Bab II Dasar Teori II.1 Statistik dan Probabilitas II.1.1 Umum Banyak sumber ketidakpastian yang terlibat dalam desain struktur anjungan lepas pantai. Hal ini karena parameter beban dan kapasitas struktur tersebut bukan merupakan kuantitas deterministik atau kuantitas yang diketahui secara pasti. Oleh karenanya keamanan struktur tidak dapat ditentukan secara absolut. Dengan kata lain kemungkinan kegagalannya tidaklah nol. Konsekuensinya, struktur harus didesain agar dapat melayani fungsinya dengan tetap memperhatikan kemungkinan terjadinya kegagalan. Ketidakpastian dalam desain struktur disebabkan beberapa hal diantaranya (3) • Ketidakpastian fisik. Ketidakpastian ini berkaitan dengan kuantitas fenomena acak, seperti ketidakpastian pada tegangan leleh yang disebabkan faktor produksi material, ketidakpastian pada beban gelombang dan angin. • Ketidakpastian dalam pengukuran, berhubungan dengan ketidaksempurnaan alat pengukuran dan pengambilan data/sampling. • Ketidakpastian statistik, berkaitan dengan terbatasnya informasi atau data pengamatan. • Ketidakpastian model, berkaitan dengan asumsi penggunaan model distribusi untuk merepresentasikan distribusi beban dan tahanan. Dalam permasalahan engineering, parameter ketidakpastian dikenal juga sebagai variabel acak. Parameter yang akan diperhitungkan sebagai variabel acak yang pada awalnya dianggap sebagai kasus deterministik disebut dengan istilah variabel dasar (4). 6 Sebagai ilustrasi informasi di atas, tinjau suatu beban struktur anjungan lepas pantai yaitu beban gelombang yang disebabkan oleh angin. Fenomena beban gelombang dapat diilustasikan sebagai tinggi gelombang laut (jarak dari puncak ke lembah secara berurutan dari profil muka air laut), seperti terlihat pada Gambar II.1. Tinggi gelombang tersebut diberi notasi dengan huruf X dan menunjukkan perilaku yang acak antara satu gelombang dengan gelombang lainnya sehingga bisa dikatakan bahwa tidak ada fenomena keteraturan deterministik. Gambar II. 1 Bentuk fenomena acak profil muka air laut (5). Apabila data yang diobservasi dari X dibuat klasifikasi kelas dengan interval 0.5 m, kemudian nilai frekuensi relatifnya dapat ditentukan untuk tiap interval. Maka selanjutnya kita bisa memperoleh nilai frekuensi relatif yang merupakan fungsi dari X dan dikenal dengan istilah histogram sebagaimana yang ditunjukkan dalam Gambar II.2. Bentuk dari histogram akan tidak konsisten jika jumlah observasinya sedikit. Namun derajat ketidakkonsistenan tersebut akan berkurang dan akan konvergen pada suatu bentuk tertentu dengan bertambahnya jumlah observasi. Fenomena seperti inilah yang mungkin bisa disebut keteraturan secara statistik (5). 7 . Gambar II. 2 Histogram tinggi gelombang (5). Dengan penjelasan di atas, teori probabilitas dipergunakan dalam analisis struktur. Analisis ini merupakan suatu seni dalam memformulasikan model matematis suatu sistem yang akan memberikan informasi tentang peluang perilaku sistem tersebut berkaitan dengan fenomena acak parameter pembentuknya. Sebagai contoh adalah analisis probabilitas pada model matematis struktur yang akan memberikan jawaban tentang perilaku struktur berkaitan dengan fenomena acak dari variabel material, geometri, beban, dan lain-lain. II.1.2 Teori Probabilitas Statistik Untuk menyelesaikan masalah fenomena acak, maka digunakan analisis probabilitas yang menggunakan distribusi probabilitas dan statistik dalam penyelesaiannya. Distribusi probabilitas digunakan untuk menyajikan kondisi alam ke dalam bentuk visual, yaitu bentuk diagram frekuensi (histogram) Sedangkan statistik disajikan dalam bentuk besaran berupa angka, diantaranya jumlah data, nilai rata-rata (mean), nilai tengah (median), nilai dominan (modus), nilai simpangan baku (standar deviasi) dan sebagainya, yang dapat mewakili seluruh data yang teramati. Dengan kata lain statistik adalah kuantifikasi secara matematik dari sebuah ketidakpastian (uncertainty). Hal tersebut diukur dengan mean, standar deviasi, variansi, dan sebagainya. Sedangkan probabilistik adalah metode matematis yang menggunakan informasi dari statistik untuk menghitung peluang kejadian tertentu. 8 Berdasarkan teori probabilitas, sehimpunan peristiwa data didefinisikan menjadi tiga bagian, yaitu: 1. Titik sampel (sampel point), yaitu elemen data, dinotasikan dengan x . 2. Ruang sampel (sample space), yaitu seluruh titik sampel, dinotasikan S . 3. Kejadian (event), yaitu kumpulan satu atau lebih titik sampel yang membentuk subset/sub-himpunan, dinotasikan dengan X . Untuk menjelaskan hal tersebut dapat dilihat pada gambar diagram Venn dengan harga x1 < x2 < x3 < x4 < x5 . Ruang Sampel S X X1 •x 1 •x 5 X3 Titik •x 3 Event X2 •x 4 •x 2 Gambar II. 3 Diagram Venn untuk tinggi gelombang individu. • x merupakan elemen pembentuk ruang sampel S x∈S • X merupakan sub himpunan/subset dari S X ⊂S • x pembentuk event X x∈ X Pada Gambar II.3, event dinyatakan sebagai berikut: • X 1 adalah peristiwa pada saat X = x1 9 Sampel • X 2 adalah peristiwa pada saat X = x 2 • X 3 adalah peristiwa pada saat X = {x3 , x 4 , x5 } atau X = {x3 ≤ X ≤ x5 } Berdasarkan definisi di atas, X disebut variabel acak yang menyatakan kejadian tinggi gelombang yang terjadi di suatu ruang sampel dan x adalah harga variabel tersebut. Untuk menggambarkan hubungan antara kejadian dalam suatu ruang sampel akan lebih mudah difahami dengan menggunakan diagram Venn. Dalam diagram Venn, ruang sampel digambarkan dalam bentuk segi empat sedangkan kejadian digambarkan dengan lingkaran. X2 ∩ X3 X2 ∩ X3 S S X3 X2 X3 X2 (a) (b) S S X 3C X2 X3 (c) (d) Gambar II. 4 Diagram venn untuk (a) perpotongan, (b) gabungan, (c) kejadian mutually exclusive, dan (d) komplemen dari suatu kejadian. Probabilitas kejadian suatu variabel event X diskrit didefinisikan sebagai perbandingan jumlah kejadian x yang terjadi dalam event tersebut ( n ) terhadap jumlah seluruh kejadian ( N ) , secara matematis dinyatakan sebagai: 10 P(X ) = n N (II. 1.) dimana: P ( X ) = probabilitas event X n = jumlah kejadian N = jumlah total kejadian II.1.3 Fungsi Massa Probabilitas Fungsi massa probabilitas (probability mass function, PMF), dinotasikan dengan p ( x ) , adalah fungsi yang menyatakan probabilitas pada harga variabel acak X tertentu ( X = x ) . p ( x ) = P ( X = x ) , untuk semua x (II. 2) II.1.4 Fungsi Distribusi Kumulatif Fungsi distribusi kumulatif (cumulative distribution function, CDF) adalah fungsi yang menyatakan probabilitas dalam selang kejadian ( −∞, x ) . F ( x) = P ( X < x) (II. 3) dimana : P ( X ≤ x ) = probabilitas dengan variabel acak lebih kecil atau sama dengan x P ( X ≤ x) = ∑ semua xi ≤ x p ( xi ) (II. 4) sehingga, F(X ) = ∑ semua xi ≤ x p ( xi ) (II. 5) Probabilitas untuk selang ( x, x + dx ) P ( x ≤ x ≤ x + dx ) = ∑ semua xi ≤ x + dx p ( xi ) − ∑ semua xi ≤ x 11 p ( xi ) = F ( x + dx ) − F ( x ) (II. 6) F ( x + dx ) F ( x) x x + dx Gambar II. 5 Fungsi distribusi kumulatif (CDF). II.1.5 Fungsi Kerapatan Probabilitas Pada variabel acak kontinyu, harga X tertentu ( X = x ) tidak memiliki nilai massa probabilitas atau nilai massa probabilitasnya sama dengan 0 (nol), ρ ( X = x ) = 0 , dengan dx ≈ 0 , mengakibatkan P ( X < x ) tidak akan berbeda dengan P ( X ≤ x ) (5). Maka alternatif untuk mendefinisikan probabilitas pada harga variabel acak tertentu dapat dinyatakan dalam bentuk fungsi kerapatan probabilitas (probability density function) yang dinotasikan dengan f ( x ) , yang mendefinisikan probabilitas dalam selang kejadian ( x, x + dx ) atau ( x ≤ X ≤ x + dx ) . Secara matematis dapat dituliskan : f ( x) = F ( x + dx) − F ( x) dF ( x) = dx dx (II. 7) Dari persamaan tersebut fungsi kerapatan probabilitas adalah turunan pertama dari fungsi distribusi kumulatif atau fungsi distribusi kumulatif adalah integral dari fungsi kerapatan probabilitas dalam selang ( −∞, x ) 12 x F ( x) = ∫ f ( x)dx (II. 8) −~ f ( x ) bukan merupakan probabilitas, tetapi f ( x ) dx = P ( x ≤ X ≤ x + dx ) adalah probabilitas X dalam selang ( x, x + dx ) , yang secara matematis ditulis sebagai: x + dx P( x ≤ X ≤ x + dx) = ∫ x f ( x)dx − −~ ∫ f ( x)dx = F ( x + dx) − F ( x) (II. 9) −~ Harga variabel acak dan PDF yang terbentuk dapat disajikan dalam bentuk visual koordinat kartesian seperti ditunjukkan dalam Gambar II.6, dimana sumbu x adalah harga variabel acak dan sumbu y adalah nilai PDF. P( x ≤ X ≤ x + dx) adalah luas yang terbentuk di bawah kurva diselang ( x, x + dx ) . f ( x) P ( x ≤ X ≤ x + dx ) = ∫ x + dx x f ( x ) dx x + dx x Gambar II. 6 Nilai probabilitas pada PDF. II.1.6 Parameter Statistik Parameter statistik adalah suatu besaran yang dimaksudkan untuk mewakili seluruh kejadian variabel acak yang terjadi. Besaran-besaran yang umumnya digunakan diantaranya nilai rata-rata, modus, median, varian, standar deviasi, dan koefisien variasi. 