MARAKNYA NIKAH MUT`AH DI INDONESIA

advertisement
MARAKNYA NIKAH MUT’AH DI INDONESIA
SEBUAH PENOMENA HUKUM
Oleh : BAIDHOWI. HB
PENDAHULUAN
Dengan semakin maraknya perkawinan kontrak (nikah mut’ah) sebagaimana
tayangan TV beberapa waktu lalu, sebagaimana terjadi dan berkembang di masyarakat Blitar
Jawa Tengah, Bogor Jawa Barat, konon katanya turis-turis asing baik dari timur tengah maupun
lainnya, mereka selama di Indonesia, melakukan kawin kontrak, ada yang 1 (satu) tahun, 2 (dua)
tahun dan seterusnya. Padahal nyata-nyata MUI melalui fatwanya menyatakan Nikah Mut’ah
hukumnya dilarang, tapi dalam peraktek hal tersebut tetap aja jalan, bahkan yang menikahkan
anak perempuan itu ayah kandungnya sendiri, dengan dalih yang penting ada kesejahteraan
untuk anaknya itu dari pada melacur.
Bertitik tolak dari latar belakang tersebut mendorong penulis melihat lebih jauh,
mengapa nikah mut’ah itu dilarang dan sejauh mana tingkat pelarangan itu sendiri, dan apa saja
akibat hukum dari pelaksanaan nikah mut’ah itu sendiri, yang selanjutnya penulis tuangkan
dalam makalah ini.
PEMBAHASAN
1.
Pengertian
Nikah ; kata nikah/an nikah dalam bahasa arab
yang berarti menghimpun atau
mengumpulkan1, secara umum pengertian nikah (diluar difinisi yang dikemukakan oleh
ulama fiqih) adalah salah satu upaya untuk menyalurkan naluri seksual suami isteri
dalam sebuah rumah tangga sekaligus sarana untk menghasilkan keturunan yang dapat
menjamin kelangsungan eksistensi manusia diatas bumi.2
Sedangkan dalam undang-undang No. 1 Tahun 1974, tidak disebutkan istilah Nikah tapi
perkawinan, yang berarti ; ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita
1 Abi Zakariya al Anshari, Fathul Wahhab, Syarah minhajut tulhab, syirkah izamatuddin, jus
II hal 30, tanpa tahun.
2 Esiklopedi Hukum Islam (editor: Abdul Aziz Dahlan), PT. ICHTIAR BARU VAN HOVE
JAKARTA. cet. I, 1966 jilid 4, hal 1329.
sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia
dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa (pasal 1 UU No. 1 Tahun 1974).
Selanjutnya didlam penjelasan pasal 1 UU No. 1 Tahun 1974 tersebut diuraikan : “
sebagai Negara yang berdasarkan Pancasila yang pertamanya ialah Ketuhanan Yang
Maha Esa, maka perkawinan mempunya hubungan yang erat sekali dengan
Agama/Kerohanian, sehingga perkawinan bukan saja mempunyai unsur lahir/jasmani
tetapi unsur bathin /rokhani juga mempunyai peranan penting. Membentuk keluarga
yang bahagia rapat hubungan dengan keturunan, yang pula meruapakan tujuan
perkawinan, pemeliharaan dan pendidikan menjadi hak dan kewajiban orang tua.3
Dari pengertian tersebut, dapat ditarik suatu pengertian bahwa dibalik syari’at
perkawinan itu, terkandung hikmah antara lain :
1. Menyalurkan naluri seksual secara sah dan benar, Islam bermaksud membedakan
antara manusia dan hewan dalam penyaluran naluri seksual melalui perkawinan.
2. Cara yang paling baik dan sehat untuk mengembangkan keturunan secara sah.
3. Memupuk rasa tanggungjawab dalam memelihara, mendidik dan membahagiakan
anak.
4. Menyalurkan naluri kebapaan dan keibuan seseorang.
5. Membagi rasa tanggungjawab antara suami dan isteri.
6. menyatukan hubungan kekeluargaan dan silaturrahmi dari keluarga masing-masing
pihak.
7. Memperpanjang usia.
Hasil penelitian masalah-masalah kependudukan yang dilakukan PBB tahun 1958,
menunjukkan bahwa pasangan suami isteri mempunyai kemungkinan lebih panjang
umurnya disbanding orang-orang yang tidak menikah selama hidupnya.
a. Nikah Mut’ah
Kata mut’ah dalam bahasa arab berasal dari mata’a, yanta’u, mat’an wa mut’atan
kesenangan atau kenikmatan.
