NASKAH PUBLIKASI HUBUNGAN HASIL UJI SCHIRMER I DENGAN UJI FERNING PADA PASIEN DRY EYE YANG DISEBABKAN MEIBOMIAN GLAND DYSFUNCTION DI KLINIK MATA RSUD DOKTER SOEDARSO HARMINUL ISYA I11108054 PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TANJUNGPURA 2016 1 2 Hubungan Hasil Uji Schirmer I dengan Uji Ferning pada Pasien Dry Eye yang Disebabkan Meibomian Gland Dysfunction di Klinik Mata RSUD Dokter Soedarso Harminul Isya1; Liesa Zulhidya2; Didiek Pangestu Hadi3 Intisari Latar Belakang: Dry eye disebabkan oleh gangguan pada salah satu lapisan atau kombinasi dari beberapa lapisan air mata. Gangguan pada salah satu lapisan air mata mempengaruhi lapisan air mata yang lain. Tujuan: Mengetahui hubungan hasil uji schirmer I dengan uji ferning pada pasien dry eye yang disebabkan meibomian gland dysfunction di klinik mata RSUD dr. Soedarso. Metode: Penelitian analitik dengan rancangan cross sectional. Data diambil dari pasien yang berkunjung ke klinik mata RSUD dr. Soedarso dengan diagnosis dry eye yang disebabkan meibomian gland dysfunction pada bulan April sampai dengan Juni 2015 yang memenuhi kriteria penelitian dengan metode Consecutive sampling. Data dianalisis dengan uji Chi square. Hasil: Jumlah sampel pada penelitian adalah 96 subyek. Subyek penelitian dengan hasil uji schirmer I abnormal sebanyak 55 subyek (57,3%) yang terdiri dari 30 subyek (31,3 %) dengan hasil ferning abnormal dan 25 subyek (26 %) dengan hasil ferning normal. Subyek dengan hasil uji schirmer I normal sebanyak 41 subyek (42,7%) yang terdiri dari 17 subyek (17,7 %) dengan hasil ferning abnormal dan 24 subyek (25 %) dengan hasil ferning normal. Hasil nilai p dari uji Chi-Square adalah 0,205. Kesimpulan: Tidak terdapat hubungan yang bermakna antara hasil uji schirmer I dengan hasil uji ferning pada pasien dry eye yang disebabkan meibomian gland dysfunction. Kata Kunci : dry eye, meibomian gland dysfunction, schirmer I, ferning. 1) Program Studi Pendidikan Dokter, Fakultas Kedokteran Universitas Tanjungpura Pontianak, Kalimantan Barat. 2) Departemen Penyakit Mata, Rumah Sakit Umum Daerah dr. Soedarso, Pontianak, Kalimantan Barat. 3) Departemen Fisiologi, Fakultas Kedokteran Universitas Tanjungpura Pontianak, Kalimantan Barat. 3 Correlation Between Schirmer I Test and Ferning Test in Dry Eye Patient Caused by Meibomian Gland Dysfunction in RSUD dr. Soedarso Eye Clinic Harminul Isya1; Liesa Zulhidya2; Didiek Pangestu Hadi3 Abstract Background: Dry eye caused by abnormality of one tear film or combination from several tear film. Abnormality of one tear film affect the other tear film. Objective: The objective of this study is to know the correlation between schirmer I test and ferning test in dry eye patient caused by meibomian gland dysfunction in RSUD dr. Soedarso eye clinic. Methods: Analytic study with cross sectional design. Data is obtained from patient whom visit RSUD dr. Soedarso eye clinic that diagnosed dry eye caused by meibomian gland dysfunction from April until June 2015 that fullfiled the criteria. Data is obtained by consecutive sampling method. Data is analyzed by Chi Square test. Result: The sample in this study are 96 subjects. Subject with abnormal schirmer I test are 55 subjects (57,3 %) consist of 30 subjects (31,3 %) with abnormal ferning and 25 subjects (26 %) with normal ferning. Subject with normal schirmer I test are 41 subjects (42,7 %) consist of 17 subjects (17,7 %) with abnormal ferning and 24 subjects (25 %) with normal ferning. Chi square test result is 0,205. Conclusion: There is no significant correlation between schirmer I test and ferning test in dry eye patient caused by meibomian gland dysfunction. Keywords : dry eye, meibomian gland dysfunction, schirmer I, ferning. 