10 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori Penelitian ini menggunakan grand theory teori agensi dan teori sinyal yang didukung pula dengan beberapa supporting theory. Teori-teori tersebut akan dipaparkan sebagai berikut: 2.1.1 Teori Agensi (Agency Theory) Teori agensi muncul didorong oleh beberapa hasil penelitian yang dilakukan Wilson (1968), Arrow (1971), Ross (1973), serta Jensen dan Meckling (1975). Kemudian Jensen dan Meckling (1976) melanjutkan penelitian mereka yang membahas mengenai hubungan agensi dengan menggunakan analisis sebuah kontrak antara prinsipal dan agen, sehingga mereka terkenal menjadi pencetus teori agensi. Jensen dan Meckling (1976) menjelaskan bahwa hubungan keagenan muncul ketika satu atau lebih individu yang disebut sebagai prinsipal mempekerjakan satu atau lebih individu lain yang disebut sebagai agen. Pihak prinsipal memberikan suatu jasa dan mendelegasikan kekuasaan kepada agen untuk membuat suatu keputusan atas nama prinsipal. Teori agensi dapat dijadikan sebagai dasar praktek pengungkapan informasi akuntansi dan non akuntansi oleh manajemen kepada prinsipal, para pemegang saham, kreditor, para calon investor dan para pihak lainnya. Hubungan antara prinsipal dengan agen sering terjadi konflik kepentingan sehingga terjadi asimetri informasi. 10 11 Asimetri informasi terjadi karena manajemen lebih superior dalam menguasai informasi dibandingkan pihak para pemilik dan pemegang saham. Teori agensi menggunakan asumsi bahwa individu-individu bertindak untuk memaksimalkan kepentingan diri sendiri. lnformasi asimetri yang dimiliki agen maka akan mendorong untuk menyembunyikan beberapa informasi yang tidak diketahui pihak prinsipal. Sehingga dalam keadaan semacam ini pihak prinsipal seringkali berada pada posisi yang tidak diuntungkan (Nasirwan, 2012). Eisenhardt (1989) menjelaskan tujuan teori agensi adalah untuk menyelesaikan masalah konflik antara agen (yang menjalankan amanah) dengan prinsipal (pemilik). Sementara itu prinsipal sulit memverifikasi bahwa agen bekerja secara layak dan masalah pembagian risiko antara prinsipal dan agen. Eisenhardt (1989) menegaskan bahwa unit analisis yang dipergunakan dalam teori agensi adalah kontrak yang terkait dengan hubungan antara prinsipal dan agen, sehingga fokus dari teori agensi adalah untuk membentuk kontrak yang efisien. Menurut Nasirwan (2012) teori agensi juga dapat menjelaskan pada tatanan praktik bisnis yang lebih luas yaitu terhadap perusahaan-perusahaan yang akan dan sudah melakukan IPO. Banyak pihak yang terkait dengan perusahaan yang melakukan IPO. Pertama, pemilik perusahaan, para pemegang saham, dan para calon investor sebagai prinsipal. Kedua, pihak menajemen perusahaan sebagai agen. Ketiga, auditor independen, penjamin emisi, komisaris independen, dan komite audit sebagai sebagai pihak penengah untuk mengurangi terjadinya asimetri informasi antara prinsipal dan agen. 12 Menurut Beatty (1989) asimetri informasi dapat terjadi antara perusahaan emiten dengan underwriter (Model Baron) atau antara informed investor dengan uninformed investor (Model Rock). Pada model Baron (1982) penjamin emisi (underwriter) dianggap memiliki informasi tentang pasar yang lebih lengkap daripada emiten sedangkan terhadap calon investor, penjamin emisi memiliki informasi yang lebih lengkap tentang kondisi emiten. Semakin besar asimetri informasi yang terjadi maka semakin besar risiko yang dihadapi oleh investor, dan semakin tinggi initial return yang di harapkan dari harga saham. Model Rock (1986) menyatakan bahwa asimetri informasi terjadi pada kelompok informed investor dengan uninformed investor. Informed investor yang memiliki informasi lebih banyak mengenai perusahaan emiten akan membeli saham-saham IPO jika harga pasar yang diharapkan melebihi harga perdana. Sementara kelompok uninformed karena kurang memiliki informasi mengenai perusahaan emiten, cenderung melakukan penawaran secara sembarangan baik pada saham-saham IPO yang underpriced maupun overpriced. Akibatnya kelompok uninformed memperoleh proporsi yang lebih besar dalam saham IPO yang overpriced. Menyadari bahwa mereka menerima saham-saham IPO yang tidak proporsional, maka kelompok uninformed akan meninggalkan pasar perdana. Agar kelompok ini berpartisipasi dalam pasar perdana dan memungkinkan mereka memperoleh return saham yang wajar serta dapat menutup kerugian dari pembelian saham yang overpriced, maka saham-saham IPO harus cukup underpriced. Welch dan Ritter (2002) menjelaskan asimetri informasi dengan membagi dua situasi yang mengasumsikan perbedaan informasi antara issuer dan investor. 