan penjaminan).
Hal tersebut dapat terjadi jika perusahaan penjaminan mengeluarkan produk penjaminan
kepada nasabah tanpa adanya uji kelayakan. Di sisi lain, perbankan juga tidak memberikan
retriksi kepada nasabah yang kurang feasible untuk menyalurkan kredit. Secara otomatis hal-hal
tersebut akan memicu terjadinyadefault besar-besaran. Akhirnya, perbankanakan mengajukan
klaim kepada perusahaan penjaminan dan perusahaan penjaminan akan mengajukan klaim
pula kepada perusahaan penjaminan ulang. Sehingga, risiko kredit akan berdampak sistemik
jika tidak diatur regulasi yang memadai dan komprehensif. Sebuah regulasi atau peraturan
hukum yang tegas diharapkan dapat diterapkan dengan tegas sehingga menekan risiko kredit
serta mencegah terjadinya perilaku moral hazard dari oknum-oknum yang tidak bertanggung
jawab.
Salah satu problem akses kredit oleh institusi umkm adalah adanya rasionalisasi kredit bank
atau credit rationing. Perilaku ini muncul karena bank melakukan pembatasan kredit yang
dikucurkan akibat dari faktor tertentu yaitu bisa akibat kebijakan pemerintah atau bencana
alam atau bisa disebut exogenous credit rationing atau akibat dari bank yang membatasi kredit
karena motivasi ekonomi dari bank sendiri seperti misalnya ekspektasi keuntungan atau yang
disebut endogenous credit rationing. Hodgman (1960) adalah salah satu yang mengembangkan
teori endogenous credit rationing yang konsisten dengan perilaku pemaksimalan keuntungan.
Pada model ini ditunjukkan bahwa resiko gagal bayar berkorelasi dengan kredit yang
dikucurkan.
Model endogenous credit rationing terdiri dari dua komponen yaitu minimum return pada
saat ada kegagalan bayar dan pada saat tidak ada kegagalan bayar. Pada saat kredit beranjak
naik maka ekspektasi keuntungan mengikuti naik tetapi dengan kredit yang terus menerus
maka pada titik tertentu, bank titik ekspektasi maksimum kredit sehingga pada tersebut
harapan akan keuntungan dari kredit akan maksimum pula. Kredit yang dikucurkan oleh bank
5
melampaui titik maksimum akan dianggap terlalu beresiko dan hal ini diantisipasi oleh bank
dengan cara menaikkan harga kredit sehingga mengurangi permintaan kredit serta profit yang
diperoleh bank.
Pembahasan mengenai lembaga penjaminan atau penjaminan ulang tidak lepas dari resiko
potensial yang mungkin terjadi dalam pengucuran kredit. Sejak sekitar awal tahun 2000an
kajian mengenai dampak dari sistem keuangan terhadap perekonomian makro akibat dari
kegagalan industri penjaminan ulang telah mendapat banyak perhatian dari praktisi keuangan,
pembuat kebijakan, maupun akademisi. Seperti, Swiss Re (2003), Rossi dan Lowe (2002), The
Group of Thirty, (2006). Meskipun di awal-awal munculnya penelitian ini menghasilkan
kesimpulan bahwa umumnya resiko terhadap kegagalan kredit terhadap perekonomian kecil
dan tidak signifikan akan tetapi kemudian pada periode berikutnya muncul banyak riset yang
menentang temuan ini sejak terjadinya krisis keuangan dan menunjukkan bagaimana stabilitas
keuangan dan industri penjaminan serta dampaknya terhadap kondisi keuangan dan
perekonomian secara keseluruhan (Cummins dan Weiss, 2014; Grace, 2011; Bell dan Keller,
2009; Acharya, et al., 2010; Harrington , 2009; Billio, et al., 2012)
Secara umum literature menggunakan tiga indikator utama untuk menilai tingkat resiko
sistematis yang ditunjukkan oleh institusi antara lain ukuran, saling keterkaitan, dan
substitusi. Hal ini bisa dimengerti bahwa industri penjaminan menjadi korban akibat resiko
sistemik karena keterkaitannya yang tinggi terhadap penjaminan ulang dan kompleksitas pasar
penjaminan ulang. Pasar penjaminan ulang meningkatkan saling keterkaitan secara
eksponensial dan oleh karena itu dapat meningkatkan resiko sistemik pada keseluruhan pasar.
Perusahaan penjaminan ulang berada pada posisi teratas pada jaringan sektor penjaminan.
Kegagalan perusahaan penjaminan ulang dapat menghasilkan ketidakstabilan keuangan dalam
sektor penjaminan yang lebih luas dan dapat menyebabkan efek menular atau spillover effect
pada perekonomian secara keseluruhan. Terbeih lagi, resiko ini dapat diperburuk jika resiko
kegagalan atas penjamin primer akibat kegagalan penjamin ulang yang tidak dapat dibayangkan
6
secara transparan di pasar seperti yang kita lihat pada krisis saat ini. Dan pada faktanya, bagi
investor, pengaturan penjaminan ulang antara penjamin primer atau utama dengan penjamin
ulang sering kali terlihat rumit, pada kompleksitas pengaturan kontrak dan jumlah pihak yang
terlibat. Oleh karena itu sangat penting untuk mengerti keterkaitan antara industry penjaminan
dan penjaminan ulang dan apakah pasar dapat mengevaluasi resiko dari penjaminan ulang.
Mengerti keterkaitan antara penjamin dan penjaminan ulang, serta resiko sistemik adalah
langkah penting dalam konteks untuk mengevaluasi potensi resiko sistemik yang diakibatkan
oleh perusahaan penjaminan ulang. Akan tetapi hal ini tidak memberikan kita informasi
bagaimana seriusnya potensi masalah yang bisa terjadi. Kita tidak dapat menilai resiko sistemik
yang dibawa oleh penjamin ulang dengan menggunakan data historis dan pengalaman di
berbagai negara karena tidak ada perusahaan penjaminan ulang yang gagal.
Penjamin primer mentransfer sebagian resiko yang harus mereka tanggung untuk
mendapatkan bantuan lebih, memagari resiko kerugian yang besar dan menstabilkan kinerja
tanggungan jaminan mereka. Tindakan untuk manajemen resiko ini, bagaimanapun juga
meningkatkan resiko lainnya yaitu resiko kredit penjaminan dimana penjamin primer tidak
dapat memulihkan kerugian dari penjamin ulang. Sebagai praktik secara umum, penjamin
primer mengatur resiko kredit dengan mengambil kelayakan kredit dari penjamin ulang dan
dengan memonitor akumulasi resiko yang bisa muncul untuk setiap penjaminan ulang (Bodoff,
2013). Literatur yang saat ini menjelaskan dampak dari kekuatan rating penjamin primer pada
permintaan terhadap penjaminan. Epermanis dan Harrington (2006) menganalisis hubungan
antara pertumbuhan jaminan premium dan perubahan kekuatan keuangan untuk di Amerika
Serikat dan menemukan penurunan yang signifikan dari premium. Mereka menyimpulkan
bahwa peringkat jaminan premium konsisten dengan permintaan resiko.
Para ahli ekonomi menyatakan bahwa pembangunan ekonomi hanya akan membuat
perbaikan kehidupan sebagian besar masyarakat ketika ada akses yang adil atas layanan
keuangan pada umumnya dan akses kredit pada umumnya dapat dinikmati oleh masyarakat
7
bawah. Inkusi keuangan (Financial inclusion) adalah konsep yang relative baru
dalam
pembangunan ekonomi yang berarti tersedianya akses yang universal untuk berbagai jasa
keuangan dengan biaya yang wajar yang diberikan oleh lembaga keuangan baik formal maupun
informal kepada individu, rumah tangga maupun sekelompok masyarakat (The provision of
accessible, affordable and relevant financial products and services to individuals, households or
groups).
Berdasarkan data dari Bank Dunia tentang peta inklusi keuangan tahun 2011, indeks inklusi
keuangan Indonesia 19,6%. Sementara Malaysia mencapai 66,75 dan Vietnam 21,4%. Oleh
karena itu Indonesia berupaya mendorong untuk lebih baik dengan program keuangan inklusif
untuk meningkatkan akses pada layanan keuangan baik untuk individu dan maupun usaha
mikro, usaha kecil dan menengah (UMKM). Sebagai tulang punggung ekonomi di akar rumput,
penguatan akses ke layanan keuangan untuk UMKM
penting untuk memperkuat sektor
keuangan dan mobilisasi sumber daya dalam negeri dan karena itu dapat memberikan
kontribusi yang signifikan terhadap pembangunan sosial dan ekonomi. Bank Indonesia
mengidentifikasi manfaat inklusi keuangan diantaranya dapat meningkatkan efisiensi ekonomi
dan mengurangi kesenjangan (inequality) dan rigiditas lowincome trap. Artinya sehingga dapat
meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang pada akhirnya berujung pada penurunan tingkat
kemiskinan.
Inklusi keuangan adalah konsep yang sangat luas dan melibatkan berbagai macam produk
keuangan yang relevan untuk UMKM terutama kredit, tabungan, asuransi, dan layanan
pembayaran tr. Hal ini juga melibatkan delivery channel yang berbeda, termasuk lembaga
transfer dan remitansi. Sementara penyedia jasa layanan keuangan mikro dapat berbentuk
koperasi, serikat kredit (credit union), Bank Perkreditan Rayat (BPR) dan bahkan perusahaan
telekomunikasi seperti Telkomsel juga menyediakan layananan keuangan.
Dalam kaitanya dengan akses kredit untuk UMKM, Konsensus Monterrey (Monterey Concensus)
mengakui bahwa keuangan mikro dan kredit untuk usaha mikro, usaha kecil dan menengah
penting untuk meningkatkan dampak sosial dan ekonomi dari sektor keuangan. Karena itu
mengatasi kendala-kendala yang menghambat orang untuk berpartisipasi penuh dalam sektor
8
ekonomi dan keuangan harus dihilangkan. Ini terutama hambatan bagi kebutuhan akses ke
layanan keuangan bagi masyarakat miskin, termasuk UMKM. Dalam Publikasi Strategi Nasional
Pengembangan Inklusi Keuangan untuk pegentasan kemiskina yang diterbitkan oleh Kantor
Sekretariat Wakil Presiden, jelas disebutkan bahwa keuangan inklusif diharapkan menjadi salah
satu pilihan kebijakan untuk pengentasan kemiskinan.
2.2
Pengalaman Di Negara Lain
Struktur system pejaminan ulang di Jepang menggunakan dua system yaitu system kredit
garansi (credit guarantee system) dan sistem asuransi kredit (credit insurance system). Dalam
system asuransi (Credit Insurance Company, JFC) maka perusahaan penjaminan kredit
mengadakn kontrak dengan JFC yangn merupakan lembaga pemerintah pusat. Perusahaan
penjaminan kredit (PPK) membayar premi sejumlah tertentu. Jika terjadi kegagalan bayar maka
JFC akan membayar sejumlah dana untuk PPK. Ketika PPK berhasil menagih sebagian dana
kepada debitur UMKM maka dana akan dibayarkan ke JFC sebagai hak atas subrogasi pinjaman.
JFC adalah lembaga Negara sehingga selalu disediakan anggaran untuk menutup kerugian yang
dialami.
Sementara dalam system penjaminan kredit maka bank pemberi kredit akan mengadakan
kerjasama penjamainan dengan PPK. Nasabah UMKM akan mmebayar biaya berupa premi
kepada PPK. Ketika nasabah mengalami kemacetan maka PPK akan membayar sejumlah dana
kepada bank pemberi kredit. Ketika sejumlah dana berhasil ditagih dari debitur UMKM maka
hasilnya akan masuk ke PPK.
Pada tahun 2013 jumlah UMKM yang mendapat fasilitas penjaminjan kredit sebanyak
1.540.000 perusahaan dengan nilai mencapai EUR 215.4 milyar. Sementara total UMKM
sebanyak 3.85 juta dengan jumlah pinjman mencapai EUR 1.778 Milyar. Skala penjaminjan
kredit UMKM di Jepang mencapai 38% dari total kredit UMKM dan nilainya mencapai 6% dari
seluruh GDP Jepang. Ini berarti penjaminan kredit di Jepang merupakan system penjaminan
yang paling besar di dunia diukur dari prosentase GDP. Sementara Korea Selatan menduduki
9
posisi kedua yaitu sebesar 5.5% dari GDP. Malaysia merupakan Negara dengan porsi
penjaminan terhadap GDP tertinggi di Asia tenggara yaitu mencapai 1% dari GDP.
Fungsi Penjaminan Ulang yang menarik dari fungsi penjaminan Ulang (Credit Supplementation)
di Jepang adalah ternyata ia menjadi bagian penting strategi ekonomi nasional. Selain fungsi
tradisional untuk membantu akses keuangan kepada UMKM maka dalam perkembanganya
ternayata Perusahaan Penjaminan Ulang (PPU) memiliki dua fungsi penting yaitu fungsi Safety
net dan fungsi Pendukung Strategi Pembangunan (Supporting Strategic Areas of Growth).
Fungsi safety net diwijudkan dengan peran PPU dalam mendukung pemerintah mengurangi
dampak buruk krisis ekonomi terhadap UMKM. Fungsi ini diwujudkan dalam bentuk
penambahan fasilitas kredit baik jumlah maupun jangka waktu. PPU juga diberi amanat oleh
pemerintah untuk mendukung pemulihan ekonomi (recovery) pada daerah daerah yang
emngalami bencana alam (natural disaster) seperti karena gempa bumi, tsunami maupun
bencana alam yang lain.