1) Medical school, Faculty of Medicine, Tanjungpura University, Pontianak, West Kalimantan. 2) Departement of Ophtalmology Disease, Regional General Hospital dr. Soedarso, Pontianak, West Kalimantan. 3) Department of Physiology, Faculty of Medicine, Tanjungpura University, Pontianak, West Kalimantan. 4 PENDAHULUAN Permukaan mata secara berkala terpapar ke atmosfer luar. Untuk mencegah agar tidak mengering, permukaan mata dilindungi oleh lapisan air mata1. Lapisan air mata terdiri atas lapisan lipid, akuos dan musin. Lapisan lipid dihasilkan oleh kelenjar meibom, lapisan akuos dihasilkan oleh kelenjar lakrimal, dan lapisan musin dihasilkan oleh sel goblet2-8. Tiap-tiap lapisan air mata berperan sangat penting dalam menjaga permukaan mata9. Lapisan lipid berperan mencegah penguapan dan menstabilkan lapisan air mata. Lapisan akuos berfungsi memberi nutrisi dan oksigen ke kornea, membantu membuang sisa metabolisme dan debris, melindungi permukaan mata, membawa enzim proteolitik dan protein, serta memberi kelembapan pada permukaan mata. Lapisan musin menciptakan penghalang hidrofilik sel epitel kornea untuk membasahi permukaan mata dan mencegah terjadinya kekeringan kornea. Gangguan atau kelainan dari salah satu atau lebih lapisan air mata akan menyebabkan dry eye2-8. Gangguan pada lapisan lipid merupakan lebih dari 75 % penyebab dry eye1. Dry eye adalah kelainan lapisan air mata yang terjadi akibat defisiensi air mata, atau penguapan yang berlebihan, dan berhubungan dengan gejala ketidaknyamanan dan iritasi mata seperti terasa panas, kering, berpasir, terbakar, gatal, atau berair10. Dry eye banyak terjadi di masyarakat dan menjadi masalah kesehatan karena tingginya prevalensi dan mengganggu kualitas hidup serta pekerjaan11,12. Penelitian Sumatra melaporkan prevalensi dry eye sebesar 27.5% dengan peningkatan prevalensi yang berhubungan dengan peningkatan usia, merokok, dan pterygium11. Dalam beberapa tahun terakhir pasien dry eye terus bertambah jumlahnya. Dua puluh lima persen pasien yang mengunjungi klinik mata melaporkan gejala dry eye, membuat dry eye sebagai kondisi yang sangat umum dijumpai oleh praktisi kesehatan mata 8,13. Salah satu penyebab dry eye adalah meibomian gland dysfunction (MGD)11. MGD adalah kelainan kronik difus kelenjar meibom yang ditandai dengan obstruksi duktus terminal dan/atau perubahan kualitatif /kuantitatif 5 pada sekresi lipid kelenjar meibom14. Perubahan kualitas atau kuantitas sekresi lipid menyebabkan kelainan fungsi lapisan air mata sehingga terjadi penguapan berlebih pada lapisan akuos11,14. Penguapan lapisan akuos yang berlebih menyebabkan hiperosmolaritas air mata. Hiperosmolaritas air mata menstimulasi inflamasi di permukaan mata. Inflamasi menyebabkan apoptosis sel epitel dan sel goblet permukaan mata. Apoptosis sel goblet akan mengganggu sekresi lapisan musin air mata11. Beberapa uji untuk dry eye antara lain uji schirmer I dan uji ferning. Uji schirmer I merupakan metode yang paling banyak digunakan untuk mengevaluasi produksi akuos air mata15. Uji schirmer I merupakan uji kuantitatif kasar produksi total air mata tanpa anestesi 16. Uji ferning merupakan uji kualitatif untuk menilai lapisan musin air mata 5. Pada pemeriksaaan terlihat fenomena ferning yang berupa pertumbuhan dendrit pada air mata yang dikeringkan16. