Bab II Dasar Teori

advertisement
Bab II Dasar Teori
II.1
Statistik dan Probabilitas
II.1.1 Umum
Banyak sumber ketidakpastian yang terlibat dalam desain struktur anjungan lepas
pantai. Hal ini karena parameter beban dan kapasitas struktur tersebut bukan
merupakan kuantitas deterministik atau kuantitas yang diketahui secara pasti.
Oleh karenanya keamanan struktur tidak dapat ditentukan secara absolut. Dengan
kata lain kemungkinan kegagalannya tidaklah nol. Konsekuensinya, struktur harus
didesain
agar
dapat
melayani
fungsinya
dengan
tetap
memperhatikan
kemungkinan terjadinya kegagalan.
Ketidakpastian dalam desain struktur disebabkan beberapa hal diantaranya (3)
•
Ketidakpastian fisik. Ketidakpastian ini berkaitan dengan kuantitas fenomena
acak, seperti ketidakpastian pada tegangan leleh yang disebabkan faktor
produksi material, ketidakpastian pada beban gelombang dan angin.
•
Ketidakpastian dalam pengukuran, berhubungan dengan ketidaksempurnaan
alat pengukuran dan pengambilan data/sampling.
•
Ketidakpastian statistik, berkaitan dengan terbatasnya informasi atau data
pengamatan.
•
Ketidakpastian model, berkaitan dengan asumsi penggunaan model distribusi
untuk merepresentasikan distribusi beban dan tahanan.
Dalam permasalahan engineering, parameter ketidakpastian dikenal juga sebagai
variabel acak. Parameter yang akan diperhitungkan sebagai variabel acak yang
pada awalnya dianggap sebagai kasus deterministik disebut dengan istilah
variabel dasar (4).
6
Sebagai ilustrasi informasi di atas, tinjau suatu beban struktur anjungan lepas
pantai yaitu beban gelombang yang disebabkan oleh angin. Fenomena beban
gelombang dapat diilustasikan sebagai tinggi gelombang laut (jarak dari puncak
ke lembah secara berurutan dari profil muka air laut), seperti terlihat pada Gambar
II.1. Tinggi gelombang tersebut diberi notasi dengan huruf X dan menunjukkan
perilaku yang acak antara satu gelombang dengan gelombang lainnya sehingga
bisa dikatakan bahwa tidak ada fenomena keteraturan deterministik.
Gambar II. 1 Bentuk fenomena acak profil muka air laut (5).
Apabila data yang diobservasi dari X dibuat klasifikasi kelas dengan interval
0.5 m, kemudian nilai frekuensi relatifnya dapat ditentukan untuk tiap interval.
Maka selanjutnya kita bisa memperoleh nilai frekuensi relatif yang merupakan
fungsi dari
X
dan dikenal dengan istilah histogram sebagaimana yang
ditunjukkan dalam Gambar II.2. Bentuk dari histogram akan tidak konsisten jika
jumlah observasinya sedikit. Namun derajat ketidakkonsistenan tersebut akan
berkurang dan akan konvergen pada suatu bentuk tertentu dengan bertambahnya
jumlah observasi. Fenomena seperti inilah yang mungkin bisa disebut keteraturan
secara statistik (5).
7
.
Gambar II. 2 Histogram tinggi gelombang (5).
Dengan penjelasan di atas, teori probabilitas dipergunakan dalam analisis struktur.
Analisis ini merupakan suatu seni dalam memformulasikan model matematis
suatu sistem yang akan memberikan informasi tentang peluang perilaku sistem
tersebut berkaitan dengan fenomena acak parameter pembentuknya. Sebagai
contoh adalah analisis probabilitas pada model matematis struktur yang akan
memberikan jawaban tentang perilaku struktur berkaitan dengan fenomena acak
dari variabel material, geometri, beban, dan lain-lain.
II.1.2 Teori Probabilitas Statistik
Untuk menyelesaikan masalah fenomena acak, maka digunakan analisis
probabilitas yang menggunakan distribusi probabilitas dan statistik dalam
penyelesaiannya. Distribusi probabilitas digunakan untuk menyajikan kondisi
alam ke dalam bentuk visual, yaitu bentuk diagram frekuensi (histogram)
Sedangkan statistik disajikan dalam bentuk besaran berupa angka, diantaranya
jumlah data, nilai rata-rata (mean), nilai tengah (median), nilai dominan (modus),
nilai simpangan baku (standar deviasi) dan sebagainya, yang dapat mewakili
seluruh data yang teramati. Dengan kata lain statistik adalah kuantifikasi secara
matematik dari sebuah ketidakpastian (uncertainty). Hal tersebut diukur dengan
mean, standar deviasi, variansi, dan sebagainya. Sedangkan probabilistik adalah
metode matematis yang menggunakan informasi dari statistik untuk menghitung
peluang kejadian tertentu.
8
Berdasarkan teori probabilitas, sehimpunan peristiwa data didefinisikan menjadi
tiga bagian, yaitu:
1. Titik sampel (sampel point), yaitu elemen data, dinotasikan dengan x .
2. Ruang sampel (sample space), yaitu seluruh titik sampel, dinotasikan S .
3. Kejadian (event), yaitu kumpulan satu atau lebih titik sampel yang membentuk
subset/sub-himpunan, dinotasikan dengan X .
Untuk menjelaskan hal tersebut dapat dilihat pada gambar diagram Venn dengan
harga x1 < x2 < x3 < x4 < x5 .
Ruang Sampel
S
X
X1
•x 1
•x 5
X3
Titik
•x 3
Event
X2
•x 4
•x 2
Gambar II. 3 Diagram Venn untuk tinggi gelombang individu.
•
x merupakan elemen pembentuk ruang sampel S
x∈S
•
X merupakan sub himpunan/subset dari S
X ⊂S
•
x pembentuk event X
x∈ X
Pada Gambar II.3, event dinyatakan sebagai berikut:
•
X 1 adalah peristiwa pada saat X = x1
9
Sampel
•
X 2 adalah peristiwa pada saat X = x 2
•
X 3 adalah peristiwa pada saat X = {x3 , x 4 , x5 } atau X = {x3 ≤ X ≤ x5 }
Berdasarkan definisi di atas, X disebut variabel acak yang menyatakan kejadian
tinggi gelombang yang terjadi di suatu ruang sampel dan x adalah harga variabel
tersebut.
Untuk menggambarkan hubungan antara kejadian dalam suatu ruang sampel akan
lebih mudah difahami dengan menggunakan diagram Venn. Dalam diagram
Venn, ruang sampel digambarkan dalam bentuk segi empat sedangkan kejadian
digambarkan dengan lingkaran.
X2 ∩ X3
X2 ∩ X3
S
S
X3
X2
X3
X2
(a)
(b)
S
S
X 3C
X2
X3
(c)
(d)
Gambar II. 4 Diagram venn untuk (a) perpotongan, (b) gabungan, (c) kejadian
mutually exclusive, dan (d) komplemen dari suatu kejadian.
Probabilitas kejadian suatu variabel event X
diskrit didefinisikan sebagai
perbandingan jumlah kejadian x yang terjadi dalam event tersebut ( n ) terhadap
jumlah seluruh kejadian ( N ) , secara matematis dinyatakan sebagai:
10
P(X ) = n N
(II. 1.)
dimana:
P ( X ) = probabilitas event X
n
= jumlah kejadian
N
= jumlah total kejadian
II.1.3 Fungsi Massa Probabilitas
Fungsi massa probabilitas (probability mass function, PMF), dinotasikan dengan
p ( x ) , adalah fungsi yang menyatakan probabilitas pada harga variabel acak X
tertentu ( X = x ) .
p ( x ) = P ( X = x ) , untuk semua x
(II. 2)
II.1.4 Fungsi Distribusi Kumulatif
Fungsi distribusi kumulatif (cumulative distribution function, CDF) adalah fungsi
yang menyatakan probabilitas dalam selang kejadian ( −∞, x ) .
F ( x) = P ( X < x)
(II. 3)
dimana :
P ( X ≤ x ) = probabilitas dengan variabel acak lebih kecil atau sama dengan x
P ( X ≤ x) =
∑
semua xi ≤ x
p ( xi )
(II. 4)
sehingga,
F(X ) =
∑
semua xi ≤ x
p ( xi )
(II. 5)
Probabilitas untuk selang ( x, x + dx )
P ( x ≤ x ≤ x + dx ) =
∑
semua xi ≤ x + dx
p ( xi ) −
∑
semua xi ≤ x
11
p ( xi )
= F ( x + dx ) − F ( x )
(II. 6)
F ( x + dx )
F ( x)
x
x + dx
Gambar II. 5 Fungsi distribusi kumulatif (CDF).
II.1.5 Fungsi Kerapatan Probabilitas
Pada variabel acak kontinyu, harga X tertentu ( X = x ) tidak memiliki nilai massa
probabilitas atau nilai massa probabilitasnya sama dengan 0 (nol), ρ ( X = x ) = 0 ,
dengan dx ≈ 0 , mengakibatkan P ( X < x ) tidak akan berbeda dengan P ( X ≤ x )
(5). Maka alternatif untuk mendefinisikan probabilitas pada harga variabel acak
tertentu dapat dinyatakan dalam bentuk fungsi kerapatan probabilitas (probability
density function) yang dinotasikan dengan
f ( x ) , yang mendefinisikan
probabilitas dalam selang kejadian ( x, x + dx ) atau ( x ≤ X ≤ x + dx ) .
Secara matematis dapat dituliskan :
f ( x) =
F ( x + dx) − F ( x) dF ( x)
=
dx
dx
(II. 7)
Dari persamaan tersebut fungsi kerapatan probabilitas adalah turunan pertama dari
fungsi distribusi kumulatif atau fungsi distribusi kumulatif adalah integral dari
fungsi kerapatan probabilitas dalam selang ( −∞, x )
12
x
F ( x) =
∫ f ( x)dx
(II. 8)
−~
f ( x ) bukan merupakan probabilitas, tetapi f ( x ) dx = P ( x ≤ X ≤ x + dx ) adalah
probabilitas X dalam selang ( x, x + dx ) , yang secara matematis ditulis sebagai:
x + dx
P( x ≤ X ≤ x + dx) =
∫
x
f ( x)dx −
−~
∫ f ( x)dx = F ( x + dx) − F ( x)
(II. 9)
−~
Harga variabel acak dan PDF yang terbentuk dapat disajikan dalam bentuk visual
koordinat kartesian seperti ditunjukkan dalam Gambar II.6, dimana sumbu x
adalah harga variabel acak dan sumbu y adalah nilai PDF. P( x ≤ X ≤ x + dx)
adalah luas yang terbentuk di bawah kurva diselang ( x, x + dx ) .
f ( x)
P ( x ≤ X ≤ x + dx ) = ∫
x + dx
x
f ( x ) dx
x + dx
x
Gambar II. 6 Nilai probabilitas pada PDF.
II.1.6 Parameter Statistik
Parameter statistik adalah suatu besaran yang dimaksudkan untuk mewakili
seluruh kejadian variabel acak yang terjadi. Besaran-besaran yang umumnya
digunakan diantaranya nilai rata-rata, modus, median, varian, standar deviasi, dan
koefisien variasi.