JFC sebabagi PPU terbesar di dunia menunjukan kinerja yang bagus. Pada 2010 jumlah yang
disalurkan mencapai JPY 35 triliun dengan 1.590.000 UMKM menjadi pengguna jasa. Sebagai
lembaga yang menjalankan fungsi safety net, maka ternyata 40% UMKM di Jepang
menggunakan layanan ini. Dengan total kredit UMKM sbesar JPY 250 triliun maka berarti 14%
kredit merupakan hasil dari penjaminan kredit. Mengiant skala penjaminan UMKM di Jepeang
yang besar maka pada 2006 dilakukan reformasi yaitu diterapkanya risk based premium untuk
mencegah moral hazard yang berlebihan.
Sementara itu dalam rangka mendukung strategi pembangunan ekonomi yang lebih berhasil,
PPU diberi amanah untuk mendukung perusahan yang baru berdiri (start up company) dalam
pembiayaan dan bantuan teknis. Ini menjadi startegi nasional Jepang untuk menumbuhkan
wirausaha muda dalam bisnis yang terkait dengan industry kreatif. Sementara itu untuk
program revitalisasi bisnis, dukungan khusus diberikan untuk melakukan revistaslisasi bisnis
atau daerah agar menjadi sumber aktifitas ekonomi baru dan penyerapan tenaga kerja.
10
Pada masa normal JFC sebagai PPU hanya menjamin skim asuransi kredit sebesar 70% dengan
premi antara 0.25% sampai 1.69%. Sementara untuk perusahaan penjaminan kredit (PPK)
maksimum perlindungan adalah 80% dari total kredit. Seiring fungsi dari JFC untuk menjadi
bagian dari safety net UMKM di Jepang maka JFC mengubah aturan sebagai respon atas krisis
ekonomi global dengan cara menaikan Plafond maksimal sebesar 25% dengan cakupan asuransi
sebesar 80% dengan premi asuransi sebesar 0.41%. Sementara untuk skim penjaminan kredit
rasio jaminan naik dari 80% menjadi 100% dengan premi sama dengan asuransi yaitu 0.41%.
Sementara untuk respon atas gempa bumi di wilayah Jepang Timur, plafond asuransi dinaikan
mancapai EUR 2.89 juta dari sebelumnya hanya EUR 1.45 juta per perusahaan UMKM.
Manfaat yang dihasilkan oleh program jaminan pinjaman adalah terjadinya kenaikan pinjaman
tambahan yang diberikan. Kenaikan ini disebabkan oleh sebagian dari pinjaman yang diberikan
tidak akan terjadi karena lembaga pemberi kredit enggan memberikan pinjaman karena
risikonya sangat tinggi. Dengan adanya penjaminan maka sebagian risiko akan ditanggung oleh
peusahaan penjaminan kredit (PPK).
Maafaat penjaminan juga dinikmati baik oleh peminjam mapun masyarakat dalam bentuk
manfaat dari peningkatan laba bersih yang dinikmati oleh peminjam UMKM. Pinjaman akan
membuat skala usaha meningkat sehingga masyarakat juga mendapat manfaat seperti
ketersediaan barang lebih banyak, kesempatan kerja dan kegiatan ekonomi. Penjaminan
berhasil jika pembiayaan pada sector yang menjadi tarjet meningkat jumlahnya dibandingkan
jika tanpa adanya penjaminan. Tambahanpendapatan bersih terjadi jika peminjam
yangmenerima pinjaman karena penjaminan mampu mengembalikan pinjamannya.
Penelitian Uno, Uesugi dan Yasuda (2013) menguji secara empiris apakah Program Jaminan
Kredit Darurat (Japan's Emergency Credit Guarantee Program) yang diperkenalkan oleh
pemerintah JepangPemerintah pada tahun 2008 meningkat ketersediaan pinjaman bank untuk
usaha kecil dan menegah (UMKM) dan juga memberikan kontribusi UMKM untuk
11
meningkatkan kinerja bisnis. Ketiga peneliti membuktikan program penjaminan berhasil
mencapai tujuanya. Karena perusahaan-perusahaan kategori UMKM memiliki akses terbatas ke
opsi pendanaan lain seperti commercial paper, obligasi korporasi,atau ekuitas, maka
penjaminan untuk akses pembiayaan UMKM sangat diperlukan. Ketiga peneliti melihat
pentingnya ketersediaan kredit yang lebih baik bahkan lebih besar dikonteks krisis keuangan
saat ini. Meskipun krisis kredit untuk akibat global financial crisiskurang parah di Jepang
daripada di Amerika Serikat dan Eropa, namun skema penjaminan kredit telah membantu
untuk meringankan beban dan kebutuhan pembiayaanuntuk usaha kecil dan menengah.
Peneliti mengkonfirmasi bahwa program EKG penjaminan kredit efektif dalam meningkatkan
akses perusahaan 'untukkredit. Yang menarik adalah penjaminan tidak menaikan kredit
investasi. Namun ada kecenderungan moral hazard yaitu perusahaan mengalihkan pinjaman
komersial ke pinjaman yang dijamin karena biaya lebih murah.
Rasiah dan Ming (2012) menyatakan inisitif pemerintah Malaysia dengan mengambil berbagai
strategi dan inisiatifuntuk mendukung pertumbuhan bisnis dan pengembangan keterampilan
UMKM diantaranya dengan mendirikan perusahaan penjaminan kredit telah berhasil mengatasi
kesulitan akses pembiayaan oleh pengusaha UMKM. Namun demikian penjaminan tidak
memadai untuk pengembangan UMKM karena langkah lain
seperti peningkatanmanajemen
informasi dan infrastruktur fisik, dan penegakan peraturan dan persyaratan operasiPerusahaan
UMKM. Pusat belajar yang penting bagi pengusaha UMKM adalah UKM infoportal
www.smeinfo.com.my). Ini layanan terpadu UMKM yang diluncurkan pada Januari 2006 untuk
memberikan informasi yang terkait dengan pembiayaan,program infrastruktur, pangsa pasar,
teknologi, jasa konsultasi, pemerintah dan pelatihan. Ini dilakukan karena data menunjukan
tingkat keahlian UMKM lebih rendah dan Lembaga perantara bisa memfasilitasi UMKM dalam
mencapai kinerja yang lebih baik. Dengan demikian, Lembaga penjaminan kredit (CGC)
berperan lebih aktif dalam mendukung UMKM untuk maju bukan sekedar memebri akses ke
pembiayaan saja. Ini diperlukan agar UMKM mencapai tingkat operasi yang wajar dan efisien.
12
Khan (2014) menyatakan keberadaan penjaminan kredit sangat penting bagi kreditur di tengah
krisis ekonomi yang terjadi saat ini. Pengalaman Kroasia yang berhasil menarik dana asing
dalam jumlah besar untuk perusahaan dalam negeri tidak lepas dari keberadaan lembaga
penjaminan kredit yang diidirkan oleh pemerintah. Lembaga penjaminan mengurangi problem
asymmetric informationdan
mendorong investor dan kreditor untuk terlibat dalam
pembiayaan karena ada jaminan. Penjaminan selain meningkatkan akses keuangan, jangka
waktu yang labih lama, biaya pinjaman yang lebih rendah namun ternyata mendorong
penerbitan instrument hutang lebih banyak untuk investasi di dalam negeri.
Zhang dan Ye (2010) menyatakan sistem penjaminan kredit bagi UKM di China tidak beroperasi
secara efektif dalam mendukung akses keuangan bagi UMKM karena perusahaan penjaminan
kredit (CGO) tidak bekerja dalam bisnis penjaminan sesuai dengan tujuan kebijakan yang benar.
Perusahaan penjaminan hanya terlibat dalam fungsi tambahan kredit perbankan biasa dan
mereka hanya sebagai penyedia layanan tambahan demgam memanfaatkan ketidakcukupan
perbankan dalam pengelolaan risiko kredit. Sementara sejak awal sistem penjaminan
direncanakan untuk mengarahkan agar kredit dinikmati UMKM yang membetuhkan
pembiayaan tetapi tidak memiliki jaminan yang memadai sehingga penjaminan berfungsi untuk
memecahkan kesulitan akses pembiayaan UKM, Karena itu disarankan agar penjaminan kredit
distandardisasi terus-menerus sesuai tujuan awal pendirian.
Survey dari Viena Initiative 2014 menunjukan kelemahan berapa lembaga penjaminan kredit
(CGC) yaitu 32 % dari CGSs beroperasi dalam struktur pemerintah sehingga kurang adaptif
terhadap perubahan yang terjadi di perekonomian. Karena lembaga Negara maka 50% dari
CGS adalah lembaga bukan untuk tujuan laba (non –profit) karena itu penilaian kinerjanya
sebaiknya disusun secara berbeda. Semua CGS di Eropa Timur ternyata tidak tidak menetapkan
tambahan persyaratan yang spesifik. Bahkan 73 % dari CGS tidak memiliki ketentuan khusus
(sunset clause) untuk antisipasi krisis sehingga fungsi safety net tidak tersedia.
13
Asosiasi Penjamin Kredit Eropa (AECM) menyatakan masalah yang perlu menjadi perhatian
lembaga penjaminan dan penjaminan ulang adalah harga. Namun demikian Jepang melihat
penjaminan ulang sebagai bagian dari perlindungan ekonomi kepada UMKM sehingga subdisi
harus diberikan. AECM juga mengusulkan pada otoritas perbankan agar kredit yang dijamin
oleh PPK pemerintah diberi bobot risiko nol.
14
BAB III: METODOLOGI
3.1 Teknik Analisis RIA
Metode yang diterapkan dalam kajian ini secara umum mengikuti kerangka Regulatory Impact
Analysis (RIA) dimana pendekatan ini akan menjelaskan kinerja regulasi yang ada terkait dengan
penjaminan ulang serta menjawab apakah pemerintah perlu menyediakan dukungan APBN
terkait dengan perusahaan penjaminan ulang serta mengusulkan kebijakan alternatif. RIA
sangat efektif dan sistematis dalam mendeskripsikan tujuan sebuah regulasi dan memberikan
opsi kebijakan.
Pemerintah butuh untuk bekerja secara sistematis untuk memastikan bahwa regulasi dan
penerapannya berkualitas tinggi karena biaya yang harus ditanggung oleh masyarakat akibat
aturat yang buruk sangat tinggi. Kualitas peraturan yang rendah akan meningkatkan biaya
komplain untuk para pengusahadan kelompok yang lain, mengarahkan pada kerumitan yang
tidak penting dan ketidakpastian kewajiban dan mengurangi kemampuan pemerintah untuk
mencapai tujuannya.
RIA menuntut kita untuk mengetahui: masalah apa yang akan kita identifikasi dan selesaikan,
tujuan kebijakan apa yang akan kita capai, serta cara apa saja yang bisa kita lakukan untuk
mencapainya. BAnyak aspek penting dan menarik yang bisa dijawab dengan RIA antara lain
market failure (kegagalan pasar) yaitu kondisi dimana regulasi kdang tidak bisa berjalan
semestinya, serta bisa melakukan studi komparasi antaraa benefit (manfaat) serta cost (biaya)
atau lebih dikenal dengan BCA (Benefit-Cost Analysis) yang harus ditanggung oleh semua pihak
yang terlibat atau terdampak dalam sebuah regulasi atau sebuah kebijakan.
Adapun design RIA akan mencakup poin-poin yang dapat diringkas dalam tabel sebagai berikut:
Tabel 3.1
Kerangka Kerja RIA
Judul Bagian
Deskripsi
15
1. Tujuan
Apa tujuan utama dari pendirian penjaminan ulang
2. Permasalahan
Identifikasi permasalahan yang ingin diselesaikan dengan
regulasi atau kebijakan atau dengan pendirian penjaminan
ulang. Di bagian ini mencakup antara lain:
a. Konteks yaitu konteks ekonomi apa dalam hal ini yang
ingin dimulai/pengelolaan dana, pengamanan dana
nasabah, peningkatan akses kredit masyarakat, dan
pemberdayaan ekonomi menengah kecil.
b. Bagaimana penjaminan ulang bisa terkait dengan
kondisi saat ini terkait dengan akses kredit terutama
bagi UMKM atau penjaminan lembaga penjamin
kredit yang ada saat ini, kenapa harus ada lembaga
penjamin ulang lagi saat ini.
c. Apakah masalah utama saat ini sehingga dibutuhkan
lembaga penjaminan ulang.
d. Siapa saja yang akan terdampak oleh adanya lembaga
penjaminan ulang
3. Peraturan atau kebijakan Menjelaskan kebijakan yang diajukan
yang diajukan
a. Mendeskripsikan
rencana
kebijakan
pendirian
lembaga penjaminan ulang kredit
b. Menunjukkan peran lembaga penjaminan ulang
c. Sebutkan pihak-pihak yang terdampak oleh kebijakan
ini
(masyarakat/nasabah,
perbankan,
lembaga
penjaminan, pemerintah)
d. Menjelaskan masa pengawasan dan penjaminan
ketaatan terhadap kebijakan
4. Benefit-Cost Analysis (BCA)
Menjelaskan manfaat dan biaya yang harus ditanggung oleh
setiap pihak yang terimbas oleh regulasi atau kebijakan
antara lain:
16
a. Nasabah
b. Perbankan
c. Lembaga penjaminan
d. Pemerintah
5. Pembandingan Biaya dan Identifikasi
Manfaat
perbandingan
kemungkinan
pendirian
antara
biaya
lembaga
dan
penjaminan
manfaat
ulang.