13 II.1.6.1 Nilai Harapan (Nilai Ekspektasi) Jika suatu variabel acak X dengan PMF p ( x ) , maka nilai harapan dinyatakan dengan E [ X ] . Untuk variabel acak diskrit, nilai E [ X ] dinyatakan sebagai: E[X ] = ∑ xi p ( xi ) (II. 10) semua xi Dan untuk variabel acak kontinyu X dengan PDF f (x ) . Maka nilai harapan dari sebuah fungsi u ( X ) didefinisikan sebagai berikut: E ⎡⎣u ( X ) ⎤⎦ = ∫ u ( x ) f ( x ) dx (II. 11) S Selanjutnya nilai harapan suatu fungsi u ( X ) = X k , disebut sebagai momen ke- k dari variabel acak X . Pada kasus khusus dimana nilai dari k = 1 maka E [ X ] disebut sebagai mean atau nilai rata-rata dari variabel acak X dan biasanya diberi notasi dengan huruf μ atau E [ X ] . Nilai harapan dari suatu fungsi u ( X ) = ( X − μ ) , dimana μ adalah nilai ratak rata, maka hal itu disebut momen sentral ke- k dari variabel acak X . Secara khusus untuk k sama dengan dua, E ( X − μ ) disebut dengan sebagai varians 2 dari variabel acak X dan biasanya diberi notasi σ 2 atau Var [ X ] . Adapun hubungan antara momen ke- k ( mk ) dan momen sentral ke- k ( μ k ) dari variabel acak X adalah sebagai berikut: Momen m1 = E [ X ] = rata − rata = μ m2 = E ⎡⎣ X 2 ⎤⎦ = μ2 + μ 2 m3 = E ⎡⎣ X 3 ⎤⎦ = μ3 + 3μμ2 + μ 3 (II. 12) 14 Momen sentral μ1 = E ⎡⎣( X − μ ) ⎤⎦ = 0 2 μ2 = E ⎡( X − μ ) ⎤ = varian = m2 − m12 ⎣ ⎦ 3 μ3 = E ⎡( X − μ ) ⎤ = m3 − 3m1 m2 + 2m13 ⎣ (II. 13) ⎦ II.1.6.2 Nilai Sentral Mean Mean (nilai rata-rata) untuk variabel acak kontinu X yang memiliki PDF f ( x ) , mean atau nilai rata–rata secara matematis didefinisikan sebagai momen pertama PDF variabel acak X . μ= ∞ ∫ xf (x )dx (II. 14) −∞ Median Median (nilai tengah) adalah nilai tengah variabel acak X dengan luas di atas dan di bawah PDF mempunyai kemungkinan yang sama. Jika X m adalah median dari X , maka P ( X ≤ xm ) = F ( xm ) = xm ∫ f ( x) dx = 0.5 (II. 15) −∞ Modus Modus (nilai dominan) adalah nilai variabel yang paling sering muncul atau yang nilai variabel acak yang mempunyai nilai probabilitas terbesar atau kerapatan probabilitas yang tinggi. 15 II.1.6.3 Nilai Sebaran – Standar Deviasi Standar deviasi dan varians menentukan seberapa besar sebaran atau simpangan nilai variabel acak terhadap nilai mean-nya. Semakin besar nilai varian, akan menyebabkan fungsi kerapatan probabilitasnya semakin tersebar, begitu pula sebaliknya. Secara matematis varians dari peubah acak X tidak lain adalah momen ke-2 dari variabel acak X terhadap nilai mean, yang dinyatakan sebagai berikut: [ σ 2 = var[x ] = E (x − μ )2 σ 2 = var[x ] = ∞ ] ∫ (x − μ ) f (x )dx 2 (II. 16) −∞ II.1.7 Model Distribusi Variabel Acak II.1.7.1 Analisa Harga Ekstrim Dalam bidang rekayasa, analisis harga ekstrim dilakukan berkaitan dengan kejadian nilai maksimum dan minimum dari suatu variabel acak. Dalam analisis harga ekstrim diperkenalkan suatu konsep perioda ulang, yaitu jangka waktu hipotetik dimana secara statistik berdasarkan data di masa lalu, suatu kejadian dengan suatu besaran angka tertentu akan disamai atau dilampaui sekali dalam jangka waktu tersebut. Hubungan antara periode ulang dan probabilitas terlampaui dapat dinyatakan oleh persamaan berikut: p = Pr ( X ≥ X T ) = 1 Tr (II. 17) dimana: p = probalilitas terlampaui X = besaran yang ditinjau XT = harga X dengan periode ulang Tr 16 Pr(X > XT) = probabilitas harga XT dilampaui Tr = periode ulang (tahun) Dalam bentuk lain: Jika P(X > XT) = 1 – P(X < XT) (II. 18) = 1 – F(XT) maka F(XT) = Tr − 1 Tr (II. 19) dimana F(XT) adalah probabilitas kumulatif. Fungsi distribusi yang biasa digunakan dalam analisis harga ekstrim adalah: 1. Distribusi Normal 2. Distribusi Log Normal 3. Distribusi Log Pearson type III 4. Distribusi Gumbel II.1.7.2 Distribusi Normal Suatu variabel acak X dengan nilai rata-rata μ dan varians σ 2 dikatakan berdistribusi normal jika fungsi kerapatan probabilitasnya berbentuk persamaan berikut: f (x ) = 1 σ 2π e −( x − μ ) 2 / 2σ 2 −∞ < x < ∞ (II. 20) Distribusi normal biasa/standar disebut juga distribusi gaussian yang diberi notasi ( ) N μ , σ 2 . Distribusi normal dengan nilai μ = 0 dan σ 2 = 1 disebut dengan istilah distribusi normal standar yang diberi notasi N (0, 1) . Apabila variabel Z adalah variabel acak yang mengikuti distribusi normal standar maka fungsi kerapatan probabilitasnya berbentuk, 17 f (z ) = 1 σ 2π e−z 2 / 2σ 2 −∞ < z < ∞ (II. 21) f ( z ) dapat diperoleh dari fungsi kerapatan Fungsi kerapatan probabilitas probabilitas f (x ) dengan melakukan transformasi variabel acak sebagai berikut, Z= X −μ (II. 22) σ 0.4 f(x ) 0.3 0.2 0.1 0 -4 -2 0 2 4 x Gambar II. 7 PDF normal standar (5) II.1.7.3 Distribusi Log Normal Suatu variabel acak X dikatakan memiliki distribusi log normal apabila fungsi kerapatan probabilitasnya berbentuk persamaan berikut: f (x ) = ⎡ (ln x − μ ) ⎤ exp ⎢− −∞ < x < ∞ 2σ 2 ⎥⎦ σ 2π x ⎣ 1 (II. 23) Pada distribusi log normal, parameter μ dan σ 2 bukan merupakan nilai rata-rata dan varians dari variabel acak X , tetapi nilai logaritma dari variabel acak X yang mengikuti distribusi normal. Sehingga apabila y = ln x maka μ dan σ 2 adalah rata-rata dan varians dari variabel acak y = ln x 18 ⎧ σ2⎫ E [x ] = exp⎨μ + ⎬ 2 ⎭ ⎩ { }( { } ) Var[x ] = exp 2μ + σ 2 . exp σ 2 − 1 atau σ 2 ln X i ⎛ σ X2 i = ln ⎜1 + 2 ⎜ μX i ⎝ ⎞ ⎟ ⎟ ⎠ 1 2 (II. 24) μln X = ln ( μ X ) − σ ln2 X i I (II. 25) i Gambar berikut menunjukkan PDF distribusi log normal Gambar II. 8 PDF log normal (5). II.1.7.4 Distribusi Rayleigh Distribusi Rayleigh sering disebut juga distribusi selisih atau distribusi selisih puncak – lembah. Bentuk PDF dan CDF Rayleigh: f (x ) = 2 x − x2 / R e , R 0≤ x<∞ (II. 26) 19 E [x ] = π 2 (II. 27) R ⎛ π⎞ Var[x ] = ⎜1 − ⎟ R 4⎠ ⎝ (II. 28) Dimana R adalah parameter distribusi, yang secara matematis dinyatakan sebagai: 1 R= N N ∑X i =1 2 i (II. 29) (xrms)2 , xrms disebut juga x root mean square atau x akar rata-rata kuadrat. Penerapannya dalam analisis tinggi gelombang individu, distribusi Rayleigh digunakan untuk menentukan rata-rata variabel tinggi gelombang terbesar (x1/n) dengan persentase kejadian 1/n x 100%. f (x) 1 0.5 0 0 1 2 3 4 x Gambar II. 9 PDF Rayleigh (5). II.1.7.5 Distribusi Gumbel Suatu variabel acak X dikatakan memiliki distribusi Gumbel apabila fungsi distribusi kumulatif (CDF) berbentuk persamaan berikut ini. F ( x ) = exp ⎡⎣ − exp ( − y ) ⎤⎦ (II. 30) 20 dimana: y= α= x−μ (II. 31) α 6 S (II. 32) μ = x − 0.5772α (II. 33) π Untuk x = xT adalah ⎡ ⎛ 1 ⎞⎤ yT = − ln ⎢ln ⎜ ⎟⎟ ⎥ ⎜ ⎢⎣ ⎝ F ( X T ) ⎠ ⎥⎦ (II. 34) Persamaan (II.19) disubstitusikan ke persamaan (II.34) menjadi ⎡ ⎛ Tr ⎞ ⎤ yT = − ln ⎢ln ⎜ ⎟⎥ ⎣ ⎝ Tr − 1 ⎠ ⎦ (II. 35) Menurut Gumbel persamaan peramalan dinyatakan sebagai: xT = x + KT S xT = x + (II. 36) yT − y N S SN (II. 37) dimana: ⎡ ⎛ Tr ⎞ ⎤ ⎫ 6⎧ ⎨0.5772 + ln ⎢ln ⎜ ⎟⎥ ⎬ π ⎩ ⎣ ⎝ Tr − 1 ⎠ ⎦ ⎭ KT = − yT ⎡ ⎛ Tr ⎞ ⎤ = reduced variate = − ln ⎢ ln ⎜ ⎟⎥ ⎣ ⎝ Tr − 1 ⎠ ⎦ yN = reduced mean SN = reduced standar deviasi (II. 38) II.1.7.6 Distribusi Log Pearson Tipe III Fungsi kerapatan probabilitas Log-Pearson tipe III adalah c ⎛ x ⎞ − cx f ( x ) = p0 ⎜1 − ⎟ e 2 ⎝ a⎠ (II. 39) 21 dimana c= 4 β1 −1, a = c μ3C μ2 , β = 33 2μ2C μ2 μ2 adalah varian, μ2 adalah momen ketiga = σ6G, Γ(x) adalah fungsi gamma. Cara sederhana menentukan harga variabel dengan periode ulang tertentu adalah dengan meninjau tiga buah paramater statistik, yaitu: 1. Rata-rata logaritma 2. Standar deviasi logaritma 3. Koefisien asimetri Dimana setiap rangkaian data dikonversi menjadi bentuk logaritma. y = log x (II. 40) Rata-rata logaritma Standar deviasi logaritma Koefisien asimetri = log x = = Slog x = = Cs = ∑ log x (II. 41) i N ( log x − log x ) 2 i (II. 42) N −1 ( N log xi − log x ) 3 ( N − 1)( N − 2 ) ( Slog x ) 3 (II. 43) Persamaan peramalan menurut distribusi Log-Pearson type III adalah: log xT = log x + KT Slog x (II. 44) atau (II. 45) yT = y + KT Sy 22 II.1.8 Fungsi Variabel Acak II.1.8.1 Fungsi Variabel Acak Terdistribusi Normal Suatu fungsi linier Y yang merupakan penjumlahan variabel acak X 1 , X 2 ,......, X n dapat diilustrasikan dengan persamaan berikut: n Y = a0 + a1 X 1 + a2 X 2 + ..... + an X n = a0 + ∑ ai X i (II. 46) i =1 dimana ai (i = 0, 1, 2 ,.......,n) adalah konstanta. Dengan menggunakan pengertian nilai ekspektasi suatu fungsi dan varian, maka dapat ditentukan nilai rata-rata dari fungsi Y tersebut yaitu n μY = a0 + a1μ X + a2 μ X 2 + ..... + an μ X = a0 + ∑ ai μ Xi 1 n (II. 47) i =1 Demikian juga dengan varian dari fungsi Y n σ Y2 = ∑ ai2σ X2 i =1 (II. 48) i Sebagai tambahan bahwa kontanta a0 tidak berpengaruh terhadap varian tetapi berpengaruh pada nilai rata-rata fungsi Y (6). Nilai rata-rata dan varian fungsi Y di atas ditentukan oleh jenis distribusi variabelvariabel acak penyusunnya. Jika variabel acak X 1 , X 2 ,......, X n terdistribusi normal dan semua tidak berkorelasi maka nilai μY dan σ Y ditentukan berdasarkan persamaan 2.47 dan 2.48. Bila semua variabel fungsi linier Y di atas berdistribusi normal dan tidak berkorelasi, maka Y dapat dikatakan sebagai variabel acak normal dengan parameter distribusi μY dan σ Y . II.1.8.2 Fungsi Variabel Acak Terdistribusi Lognormal Pada penjelasan sebelumnya diperlihatkan fungsi linier yang dibentuk oleh penjumlahan variabel-variabel acak yang terdistribusi normal. Suatu kasus lain dapat ditemukan yaitu fungsi Y yang dibentuk oleh perkalian variabel acak 23 X 1 , X 2 , dan X 3 yang