13
II.1.6.1 Nilai Harapan (Nilai Ekspektasi)
Jika suatu variabel acak X dengan PMF p ( x ) , maka nilai harapan dinyatakan
dengan E [ X ] . Untuk variabel acak diskrit, nilai E [ X ] dinyatakan sebagai:
E[X ] =
∑
xi p ( xi )
(II. 10)
semua xi
Dan untuk variabel acak kontinyu X dengan PDF f (x ) . Maka nilai harapan dari
sebuah fungsi u ( X ) didefinisikan sebagai berikut:
E ⎡⎣u ( X ) ⎤⎦ = ∫ u ( x ) f ( x ) dx
(II. 11)
S
Selanjutnya nilai harapan suatu fungsi u ( X ) = X k , disebut sebagai momen ke- k
dari variabel acak X . Pada kasus khusus dimana nilai dari k = 1 maka E [ X ]
disebut sebagai mean atau nilai rata-rata dari variabel acak X dan biasanya diberi
notasi dengan huruf μ atau E [ X ] .
Nilai harapan dari suatu fungsi u ( X ) = ( X − μ ) , dimana μ adalah nilai ratak
rata, maka hal itu disebut momen sentral ke- k dari variabel acak X . Secara
khusus untuk k sama dengan dua, E ( X − μ ) disebut dengan sebagai varians
2
dari variabel acak X dan biasanya diberi notasi σ 2 atau Var [ X ] . Adapun
hubungan antara momen ke- k ( mk ) dan momen sentral ke- k ( μ k ) dari variabel
acak X adalah sebagai berikut:
Momen
m1 = E [ X ] = rata − rata = μ
m2 = E ⎡⎣ X 2 ⎤⎦ = μ2 + μ 2
m3 = E ⎡⎣ X 3 ⎤⎦ = μ3 + 3μμ2 + μ 3
(II. 12)
14
Momen sentral
μ1 = E ⎡⎣( X − μ ) ⎤⎦ = 0
2
μ2 = E ⎡( X − μ ) ⎤ = varian = m2 − m12
⎣
⎦
3
μ3 = E ⎡( X − μ ) ⎤ = m3 − 3m1 m2 + 2m13
⎣
(II. 13)
⎦
II.1.6.2 Nilai Sentral
Mean
Mean (nilai rata-rata) untuk variabel acak kontinu X yang memiliki PDF f ( x ) ,
mean atau nilai rata–rata secara matematis didefinisikan sebagai momen pertama
PDF variabel acak X .
μ=
∞
∫ xf (x )dx
(II. 14)
−∞
Median
Median (nilai tengah) adalah nilai tengah variabel acak X dengan luas di atas dan
di bawah PDF mempunyai kemungkinan yang sama. Jika X m adalah median dari
X , maka
P ( X ≤ xm ) = F ( xm ) =
xm
∫ f ( x)
dx = 0.5
(II. 15)
−∞
Modus
Modus (nilai dominan) adalah nilai variabel yang paling sering muncul atau yang
nilai variabel acak yang mempunyai nilai probabilitas terbesar atau kerapatan
probabilitas yang tinggi.
15
II.1.6.3 Nilai Sebaran – Standar Deviasi
Standar deviasi dan varians menentukan seberapa besar sebaran atau simpangan
nilai variabel acak terhadap nilai mean-nya. Semakin besar nilai varian, akan
menyebabkan fungsi kerapatan probabilitasnya semakin tersebar, begitu pula
sebaliknya.
Secara matematis varians dari peubah acak X tidak lain adalah momen ke-2 dari
variabel acak X terhadap nilai mean, yang dinyatakan sebagai berikut:
[
σ 2 = var[x ] = E (x − μ )2
σ 2 = var[x ] =
∞
]
∫ (x − μ ) f (x )dx
2
(II. 16)
−∞
II.1.7 Model Distribusi Variabel Acak
II.1.7.1 Analisa Harga Ekstrim
Dalam bidang rekayasa, analisis harga ekstrim dilakukan berkaitan dengan
kejadian nilai maksimum dan minimum dari suatu variabel acak. Dalam analisis
harga ekstrim diperkenalkan suatu konsep perioda ulang, yaitu jangka waktu
hipotetik dimana secara statistik berdasarkan data di masa lalu, suatu kejadian
dengan suatu besaran angka tertentu akan disamai atau dilampaui sekali dalam
jangka waktu tersebut.
Hubungan antara periode ulang dan probabilitas terlampaui dapat dinyatakan oleh
persamaan berikut:
p = Pr ( X ≥ X T ) =
1
Tr
(II. 17)
dimana:
p
= probalilitas terlampaui
X
= besaran yang ditinjau
XT
= harga X dengan periode ulang Tr
16
Pr(X > XT)
= probabilitas harga XT dilampaui
Tr
= periode ulang (tahun)
Dalam bentuk lain:
Jika
P(X > XT)
= 1 – P(X < XT)
(II. 18)
= 1 – F(XT)
maka
F(XT) =
Tr − 1
Tr
(II. 19)
dimana F(XT) adalah probabilitas kumulatif.
Fungsi distribusi yang biasa digunakan dalam analisis harga ekstrim adalah:
1. Distribusi Normal
2. Distribusi Log Normal
3. Distribusi Log Pearson type III
4. Distribusi Gumbel
II.1.7.2 Distribusi Normal
Suatu variabel acak X dengan nilai rata-rata μ dan varians σ 2 dikatakan
berdistribusi normal jika fungsi kerapatan probabilitasnya berbentuk persamaan
berikut:
f (x ) =
1
σ 2π
e −( x − μ )
2
/ 2σ 2
−∞ < x < ∞
(II. 20)
Distribusi normal biasa/standar disebut juga distribusi gaussian yang diberi notasi
(
)
N μ , σ 2 . Distribusi normal dengan nilai μ = 0 dan σ 2 = 1 disebut dengan
istilah distribusi normal standar yang diberi notasi N (0, 1) . Apabila variabel Z
adalah variabel acak yang mengikuti distribusi normal standar maka fungsi
kerapatan probabilitasnya berbentuk,
17
f (z ) =
1
σ 2π
e−z
2
/ 2σ 2
−∞ < z < ∞
(II. 21)
f ( z ) dapat diperoleh dari fungsi kerapatan
Fungsi kerapatan probabilitas
probabilitas f (x ) dengan melakukan transformasi variabel acak sebagai berikut,
Z=
X −μ
(II. 22)
σ
0.4
f(x )
0.3
0.2
0.1
0
-4
-2
0
2
4
x
Gambar II. 7 PDF normal standar (5)
II.1.7.3 Distribusi Log Normal
Suatu variabel acak X dikatakan memiliki distribusi log normal apabila fungsi
kerapatan probabilitasnya berbentuk persamaan berikut:
f (x ) =
⎡ (ln x − μ ) ⎤
exp ⎢−
−∞ < x < ∞
2σ 2 ⎥⎦
σ 2π x
⎣
1
(II. 23)
Pada distribusi log normal, parameter μ dan σ 2 bukan merupakan nilai rata-rata
dan varians dari variabel acak
X
, tetapi nilai logaritma dari variabel acak
X
yang mengikuti distribusi normal. Sehingga apabila y = ln x maka μ dan
σ 2 adalah rata-rata dan varians dari variabel acak y = ln x
18
⎧
σ2⎫
E [x ] = exp⎨μ +
⎬
2 ⎭
⎩
{
}( { } )
Var[x ] = exp 2μ + σ 2 . exp σ 2 − 1
atau
σ
2
ln X i
⎛ σ X2 i
= ln ⎜1 + 2
⎜ μX
i
⎝
⎞
⎟
⎟
⎠
1
2
(II. 24)
μln X = ln ( μ X ) − σ ln2 X
i
I
(II. 25)
i
Gambar berikut menunjukkan PDF distribusi log normal
Gambar II. 8 PDF log normal (5).
II.1.7.4 Distribusi Rayleigh
Distribusi Rayleigh sering disebut juga distribusi selisih atau distribusi selisih
puncak – lembah.
Bentuk PDF dan CDF Rayleigh:
f (x ) =
2 x − x2 / R
e
,
R
0≤ x<∞
(II. 26)
19
E [x ] =
π
2
(II. 27)
R
⎛ π⎞
Var[x ] = ⎜1 − ⎟ R
4⎠
⎝
(II. 28)
Dimana R adalah parameter distribusi, yang secara matematis dinyatakan sebagai:
1
R=
N
N
∑X
i =1
2
i
(II. 29)
(xrms)2 , xrms disebut juga x root mean square atau x akar rata-rata kuadrat.
Penerapannya dalam analisis tinggi gelombang individu, distribusi Rayleigh
digunakan untuk menentukan rata-rata variabel tinggi gelombang terbesar (x1/n)
dengan persentase kejadian 1/n x 100%.
f (x)
1
0.5
0
0
1
2
3
4
x
Gambar II. 9 PDF Rayleigh (5).
II.1.7.5 Distribusi Gumbel
Suatu variabel acak X dikatakan memiliki distribusi Gumbel apabila fungsi
distribusi kumulatif (CDF) berbentuk persamaan berikut ini.
F ( x ) = exp ⎡⎣ − exp ( − y ) ⎤⎦
(II. 30)
20
dimana:
y=
α=
x−μ
(II. 31)
α
6
S
(II. 32)
μ = x − 0.5772α
(II. 33)
π
Untuk x = xT adalah
⎡ ⎛ 1 ⎞⎤
yT = − ln ⎢ln ⎜
⎟⎟ ⎥
⎜
⎢⎣ ⎝ F ( X T ) ⎠ ⎥⎦
(II. 34)
Persamaan (II.19) disubstitusikan ke persamaan (II.34) menjadi
⎡ ⎛ Tr ⎞ ⎤
yT = − ln ⎢ln ⎜
⎟⎥
⎣ ⎝ Tr − 1 ⎠ ⎦
(II. 35)
Menurut Gumbel persamaan peramalan dinyatakan sebagai:
xT = x + KT S
xT = x +
(II. 36)
yT − y N
S
SN
(II. 37)
dimana:
⎡ ⎛ Tr ⎞ ⎤ ⎫
6⎧
⎨0.5772 + ln ⎢ln ⎜
⎟⎥ ⎬
π ⎩
⎣ ⎝ Tr − 1 ⎠ ⎦ ⎭
KT
= −
yT
⎡ ⎛ Tr ⎞ ⎤
= reduced variate = − ln ⎢ ln ⎜
⎟⎥
⎣ ⎝ Tr − 1 ⎠ ⎦
yN
= reduced mean
SN
= reduced standar deviasi
(II. 38)
II.1.7.6 Distribusi Log Pearson Tipe III
Fungsi kerapatan probabilitas Log-Pearson tipe III adalah
c
⎛ x ⎞ − cx
f ( x ) = p0 ⎜1 − ⎟ e 2
⎝ a⎠
(II. 39)
21
dimana
c=
4
β1
−1, a =
c μ3C
μ2
, β = 33
2μ2C
μ2
μ2 adalah varian, μ2 adalah momen ketiga = σ6G, Γ(x) adalah fungsi gamma.