Nikah mut’ah adalah nikah atau perkawinan yang dilakukan antara laki-laki dan wanita
3 Yayasan Al Hikmah, Himpunan Peraturan Perudang-undangan dalam lingkungan Peradilan
Agama, Jakarta 1993, hal 154.
dengan akad dan jangka waktu tertentu.
Menurut jumhur Ulama fiqh, yang dimaksud dengan “akad dan jangka waktu tertentu”
dalam nikah mut’ah adalah akad yang tidak diikat oleh kehendak bersama yang
berdasarkan cinta kasih untuk hidup berumah tangga selama-lamanya sebagai suami
isteri. Akad seperti ini hanya berdasarkan kebutuhan biologis dalam waktu tertentu.
dalam akad ini disebutkan
pula jumlah atau jenis mahar, sesuai kesepakatan kedua
belah pihak, demikian pula dengan pembatasan waktu.
Ada pula Ulama fikih yang medifinisikan dengan “akad seorang laki-laki kepada
wanita tertentu, seperti sehari seminggu atau sebulan’. Al Jaziri (ahli fikih perbadingan
mazhab) mendifinisikannya dengan “nikah yang dikaitkan dengan pembatasan waktu
tertentu”. difinisi lain yang hampir sama juga dikemukakan oleh ulama mazhab Maliki
dan Syafi’i yang pada dasarnya menunjukkan adanya pembatasan waktu tertentu,
pembatasan waktu tersebut diungkapkan pada saat akad berlangsung.
Menurut Ulama mazhab Syafi’i, mazhab Hambali dan mazhab Maliki, nikah mut’ah
disebut juga nikah mu’aqqat (nikah yang dibatasi waktunya). Akan tetapi ulama
mazhab Hanafi, ada perbedaan antara nikah mut’ah dan nikah mu’aqqat, akad nikah
mut’ah menggunakan kata mut’ah, seperti “mata’ tuki bin nafsi” (aku menikahi engkau
dengan nikah mut’ah), sedangkan pada nikah mu’aqqat tidak demikian. Istilah lain dari
nikah mut’ah adalah nikah munqati’ (nikah yang terputus).
dari pengertian (pengertian 1a dan 1b) diatas, sangat nampak perbedaannya, terutama
tujuan pernikahan itu sendiri, dimana untuk nikah dimaksud pada pengertian 1a,
tekanannya adalah untuk membentuk sebuah rumah tangga dan melestarikan keturunan
secara sehat sah dan benar, sedangkan pada nikah mut’ah dimaksud hanya sebatas
memenuhi kebutuhan biologis dalam jangka waktu tertentu saja, artinya tidak diikat
oleh rasa cinta kasih untuk hidup berumah tangga untuk selama-lamanya.
2. Sejarah Nikah Mut’ah
Nikah mut’ah merupakan tradisi masyarakat pra Islam, tradisi ini dimaksud untuk
melindungi wanita dilingkungan sukunya. Pada masa Islam, nikah seperti ini mengalami
pasang surut. Pada masa Rasulullah SAW, nikah mut’ah mengalami beberapa kali perubahan
hukum, dua kali dibolehkan dan dua kali dilarang, dan akhirnya diharamkan untuk selamanya
demikian dijelaskan dalam ensklopedi Hukum Islam.4
Lebih lanjut dijelaskan bahwa pada masa shahabat (siapa saja yang pernah bertemu atau
melihat Nabi SAW dan memeluk Islam). larangan Rasulullah SAW pada dasarnya tetap
menjadi pegangan jumhur shahabat. Akan tetapi, adanya sebagian kecil diantara mereka
yang masih membenarkan, bahkan melakukan praktek nikah mut’ah, seperti yang dilakukan
oleh Jabir bin Abdullah pada masa khalifahnya, Umar bin Khattab (581-644) secara tegas
melarang siapa saja yang melakukan nikah mut’ah dengan ancaman hukum rajam.
Larangan Umar bin Khattab dapat menghentikan secara total praktek nikah mut’ah, keadaan
ini tetap terpelihara sampai generasi berikutnya.