Termasuk di dalamnya ada table analisis dari setiap pihak
yang terdampak.
6. Identifikasi
Kebijakan Mengidentifikasi kebijaka lain yang bisa digunakan untuk
alternatif
untuk mengatasi masalah penjaminan ulang, apa dampak dari
menyelesaikan
masalah setiap alternatif, apa hambatan potensial dari setiap
penjaminan
alternatif, bagaimana alternatif bekerja.
7. Perbandingan
manfaat
alternatif
biaya
dari
kebijakan
dan Mengidentifikasi kebijakan yang paling superior diantara
setiap yang lain
yang bisa menyelesaikan masalah
terkait
atau penjaminan ulang.
regulasi
8. Konsultasi
Melakukan diskusi dan FGD dengan semua pihak yang terkait
atau terdampak dalam kebijakan atau regulasi yang akan
disulkan atau yang ada.
Kerangka RIA yang ada dalam tabel akan menjadi pedoman dalam menjawab kajian
kemungkinan pendirian lembaga penjaminan ulang kredit. Setiap item dalam tabel akan
dijawab melalui proses analisis data dan informasi yang baik melalui data kuantitatif maupun
kualitatif. Eksplorasi dan investigasi terhadap narasumber dan data yang diperoleh akan
digunakan untuk menjawab dan member gambaran kerangka RIA.
3.2
Data
Data atau informasi untuk analisis akan diperoleh dari beberapa metode antara lain:
17
 Dokumentasi laporan dari berbagai sumber
 Focus Group Discussion (FGD)
 In-depth Interview
Pihak-pihak utama yang menjadi sumber dalam mencari data antara lain perbankan termasuk
Bank Prekreditan Rakyat, lembaga penjaminan yang ada sekarang, akademisi, maupun lembaga
pemerintah seperti kementrian keuangan, Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, dan
pemerintah daerah serta pengelola asuransi kredit baik pusat seperti PT Jamkrindo serta di
tingkat daerah yaitu Jamkrida di 3 daerah target.
FGD dilakukan dengan mengumpulkan Staf target group yang megetahui perihal tema
penelitian. FGD dilakukan dengan melibatkan PT Jaminan Kredit Indonesia (JAMKRINDO) dan di
tingkat daerah yaitu JAMKRIDA di 3 provinsi yaitu Provinsi Banten, Provinsi Sumatra Selatan,
dan Provinsi Kalimantan Selatan. Sedangkan pihak lain akan diformat untuk indepth interview.
18
BAB IV HASIL REGULATORY IMPACT ANALYSIS (RIA)
4.1
Kondisi Usaha Mikro, Kecil dan Menengah dan Aspek Pembiayaan
UMKM secara umum merupakan usaha berbasis pada sumberdaya ekonomi lokal dan relatif
tidak begantung pada impor. Keuntungan lain hasil dari usahanya dapat diekspor karena
keunikan dari produk yang ditawarkan. Melihat hal tersebut diyakini bahwa pembangunan
UMKM dapat memperkuat fondasi perekonomian nasional. Perekonomian akan memiliki
landasan yang kuat jika UMKM menjadi pelaku utama yang produktif dan berdaya saing.
Dalam perekonomian Indonesia, peran UMKM setidaknya dapat dilihat dari beberapa faktor.
UMKM di Indonesia merupakan pemain utama dalam kegiatan ekonomi di berbagai sektor,
dapat dilihat dari perkembangan jumlah unit usaha yang terus mengalami peningkatan jika
dibandingkan dengan industri besar seperti yang dapat dillihat dalam grafik berikut. Saat ini
jumlah UMKM yang ada di Indonesia sebanyak 57,9 juta unit.
Grafik 4.1
Jumlah Industri Besar dan UMKM
2013
2012
2011
2010
Besar
2009
UMKM
2008
2007
2006
2005
-
10.000.000 20.000.000 30.000.000 40.000.000 50.000.000 60.000.000
Sumber : Sandingan data UMKM 2005-2013, Kementerian Koperasi dan UKM (diolah)
Di samping itu jumlah tenaga kerja yang diserap oleh UMKM juga sangat besar, UMKM
merupakan penyedia lapangan kerja terbesar di Indonesia. Dengan jumlah unit usaha yang
19
banyak tidak dapat dipungkiri bahwa UMKM menyerap tenaga kerja dengan jumlah besar di
Indonesia. Sekitar 99 % tenaga kerja di Indonesia bekerja di usaha skala mikro, kecil, dan
menengah.
Grafik 4.2
Jumlah Tenaga Kerja yang Terserap Oleh UMKM
120.000.000
100.000.000
80.000.000
60.000.000
40.000.000
20.000.000
2005 2006
2007 2008
2009
UMKM
2010
2011
2012
2013
Besar
Sumber : Sandingan data UMKM 2005-2013, Kementerian Koperasi dan UKM (diolah)
UMKM juga merupakan pemain penting dalam pengembangan kegiatan ekonomi lokal dan
pemberdayaan masyarakat. UMKM adalah industri kreatif yang menciptakan pasar baru dan
sumber inovasi dari produk yang sudah ada. Yang terakhir, UMKM memberikan sumbangan
yang cukup signifikan dalam menjaga neraca pembayaran melalui kegiatan ekspor. Sayangnya
sampai saat ini porsi ekspor UMKM sangat rendah.
Perkembangan UMKM di Indonesia menunjukkan trend yang positif dalam tahun 2005-2013.
Jumlah unit usaha UMKM yang beroperasi di Indonesia dapat dilihat pada grafik berikut. Lebih
dari 50 juta unit usaha yang ada saat ini di seluruh Indonesia. Ada hipotesis bahwa banyak
terjadi turnover yang tinggi di sektor usaha skala kecil mikro. Banyak buka dan banyak pula yang
tutup meskipun belum didukung oleh studi yang cukup baik untuk menguji hipotesis ini.
20
Grafik 4.3
Jumlah Usaha Skala UMKM
60.000.000
50.000.000
40.000.000
30.000.000
20.000.000
10.000.000
2005
2006
2007
2008
2009
2010
Mikro
Kecil
Menengah
2011
2012
2013
Sumber : Sandingan data UMKM 2005-2013, Kementerian Koperasi dan UKM (diolah)
Grafik 4.4
Penyerapan Tenaga Kerja UMKM
120.000.000
100.000.000
80.000.000
Mikro
60.000.000
Kecil
40.000.000
Menengah
20.000.000
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
2012
2013
Sumber : Sandingan data UMKM 2005-2013, Kementerian Koperasi dan UKM (diolah)
Sementara itu dalam hal penyerapan tenaga kerja, peningkatan jumlah unit usaha secara
langsung mempengaruhi tingkat penyerapan tenaga kerja. Semakin banyak unit usaha yang
21
beroperasi maka dapat dipastikan semakin besar pula jumlah tenaga kerja yang diserap oleh
sektor UMKM. Skala mikro jauh mendominasi dalam penyerapan tenaga kerja.
Perkembangan UMKM di Indonesia yang terus meningkat juga dibarengi dengan kontribusi
yang signifikan terhadap tingkat PDB. Namun demikian dapat dilihat adanya ketidak
seimbangan antara jumlah unit usaha dengan nilai kontribusi terhadap PDRB. UMKM
memberikan kontribusi yang cukup besar terhadap PDRB dipengaruhi oleh banyaknya jumlah
unit usaha UMKM relatif tehadap jumlah unit usaha Usaha Besar (UB). Hal ini menunjukkan
meskipun secara kuantitas unit usaha UMKM lebih besar dan menyerap lebih banyak tenaga
kerja, namun secara produktivitas UMKM masih di bawah UB.
Grafik 4.5
Kontribusi UMKM terhadap PDB
Rp Milyar
4.000.000
3.000.000
2.000.000
1.000.000
-
Mikro
Kecil
Menengah
Besar
Sumber : Sandingan data UMKM 2005-2013, Kementerian Koperasi dan UKM (diolah)
Salah satu penyebab rendahnya produktivitas UMKM adalah keterbatasan akses terhadap
sumber daya produktif utamanya sumber-sumber permodalan dan pembiayaan. Dari grafik
22
berikut dapat dilihat bahwa, dari keseluruhan kredit yang disalurkan oleh perbankan di
Indonesia, kredit yang disalurkan untuk UMKM hanya mendapat porsi yang minimum sekitar
18%-21%. Namun demikian dapat dilihat bahwa penyaluran kredit UMKM mengalami
peningkatan selama periode 2011- September 2015 meskipun peningkatannya tidak signifikan.
Grafik 4.6
Rp Milyar
Kredit Perbankan Berdasarkan Skala Usaha
4.500.000,00
21,50%
4.000.000,00
21,00%
3.500.000,00
20,50%
3.000.000,00
20,00%
2.500.000,00
19,50%
2.000.000,00
19,00%
1.500.000,00
18,50%
1.000.000,00
18,00%
500.000,00
17,50%
0,00
17,00%
2011
Kredit UMKM
2012
2013
Kredit Perbankan
2014
Sept 2015
% kredit UMKM/kredit perbankan
Sumber: Statistik Kredit UMKM, Bank Indonesia (diolah)
Salah satu yang membuat pihak perbankan berhati-hati memberikan kredit adalah default
risk. Bank memberikan suku bunga lebih tinggi dibandingkan dengan korporasi maka akan
cukup membebani usaha kecil dan menengah. Resiko kegagalan usaha yang tinggi menjadi
pertimbangan utama. Dalam hal kredit bermasalah (NPF), dapat dillihat bahwa NPF untuk
kredit UMKM masih dapat dikatakan normal dengan kisaran 2% - 6%.
23
Grafik 4.7
Non Performing Financing Skala Mikro Kecil, dan Menengah
7,00%
6,00%
5,00%
4,00%
3,00%
2,00%
1,00%
0,00%
2011
2012
Kredit Usaha Mikro
2013
Kredit Usaha Kecil
2014
Sept 2015
Kredit Usaha Menengah
4.2 Pandangan Terhadap Regulasi
Pembahasan tentang lembaga penjaminan baik perusahaan penjaminan maupun penjaminan
ulang tercantum dalam beberapa peraturan sebagai berikut:
1. Peraturan Presiden Nomor 2 Tahun 2008 Tentang Lembaga Penjaminan
2. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 222/PMK.010/2008 Tentang Perusahaan
Penjaminan Kredit dan Perusahaan Penjaminan Ulang Kredit
3. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 99/PMK.010/2011 Tentang Perubahan atas
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 222/PMK.010/2008 Tentang Perusahaan
Penjaminan Kredit dan Perusahaan Penjaminan Ulang Kredit
4. Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 5/POJK/5/2014 Tentang Perizinan Usaha dan
Kelembagaan Lembaga Penjaminan.
5. Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 6/POJK.05/2014 Tentang Penyelenggaraan
Usaha Lembaga Penjaminan
6. Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 7/POJK.05/2014 Tentang Pemeriksaan
Lembaga Penjaminan
24
Berdasarkan beberapa peraturan tersebut, definisi dari lembaga penjaminan adalah sebuah
badan hukum atau badan usaha yang bisa berupa Perusahaan Penjaminan, Perusahaan
Penjaminan Syariah, Perusahaan Penjaminan Ulang dan Perusahaan Penjaminan Ulang Syariah
dalam bidang perkreditan. Menurut Penjelasan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan terkait
peraturan lembaga penjaminan, Lembaga Penjaminan adalah salah satu lembaga keuangan
bukan bank yang diharapkan mampu menjembatani akses Usaha Mikro Kecil dan Menengah
(UMKM) pada fasilitas pembiayaan perbankan. Diharapkan dengan adanya lembaga
penjaminan dapat menumbuhkembangkan sektor UMKM, lebih jauh pada pertumbuhan
ekonomi nasional.
Pada awalnya, lembaga penjaminan diatur oleh Peraturan Presiden Nomor 2 Tahun 2008.
Tujuan dari peraturan ini mengatur prinsip-prinsip usaha penjaminan yang prudent, transparan
serta memberikan kepastian hukum. Seiring berjalannya waktu, peraturan mengenai lembaga
penjaminan terus mengalami perkembangan. Pasca peraturan presiden, pada tahun yang sama
yaitu 2008, Kementerian Keuangan membuat sebuah regulasi tentang lembaga penjaminan
yang lebih lengkap dan memadai. Peraturan tersebut adalah Peraturan Menteri Keuangan
Nomor 222/PMK.010/2008. Beberapa tahun kemudian, Kementerian Keuangan melakukan
sedikit revisi terhadap peraturan tersebut dengan mengeluarkan peraturan perubahan yang
dinilai lebih lengkap, komprehensif sekaligus menerapkan prinsip kehati-hatian (prudent).
Peraturan tersebut diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 99/PMK.010/2011.
Tabel 4.1. Tabulasi Review Peraturan Presiden Nomor 2 Tahun 2008 Tentang Lembaga
Penjaminan
Peraturan/Undang-Undang
Penjelasan
Mengatur prinsip-prinsip usaha penjaminan
yang prudent, transparan serta
Tujuan
memberikan kepastian hukum. Mendorong
kegiatan usaha lembaga penjaminan yang
diselenggarakan secara efisien,
berkesinambungan serta bermanfaat bagi
25
perekonomian nasional.