Cara sederhana menentukan harga variabel dengan periode ulang tertentu adalah
dengan meninjau tiga buah paramater statistik, yaitu:
1. Rata-rata logaritma
2. Standar deviasi logaritma
3. Koefisien asimetri
Dimana setiap rangkaian data dikonversi menjadi bentuk logaritma.
y = log x
(II. 40)
Rata-rata logaritma
Standar deviasi logaritma
Koefisien asimetri
= log x =
= Slog x =
= Cs =
∑ log x
(II. 41)
i
N
( log x − log x )
2
i
(II. 42)
N −1
(
N log xi − log x
)
3
( N − 1)( N − 2 ) ( Slog x )
3
(II. 43)
Persamaan peramalan menurut distribusi Log-Pearson type III adalah:
log xT = log x + KT Slog x
(II. 44)
atau
(II. 45)
yT
= y + KT Sy
22
II.1.8 Fungsi Variabel Acak
II.1.8.1 Fungsi Variabel Acak Terdistribusi Normal
Suatu
fungsi
linier
Y
yang
merupakan
penjumlahan
variabel
acak
X 1 , X 2 ,......, X n dapat diilustrasikan dengan persamaan berikut:
n
Y = a0 + a1 X 1 + a2 X 2 + ..... + an X n = a0 + ∑ ai X i
(II. 46)
i =1
dimana ai (i = 0, 1, 2 ,.......,n) adalah konstanta. Dengan menggunakan pengertian
nilai ekspektasi suatu fungsi dan varian, maka dapat ditentukan nilai rata-rata dari
fungsi Y tersebut yaitu
n
μY = a0 + a1μ X + a2 μ X 2 + ..... + an μ X = a0 + ∑ ai μ Xi
1
n
(II. 47)
i =1
Demikian juga dengan varian dari fungsi Y
n
σ Y2 = ∑ ai2σ X2
i =1
(II. 48)
i
Sebagai tambahan bahwa kontanta a0 tidak berpengaruh terhadap varian tetapi
berpengaruh pada nilai rata-rata fungsi Y (6).
Nilai rata-rata dan varian fungsi Y di atas ditentukan oleh jenis distribusi variabelvariabel acak penyusunnya. Jika variabel acak X 1 , X 2 ,......, X n terdistribusi
normal dan semua tidak berkorelasi maka nilai μY
dan σ Y
ditentukan
berdasarkan persamaan 2.47 dan 2.48. Bila semua variabel fungsi linier Y di atas
berdistribusi normal dan tidak berkorelasi, maka Y dapat dikatakan sebagai
variabel acak normal dengan parameter distribusi μY dan σ Y .
II.1.8.2 Fungsi Variabel Acak Terdistribusi Lognormal
Pada penjelasan sebelumnya diperlihatkan fungsi linier yang dibentuk oleh
penjumlahan variabel-variabel acak yang terdistribusi normal. Suatu kasus lain
dapat ditemukan yaitu fungsi Y yang dibentuk oleh perkalian variabel acak
23
X 1 , X 2 , dan X 3 yang terdistribusi lognormal sebagaimana yang ditunjukkan
dalam persamaan berikut:
Y =K
X1 X 2
X3
(II. 49)
dimana K adalah konstanta, maka bila diambil nilai logaritma naturalnya fungsi Y
tersebut akan diperoleh persamaan berikut
ln Y = ln K + ln X 1 + ln X 2 + ln X 3
= (konstanta) + ∑ ( ±1)( variabel acak normal )
(II. 50)
Persamaan II.50 identik dengan persamaan II.46. Karena itu persamaan ini
memperlihatkan penjumlahan variabel acak normal ln X i . Generalisasi persamaan
II.50 diperlihatkan pada persamaan berikut:
n
ln Y = ln K + ln X 1 + ln X 2 + ..... + ln X n = ln K + ∑ ln X i
(II. 51)
i =1
Karena itu nilai rata-rata dan varian fungsi Y dalam kasus ini dapat ditentukan
sebagai berikut
n
μln Y = ln K + ∑ ( ± 1disesuaikan ) μln Xi
(II. 52)
i =1
n
σ ln2 Y = ∑ σ ln2 X
i =1
(II. 53)
i
Dengan σ ln2 X i dan μln X i sebagaimana telah ditunjukkan pada persamaan berikut
σ
2
ln X i
⎛ σ X2 i
= ln ⎜1 + 2
⎜ μX
i
⎝
⎞
⎟
⎟
⎠
1
2
μln X = ln ( μ X ) − σ ln2 X
i
I
(II. 54)
(II. 55)
i
24
II.2
Reliabilitas Struktur
II.2.1 Umum
Suatu struktur harus memiliki ketahanan berupa kekuatan yang cukup sehingga
dapat berfungsi selama umur layannya. Desain struktur harus menyediakan
cadangan kekuatan di atas batas yang diperlukan untuk menanggung beban layan.
Atau dengan kata lain struktur harus memiliki sediaan terhadap kemungkinan
kelebihan beban yang diakibatkan oleh berbagai faktor, di antaranya adanya
perubahan fungsi struktur dan terlalu rendahnya taksiran beban. Di samping itu
harus ada sediaan terhadap kemungkinan kekuatan material yang lebih rendah (7).
Dalam lingkungan desain teknik klasik, untuk menentukan ketahanan sebuah
sistem terhadap lingkungan, misalnya ketahanan mekanik sebuah struktur
terhadap beban yang dikenakannya digunakan pendekatan deterministik. Jika
sebuah struktur memiliki resistance tertentu, R (misalnya: kuat luluh), dan agar
struktur tersebut mampu bertahan, maka beban dari luar, S, harus di bawah kuat
luluh atau S < R. Dalam desain faktor keamanan (SF) biasanya diterapkan.
SF =
RN
SN
(II. 56)
Namun demikian, sesungguhnya secara alamiah banyak faktor ketidakpastian
dalam desain struktur tersebut di antaranya seperti ketidakpastian fisik,
ketidakpastian dalam pengukuran, ketidakpastian statistik, dan ketidakpastian
model. Parameter ketidakpastian dikenal juga sebagai variabel acak. Parameter
yang akan diperhitungkan sebagai variabel acak yang pada awalnya dianggap
sebagai kasus deterministik disebut dengan istilah variabel dasar.
Sebagai ilustrasi lebih jauh, dalam pengukuran sifat mekanik material (resistance)
maupun perhitungan dan pengukuran beban dan tegangan pada struktur,
khususnya yang melibatkan material dan struktur yang kompleks (paduan, heat
treatment, pengelasan, degradasi material akibat lingkungan, geometri dsb). Nilai
ketidakpastian atau sebaran tersebut dinyatakan dengan mean μs dan μR serta
25
standar deviasi σS dan σR seperti diperlihatkan pada kurva PDF, fS(s) dan fR(r)
berikut ini:
Gambar II. 10 Fungsi kerapatan probabilitas terhadap tahanan dan beban (8).
Kriteria desain konvensional (deterministik) adalah μS < μR. Namun dari
Gambar II.10 terlihat bahwa ada daerah tertentu (diarsir) yang menunjukkan
adanya peluang kegagalan karena pada daerah tersebut SN > RN. Kondisi inilah
yang mendasari digunakannnya konsep baru yaitu teori probabilitik dan
reliabilitas.
II.2.2 Limit State
Istilah ”Kegagalan/Failure” memiliki definisi yang berbeda bagi setiap orang.
Bila dikaitkan dengan struktur anjungan lepas pantai, kegagalan dapat
didefinisikan bila struktur tersebut tidak dapat menunjukkan fungsi yang
diharapkan. Namun demikian, definisi ini memberikan pengertian yang belum
jelas karena tidak mendiskripsikan secara spesifik fungsi struktur yang dimaksud.
Sebagai ilustrasi lebih jauh, perhatikan sebuah balok baja tumpuan sederhana
sebagaimana yang ditunjukkan dalam Gambar II.11. Balok tersebut dapat
26
dinyatakan fail bila defleksi maksimum yang terjadi melebihi defleksi kritisnya.
Namun, balok baru dianggap gagal bila terbentuk sendi plastik (Gambar II.12),
hilangnya seluruh stabilitasnya, atau terjadinya local buckling akibat gaya tekan
flange atau web balok tersebut. Hal ini menunjukkan istilah ”kegagalan” memiliki
pengertian yang berbeda.
Gambar II. 11 Balok tumpuan sederhana.
Gambar II. 12 Terbentuknya sendi plastik pada balok tumpuan sederhana.
Konsep ”limit state” atau keadaan batas dapat digunakan dalam mendefinsikan
pengertian kegagalan dalam konteks analisis reliabilitas struktur. Suatu limit state
menunjukkan keadaan batas performansi struktur antara yang diharapkan dan
yang tidak diharapkan. Batas ini dapat ditunjukkan dalam suatu model matematik
dengan persamaan keadaan batas (limit state function) atau fungsi performansi
(performance function) (6).
Dalam analisis reliabilitas struktur terdapat beberapa kategori limit state (3) yaitu
1. Ultimate Limit States (ULS). Kondisi ULS dapat terjadi pada kelebihan
momen, terbentuknya sendi palstik, hancurnya beton akibat tekanan,
kegagalan geser pada web balok baja, buckling, dsb. Contoh ULS pada
struktur anjungan lepas pantai tipe jacket adalah kapasitas member terhadap
yielding dan buckling.
2. Serviceability Limit State (SLS). Limit state ini berhubungan dengan
kelemahan struktur yang terjadi secara bertahap (gradual deterioration),
kenyamanan pengguna terhadap struktur, atau biaya pemeliharaan. Jadi ULS
27
berhubungan langsung atau tidak langsung dengan integritas struktur.
Termasuk juga dalam SLS adalah defleksi berlebih, vibrasi yang berlebih, dan
deformasi permanen.
3. Progressive Collapse Limit State (PLS). PLS berhubungan dengan runtuhnya
struktur akibat pengaruh abnormal.
4. Fatigue Limit State (FLS), berhubungan dengan berkurangnya kekuatan
struktur akibat beban yang berulang sehingga berdampak pada akumulasi
kerusakan dan pada akhirnya kegagalan struktur.
II.2.3 Fungsi Performansi/Fungsi Kondisi Batas
Pandangan klasik terhadap “safety margin” dikaitkan dengan ultimate limit states.
Contoh sederhana adalah kegagalan pada balok. Balok dikatakan failure bila
momen yang diakibatkan beban melebihi kapasitas momennya. Ilustrasi lebih
umum, misal R, yang merepresentasikan resistance/tahanan (kapasitas) dan Q
adalah efek beban. Atau sering digunakan R yang dianggap sebagai capacity dan
Q sebagai demand. Suatu fungsi performansi (performance function) atau fungsi
kondisi batas (limit state function) didefinisikan
g ( R, Q ) = R − S
(II. 57)
Limit state atau keadaan batas terkait dengan kondisi batas antara performansi
yang diharapkan dan tidak diharapkan. Struktur dianggap aman/safe (desired
performance) jika g ≥ 0 dan dianggap tidak aman jika g < 0 (undesired
performance). Probabilitas kegagalan (Probability of failure), Pf , merupakan
probabilitas bahwa performansi yang tidak diharapkan akan terjadi. Hal ini dapat
diekspresikan secara matematis dengan fungsi performansi berikut:
Pf = P ( R − Q < 0 ) = P ( g < 0 )
(II. 58)
28
Jika R dan Q merupakan variabel acak kontinu, maka masing-masing memiliki
probability density function (PDF) sebagaimana ditunjukkan pada Gambar II.13
Demikian juga dengan R – Q yang dianggap variabel acak juga, sehingga
memiliki PDF tersendiri sebagaimana diperlihatkan pada Gambar II.13.
Probabilitas kegagalan diilustrasikan dalam daerah yang diarsir.