terdistribusi lognormal sebagaimana yang ditunjukkan dalam persamaan berikut: Y =K X1 X 2 X3 (II. 49) dimana K adalah konstanta, maka bila diambil nilai logaritma naturalnya fungsi Y tersebut akan diperoleh persamaan berikut ln Y = ln K + ln X 1 + ln X 2 + ln X 3 = (konstanta) + ∑ ( ±1)( variabel acak normal ) (II. 50) Persamaan II.50 identik dengan persamaan II.46. Karena itu persamaan ini memperlihatkan penjumlahan variabel acak normal ln X i . Generalisasi persamaan II.50 diperlihatkan pada persamaan berikut: n ln Y = ln K + ln X 1 + ln X 2 + ..... + ln X n = ln K + ∑ ln X i (II. 51) i =1 Karena itu nilai rata-rata dan varian fungsi Y dalam kasus ini dapat ditentukan sebagai berikut n μln Y = ln K + ∑ ( ± 1disesuaikan ) μln Xi (II. 52) i =1 n σ ln2 Y = ∑ σ ln2 X i =1 (II. 53) i Dengan σ ln2 X i dan μln X i sebagaimana telah ditunjukkan pada persamaan berikut σ 2 ln X i ⎛ σ X2 i = ln ⎜1 + 2 ⎜ μX i ⎝ ⎞ ⎟ ⎟ ⎠ 1 2 μln X = ln ( μ X ) − σ ln2 X i I (II. 54) (II. 55) i 24 II.2 Reliabilitas Struktur II.2.1 Umum Suatu struktur harus memiliki ketahanan berupa kekuatan yang cukup sehingga dapat berfungsi selama umur layannya. Desain struktur harus menyediakan cadangan kekuatan di atas batas yang diperlukan untuk menanggung beban layan. Atau dengan kata lain struktur harus memiliki sediaan terhadap kemungkinan kelebihan beban yang diakibatkan oleh berbagai faktor, di antaranya adanya perubahan fungsi struktur dan terlalu rendahnya taksiran beban. Di samping itu harus ada sediaan terhadap kemungkinan kekuatan material yang lebih rendah (7). Dalam lingkungan desain teknik klasik, untuk menentukan ketahanan sebuah sistem terhadap lingkungan, misalnya ketahanan mekanik sebuah struktur terhadap beban yang dikenakannya digunakan pendekatan deterministik. Jika sebuah struktur memiliki resistance tertentu, R (misalnya: kuat luluh), dan agar struktur tersebut mampu bertahan, maka beban dari luar, S, harus di bawah kuat luluh atau S < R. Dalam desain faktor keamanan (SF) biasanya diterapkan. SF = RN SN (II. 56) Namun demikian, sesungguhnya secara alamiah banyak faktor ketidakpastian dalam desain struktur tersebut di antaranya seperti ketidakpastian fisik, ketidakpastian dalam pengukuran, ketidakpastian statistik, dan ketidakpastian model. Parameter ketidakpastian dikenal juga sebagai variabel acak. Parameter yang akan diperhitungkan sebagai variabel acak yang pada awalnya dianggap sebagai kasus deterministik disebut dengan istilah variabel dasar. Sebagai ilustrasi lebih jauh, dalam pengukuran sifat mekanik material (resistance) maupun perhitungan dan pengukuran beban dan tegangan pada struktur, khususnya yang melibatkan material dan struktur yang kompleks (paduan, heat treatment, pengelasan, degradasi material akibat lingkungan, geometri dsb). Nilai ketidakpastian atau sebaran tersebut dinyatakan dengan mean μs dan μR serta 25 standar deviasi σS dan σR seperti diperlihatkan pada kurva PDF, fS(s) dan fR(r) berikut ini: Gambar II. 10 Fungsi kerapatan probabilitas terhadap tahanan dan beban (8). Kriteria desain konvensional (deterministik) adalah μS < μR. Namun dari Gambar II.10 terlihat bahwa ada daerah tertentu (diarsir) yang menunjukkan adanya peluang kegagalan karena pada daerah tersebut SN > RN. Kondisi inilah yang mendasari digunakannnya konsep baru yaitu teori probabilitik dan reliabilitas. II.2.2 Limit State Istilah ”Kegagalan/Failure” memiliki definisi yang berbeda bagi setiap orang. Bila dikaitkan dengan struktur anjungan lepas pantai, kegagalan dapat didefinisikan bila struktur tersebut tidak dapat menunjukkan fungsi yang diharapkan. Namun demikian, definisi ini memberikan pengertian yang belum jelas karena tidak mendiskripsikan secara spesifik fungsi struktur yang dimaksud. Sebagai ilustrasi lebih jauh, perhatikan sebuah balok baja tumpuan sederhana sebagaimana yang ditunjukkan dalam Gambar II.11. Balok tersebut dapat 26 dinyatakan fail bila defleksi maksimum yang terjadi melebihi defleksi kritisnya. Namun, balok baru dianggap gagal bila terbentuk sendi plastik (Gambar II.12), hilangnya seluruh stabilitasnya, atau terjadinya local buckling akibat gaya tekan flange atau web balok tersebut. Hal ini menunjukkan istilah ”kegagalan” memiliki pengertian yang berbeda. Gambar II. 11 Balok tumpuan sederhana. Gambar II. 12 Terbentuknya sendi plastik pada balok tumpuan sederhana. Konsep ”limit state” atau keadaan batas dapat digunakan dalam mendefinsikan pengertian kegagalan dalam konteks analisis reliabilitas struktur. Suatu limit state menunjukkan keadaan batas performansi struktur antara yang diharapkan dan yang tidak diharapkan. Batas ini dapat ditunjukkan dalam suatu model matematik dengan persamaan keadaan batas (limit state function) atau fungsi performansi (performance function) (6). Dalam analisis reliabilitas struktur terdapat beberapa kategori limit state (3) yaitu 1. Ultimate Limit States (ULS). Kondisi ULS dapat terjadi pada kelebihan momen, terbentuknya sendi palstik, hancurnya beton akibat tekanan, kegagalan geser pada web balok baja, buckling, dsb. Contoh ULS pada struktur anjungan lepas pantai tipe jacket adalah kapasitas member terhadap yielding dan buckling. 2. Serviceability Limit State (SLS). Limit state ini berhubungan dengan kelemahan struktur yang terjadi secara bertahap (gradual deterioration), kenyamanan pengguna terhadap struktur, atau biaya pemeliharaan. Jadi ULS 27 berhubungan langsung atau tidak langsung dengan integritas struktur. Termasuk juga dalam SLS adalah defleksi berlebih, vibrasi yang berlebih, dan deformasi permanen. 3. Progressive Collapse Limit State (PLS). PLS berhubungan dengan runtuhnya struktur akibat pengaruh abnormal. 4. Fatigue Limit State (FLS), berhubungan dengan berkurangnya kekuatan struktur akibat beban yang berulang sehingga berdampak pada akumulasi kerusakan dan pada akhirnya kegagalan struktur. II.2.3 Fungsi Performansi/Fungsi Kondisi Batas Pandangan klasik terhadap “safety margin” dikaitkan dengan ultimate limit states. Contoh sederhana adalah kegagalan pada balok. Balok dikatakan failure bila momen yang diakibatkan beban melebihi kapasitas momennya. Ilustrasi lebih umum, misal R, yang merepresentasikan resistance/tahanan (kapasitas) dan Q adalah efek beban. Atau sering digunakan R yang dianggap sebagai capacity dan Q sebagai demand. Suatu fungsi performansi (performance function) atau fungsi kondisi batas (limit state function) didefinisikan g ( R, Q ) = R − S (II. 57) Limit state atau keadaan batas terkait dengan kondisi batas antara performansi yang diharapkan dan tidak diharapkan. Struktur dianggap aman/safe (desired performance) jika g ≥ 0 dan dianggap tidak aman jika g < 0 (undesired performance). Probabilitas kegagalan (Probability of failure), Pf , merupakan probabilitas bahwa performansi yang tidak diharapkan akan terjadi. Hal ini dapat diekspresikan secara matematis dengan fungsi performansi berikut: Pf = P ( R − Q < 0 ) = P ( g < 0 ) (II. 58) 28 Jika R dan Q merupakan variabel acak kontinu, maka masing-masing memiliki probability density function (PDF) sebagaimana ditunjukkan pada Gambar II.13 Demikian juga dengan R – Q yang dianggap variabel acak juga, sehingga memiliki PDF tersendiri sebagaimana diperlihatkan pada Gambar II.13. Probabilitas kegagalan diilustrasikan dalam daerah yang diarsir. Gambar II. 13 PDF variabel beban dan kapasitas. Kondisi struktur dapat dideskripsikan dengan menggunakan parameter X 1 , X 2 ,......, X n yang merupakan parameter beban dan tahanan seperti beban mati, beban hidup, panjang, kedalaman, kekuatan tekan, kekuatan luluh, dan momen inersia. Suatu fungsi performansi merupakan fungsi g ( X 1 , X 2 ,....., X n ) yang menunjukkan g ( X 1 , X 2 ,....., X n ) > 0 untuk struktur yang diangap aman g ( X 1 , X 2 ,....., X n ) = 0 dianggap kondisi batas antara aman dan tidak aman g ( X 1 , X 2 ,....., X n ) < 0 dianggap gagal Setiap fungsi performansi diasosiasikan dengan limit state yang khusus. Perbedaan limit state memungkin perbedaan dalam fungsi performansi. Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, struktur dianggap gagal pada kondisi beban melebihi kapasitasnya. Tinjau suatu kasus, jika R memiliki nilai spesifik, ri, probabilitas kegagalan sama dengan probabilitas pada kondisi beban melebihi 29 kapasitasnya, atau P ( Q > ri ) . Karena R merupakan variabel acak, maka terdapat probabilitas yang dihubungkan dengan setiap nilai ri. Oleh karena itu, probabilitas kegagalan tersusun oleh kombinasi semua kemungkinan dari R = ri dan Q > ri . Penjelasan kasus tersebut dapat diilustrasikan dalam persamaan berikut: Pf = ∑ P ( R = ri ∩ Q > ri ) = ∑ P ( Q > R R = ri ) P ( R = ri ) (II. 59) Bila kasus di atas merupakan kasus kontinu, persamaan dapat diekspresikan dalam bentuk integral. Probabilitas P ( Q > R R = ri ) dimodifikasi menjadi 1 − P ( Q ≤ R R = ri ) = 1 − FQ ( ri ) dan pada nilai limit tertentu probabilitas P ( R = ri ) ≈ f R ( ri ) dri . Sehingga persamaan II.59 menjadi +∞ Pf = ∫ −∞ ⎡⎣1 − FQ ( ri ) ⎤⎦ f R ( ri ) dri = 1 − +∞ ∫ F ( r ) f ( r ) dr Q i R i i (II. 60) −∞ Suatu kasus lain, jika beban Q memiliki nilai spesifik, qi , dan probabilitas kegagalan diartikan probabilitas kapasitas lebih rendah dibanding dengan beban, atau P ( Q < qi ) . Karena Q merupakan variabel acak, maka terdapat probabilitas yang dihubungkan dengan setiap nilai Qi . Oleh karena itu probabilitas kegagalan merupakan gabungan semua kombinasi dari Q = qi dan R < qi dapat ditulis sebagai Pf = ∑ P ( Q = qi ∩ R < qi ) = ∑ P ( R < Q R = qi ) P ( Q = qi ) (II. 61) Dengan mengikuti cara yang sama sebagaimana dijelaskan sebelumnya maka persamaan ini dapat ditulis dalam bentuk integral berikut: +∞ Pf = ∫ F ( q ) f ( q ) dq R i Q i (II. 62) i −∞ 30 Namun persamaan II.60 dan II.62 sulit untuk dipecahkan. Diperlukan penyelesain integral dengan teknik numerik. Oleh karena itu untuk keperluan praktis, probabilitas kegagalan dihitung dengan cara lain. Fakta tersebut yang akhirnya mendorong berkembangnya metode penentuan probabilitas kegagalan seperti metode FOSM (First Order Second Moment) sebagaimana yang akan diuraikan pada bagian selanjutnya. Secara umum, analisis probabilitas kegagalan diawali dengan mendefinisikan state variable. State variable ini merupakan parameter dasar dari beban dan tahanan yang digunakan dalam membuat formulasi fungsi performansi. Untuk n state variable, maka fungsi performansi merupakan fungsi n parameter. Jika beban Q dan tahanan R, serta ruang dari state variabel merupakan ruang dua dimensi sebagaimana ditunjukkan pada Gambar II.14, maka limit state function g ( R, Q ) = 0 membagi ruang dua dimensi tersebut dalam dua domain yiatu safe domain dan failure domain. Gambar II. 14 Safe domain dan failure domain dalam 2 dimensi (6). Karena R dan Q umumnya merupakan variabel acak, maka perlu mendefiniskan joint density function f RQ ( r , q ) . Bentuk umum joint density function ini diperlihatkan dalam Gambar II.15. Limit state function membagi dalam dua domain, safe dan failure domain. Probabilitas kegagalan dapat ditentukan dengan 31 integrasi joint density function di failure domain, yaitu daerah g ( R, Q ) < 0 . Namun penyelesaian integrasi tersebut umumnya tidak mudah. Karena itu diperkenalkan konsep indeks kehandalan yang digunakan untuk mengkuantifikasi reliabilitas struktur. Gambar II. 15 Safe domain dan failure domain dalam 3 dimensi (6). II.2.4 Metode Reliabilitas Struktur Level II Secara garis besar metode reliabilitas struktur dapat dibagi menjadi 3 level, yaitu: 1. Level 1 – Metode perencanaan yang memberikan tingkat reliabilitas tertentu pada level elemen struktur melalui penggunaan faktor keamanan parsial terhadap variabel-variabel dasar yang telah didefinisikan karakteristik nilainya. 2. Level 2 – Dikenal sebagai second moment, First Order Reliability Method (FORM). Metode ini dalam analisisnya hanya memerlukan parameter statistik berupa mean value dan variance dan variabel-variabelnya berdistribusi normal. Ukuran kehandalan dinyatakan dalam besaran indeks kehandalan ( β ). Pada metode Advanced level 2, evaluasi dapat dilakukan untuk berbagai tipe distribusi dari variabel-variabel acak. 3. Level 3 – Penggunaan multi-dimensional joint probability distribution. Evaluasi dilakukan dengan integrasi numerik dan teknik simulasi. 32 Pada penelitian ini akan digunakan metode reliabilitas Level 2. Metode ini relatif cukup sesuai untuk keperluan perencanaan, termasuk di dalamnya mengkalibrasi peraturan perencanaan dalam kerangka dasar analisis reliabilitas (4). Pada metode ini, variabel acak dikarakteristikkan oleh moment pertama dan kedua dari fungsi distribusinya. Metode ini menggunakan aproksimasi orde pertama dalam mengevaluasi moment pertama dan kedua dari fungsi kegagalan (misal rata-rata dan varian dari M, dimana M adalah fungsi non-linier dari variabel acak). Pada kasus fungsi kegagalan non linier, linierisasi fungsi kegagalan dilakukan dengan ekspansi deret Taylor. II.2.5 Indeks Kehandalan ( β ) Ilustrasi konsep angka kehandalan ( β ) dilihat pada Gambar II.16 yang menunjukan fungsi kerapatan dari M untuk permasalahan dua variabel dasar R dan Q atau di beberapa referensi menggunakan simbol S. Gambar II. 16 Konsep indeks kehandalan (4). Fungsi kegagalan didefinisikan sebagai: M = g ( R, S ) = R − S (II. 63) 33 Probabilitas kegagalan didefinisikan sebagai: p f = P(R < S) (II. 64) Definisi indeks kehandalan, β , sebagai β= μM σM (II. 65) dimana: μ M = nilai rata-rata M (safety margin) σ M = standard deviasi M (safety margin) Indeks kehandalan dapat diinterpretasikan sebagai jarak dari titik origin (M=0) terhadap nilai rata-rata, μ M dengan menggunakan satuan deviasi standar. II.3 Fatigue II.3.1 Umum Sejak tahun 1830 telah diketahui bahwa baja yang mengalami tegangan berulang akan rusak pada tegangan yang jauh lebih rendah dibanding tegangan yang diperlukan untuk menimbulkan perpatatahan pada penerapan beban tunggal. Fenomena ini disebut dengan fatigue (kelelahan). Umumnya kerusakan akibat fatigue terjadi setelah periode penggunaan yang cukup lama (9). Proses fatigue yang dialami oleh anjungan lepas pantai adalah fatigue dengan siklus yang tinggi dimana level tegangan nominal yang berfluktuasi di bawah tegangan leleh dan jumlah siklus yang mengakibatkan kegagalan lebih besar dari 104. Kerusakan fatigue pada struktur seringkali terjadi pada daerah sambungan las yang diakibatkan adanya konsentrasi tegangan pada daerah diskontinu. Kerusakan tersebut diindikasikan dengan adanya mekanisme pertumbuhan retak yang terjadi pada lokasi sambungan yang umumnya terdapat cacat hasil proses 34 pengelasan. Pertumbuhan ini tergantung pada level tegangan yang terjadi dan dapat dikategorikan sebagai berikut: 1. Low-stress, high-cycle fatigue 2. High-stress, low-cycle fatigue Kegagalan fatigue yang terjadi akibat jumlah siklus tegangan 104 sampai dengan 105 dapat dikategorikan low-cycle, sedangkan batasan untuk high-cycle fatigue umumnya berkisar diatas 106. Fenomena high-cycle fatigue ini umumnya dialami oleh struktur anjungan lepas pantai akibat beban lingkungan terutama beban gelombang. Sambungan pada umumnya sangat sensitif terhadap kegagalan fatigue, hal ini disebabkan pada sambungan terjadi: 1. Micro crack atau material inhomogenitas yang diakibatkan proses pengelasan. 2. Tegangan lokal akan jauh lebih besar dari tegangan nominal yang disebabkan perubahan geometri (fenomena hot spot stress). d Brace t T D Chord L Gambar II. 17 Contoh sambungan yang sensitif terhadap fenomena fatigue. Proses kelelahan (fatigue) pada suatu sambungan terjadi dalam beberapa tahap, mulai dari tahap inisiasi, tahap pertumbuhan retak sampai terjadi patah pada material. Tiap tahapan tersebut dikarakteristikkan oleh sifat alami dari masingmasing proses yang terjadi. 35 II.3.2 Kurva S-N Kurva S-N adalah karakteristik fatigue yang umum digunakan dari suatu bahan yang mengalami tegangan berulang dengan besar yang sama. Kurva tersebut diperoleh dari tes spesimen baja yang diberi beban berulang dengan jumlah N siklus sampai terjadi kegagalan. Besarnya N berbanding terbalik dengan rentang tegangan S (tegangan maksimum-tegangan minimum). Sebuah kurva S-N yang sering digunakan dalam perancangan anjungan lepas pantai ditunjukkan pada Gambar II.18. Gambar II. 18 Kurva S-N untuk analisis fatigue (10). Kurva S-N didapatkan dari pengujian bahan pada kisaran tegangan minimum nol. Namun, dalam prakteknya banyak bahan struktur yang mengalami kisaran tegangan siklik yang tidak minimum nol. Dalam tes fatigue pada sambungan las baja, umumnya hanya kisaran tegangan saja yang dipertimbangkan. Kurva pada Gambar II.18 dapat didekati dengan suatu persamaan sebagai berikut: 36 ⎛ Δ N = 2 × 10 ⎜ σ ⎜Δ ⎝ σref 6 ⎞ ⎟ ⎟ ⎠ −m (II. 66) Dengan Δσ adalah rentang tegangan siklis yang berlaku serta Δσ ref dan m untuk masing-masing kurva dapat dilihat pada Tabel II.1 berikut: Tabel II. 1 Parameter yang digunakan dalam kurva S-N. Kurva X X’ Rentang tegangan pada 2 juta siklus, Δσref 100 MPa (14,5 ksi) 79 MPa (11,4 ksi) Kemiringan inverse log, m 4,38 3,74 Batas ketahanan pada 200 juta siklus 35 MPa (5,07 ksi) 23 MPa (3,33 ksi) Sumber : Recommended Practice for Planning, Designing and Construction Fixed Offshore Platforms – Working Stress Design, API RP2A WSD, December 2000 II.3.3 Stress Concentration Factor Pada kondisi tegangan yang kompleks, terkadang tidak begitu pasti tegangan mana yang harus digunakan untuk kurva S-N. Untuk itu, sebuah efek konsentrasi tegangan dapat digunakan pada perhitungan tegangan yang bekerja berupa Stress Concentration Factor (SCF). SCF adalah perbandingan antara tegangan didaerah hot spot dengan tegangan nominal pada penampang. Faktor ini dipengaruhi oleh besaran-besaran dari sambungan, konfigurasi sambungan, dan arah gaya. Tegangan daerah hot spot adalah tegangan di sekitar diskontinuitas struktur, contohnya sambungan. Ilustrasi tegangan didaerah hot spot seperti pada gambar berikut: Gambar II. 19 Daerah hot spot sambungan. 