3 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kondisi Umum Selat Bali Bagian Selatan Selat merupakan perairan relatif sempit yang menghubungkan dua buah perairan yang lebih besar dan biasanya terletak di antara dua daratan (Priyono et al. 2007). Salah satu selat yang memiliki fungsi dan peranan yang sangat penting adalah Selat Bali. Selat Bali merupakan selat yang memisahkan antara pulau Jawa di sebelah barat dan pulau Bali di sebelah timur. Dengan luas 960 mil2 perairan ini menghubungkan Laut Flores dan Selat Madura di bagian utara dan Samudra Hindia di bagian selatan. Secara geografis perairan Selat Bali termasuk dalam perairan semi tertutup. Mulut selat di bagian utara lebih sempit dengan perairan yang dangkal, sedangkan pada bagian selatan lebih lebar dengan perairan yang dalam, sehingga perairan Selat Bali lebih dipengaruhi oleh massa air dari Samudra Hindia (Priyono et al. 2007). Perubahan yang dialami Selat Bali akan sama dengan perubahan yang terjadi di Samudra Hindia, terutama di bagian selatan Selat Bali. Perairan Selat Bali memiliki kesuburan yang tinggi, dimana produktivitas tertinggi terjadi pada musim timur yang disebabkan oleh fenomena upwelling di perairan Samudra Hindia (Arinardi 1989 in Panjaitan 2009). Perairan Selat Bali memiliki kedalaman yang cukup bervariasi, pada daerah utara Selat Bali lebih dangkal dibandingkan bagian selatan. berada dekat dengan Gilimanuk. Daerah yang dangkal Kondisi yang dangkal dan sempit tersebut menyebabkan kecepatan arus yang masuk maupun keluar Selat Bali menjadi tinggi (Priyono et al. 2007). Posisi Selat Bali dapat dilihat pada Gambar 2. Bagian selatan Selat Bali memiliki kedalaman hingga mencapai lebih dari 2000 m. Berdasarkan kedalaman, bagian selatan Selat Bali dapat digolongkan sebagai laut dalam. Menurut Snelgrove & Grassle (2001) laut dalam didefinisikan sebagai habitat bentik yang berada setelah wilayah continental shelf. Wilayah ini mencakup continental slope, continental rise, abyssal plains, gunung laut (termasuk hydrothermal vents), dan palung laut dalam, sehingga dasar laut dari kedalamaan 200 hingga 10.000 m termasuk dalam kategori laut dalam. Wilayah continental slope mendapat masukan bahan organik lebih banyak dibanding continental rise maupun abyssal plain. Continental slope ditutupi oleh sedimen 4 yang berasal dari daratan (run-off sungai) maupun dari produksi biologi laut (Snelgrove & Grassle 2001). Daerah laut dalam merupakan daerah yang afotik dan tidak memiliki produktivitas primer, kecuali pada beberapa tempat dimana terdapat bakteri kemosintetis. Akibatnya, fauna yang hidup di laut dalam sangat bergantung pada bahan organik dari daerah permukaan laut yang tenggelam ke dasar laut (Kingston 2001). Gambar 2. Posisi Selat Bali 2.2. Benthos Lebih dari 90% hewan yang ditemukan di laut dan sebagian besar makrophyta laut hidup dengan berasosiasi dengan dasar laut (Sumich 1976). Odum (1971) menyatakan bahwa benthos merupakan organisme yang hidup pada permukaan atau di dalam substrat dasar perairan yang meliputi organisme nabati (fitobenthos) dan organisme hewani (zoobenthos). Benthos adalah hewan avertebrata yang hidup di dasar perairan (Van der Graaf et al. 2009). Hewan benthos yang hidup di atas substrat dasar atau menempel di dasar disebut epifauna. Hewan benthos lain, infauna, mencari makanan atau perlindungan di dalam substrat dasar (Sumich 1976). Hewan benthos infauna banyak ditemukan pada 2 cm bagian teratas dari substrat dan tidak terdapat pada kedalaman lebih dari 10 cm dari permukaan substrat (VanBralicom 1982) Benthos yang hidup di dasar perairan berdasarkan cara makannya dibagi menjadi dua, yaitu filter feeder yang mengambil makanan dengan cara menyaring air dan deposit feeder yang mengambil makanan dalam substrat dasar (Odum 1971). Menurut ukurannya, benthos dapat dibagi menjadi makrozoobenthos dan meiobenthos. 