BAB V KESIMPULAN Berdasarkan analisis yang

advertisement
106
BAB V
KESIMPULAN
Berdasarkan analisis yang dilakukan menggunakan metode dialektik dapat
ditarik kesimpulan bahwa struktur novel yang terbangun dalam novel TunggakTunggak Jati adalah adanya hubungan antarmanusia yang terjadi dalam bidang
struktur ekonomi, sosial, jabatan, pribumi, asli Cina dan campuran. Hubungan
manusia dengan alam, hubungan manusia dengan Tuhan dan hubungan lahir
batin.
Tunggak-Tunggak Jati memuat hubungan manusia dengan manusia yang
terjadi antara hubungan orang pribumi dengan non pribumi, pribumi dan pribumi
dan non pribumi dan pribumi. Dalam hubungan ini kaum non pribumi
berdasarkan penguasaan terhadap perekonomian menduduki posisi lebih tinggi
dari pribumi. Hal ini yang memunculkan kesenjangan sosial dan anggapan rendah
terhadap orang pribumi dalam struktur ekonomi
Esmiet menggambarkan hubungan sosial antar manusia di dalam novel
juga terjadi antara pemimpin dan rakyat serta bawahan. Atasan bisa melakukan
dan menghukum bawahannya apabila bawahannya melakukan hal yang menyalahi
aturan. Di sini lah kedudukan yang tinggi dan kekuasaan berperan dalam
membenahi bawahan yang tidak patuh, karena atasan mempunyai wewenang
untuk menertibkan bawahan yang tidak patuh.
106
107
Dalam Tunggak-Tunggak Jati juga digambarkan adanya hubungan antara
orang pribumi dan non pribumi bukan hanya sebatas dalam perekonomian saja,
tetapi juga dalam cinta dan perkawinan. Hal ini yang menjadikan hubungan
pribumi dan non pribumi menjadi longgar. Orang non pribumi bisa menyatu
karena cinta sehingga menjadikan keturunan mereka mempunyai darah campuran.
Terdapat hubungan antara sesama asli Cina, hubungan antara Cina asli dan Cina
campuran, dan hubungan antara pribumi dengan Cina asli dan campuran. Semua
bisa ditembus dengan adanya cinta dan perkawinan
Dari segi pandangan orang Cina terhadap orang Jawa di novel TunggakTunggak Jati dijelaskan bahwa orang Cina menganggap kalangan Jawa yang tidak
mempunyai pendidikan tinggi dan kedudukan jabatan itu rendah. Martabat dan
derajatnya lebih rendah daripada orang Cina,
hal ini bisa ditembus dengan
kekuasaan dan pendidikan orang Jawa yang dimiliki. Orang Cina lebih mengakui
dan mensejajarkan derajat kedudukannya ketika orang Jawa mempunyai
kekuasaan atau pejabat.
Pembauran dalam novel Tunggak-Tunggak Jati adalah pembauran antara
orang Cina dengan orang Jawa yang hidup di pedesaan. Pembauran ini terjadi
disebabkan interaksi perdagangan. Kehidupan antara kaum non pribumi dan
pribumi ada perbedaannya. Kaum non pribumi digambarkan sebagai tuan tanah
yang menguasai perekonomian di desa itu, seperti tokoh Bian Biau. Ia memiliki
sifat lebih mementingkan pemilikan harta benda material daripada solidaritas
nasionalisme dan sifat licik dalam berupaya mencapai apa yang diinginkannya
yang merupakan sifat yang saling berkaitan. Bian Biau tidak hanya berbisnis
108
dengan pribumi saja melainkan dengan orang Arab juga. Bian Biau seorang Cina
yang dianggap suka mengejar harta dan dalam perdagangan sudah terbiasa
melakukan tindakan yang melanggar hukum dan norma sosial untuk mendapatkan
laba. Kaum non pribumi dianggap berprestasi dalam kegiatan ekonomi. Ekonomi
di pedesaan itu dikuasai Bian Biau, rakyat tidak diberi hak menanam karena tanah
tersebut disewa oleh Bian Biau. Perbedaan kehidupan dan sifat orang Cina itu
yang menjadikan adanya jarak hubungan antara orang pribumi dan non pribumi.
Dalam novel ini diceritakan adanya pembauran antara non pribumi dan pribumi
melalui banyak cara. Orang pribumi mencoba untuk menyejajarkan atau lebih
tinggi kedudukannya daripada non pribumi dengan pendidikan yang tinggi
sehingga dengan sukses telah melintasi batas-batas kelas.