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan lapisan akuos dengan lapisan musin pada pasien dry eye yang MGD menggunakan uji schirmer I dan ferning di klinik mata RSUD dr. Soedarso. Penelitian ini dianggap perlu dilakukan karena belum ada penelitian yang serupa yang dilakukan di Pontianak. BAHAN DAN METODE Penelitian ini merupakan penelitian analitik dengan rancangan cross sectional yang dilakukan di klinik mata RSUD dr. Soedarso. Informed consent dilakukan kepada subjek penelitian sebelum pengambilan data. Penelitian ini telah lolos kaji etik oleh Komite Etik Fakultas Kedokteran Universitas Tanjungpura. Pengambilan sampel dilakukan dengan metode consecutive sampling sebanyak 96 subjek. Uji schirmer I, uji ferning, dan uji flourescein break-up time (FBUT) dilakukan pada subjek, apabila pada pemeriksaan slitlamp oleh dokter spesialis mata ditemukan tanda klinis MGD. Jeda waktu antar uji tersebut adalah 10 menit. 6 Uji schirmer I dilakukan dengan meletakkan kertas schirmer di 1/3 lateral forniks inferior selama 5 menit dalam keadaan mata tertutup. Panjang kertas schirmer yang basah di bawah 10 mm merupakan abnormal. Uji ferning dimulai dengan pengambilan air mata sebanyak 1 µL dengan mikropipet di forniks kongjungtiva inferior. Air mata lalu diteteskan di atas kaca objek dan ditunggu mengering selama 10 menit. Kaca objek lalu diperiksa di mikroskop dengan pembesaran 40x. Penilaian hasil uji ferning berdasarkan klasifikasi Rolando sebagai berikut: Tipe I, percabangan yang akut tanpa ada ruang di antara ferning, sering disebut ferning komplit, arborisasi tak terputus. Tipe II, sama dengan tipe I tapi dengan banyak ruang di antara pola ferning dan lebih sedikit percabangannya. Tipe III, pola ferning tebal dan lebih kecil dengan percabangan yang sangat sedikit dan ruang antara ferning yang besar. Tipe IV, tidak terbentuk pola ferning. Ferning tipe I dan II merupakan ferning normal, sedangkan ferning tipe III dan IV merupakan ferning abnormal. Uji FBUT dilakukan dengan menetes larutan flouresein sebanyak 2 µL dengan mikropipet. Subjek diminta berkedip beberapa kali untuk menyebarkan larutan flouresein. Setelah menyebar, subjek diminta untuk tidak berkedip. Waktu antara kedipan terakhir dan timbulnya titik pecah pertama pada lapisan air mata dihitung menggunakan stopwatch. Uji FBUT dilakukan dengan slitlamp filter kobal warna biru. Uji FBUT abnormal apabila waktu antara kedipan terakhir dan pecahnya lapisan air mata <10 detik. Diagnosis MGD ditegakkan berdasarkan adanya tanda klinis MGD pada pemeriksaan slitlamp dan hasil yang abnormal pada uji fluorescein break-up time (FBUT). Tanda klinis MGD seperti: tidak ada sekret, sekret meibom yang keruh, sekret kental seperti pasta gigi, adanya sumbatan orificium, sikatrik, dan keratinisasi duktus terminal kelenjar meibom. Diagnosis dry eye ditegakkan berdasarkan hasil yang abnormal dari uji schirmer I, ferning, atau FBUT. Berdasarkan hasil uji FBUT, derajat dry 7 eye dibagi menjadi ringan (8-10 detik), sedang (5-7 detik) dan berat (<5 detik). Kriteria inklusi adalah pasien yang didiagnosis dry eye yang disebabkan MGD dan bersedia mengikuti prosedur penelitian. Kriteria eksklusi adalah pasien yang menggunakan obat yang dapat mempengaruhi lapisan air mata, pasien menderita kelainan/penyakit mata yang dapat mempengaruhi lapisan air mata, pasien dengan riwayat penyakit sistemik yang dapat mempengaruhi lapisan air mata, pasien yang menggunakan lensa kontak, dan pasien dengan riwayat pembedahan mata. Data diolah dengan bantuan program komputer Statistical Package for Sosial Sciences (SPSS) 22. Uji