Permasalahan yang ingin diselesaikan
dalam peraturan ini adalah kurangnya
penerapan prinsip prudensial bagi
lembaga-lembaga keuangan. Selain itu
Masalah yang ingin diselesaikan
kurangnya akses permodalan di kalangan
dunia usaha juga dirasa perlu untuk
membuat peraturan yang membahas
penginisiasian perusahaan penjaminan
kredit dan penjaminan ulang kredit,
utamanya yang bergerak di sektor UMKM.
Pemerintah dalam hal ini Kementerian
Siapa saja yang terdampak peraturan ini
Keuangan dan Bank Indonesia. Pelaku
dunia usaha, utamanya UMKM. Lembaga
Keuangan dalam penyaluran kredit.
1. Bagi Pemerintah: Meningkatkan
pertumbuhan ekonomi, meningkatkan
peran financial inclusion,
menumbuhkembangkan kapasitas
sektor UMKM terutama dalam hal
Apa konsekuensi bagi setiap pihak yang
terdampak
permodalan.
2. Bagi Lembaga Keuangan: Mitigasi
risiko terutama di sektor UMKM
karena sektor ini masih rentan
mengalami gagal bayar. Ekspansi
produk perkreditan yang lebih masif
namun tetap prudent.
3. Bagi Nasabah/ Pelaku Usaha:
Mempermudah akses permodalan
26
untuk mengembangkan usahanya.
Apa yang perlu diperbaiki dari peraturan ini
Peraturan ini merupakan peraturan awal
yang mengatur tentang penginisiasian
lembaga penjaminan yaitu perusahaan
penjaminan kredit dan perusahaan
Apa ada alternatif peraturan
penjaminan ulang kredit yang memenuhi
prinsip kehati-hatian (prudent). Oleh
karenanya, perlu pengejawantahan dari
peraturan ini ke Peraturan Menteri terkait
atau Undang-Undang.
Tabel 4.1. menunjukkan tabulasi review Peraturan Presiden Nomor 2 Tahun 2008 tentang
Lembaga Penjaminan. Tabel tersebut menjelaskan secara sistematis isi dari Peraturan Presiden
Nomor 2 Tahun 2008. Secara garis besar peraturan ini memiliki target jangka panjang, yaitu
untuk menumbuhkembangkan kinerja perekonomian nasional terutama melalui UMKM dengan
adanya pendirian perusahaan penjaminan dan perusahaan penjaminan ulang. Hal ini
merupakan komitmen pemerintah untuk mendukung strategi keuangan yang inklusif atau
financial inclusion dan berujung pada perkembangan sektor UMKM.
Jika dilihat dari perspektif lembaga keuangan sebagai salah satu unsur yang terkena dampak
dari peraturan ini, pendirian lembaga penjaminan yang terdiri dari perusahaan penjaminan
dan perusahaan penjaminan ulang merupakan sebuah langkah yang patut diapresiasi.
Pendirian perusahaan penjaminan dan penjaminan ulang diharapkan dapat meningkatkan
jumlah kredit yang dikucurkan oleh lembaga keuangan baik bank maupun lembaga keuangan
bukan bank terhadap pelaku usaha, dalam hal ini sektor UMKM. Sektor UMKM yang layak
(feasible) namun belum bisa mengakses kredit di perbankan (unbankable) akan sangat terbantu
jika didirikannya lembaga ini. Sehingga lembaga ini dapat menunjang pelaku UMKM menjadi
27
lebih bankable dan dapat meningkatkan kapasitas usahanya tanpa harus terkendala masalah
permodalan.
Tabel 4.2. Tabulasi Review Peraturan Menteri Keuangan Nomor 222/PMK.010/2008 Tentang
Perusahaan Penjaminan Kredit dan Perusahaan Penjaminan Ullang Kredit
Peraturan/Undang-Undang
Penjelasan

Meningkatkan akses dunia usaha pada
sumber pembiayaan.

Meningkatkan kemampuan pendanaan
dan memperlancar kegiatan dunia
usaha guna meningkatkan
pertumbuhan ekonomi.

Tujuan
Meningkatkan peran perusahaan
penjaminan kredit dan perusahaan
penjaminan ulang kredit.

Menyusun peraturan pelaksanaan yang
lengkap dan memadai untuk
mendukung kapasitas dan
kelangsungan usaha perusahaan
penjaminan kredit dan perusahaan
penjaminan ulang kredit.
Masalah antara: kredit yang kurang mudah
diakses dan dukungan yang masih sangat kecil.
Kebijakan lembaga keungan dalam hal
Masalah yang ingin diselesaikan
penetapan suku bunga tinggi. Problem
mitigasi risiko: risk exposure, kapasitas
penjamin terutama tingkat daerah karena
mereka masih butuh: 1) modal; 2) ada
permintaan risk sharing/ mitigation dari
28
perusahaan penjaminan.
Masalah akhir: ekspansi kredit bagi pelaku
usaha terutama UMKM agar mereka bankable.
1. Nasabah: Pelaku usaha terutama UMKM
2. Lembaga Keuangan dan Bank
Pembangunan Daerah
Siapa saja yang terdampak peraturan ini
3. Pemerintah pusat dan pemerintah
daerah.
4. Lembaga penjaminan baik yang bergerak
di lingkup nasional maupun di lingkup
daerah.
Bagi pemerintah mencapai tujuannya dalam
financial inclulsion, serta
menumbuhkembangkan UMKM yang
bermuara pada pertumbuhan ekonomi
nasional. Bagi Lembaga Keuangan dapat
meningkatkan penyaluran kredit kepada
Apa konsekuensi bagi setiap pihak yang
terdampak
nasabah dengan resiko yang lebih rendah
sebelum ada lembaga penjaminan. Bagi
nasabah ini merupakan peluang dan
kesempatan yang lebih baik untuk
meningkatkan kapasitas usaha yang dijalani.
Bagi Lembaga Penjaminan, terutama
perusahaan penjaminan ulang peraturan ini
merupakan payung hukum awal dalam
melaksanakan segala aktivitas usahanya.
Modal awal untuk pembentukan lembaga
Apa yang perlu diperbaiki dari peraturan ini
penjaminan maupun lembaga penjaminan
ulang yang relatif tinggi: Pasal 11 ayat (1) s.d.
29
ayat (3)
1. Peraturan Menteri Keuangan Nomor
99/PMK.010/2011 Tentang Perubahan
atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor
Apa ada alternatif peraturan
222/PMK.010/2008 Tentang Perusahaan
Penjaminan Kredit dan Perusahaan
Penjaminan Ullang Kredit.
2. Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor
6/POJK/5/2014 Tentang Penyelenggaraan
Usaha Lembaga Penjaminan.
Pada tahun yang sama pasca keluarnya Peraturan Presiden, Kementerian Keuangan juga
mengeluarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 222/PMK.010/2008 Tentang Perusahaan
Penjaminan Kredit dan Perusahaan Penjaminan Ulang Kredit. Peraturan ini merupakan respon
cepat dari Peraturan Presiden Nomor 2 Tahun 2008. Selain itu, pada saat peraturan ini mulai
berlaku, peraturan tentang perusahaan penjaminan yang sebelumnya diatur dalam Keputusan
Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 486/KMK.017/1996 tentang Perusahaan
Penjaminan dan Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 479/KMK.06/2003
tentang Penghentian Pemberian Izin Usaha Perusahaan Penjaminan, telah dicabut dan
dinyatakan tidak berlaku.
Secara garis besar, Peraturan Kementerian Keuangan ini bertujuan untuk meningkatkan akses
dunia usaha dalam hal pembiayaan melalui instrumen kebijakan publik yakni pendirian
lembaga penjaminan. Lembaga penjaminan yang dimaksud terdiri dari perusahaan penjaminan
kredit dan perusahaan penjaminan ulang kredit (creditre-guarantee corporation). Dalam
konteks ini, pendirian lembaga penjaminan terutama dengan adanya inisiasi perusahaan
penjaminan ulang kredit diharapkan dapat meningkatkan kemampuan pendanaan dan
memperlancar kegiatan dunia usaha guna meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional.
Dalam Tabel 4.2. ditunjukkan tabulasi review Peraturan Menteri Keuangan Nomor
222/PMK.010/2008.
30
Peraturan ini menindaklanjuti peraturan presiden namun lebih lengkap dan memadai dalam
mengatur lembaga penjaminan. Aspek yang diatur dalam peraturan ini adalah aspek
kelembagaan, perizinan, pelaksanaan aktivitas usaha serta pembinaan dan pengawasan
perusahaan penjaminan kredit dan perusahaan penjaminan ulang kredit. Target akhirnya
adalah mendukung kapasitas dan kelangsungan usaha perusahaan penjaminan kredit dan
perusahaan penjaminan ulang kredit agar berjalan berkelanjutan (sustainable) dan efisien
(efficient).
Menarik untuk diperhatikan, peraturan ini memiliki dua masalah yang hendaknya diatasi.
Pertama, masalah antara yaitu kurang mudahnya serta dukungan yang masih sangat kecil bagi
pengusaha dalam mengakses kredit. Kebijakan lembaga keuangan dalam hal penetapan suku
bunga tinggi merupakan hal yang sering ditemui. Oleh karenanya, peraturan ini berfokus dalam
mengatasi masalah tersebut dengan mendirikan lembaga penjaminan. Dalam mengatasi hal
tersebut lembaga penjaminan akan memberikan solusi praktis dalam mitigasi risiko dunia
usaha. Lembaga ini akan meyakinkan dan menjamin lembaga keuangan untuk meningkatkan
akses kredit kepada pelaku usaha bahwa mereka layak dan akan memenuhi kewajibannya.
Kedua, masalah akhir dalam peraturan ini akan memberikan kepastian bagi lembaga keuangan
untuk ekspansi kredit bagi pelaku usaha terutama UMKM agar mereka bankable.
Ada hal penting yang perlu dicermati dalam peraturan ini, yaitu terkait pendirian lembaga
penjaminan. Modal awal untuk pembentukan perusahaan penjaminan maupun perusahaan
penjaminan ulang dirasa masih sangat tinggi. Hal ini tercantum dalam Pasal 11 ayat (1) s.d. ayat
(3). Mendirikan perusahaan penjaminan harus memiliki jumlah modal disetor atau simpanan
pokok, simpanan wajib dan hibah perusahaan penjaminan ditetapkan paling sedikit Rp. 100
miliar untuk lingkup nasional dan Rp. 50 miliar untuk lingkup provinsi. Sedangkan untuk
perusahaan penjaminan ulang Jumlah modal disetor atau simpanan pokok, simpanan wajib dan
hibah perusahaan ditetapkan paling sedikit sebesar Rp1 triliun. Ketentuan tersebut dirasa perlu
mengadvokasi serta mengakomodasi beberapa pendapat dari berbagai kalangan apakah terlalu
besar dan perlu direvisi.
31
Beberapa tahun kemudian, tepatnya ditahun 2011, Kementerian Keuangan melakukan
sebuah revisi Peraturan Menteri Keuangan Nomor 222/PMK.010/2008 dengan mengeluarkan
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 99/PMK.010/2011. Tabulasi review peraturan ini dapat
ditunjukkan pada Tabel 4.3. Beberapa pasal telah mengalami perubahan bunyi namun tetap
tidak mengalami perubahan secara substansi.
Tabel 4.3. Tabulasi Review Peraturan Menteri Keuangan Nomor 99/PMK.010/2011 Tentang
Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 222/PMK.010/2008 Tentang Perusahaan
Penjaminan Kredit dan Perusahaan Penjaminan Ullang Kredit
Peraturan/Undang-Undang
Penjelasan
Revisi Peraturan Menteri Keuangan yang
sebelumnya yaitu Peraturan Menteri
Keuangan Nomor 222/PMK.010/2008 Tentang
Tujuan
Perusahaan Penjaminan Kredit dan
Perusahaan Penjaminan Ullang Kredit agar
peraturan dibidang penjaminan menjadi lebih
komprehensif dan memenuhi prinsip kehatihatian (prudent).
Hampir sama dengan Peraturan Menteri
Masalah yang ingin diselesaikan
Keuangan Nomor 222/PMK/010/2008 Tentang
Perusahaan Penjaminan Kredit dan
Perusahaan Penjaminan Ulang Kredit.
Nasabah: Pelaku usaha terutama UMKM
Siapa saja yang terdampak peraturan ini
Lembaga Keuangan dan Bank Pembangunan
Daerah
Pemerintah pusat dan pemerintah daerah.
Apa konsekuensi bagi setiap pihak yang
terdampak
Bagi pemerintah mencapai tujuannya dalam
financial inclulsion, serta
menumbuhkembangkan UMKM yang
32
bermuara pada pertumbuhan ekonomi
nasional. Bagi Lembaga Keuangan dapat
meningkatkan penyaluran kredit kepada
nasabah dengan resiko yang lebih rendah
sebelum ada lembaga penjaminan. Bagi
nasabah ini merupakan peluang dan
kesempatan yang lebih baik untuk
meningkatkan kapasitas usaha yang dijalani.
Bagi Lembaga Penjaminan peraturan ini
merupakan payung hukum awal dalam
melaksanakan segala aktivitas usahanya.
Apa yang perlu diperbaiki dari peraturan ini
Sejauh ini semua pihak yang di-interview
Apa ada alternatif peraturan
belum ada yang mempermasalahkan
peraturan ini.
Pada tahun 2014 Otoritas Jasa Keuangan telah mengeluarkan beberapa peraturan tentang
lembaga penjaminan yaitu dimulai dari Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 5/POJK/2014
tentang Perizinan Usaha dan Kelembagaan Lembaga Penjaminan, Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan Nomor 6/POJK.05/2014 Tentang Penyelenggaraan Usaha Lembaga Penjaminan serta
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 7/POJK.05/2014 Tentang Pemeriksaan Lembaga
Penjaminan.