Pengarang menggambarkan dalam novelnya yaitu Tunggak-Tunggak Jati
bahwa para karyawan departemen atau pekerja perusahaan kayu yang memanen
pohon-pohon yang sudah tua diizinkan mengolah lahan terbuka sementara untuk
menanam palawija bagi keuntungan mereka, penduduk non pribumi. Akan tetapi
penduduk asli lebih tidak memperhatikan hal itu. Mereka lebih memilih menjadi
pekerja yang ada di bawah penduduk non pribumi yang pintar memanfaatkan
lahan yang ada untuk ditanami tanaman yang mereka butuhkan. Hal ini
mengakibatkan penduduk non pribumi diposisikan pada strata hidup yang lebih
tinggi dibandingkan dengan penduduk pribumi. Hal ini juga yang menyebabkan
hubungan antara manusia dan alam tidak harmonis, karena penduduk pribumi
lebih memilih untuk menyewakan lahan daripada untuk memanfaatkannya dengan
109
mengelola
sendiri.
Kenyataannya
hanya
penduduk
non
pribumi
yang
memanfaatkan alam di daerah babatan ini.
Dalam novelnya ini Esmiet juga menggambarkan adanya hubungan lahir
dan batin yaitu hubungan dapat terjalin dengan harmonis apabila semua yang
dikatakan, sikap dan sifat yang ada sesuai dengan apa yang ada di dalam hati.
Apabila antara lahir dan batin tidak terjalin harmonis, yang harus diubah adalah
lahir karena semua berawal dari lahiriah manusia. Dalam hal ini tidak boleh ada
kebohongan dan kemunafikan. Hubungan lahir yang tidak harmonis terlihat pada
hubungan antara manusia dengan manusia. Secara batin, penduduk asli atau
pribumi menginginkan kehidupan yang layak dan sebagai tuan tanah di daerah
babatan sendiri. Namun, pada kenyataan, yang hidup makmur di tanah tersebut
adalah para pendatang atau penduduk non pribumi. Ini terjadi karena secara lahir
dan batin penduduk pribumi dianggap tidak memiliki kelayakan untuk mengelola
tanah babatan yang ada di daerah mereka sendiri. Mereka dianggap hanya layak
menjadi buruh karena keterbatasan yang mereka miliki.
Marhaenisme sebagai pandangan dunia yang terekpresikan dalam novel
Tunggak-Tunggak Jati ini. Hal ini diakibatkan adanya kesenjangan sosial antara
penduduk pribumi dan non pribumi dan adanya kelas sosial diantara keduanya.
Hal ini yang menyebabkan munculnya pandangan dunia marhaenisme yang
berusaha untuk melintasi kelas sosial dan perjuangan kelas. Pandangan Esmiet
sebagai pengarang tentang marhaenisme bahwa orang pribumi memperjuangkan
kesetaraan dengan kaum non pribumi sehingga penindasan terhadap kaum buruh
pribumi dapat dihilangkan dengan memberantas feodal dan kapitalis.
110
Genesis novel dan pengarang ini bisa dijelaskan bahwa pengarang yaitu
Esmiet lahir dari keluarga petani yang menempuh pendidikan rendah setaraf SMA
dan menjadi guru. Ideologi pedesaan lekat pada dirinya sebagai orang yang
berusaha utntuk memperjuangkan kaum petani yang tertindas dan direndahkan
oleh kaum non pribumi. Pengarang mewakili kelas sosialnya pada saat itu adalah
dengan pandangan marhaenisme karena ideologi ini melekat pada pengarang
sebagai terjun dalam politik yaitu PNI, sehingga ideologi itu lah yang dipakai
pengarang untuk berusaha memperjuangkan kelas pribumi atas non pribumi.
Selain itu lingkungan tempat tinggal pengarang mempengaruhi psikologi
penulisan novel atau karya sastra. Dalam hal ini Tunggak-Tunggak Jati
merupakan cerita nyata yang dialami oleh pengarang langsung. Daerah
Banyuwangi dan sekitarnya dijadikan latar tempat bagi penulisan novelnya. Di
sini Esmiet menggambarkan kehidupan antara orang pribumi dan non pribumi
yang ada dalam masyarakat Banyuwangi pada saat itu. Dalam cerita ini
menggunakan sudut pandang Karmodo seorang pribumi yang berasal dari
keturunan jongos yang melalui hidupnya dengan keprihatinan sampai bisa
melintasi kelas dan menjadi pejabat di daerah Banyuwangi. Selama perjalanan
hidup pengarang dari yang hidup dilalui dengan keprihatinan sampai menjadi
seorang pejabat ini mempengaruhi pengarang dalam menulis novel TunggakTunggak Jati ini.
Download