Gambar II. 13 PDF variabel beban dan kapasitas.
Kondisi
struktur
dapat
dideskripsikan
dengan
menggunakan
parameter
X 1 , X 2 ,......, X n yang merupakan parameter beban dan tahanan seperti beban
mati, beban hidup, panjang, kedalaman, kekuatan tekan, kekuatan luluh, dan
momen inersia. Suatu fungsi performansi merupakan fungsi g ( X 1 , X 2 ,....., X n )
yang menunjukkan
g ( X 1 , X 2 ,....., X n ) > 0
untuk struktur yang diangap aman
g ( X 1 , X 2 ,....., X n ) = 0
dianggap kondisi batas antara aman dan tidak aman
g ( X 1 , X 2 ,....., X n ) < 0
dianggap gagal
Setiap fungsi performansi diasosiasikan dengan limit state yang khusus.
Perbedaan limit state memungkin perbedaan dalam fungsi performansi.
Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, struktur dianggap gagal pada kondisi beban
melebihi kapasitasnya. Tinjau suatu kasus, jika R memiliki nilai spesifik, ri,
probabilitas kegagalan sama dengan probabilitas pada kondisi beban melebihi
29
kapasitasnya, atau P ( Q > ri ) . Karena R merupakan variabel acak, maka terdapat
probabilitas yang dihubungkan dengan setiap nilai ri. Oleh karena itu, probabilitas
kegagalan tersusun oleh kombinasi semua kemungkinan dari R = ri dan Q > ri .
Penjelasan kasus tersebut dapat diilustrasikan dalam persamaan berikut:
Pf = ∑ P ( R = ri ∩ Q > ri ) = ∑ P ( Q > R R = ri ) P ( R = ri )
(II. 59)
Bila kasus di atas merupakan kasus kontinu, persamaan dapat diekspresikan
dalam bentuk integral. Probabilitas P ( Q > R R = ri ) dimodifikasi menjadi
1 − P ( Q ≤ R R = ri ) = 1 − FQ ( ri )
dan pada nilai limit tertentu probabilitas
P ( R = ri ) ≈ f R ( ri ) dri . Sehingga persamaan II.59 menjadi
+∞
Pf =
∫
−∞
⎡⎣1 − FQ ( ri ) ⎤⎦ f R ( ri ) dri = 1 −
+∞
∫ F ( r ) f ( r ) dr
Q
i
R
i
i
(II. 60)
−∞
Suatu kasus lain, jika beban Q memiliki nilai spesifik, qi , dan probabilitas
kegagalan diartikan probabilitas kapasitas lebih rendah dibanding dengan beban,
atau P ( Q < qi ) . Karena Q merupakan variabel acak, maka terdapat probabilitas
yang dihubungkan dengan setiap nilai Qi . Oleh karena itu probabilitas kegagalan
merupakan gabungan semua kombinasi dari Q = qi dan R < qi dapat ditulis
sebagai
Pf = ∑ P ( Q = qi ∩ R < qi ) = ∑ P ( R < Q R = qi ) P ( Q = qi )
(II. 61)
Dengan mengikuti cara yang sama sebagaimana dijelaskan sebelumnya maka
persamaan ini dapat ditulis dalam bentuk integral berikut:
+∞
Pf =
∫ F ( q ) f ( q ) dq
R
i
Q
i
(II. 62)
i
−∞
30
Namun persamaan II.60 dan II.62 sulit untuk dipecahkan. Diperlukan penyelesain
integral dengan teknik numerik. Oleh karena itu untuk keperluan praktis,
probabilitas kegagalan dihitung dengan cara lain. Fakta tersebut yang akhirnya
mendorong berkembangnya metode penentuan probabilitas kegagalan seperti
metode FOSM (First Order Second Moment) sebagaimana yang akan diuraikan
pada bagian selanjutnya.
Secara umum, analisis probabilitas kegagalan diawali dengan mendefinisikan
state variable. State variable ini merupakan parameter dasar dari beban dan
tahanan yang digunakan dalam membuat formulasi fungsi performansi. Untuk n
state variable, maka fungsi performansi merupakan fungsi n parameter. Jika
beban Q dan tahanan R, serta ruang dari state variabel merupakan ruang dua
dimensi sebagaimana ditunjukkan pada Gambar II.14, maka limit state
function g ( R, Q ) = 0 membagi ruang dua dimensi tersebut dalam dua domain
yiatu safe domain dan failure domain.
Gambar II. 14 Safe domain dan failure domain dalam 2 dimensi (6).
Karena R dan Q umumnya merupakan variabel acak, maka perlu mendefiniskan
joint density function
f RQ ( r , q ) . Bentuk umum joint density function ini
diperlihatkan dalam Gambar II.15. Limit state function membagi dalam dua
domain, safe dan failure domain. Probabilitas kegagalan dapat ditentukan dengan
31
integrasi joint density function di failure domain, yaitu daerah g ( R, Q ) < 0 .
Namun penyelesaian integrasi tersebut umumnya tidak mudah. Karena itu
diperkenalkan konsep indeks kehandalan yang digunakan untuk mengkuantifikasi
reliabilitas struktur.
Gambar II. 15 Safe domain dan failure domain dalam 3 dimensi (6).
II.2.4 Metode Reliabilitas Struktur Level II
Secara garis besar metode reliabilitas struktur dapat dibagi menjadi 3 level, yaitu:
1. Level 1 – Metode perencanaan yang memberikan tingkat reliabilitas tertentu
pada level elemen struktur melalui penggunaan faktor keamanan parsial
terhadap variabel-variabel dasar yang telah didefinisikan karakteristik
nilainya.
2. Level 2 – Dikenal sebagai second moment, First Order Reliability Method
(FORM). Metode ini dalam analisisnya hanya memerlukan parameter statistik
berupa mean value dan variance dan variabel-variabelnya berdistribusi
normal. Ukuran kehandalan dinyatakan dalam besaran indeks kehandalan
( β ). Pada metode Advanced level 2, evaluasi dapat dilakukan untuk berbagai
tipe distribusi dari variabel-variabel acak.
3. Level 3 – Penggunaan multi-dimensional joint probability distribution.
Evaluasi dilakukan dengan integrasi numerik dan teknik simulasi.
32
Pada penelitian ini akan digunakan metode reliabilitas Level 2. Metode ini relatif
cukup sesuai untuk keperluan perencanaan, termasuk di dalamnya mengkalibrasi
peraturan perencanaan dalam kerangka dasar analisis reliabilitas (4).
Pada metode ini, variabel acak dikarakteristikkan oleh moment pertama dan kedua
dari fungsi distribusinya. Metode ini menggunakan aproksimasi orde pertama
dalam mengevaluasi moment pertama dan kedua dari fungsi kegagalan (misal
rata-rata dan varian dari M, dimana M adalah fungsi non-linier dari variabel acak).
Pada kasus fungsi kegagalan non linier, linierisasi fungsi kegagalan dilakukan
dengan ekspansi deret Taylor.
II.2.5 Indeks Kehandalan ( β )
Ilustrasi konsep angka kehandalan ( β ) dilihat pada Gambar II.16 yang
menunjukan fungsi kerapatan dari M untuk permasalahan dua variabel dasar R
dan Q atau di beberapa referensi menggunakan simbol S.
Gambar II. 16 Konsep indeks kehandalan (4).
Fungsi kegagalan didefinisikan sebagai:
M = g ( R, S ) = R − S
(II. 63)
33
Probabilitas kegagalan didefinisikan sebagai:
p f = P(R < S)
(II. 64)
Definisi indeks kehandalan, β , sebagai
β=
μM
σM
(II. 65)
dimana:
μ M = nilai rata-rata M (safety margin)
σ M = standard deviasi M (safety margin)
Indeks kehandalan dapat diinterpretasikan sebagai jarak dari titik origin (M=0)
terhadap nilai rata-rata, μ M dengan menggunakan satuan deviasi standar.
II.3
Fatigue
II.3.1 Umum
Sejak tahun 1830 telah diketahui bahwa baja yang mengalami tegangan berulang
akan rusak pada tegangan yang jauh lebih rendah dibanding tegangan yang
diperlukan untuk menimbulkan perpatatahan pada penerapan beban tunggal.
Fenomena ini disebut dengan fatigue (kelelahan). Umumnya kerusakan akibat
fatigue terjadi setelah periode penggunaan yang cukup lama (9).
Proses fatigue yang dialami oleh anjungan lepas pantai adalah fatigue dengan
siklus yang tinggi dimana level tegangan nominal yang berfluktuasi di bawah
tegangan leleh dan jumlah siklus yang mengakibatkan kegagalan lebih besar dari
104. Kerusakan fatigue pada struktur seringkali terjadi pada daerah sambungan las
yang diakibatkan adanya konsentrasi tegangan pada daerah diskontinu.
Kerusakan tersebut diindikasikan dengan adanya mekanisme pertumbuhan retak
yang terjadi pada lokasi sambungan yang umumnya terdapat cacat hasil proses
34
pengelasan. Pertumbuhan ini tergantung pada level tegangan yang terjadi dan
dapat dikategorikan sebagai berikut:
1. Low-stress, high-cycle fatigue
2. High-stress, low-cycle fatigue
Kegagalan fatigue yang terjadi akibat jumlah siklus tegangan 104 sampai dengan
105 dapat dikategorikan low-cycle, sedangkan batasan untuk high-cycle fatigue
umumnya berkisar diatas 106. Fenomena high-cycle fatigue ini umumnya dialami
oleh struktur anjungan lepas pantai akibat beban lingkungan terutama beban
gelombang.
Sambungan pada umumnya sangat sensitif terhadap kegagalan fatigue, hal ini
disebabkan pada sambungan terjadi:
1. Micro crack atau material inhomogenitas yang diakibatkan proses pengelasan.
2. Tegangan lokal akan jauh lebih besar dari tegangan nominal yang disebabkan
perubahan geometri (fenomena hot spot stress).
d
Brace
t
T
D
Chord
L
Gambar II. 17 Contoh sambungan yang sensitif terhadap fenomena fatigue.
Proses kelelahan (fatigue) pada suatu sambungan terjadi dalam beberapa tahap,
mulai dari tahap inisiasi, tahap pertumbuhan retak sampai terjadi patah pada
material. Tiap tahapan tersebut dikarakteristikkan oleh sifat alami dari masingmasing proses yang terjadi.
35
II.3.2 Kurva S-N
Kurva S-N adalah karakteristik fatigue yang umum digunakan dari suatu bahan
yang mengalami tegangan berulang dengan besar yang sama. Kurva tersebut
diperoleh dari tes spesimen baja yang diberi beban berulang dengan jumlah N
siklus sampai terjadi kegagalan. Besarnya N berbanding terbalik dengan rentang
tegangan S (tegangan maksimum-tegangan minimum). Sebuah kurva S-N yang
sering digunakan dalam perancangan anjungan lepas pantai ditunjukkan pada
Gambar II.18.
Gambar II. 18 Kurva S-N untuk analisis fatigue (10).
Kurva S-N didapatkan dari pengujian bahan pada kisaran tegangan minimum nol.