37 II.3.4 Hipotesis Akumulasi Kerusakan Palmgren- Miner Pendekatan yang paling umum untuk memperkirakan kemampuan suatu struktur dalam menerima beban berulang yaitu berdasarkan hipotesis akumulasi kerusakan Palmgren Miner. Konsep ini didasarkan pada beberapa asumsi yaitu : 1. Berdasarkan hasil pengujian tegangan sinusoidal yang bervariasi, terdapat hubungan yang unik antara range tegangan dan jumlah siklus tegangan yang menyebabkan kegagalan. Hubungan tersebut dinyatakan sebagai kurva S-N material. 2. Tegangan-tegangan yang berosilasi tetapi tidak sinusoidal dapat mempunyai kurva S-N untuk variasi tegangan sinusoidal ketika range tegangan diambil berdasarkan perbedaan antara tegangan maksimum dan minimum pada satu siklus. 3. Material yang dikenai satu nilai stress range, s, untuk sejumlah siklus, n(s), dengan jumlah lebih kecil dari siklus yang menyebabkan kegagalan, N(s), akan mengalami kerusakan, d, yang diberikan oleh persamaan : d= n (s ) N (s) (II. 67) 4. Suatu material yang dikenai berbagai nilai stress range yang berbeda-beda secara berturut-turut akan gagal ketika jumlah dari kerusakan untuk setiap range tegangan, d=d(s) mencapai nilai satu. n n ∑d = ∑ N i =1 ( si ) ( si ) = 1.0 (II. 68) Berdasarkan konsep akumulasi kerusakan fatigue Palmgren-Miner, terdapat dua pendekatan analisis fatigue yang biasa dilakukan yaitu : 1. Metode fatigue deterministik 2. Metode fatigue spektral (stokastik) Berdasarkan hasil berbagai penelitian telah menunjukan bahwa analisis fatigue spektral memiliki tingkat kerealistisan dan kehandalan yang lebih baik dibanding analisis fatigue deterministik. Analisis fatigue spektral menggunakan pendekatan 38 statistik untuk menghitung kerusakan akibat fatigue dari elemen sambungan. Pada proses analisisnya, metode fatigue spektral menggunakan spektrum gelombang dan transfer function yang mampu memformulasikan hubungan antara rasio respon struktur terhadap tinggi gelombang sebagai fungsi frekuensi gelombang. Berdasarkan uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa analisis fatigue spektral dapat memperhitungkan distribusi energi aktual dari keseluruhan range frekuensi. Pendekatan spektral dalam analisis fatigue ditujukan untuk memperhitungkan prilaku acak gelombang di laut secara lebih rasional. Metode ini mengasumsikan adanya hubungan antara tinggi gelombang dan range tegangan pada sambungan, dan proses acak yang terjadi pada elevasi muka air diasumsikan sebagai proses acak Gaussian. II.4 Fracture Mechanics II.4.1 Umum Fracture (perpatahan) adalah pemisahan atau pemecahan suatu benda padat menjadi dua bagian atau lebih akibat adanya tegangan. Proses perpatahan terdiri atas dua tahap yaitu timbulnya retak/crack initiation dan tahap penjalaran retak/crack propagation (9). Fenomena perpatahan pada logam berbeda halnya dengan kelelehan. Fenomena kelelehan ditandai dengan terjadinya pergeseran dalam material pada arah sekitar 45o terhadap arah tegangan tarik kerjanya. Secara mikrostruktur fenomena geser ini mengakibatkan lepasnya ikatan atomik butiran kristal material tetapi kemudian atom-atom tersebut berhasil terbentuk dan menyatu kembali hanya dalam formasi serta lokasi yang relatif berbeda. Proses pergeseran atau slip ini secara signifikan akan berpengaruh terhadap integritas material secara keseluruhan. Pergerakan relatif dari suatu bidang geser (slip plane) sifatnya terbatas, sehingga apabila semua proses pergeseran sudah terjadi, maka satu-satunya cara untuk melakukan pergerakan lebih lanjut adalah dengan jalan meningkatkan pergerakan relatif pada bidang-bidang yang sudah “terkunci”. Hal tersebut jelas akan membutuhkan tegangan kerja yang lebih tinggi lagi sehingga pada material baja akan terjadi 39 fenomena yang dikenal sebagai “work hardened”. Akhirnya material baja akan putus akibat tegangan kerja yang tinggi yang disebabkan oleh berkurangnya penampang material tersebut sejalan dengan terus berlangsungnya proses kelelehan. Di lain pihak fenomena perpatahan sangatlah berbeda dengan leleh. Pada fenomena perpatahan sama sekali tidak ada kesempatan lagi bagi ikatan atomik yang sudah terlepas untuk menyatu kembali karena secara fisik material tersebut sudah putus, dengan kata lain fenomena perpatahan secara mikro struktur merupakan fenomena yang melibatkan suatu cleavage atau fenomena putus dan terbelahnya ikatan atomik material. Untuk memperjelas fenomena ini pada bagian bawah disajikan Gambar II.20 dan Gambar II.21 yang memperlihatkan mikrostruktur terjadinya fenomena perpatahan dan leleh. Material baja biasanya mengalami kelelehan terlebih dahulu sebelum mengalami perpatahan karena tegangan leleh uniaksial baja jauh di bawah tegangan putus atau perpatahannnya. Namun dalam kondisi medan tegangan tiga dimensi, misalnya pada daerah sekitar ujung retak/crack tip, memungkinkan ada komponen medan tegangan yang jauh lebih besar dari tegangan leleh uniaksialnya, sehingga perpatahan terjadi tanpa disertai dengan kelelehan. Tegangan yang relatif tinggi pada crack tip memecahkan iatan atomik satu persatu dalam duatu proses berlanjut Gambar II. 20 Fenomena perpatahan (11). 40 Gambar II. 21 Fenomena leleh (11). II.4.2 Penjalaran Retak A. Gupta dan RP Singh (1986) dalam salah satu penelitiannya mengatakan: pada kenyataannya komponen-komponen struktur yang menggunakan sambungan las akan memiliki retak mikro inisial/awal pada ujung sambungan las yang terbentuk selama proses pendinginan las, sehingga dalam analisis fatigue struktur sambungan tersebut para ahli tidak lagi memperhitungkan tahap pembentukan retak inisial. Karena itu, apabila suatu struktur yang sudah mengalami keretakan awal, maka dengan adanya suatu pembebanan berulang atau akibat kondisi lingkungan yang ganas maka retak awal ini akan menjalar seiring dengan waktu. Semakin panjang ukuran retak, semakin tinggi konsentrasi tegangan yang akan terjadi karenanya. Hal ini berarti kecepatan penjalaran retak akan juga meningkat seiring dengan bertambahnya waktu. Dengan adanya fenomena retak, mengakibtakan berkurangnya kekuatan struktur sehingga nilainya lebih rendah dari kuat rencana desain awal. Kekuatan sisa struktur akan berkurang secara progresif dengan bertambahnya ukuran retak. Setelah selang waktu tertentu kekuatan sisa dari struktur sudah sedemikian rendahnya sehingga fenomena kegagalan patah dapat terjadi. 41 Penelitian telah banyak dilakukan untuk menentukan hukum perambatan retakan. Terutama retak fatigue. Hubungan perambatan retakan yang diterapkan dalam falsafah rancangan aman – tidak aman (fail-safe). Diakui bahwa retak pada struktur tidak mungkin dihindarkan. Sehingga berdasarkan falsafah ini mampu ditentukan beban dan panjang retakan yang aman untuk menghindari kegagalan struktur. Laju perambatan retak diperoleh dari persamaan berikut: da dN = Cσ am a m Dimana da (II. 69) dN = laju perambatan retak C = konstanta σ am = tegangan bolak-balik a = panjang retakan Berdasarkan hasil penelitian, m mempunyai nilai dari 2 hingga 4 dan n beragam dari 1 hingga 2 (9). Kemajuan terpenting dalam menempatkan perambatan retak fatigue yang digunakan dalam bidang rekayasa adalah kenyataan bahwa panjang retak terhadap siklus pada berbagai level tegangan yang berbeda dapat digambarkan sebagai da dN terhadap ΔK . da dN adalah kemiringan kurva perambatan retak pada nilai tertentu untuk a dan ΔK adalah daerah faktor intensitas tegangan. Hubungan antara pertumbuhan retak fatik dan ΔK diperlihatkan dalam kurva pada Gambar II.22. Kurva ini berbentuk sigmoidal yang dapat dibagi dalam 3 daerah. Daerah I dibatasi oleh harga batas ΔK th . Di bawah harga batas ini pertumbuhan retak fatik tidak berarti. Pada tegangan di bawah ΔK th retak merupakan retak yang tidak merambat. ΔK th terjadi pada laju perambatan retak sekitar 2,5 × 10−10 m/siklus atau kurang dari itu (9). 42 Gambar II. 22 Tahap pertumbuhan retak sebagai fungsi nilai intensitas tegangan. Pada daerah II terdapat hubungan linier antara log da dN dan log ΔK yang kemudian dikenal dengan hukum Paris. Hubungan tersebut diekspresikan da m = C ( ΔK ) = C (Δσ a )m dN (mm/cycle). (II. 70) dimana: C = konstanta yang berhubungan dengan jenis material m = kemiringan grafik pertumbuhan retak ΔK = selisih faktor intensitas tegangan (MPa mm ) II.4.3 Faktor Intensitas Tegangan Retak dalam suatu benda solid dapat dinyatakan dalam tiga mode yang berbeda seperti terlihat pada Gambar II.23 di bawah (14). 