5 Makrozoobenthos didefinisikan sebagai hewan benthos yang memiliki ukuran lebih dari 1 mm (Miller 2004; Nybakken 1988). Meiobenthos adalah hewan avertebrata kecil yang hidup pada permukaan sedimen (epibenthic) atau di dalam sedimen (interstisial) (Coull & Chandler 2001). Menurut ukurannya, meiobenthos didefinisikan sebagai hewan avertebrata yang berukuran 0,1-1 mm (Miller 2004; Nybakken 1988). Meiobenthos dapat hidup pada berbagai macam habitat bahkan hingga laut dalam. Meiobenthos terdapat pada sedimen dari yang paling kasar hingga yang halus. Pada skala yang luas (meter hingga kilometer) perbedaan pada faktor fisika seperti salinitas, ukuran butiran sedimen, dan oksigen terlarut akan menyebabkan variasi pada kepadatan meiobenthos. Pada ekosistem perairan, meiobenthos berperan sebagai sumber makanan bagi organisme lain dan mineralisasi bahan organik (Coull & Chandler 2001). Makrozoobenthos dan meiobenthos berinteraksi satu sama lain, beberapa meiobenthos merupakan makanan bagi makrozoobenthos. Interaksi antara meiobenthos dan makrozoobenthos tidak selalu berupa pemangsaan, beberapa makrozoobenthos dapat membentuk struktur berbentuk tabung pada substrat yang dapat dimanfaatkan oleh organisme meiobenthos sebagai tempat berlindung dari gangguan (Bell 1980). Keanekaragaman spesies hewan dasar merefleksikan kondisi lingkungan yang sangat beragam di dasar laut (Sumich 1976). Benthos yang hidup di Selat Bali akan merasakan pengaruh berbagai faktor, baik biotik maupun abiotik secara langsung. Benthos hidup di lingkungan yang dipengaruhi eutrofikasi, polusi, kegiatan perikanan, dan substrat (Van der Graaf et al. 2009). Komposisi benthos sangat dipengaruhi oleh karakteristik substrat. Substrat keras cenderung didominasi oleh benthos yang hidup di permukaan, sedangkan substrat halus didominasi oleh benthos penggali (Kingston 2001). Menurut Nybakken (1988), kelompok filter feeder dominan di substrat pasir, sedangkan deposit feeder banyak terdapat pada substrat lumpur. Benthos yang tergolong epifauna sebagian besar merupakan suspension feeder dan carnivore berasosiasi dengan substrat berbatu maupun substrat keras. Benthos yang tergolong infauna sebagian besar merupakan deposit feeder berasosiasi dengan substrat halus (Craig & Jones 1966). Pada awalnya, daerah laut dalam dianggap sebagai daerah yang memiliki jumlah spesies yang relatif sedikit, akan tetapi dengan berkembangnya teknologi 6 kesimpulan berbeda diambil bahwa daerah laut dalam merupakan daerah yang memiliki biodiversitas yang tinggi (Grassle 1991). Menurut Kingston (2001), meskipun jumlah individu di laut dalam sedikit di sana terdapat banyak spesies. Wilayah laut dalam seringkali didominasi oleh benthos dari jenis Holothuroidea, Ophiuroidea, Crustacea dan Polychaeta. 2.3. Substrat Substrat dasar perairan terdiri dari sedimen lumpur, pasir, liat, dan sedikit substrat keras (Odum 1971). Dasar perairan merupakan bagian penting dari habitat hewan benthos. Substrat merupakan tempat tinggal tumbuhan dan hewan yang hidup di dasar perairan. Substrat berguna sebagai habitat, tempat mencari makan, dan memijah bagi sebagian besar organisme akuatik. Substrat menyokong berat tubuh dari organisme yang lebih berat dari air. Beberapa hewan memendamkan diri di substrat dasar atau membentuk saluran-saluran di dalamnya. Dasar perairan juga berfungsi sebagai tempat yang akan mengumpulkan dan mengakumulasi plankton, material buangan, dan bagian tubuh tanaman dan hewan yang tenggelam dari permukaan. Pada beberapa daerah, tenggelamnya bahan-bahan organik dari permukaan merupakan satu-satunya sumber makanan bagi penghuni dasar perairan (Sumich 1976). Sedimen di dasar perairan berasal dari tiga sumber. Pertama, beberapa mineral mengalami presipitasi dari keadaan terlarutnya, kemudian membentuk deposit di dasar perairan. Kedua, proses erosi daratan akan dibawa oleh aliran sungai ke laut daerah pesisir. Ketiga, pada daerah yang jauh dari pantai, sedimen laut dalam berasal dari rangka tanaman bersel satu dan zooplankton yang termineralisasi (Sumich 