Namun, dalam prakteknya banyak bahan struktur yang mengalami kisaran
tegangan siklik yang tidak minimum nol. Dalam tes fatigue pada sambungan las
baja, umumnya hanya kisaran tegangan saja yang dipertimbangkan. Kurva pada
Gambar II.18 dapat didekati dengan suatu persamaan sebagai berikut:
36
⎛ Δ
N = 2 × 10 ⎜ σ
⎜Δ
⎝ σref
6
⎞
⎟
⎟
⎠
−m
(II. 66)
Dengan Δσ adalah rentang tegangan siklis yang berlaku serta Δσ ref dan m untuk
masing-masing kurva dapat dilihat pada Tabel II.1 berikut:
Tabel II. 1 Parameter yang digunakan dalam kurva S-N.
Kurva
X
X’
Rentang tegangan pada
2 juta siklus, Δσref
100 MPa (14,5 ksi)
79 MPa (11,4 ksi)
Kemiringan
inverse log, m
4,38
3,74
Batas ketahanan pada
200 juta siklus
35 MPa (5,07 ksi)
23 MPa (3,33 ksi)
Sumber : Recommended Practice for Planning, Designing and Construction Fixed Offshore
Platforms – Working Stress Design, API RP2A WSD, December 2000
II.3.3 Stress Concentration Factor
Pada kondisi tegangan yang kompleks, terkadang tidak begitu pasti tegangan
mana yang harus digunakan untuk kurva S-N. Untuk itu, sebuah efek konsentrasi
tegangan dapat digunakan pada perhitungan tegangan yang bekerja berupa Stress
Concentration Factor (SCF). SCF adalah perbandingan antara tegangan didaerah
hot spot dengan tegangan nominal pada penampang. Faktor ini dipengaruhi oleh
besaran-besaran dari sambungan, konfigurasi sambungan, dan arah gaya.
Tegangan daerah hot spot adalah tegangan di sekitar diskontinuitas struktur,
contohnya sambungan. Ilustrasi tegangan didaerah hot spot seperti pada gambar
berikut:
Gambar II. 19 Daerah hot spot sambungan.
37
II.3.4 Hipotesis Akumulasi Kerusakan Palmgren- Miner
Pendekatan yang paling umum untuk memperkirakan kemampuan suatu struktur
dalam menerima beban berulang yaitu berdasarkan hipotesis akumulasi kerusakan
Palmgren Miner. Konsep ini didasarkan pada beberapa asumsi yaitu :
1. Berdasarkan hasil pengujian tegangan sinusoidal yang bervariasi, terdapat
hubungan yang unik antara range tegangan dan jumlah siklus tegangan yang
menyebabkan kegagalan. Hubungan tersebut dinyatakan sebagai kurva S-N
material.
2. Tegangan-tegangan yang berosilasi tetapi tidak sinusoidal dapat mempunyai
kurva S-N untuk variasi tegangan sinusoidal ketika range tegangan diambil
berdasarkan perbedaan antara tegangan maksimum dan minimum pada satu
siklus.
3. Material yang dikenai satu nilai stress range, s, untuk sejumlah siklus, n(s),
dengan jumlah lebih kecil dari siklus yang menyebabkan kegagalan, N(s),
akan mengalami kerusakan, d, yang diberikan oleh persamaan :
d=
n (s )
N (s)
(II. 67)
4. Suatu material yang dikenai berbagai nilai stress range yang berbeda-beda
secara berturut-turut akan gagal ketika jumlah dari kerusakan untuk setiap
range tegangan, d=d(s) mencapai nilai satu.
n
n
∑d = ∑ N
i =1
( si )
( si )
= 1.0
(II. 68)
Berdasarkan konsep akumulasi kerusakan fatigue Palmgren-Miner, terdapat dua
pendekatan analisis fatigue yang biasa dilakukan yaitu :
1. Metode fatigue deterministik
2. Metode fatigue spektral (stokastik)
Berdasarkan hasil berbagai penelitian telah menunjukan bahwa analisis fatigue
spektral memiliki tingkat kerealistisan dan kehandalan yang lebih baik dibanding
analisis fatigue deterministik. Analisis fatigue spektral menggunakan pendekatan
38
statistik untuk menghitung kerusakan akibat fatigue dari elemen sambungan. Pada
proses analisisnya, metode fatigue spektral menggunakan spektrum gelombang
dan transfer function yang mampu memformulasikan hubungan antara rasio
respon struktur terhadap tinggi gelombang sebagai fungsi frekuensi gelombang.
Berdasarkan uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa analisis fatigue spektral
dapat memperhitungkan distribusi energi aktual dari keseluruhan range frekuensi.
Pendekatan spektral dalam analisis fatigue ditujukan untuk memperhitungkan
prilaku acak gelombang di laut secara lebih rasional. Metode ini mengasumsikan
adanya hubungan antara tinggi gelombang dan range tegangan pada sambungan,
dan proses acak yang terjadi pada elevasi muka air diasumsikan sebagai proses
acak Gaussian.
II.4
Fracture Mechanics
II.4.1 Umum
Fracture (perpatahan) adalah pemisahan atau pemecahan suatu benda padat
menjadi dua bagian atau lebih akibat adanya tegangan. Proses perpatahan terdiri
atas dua tahap yaitu timbulnya retak/crack initiation dan tahap penjalaran
retak/crack propagation (9).
Fenomena perpatahan pada logam berbeda halnya dengan kelelehan. Fenomena
kelelehan ditandai dengan terjadinya pergeseran dalam material pada arah sekitar
45o terhadap arah tegangan tarik kerjanya. Secara mikrostruktur fenomena geser
ini mengakibatkan lepasnya ikatan atomik butiran kristal material tetapi kemudian
atom-atom tersebut berhasil terbentuk dan menyatu kembali hanya dalam formasi
serta lokasi yang relatif berbeda. Proses pergeseran atau slip ini secara signifikan
akan berpengaruh terhadap integritas material secara keseluruhan. Pergerakan
relatif dari suatu bidang geser (slip plane) sifatnya terbatas, sehingga apabila
semua proses pergeseran sudah terjadi, maka satu-satunya cara untuk melakukan
pergerakan lebih lanjut adalah dengan jalan meningkatkan pergerakan relatif pada
bidang-bidang yang sudah “terkunci”. Hal tersebut jelas akan membutuhkan
tegangan kerja yang lebih tinggi lagi sehingga pada material baja akan terjadi
39
fenomena yang dikenal sebagai “work hardened”. Akhirnya material baja akan
putus akibat tegangan kerja yang tinggi yang disebabkan oleh berkurangnya
penampang material tersebut sejalan dengan terus berlangsungnya proses
kelelehan.
Di lain pihak fenomena perpatahan sangatlah berbeda dengan leleh. Pada
fenomena perpatahan sama sekali tidak ada kesempatan lagi bagi ikatan atomik
yang sudah terlepas untuk menyatu kembali karena secara fisik material tersebut
sudah putus, dengan kata lain fenomena perpatahan secara mikro struktur
merupakan fenomena yang melibatkan suatu cleavage atau fenomena putus dan
terbelahnya ikatan atomik material. Untuk memperjelas fenomena ini pada bagian
bawah disajikan Gambar II.20 dan Gambar II.21 yang memperlihatkan mikrostruktur terjadinya fenomena perpatahan dan leleh.
Material baja biasanya mengalami kelelehan terlebih dahulu sebelum mengalami
perpatahan karena tegangan leleh uniaksial baja jauh di bawah tegangan putus
atau perpatahannnya. Namun dalam kondisi medan tegangan tiga dimensi,
misalnya pada daerah sekitar ujung retak/crack tip, memungkinkan ada komponen
medan tegangan yang jauh lebih besar dari tegangan leleh uniaksialnya, sehingga
perpatahan terjadi tanpa disertai dengan kelelehan.
Tegangan yang relatif tinggi pada
crack tip memecahkan iatan atomik
satu persatu dalam duatu proses
berlanjut
Gambar II. 20 Fenomena perpatahan (11).
40
Gambar II. 21 Fenomena leleh (11).
II.4.2 Penjalaran Retak
A. Gupta dan RP Singh (1986) dalam salah satu penelitiannya mengatakan: pada
kenyataannya komponen-komponen struktur yang menggunakan sambungan las
akan memiliki retak mikro inisial/awal pada ujung sambungan las yang terbentuk
selama proses pendinginan las, sehingga dalam analisis fatigue struktur
sambungan tersebut para ahli tidak lagi memperhitungkan tahap pembentukan
retak inisial. Karena itu, apabila suatu struktur yang sudah mengalami keretakan
awal, maka dengan adanya suatu pembebanan berulang atau akibat kondisi
lingkungan yang ganas maka retak awal ini akan menjalar seiring dengan waktu.
Semakin panjang ukuran retak, semakin tinggi konsentrasi tegangan yang akan
terjadi karenanya. Hal ini berarti kecepatan penjalaran retak akan juga meningkat
seiring dengan bertambahnya waktu. Dengan adanya fenomena retak,
mengakibtakan berkurangnya kekuatan struktur sehingga nilainya lebih rendah
dari kuat rencana desain awal. Kekuatan sisa struktur akan berkurang secara
progresif dengan bertambahnya ukuran retak. Setelah selang waktu tertentu
kekuatan sisa dari struktur sudah sedemikian rendahnya sehingga fenomena
kegagalan patah dapat terjadi.
41
Penelitian telah banyak dilakukan untuk menentukan hukum perambatan retakan.
Terutama retak fatigue. Hubungan perambatan retakan yang diterapkan dalam
falsafah rancangan aman – tidak aman (fail-safe). Diakui bahwa retak pada
struktur tidak mungkin dihindarkan. Sehingga berdasarkan falsafah ini mampu
ditentukan beban dan panjang retakan yang aman untuk menghindari kegagalan
struktur. Laju perambatan retak diperoleh dari persamaan berikut:
da
dN
= Cσ am a m
Dimana
da
(II. 69)
dN
= laju perambatan retak
C
= konstanta
σ am
= tegangan bolak-balik
a
= panjang retakan
Berdasarkan hasil penelitian, m mempunyai nilai dari 2 hingga 4 dan n beragam
dari 1 hingga 2 (9).
Kemajuan terpenting dalam menempatkan perambatan retak fatigue yang
digunakan dalam bidang rekayasa adalah kenyataan bahwa panjang retak terhadap
siklus pada berbagai level tegangan yang berbeda dapat digambarkan sebagai
da
dN
terhadap ΔK . da
dN
adalah kemiringan kurva perambatan retak pada
nilai tertentu untuk a dan ΔK adalah daerah faktor intensitas tegangan.
Hubungan antara pertumbuhan retak fatik dan ΔK diperlihatkan dalam kurva
pada Gambar II.22. Kurva ini berbentuk sigmoidal yang dapat dibagi dalam 3
daerah. Daerah I dibatasi oleh harga batas ΔK th . Di bawah harga batas ini
pertumbuhan retak fatik tidak berarti. Pada tegangan di bawah ΔK th retak
merupakan retak yang tidak merambat. ΔK th terjadi pada laju perambatan retak
sekitar 2,5 × 10−10 m/siklus atau kurang dari itu (9).
42
Gambar II. 22 Tahap pertumbuhan retak sebagai
fungsi nilai intensitas tegangan.
Pada daerah II terdapat hubungan linier antara log da
dN
dan log ΔK yang
kemudian dikenal dengan hukum Paris. Hubungan tersebut diekspresikan
da
m
= C ( ΔK ) = C (Δσ a )m
dN
(mm/cycle).