Tabel 4.4. Tabulasi Review Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 5/POJK/5/2014 Tentang
Perizinan Usaha dan Kelembagaan Lembaga Penjaminan.
Peraturan/Undang-Undang
Tujuan
Penjelasan
Menumbuhkembangkan Lembaga Penjaminan
yang dinamis sesuai dengan perkembangan.
33
Paraturan ini lebih komprehensif mengatur
masalah perizinan dan kelembagaan lembaga
penjaminan.
Penertiban masalah administrasi, perizinan
Masalah yang ingin diselesaikan
serta kelembagaan seperti aturan main dan
hal lainnya untuk mendeskrispikan secara
komprehensif fungsi dan peran dari lembaga
penjaminan.
1. Pemerintah dalam hal ini Otoritas Jasa
Keuangan.
2. Lembaga Penjaminan: Perusahaan
Penjaminan, Perusahaan Penjaminan
Siapa saja yang terdampak peraturan ini
Syariah, Perusahaan Penjaminan Ulang,
dan Perusahaan Penjaminan Ulang Syariah
baik di lingkup nasional maupun daerah.
3. Lembaga Keuangan baik bank atau pun
bukan bank
4. Nasabah terutama UMKM
Lembaga Penjaminan mengerti tentang aturan
main dalam melakukan usahanya, yang
Apa konsekuensi bagi setiap pihak yang
ditinjau dari sisi kelembagaan, perizinan serta
terdampak
hal-hal administratif. OJK yang memiliki salah
satu fungsi mengawasi lembaga penjaminan
dapat memberikan sanksi jika peraturan ini
tidak dijalankan.
Dalam pasal 6 ayat (3) perlu dijelaskan
Apa yang perlu diperbaiki dari peraturan ini
mengapa pendirian lembaga penjaminan
ulang perlu menanamkan modal awal usaha
sebesar Rp. 200.000.000.000 (dua ratus miliar
34
rupiah).
Perlu ada audiensi dan hearing bagi para
lembaga penjaminan terkait masalah
kelembagaan lembaga penjaminan. Perlu
sosialisasi yang lebih masif.
Sejauh ini semua pihak yang di-interview
Apa ada alternatif peraturan
belum ada yang mempermasalahkan
peraturan ini.
Tabel 4.4. menunjukan tabulasi review Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 5/POJK/2014.
Tujuan dari peraturan ini adalah menumbuhkembangkan lembaga penjaminan yang dinamis
sesuai dengan perkembangan. Paraturan ini lebih komprehensif mengatur masalah perizinan
dan kelembagaan Lembaga Penjaminan dan melengkapi dari peraturan menteri keuangan yang
dibahas sebelumnya. Namun demikian, ada perbedaan persyaratan modal awal pendirian
antara peraturan menteri keuangan dan peraturan otoritas jasa keuangan. Dalam peraturan ini
terutama dalam pasal 6 ayat (3) perlu dijelaskan mengapa pendirian lembaga penjaminan ulang
perlu menanamkan modal awal usaha sebesar Rp. 200.000.000.000 (dua ratus miliar rupiah).
Hal ini berbeda dengan peraturan kementerian keuangan yang mensyaratkan modal awal usaha
sebesar 1 triliun rupiah.
Tabel 4.5. menunjukkan tabulasi review Tabulasi Review Peraturan Otoritas Jasa Keuangan
Nomor 6/POJK.05/2014 Tentang Penyelenggaraan Usaha Lembaga Penjaminan. Serupa dengan
peraturan-peraturan yang dibahas sebelumnya, peraturan ini merupakan peraturan yang
memadai dalam memberikan petunjuk penyelenggaraan usaha lembaga penjaminan. Dalam
peraturan ini ditemui pula tentang ketentuan modal awal usaha yang tidak sinkron antara
peraturan menteri keuangan dan otoritas jasa keuangan. Hal ini cukup membingungkan bagi
pelaku usaha karena beberapa responden dalam penelitian ini sempat mempertanyakan mana
yang harus dijadikan patokan apakah peraturan menteri keuangan atau peraturan otoritas jasa
35
keuangan. Namun demikian, sebagian besar responden memang lebih memahami dan
menggunakan peraturan otoritas jasa keuangan dalam penyelenggaraan aktivitas usahanya
Tabel 4.5. Tabulasi Review Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 6/POJK.05/2014 Tentang
Penyelenggaraan Usaha Lembaga Penjaminan.
Peraturan/Undang-Undang
Penjelasan
Menumbuhkembangkan Lembaga
Penjaminan yang mampu memberikan
manfaat jasa penjaminan bagi masyarakat
Tujuan
yang dinamis. Peraturan yang disusun lebih
komprehensif dengan tetap memenuhi
prinsip kehati-hatian (prudential principle)
khususnya terkait dengan aktifitas
penyelenggaraan usaha;
Masalah yang ingin diselesaikan
Masalah seputar aktivitas penyelenggaraan
usaha lembaga penjaminan.
1. Pemerintah dalam hal ini Otoritas Jasa
Keuangan.
2. Lembaga Penjaminan: Perusahaan
Penjaminan, Perusahaan Penjaminan
Syariah, Perusahaan Penjaminan Ulang,
Siapa saja yang terdampak peraturan ini
dan Perusahaan Penjaminan Ulang
Syariah baik di lingkup nasional maupun
daerah.
3. Lembaga Keuangan baik bank atau pun
bukan bank.
4. Nasabah terutama UMKM
Apa konsekuensi bagi setiap pihak yang
Semua pihak yang terlibat dalam peraturan
terdampak
ini memahami tentang fungsi dan perannya
36
berdasarkan prinsip kehati-hatian.
Perlu diperjelas tentang masalah hak tagih
(pasal 20 ayat 6) yaitu masalah subrogasi.
Perbedaan antara modal awal perusahaan
penjaminan dan penjaminan ulang di
Apa yang perlu diperbaiki dari peraturan ini
peraturan ini dan Peraturan Menteri
Keuangan Nomor 222/PMK.010/2008
Tentang Perusahaan Penjaminan Kredit dan
Perusahaan Penjaminan Ullang Kredit tidak
sinkron.
Beberapa responden perusahaan
Apa ada alternatif peraturan
penjaminan mempertanyakan masalah
subrogasi sehingga perlu dibuat mekanisme
aturan yang mengatur hal ini.
Peraturan terakhir terkait lembaga penjaminan diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan Nomor 7/POJK.05/2014 Tentang Pemeriksaan Lembaga Penjaminan. Peraturan ini
berfokus dalam meningkatkan pelaksanaan pembinaan dan pengawasan terhadap lembaga
penjaminan. Peraturan ini juga mengatur mekanisme pemeriksaan terhadap lembaga
penjaminan guna meningkatkan kepatuhan terhadap ketentuan yang berlaku (peraturan POJK
sebelumnya) yang terkait dalam bidang lembaga penjaminan. Tabel 4.6. menunjukkan tabulasi
review peraturan ini. Dalam peraturan ini masih belum diatur secara detail tentang
pemeriksaan dan pengawasan perusahaan penjaminan ulang kredit.
Tabel 4.6. Tabulasi Review Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 7/POJK.05/2014 Tentang
Pemeriksaan Lembaga Penjaminan
Peraturan/Undang-Undang
Tujuan
Penjelasan
Meningkatkan efektivitas pelaksanaan
37
pembinaan dan pengawasan terhadap
Lembaga Penjaminan. Peraturan ini
mengatur pemeriksaan terhadap Lembaga
Penjaminan guna meningkatkan kepatuhan
terhadap ketentuan yang berlaku di bidang
Lembaga Penjaminan
Masalah yang ingin diselesaikan
Masalah seputar pemeriksaan, pembinaan
serta pengawasan terhadap Lembaga
Penjaminan
1. Pemerintah dalam hal ini Otoritas Jasa
Keuangan.
2. Lembaga Penjaminan: Perusahaan
Penjaminan, Perusahaan Penjaminan
Siapa saja yang terdampak peraturan ini
Syariah, Perusahaan Penjaminan Ulang,
dan Perusahaan Penjaminan Ulang
Syariah
3. Lembaga Keuangan baik bank atau pun
bukan bank
4. Nasabah terutama UMKM
Apa konsekuensi bagi setiap pihak yang
Bagi lembaga penjaminan lebih prudent
terdampak
dalam melaksanakan segala aktivitasnya.
Perlu dijelaskan secara komprehensif
Apa yang perlu diperbaiki dari peraturan ini
Apa ada alternatif peraturan
tentang pemeriksaan lembaga penjaminan
ulang
-
38
4.3 Kondisi Eksisting Perusahaan Penjaminan
Perkembangan asset perusahaan penjaminan terus meningkat dari waktu ke waktu. Pada
2011 total asset sebesar Rp. 5,09 dan meningkat menjadi Rp. 6,7 triliun pada 2012. Pada 2013,
jumlah asset yang dimiliki sebesar Rp. 8,73 dan naik menjadi Rp. 10,88 triliun pada 2014. Pada
2015, total asset perusahaan penjaminan mencapai Rp. 11,48 triliun.
Grafik 4.7
Perkembangan Aset Perusahaan Penjaminan (dalam juta rupiah)
11.481.773
10.879.877
8.725.117
6.966.105
5.093.847
Dec-11
Dec-12
Dec-13
Dec-14
Sep-15
Sumber: Otoritas Jasa Keuangan, 2015
Perkembangan ekuitas perusahaan penjaminan meningkat cukup pesat. Pada 2011, jumlah
modal yang dimiliki sebesar Rp. 3,65 triliun dan melonjak drastis menjadi Rp. 5,33 triliun pada
2012. Dalam satu tahun terjadi kenaikan sebesar 45%. Pada 2013, total ekuitas perusahaan
penjaminan meningkat menjadi Rp. 6,95 triliun atau meningkat sebesar Rp. 1,5 triliun. Ekuitas
perusahaan penjaminan meningkat terus dan mencapai Rp. 9,2 triliun pada 2014 dan menjadi
Rp. 9,4 triliun pada September 2015. Perkembangan positif dalam ekuitas ini disebabkan oleh
dua hal yaitu penambahan perusahaan seiring dengan pendirian perusahaan penjaminan milik
daerah dan adanya penambahan modal pada perusahaan penjaminan milik negara. Namun
39
demikian, kalau dilihat dari perkembangan pertumbuhan modal, ada kecenderungan
pertumbuhan modal menurun. Dengan mengasumsikan modal yang ada digunakan untuk
menjamin kredit produktif dengan GR 10 kali, hanya ada RP. 92 triliun. Jauh dari realisasi kredit
UMKM yang ada saat ini.
Grafik 4.8
Perkembangan Ekuitas Perusahaan Penjaminan (dalam juta rupiah)
9.197.541 9.414.407
6.949.939
5.326.756
3.648.574
Dec-11
Dec-12
Dec-13
Dec-14
Sep-15
Sumber: Otoritas Jasa Keuangan, 2015
Pertumbuhan ekuitas perusahaan penjaminan yang positif ternyata tidak diikuti dengan
pertumbuhan penjaminan yang diberikan. Ini dapat dilihat dari total penjaminan yang
pertumbuhanya kurang pesat walalupun jumlah perusahaan meningkat.
Grafik 4.9
Perkembangan Penjaminan Produktif dan Non Produktif Perusahaan Penjaminan (dalam juta
rupiah)
40
56.607.643
57.976.219
56.000.323
49.565.261
35.543.916
40.436.261
57.346.727
36.619.754 37.530.075
23.407.603
Dec-11
Dec-12
Dec-13
Dec-14
Sep-15
Sumber: Otoritas Jasa Keuangan, 2015
Pada 2011, jumlah penjaminan yang diberikan mencapai Rp. 49.57 triliun untuk kredit non
produktif sementara untuk yang produktif hanya Rpp. 23,41 triliun. Pada 2012, penjaminan
produktif tumbuh sebesar Rp. 12 triliun lebih sementara untuk penjaminan kredit non produktif
hanya tumbuh Rp. 7 triliun lebih.
Secara umum ada pola kemiripan prilaku penjaminan yaitu kalau penjaminan kredit produktif
meningkat maka penjaminan kredit non produktif juga meningkat. Demikian juga sebaliknya.
Trend penjaminan kredit sejak 2013 cenderung menurun dan datar. Kondisi ini tampaknya
disebabkan oleh kondisi ekonomi yang masih dalam situasi krisis. Namun demikian pandangan
bahwa perusahaan penjaminan kredit belum bekerja optimal tidak dapat ditolak.
Grafik 4.10
Komposisi Penjaminan Produktif dan Non Produktif
41
0,68
0,61
0,59
0,60
0,60
0,32
0,39
0,41
0,40
0,40
Dec-11
Dec-12
Dec-13
Dec-14
Sep-15
Sumber: Otoritas Jasa Keuangan, 2015
Kalau memperhatikan perkembangan dari penjaminan kredit produktif dan non produktif
tampak jelas bahwa kompoisisi atau proporsi masing masing penjaminan hampir tidak
berubah dari waktu ke waktu. Kalau pada tahun 2011 porsi produktif hanya 32% maka pada
tahun 2012 porsi kredit produktif menjadi naik 39%. Ini terus membaik pada tahun 2013 yang
mencapai 41%. Sayangnya sejak saat itu porsi penjaminan kredit produktif terus berada pada
40% yang berarti ada penurunan porsi sebesar 1%. Sebenarnya, dalam rangka membangun
ekonomi, porsi penjaminan produktif harus lebih besar.