1976). Substrat keras lebih umum ditemui di perairan pesisir dimana terdapat arus pasang surut dan pergolakan massa air. Lebih jauh di lepas pantai, dasar laut didominasi oleh sedimen halus. Selain itu, pada dasar laut di lepas pantai juga terdapat substrat keras, substrat keras lebih banyak terdapat di wilayah gunung laut, palung laut dan daerah-daerah tertentu dimana daerah tersebut terlalu curam sehingga tidak terjadi sedimentasi (Kingston 2001). Jenis substrat dalam perairan sangat menentukan kepadatan serta komposisi hewan benthos (Brower et al. 1990). Distribusi tanaman dan hewan benthos 7 sangat dipengaruhi oleh tekstur dan kestabilan substratnya. Substrat ini mempengaruhi keefektifan gerak bagi organisme motil sedangkan bagi organisme non-motil substrat akan mempengaruhi kemampuan menempel mereka pada substrat. Organisme epifauna seringkali dijumpai berasosiasi dengan substrat yang solid. Kandungan partikel dan kandungan bahan organik akan mempengaruhi distribusi hewan-hewan dengan spesialisasi kebiasaan makan tertentu. Makrozoobenthos juga memiliki peran penting dalam pencampuran sedimen melalui kegiatan menggali dan makan mereka (Sumich 1976). 2.4. Parameter Fisika 2.4.1. Suhu Suhu merupakan pengatur utama proses fisik dan kimia yang terjadi di perairan. Suhu secara langsung mempengaruhi kelarutan oksigen dan proses kehidupan organisme seperti pertumbuhan dan reproduksi (Huet & Timmermans 1971 in Effendi 2003) serta penyebaran organisme (Nybakken 1988). Air laut dalam memiliki suhu yang dingin, berkisar antara 10 °C pada kedalaman 200 m hingga 2 °C pada kedalaman di bawah 3000 m (Carney 2011 in Kropp 2004). 2.4.2. Kekeruhan Kekeruhan mengambarkan sifat optik air yang ditentukan berdasarkan banyaknya cahaya yang diserap dan dipancarkan oleh bahan-bahan yang terdapat dalam air (Davis & Cornwell 1991 in Effendi 2003). Kekeruhan pada perairan pada umumnya disebabkan oleh adanya partikel-partikel suspensi seperti tanah liat, lumpur, bahan-bahan organik terlarut, bakteri, plankton, dan organisme lainnya (Effendi 2003). 2.4.3. Total padatan tersuspensi (TSS) Padatan tersuspensi adalah bahan-bahan tersuspensi dan tidak larut dalam air serta tersaring pada kertas saring Millipore dengan ukuran pori-pori 0,45 µm (APHA 1995). Partikel-partikel yang tersuspensi tersebut dapat mengalami sedimentasi yang akan melapisi substrat hidup benthos sehingga keanekaragaman dan kelimpahannya menurun (Hawkes & Davies 1979). 8 2.5. Parameter Kimia 2.5.1. Salinitas Salinitas merupakan total konsentrasi dari seluruh ion terlarut dalam air. Salitinas dinyatakan dalam satuan per mil (‰) maupun PSU (Practical Salinity Nilai salinitas perairan laut berkisar antara 30-40 ‰ (Effendi 2003). Unit). Salinitas mempunyai peran penting dalam distribusi organisme dan berperan penting dalam lingkungan laut (Nybakken 1988). Pada perairan yang dalam, salinitas akan bernilai homogen (Kropp 2004). 2.5.2. Oksigen terlarut (Dissolve Oxygen) Oksigen terlarut (Dissolve oxygen) adalah konsentrasi oksigen yang terlarut dalam air. Keberadaan oksigen di perairan sangat esensial bagi ikan dan organisme akuatik lainnya untuk pernafasan dan metabolisme (APHA 1995). Kandungan oksigen terlarut sangat penting bagi makrozoobenthos, terutama dalam proses respirasi dan dekomposisi bahan organik (Odum 1971). Kelarutan oksigen berkurang seiring dengan peningkatan suhu dan salinitas (Nybakken 1988). Kandungan oksigen terlarut pada laut dalam dapat mencapai nilai di bawah 3 mg/L. Kandungan oksigen tersebut dapat bertambah saat arus laut dalam dari kutub utara membawa air yang memiliki kandungan oksigen (Kropp 2004). 2.5.3. Kebutuhan oksigen biologis Kebutuhan oksigen biologis (Biological Oxygen Demand/BOD) adalah banyaknya oksigen yang dibutuhkan oleh mikroorganisme dalam proses dekomposisi bahan organik. Proses dekomposisi bahan organik di perairan tidak terjadi secara sekaligus, tapi tergantung pada bahan organik yang akan diuraikan (APHA 1995).