(II. 70)
dimana:
C
= konstanta yang berhubungan dengan jenis material
m
= kemiringan grafik pertumbuhan retak
ΔK
= selisih faktor intensitas tegangan (MPa mm )
II.4.3 Faktor Intensitas Tegangan
Retak dalam suatu benda solid dapat dinyatakan dalam tiga mode yang berbeda
seperti terlihat pada Gambar II.23 di bawah (14).
43
Gambar II. 23 Tiga mode pembebanan.
Fortsyth (1962) menyatakan bahwa dari tiga mode deformasi retak yang terjadi,
mode deformasi I merupakan jenis mode retak yang sangat dominan terjadi
selama proses propagasi retak. Tahun 1957 William, mengusulkan solusi berupa
deret tak hingga untuk medan tegangan di sekitar crack tip untuk skenario mode I.
Gambar II. 24 Bentuk umum mode I.
n −1 ⎡⎛
n
⎞ ⎤
⎞ ⎛n ⎞ ⎛n ⎞ ⎛n
σ x = ∑ r 2 a nI ⎢⎜ 2 + + (− 1)n ⎟ cos⎜ − 1⎟θ − ⎜ − 1⎟ cos⎜ − 3 ⎟θ ⎥
2
⎠ ⎦
⎠ ⎝2 ⎠ ⎝2 ⎠ ⎝2
n =1 2
⎣⎝
(II. 71)
n −1 ⎡⎛
n
⎞ ⎛n ⎞
⎛n ⎞ ⎛n
⎞ ⎤
σ y = ∑ r 2 a nI ⎢⎜ 2 − − (− 1)n ⎟ cos⎜ − 1⎟θ + ⎜ − 1⎟ cos⎜ − 3 ⎟θ ⎥
2
⎠ ⎝2 ⎠
⎝2 ⎠ ⎝2
⎠ ⎦
n =1 2
⎣⎝
(II. 72)
n −1 ⎡⎛ n ⎞ ⎛ n
⎞ ⎛n
⎛n ⎞ ⎤
n ⎞
= ∑ r 2 a nI ⎢⎜ − 1⎟ sin ⎜ − 3 ⎟θ − ⎜ + (− 1) ⎟ sin ⎜ − 1⎟θ ⎥
⎠ ⎝2
⎠ ⎝2 ⎠ ⎦
n =1 2
⎣⎝ 2 ⎠ ⎝ 2
(II. 73)
∞
∞
τ xy
∞
n
n
n
Catatan :
•
Plane Stress ⇒ σ z = 0
•
Plane Strain ⇒ σ z = ν (σ x + σ y )
•
τ xz = τ yz = 0
44
Adapun medan perpindahan yang bersesuaian adalah sebagai berikut :
n
r 2 I ⎡⎛
n
n
n
⎛n
⎞ ⎤
n ⎞
u=∑
a n ⎢⎜ κ + + (− 1) ⎟ cos θ − cos⎜ − 2 ⎟θ ⎥
2
2
2
⎠
⎝2
⎠ ⎦
n =1 2 μ
⎣⎝
∞
(II. 74)
n
r 2 I ⎡⎛
n
n
n ⎛n
⎞ ⎤
n ⎞
v=∑
a n ⎢⎜ κ − − (− 1) ⎟ sin θ + sin ⎜ − 2 ⎟θ ⎥
2
2
2 ⎝2
⎠
⎠ ⎦
n =1 2 μ
⎣⎝
∞
(II. 75)
Catatan :
•
Plane Stress ⇒ κ = 3 − 4ν
•
Plane Strain ⇒ κ = (3 − ν )(1 + ν )
•
τ xz = τ yz = 0
Dengan melakukan ekspansi deret tak hingga di atas di sepanjang crack line, r = x
maka untuk medan tegangan dihasilkan ekspresi sebagai berikut :
σx =
a1
σy =
a1
r
r
+ 4a 2 + 3a3 r + 8a 4 r + 5a5 r 3 / 2 + . . .
(II. 76)
+ 3a3 r + 5a5 r 3 / 2 + . . .
(II. 77)
Catatan :
•
komponen pertama adalah komponen singular dan pada a1 terkandung faktor
intensitas tegangan
•
Pada a 2 terkandung T-Stress yaitu tegangan konstan yang bekerja pararel
dengan arah retak.
Dengan meninjau daerah sedikit di sekitar ujung retak maka r → 0 , maka semua
komponen medan tegangan memiliki nilai yang hingga kecuali komponen
pertama yang memberikan nilai tegangan menuju tak hingga. Selanjutnya dengan
mengabaikan suku-suku yang lain kecuali suku pertama dari ekspresi deret tak
hingga medan tegangan di atas maka di dapat kondisi yang akan memberikan
45
definisi formal dari faktor intensitas tegangan sebagai sebuah parameter similitude
yaitu sebagai berikut:
K I = Lim σ yy 2 π r
(II. 78)
K II = Lim σ xx 2 π r
(II. 79)
K III = Lim σ yz 2 π r
(II. 80)
r →0
r →0
r →0
Apabila akibat mekanisme tertentu menyebabkan retak memanjang, maka proses
tersebut akan selalu terjadi pada ujung retak (r kecil). Setelah terjadi perpanjangan
retak, maka akan terbentuk suatu ujung retak yang baru dan proses serupa akan
terus berulang pada daerah tersebut. Berdasarkan argumentasi itu dapat
disimpulkan bahwa untuk keperluan analisis, perilaku keretakan dirasakan cukup
memadai dengan hanya meninjau komponen pertama dari ekspresi medan
tegangan di atas.
Tinjau kembali persamaan II.78 di atas, dapat disimpulkan bahwa nilai dari
K
2π r
haruslah mempunyai dimensi tegangan, dengan kata lain K I haruslah
mempunyai dimensi tegangan dikalikan dengan akar panjang. Berdasarkan
deskripsi problem di atas, satu-satunya jenis tegangan yang terdefinisi adalah
remote stress, σ , dan satu-satunya besaran panjang yang terdefinsi adalah
panjang retak, a . Sebagai konsekuensinya faktor intensitas tegangan dapat
dirumuskan sebagai berikut:
K = βσ a
Untuk kasus problem di atas nilai β = π sehingga :
K =σ π a
(II. 81)
Dalam tinjauan problem umum ekspresi faktor intensitas tegangan dapat
dituliskan sebagai berikut :
46
K = Yσ π a
(II. 82)
dengan,
K = faktor intensitas tegangan.
Y = faktor koreksi yang ditentukan oleh geometri dan kondisi pembebanan.
σ = tegangan yang diberikan.
a = panjang retak.
II.4.4 Remaining Life/Fatigue Life
Penentuan remaining life/fatigue life secara konfensional telah diterapkan dalam
bidang rekayasa dengan menggunakan pendekatan kurva S-N dan aturan
kerusakan kumulatif. Pendekatan ini dikembangkan pertama kali untuk
memprediksi fatigue life suatu komponen dengan anggapan bahwa crack
initiation merupakan bagian yang signifikan dalam keseluruhan fatigue life.
Namun
penerapan
secara
luas
fatigue
dalam
welded
structure
harus
memperhatikan kondisi dimana perbandingan crack initiation dan crack
propagation sangat berbeda (12). Oleh karena itu pendekatan untuk kondisi ini
adalah dengan menggunakan pendekatan fracture mechanics.
Proses perpatahan akibat fatigue secara umum melalui dua tahap yaitu crack
initiation dan crack propagation. Pada kebanyakan welded structure telah
memiliki crack initiation dari awal dan kemudian pada proses selanjutnya
didominasi oleh crack propagation. Dengan ilustrasi lain, jika kerusakan pada
sambungan las telah ada dari awal, kemudian terus berkembang akibat beban
siklik sampai mencapai panjang retak tertentu yang tergantung pada karakteristik
material dan tegangan kerja, hingga mencapai kondisi tidak stabil dan berdampak
pada perpatahan pada sambungan las tersebut.
Bila dikaitkan dengan penilaian terhadap sambungan, kurva indeks kehandalan
dapat digunakan untuk menilai keamanan suatu sambungan dari sisi umur sisanya
(remaining life). Dalam konteks ini diperlukan parameter atau indikator yang
menyatakan bahwa suatu komponen sambungan telah memenuhi kriteria
47
keamanan yang disyaratkan. Indikator ini biasa disebut target indeks kehandalan
atau indeks kehandalan minimum suatu komponen sambungan. Berdasarkan
target indeks kehandalan ini, remaining life sambungan dapat ditentukan dan
kemudian dikaitkan dengan umur layan yang disyaratkan.
II.5
Akumulasi Kerusakan Berdasarkan Fatigue Spektral
II.5.1 Sistem Linier
Dari beberapa referensi menunjukkan bahwa suatu sistem linier yang memiliki
properti tidak berubah terhadap waktu dapat dikarakteristikkan dalam domain
frekuensi oleh suatu persamaan berikut ini (13)
Y( f )= H( f )X ( f )
Dimana:
f
(II. 83)
= frekuensi
X ( f ) = transformasi fourier dari eksitasi
Y ( f ) = transformasi fourier dari respon
H ( f ) = fungsi transfer
Fungsi transfer atau biasa disebut fungsi respons frekuensi dapat dianalogikan
sebagai amplitudo respons sinusoidal dimana eksitasi merupakan unit amplitudo
sinusoidal. Persamaan II.83 dapat dikembangkan untuk kasus fungsi multi respons
akibat eksitasi yang diberikan dengan menggunakan ekspresi matrik. Dalam
notasi subskrip persamaan tersebut dapat dituliskan kembali:
Yi ( f ) = H i ( f ) X ( f )
(II. 84)
Pada persamaan II.84, Y dan H adalah matrik N ×1 dan X adalah besaran
skalar. Dengan mengalikan persamaan 2.84 terhadap persamaan itu sendiri
didapatkan:
48
Yi ( f ) Y j ( f ) = H i ( f ) H j ( f ) X 2 ( f )
(II. 85)
Dengan memperkenalkan nilai rata-rata dari suatu variabel acak Z , yaitu Z .
Besaran rata-rata kedua sisi pada persamaan II.85 dapat dituliskan sebagai
berikut:
2
YY
i j = Hi H j X
(II. 86)
Untuk keperluan analisis fatigue hanya ditinjau suku diagonal dari persamaan
matrik berikut:
Yi 2 = H i2 X 2
(II. 87)
Jika diketahui suatu fungsi acak yang didefinisikan dalam domain frekuensi,
Z ( f ) , maka fungsi Z 2 ( f ) disebut power spectral density dari suatu proses dan
dinyatakan sebagai berikut:
SZ ( f ) = Z 2 ( f )
(II. 88)
Berdasarkan referensi bahwa nilai mean-square dari proses acak stasioner, y ( t ) ,
diberikan oleh:
∞
y ( t ) = ∫ S ( f ) df
2
(II. 89)
0
Nilai akar dari persamaan di atas menyatakan nilai root-mean-square (RMS).