43 Gambar II. 23 Tiga mode pembebanan. Fortsyth (1962) menyatakan bahwa dari tiga mode deformasi retak yang terjadi, mode deformasi I merupakan jenis mode retak yang sangat dominan terjadi selama proses propagasi retak. Tahun 1957 William, mengusulkan solusi berupa deret tak hingga untuk medan tegangan di sekitar crack tip untuk skenario mode I. Gambar II. 24 Bentuk umum mode I. n −1 ⎡⎛ n ⎞ ⎤ ⎞ ⎛n ⎞ ⎛n ⎞ ⎛n σ x = ∑ r 2 a nI ⎢⎜ 2 + + (− 1)n ⎟ cos⎜ − 1⎟θ − ⎜ − 1⎟ cos⎜ − 3 ⎟θ ⎥ 2 ⎠ ⎦ ⎠ ⎝2 ⎠ ⎝2 ⎠ ⎝2 n =1 2 ⎣⎝ (II. 71) n −1 ⎡⎛ n ⎞ ⎛n ⎞ ⎛n ⎞ ⎛n ⎞ ⎤ σ y = ∑ r 2 a nI ⎢⎜ 2 − − (− 1)n ⎟ cos⎜ − 1⎟θ + ⎜ − 1⎟ cos⎜ − 3 ⎟θ ⎥ 2 ⎠ ⎝2 ⎠ ⎝2 ⎠ ⎝2 ⎠ ⎦ n =1 2 ⎣⎝ (II. 72) n −1 ⎡⎛ n ⎞ ⎛ n ⎞ ⎛n ⎛n ⎞ ⎤ n ⎞ = ∑ r 2 a nI ⎢⎜ − 1⎟ sin ⎜ − 3 ⎟θ − ⎜ + (− 1) ⎟ sin ⎜ − 1⎟θ ⎥ ⎠ ⎝2 ⎠ ⎝2 ⎠ ⎦ n =1 2 ⎣⎝ 2 ⎠ ⎝ 2 (II. 73) ∞ ∞ τ xy ∞ n n n Catatan : • Plane Stress ⇒ σ z = 0 • Plane Strain ⇒ σ z = ν (σ x + σ y ) • τ xz = τ yz = 0 44 Adapun medan perpindahan yang bersesuaian adalah sebagai berikut : n r 2 I ⎡⎛ n n n ⎛n ⎞ ⎤ n ⎞ u=∑ a n ⎢⎜ κ + + (− 1) ⎟ cos θ − cos⎜ − 2 ⎟θ ⎥ 2 2 2 ⎠ ⎝2 ⎠ ⎦ n =1 2 μ ⎣⎝ ∞ (II. 74) n r 2 I ⎡⎛ n n n ⎛n ⎞ ⎤ n ⎞ v=∑ a n ⎢⎜ κ − − (− 1) ⎟ sin θ + sin ⎜ − 2 ⎟θ ⎥ 2 2 2 ⎝2 ⎠ ⎠ ⎦ n =1 2 μ ⎣⎝ ∞ (II. 75) Catatan : • Plane Stress ⇒ κ = 3 − 4ν • Plane Strain ⇒ κ = (3 − ν )(1 + ν ) • τ xz = τ yz = 0 Dengan melakukan ekspansi deret tak hingga di atas di sepanjang crack line, r = x maka untuk medan tegangan dihasilkan ekspresi sebagai berikut : σx = a1 σy = a1 r r + 4a 2 + 3a3 r + 8a 4 r + 5a5 r 3 / 2 + . . . (II. 76) + 3a3 r + 5a5 r 3 / 2 + . . . (II. 77) Catatan : • komponen pertama adalah komponen singular dan pada a1 terkandung faktor intensitas tegangan • Pada a 2 terkandung T-Stress yaitu tegangan konstan yang bekerja pararel dengan arah retak. Dengan meninjau daerah sedikit di sekitar ujung retak maka r → 0 , maka semua komponen medan tegangan memiliki nilai yang hingga kecuali komponen pertama yang memberikan nilai tegangan menuju tak hingga. Selanjutnya dengan mengabaikan suku-suku yang lain kecuali suku pertama dari ekspresi deret tak hingga medan tegangan di atas maka di dapat kondisi yang akan memberikan 45 definisi formal dari faktor intensitas tegangan sebagai sebuah parameter similitude yaitu sebagai berikut: K I = Lim σ yy 2 π r (II. 78) K II = Lim σ xx 2 π r (II. 79) K III = Lim σ yz 2 π r (II. 80) r →0 r →0 r →0 Apabila akibat mekanisme tertentu menyebabkan retak memanjang, maka proses tersebut akan selalu terjadi pada ujung retak (r kecil). Setelah terjadi perpanjangan retak, maka akan terbentuk suatu ujung retak yang baru dan proses serupa akan terus berulang pada daerah tersebut. Berdasarkan argumentasi itu dapat disimpulkan bahwa untuk keperluan analisis, perilaku keretakan dirasakan cukup memadai dengan hanya meninjau komponen pertama dari ekspresi medan tegangan di atas. Tinjau kembali persamaan II.78 di atas, dapat disimpulkan bahwa nilai dari K 2π r haruslah mempunyai dimensi tegangan, dengan kata lain K I haruslah mempunyai dimensi tegangan dikalikan dengan akar panjang. Berdasarkan deskripsi problem di atas, satu-satunya jenis tegangan yang terdefinisi adalah remote stress, σ , dan satu-satunya besaran panjang yang terdefinsi adalah panjang retak, a . Sebagai konsekuensinya faktor intensitas tegangan dapat dirumuskan sebagai berikut: K = βσ a Untuk kasus problem di atas nilai β = π sehingga : K =σ π a (II. 81) Dalam tinjauan problem umum ekspresi faktor intensitas tegangan dapat dituliskan sebagai berikut : 46 K = Yσ π a (II. 82) dengan, K = faktor intensitas tegangan. Y = faktor koreksi yang ditentukan oleh geometri dan kondisi pembebanan. σ = tegangan yang diberikan. a = panjang retak. II.4.4 Remaining Life/Fatigue Life Penentuan remaining life/fatigue life secara konfensional telah diterapkan dalam bidang rekayasa dengan menggunakan pendekatan kurva S-N dan aturan kerusakan kumulatif. Pendekatan ini dikembangkan pertama kali untuk memprediksi fatigue life suatu komponen dengan anggapan bahwa crack initiation merupakan bagian yang signifikan dalam keseluruhan fatigue life. Namun penerapan secara luas fatigue dalam welded structure harus memperhatikan kondisi dimana perbandingan crack initiation dan crack propagation sangat berbeda (12). Oleh karena itu pendekatan untuk kondisi ini adalah dengan menggunakan pendekatan fracture mechanics. Proses perpatahan akibat fatigue secara umum melalui dua tahap yaitu crack initiation dan crack propagation. Pada kebanyakan welded structure telah memiliki crack initiation dari awal dan kemudian pada proses selanjutnya didominasi oleh crack propagation. Dengan ilustrasi lain, jika kerusakan pada sambungan las telah ada dari awal, kemudian terus berkembang akibat beban siklik sampai mencapai panjang retak tertentu yang tergantung pada karakteristik material dan tegangan kerja, hingga mencapai kondisi tidak stabil dan berdampak pada perpatahan pada sambungan las tersebut. Bila dikaitkan dengan penilaian terhadap sambungan, kurva indeks kehandalan dapat digunakan untuk menilai keamanan suatu sambungan dari sisi umur sisanya (remaining life). Dalam konteks ini diperlukan parameter atau indikator yang menyatakan bahwa suatu komponen sambungan telah memenuhi kriteria 47 keamanan yang disyaratkan. Indikator ini biasa disebut target indeks kehandalan atau indeks kehandalan minimum suatu komponen sambungan. Berdasarkan target indeks kehandalan ini, remaining life sambungan dapat ditentukan dan kemudian dikaitkan dengan umur layan yang disyaratkan. II.5 Akumulasi Kerusakan Berdasarkan Fatigue Spektral II.5.1 Sistem Linier Dari beberapa referensi menunjukkan bahwa suatu sistem linier yang memiliki properti tidak berubah terhadap waktu dapat dikarakteristikkan dalam domain frekuensi oleh suatu persamaan berikut ini (13) Y( f )= H( f )X ( f ) Dimana: f (II. 83) = frekuensi X ( f ) = transformasi fourier dari eksitasi Y ( f ) = transformasi fourier dari respon H ( f ) = fungsi transfer Fungsi transfer atau biasa disebut fungsi respons frekuensi dapat dianalogikan sebagai amplitudo respons sinusoidal dimana eksitasi merupakan unit amplitudo sinusoidal. Persamaan II.83 dapat dikembangkan untuk kasus fungsi multi respons akibat eksitasi yang diberikan dengan menggunakan ekspresi matrik. Dalam notasi subskrip persamaan tersebut dapat dituliskan kembali: Yi ( f ) = H i ( f ) X ( f ) (II. 84) Pada persamaan II.84, Y dan H adalah matrik N ×1 dan X adalah besaran skalar. Dengan mengalikan persamaan 2.84 terhadap persamaan itu sendiri didapatkan: 48 Yi ( f ) Y j ( f ) = H i ( f ) H j ( f ) X 2 ( f ) (II. 85) Dengan memperkenalkan nilai rata-rata dari suatu variabel acak Z , yaitu Z . Besaran rata-rata kedua sisi pada persamaan II.85 dapat dituliskan sebagai berikut: 2 YY i j = Hi H j X (II. 86) Untuk keperluan analisis fatigue hanya ditinjau suku diagonal dari persamaan matrik berikut: Yi 2 = H i2 X 2 (II. 87) Jika diketahui suatu fungsi acak yang didefinisikan dalam domain frekuensi, Z ( f ) , maka fungsi Z 2 ( f ) disebut power spectral density dari suatu proses dan dinyatakan sebagai berikut: SZ ( f ) = Z 2 ( f ) (II. 88) Berdasarkan referensi bahwa nilai mean-square dari proses acak stasioner, y ( t ) , diberikan oleh: ∞ y ( t ) = ∫ S ( f ) df 2 (II. 89) 0 Nilai akar dari persamaan di atas menyatakan nilai root-mean-square (RMS). Dengan menggabungkan definisi ini bersama persamaan II.87, II.88, dan II.89, maka nilai RMS dari respons dapat dituliskan sebagai berikut: ∞ YRMS = ∫ H ( f ) S ( f ) df 2 i (II. 90) h 0 Dalam analisis fatigue, eksitasi atau gaya luar berupa fluktuasi permukaan air laut yang merupakan fungsi dari waktu, h ( t ) , dan respons dari fungsi acak stasioner 49 adalah rentang tegangan hot-spot pada sambungan. Definisi rentang tegangan disini adalah perbedaan antara nilai puncak tegangan maksimum dan minimum yang berurutan dari plot hubungan antara tegangan versus waktu. Jika diketahui spektrum kerapatan energi dari suatu seastate, S h ( f ) , serta terdapat fungsi transfer H i ( f ) , maka statistik rentang tegangan siklik pada titik tersebut dapat ditentukan dengan persamaan berikut: σ RMS = ∞ ∫ H ( f ) S ( f ) df 2 i (II. 91) h 0 II.5.2 Fungsi Transfer – Beban Gelombang Siklis Fungsi transfer didefinisikan sebagai perbandingan antara rentang tegangan siklis terhadap tinggi gelombang sebagai fungsi frekuensi. Jika untuk setiap frekuensi masukan dari sistem adalah satu satuan amplitudo sinusoidal frekuensi tersebut, maka amplitudo respons steady state adalah fungsi transfer pada frekuensi tersebut. Pada kasus analisis fatigue, masukan adalah elevasi muka (tinggi gelombang) dan respons adalah tegangan brace pada tiap sambungan. Sehubungan dengan hal ini salah satu teori gelombang yang bisa digunakan sebagai alat untuk membentuk fungsi transfer adalah teori gelombang airy karena teori gelombang tersebut menghasilkan profil gelombang yang benar-benar sinusoidal. Meskipun teori-teori gelombang yang lain tidak menghasilkan profil gelombang yang benar-benar sinusoidal, tetapi pada kasus gelombang amplitudo kecil teori tersebut dapat memberikan profil yang hampir sinusoidal sehingga teori-teori gelombang yang lain juga dapat menjadi komponen pembentuk fungsi transfer. Pada kenyataannya banyak sistem yang tidak linier. Sebagai contoh sistem tidak linier adalah hubungan gaya drag dengan kecepatan partikel air, sehingga dapat disimpulkan bahwa ekspresi pada persamaan II.83 hanya merupakan suatu pendekatan. Meskipun demikian pendekatan ini akan memberikan hasil yang 50 sangat baik jika karakter gelombang yang membentuk fatigue environment tidak terlalu besar. Untuk membentuk fungsi transfer pada suatu arah pembebanan fatigue dapat digunakan beberapa gelombang dengan tinggi yang bervariasi tetapi memiliki kelandaian (steepness) yang konstan. Gelombang-gelombang tersebut tidak harus diambil dari data gelombang fatigue, tetapi dapat juga ditentukan berdasarkan perilaku dinamik struktur. Tegangan yang terjadi akan dihitung untuk setiap posisi gelombang dan perbedaan antara tegangan maksimum dan minimum yang dihasilkan disebut sebagai rentang tegangan. Gambar II. 25 Tegangan siklis yang terjadi untuk setiap posisi gelombang (13). Dengan membagi rentang tegangan tersebut oleh setengah tinggi gelombang yang bersesuaian, maka akan memberikan rentang tegangan dalam satu satuan amplitudo (untuk kasus gelombang sinusoidal, tinggi gelombang adalah dua kali amplitudo gelombang). Hubungan antara rentang tegangan dalam unit amplitudo dengan frekuensi gelombang dinyatakan oleh suatu fungsi transfer. 