Pada masa pemerintahan Al Ma’mun (khalifah ke 7 dari dinasti Abbasiyah 198 H/813 M-218
H/833 M), nikah mut’ah secara formal dibolehkan kembali. Akan tetapi, nikah ini dilarang
kembali oleh khalifah berikutnya, Al Mutashin (218 H/ 833 M – 227 H/ 842 M).
Berbeda dengan aliran Sunni, aliran Syiah yang sejak semula membolehkan nikah mut’ah
dan tetap mempertahankannya sampai sekarang, dan menjadi bagian dari aturan hukum
perkawinan yang mereka anut.
3. Hukum Nikah Mut’ah
Beberapa hadist Nabi SAW memperbolehkan para sahabat melakukan nikah mut’ah.
Diantaranya adalah hadist yang diriwayatkan dari Saburah Al Juhari :”Bahwa ia (Saburah Al
Juhari) ikut berperang bersama Rasulullah SAW pada saat penaklukan kota Mekah, Nabi
SAW memberikan izin kepada meraka (yang ikut berperang) melakukan nikah mut’ah (HR.
Muslim).
Ulama sepakat bahwa nikah mut’ah pernah dibolehkan dan menjadi salah satu bentuk
perkawinan pada periode awal pembinaan hukum Islam. Meraka berpendapat bahwa nikah
mut’ah diperbolehkan karena pada saat itu umat Islam jumlahnya sedikit dan keadaan
ekonomi terbatas, sedangkan tenaganya dikonsenterasikan untuk menghadapi musuh Islam.
Keadaan seperti ini tidak memungkinkan meraka dapat hidup berkeluarga sebagai layaknya
suami isteri dan membina anak-anak mereka sebagaimana dikehendaki dari sebuah
perkawinan.
Ulama fikih kemudian berselisih pendapat dalam dua hal pokok :
4
editor Abdul Azis Dahlan cet. 1 Judul IV hal 1345. PT. ICHTIAR BARU VAN HAVE, Jakarta
Pertama : apakah nikah mut’ah itu diperbolehkan untuk seterusnya atau ada larangan yang
berlaku untuk selamanya.
Kedua : ulama yang memandang nikah mut’ah itu dilarang untuk selamanya berbeda
pendapat tentang kapan larangan itu disampaikan Rasulluh SAW.
Mengenai persoalan pertama menurut ulama mazhab yang empat(Hanafi, Maliki, Syafi’I dan
Hambali) serta Jumhur Shahabat dan Tabi’in, kecuali beberapa orang saja, nikah mut’ah
untuk selanjutnya dilarang. Ada beberapa hal yang menjadi dasar larangan itu :
-
Pertama, hanya Rasulullah SAW dalam beberapa hadist menurut Ibnu Rusyd, larangan
tersebut diketahui secara mutawatir, (diketahui secara luas oleh orang banyak dan
diterima dari orang banyak pula, sehingga mustahil diantara mereka terjadi kesepakatan
untuk berdusta). Seluruh hadist dalah shahih. Diantaranya adalah hadist riwayat Ibnu
Majah yang artinya : “Bahwa Rasulullah SAW mengharamkan mut’ah”, lalu sabdanya
“Wahai sekalian manusia, aku telah membolehkan kalian melakukan nikah mut’ah;
ketahuilah ! sekarang Allah SWT telah mengharamkannya sampai hari kiamat nanti”.
Ibnu Umar pernah berkata: “ Rasulullah SAW pernah membolehkan mut’ah tiga kali,
setelah itu ia mengharamkannya: Demi Allah! Aku tidak mengetahui seorangpun yang
melakukan mut’ah, kecuali dirajamnya dengan batu”.
-
Kedua, sebagaian ulama berpendapat bahwa keharaman nikah mut’ah dalam Syari’at
Islam sudah merupakan hasil ijmak.
-
Ketiga, dilihat dari tujuan nikah mut’ah hanya untuk memenuhi kebutuhan syahwat,
bukan untuk kesejahteraan dan kelangsungan keturunan, sebagaimana diharapkan dari
perkawinan.
Oleh karena itu, al Baihaki (ahli hadist terkemuka) menyatakan bahwa diantara ulama ada
yang menyebut nikah mut’ah itu sebagai perbuatan zina.