13 Pertama, jika issuer memiliki informasi yang lebih baik daripada investor maka investor yang rasional akan menghadapi lemon problem: hanya issuer yang berkualitas di bawah rata-ratalah yang bersedia menjual sahamnya dengan harga rata-rata. Sementara issuer yang berkualitas tinggi untuk membedakan dengan issuer yang berkualitas di bawah rata-rata maju dengan menawarkan harga saham yang lebih rendah untuk menunjukkan nilai yang perusahaan miliki. Kemudian pasar percaya bahwa saham tersebut layak dibeli dan hal tersebut juga untuk menghalangi issuer berkualitas di bawah rata-rata menirunya. Kedua, jika investor memiliki informasi yang lebih baik daripada issuer, maka issuer akan menghadapi allocation problem. Dalam kondisi ini, issuer tidak mengetahui seberapa besar permintaan pasar terhadap sahamnya dan berapa harga yang diinginkan oleh pasar. Jika investor memiliki informasi yang lebih baik, maka ia akan membeli saham jika harga yang ditawarkan lebih rendah daripada nilai yang dipersepsikan oleh investor tersebut. Menurut Scott (2009:12) dalam Nasirwan (2012) ada dua macam asimetri informasi. Pertama, adverse selection, adalah para manajer serta orang-orang dalam lainnya biasanya mengetahui lebih banyak keadaan dan prospek perusahaan dibandingkan para investor pihak luar, sehingga fakta yang dapat mempengaruhi keputusan yang diambil oleh pemegang saham tidak disampaikan. Kedua, moral hazard, adalah setiap kegiatan yang dilakukan · oleh manajer yang tidak seluruhnya diketahui oleh pemegang saham maupun pemberi pinjaman. Manajer dapat melakukan tindakan melanggar kontrak, etika dan norma di luar pengetahuan pemegang saham. Untuk mengurangi asimetri informasi yang 14 dilakukan manajemen saat dan setelah IPO diperlukan pihak ketiga yaitu auditor dan penjamin emisi yang bereputasi baik, membentuk komisaris independen dan komite audit dalam lata kelola perusahaan yang baik. 2.1.2 Teori Sinyal (Signalling Theory) Menurut Wolk, et al. (2001:375) teori sinyal menjelaskan alasan perusahaan menyajikan informasi untuk pasar modal. Teori sinyal menunjukkan adanya asimetri informasi antara manajemen perusahaan dan pihak-pihak yang berkepentingan dengan informasi tersebut. Teori sinyal mengemukakan tentang bagaimana seharusnya perusahaan memberikan sinyal-sinyal pada pihak-pihak yang berkepentingan. Jogiyanto (2000: 392) mengungkapkan bahwa informasi yang dipublikasikan sebagai suatu pengumuman akan memberikan sinyal bagi investor dalam pengambilan keputusan investasi. Jika pengumuman tersebut mengandung nilai positif, maka diharapkan pasar akan bereaksi pada waktu pengumuman tersebut diterima oleh pasar. Informasi mengenai perusahaan merupakan sinyal bagi investor, dalam keputusan berinvestasi. Informasi tersebut memberikan gambaran mengenai prospek perusahaan di masa depan. Informasi tersebut dapat bersifat financial maupun non-financial. Apabila kondisi financial atau non-financial perusahaan dinilai baik oleh investor maka, investor akan meresponnya dengan menawarakan harga yang tinggi atas saham perdana di atas harganya pada pasar perdana, sehingga ketika dijualperbelikan di pasar sekunder harganya akan meningkat dan terjadi underpricing (Allen dan Faulhaber, 1989 dalam Martani, 2003). 