51 Gambar II. 26 Hubungan perioda gelombang dengan tegangan siklis (13) II.5.3 Spektrum Kerapatan Tinggi Gelombang Spektrum tinggi gelombang umumnya digunakan untuk mengkarakteristikkan prilaku acak gelombang dengan pendekatan statistik. Dari suatu spektrum tinggi gelombang, dapat dikembangkan fungsi distribusi probabilitas untuk setiap frekuensi tertentu. Dalam industri lepas pantai dan untuk keperluan analisis fatigue, terdapat fungsi kerapatan spektrum tinggi gelombang yang sering digunakan, antara lain: Spektrum Pierson-Moskowitz (Bretschneider’s Form) ( ) S PM F * = 5hs2T0 1 16 F * ( ) 5 ⎡ 5 exp ⎢ − F * ⎣ 4 ( ) ⎤ ⎥⎦ −4 (II. 92) Spektrum JONSWAP (Joint North Sea Wave Project) ( ) SJ F * = ( ) exp ⎪⎧ln γ exp ⎡⎢− ( F S PM F * C ⎨ ⎪ ⎩ ⎢ ⎣ ) 2 − 1 ⎤ ⎪⎫ ⎥⎬ 2σ 2 ⎥ ⎪ ⎦⎭ * (II. 93) Dimana: hs = tinggi gelombang signifikan, yaitu rata-rata 1/3 gelombang tertinggi 52 T0 = perioda gelombang dominan, yaitu perioda dimana S ( f ) maksimum F * = frekuensi tidak berdimensi, f f0 , dimana f 0 adalah frekuensi yang berhubungan dengan besaran T0 Parameter γ , σ , dan C adalah parameter dari spektrum JONSWAP. II.5.4 Kerusakan Fatigue Berdasarkan persamaan II.91, tegangan RMS untuk suatu spektrum tertentu dari gelombang fatigue dapat dihitung sebagai berikut : ∞ ∫ H ( f )× S ( f ) σ rms = 2 i (II. 94) df 0 Dimana Si ( f ) adalah spektrum kerapatan energi gelombang dan H ( f ) adalah fungsi transfer untuk arah beban fatigue tertentu. Untuk setiap tegangan RMS terdapat perioda rata-rata antara zero crossing yang memiliki kemiringan positif untuk proses stasioner Gaussian. Perioda tersebut biasa disebut Zero Crossing Period, yang dirumuskan sebagai berikut: TZ = σ RMS ,i ∞ ∫f 2 ×H 2 (II. 95) ( f ) × Si ( f ) df 0 Untuk proses Narrow Band, nilai tersebut adalah rata-rata perioda atau rata-rata frekuensi dari proses tersebut. Jumlah siklus, N , yang berkaitan dengan spektrum selama masa layan struktur dapat di formulasikan berikut ini. N= mL TZ (II. 96) Dimana L adalah umur desain dari struktur dan m fraksi kejadian suatu spektrum seastate terhadap umur rencananya. Untuk suatu range tegangan yang diberikan, s, maka jumlah siklus yang menyebabkan kegagalan N F ( S ) dapat ditentukan 53 menggunakan kurva S-N. Sehingga untuk range tegangan antara s dan s+ds, jumlah kerusakan dD adalah sebagai berikut: dD = N NF ( s) p ( s ) ds (II. 97) Dimana p ( s ) adalah probabilitas tegangan diantara nilai s dan s+ds. Dengan mengacu pada asumsi awal bahwa sistem yang ditinjau adalah linier yang dieksitasi oleh masukan proses acak gaussian maka disimpulkan bahwa respon time history sebagai keluarannya juga akan mengikuti proses acak gaussian. Kemudian dengan mengasumsikan lebih lanjut bahwa respon keluaran bersifat narrow band dimana prilaku PSD-nya hanya signifikan untuk rentang frekuensi yang sempit, maka dapat dipastikan bahwa rentang tegangan akan mengikuti distribusi rayleigh dengan probability density function sebagai berikut, p(s ) = s σ rms ⎛ − s2 exp ⎜⎜ 2 ⎝ 2 σ rms ⎞ ⎟ ⎟ ⎠ (II. 98) Dimana s = Range tegangan σ rms = Root mean square dari range tegangan Dengan mensubstitusikan persamaan II.98 ke dalam persamaan II.97 akan didapatkan ekspektasi kerusakan yang bersesuaian dengan satu kondisi sea state yaitu, ∞ D=∫ 0 N s N F (s ) σ rms 2 ⎛ − s2 exp ⎜⎜ 2 ⎝ 2 σ rms ⎞ ⎟ ds ⎟ ⎠ (II. 99) Karena N dan σ rms nilainya tetap, maka persamaan II.99 dapat disederhanakan menjadi, D= ∞ N σ rms 2 ∫ 0 ⎛ − s2 exp ⎜ ⎜ 2σ 2 N F (s ) rms ⎝ s ⎞ ⎟ ds ⎟ ⎠ (II. 100) 54 Total ekspektasi kerusakan untuk seluruh sea state dalam rentang waktu umur rencana merupakan jumlah kerusakan yang diakibatkan oleh masing-masing sea state. Ekspektasi umur fatigue ditentukan dengan membagi umur rencana dengan total ekspektasi kerusakan. II.5.5 Fatigue Spektral dalam Software SACS Sebagaimana diuraikan pada sub bab sebelumnya, metode analisa fatigue spektral digunakan dalam penentuan akumulasi kerusakan fatigue Palmgren-Miner. Hal ini didasarkan pada hasil berbagai penelitian yang menunjukan bahwa analisis fatigue spektral memiliki tingkat kerealistisan dan kehandalan yang lebih baik dibanding analisis fatigue deterministik. Secara umum ada empat tahapan proses yang akan dilakukan pada analisis fatigue tesis ini. Tahapan analisis dimulai dengan proses pemodelan struktur dan diakhiri dengan penentuan total kerusakan serta umur layan komponen sambungan. Tahapan ini merupakan konsep umum yang dijadikan pijakan software SACS dalam perhitungan akumulasi kerusakan fatigue pada anjungan tipe jacket. Penjelasan mengenai masing-masing tahap disajikan pada sub bab berikut. II.5.5.1 Pemodelan Strukur Pemodelan struktur mengacu pada API RP 2A-WSD tahun 2000. Adapun prinsipprinsip pemodelannya adalah sebagai berikut : a. Model struktur jacket offshore platform harus mengakomodasi distribusi kekakuan tiga dimensi. b. Untuk struktur-struktur seperti risers, skirt piles guide dll. kekakuannya diabaikan kecuali apabila dianggap akan berkontribusi secara cukup signifikan c. Massa yang ditinjau harus meliputi massa dari : • Material baja platform termasuk seluruh appurtenance structure • Konduktor dan deck loads serta semua peralatan • Massa air yang terperangkap pada submerge tubular members 55 • Massa tambahan dari submerge members akibat pergerakan relatif struktur terhadap fluida II.5.5.2 Penentuan “Centre of Damage Sea State” dan Linierisasi Fondasi Berdasarkan fakta bahwa prilaku beban gelombang yang menyebabkan fatigue adalah beban dinamik dengan magnitudo tidak terlalu besar, telah diyakini secara luas oleh kalangan praktisi industri lepas pantai bahwa untuk keperluan analisis fatigue dinamik non deterministik, penyederhanaan model struktur fondasi dengan cara melinierisasikannya merupakan metode yang cukup rasional dan dapat memberikan hasil yang memadai. Salah satu masalah yang dihadapi pada proses linierisasi fondasi ini adalah fenomena bahwa fondasi yang sudah terlinierisasi hanya akan sesuai untuk satu skenario pembebanan saja. Berdasarkan hal tersebut, akhirnya dikembangkan teori “centre of damage sea state”, dimana skenario beban yang dipilih untuk proses linierisasi merupakan skenario beban sea state yang diyakini akan memberikan konsekuensi kerusakan terbesar, yang kemudian beban sea state itu dikenal dengan istilah “centre of damage sea state”. Secara kuantitatif penentuan “centre of damage sea state” didasarkan pada konsep kerusakan kumulatif akibat beban dengan amplitudo konstan. Berdasarkan hasil eksperimen dilapangan terhadap spesimen baja diperoleh persamaan empiris sebagai berikut : N = A S −m (II. 101) dengan, N = jumlah siklus yang membuat spesimen rusak S = amplitudo beban siklis A dan m = konstanta material 56 Apabila didefinisikan jumlah akumulasi kerusakan (D) D = n , dengan n N sebagai jumlah siklus beban yang terjadi maka persamaan di atas dapat dibuat dengan ekspresi sebagai berikut : n = A S −m D D= nSm A (II. 102) Berdasarkan persamaan di atas terlihat bahwa total kerusakan berbanding lurus dengan S m , dan untuk analisis fatigue spektral sistem diasumsikan linier sehingga S akan berbanding lurus juga dengan H (tinggi gelombang). Akhirnya dapat diformulasikan tinggi gelombang signifikan “centre of damage sea state” dan zero crossing period yang bersesuaian sebagai rata-rata berbobot dari semua tinggi gelombang sea state dengan menggunakan indikasi kerusakan (D) sebagai faktor pembobotnya. Ekspresi selengkapnya dapat dituliskan sebagai berikut : n Hs = ∑D H i i =1 si (II. 103) n ∑D i i =1 n Tz = ∑DT i =1 n i zi (II. 104) ∑D i =1 i dengan Di sebagai parameter indikasi kerusakan yang disumbangkan oleh sea state ke-i dengan nilai estimasi sebagai berikut : Di = Pi H si Tz m (II. 105) dengan, m = inverse log-log API X prime S-N curves = 3.74 Pi = probabilitas kejadian seastate ke-i H si = tinggi gelombang signifikan seastate ke-i Tsi = mean zero-crossing periode seastate ke-i 57 II.5.5.3 Penentuan Beban Gelombang Beban lingkungan yang ditinjau adalah beban gelombang yang terjadi secara dominan akibat tiupan angin dengan konsep analisis dan pemodelan gelombang mengacu pada API RP 2A WSD tahun 2000. Prinsip analisis dan pemodelan beban gelombang yang dimaksud antara lain sebagai berikut: a. Perilaku aktual dari oceanographic wave condition yang bersifat acak dan non stasioner, untuk suatu perioda waktu tertentu (biasanya maksimum dalam range 3 jam) dapat didekati oleh sebuah proses acak yang bersifat stasioner atau dalam istilah yang lebih umum disebut dengan sea state. b. Perilaku long term oceanographic condition dapat didekati dengan penggabungan berbagai kondisi sea state yang masing-masing sea state tersebut dikarakterisasikan melalui spektrum energi gelombang dan parameter-parameter fisik yang sesuai serta dikombinasikan dengan satu nilai probabilitas kejadian. c. Jumlah arah gelombang yang ditinjau sesuai dengan persyaratan minimum API dalam hal ini sebanyak 4 buah arah yaitu satu arah end on, satu arah broad side dan dua arah diagonal. II.5.5.4 Fungsi Transfer dan Kerusakan Kumulatif Penentuan fungsi transfer dan total kerusakan kumulatif untuk seluruh titik yang akan diinvestigasi dilakukan melalui prosedur di bawah. Prosedur tersebut merupakan hasil rangkuman dari penjelasan seluruh sub bab sebelumnya.. 