Dengan menggabungkan definisi ini bersama persamaan II.87, II.88, dan II.89,
maka nilai RMS dari respons dapat dituliskan sebagai berikut:
∞
YRMS =
∫ H ( f ) S ( f ) df
2
i
(II. 90)
h
0
Dalam analisis fatigue, eksitasi atau gaya luar berupa fluktuasi permukaan air laut
yang merupakan fungsi dari waktu, h ( t ) , dan respons dari fungsi acak stasioner
49
adalah rentang tegangan hot-spot pada sambungan. Definisi rentang tegangan
disini adalah perbedaan antara nilai puncak tegangan maksimum dan minimum
yang berurutan dari plot hubungan antara tegangan versus waktu. Jika diketahui
spektrum kerapatan energi dari suatu seastate, S h ( f ) , serta terdapat fungsi
transfer H i ( f ) , maka statistik rentang tegangan siklik pada titik tersebut dapat
ditentukan dengan persamaan berikut:
σ RMS =
∞
∫ H ( f ) S ( f ) df
2
i
(II. 91)
h
0
II.5.2 Fungsi Transfer – Beban Gelombang Siklis
Fungsi transfer didefinisikan sebagai perbandingan antara rentang tegangan siklis
terhadap tinggi gelombang sebagai fungsi frekuensi. Jika untuk setiap frekuensi
masukan dari sistem adalah satu satuan amplitudo sinusoidal frekuensi tersebut,
maka amplitudo respons steady state adalah fungsi transfer pada frekuensi
tersebut. Pada kasus analisis fatigue, masukan adalah elevasi muka (tinggi
gelombang) dan respons adalah tegangan brace pada tiap sambungan.
Sehubungan dengan hal ini salah satu teori gelombang yang bisa digunakan
sebagai alat untuk membentuk fungsi transfer adalah teori gelombang airy karena
teori gelombang tersebut menghasilkan profil gelombang yang benar-benar
sinusoidal. Meskipun teori-teori gelombang yang lain tidak menghasilkan profil
gelombang yang benar-benar sinusoidal, tetapi pada kasus gelombang amplitudo
kecil teori tersebut dapat memberikan profil yang hampir sinusoidal sehingga
teori-teori gelombang yang lain juga dapat menjadi komponen pembentuk fungsi
transfer.
Pada kenyataannya banyak sistem yang tidak linier. Sebagai contoh sistem tidak
linier adalah hubungan gaya drag dengan kecepatan partikel air, sehingga dapat
disimpulkan bahwa ekspresi pada persamaan II.83 hanya merupakan suatu
pendekatan. Meskipun demikian pendekatan ini akan memberikan hasil yang
50
sangat baik jika karakter gelombang yang membentuk fatigue environment tidak
terlalu besar.
Untuk membentuk fungsi transfer pada suatu arah pembebanan fatigue dapat
digunakan beberapa gelombang dengan tinggi yang bervariasi tetapi memiliki
kelandaian (steepness) yang konstan. Gelombang-gelombang tersebut tidak harus
diambil dari data gelombang fatigue, tetapi dapat juga ditentukan berdasarkan
perilaku dinamik struktur. Tegangan yang terjadi akan dihitung untuk setiap posisi
gelombang dan perbedaan antara tegangan maksimum dan minimum yang
dihasilkan disebut sebagai rentang tegangan.
Gambar II. 25 Tegangan siklis yang terjadi untuk setiap posisi gelombang (13).
Dengan membagi rentang tegangan tersebut oleh setengah tinggi gelombang yang
bersesuaian, maka akan memberikan rentang tegangan dalam satu satuan
amplitudo (untuk kasus gelombang sinusoidal, tinggi gelombang adalah dua kali
amplitudo gelombang). Hubungan antara rentang tegangan dalam unit amplitudo
dengan frekuensi gelombang dinyatakan oleh suatu fungsi transfer.
51
Gambar II. 26 Hubungan perioda gelombang dengan tegangan siklis (13)
II.5.3 Spektrum Kerapatan Tinggi Gelombang
Spektrum tinggi gelombang umumnya digunakan untuk mengkarakteristikkan
prilaku acak gelombang dengan pendekatan statistik. Dari suatu spektrum tinggi
gelombang, dapat dikembangkan fungsi distribusi probabilitas untuk setiap
frekuensi tertentu. Dalam industri lepas pantai dan untuk keperluan analisis
fatigue, terdapat fungsi kerapatan spektrum tinggi gelombang yang sering
digunakan, antara lain:
Spektrum Pierson-Moskowitz (Bretschneider’s Form)
( )
S PM F * =
5hs2T0 1
16 F *
( )
5
⎡ 5
exp ⎢ − F *
⎣ 4
( )
⎤
⎥⎦
−4
(II. 92)
Spektrum JONSWAP (Joint North Sea Wave Project)
( )
SJ F * =
( ) exp ⎪⎧ln γ exp ⎡⎢− ( F
S PM F *
C
⎨
⎪
⎩
⎢
⎣
)
2
− 1 ⎤ ⎪⎫
⎥⎬
2σ 2 ⎥ ⎪
⎦⎭
*
(II. 93)
Dimana:
hs
= tinggi gelombang signifikan, yaitu rata-rata 1/3 gelombang tertinggi
52
T0
= perioda gelombang dominan, yaitu perioda dimana S ( f ) maksimum
F * = frekuensi tidak berdimensi, f
f0
, dimana f 0 adalah frekuensi yang
berhubungan dengan besaran T0
Parameter γ , σ , dan C adalah parameter dari spektrum JONSWAP.
II.5.4 Kerusakan Fatigue
Berdasarkan persamaan II.91, tegangan RMS untuk suatu spektrum tertentu dari
gelombang fatigue dapat dihitung sebagai berikut :
∞
∫ H ( f )× S ( f )
σ rms =
2
i
(II. 94)
df
0
Dimana Si ( f ) adalah spektrum kerapatan energi gelombang dan H ( f ) adalah
fungsi transfer untuk arah beban fatigue tertentu.
Untuk setiap tegangan RMS terdapat perioda rata-rata antara zero crossing yang
memiliki kemiringan positif untuk proses stasioner Gaussian. Perioda tersebut
biasa disebut Zero Crossing Period, yang dirumuskan sebagai berikut:
TZ =
σ RMS ,i
∞
∫f
2
×H
2
(II. 95)
( f ) × Si ( f ) df
0
Untuk proses Narrow Band, nilai tersebut adalah rata-rata perioda atau rata-rata
frekuensi dari proses tersebut. Jumlah siklus, N , yang berkaitan dengan spektrum
selama masa layan struktur dapat di formulasikan berikut ini.
N=
mL
TZ
(II. 96)
Dimana L adalah umur desain dari struktur dan m fraksi kejadian suatu spektrum
seastate terhadap umur rencananya. Untuk suatu range tegangan yang diberikan,
s, maka jumlah siklus yang menyebabkan kegagalan N F ( S ) dapat ditentukan
53
menggunakan kurva S-N. Sehingga untuk range tegangan antara s dan s+ds,
jumlah kerusakan dD adalah sebagai berikut:
dD =
N
NF ( s)
p ( s ) ds
(II. 97)
Dimana p ( s ) adalah probabilitas tegangan diantara nilai s dan s+ds.
Dengan mengacu pada asumsi awal bahwa sistem yang ditinjau adalah linier yang
dieksitasi oleh masukan proses acak gaussian maka disimpulkan bahwa respon
time history sebagai keluarannya juga akan mengikuti proses acak gaussian.
Kemudian dengan mengasumsikan lebih lanjut bahwa respon keluaran bersifat
narrow band dimana prilaku PSD-nya hanya signifikan untuk rentang frekuensi
yang sempit, maka dapat dipastikan bahwa rentang tegangan akan mengikuti
distribusi rayleigh dengan probability density function sebagai berikut,
p(s ) =
s
σ rms
⎛ − s2
exp ⎜⎜
2
⎝ 2 σ rms
⎞
⎟
⎟
⎠
(II. 98)
Dimana
s
= Range tegangan
σ rms = Root mean square dari range tegangan
Dengan mensubstitusikan persamaan II.98 ke dalam persamaan II.97 akan
didapatkan ekspektasi kerusakan yang bersesuaian dengan satu kondisi sea state
yaitu,
∞
D=∫
0
N
s
N F (s ) σ rms 2
⎛ − s2
exp ⎜⎜
2
⎝ 2 σ rms
⎞
⎟ ds
⎟
⎠
(II. 99)
Karena N dan σ rms nilainya tetap, maka persamaan II.99 dapat disederhanakan
menjadi,
D=
∞
N
σ rms
2
∫
0
⎛ − s2
exp ⎜
⎜ 2σ 2
N F (s )
rms
⎝
s
⎞
⎟ ds
⎟
⎠
(II. 100)
54
Total ekspektasi kerusakan untuk seluruh sea state dalam rentang waktu umur
rencana merupakan jumlah kerusakan yang diakibatkan oleh masing-masing sea
state. Ekspektasi umur fatigue ditentukan dengan membagi umur rencana dengan
total ekspektasi kerusakan.
II.5.5 Fatigue Spektral dalam Software SACS
Sebagaimana diuraikan pada sub bab sebelumnya, metode analisa fatigue spektral
digunakan dalam penentuan akumulasi kerusakan fatigue Palmgren-Miner. Hal
ini didasarkan pada hasil berbagai penelitian yang menunjukan bahwa analisis
fatigue spektral memiliki tingkat kerealistisan dan kehandalan yang lebih baik
dibanding analisis fatigue deterministik. Secara umum ada empat tahapan proses
yang akan dilakukan pada analisis fatigue tesis ini. Tahapan analisis dimulai
dengan proses pemodelan struktur dan diakhiri dengan penentuan total kerusakan
serta umur layan komponen sambungan. Tahapan ini merupakan konsep umum
yang dijadikan pijakan software SACS dalam perhitungan akumulasi kerusakan
fatigue pada anjungan tipe jacket. Penjelasan mengenai masing-masing tahap
disajikan pada sub bab berikut.
II.5.5.1 Pemodelan Strukur
Pemodelan struktur mengacu pada API RP 2A-WSD tahun 2000. Adapun prinsipprinsip pemodelannya adalah sebagai berikut :
a. Model struktur jacket offshore platform harus mengakomodasi distribusi
kekakuan tiga dimensi.
b. Untuk struktur-struktur seperti risers, skirt piles guide dll. kekakuannya
diabaikan kecuali apabila dianggap akan berkontribusi secara cukup signifikan
c. Massa yang ditinjau harus meliputi massa dari :
•
Material baja platform termasuk seluruh appurtenance structure
•
Konduktor dan deck loads serta semua peralatan
•
Massa air yang terperangkap pada submerge tubular members
55
•
Massa tambahan dari submerge members akibat pergerakan relatif struktur
terhadap fluida
II.5.5.2 Penentuan “Centre of Damage Sea State” dan Linierisasi Fondasi
Berdasarkan fakta bahwa prilaku beban gelombang yang menyebabkan fatigue
adalah beban dinamik dengan magnitudo tidak terlalu besar, telah diyakini secara
luas oleh kalangan praktisi industri lepas pantai bahwa untuk keperluan analisis
fatigue dinamik non deterministik, penyederhanaan model struktur fondasi dengan
cara melinierisasikannya merupakan metode yang cukup rasional dan dapat
memberikan hasil yang memadai.
Salah satu masalah yang dihadapi pada proses linierisasi fondasi ini adalah
fenomena bahwa fondasi yang sudah terlinierisasi hanya akan sesuai untuk satu
skenario pembebanan saja. Berdasarkan hal tersebut, akhirnya dikembangkan
teori “centre of damage sea state”, dimana skenario beban yang dipilih untuk
proses linierisasi merupakan skenario beban sea state yang diyakini akan
memberikan konsekuensi kerusakan terbesar, yang kemudian beban sea state itu
dikenal dengan istilah “centre of damage sea state”.