15 Welch dan Ritter (2002) juga mengungkapkan konsep teori sinyal dalam fenomena underpricing. Underpricing dinyatakan sebagai suatu mekanisme untuk memberi sinyal atas kualitas dari suatu perusahaan. Jadi, perusahaan-perusahaan yang memiliki kualitas yang baik melakukan underpricing atas saham-sahamnya dengan tujuan agar memperoleh keberhasilan penjualan saat melakukan penawaran saham di masa yang akan datang. Sementara itu, menurut Gumanti dan Alkaf (2011) underpricing saat penawaran saham perdana merupakan sinyal atas kualitas perusahaan yang bermanfaat saat melakukan penawaran saham susulan yang dikenal sebagai model sinyal (signaling model). Perusahaan dengan kualitas baik memilih underpricing sebagai sinyal untuk menunjukkan bahwa kualitas perusahaan mereka berbeda dengan perusahaan yang lain. Implikasi dari sinyal ini adalah perusahaan berharap tingkat underpricing pada saat penawaran saham susulan tidak setinggi pada saat penawaran saham perdana. 2.1.3 Penawaran Umum Perdana Menurut UU No. 8 Tahun 1995, Penawaran umum adalah kegiatan penawaran efek yang dilakukan oleh emiten untuk menjual efek kepada masyarakat berdasarkan tata cara yang diatur dalam undang-undang dan peraturan pelaksanaannya. Perusahaan yang membutuhkan dana dapat melakukan penerbitan surat berharga seperti saham (stock), obligasi (bond), dan sekuritas lainnya. Surat berharga yang baru dijual dapat berupa penawaran perdana ke publik atau tambahan surat berharga baru jika perusahaan sudah go public. 16 Sebelum perusahaan yang berbentuk PT dapat menawarkan sahamnya ke pasar modal (ditawarkan di pasar perdana), perusahaan harus mendapat persetujuan dari Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam-LK). Berbagai persyaratan akan ditanyakan oleh Bapepam-LK dan harus dipenuhi oleh perusahaan. Bapepam-LK akan melakukan review, apabila disetujui maka pendaftaran tersebut menjadi efektif berada di pasar perdana. Perusahaan kemudian melakukan pendaftaran agar terdaftar di bursa. Bursa akan melakukan review untuk persyaratan pendaftaran. Apabila disetujui perusahaan tersebut membayar fee ke bursa dan sekuritas tersebut pun terdaftar di pasar sekunder (Soepriyono, 2005). Penawaran Umum di BEI mencakup kegiatan-kegiatan berikut (www.idx.co.id): 1) Periode Pasar Perdana yaitu ketika efek ditawarkan kepada pemodal oleh Penjamin Emisi melalui para Agen Penjual yang ditunjuk. 2) Penjatahan Saham yaitu pengalokasian efek pesanan para pemodal sesuai dengan jumlah efek yang tersedia. 3) Pencatatan efek di Bursa, yaitu saat efek tersebut mulai diperdagangkan di Bursa. Proses Penawaran Umum saham di Bursa Efek Indonesia (BEI) dapat dikelompokkan menjadi 4 tahapan berikut (www.idx.co.id): 1) Tahap Persiapan Tahap ini merupakan tahap awal dalam rangka mempersiapkan segala sesuatu yang berkaitan dengan proses Penawaran Umum. Pada tahap yang 17 paling awal perusahaan yang akan menerbitkan saham terlebih dahulu melakukan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) untuk meminta persetujuan para pemegang saham dalam rangka Penawaran Umum saham. Setelah mendapat persetujuan, selanjutnya emiten melakukan penunjukkan penjamin emisi serta lembaga dan profesi penunjang pasar yaitu: a. Penjamin Emisi (underwriter). Merupakan pihak yang paling banyak keterlibatannya dalam membantu emiten dalam rangka penerbitan saham. Kegiatan yang dilakukan penjamin emisi antara lain: menyiapkan berbagai dokumen, membantu menyiapkan prospektus, dan memberikan penjaminan atas penerbitan. b. Akuntan Publik (Auditor Independen). Bertugas melakukan audit atau pemeriksaan atas laporan keuangan calon emiten. c. Penilai untuk melakukan penilaian terhadap aktiva tetap perusahaan dan menentukan nilai wajar dari aktiva tetap tersebut. d. Konsultan Hukum untuk memberikan pendapat dari segi hukum (legal opinion). e. Notaris untuk membuat akta-akta perubahan Anggaran Dasar, akta perjanjian-perjanjian dalam rangka penawaran umum dan juga notulen-notulen rapat. 2) Tahap Pengajuan Pernyataan Pendaftaran 18 Pada tahap ini, dilengkapi dengan dokumen-dokumen pendukung calon emiten menyampaikan pendaftaran kepada Bapepam-LK hingga Bapepam-LK menyatakan Pernyataan Pendaftaran menjadi Efektif. 