1. Definisikan sejumlah nilai frekuensi yang memadai sehingga fungsi transfer dapat menangkap kondisi-kondisi respon yang ekstrim terutama karena efek resonansi 2. Pilih satu tinggi gelombang tertentu yang bersesuaian dengan setiap nilai frekuensi di atas dengan menggunakan prinsip constant wave steepness.. Nilai steepness gelombang yang diambil harus sesuai dengan kondisi wave climate yang ada. Karakteristik gelombang yang perlu diakomodasi, maksimum setinggi gelombang rencana dan minimum setinggi 1 ft. Untuk 58 setiap nilai frekuensi, satu titik pada fungsi transfer ditentukan dengan membagi respon rentang tegangan, (dalam hal ini yang dihasilkan akibat pemberian gelombang airy pada struktur), oleh tinggi gelombang yang bersesuaian. Adapun rentang tegangan hot spot didefinisikan sebagai selisih antara nilai maksimum dan minimum puncak berturutan pada kurva hubungan tegangan terhadap waktu yang sudah mengakomodasi fenomena konsentrasi tegangan. 3. Untuk setiap sea state, tentukan respon spektrum tegangan dalam domain frekuensi dengan menggunakan persamaan respon stokastik stasioner sebagai berikut, S σσ ( f ) = H ( f ) Sηη ( f ) 2 (II. 106) dengan, Sηη ( f ) = spektrum input yaitu spektrum elevasi permukaan air laut S σσ ( f ) = spektrum respon H(f ) 4. = fungsi transfer Untuk setiap sea state, berdasarkan karakteritik spektrum respon dapat ditentukan average zero crossing period dengan persamaan, Tz = m0 m2 (II. 107) dengan, m0 = momen ke nol dari spektrum respon = varians m2 = momen ke dua dari spektrum respon 5. Tentukan ekspektasi jumlah siklus range tegangan, N, untuk setiap sea state N= qT Tz (II. 108) dengan, q = fraksi kejadian suatu spektrum sea state terhadap umur rencananya T = umur rencana struktur Tz = zero crossing period 59 6. Tentukan ekspektasi kerusakan yang bersesuaian dengan satu kondisi sea state melalui formula kerusakan kumulatif palmgren miner berikut, ∞ D=∫ 0 N N F (s ) p (s ) ds (II. 109) dengan mengasumsikan range tegangan mengikuti distribusi rayleigh maka persamaannya menjadi ∞ D=∫ 0 N s N F (s ) σ rms 2 ⎛ − s2 exp ⎜⎜ 2 ⎝ 2 σ rms ⎞ ⎟ ds ⎟ ⎠ (II. 110) Karena N dan σ rms nilainya tetap, maka D= 7. ∞ N σ rms 2 ∫ 0 ⎛ − s2 exp ⎜⎜ 2 N F (s ) ⎝ 2 σ rms s ⎞ ⎟ ds ⎟ ⎠ (II. 111) Total ekspektasi kerusakan untuk seluruh sea state dalam rentang waktu umur rencana merupakan jumlah kerusakan yang diakibatkan oleh masingmasing sea state. Ekspektasi umur fatigue ditentukan dengan membagi umur rencana dengan total ekspektasi kerusakan. 60 Bab II Dasar Teori................................................................................................. 6 II.1 Statistik dan Probabilitas......................................................................... 6 II.1.1 Umum ............................................................................................. 6 II.1.2 Teori Probabilitas Statistik.............................................................. 8 II.1.3 Fungsi Massa Probabilitas ............................................................ 11 II.1.4 Fungsi Distribusi Kumulatif.......................................................... 11 II.1.5 Fungsi Kerapatan Probabilitas ...................................................... 12 II.1.6 Parameter Statistik ........................................................................ 13 II.1.7 Model Distribusi Variabel Acak ................................................... 16 II.1.8 Fungsi Variabel Acak.................................................................... 23 II.2 Reliabilitas Struktur .............................................................................. 25 II.2.1 Umum ........................................................................................... 25 II.2.2 Limit State..................................................................................... 26 II.2.3 Fungsi Performansi/Fungsi Kondisi Batas.................................... 28 II.2.4 Metode Reliabilitas Struktur Level II ........................................... 32 II.2.5 Indeks Kehandalan ( β )................................................................. 33 II.3 Fatigue .................................................................................................. 34 II.3.1 Umum ........................................................................................... 34 II.3.2 Kurva S-N ..................................................................................... 36 II.3.3 Stress Concentration Factor ......................................................... 37 II.3.4 Hipotesis Akumulasi Kerusakan Palmgren- Miner ...................... 38 II.4 Fracture Mechanics .............................................................................. 39 II.4.1 Umum ........................................................................................... 39 II.4.2 Penjalaran Retak ........................................................................... 41 II.4.3 Faktor Intensitas Tegangan ........................................................... 43 II.4.4 Remaining Life/Fatigue Life......................................................... 47 II.5 Akumulasi Kerusakan Berdasarkan Fatigue Spektral........................... 48 II.5.1 Sistem Linier ................................................................................. 48 II.5.2 Fungsi Transfer – Beban Gelombang Siklis ................................. 50 II.5.3 Spektrum Kerapatan Tinggi Gelombang ...................................... 52 II.5.4 Kerusakan Fatigue ........................................................................ 53 61 II.5.5 Fatigue Spektral dalam Software SACS ....................................... 55 Gambar II. 1 Bentuk fenomena acak profil muka air laut (5)................................ 7 Gambar II. 2 Histogram tinggi gelombang (5). ..................................................... 8 Gambar II. 3 Diagram Venn untuk tinggi gelombang individu............................. 9 Gambar II. 4 Diagram venn untuk (a) perpotongan, (b) gabungan, (c) kejadian. 10 Gambar II. 5 Fungsi distribusi kumulatif (CDF). ................................................ 12 Gambar II. 6 Nilai probabilitas pada PDF. .......................................................... 13 Gambar II. 7 PDF normal standar (5) .................................................................. 18 Gambar II. 8 PDF log normal (5)......................................................................... 19 Gambar II. 9 PDF Rayleigh (5)............................................................................ 20 Gambar II. 10 Fungsi kerapatan probabilitas terhadap tahanan dan beban (8).... 26 Gambar II. 11 Balok tumpuan sederhana............................................................. 27 Gambar II. 12 Terbentuknya sendi plastik pada balok tumpuan sederhana. ....... 27 Gambar II. 13 PDF variabel beban dan kapasitas................................................ 29 Gambar II. 14 Safe domain dan failure domain dalam 2 dimensi (6).................. 31 Gambar II. 15 Safe domain dan failure domain dalam 3 dimensi (6).................. 32 Gambar II. 16 Konsep indeks kehandalan (4)...................................................... 33 Gambar II. 17 Contoh sambungan yang sensitif terhadap fenomena fatigue. ..... 35 Gambar II. 18 Kurva S-N untuk analisis fatigue (10).......................................... 36 Gambar II. 19 Daerah hot spot sambungan.......................................................... 37 Gambar II. 20 Fenomena perpatahan (11). .......................................................... 40 Gambar II. 21 Fenomena leleh (11). .................................................................... 41 Gambar II. 22 Tahap pertumbuhan retak sebagai ............................................... 43 Gambar II. 23 Tiga mode pembebanan................................................................ 44 Gambar II. 24 Bentuk umum mode I. .................................................................. 44 Gambar II. 25 Tegangan siklis yang terjadi untuk setiap posisi gelombang (13).51 Gambar II. 26 Hubungan perioda gelombang dengan tegangan siklis (13)......... 52 62 Tabel II. 1 Parameter yang digunakan dalam kurva S-N..................................... 37 63