Beberapa ulama lainnya dikalangan sahabat dan tabiin, antara lain Ibnu Abbas dan Ibnu
Mas’ud, memandang sebaliknya, yakni nikah mut’ah masih boleh dilakukan, hal ini
didasarkan pada surat An Nisa’ (4) Ayat 24 yang artinya : “Maka isteri-isteri yang telah
kamu campuri (nikmati) diantara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan
sempurna), sebagai suatu kewajiban.” Dalam salah satu Qiraatnya mereka menambahkan
kalimat “Ila ajalim musamma (sampai batas waktu tertentu), sehingga ayat tersebut dapat
dijadikan acuan hukum dalam meperbolehkan nikah mut’ah.
Menurut Ibnu Abbas, nikah mut’ah diperbolehkan sejauh dibutuhkan dan dalam situasi
darurat atau terpaksa. Artinya , bukan halal secara mutlak. Muhammad Bin Ali AsySyaukani (ulama hadist memandang bahwa tambahan kalimat itu hanya penafsiran, bukan
ayat Al-Qur’an. Karena itu tidak dapat dijadikan hujjah.
Muhammad Mustafa Syalabi, tokoh fikih Mesir, dalam bukunya yang berjudul Ahkamu AlUsrah (Hukum keluarga) menyebutkan riwayat Muhammad bin Sirin (W.110 H, ahli fikih
dan rawi hadist) bahwa ia pernah bertanya kepada dua tokoh syi’ah, Imam Ja’far As-Sadiq
dan Imam Muhammad al – Baqir (w. 731), tentang nikah mut’ah itu, mereka keduanya
menjawab: “ itu adalah zina (sifah)”.
Adapun mengenai persoalan kedua, ulama berbeda pendapat karena terdapat beberapa hadist
yang berbeda satu sama lainnya. Menurut hadist riwayat Ali Bin Abi Talib, nikah mut’ah itu
diharamkan pada saat perang khaibar (7 H/ 628 M), bersamaan dengan dengan
diharamkannya memakan daging himar (keledai).
Menurut hadist yang diriwayatkan oleh Imam Abu Daud dari ar- Rabi bin Saburah, larangan
itu terjadi pada saat haji wadak (haji terakhir yang dikerjakan Nabi SAW). Adapun menurut
hadist yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Ilyas bin Salamah dari ayahnya, Rasulullah
SAW melarang para sahabat pada hari ketiga setelah perang Autas.
Berkaitan dengan munculnya beberapa hadist yang berbeda mengenai waktu dihalalkan dan
diharamkannya nikah mut’ah, Imam as-Syafi’I, menegaskan bahwa tidak ada suatu (hukum)
yang dihalalkan Allah SWT kemudian diharamkan, lalu dihalalkan lagi, dan kemudian
diharamkannya kecuali nikah mut’ah.
Imam an-Nawawi (ahli hadist) menegaskan kronologis terjadinya perubahan dari dibolehkan
sampai dilarang nikah mut’ah oleh Rasulullah SAW, pertama : nikah mut’ah dibolehkan dua
kali, yaitu sebelum perang khaibar dan ketika futuh (penaklukan) Mekah (Fathu Makkah)
atau perang Autas sampai hari ketiga.
Kedua, larangannya sebanyak dua kali, yaitu pada masa perang khaibar dan setelah futuh
makkah, setelah itu, menurutnya lebih lanjut, Nabi SAW mengharamkan untuk selamanya
sampai hari kiamat.5
4. Nikah Mut’ah dikalangan Syi’ah
5 Ekseklopedi Hukum Islam Opcit, Hal 1346.
Menurut aliran syiah, nikah mut’ah tetap dibolehkan atau dihalalkan sampai sekarang, sama
halnya dengan nikah permanent (nikah da’im). Hal ini didasarkan pada beberapa hal :
1. Surah an Nisa’ (4) ayat 24 menurut kiraat ibnu masud yang didalamnya disisipkan
kalimat ila ajalim musamma. Mereka menolak pendapat menyatakan bahwa ayat tersebut
hukumnya sudah dinasakhkan (dibatalkan, nasakh) oleh dalil lain atau ijmak ulama.
2. Hadist Nabi SAW yang membolehkan melakukan nikah mut’ah, sebagaimana
diriwayatkan Imam Muslim dari ar Rabi’ bin Saburah dari Jabir bin Abdullah.
3. Pendapat beberapa orang sahabat (seperti Ibnu Abbas, ibnu Masud, Jabir Bin Abdullah
dan Abu Sa’ad al Khudri) dan tabi’in (seperti Ata bin Abi Rabah dan Sa’id bin Jubair).