3) Tahap Penawaran Saham Tahap ini merupakan tahapan utama, karena pada waktu inilah emiten menawarkan saham kepada masyarakat atau investor. Investor dapat membeli saham tersebut melalui agen-agen penjual yang telah ditunjuk. Masa penawaran sekurang-kurangnya tiga hari kerja. Perlu diingat pula bahwa tidak seluruh keinginan investor terpenuhi dalam tahapan ini. Misal, saham yang dilepas ke pasar perdana sebanyak 100 juta saham sementara yang ingin dibeli seluruh investor berjumlah 150 juta saham. Jika investor tidak mendapatkan saham pada pasar perdana, maka investor tersebut dapat membeli di pasar sekunder yaitu setelah saham dicatatkan di Bursa Efek. 4) Tahap Pencatatan saham di Bursa Efek Setelah selesai penjualan saham di pasar perdana, selanjutnya saham tersebut dicatatkan di BEI. 2.1.4 Underpricing Underpricing merupakan kecenderungan bahwa harga penawaran di pasar perdana selalu lebih rendah dibandingkan dengan harga penutupan pada hari pertama diperdagangkan di pasar sekunder (Hanafi, 2004). Harga saham yang dijual di pasar perdana (saat IPO) telah ditentukan terlebih dahulu atas kesepakatan antara emiten dan penjamin emisi, sedangkan harga di pasar sekunder 19 ditentukan oleh mekanisme pasar (permintaan dan penawaran). Di dalam dua mekanisme penentuan harga tersebut, sering terjadi perbedaan harga saham antara pasar perdana dan pasar sekunder. Jika harga saham saat IPO lebih rendah dibandingkan dengan harga di pasar sekunder pada hari pertama, maka terjadilah underpricing. Underpricing juga sering disebut sebagai tingkat initial return yang positif (Rahmadeni, 2012). Menurut De Lorenzo dan Fabrizio (2001) hampir semua penelitian terdahulu menjelaskan terjadinya underpricing sebagai akibat dari adanya asimetri dalam distribusi informasi antara pelaku IPO yaitu perusahaan, underwriter, dan investor. Bagi perusahaan (emiten), underpricing dapat merugikan emiten karena dana yang dikumpulkan tidak maksimal. Namun, underpricing dapat dijadikan strategi pemasaran untuk meningkatkan minat investor berinvestasi dalam saham IPO dengan memberikan initial return yang tinggi. Sementara itu Kim dan Shin (2001) menyatakan bahwa kemungkinan terjadinya underpricing disebabkan karena kesengajaan underwriter untuk menetapkan harga penawaran jauh dibawah harga pasar untuk meminimalkan kerugian yang harus ditanggung atas saham yang tidak terjual. Filatotchev dan Bishop (2002) dalam penelitiannya menggambarkan underpricing sebagai proses transfer kekayaan dari pemegang saham lama ke investor. Underpricing berhubungan dengan asimetri informasi, dimana underpricing merupakan biaya untuk mengompensasi ketidakpastian di masa mendatang pada investor yang disebabkan adanya asimetri informasi. 20 2.1.5 Initial Return Initial return adalah keuntungan yang didapat pemegang saham karena selisih harga saham yang dibeli di pasar perdana lebih kecil dengan harga jual saham yang bersangkutan di pasar sekunder. Para pemilik perusahaan menginginkan agar meminimalisasikan situasi underpricing, karena terjadinya underpricing akan menyebabkan transfer kemakmuran dari pemilik kepada para investor karena para investor menikmati initial return (Beatty, 1989). Menurut Rahmadeni (2012) initial return positif dapat diartikan sama dengan underpricing, karena telah terjadi penilaian harga yang lebih rendah pada pasar perdana dibandingkan dengan harga yang diperjualbelikan di pasar sekunder pada hari pertama. Sehingga semakin tinggi nilai initial return menggambarkan semakin tinggi nilai underpricing atas saham yang ditawarkan. 2.1.6 Ukuran Perusahaan Ukuran perusahaan dapat dijadikan sebagai proxy tingkat ketidakpastian saham karena perusahaan yang berskala besar cenderung lebih dikenal masyarakat, sehingga informasi mengenai prospek perusahaan berskala besar lebih mudah diperoleh investor daripada perusahaan berskala kecil. Tingkat ketidakpastian yang akan dihadapi oleh calon investor mengenai masa depan perusahaan emiten dapat diperkecil apabila informasi yang diperolehnya banyak (Ardiansyah, 2004). Pengukuran besar kecilnya perusahaan dapat dilakukan dengan berbagai cara misalnya jumlah omset penjualan, jumlah produk, modal perusahaan dan total aktiva (Kristiantari, 2012). Titman dan Wessels (1988), menyatakan 21 logaritma natural dari total aktiva dan logaritma natural dari total penjualan dapat digunakan sebagai indikator ukuran perusahaan. Total aktiva dianggap mampu menunjukkan ukuran perusahaan karena mewakili kekayaan perusahaan baik berupa aktiva tetap maupun aktiva lancar (Carter dan Manaster, 1990). Suyatmin dan Sujadi (2006) menyatakan perusahaan yang berskala besar umumnya lebih dikenal oleh masyarakat sehingga informasi yang investor dapatkan pada perusahaan yang berskala besar semakin tinggi pula dan tingkat ketidakpastian di masa yang akan datang semakin rendah. Dengan demikian, perusahaan yang berskala besar mempunyai underpriced yang lebih rendah daripada perusahaan yang berskala kecil maka initial return yang akan diterima oleh investor akan semakin rendah. 