Secara kuantitatif penentuan “centre of damage sea state” didasarkan pada
konsep kerusakan kumulatif akibat beban dengan amplitudo konstan. Berdasarkan
hasil eksperimen dilapangan terhadap spesimen baja diperoleh persamaan empiris
sebagai berikut :
N = A S −m
(II. 101)
dengan,
N
= jumlah siklus yang membuat spesimen rusak
S
= amplitudo beban siklis
A dan m
= konstanta material
56
Apabila didefinisikan jumlah akumulasi kerusakan (D) D =
n
, dengan n
N
sebagai jumlah siklus beban yang terjadi maka persamaan di atas dapat dibuat
dengan ekspresi sebagai berikut :
n
= A S −m
D
D=
nSm
A
(II. 102)
Berdasarkan persamaan di atas terlihat bahwa total kerusakan berbanding lurus
dengan S m , dan untuk analisis fatigue spektral sistem diasumsikan linier sehingga
S akan berbanding lurus juga dengan H (tinggi gelombang). Akhirnya dapat
diformulasikan tinggi gelombang signifikan “centre of damage sea state” dan
zero crossing period yang bersesuaian sebagai rata-rata berbobot dari semua
tinggi gelombang sea state dengan menggunakan indikasi kerusakan (D) sebagai
faktor pembobotnya. Ekspresi selengkapnya dapat dituliskan sebagai berikut :
n
Hs =
∑D H
i
i =1
si
(II. 103)
n
∑D
i
i =1
n
Tz =
∑DT
i =1
n
i
zi
(II. 104)
∑D
i =1
i
dengan Di sebagai parameter indikasi kerusakan yang disumbangkan oleh sea
state ke-i dengan nilai estimasi sebagai berikut :
Di =
Pi H si
Tz
m
(II. 105)
dengan,
m
= inverse log-log API X prime S-N curves = 3.74
Pi
= probabilitas kejadian seastate ke-i
H si
= tinggi gelombang signifikan seastate ke-i
Tsi
= mean zero-crossing periode seastate ke-i
57
II.5.5.3 Penentuan Beban Gelombang
Beban lingkungan yang ditinjau adalah beban gelombang yang terjadi secara
dominan akibat tiupan angin dengan konsep analisis dan pemodelan gelombang
mengacu pada API RP 2A WSD tahun 2000. Prinsip analisis dan pemodelan
beban gelombang yang dimaksud antara lain sebagai berikut:
a. Perilaku aktual dari oceanographic wave condition yang bersifat acak dan non
stasioner, untuk suatu perioda waktu tertentu (biasanya maksimum dalam
range 3 jam) dapat didekati oleh sebuah proses acak yang bersifat stasioner
atau dalam istilah yang lebih umum disebut dengan sea state.
b. Perilaku long term oceanographic condition dapat didekati dengan
penggabungan berbagai kondisi sea state yang masing-masing sea state
tersebut dikarakterisasikan melalui spektrum energi gelombang dan
parameter-parameter fisik yang sesuai serta dikombinasikan dengan satu nilai
probabilitas kejadian.
c. Jumlah arah gelombang yang ditinjau sesuai dengan persyaratan minimum
API dalam hal ini sebanyak 4 buah arah yaitu satu arah end on, satu arah
broad side dan dua arah diagonal.
II.5.5.4 Fungsi Transfer dan Kerusakan Kumulatif
Penentuan fungsi transfer dan total kerusakan kumulatif untuk seluruh titik yang
akan diinvestigasi dilakukan melalui prosedur di bawah. Prosedur tersebut
merupakan hasil rangkuman dari penjelasan seluruh sub bab sebelumnya..
1.
Definisikan sejumlah nilai frekuensi yang memadai sehingga fungsi transfer
dapat menangkap kondisi-kondisi respon yang ekstrim terutama karena efek
resonansi
2.
Pilih satu tinggi gelombang tertentu yang bersesuaian dengan setiap nilai
frekuensi di atas dengan menggunakan prinsip constant wave steepness..
Nilai steepness gelombang yang diambil harus sesuai dengan kondisi wave
climate yang ada. Karakteristik gelombang yang perlu diakomodasi,
maksimum setinggi gelombang rencana dan minimum setinggi 1 ft. Untuk
58
setiap nilai frekuensi, satu titik pada fungsi transfer ditentukan dengan
membagi respon rentang tegangan, (dalam hal ini yang dihasilkan akibat
pemberian gelombang airy pada struktur), oleh tinggi gelombang yang
bersesuaian. Adapun rentang tegangan hot spot didefinisikan sebagai selisih
antara nilai maksimum dan minimum puncak berturutan pada kurva
hubungan tegangan terhadap waktu yang sudah mengakomodasi fenomena
konsentrasi tegangan.
3.
Untuk setiap sea state, tentukan respon spektrum tegangan dalam domain
frekuensi dengan menggunakan persamaan respon stokastik stasioner sebagai
berikut,
S σσ ( f ) = H ( f ) Sηη ( f )
2
(II. 106)
dengan,
Sηη ( f )
= spektrum input yaitu spektrum elevasi permukaan air laut
S σσ ( f ) = spektrum respon
H(f )
4.
= fungsi transfer
Untuk setiap sea state,
berdasarkan karakteritik spektrum respon dapat
ditentukan average zero crossing period dengan persamaan,
Tz =
m0
m2
(II. 107)
dengan,
m0 = momen ke nol dari spektrum respon = varians
m2 = momen ke dua dari spektrum respon
5.
Tentukan ekspektasi jumlah siklus range tegangan, N, untuk setiap sea state
N=
qT
Tz
(II. 108)
dengan,
q = fraksi kejadian suatu spektrum sea state terhadap umur rencananya
T = umur rencana struktur
Tz = zero crossing period
59
6.
Tentukan ekspektasi kerusakan yang bersesuaian dengan satu kondisi sea
state melalui formula kerusakan kumulatif palmgren miner berikut,
∞
D=∫
0
N
N F (s )
p (s ) ds
(II. 109)
dengan mengasumsikan range tegangan mengikuti distribusi rayleigh maka
persamaannya menjadi
∞
D=∫
0
N
s
N F (s ) σ rms
2
⎛ − s2
exp ⎜⎜
2
⎝ 2 σ rms
⎞
⎟ ds
⎟
⎠
(II. 110)
Karena N dan σ rms nilainya tetap, maka
D=
7.
∞
N
σ rms
2
∫
0
⎛ − s2
exp ⎜⎜
2
N F (s )
⎝ 2 σ rms
s
⎞
⎟ ds
⎟
⎠
(II. 111)
Total ekspektasi kerusakan untuk seluruh sea state dalam rentang waktu
umur rencana merupakan jumlah kerusakan yang diakibatkan oleh masingmasing sea state. Ekspektasi umur fatigue ditentukan dengan membagi umur
rencana dengan total ekspektasi kerusakan.
60
Bab II Dasar Teori................................................................................................. 6
II.1
Statistik dan Probabilitas......................................................................... 6
II.1.1
Umum ............................................................................................. 6
II.1.2
Teori Probabilitas Statistik.............................................................. 8
II.1.3
Fungsi Massa Probabilitas ............................................................ 11
II.1.4
Fungsi Distribusi Kumulatif.......................................................... 11
II.1.5
Fungsi Kerapatan Probabilitas ...................................................... 12
II.1.6
Parameter Statistik ........................................................................ 13
II.1.7
Model Distribusi Variabel Acak ................................................... 16
II.1.8
Fungsi Variabel Acak.................................................................... 23
II.2
Reliabilitas Struktur .............................................................................. 25
II.2.1
Umum ........................................................................................... 25
II.2.2
Limit State..................................................................................... 26
II.2.3
Fungsi Performansi/Fungsi Kondisi Batas.................................... 28
II.2.4
Metode Reliabilitas Struktur Level II ........................................... 32
II.2.5
Indeks Kehandalan ( β )................................................................. 33
II.3
Fatigue .................................................................................................. 34
II.3.1
Umum ........................................................................................... 34
II.3.2
Kurva S-N ..................................................................................... 36
II.3.3
Stress Concentration Factor ......................................................... 37
II.3.4
Hipotesis Akumulasi Kerusakan Palmgren- Miner ...................... 38
II.4
Fracture Mechanics .............................................................................. 39
II.4.1
Umum ........................................................................................... 39
II.4.2
Penjalaran Retak ........................................................................... 41
II.4.3
Faktor Intensitas Tegangan ........................................................... 43
II.4.4
Remaining Life/Fatigue Life......................................................... 47
II.5
Akumulasi Kerusakan Berdasarkan Fatigue Spektral........................... 48
II.5.1
Sistem Linier ................................................................................. 48
II.5.2
Fungsi Transfer – Beban Gelombang Siklis ................................. 50
II.5.3
Spektrum Kerapatan Tinggi Gelombang ...................................... 52
II.5.4
Kerusakan Fatigue ........................................................................ 53
61
II.5.5
Fatigue Spektral dalam Software SACS ....................................... 55
Gambar II. 1 Bentuk fenomena acak profil muka air laut (5)................................ 7
Gambar II. 2 Histogram tinggi gelombang (5). ..................................................... 8
Gambar II. 3 Diagram Venn untuk tinggi gelombang individu............................. 9
Gambar II. 4 Diagram venn untuk (a) perpotongan, (b) gabungan, (c) kejadian. 10
Gambar II. 5 Fungsi distribusi kumulatif (CDF). ................................................ 12
Gambar II. 6 Nilai probabilitas pada PDF. .......................................................... 13
Gambar II. 7 PDF normal standar (5) .................................................................. 18
Gambar II. 8 PDF log normal (5)......................................................................... 19
Gambar II. 9 PDF Rayleigh (5)............................................................................ 20
Gambar II. 10 Fungsi kerapatan probabilitas terhadap tahanan dan beban (8).... 26
Gambar II. 11 Balok tumpuan sederhana............................................................. 27
Gambar II. 12 Terbentuknya sendi plastik pada balok tumpuan sederhana. ....... 27
Gambar II. 13 PDF variabel beban dan kapasitas................................................ 29
Gambar II. 14 Safe domain dan failure domain dalam 2 dimensi (6).................. 31
Gambar II. 15 Safe domain dan failure domain dalam 3 dimensi (6).................. 32
Gambar II. 16 Konsep indeks kehandalan (4)...................................................... 33
Gambar II. 17 Contoh sambungan yang sensitif terhadap fenomena fatigue. ..... 35
Gambar II. 18 Kurva S-N untuk analisis fatigue (10).......................................... 36
Gambar II. 19 Daerah hot spot sambungan.......................................................... 37
Gambar II. 20 Fenomena perpatahan (11). .......................................................... 40
Gambar II. 21 Fenomena leleh (11). .................................................................... 41
Gambar II. 22 Tahap pertumbuhan retak sebagai ............................................... 43
Gambar II. 23 Tiga mode pembebanan................................................................ 44
Gambar II. 24 Bentuk umum mode I. .................................................................. 44
Gambar II. 25 Tegangan siklis yang terjadi untuk setiap posisi gelombang (13).51
Gambar II. 26 Hubungan perioda gelombang dengan tegangan siklis (13)......... 52
62
Tabel II. 1 Parameter yang digunakan dalam kurva S-N..................................... 37
63
Download