Nikah mut’ah mempunyai syarat rukun yang harus dipenuhi.
Menurut Ulama syi’ah, syarat-syarat tersebut adalah baliqh, berakal, dan tidak ada halangan
syar’i (secara syarak) untuk melangsungkannya, seperti adanya pertalian nasab, saudara,
sesusuan, atau masih menjadi isteri orang lain.
Adapun rukun nikah mut’ah yang harus dipenuhi adalah siqhah (ikrar nikah mut’ah), calon
isteri, mahar/mas kawin dan batas waktu tertentu.
Disamping syarat dan rukun diatas, ada beberapa hal yang harus diperhatikan :
1. Calon isteri hendaknya wanita muslim atau wanita kitabiyah (beragama nasrani atau
yahudi). Dalam hal ini dianjurkan mengawini wanita baik-baik, sedangkan wanita
tunasusila dihukumkan makruh.
2. Batas waktu harus ditentukan pada saat akad berlangsung.
3. Besar kecilnya mahar juga disebut pada waktu akad sesuai kesepakatan kedua belah
pihak.
Dalam kehidupan suami isteri terdapat beberapa hal yang harus dipatuhi :
1. Apabila pada saat akad hanya disebutkan besarnya upah bukan mahar, maka akadnya
batal. Apabila mahar disebutkan, penentuan batas waktu tidak disebutkan maka
hukumnya menjadi nikah biasa.
2. Anak yang dilahirkan dari hasil perkawinan mut’at menjadi tanggungjawab suami dan
hanya mempunyai garis keturunan kepada pihak ayah.
Anak-anak lain dari ayahnya dan keluarga lain yang bertalian nasab atau satu keturunan
dengan ayahnya adalah saudaranya sendiri.
3. Dalam pergaulan suami isteri, pihak isteri tidak boleh menolak melakukan hubungan
badan dengan suaminya, tetapi boleh menolak terjadi kehamilan dengan melakukan
langkah-langkah pencegahannya.
4. Suami tidak berkewajiban memberikan nafkah kepada isterinya.
5. Bagi suami dan isteri tidak berlaku adanya talak, karena dengan berakhirnya masa yang
ditentukan maka berakhir pula ikatan perkawinan mereka tanpa ucapan talak. Begitu pula
halnya dengan masalah lain.
6. Diantara suami dan iteri tidak ada hak waris mewarisi.
7. Anak memiliki hak waris dari pihak ayah dan pihak ibu, dan keduanya berhak
mendapatkan warisan dari anak tersebut.
8. Berakhir masa iddah :
1. Apabila isteri termasuk wanita yang haidh, maka iddahnya setelah melewati dua kali
haidh. Namun ada yang menyatakan, cukup satu bulan apabila haidnya normal.
2. Apabila isteri termasuk wanita haidh, tetapi darah haidhnya tidak keluar, maka
iddahnya 45 hari.
3. Apabila isteri hamil atau ditinggal mati suaminya, maka iddahnya sama dengan iddah
nikah permanen.
Nikah mut’ah di Republik Islam Iran (yang menganut faham syi’ah) diatur dalam bab VI
Undang-undang Hukum Perdata. Pelaksanaannya dilakukan secara ketat dan hati-hati. Dalam
Undang-Undang tersebut disebutkan :
1. Perkawinan mut’ah berlaku untuk waktu tertentu karena diputuskan untuk jangka waktu
tertentu pula.
2. Masa perkawinan sementara itu harus disepakati secara spesipik dan
3. Hukum yang berkenaan dengan mahar dan perkawinan sama dengan yang disebut dalam
bab-bab yang berkaitan dengan mahar dan pewarisan.
Berdasarkan Undang-Undang ini, seluruh pasal yang berlaku untuk nikah permanen berlaku
pula untuk nikah mut’ah, kecuali pasal-pasal yang menunjuk secara khusus. Begitu pula
syarat-syarat yang ditentukan bagi orang-orang yang ingin membuat ikatan nikah permanen
berlaku bagi nikah mut’ah.