2.1.7 Return On Asset Return on asset merupakan salah satu rasio profitabilitas, yaitu rasio yang menunjukkan seberapa efektifnya perusahaan beroperasi sehingga menghasilkan keuntungan atau laba bagi perusahaan. ROA digunakan untuk mengukur efektivitas perusahaan dalam menghasilkan keuntungan dengan cara memanfaatkan aktiva yang dimilikinya (Ang, 1997). Nilai ROA yang semakin tinggi akan menunjukkan bahwa perusahaan mampu menghasilkan laba di masa yang akan datang dan laba merupakan informasi penting bagi investor sebagai pertimbangan dalam menanamkan modalnya (Lutfianto, 2013). Profitabilitas yang tinggi akan mengurangi ketidakpastian perusahaan di masa yang akan datang, dan sekaligus mengurangi ketidakpastian pasar, sehingga akan mengurangi underpricing (Kim et al., 1993). 22 Yasa (2008) menyatakan bahwa terdapat hubungan yang signifikan negatif antara besarnya ROA dengan initial return, ini berarti bahwa perusahaan dengan ROA semakin tinggi maka tingkat initial return-nya semakin rendah. 2.1.8 Financial Leverage Financial leverage menunjukkan proporsi penggunaan hutang untuk membiayai investasi. Perusahaan yang tidak mempunyai leverage berarti menggunakan modal sendiri 100% (Sartono, 2008:120). Rasio ini juga menggambarkan kemampuan perusahaan mengatasi risiko di jangka panjang. Secara teoritis, financial leverage menunjukkan risiko suatu perusahaan dan kondisi ketidakpastian (Kim et al, 1993). Menurut Daljono (2000) Tingkat leverage berpengaruh terhadap keputusan investasi di pasar modal Indonesia, semakin tinggi tingkat leverage suatu perusahaan maka akan semakin tinggi pula resiko yang dihadapi perusahaan apabila terdapat kemungkinan gagal bayar dari perusahaan untuk menutupi utangutangnya. Dalam keadaan seperti ini tentu harga saham saat IPO cenderung rendah karena timbul ketidak percayaan diri dari penjamin emisi dalam menjual semua saham dengan tingkat harga yang tinggi. Hal ini yang berpengaruh negatif terhadap keputusan investasi di pasar perdana digambarkan dengan underpricing saham yang meningkat sehingga initial return yang diterima investor apabila membeli saham tersebut juga akan meningkat. Diduga semakin tinggi tingkat solvabilitas perusahaan, maka tingkat initial return yang diterima investor juga semakin tinggi 23 Financial leverage perusahaan dapat diukur dengan debt to equity ratio, yaitu total utang dibagi ekuitas perusahaan. Semakin kecil rasio ini maka semakin baik perusahaan dalam membiayai kewajiban jangka panjangnya. Dengan kata lain semakin kecil ketidakpastian (uncertainty) yang dihadapi investor dimasa depan terkait kemampuan bertahan perusahaan. Ketidakpastian yang semakin kecil ini akan memperkecil nilai initial return (Rahmadeni, 2012). 2.1.9 Earning per Share Earning per share merupakan keuntungan yang investor peroleh atas setiap lembar saham yang dimilikinya. EPS yang tinggi berarti perusahaan berkinerja baik, dan tentunya akan menarik minat para pemegang saham dan calon pemegang saham. Semakin tinggi nilai EPS menunjukkan bahwa perusahaan semakin sehat dan akan menjadi faktor yang memotivasi para investor untuk menginvestasikan dananya ke perusahaan (Lutfianto, 2013). Menurut Ang (1997) Earning Per Share (EPS) merupakan perbandingan antara laba bersih setelah pajak pada satu tahun buku dengan jumlah saham yang diterbitkan (Outstanding Shares). Apabila EPS perusahaan tinggi, akan semakin banyak investor yang mau membeli saham tersebut sehingga menyebabkan harga saham tinggi (Astuti dan Syahyunan, 2013). Sehingga hal ini akan mengakibatkan pengaruh yang negatif terhadap initial return saham yang dimana akan sedikitnya initial return saham yang akan diperoleh investor (Ardiansyah, 2004). 