42
Grafik 4.11
Perbandingan Gearing Ratio
Gearing Ratio - Usaha Produktif
13,58
Gearing Ratio - Usaha Non Produktif
10,63
8,37
6,42
6,67
5,84
Dec-11
Dec-12
Dec-13
6,09
6,09
3,98
3,99
Dec-14
Sep-15
Sumber: Otoritas Jasa Keuangan, 2015
Perusahaan penjaminan dikatakan kuat ketika modal yang dimiliki besar,ukuran kekuatan
modal perusahaan penjaminan adalah Gearing Ratio (GR). Menurut ketentuan OJK,
penjaminan produktif maksimal adalah 10 kali. Sementara secara total adalah 40 kali. Ini berarti
secara umum GR masih dibawah ketentuan OJK. Yang menarik untuk dicermati adalah GR untuk
pembiayaan produktif cenderung menurun dari waktu ke waktu. Jika pada 2012, GR produktif
mencapai 6,67 maka pada tahun berikutnya menurun dan terus menurun sehingga hanya
tinggal 4 kali pada September 2015. Keadaan yang sama terjadi pada GR non produktif. Jika
pada 2011 GR non produktif mencapai 13,58 maka pada tahun tahun berikutnya
perkembangan GR makin menurun. Pada 2012, GR non produktif sebesar 10,63 kali. GR terus
menurun pada 2013 yaitu hanya mencapai 8,37 kali dan terus merosot sampai 6,09 kali pada
2014 dan 2015. Penurunan GR terjadi karena total yang dijamin tidak meningkat sementara
ekuitas terus naik setiap tahun. Artinya ada ruang untuk meningkatkan penjaminansebesar
empat kali tampa harus menambah modal karena OJK menetapkan total GR adalah 40 kali.
43
Grafik 4.12
Perbandingan Total Penjaminan terhadap Kredit UMKM dan Total Kredit
Rasio Perbankan
Rasio UMKM
166,87
331,60
152,06
132,14
130,92
126,71
32,30
29,08
24,50
24,08
Dec-13
Dec-14
Sep-15
Dec-11
Dec-12
Sumber: Otoritas Jasa Keuangan, 2015
Salah satu penyebab rendahnya GR adalah porsi kredit yang dijamin oleh lembaga
penjaminan dibandingkan total kredit sangat kecil. Penetrasi perusahaan penjaminan relatif
rendah. Pada 2011, penetrasi penjaminan hanya 15% dari kredit UMKM dan 3% terhadap total
kredit. Pada 2012, penetrasi meningkat menjadi hampir 17% untuk kredit UMKM dan 3,3%
untuk kredit keseluruhan. Namun demikian sejak 2013, penetrasi perusahaan penjaminan terus
menurun yaitu hanya 13% pada kredit produktif dan 2,9% untuk total kredit perbankan.
Keadaan terus memburuk dan pada 2015, capain penjaminan hanya 12,67% untuk kredit
UMKM dan 2,41 untuk total kredit perbankan.
Keadaan ini berarti secara umum perusahaan penjaminan masih memiliki kapasitas yang
cukup besar untuk menambah kapasitas penjaminan karena GR masih rendah. Perusahaan
penjaminan masih dapat memebrikian jaminan sebesar empat kali dari yang dicapai saat ini
untuk yang produktif dan 24 kali untuk yang non produktif. Namun demikian jika penetrasi
pada kredit UMKM naik mencapai 25% total kredit UMKM saja maka lembaga penjaminan yang
ada tidak mampu menjamin. Saat ini total modal perusahaan penjaminan hanya 0,75% dari
total kredit UMKM. Kalau untuk kredit UMKM saja, pada 2011, total kredit UMKM sebesar 132
kali modal seluruh perusahaan penjaminan. Dalam perkembanganya outstanding kredit UMKM
44
mencapai 77 kali pada 2014 dan kembali meningkat menjadi 80 kali modal seluruh penjaminan.
Jika kita melihat kredit UMKM sebagai kredit produktif, maka untuk dapat memberikan jaminan
paling tidak modal perusahaan penjaminan harus naik delapan kali atau menajdi Rp. 75.5
triliun. Dengan modal sebanyak ini batasan GR 10 kali dapat dipenuhi untuk membiayai
penjaminan seluruh kredit UMKM. Ini memberikan kesempatan bagi perusahaan penjaminan
ulang.
4.4 Business Model Penjaminan Kredit
Model bisnis penjaminan yang diterapkan oleh Jamkrida saat ini secara umum dapat
dikategorikan dalam dua kategori besar yaitu penjaminan pasif yaitu bagian dari proses
kredit bank (follow the bank) dan penjaminan yang aktif. Pada proses bisnis penjaminan aktif,
Jamkrida hanya mengikuti bank karena penjaminan kredit merupakan bagian dari mitigasi
kredit
bank. Akibatnya bank selalu akan melakukan penjamian kredit ke perusahaan
penjaminan kredit karena ada kententuan intern. Adanya perjanian kerjasama (PKS) membuat
penjaminan menjadi monopoli. Dalam sistem ini berarti perusahaan penjaminan kredit
merupakan pihak penjamin pasif dari debitur yang mengajukan kredit di bank.
Mekanisme ini banyak ditemui pada Jamkrida yang dimiliki oleh Pemerintah Daerah dan
Pemerintah daerah memiliki BPD sehingga hubungan dekat ini menyebabkan Jamkrida memiliki
posisi khusus sehingga mereka memilih pola bisnis yang demikian. Tentu saja sistem ini
memiliki kekurangan karena tujuan untuk meningkatkan akses keuangan menjadi tidak dapat
direalisasikan karena semua Nasabah yang sudah layak diberikan kredit oleh bank umumnya
adalah yang sudah memenuhi syarat perbankan teknis (bankable). Portofolio kredit produktif
yang dijamin jumlahnya relatif sedikit.
Model bisnis yang kedua adalah ketika Jamkrida tidak memiliki hubungan khusus dengan
BPD. Pada model bisnis ini maka Jamkrida aktif untuk mencari perusahaan pembiayaan
ataupun lembaga keuangan lain seperti BPR dan Koperasi yang memberikan kredit /
pembiayaan untuk menjadi mitra. Pemasaran aktif dilakukan oleh Jamkrida dalam rangka
memasarkan produk penjaminan yang dimilikinya. Pada Jamkrida kategori ini juga melakukan
fungsi sebagai credit reference agency yaitu suatu proses dimana Jamkrida mencara nasabah
45
potensial dan mereferensikanya ke bank atau BPR maupun koperasi untuk memperoleh
pembiayaan. Jamkrida melakukan asesmen sederhana terkait dengan kelayakan calon debitur
dan setelah dirasakan memenuhi syarat, calon debitur bersangkutan datang ke bank dengan
terlebih dahulu ada komunikasi antara bank dengan Jamkrida.
Jamkrida yang tidak memiliki pasar captive juga aktif melakukan pemasaran. Jamkrida yang
kategori ini juga menawarkan jasa jasa penjaminan kepada nasabah retail seperti Surety Bond
secara aktif kepada para kontraktor yang mendapatkan project dari pemerintah maupun
Project swasta. Keaktifan Jemkrida merupakan bagian darisurvival strategy yang ditempuh
manajemen.Pada Jamkrida yang lama dan sudah memiliki modal cukup, dalam rangka
optimalisasi bisnis penjaminan, mereka menerapkan model bisnis yang demikian. Secara umum
yang menerapkan model bisnis gabungan untuk mendorong terjadinya optimalisasi penjaminan
dan untuk meningkatkan pendapatan. Ini merupakn model bisnis ideal baik untuk tujuan
survival dan akses keuangan / pembiayaan yang lebih baik.
4.5
Pandangan Terhadap Credit Re-guarantee
Perusaahaan penjaminan ulang kredit atau credit re-guarantee corporation adalah kegiatan
penjaminan ulang yang diberikan oleh sebuah lembaga penjaminan ulang kredit
(reguarantor) kepada perusahaan penjaminan kredit (guarantor) yang melakukan kegiatan
atau aktivitas penjaminan kredit. Praktek penjaminan ulang dimaksudkan untuk memelihara
kekuatan dan keberlanjutan perusahaan penjaminan dan aktivitas penjaminan kredit khususnya
bagi pelaku usaha di sektor UMKM. Penjaminan ulang dilakukan untuk sejumlah porsi tertentu
atas penjaminan awal yang diberikan oleh perusahaan penjaminan kredit kepada terjamin
(lembaga keuangan). Perusahaan penjaminan ulang akan menerima komisi sejumlah reguarantee fee dari perusahaan penjaminan dan selanjutnya bertanggung jawab terhadap
pembayaran klaim re-guarantee setelah perusahaan penjaminan membayar kewajiban klaim
penjaminan. Selanjutnya dari subrogasi (hak tagih) yang diterima oleh perusahaan penjaminan
akan diteruskan kembali secara proporsional kepada perusahaan penjaminan ulang sesuai porsi
dan kontrak yang diatur bersama antara perusahaan penjaminan dan perusahaan penjaminan
ulang.
46
Banyak pandangan terkait pendirian perusahaan penjaminan ulang, dalam survei yang
dilakukan ke beberapa perusahaan penjaminan kredit baik yang tingkat nasional maupun
tingkat provinsi, mereka memberikan antusiasme yang cukup baik jika perusahaan
penjaminan ulang didirikan. Beberapa alasan kuat yang diperoleh dari melakukan in-depth
interview agar segera mendorong adanya pendirian perusahaan penjaminan ulang diantarnya
adalah: 1) Aspek legal, peraturan mengenai perusahaan penjaminan ulang sudah lama
ditetapkan, yakni tahun 2008 sejak dikeluarkannya Peraturan Presiden Nomor 2 dan Peraturan
Kementerian Keuangan Nomor 222/PMK.010/2008. Regulasi sudah ada maka seharusnya
perusahaan penjaminan ulang sudah dapat didirikan, namun hingga saat ini masih belum
terealisasi. 2) Aspek manfaat, banyak yang menilai didirikannya lembaga penjaminan ulang
akan membuat perusahaan penjaminan dapat mengelola risiko. Pengelolaan bisa bersifat
mitigasi dan berbagi risiko (risk sharing), karena perusahaan penjaminan biasanya mempunyai
pengalaman kerugian sendiri-sendiri. Tanpa kehadiran perusahaan penjaminan ulang maka
pilihan perusahaan adalah menanggung semua risiko atau klaim yang harus dibayar atau
dengan membaginya dengan perusahaan penjaminan yang lain dengan mekanisme penjaminan
bersama (co-guarantee). Alasan terakhir, atau 3) adalah perlindungan dari kondisi catastrophe
atau bencana finansial. Catastrophe adalah situasi dimana klaim jatuh secara bersamaan karena
adanya krisis perekonomian atau penyebab lainnya, sehingga terjadi kondisi bencana dimana
perusahaan penjaminan harus menanggung beban klaim yang wajib diselesaikan secara
bersamaan. Kondisi tersebut pastinya sangat berpotensi mengakibatkan colapse-nya
perusahaan penjaminan yang ada.
Pada saat ini konsep yang baru berkembang di Indonesia adalah konsep penjaminan bersama
atau co-guarantee yang dilakukan oleh dua, atau beberapa perusahaan penjaminan.
Walaupun konsepnya hampir mirip dengan re-guarantee namun keefektifannya untuk
menampung risiko masih dibawah mekanisme re-guarantee. Beberapa responden
mengatakan melakukan co-guarantee karena alasan terbatasnya modal yang dimiliki
perusahaan penjaminan. Hal ini mengakibatkan mereka harus melakukan kerjasama untuk bisa
memberikan penjaminan kepada pihak terjamin, terutama jika nominal penjaminan sangat
besar. Namun demikian, beberapa perusahaan penjaminan berpendapat bahwa kegiatan co47
guarantee yang mereka lakukan pada dasarnya adalah untuk mendukung pelaksanaan
penjaminan kredit yang bermuara pada terbukanya akses kredit bagi UMKM. Sehingga tidak
hanya motif keuntungan perusahaan saja yang dikejar tapi juga ada motif pembangunan
didalamnya, khususnya pengembangan sektor UMKM. Mereka berharap jika skema reguarantee atau didirikannya perusahaan penjaminan ulang dapat segera direalisasi, perusahaan
penjaminan dapat lebih leluasa sehingga dapat mengekspansi kapasitas penjaminannya.
Perusahaan penjaminan ulang juga memiliki dampak terhadap peningkatan kapasitas
perusahaan penjaminan. Saat ini, kapasitas perusahaan jaminan kredit daerah ataun Jamkrida
melayani lembaga keuangan mikro sangat terbatas karena modal yang disetor masih Rp. 25
miliar dengan giring ratio 10 kali lipat (sesuai aturan POJK No 6 Tahun 2014), maka plafon
penjaminan senilai Rp. 250 miliar tidak cukup men-cover kredit potensi lembaga keuangan
mikro di setiap provinsi. Padahal permintaan (demand) akan produk penjaminan di beberapa
daerah relatif sangat tinggi. Di Provinsi Banten misalnya, Jamkrida Banten mengatakan pasar
permintaan untuk kredit masih dibawah 3 %. Potensi penyaluran kredit dinilai masih sangat
besar dan hal tersebut menunjukkan respon pasar sangat positif bagi Jamkrida Banten.