5. Nikah Mut’ah di Indonesia
Nikah mut’ah di Indonesia dikenal juga dengan istilah kawin kontrak, secara kwantitatif sulit
untuk didata, karena perkawinan kontrak itu dilaksanakan selain tidak tercatat, secara yuridis
formal memang tidak diatur dalam peraturan apapun, sehingga dapat dikatakan bahwa
perkawinan kontrak / nikah mut’ah di Indonesia tidak diakui dan tidak berlaku hukum itu.
FAKTA DAN KENYATAAN
Meskipun secara kwantitatif tidak ada data dan tidak belaku hukum perkawinan
kontrak/nikah mut’ah di Indonesia, namum pada kenyataannya, perkawinan kontrak tersebut
telah banyak berkembang di Indonesia, terutama di Daerah-daerah Industri yang banyak
melibatkan investor asing, seperti didaerah Kalimatan, otorita Batam, dan tidak mustahil
diberbagai daerah di pulau jawa dan Nusa Tenggara. Memang yang sempat mengemuka di
media perkawinan kontrak itu banyak dilakukan wanita Indonesia (Islam) dengan laki-laki
yang berasal dari luar negeri, baik dari Erofa, Amerika, Thailand dan Timur Tengah. Namun
boleh jadi ada praktek kawin kontrak ini dilakukan wanita dan pria sesama warga Negara
Indonesia.
Dengan memperhatikan kenyataan semakin maraknya perkawinan kontrak tersebut, apakah
hukum perkawinan di Indonesia harus tetap tinggal diam dan membiarkan praktek
perkawinan kotrak itu tetap jalan terus, dan tidak perlu di akomodir dalam hukum/ Undangundang perkawinan yang ada ?, padahal didalam hukum Islam ada azas yang menyatakan,
apabila ada persoalan hukum yang memerlukan sebuah jawaban yang mendesak, seharusnya
tidak boleh ditunda-tunda penyelesaiannya. Atau apakah jawabannya hanya mencukupkan
dengan fatwa Majelis Ulama Indonesia, yang menyatakan bahwa hukum nikah mut’ah
adalah haram dan di Indonesia dilarang, padahal larangan nikah mut’ah itu sendiri tidak
terdapat satu pasalpun diatur dalam aturan perundang-undangan di Indonesia, disatu sisi,
sedangkan disisi lain, sifat dari fatwa MUI itu sendiri tidak mengikat dan atau tidak
mempunyai kekuatan hukum sebagaimana hukum positif, karena ia hanya bersifat normatif,
sehingga tidak dapat dijadikan dasar bagi penegak hukum untuk menjaring pelaku praktek
nikah mut’ah tersebut.
PROBLEMA HUKUM NIKAH MUT’AH
Manakala kita menyimak pasal demi pasal Undang-undang perkawinan di Indonesia, tidak
ada satu pasal pun yang mengatur tentang praktek kawin kotrak, ini mengandung pengertian
boleh jadi tidak diatur karena tidak diakui dan atau tidak boleh berlaku di Indonesia, tapi
boleh jadi juga mengandung pengertian bagi yang mau melakukan nikah kontrak ya silakan
saja, karena sepanjang tidak ada larangan berarti hukumnya boleh-boleh saja, tergantung
orang yang mau melakukan.
Kalau persoalannya demikian, lalu pertanyaannya adalah apakah praktek perkawinan kontrak
yang semakin marak dan berkembang itu, cukup hanya dibiarkan begitu saja, dengan dalih
itukan hak prive seseorang? Sehingga tergantung kepada keadaan dan ketaatan orang yang
bersangkutan dalam melaksanakan hukum dan pemahamannya terhadap ajaran agama yang
dianutnya, atau kita harus berpikir sudah seharusnya hal tersebut diatur secara formil dalam
hukum positif dengan cara legal justis, syarat-syarat yang cukup ketat seperti halnya
Undang-undang yang berlaku di Iran, sehingga perkawinan itu tercatat, memiliki akte nikah
dan lengkap dengan perjanjian-perjanjian khusus untuk itu, atau hanya diatur dalam Undangundang perkawinan di Indonesia, tentang sanksi khusus terhadap pelaku, turut berbuat dan
atau membiarkan, mendiamkan dan yang menutup-nutupi praktek pelaksanaan nikah kontrak
di manapun atau dilakukan oleh siapapun juga.
Dalam menyikapi hal tersebut diatas, paling tidak ada dua opsi yang perlu dipertimbangkan
untuk dapat dirumuskan agar masuk dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan di
Indonesia.