24 2.1.10 Umur Perusahaan Menurut How et al., (1995) umur perusahaan menunjukkan seberapa lama perusahaan telah menjalankan usahanya sehingga berpengaruh pada tingkat pengalaman yang dimilikinya dalam menghadapi persaingan. Perusahaan yang beroperasi lebih lama mempunyai kemungkinan yang lebih besar untuk menyediakan informasi perusahaan yang lebih banyak dan luas daripada perusahaan yang baru saja berdiri. Dengan demikian akan mengurangi adanya asimetri informasi, memperkecil ketidakpastian pasar dan akhirnya akan mempengaruhi underpricing saham. Menurut Suyatmin dan Sujadi (2006), Yasa (2008), dan Handayani (2008) menyatakan bahwa umur perusahaan (age) berpengaruh negatif terhadap underpricing. Semakin lama umur perusahaan, maka informasi mengenai perusahaan tersebut semakin besar dan memperkecil ketidakpastian pasar yang pada akhirnya akan menurunkan underpricing saham. Jadi, dapat disimpulkan perusahaan yang memiliki umur relatif lama maka initial return-nya akan rendah. 2.1.11 Reputasi Auditor Auditor memiliki fungsi untuk melakukan pemeriksaan terhadap laporan keuangan perusahaan yang akan melakukan go public. Hasil pemeriksaan auditor sangat dibutuhkan oleh pihak-pihak yang berkepentingan untuk pengambilan keputusan. Auditor yang mempunyai banyak klien berarti auditor tersebut mendapat kepercayaan yang lebih dari klien untuk membawa nilai perusahaan klien ke pasar modal (Kartini dan Payamta, 2002). 25 Holland et al., (1993) menyatakan auditor yang mempunyai reputasi yang tinggi, akan mempertahankan reputasinya dengan memberikan kualitas yang baik terhadap hasil auditannya. Dengan menggunakan jasa auditor yang profesional akan mengurangi kesempatan emiten untuk berlaku curang dalam menyajikan informasi yang kurang akurat sehingga penggunaan auditor yang profesional dapat digunakan sebagai petunjuk kualitas perusahaan emiten. Beatty (1989) menyatakan bahwa reputasi auditor berpengaruh secara signifikan negatif terhadap return awal. Emiten yang menggunakan auditor yang memiliki reputasi baik akan menunjukkan initial return yang lebih rendah dibanding emiten yang menggunakan auditor yang reputasinya kurang baik. Dengan kata lain, reputasi auditor yang baik mengurangi terjadinya underpricing saham. 2.1.12 Reputasi Underwriter Menurut UU No. 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal penjamin emisi efek atau underwriter adalah pihak yang membuat kontrak dengan Emiten untuk melakukan Penawaran Umum bagi kepentingan Emiten dengan atau tanpa kewajiban untuk membeli sisa efek yang tidak terjual. Di dalam melakukan penjaminan emisi suatu efek, biasanya underwriter membentuk suatu kelompok yang terdiri dari lead underwriter (penjamin pelaksana emisi) dan anggota underwriter (penjamin emisi). Underwriting suatu efek dilakukan dengan menandatangani kontrak penjaminan emisi antara lead underwriter dengan emiten (Kristiantari, 2012). Menurut Ang (1997) terdapat empat jenis kontrak penjaminan emisi berdasarkan tipe kesanggupan penjaminan yaitu: 26 1) Best Effort (Kesanggupan Terbaik) Underwiter tidak bertanggung jawab atas sisa efek yang tidak terjual, tetapi underwriter akan berusaha dengan sebaik-baiknya untuk menjual efek emiten. Dengan metode ini, perusahaan sekuritas bertindak hanya sebagai agen penjual (tidak membeli saham), pada harga penawaran tertentu, dan memperoleh komisi untuk saham yang terjual. Jika ada saham yang tidak terjual, saham tersebut akan ditarik oleh perusahaan. 2) Full Commitment (Kesanggupan Penuh) Underwriter bertanggung jawab penuh terhadap penjualan efek. Dengan metode ini, underwriter membeli semua saham yang dijual oleh emiten dengan harga yang lebih rendah dari harga penawaran dan menanggung semua risiko atas saham yang tidak terjual. 3) Stand-by Commitment (Kesanggupan Siaga) Tanggung jawab underwriter disini hampir sama dengan full commitment, hanya saja bedanya underwriter bertanggung jawab mengambil sisa saham yang tidak terserap di masyarakat pada harga lebih murah dibawah harga pada penawaran perdana yang telah disepakati sebelumnya. 