Selain memiliki respon positif dari perusahaan penjaminan, penginisiasian perusahaan
penjaminan ulang mendapatkan apresiasi dari berbagai lembaga keuangan, terutama bank
pembangunan daerah yang telah diwawancarai. Jika ada re-guarantee maka kemungkinan
gagal bayar nasabah diharapkan akan berkurang. Bank menjadi lebih tenang dan mendapatkan
bantuan lebih terkait uji fisibilitas nasabah. Dengan berkembangnya perusahaan penjaminan
saat ini, terutama perusahaan penjaminan daerah sudah memiliki dampak dan korelasi yang
kuat terhadap peningkatan penyaluran kredit di nasabah. Namun yang perlu menjadi catatan,
beberapa bank pembangunan daerah yang diwawancarai melaporkan bahwa kredit yang
disalurkan oleh bank dan dijamin oleh perusahaan penjaminan kredit daerah (jamkrida) pada
saat ini masih memiliki porsi yang lebih besar dalam kredit non produktif. Kedepan, diharapkan
akan terjadi restrukturisasi dimana porsi kredit produktif yang lebih besar dibandingkan kredit
non produktif.
48
Target jangka panjang terkait pendirian perusahaan penjaminan ulang adalah stabilisasi
perekonomian nasional melalui skema pengelolaan risiko yang lebih komprehensif serta
peningkatan akses kredit bagi para pelaku usaha utamanya sektor UMKM. Akses kredit bagi
usaha mikro dan kecil dipandang sebagai key element dalam membangun sekonomi yang
inklusif. Semakin bank merasa aman dan terjamin bahwa kredit yang akan dia salurkan ke
nasabah akan dapat dilakukan klaim ke perusahaan penjaminan maka semakin tinggi kredit
yang akan dikucurkan. Dari sisi perusahaan penjaminan juga akan terus meningkatkan kuantitas
produknya bahkan lebih aktif memberikan layanan konsultasi kepada nasabah yang feasible
namun belum bankable. Model bisnis perusahaan penjaminan seperti ini sudah ditemui di
beberapa Jamkrida yang diteliti.
Perlu diingat bahwa perusahaan penjaminan dan perusahaan penjaminan ulang melakukan
kegiatan usahanya dalam hal ini menganggung risiko, dimana risiko sangat berkaitan erat
dengan sifat dan karakteristik spekulatif (speculative) dan ketidakpastian (uncertainty).
Karakteristik speculative dan uncertainty biasanya berindikasi menimbulkan perilaku moral
hazard. Artinya, pendirian perusahaan penjaminan ulang akan memunculkan risiko sistemik
oleh para oknum yang tidak bertanggung jawab jika tidak disusun regulasi yang ketat. Selain itu,
baik dari perusahaan penjaminan dan pihak bank harus benar-benar melakukan uji feasibility
dalam setiap melakukan kegiatannya sehingga dapat menekan gagal bayar dan fenomena
catastrophe seperti yang telah dipaparkan.
4.6
Analisis Biaya dan Manfaat
Salah satu pertimbangan penting dalam mengambil kebijakan pemerintah adalah analisis
biaya dan manfaat atau Cost Benefit Analysis. Begitu juga dengan kebijakan pendirian
perusahaan penjaminan ulang kredit. Beberapa indikator penting untuk dilihat sebagai
pertimbangan analisis biaya dan manfaat antara lain Tren rasio kredit per Produk Domestik
Bruto, kredit rasio usaha mikro kecil, dan persentase orang yang pinjam ke institusi keuangan
dengan umur di atas 15 tahun, biaya peminjaman atau suku bunga untuk susaha mikro dan
kecil dan safety net sebagai indikator dan argumen untuk manfaat adanya penjaminan dan
penjaminan ulang kredit. Sedangkan dari sisi biaya terdapat biaya modal yang dibutuhkan
49
untuk pendirian perusahaan penjaminan ulang dan biaya subsidi. Biaya dan manfaat di dalam
analisis ini akan menggunakan studi komparasi dengan negara lain terutama Korea Selatan dan
Jepang.
4.5.1 Manfaat
Grafik 4.13
Tren Rasio Kredit Per PDB Korea Selatan
160
140
120
100
80
60
40
20
2014
2012
2010
2008
2006
2004
2002
2000
1998
1996
1994
1992
1990
1988
1986
1984
1982
1980
1978
1976
1974
1972
1970
1968
1966
1964
1962
1960
0
Kredit Domestik Bank untuk Swasta
Sumber: World Development Indicators (WDI), World Bank
Sejak didirikannya perusahaan penjaminan ulang yang bernama Korea Federation of Credit
Guarantee Foundations (KOREG) di tahun 2000, rasio kredit per Produk Domestic Bruto naik
cukup tajam. KOREG secara aktif menjadi lembaga reguarantee sejak tahun 2004 meskipun
pada didirikannya di tahun 2000. Jika dilihat grafik Tugas utama KOREG adalah membantu
Credit Guarantee Foundation atau lembaga penjaminan kredit untuk menawarkan kredit ke
usaha kecil dan menengah. Sampai tahun 2012 kredit bank yang dikucurkan untuk usaha kecil
dan menengah sekitar 40 % dari total pinjaman. Meskipun terlalu sederhana untuk disimpulkan
bahwa kenaikan signifikan pada kredit diakibatkan hanya oleh pendirian perusahaan
penjaminan ulangkredit akantetapi hal ini menunjukkan sinyal positif akan perlunya pendirian
perusahaan penjaminan ulang kredit.
50
Kenaikan pinjaman dengan jaminan secara gradual mengalami kenaikan yang pasti dengan
rata-rata pertumbuhan 10 % per tahun (Asian Development Bank, 2013). Penawaran jasa
penjaminan ulang kredit memberikan dampak langsung ke industri jasa penjaminan kredit dan
secara tidak langsung memberikan dampak terhadap pihak perbankan dan usaha kecil dan
menengah. Pihak perusahaan penjaminan kredit mempunyai keberanian lebih untuk
memberikan penjaminan kredit peluang untuk berbagi resiko dalam penyaluran kredit dan
penjaminan.
Hal yang berbeda dengan apa yang terjadi di Jepang. Indikator tren rasio kredit per Produk
Domestic Bruto menunjukkan perubahan yang signifikan. Hal ini ditunjukkan oleh gambar 4.2
dimana perusahaan penjaminan ulang kredit didirikan sejak tahun 2008 dan belum terlihat
dampaknya terhadap tren rasio kredit. Meskipun demikian, Jepang merupakan negara dengan
dengan penjaminan outstanding credit tertinggi dengan lebih dari 7 % dari Produk Domestik
Bruto. Hal ini tentu saja selaras dengan hasil survei Bank Dunia/IFC tahun 2006-2010 dan
McKinsey (2012) yang menyimpulkan bahwa kendala terbesar pengembangan usaha kecil
menengah yaitu Jepang, China, Korea Selatan, Taiwan, di Asia Timur adalah akses terhadap jasa
keuangan sehingga penjaminan menjadi mutlak diperlukan untuk meningkatkan akses karena
bank akan lebih berani memberikan kredit ke UKM.
Grafik 4.14
Tren Rasio Kredit per PDB Jepang
2014
2012
2010
2008
2006
2004
2002
2000
1998
1996
1994
1992
1990
1988
1986
1984
1982
1980
1978
1976
1974
1972
1970
1968
1966
1964
1962
1960
400
350
300
250
200
150
100
50
0
Kredit Domestik Bank Untuk Swasta
Sumber: World Development Indicators (WDI), World Bank
51
Pendirian perusahaan penjaminan ulang kredit (Reguarantee) memerlukan biaya terutama
setoran modal. Ini berarti pendirian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) ada aspek biaya yang
harus ditanggung oleh pemerintah terkait dengan rendana pendiriannya. Dari hasil wawancara
kami dengan seluruh stakeholder yang terkait dengan pendirian lembaga pejaminan ulang ini
dapat disimpulkan dan dikonfirmasikan bahwa semuanya stakeholder baik itu Jamkrida,
perbankan dan otoritas mengharapkan perusahaan penjaminan ulang dimiliki oleh pemerintah.
Ini merupakan konsekuensi dari risiko yang dihadapi dan layanan ini merupakan bagian dari
tanggung jawab Negara untuk menciptakan kegiatan ekonomi yang merata. Ini berarti
perusahaan penjaminan ulang yang akan didirikan nanti harus merupakan BUMN.
Kebijakan pemerintah Korea dan Jepang untuk memperkenalkan Lembaga Penjaminan Ulang
Kredit (Credit Re-Guarantee) mampu nurunkan tingkat suku bunga pinjaman yang ditawarkan
oleh lembaga keuangan. Penurunan tingkat suku bunga di Korea lebih signifikan daripada
Jepang, dimana penurunan tingkat suku bunga kredit di Korea pada tahun 2000 terjadi dari 9.4
menjadi 7.7 % yang kemudian menurun secara terus menerus. Pada kondisi Jepang, penurunan
tingkat suku bunga kredit hanya teradi dari 1.9 menjadi 1.6 % dari tahun 2008 ke 2009. Manfaat
ini sangat diharapkan oleh dunia usaha karena biaya pinjaman sangat mahal dibandingkan
dengan Negara sekitar dalam ASEAN.
Grafik 4.15
Perkembangan Suku Bunga Kredit Jepang Dan Korea
20
Percent (%)
15
10
9.4
7.7
5
1.91 1.6
0
1980 1982 1984 1986 1988 1990 1992 1994 1996 1998 2000 2002 2004 2006 2008 2010 2012 2014
Japan
Korea, Rep.
Sumber: Bank Dunia, 2015
52
4.6.2 Biaya
Dari sisi biaya lembaga penjaminan ulang merupakan lembaga yang sifatnya khusus. Artinya
kewajiban akan timbul di kemudian hari saat situasi khusus terjadi. BUMN dipandang penting
untuk menjamin kepercayaan perusahaan penjaminan kredit maupun penyedia kredit.
Pemerintah sebagai pemilik BUMN tidak akan mangalami kebangkrutan atau gagal bayar
dibandingkan jika dimiliki oleh swasta. Ini akan menjadi pendorong bagi pengguna jasa untuk
menggunakan jasa perusahaan penjaminan ulang yang dimiliki Negara.
Ada dua alternatif model pembentukan dari perusahaan penjaminan ulang yang dapat
disimpulkan dari hasil diskusi dengan para stake holder. Pertama yaitu perusahaan milik
negara yang saat ini sudah berfungsi melakukan penjaminan kredit ditransformasi menjadi
perusahaan penjaminan ulang (Tranformasi). Kedua, membentuk BUMN baru yang akan
menjalankan fungsi sebagai perusahaan penjaminan.
Kedua pilihan itu memiliki konsekuensi masing-masing terutama terkait dengan biaya atau
permodalan. Transformasi BUMN yang existed dalam penjaminan kredit yang sudah ada saat
ini berarti memilih BUMN yang ada. Pemikiran yang paling popular adalah Jamkrindo
menjalankan fungsi ini. Pilihan ini dirasakan paling bagus dan paling feasible saat ini. Proses
legal tidak menjadi kendala lagi dan secara biaya lebih murah karena tidak harus ada setoran
modal baru. Demikian juga dari sisi proses politik lebih mudah karena relatif tidak ada kendala
yang berarti. Transformasi fungsi ini tentu memiliki konsekuensi perubahan cara bisnis. Namun
proses ini tidak akan membuat permasalahan terkait dengan operasional karena pengalaman
sudah ada.
Pilihan kedua yaitu mendirikan BUMN baru. Proses untuk ini akan lebih lama karena
dukungan berdasarkan Undang-Undang (UU) diwajibkan. Ini punya implikasi pada proses
politik panjang dan melelahkan. Pendirian BUMN akan dimulai dari lembaga atau Kementrian
teknis yang dalam hal ini akan mengajukan kepada Kementerian Keuangan yang berhubungan
dengan DPR. Proses ini bias memerlukan waktu lebihdari satu tahun. Setelah mendapatkan
persetujuan DPR makan tahap-tahap pendirian perusahaan dimulai sehingga waktu yang
diperlukan bias sampai dua tahun. Selain itu setoran modal minimum yang ditetapkan lembaga
53
penjaminan ulang sesuai ketentuan adalah anatara Rp. 200 milyar sampai Rp. 1 triliunjuga
berlaku yang berarti ini akan ada problem dalam hal alokasi anggaran tentu saja ini menjadi
kendala terutama terkait dengan beban APBN yang saat ini sudah mengalami defisit Duta
modal yang dibutuhkan untuk pendirian lembaga penjaminan adalah sebesar 1 triliun rupiah
yang tentu saja ini cukup signifikan
Tabel 4.7. Perbandingan Pendirian Penjaminan ulang
No
Pembetukan BUMN
Modal
Proses
Learning Curve
1
Transformasi
Murah
Cepat
Ada
2
Pendirian Baru
Mahal
Lama
Tidak ada
Dari pengalaman berbagai negara terlihat jelas bahwa lembaga penjaminan kredit ataupun
lembaga penjamin ulang kredit (Credit Guarantee / Re-guarantee) adalah perangkat
kebijakan yang dikeluarkan oleh suatu negara dalam rangka mendorong pembangunan
ekonomi terutama ekonomi mikro kecil dan menengah. Di Korea (KOREG) dan di Jepang (JFC),
keduanya memfungsikan perusahaan penjaminan kredit dan penjaminan ulang Kredit sebagai
perusahaan yang secara finansial selalu mendapatkan subsidi dari pemerintah. Ini terjadi
karena mereka adalah perusahaan BUMN yang didirikan khusus dalam rangka mendorong
pembangunan ekonomi negara masing-masing.