Pertama, apa bila nikah mut’ah/perkawinan kontrak memang terpaksa harus dilegalkan di
Indonesia, maka ada dua kemungkinan dapat ditempuh.
1. Bila perkawinan kontrak/nikah mut’ah antara sesama warga negara Indonesia, maka
disamping berlaku hukum seperti disebut dalam pasal 6 dan pasal 7 UU No.1 Tahun
1974, pasal tersebut perlu ditambah sebagai pasal tersendiri, disisipkan katakanlah
dengan pasal 7a yang bunyinya memuat persyaratan yang ketat, situasi darurat dan atau
keadaan yang memaksa, dan harus atas izin pengadilan. Disamping itu juga diatur dalam
pasal tersendiri sanksi hukum terhadap pelanggaran dari aturan tersebut.
2. Bila perkawinan kontrak/nikah mut’ah itu, antara warga Indonesia dengan warga negara
asing, dilakukan di Indonesia, maka disamping berlaku hukum sebagaimana diatur pada
pasal 6 dan 7 Undang-undang No.1 Tahun 1974, seperti pada angka (1) diatas, juga pasal
57 s/d pasa 62 Undang-undang No. 1 Tahun 1974, dtambah/disisipkan pasal tersendiri,
katakan pasal 62a yang isinya memuat juga persyaratan yang ketat, situasi darurat dan
atau keadaan yang memaksa, dan harus atas izin pengadilan. Disamping itu juga diatur
dalam pasal tersendiri yang memuat sanksi hukum terhadap pelanggaran dari aturan
tersebut.
Kedua, apabila perkawinan kontrak/nikah mut’ah di Indonesia ini tidak boleh berlaku dan
dilarang, maka kita tidak hanya mencukupkan dengan larangan melalui fatwa MUI saja, yang
nota benne tidak memiliki daya paksa dan kekuatan hukum, tetapi harus diatur dalam pasal-pasal
tersendiri dalam undang-undang No. 1 Tahun 1974 (baca ditambah pasal-pasal yang mengatur
tentang sanksi hukum baik pelaku, pelaksana, turut berbuat dan atau membiarkan, mendiamkan
dan menutup-nutupi praktek nikah mut’ah dimaksud), atau setidak-tidaknya diatur tersendiri
dalam peraturan pemerintah atau peraturan menteri.
KESIMPULAN
1. Pada dasarnya eksistensi hukum nikah mut’ah ada dua pandangan, pertama; memandang
boleh sejauh dibutuhkan dan dalam situasi darurat atau terpaksa, artinya bukan halal secara
mutlak, disebagian masyarakat Iran dibolehkan. Kedua, nikah mut’ah pernah dibolehkan
sebelum perang khaibar dan ketika fathu Makkah, dan setelah itu Rasulullah SAW melarang
untuk seterusnya hingga kiamat.
2. Di Indonesia, kenyataan dilapangan tidak sedikit perkawinan kontrak dilakukan terutama
oleh laki-laki warga negara asing dengan wanita Indonesia, hanya tidak terdata secara
kwantitatif.
3. Sudah seharusnya pemerintah NKRI menyikapi perkawinan kontrak di Indonesia itu secara
propesional, arif dan bijak.
SARAN
1. Dalam menyikapi nikah mut’ah /nikah kontrak yang saat ini berkembang di Indonesia,
pemerintah harus bersikap tegas dalam menyikapi perkembangan dimaksud, sebelum hal
tersebut menjadi sebuah budaya yang mungkin saja akan melembaga.
2. Perlu adanya penelitian khusus dari kalangan akademisi dalam hal ini Perguruan Tinggi
Islam, dalam mencari data lebih konkrit dikantong-kantong daerah yang banyak melakukan
praktek nikah mut’ah/kawin kontrak dimaksud, guna mengetahui motivasi yang melatar
belakangi kehidupan masyarakat setempat sehingga mereka menerima praktek kawin kontrak
tersebut.
3. Hasil yang diperoleh dapat dijadikan acuan kedepan dalam merumuskan suatu kebijakan
dalam suatu bentuk aturan dan atau sebuah penyempurnaan terhadap Undang-undang yang
sudah ada.
Demikian makalah ini dibuat, semoga bermanfaat adanya.
Banda Aceh, 18 Oktober 2010
Penulis
Drs. BAIDHOWI HB, SH
Download