4) All or None Commitment (Kesanggupan Semua atau Tidak Sama Sekali) Apabila minat di masyarakat terhadap saham yang ditawarkan tidak memenuhi target yang telah ditetapkan, maka underwriter tidak akan melanjutkan proses emisi. Peranan underwriter diduga berpengaruh terhadap tinggi rendahnya underpricing karena tinggi rendahnya harga perdana saham yang akan dibeli 27 investor tergantung kesepakatan antara penjamin emisi dengan emiten (Astuti dan Syahyunan, 2013). Underwriter dengan reputasi tinggi lebih mempunyai kepercayaan diri terhadap kesuksesan penawaran saham yang diserap oleh pasar. Dengan demikian ada kecenderungan underwriter yang bereputasi tinggi lebih berani memberikan harga yang tinggi sebagai konsekuensi dari kualitas penjaminannya, sehingga tingkat underpricing pun rendah. Reputasi underwriter diyakini menjadi pertimbangan penting bagi investor untuk membeli saham suatu perusahaan. Semakin tinggi reputasi underwriter, initial return akan semakin rendah atau reputasi underwriter mempunyai pengaruh negatif pada underpricing (Kristiantari, 2012). Penyataan ini didukung oleh penelitian Beatty (1989), Carter dan Manaster (1990), Kim et al. (1993), Amin (2001), Kim et al. (2002), Yasa (2008), Astuti dan Syahyunan (2013), serta Hapsari dan Mahfud (2012) yang hasil penelitiannya membuktikan reputasi underwriter berpengaruh negatif terhadap initial return. 2.1.13 Sektor Industri Menurut Yolana dan Martani (2005) jenis industri digunakan sebagai variabel independen dapat digunakan untuk melihat apakah underpricing terjadi pada hampir semua jenis industri yang IPO atau hanya pada jenis industri tertentu saja. Variabel jenis industri mungkin saja mempengaruhi underpricing karena tiap industri memiliki risiko dan tingkat ketidakpastian berbeda sehingga dapat mempengaruhi investor dalam mengambil keputusan berinvestasi. Risiko untuk setiap sektor industri berbeda karena adanya perbedaan karakteristik. Perbedaan risiko ini menyebabkan tingkat keuntungan yang diharapkan oleh investor untuk 28 setiap sektor juga berbeda. Sehingga tingkat underpricing saham perdana untuk tiap sektor industri mungkin akan berbeda. Jenis industri yang berisiko tinggi biasanya akan memberi kompensasi yang besar atas keberanian dan ekspektasi investor untuk berinvestasi. 2.2 Pembahasan Hasil Penelitian Sebelumnya Beberapa penelitian mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi initial return saham telah banyak dilakukan baik di luar negeri maupun di Indonesia dengan pendekatan yang berbeda, dengan hasil temuan yang juga berbeda. Perbedaan ini menunjukkan hasil penelitian di bidang ini belum memiliki kekonsistenan, hal ini mungkin saja terjadi karena adanya perbedaan kondisi setiap pasar modal serta lingkungannya, perbedaan persepsi peneliti, serta data yang digunakan. Beatty (1989) melakukan penelitian dengan menggunakan data perusahaan yang melakukan IPO tahun 1975-1984 di NASDAQ Amerika dengan sampel sebanyak 2215 perusahaan yang menguji variabel reputasi auditor, reputasi penjamin emisi, umur perusahaan, prosentase penawaran saham, tipe kontrak penjamin emisi, dan indikator perusahaan minyak dan gas. Hasil penelitiannya memperoleh temuan bahwa terdapat hubungan signifikan (negatif) antara reputasi auditor, reputasi underwriter, tipe kontrak underwriter, dan umur perusahaan dengan initial return. Hubungan signifikan (positif) juga ditemukan antara persentase penawaran saham dan indikator perusahaan minyak dan gas pada initial return. Penelitian Carter dan Manaster (1990) meneliti 501 perusahaan yang melakukan IPO Januari 1979 sampai dengan Agustus 1983, menguji variabel 29 reputasi penjamin emisi, prosentase saham yang ditawarkan, nilai penawaran saham, dan umur perusahaan terhadap initial return. Hasil penelitian menyatakan bahwa semua variabel yang diuji berpengaruh negatif pada initial return. Mauer dan Senbet (1992) meneliti 1002 perusahaan pada periode tahun 1977 sampai 1984, menguji variabel beta, residual risk, offering size, company age, time of offering. Hasil penelitiannya menyatakan bahwa residual risk berpengaruh positif terhadap initial return, dan offering