Implikasi dari kebijakan ini adalah bahwa perusahaan-perusahaan penjaminan yang mereka
dirikan tidak untuk tujuan mencari keuntungan (profit motive) tetapi perusahaan yang
berkorban untuk membangun ekonomi (development motive). Untuk dapat bertahan maka
subsidi pemerintah harus terus dilakukan. Pengalaman di Korea dengan KOREG menunjukkan
bahwa pendapatan premi perusahaan penjaminan tidak cukup untuk membayar klaim.
Pemerintah Korea terus melakukan dukungan karena merupakan perusahaan penjaminan ulang
merupakan alat kebijakan (policy instrumentsupporter) yang dianggap paling bagus.
Setiap tahun pemerintah masih memberikan subsidi sebesar jumlah premi yang didapat bahkan
kadang-kadang juga lebih besar untuk bisnis perusahaan penjaminan terus berkembang.
54
Table 4.8 menjelaskan tentang simulasi subsidi dengan asumsi Loss Given Default (LGD) 60%
yang berarti recovery rate sebesar 40%. Walaupun angka ini dianggap terlalu optimis namun
merupakan angka recovery rate yang umum dengan asumsi best effort.Premi yang akan
dikenakan adalah 8 per mil (0.8%) baik untuk kredit UMKM maupun kredit skala besar. Asumsi
adalah jumlah non performing loan (NPL) adalah jumlah klaim kredit UMKM. Prinisp gotoang
royong berlaku dalam skim ini dimana ada dua pilihan yaitu kredit UMKM saja atau seluruh
kredit dikenakan premi.
Table 4.8.Simulasi Biaya Subsidi
Kategori
2011
2012
Total Kredit
Total Kredit
UMKM
NPL
Total NPL
Total Klaim
LGD
Kerugian
Pendapatan Premi
Seluruh Kredit
UMKM Saja
2.259.862 2.778.957
2013
2014
3.384.230
3.780.114
479.886
3,6%
17419,9
17419,9
60%
10452
552.226
3,40%
18776
18776
60%
11265
2.744.758
3,35%
91949
91949
60%
55170
707.462
3,90%
27591
27591
60%
16555
18079
4799
22232
5522
27074
27448
30241
7075
Subsidi
Seluruh Kredit
7.627
UMKM Saja
(5.653)
10.966
(5.743)
14.221
(6.458)
13.686
(9.480)
Prinsip ini serupa dengan skim kerja Lembaga Penjamin SImpanan (LPS) dimana premi yang
dibayar adalah seluruh dana pihak ketiga walaupun yang dijamin jumlahnya maksimum
sebesar Rp. 2 milyar. Dari hasil simulasi sederhana ditemukan fakta bahwa kalau asumsi diatas
berlaku ternyata perusahaan penjaminan ulang tidak perlu subsidi jika ini diberlakukan.
Sementara jika hanya kredit UMKM yang membayar premi, subsidi yang diperlukan mencapai
55
Rp. 5-11 triliun per tahun. Sebenarnya yang terbaik adalah seperti skema LPS. Perlu diingat
kredit non UMKM biaya pinjaman bias 10% lebih rendah dari kredit UMKM sehingga
penambahan 0.8% bukan beban berarti.
Demikian juga dengan JFC Jepang yang selalu mendapatkan subsidi rutin setiap tahun dari
APBN untuk permodalan. Mereka akan mengalami penurunan modal jika tidak ada suntikan
dana karena jumlah klaim yang lebih besar dibandingkan dengan pendapatan premi. Lembaga
penjaminan ulang kredit di Indonesia juga harus mendapatkan subsidi dari pemerintah dalam
bentuk penyertaan modal yang sifatnya terus-menerus sebagai bagian dari upaya membangun
ekonomi di level bawah. Kalau kita mengikuti pola penjaminan yang menyeluruh yaitu lembaga
penjaminan ulang ini maka kita dapat menghitung bahwa yang harus dibayar sebesar jumlah
tertentu ini dikaitkan dengan apa yang terjadi dan sebagainya dengan mengasumsikan sebesar
60 % maka diperlukan untuk membangun ini jumlahnya dapat dihitung.
56
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan yang dapat diambil dari kajian ini antara lain:
1. Kontribusi UMKM di Indonesia terhdap perekonomian Indonesia sangat besar baik
dalam kontribusi terhadap produksi nasional maupun penyerapan tenaga kerja sehingga
perlu dukungan besar oleh semua pihak agar bisa pilar perekonomian Indonesia yang
kokoh dan hal ini juga terjadi di negara-negara maju seperti Jepang dan Korea Selatan
dimana UMKM juga merupakan skala usaha yang mendominasi. Namun demikian kalau
dilihat dari akses kredit ternyata UMKM menyerap kurang dari 20% kredit. Artinya ada
problem akses kredit bagi UMKM.
2. Persoalan permodalan masih menjadi persoalan besar yang tidak mudah untuk
diselesaikan. Di satu sisi UMKM (sisi permintaan) dan pemerintah ingin agar UMKM
dapat memperoleh akses kredit yangmudah dan murah sehingga intervensi banyak
dilakukan salah satunya dengan program Kredit Usaha Rakyat (KUR), dan dari sisi
perbankan ingin keamanan dan profitabilitas usaha mereka tetap tumbuh.
3. Kebijakan penjaminan kredit menjadi salah satu jalan keluar untuk mengatasi masalah
keamanan dari sisi perbankan sehingga diharapkan pihak bank akan lebih berani dalam
ekspansi kredit mikro atau dengan kata lain mengatasi masalah klasik asymmetric
information dalam pasar kredit mikro untuk UMKM.Saat ini total kredit UMKM per Juni
2015 sebesar Rp. 749 triliun dengan rekening 11,33 juta. Dengan jumlah UMKM yang
sangat besar berarti akses kredit UMKM masih harus ditingkatkan.
4. Pengalaman dari negara Korea Selatan dan Jepang menghasilkan kesimpulan yang
berbeda dari sisi aspek dampak didirikannya pendirian perusahaan penjaminan ulang.
Dari sisi indikator permintaan kredit di Korea Selatan terjadi signifikansi peningkatan
dan di negara Jepang terjadi peningkatan yang sama seperti sebelumnya. Kalau akses
kredit UMKM meningkat maka jika saat ini hanya 11,33 juta UMKM yang mendapat
kredit dari total UMKM yang ada yaitu sekitar 57,9 juta.Dengan demikian, jika akses
meningkat dua kali lipat akan ada 46,57 juta UMKM. Ini akan berdampak sangat baik
bagi perekonomian
57
5. Dari sisi infrastruktur peraturan, Indonesia sudah memiliki peraturan yang mendukung
didirikannya perusahaan penjaminan ulang kredit sehingga sangat memungkinkan
didirikannya perusahaan penjaminan ulang ini dalam waktu dekat. Berdasarkan hasil
interview stakeholders di pusat dan daerah diharapkan sekali bentuk perusahaan ini
adalah Badan Usaha Milik Negara karena mereka merasa lebih yakin akan keamanan
dananya karena dilindungi oleh negara.
5.2 Saran
Saran yng bisa diajukan dalam mensikapi hasil temuan kajian ini antara lain
1. Persoalan kredit bagi UMKM tidak bisa diselesaikan dari satu sisi saja tetapi harus secara
simultan yaitu diperbaiki sisi permintaan (UMKM) nya, dibuat tumbuh dan berkembang
UMKM nya dan dijadikan bankable serta disediakan pula akses keuangan bagi UMKM
yaitu bank dan penjaminan kreditnya.
2. Keberpihakan pemerintah memang masih sangat diharapkan dalam mengembangkan
perekonomian rakyat. Skala usaha kecil masih sangat rentan terhadap perubahan dan
gejolak perekonomian dunia. Intervensi pemerintah pada problem yang dihadapi oleh
UMKM masih sangat dibutuhkan, pembukaan dan kemudahan akses pasar baik
domestik maupun internasional, insentif pajak untuk umkm terutama yang berbasis
ekspor, pelatihan manajemen baik keuangan maupun pemasaran dan produksi. Dari sisi
permintaan (demand side of credit) hal ini sangat penting dilakukan karena tidak hanya
akan membuat UMKM menjadi lebih kuat tetapi juga bankable dan creditable. Jika
kondisi UMKM yang creditable maka dengan sendirinya umkm dapat akses keuangan
lebih mudah juga di perbankan serta resiko yang dihadapi bank juga akan lebih rendah.
3. Perusahaan penjaminan dan penjaminan ulang merupakan solusi dari sisi penawaran
atau supplyside of credit. Solusi ini menjadi benteng terakhir dari sisi penawaran dengan
kata lain kebijakan pemerintah pendirian perusahaan penjamin atau penjamin ulang
kredit. Resiko atas kegagalan kredit yang tidak dapat diduga seperti bencana alam,
transmisi krisis ataupun perkara yang tidak terduga lainnya. Penguatan kapasitas
perusahaan penjamin kredit yang sudah ada saat ini menjadi penting mengingat potensi
58
kebutuhan kredit UMKM yang sangat tinggi serta dibarengi dengan resiko yang relatif
tinggi tentunya mengakibatkan permintaan penjaminan kredit yang tinggi.
4. Pendirian penjaminan ulang menjadi penting dilakukan mengingat dari sisi permintaan
sendiri sangat tinggi yaitu perusahaan penjaminan kredit yang sudah ada saat baik di
tingkat daerah maupun pusat. Ekspansi kredit diharapkan sigifikan mengingat resiko
kredit yang turun. Tingkat resiko kredit yang dikucurkan bank yang masih dalam
jangkauan akibat resiko yang berkurang akibat pendirian perusahaan penjaminan ulang
akan tertupi. Risk sharing penawaran kredit ditopang oleh tiga pihak yaitu bank,
penjamin dan penjamin ulang dimana kalau tidak ada perusahaan penjaminan ulang
maka akan ditopang oleh hanya dua pihak. Memang dengan pendirian perusahaan
penjaminan ulang maka akan muncul konsekuensi biaya yang harus dibayar oleh
pemerintah (ada kemungkinan swasta membuat tetapi harapan semua stakeholders
adalah pemerintah) akan tetapi di sisi lain ada potensi keuntungan dari adanya
perusahaan ini baik social benefit maupun financial benefit.
5. Kebijakan penjaminan oleh pemerintah lebih baik difokuskan pada sektor dan skala
usaha prioritas. Sektor yang menjadi prioritas untuk dikembangkan oleh pemerintah
dalam perencanaan pembangunan dapat memperoleh prioritas penjaminan dan
penjaminan ulang. Skala usaha kecil dan infant industries termasuk start up company
serta sektor utama pemerintah bisa menjadi pertimbangan dalam pendirian perusahaan
penjamin dan penjamin ulang.
59
DAFTAR PUSTAKA
Acharya, V. V., Pedersen, L. H., Philippon, T., and Richardson, M. P. 2010. Measuring systemic
risk. FRB of Cleveland Working Paper, (10-02)
Bambang Widianto, 2014, Keuangan Inklusif dan Penanggulangan Kemiskinan, Presentasi Pada
Seminar keuangan Inklusif di Hotel Mercure Sabang
Bell, M. and Keller, B. 2009. Insurance and stability: the reform of insurance regulation. Zurich
Financial Services Group Working Paper
Billio, M., Getmansky, M., Lo, A. W., and Pelizzon, L. 2012. Econometric measures of connectedness and systemic risk in the finance and insurance sectors.Journal of Financial Economics
,104(3):535-559
Bodoff, Neil, 2013. Reinsurance Credit Risk: A Market Paradigm For Quantifying The Cost of
Risk, CAS Annual Meeting, Minneapolis, November 5, 2013
Cummins, J David dan Weiss, Mary A. 2014. Systemic Risk and The U.S. Insurance Sector,
Journal of Risk and Insurance, Volume 81, Issue 3, pages 489–528, September 2014
Epermanis, Karen and Scott E. Harrington,Market Discipline in Property/Casualty Insurance:
Evidence from Premium Growth Surrounding Changes in Financial Strength Ratings, Journal of
Money, Credit and Banking, 2006, vol. 38, issue 6, pages 1515-1544
Grace, M.F., 2011, The Insurance Industry and Systemic Risk: Evidence and Discussion
Group of Thirty. 2006.Global Clearing and Settlement: Final Monitoring Report
.Washington, D.C.: Group of Thirty
Harrington, S. E. 2009. The nancial crisis, systemic risk, and the future of insurance regulation.
Journal of Risk and Insurance, 76(4):785{819
Hodgman, D. 1960. Credit risk and credit rationing’. Quarterly Journal of Economics, 74,
258-278
JFC, 2014, Annual Report
JFC, 2013, Annual Report
Koreg, 2014, Annual report
Matthews, Kent, dan John Thomson, 2005. The Economics of Banking, John Wiley and Sons, Ltd.
60
Rossi, M.-L. dan Lowe, N. 2002. Regulating Reinsurance in the Global Market.
The Geneva Papers on Risk and Insurance – Issues and Practices, 27(1):122-133
Swiss Re .2003. Reinsurance - a Systemic Risk? Technical report, Sigma, Swiss Re, Economic
Research and Consulting.
Vienna Initiative. 2014. Credit Guarantee Schemes for SME lending in Central, Eastern and
South-Eastern Europe. A Report by the Vienna Initiative Working Group on Credit Guarantee
Schemes.
61
Download