size, company age, time of offering berpengaruh negatif terdapat initial return. Kim et al. (1993) meneliti 177 perusahaan yang melakukan IPO tahun 1988-1990 di pasar modal Korea, menguji variabel Invesment, kualitas underwriter, ROA, financial leverage, gross proceeds, dan ownership retention. Hasil penelitiannya menyatakan bahwa kualitas underwriter, investment, ROA dan gross proceeds (size) berpengaruh negatif pada initial return. Penelitian ini juga menunjukkan bahwa financial leverage dan ownership retention berpengaruh positif pada initial return. Penelitian mengenai initial return di Indonesia antara lain dilakukan oleh Trisnawati (1998) yang melakukan penelitian di BEJ dengan menggunakan sampel 47 perusahaan yang melakukan IPO tahun 1994-1995, menguji variabel reputasi auditor, reputasi penjamin emisi, umur perusahaan, persentase saham yang ditawarkan, ROA, dan financial leverage terhadap initial return. Hasil penelitiannya mengemukakan bahwa hanya umur perusahaan yang berpengaruh positif pada initial return. Daljono (2000) meneliti 151 perusahaan periode tahun 1990-1997 menguji variabel reputasi auditor, reputasi penjamin emisi, umur perusahaan, prosentase saham yang ditawarkan kepada publik, ROA, financial 30 leverage, solvability ratio. Hasil penelitiannya menyatakan bahwa reputasi penjamin emisi dan financial leverage berpengaruh signifikan positif terhadap initial return. Sandhiaji (2004) melakukan penelitian dengan sampel perusahaan manufaktur yang melakukan IPO tahun 1996-2002 di BEJ menguji variabel reputasi underwriter, reputasi auditor, jumlah saham yang ditahan pemilik, ROA, umur perusahaan, dan ukuran perusahaan. Hasil penelitiannya mengemukakan bahwa jumlah saham yang ditahan pemilik berpengaruh positif terhadap initial return. Sedangkan variabel reputasi underwriter, ROA, umur perusahaan, dan ukuran perusahaan berpengaruh negatif terhadap initial return. Yolana dan Martani (2005) perusahaan yang melakukan IPO di BEJ dari tahun 1994 – 2001 menguji variabel reputasi penjamin emisi, rata-rata kurs, ukuran perusahaan, ROE, dan jenis industri. Hasil penelitannya mengemukakan bahwa variabel ratarata kurs dan ROE berpengaruh positif terhadap initial return serta variabel ukuran perusahaan dan jenis industri berpengaruh negatif terhadap initial return. Penelitian yang dilakukan Handayani (2008) meneliti perusahaan- perusahaan yang bergerak di sektor industri keuangan yang melakukan IPO dan listing di BEJ periode tahun 2000-2006 menguji variabel DER, ROA, EPS, umur perusahaan, ukuran perusahaan dan prosentase saham yang ditawarkan. Hasil penelitiannya menyatakan bahwa ukuran perusahaan dan prosentase saham yang ditawarkan berpengaruh positif terhadap initial return, kemudian variabel EPS dinyatakan mempunyai pengaruh negatif terhadap initial return. Yasa (2008) meneliti seluruh perusahaan yang melakukan IPO tahun 1990–2001 menguji 31 variabel reputasi auditor, reputasi underwriter, umur perusahaan, persentase saham yang ditawarkan, ROA, financial leverage, solvability ratio, ukuran perusahaan, dan kepemilikan pemerintah. Hasil penelitiannya adalah reputasi underwriter dan profitabilitas perusahaan (ROA) berpengaruh signifikan pada initial return. Hapsari dan Mahfud (2012) meneliti perusahaan IPO di BEI periode tahun 2008–2010 dengan menguji variabel reputasi underwriter, reputasi auditor, current ratio, EPS, ROE, dan ukuran perusahaan. Hasil penelitiannya menyatakan bahwa reputasi underwriter, reputasi auditor, ROE, dan ukuran perusahaan berpengaruh negatif terhadap initial return. Penelitian yang dilakukan oleh Widiyanti dan Kusuma (2013) menggunakan sampel perusahaan-perusahaan yang melakukan IPO dan listing di BEI periode tahun 2008-2011 menguji variabel ukuran perusahaan, EPS, PER, financial leverage, ROA, proporsi kepemilikan pemegang saham lama, reputasi auditor, reputasi underwriter, dan umur perusahaan. Hasil penelitiannya menyatakan bahwa variabel ukuran perusahaan, ROA, dan proporsi kepemilikan pemegang saham lama berpengaruh positif tersadap initial return, variabel EPS dan financial leverage berpengaruh negatif terhadap initial return.