Chi-Square digunakan untuk menilai hubungan antara hasil uji schirmer I dengan hasil uji ferning. Apabila nilai p<0,05 berarti terdapat hubungan yang bermakna. HASIL Tabel 1 menunjukkan subyek penelitian terdiri atas 72 subyek (75 %) berjenis kelamin perempuan dan 24 subyek (25 %) berjenis kelamin lakilaki. Usia subyek terdapat pada rentang 29-77 tahun dengan rata-rata usia 52,90±10,83 tahun. Rentang usia subyek yang terbanyak adalah 50-56 tahun yaitu 28 subyek (29,2 %) dan yang paling sedikit adalah 29-35 tahun yaitu 2 subyek (2,1 %). Subyek penelitian yang berusia di atas 50 tahun sebanyak 62 subyek (64,7 %) dengan 52 subyek (54,17 %) di antaranya adalah perempuan. Tabel 2 menunjukkan subyek penelitian dengan hasil uji schirmer I abnormal sebanyak 55 subyek (57,3%) yang terdiri dari 30 subyek (31,3 %) dengan hasil ferning abnormal dan 25 subyek (26 %) dengan hasil ferning normal. Subyek dengan hasil uji schirmer I normal sebanyak 41 subyek (42,7%) yang terdiri dari 17 subyek (17,7 %) dengan hasil ferning abnormal dan 24 subyek (25 %) dengan hasil ferning normal. Subyek penelitian dengan hasil uji ferning abnormal sebanyak 47 subyek (49 %) dan hasil uji ferning normal sebanyak 49 subyek (51 %). 8 Tabel 1. Tabel Silang Karakteristik Subjek Penelitian 29-35 36-42 43-49 Kelompok 50-56 Usia 57-63 64-70 71-77 Total Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan Jumlah Subyek 0 2 Total 2 Persentase (%) 0 2,1 2,1 Jumlah Subyek 4 10 14 Persentase (%) 4,2 10,4 14,6 Jumlah Subyek 10 8 18 Persentase (%) 10,4 8,3 18,8 Jumlah Subyek 2 26 28 Persentase (%) 2,1 27,1 29,2 Jumlah Subyek 0 12 12 Persentase (%) 0 12,5 12,5 Jumlah Subyek 6 12 18 Persentase (%) 6,3 12,5 18,8 Jumlah Subyek 2 2 4 Persentase (%) 2,1 2,1 4,2 Jumlah Subyek 24 72 96 Persentase (%) 25 75 100 (Data Primer, 2015) Tabel 2. Tabel Silang Hasil Uji Schirmer I dengan Hasil Uji Ferning Hasil Uji Ferning Hasil Uji Abnormal Schirmer I Normal Total Total Abnormal Normal Jumlah Subyek 30 25 55 Persentase (%) 31,3 26 57,3 Jumlah Subyek 17 24 41 Persentase (%) 17,7 25 42,7 Jumlah Subyek 47 49 96 Persentase (%) 49 51 100 (Data Primer, 2015) 9 Tabel 3 menunjukkan subyek penelitian dengan hasil dry eye ringan sebanyak 21 subyek (21,9 %), dry eye sedang sebanyak 47 subyek (49 %), dan dry eye berat sebanyak 28 subyek (29,2 %). Tabel 3. Distribusi Frekuensi Subyek Penelitian Berdasarkan Derajat Dry Eye Derajat Dry Eye Jumlah Subyek Persentase (%) Ringan 21 21,9 Sedang 47 49,0 Berat 28 29,2 Total 96 100 (Data Primer, 2015) Uji statistik Chi-Square mendapatkan nilai p= 0,205. Nilai p yang bernilai >0,05 menunjukkan tidak terdapat hubungan yang bermakna antara hasil uji schirmer I dengan hasil uji ferning pada pasien dry eye yang disebabkan MGD. PEMBAHASAN Dry eye merupakan penyakit multifaktorial air mata dan permukaan mata yang terjadi akibat berkurangnya produksi air mata atau penguapan air mata yang berlebih. Dry eye dapat disebabkan oleh gangguan pada salah satu lapisan atau kombinasi dari beberapa lapisan air mata17-21. Mekanisme terjadinya dry eye dimulai dengan hiperosmolaritas dan instabilitas air mata yang menyebabkan inflamasi yang merusak permukaan mata. Inflamasi yang kronik pada dry eye berat menyebabkan perubahan morfologi seperti apoptosis sel konjungtiva, kornea dan sel goblet11,22,23. Apoptosis sel goblet menyebabkan gangguan lapisan musin 18,24-26. Penyebab utama hiperosmolaritas air mata adalah berkurangnya aliran akuos karena kegagalan kelenjar lakrimal atau meningkatnya penguapan air mata atau kombinasi dari keduanya 24,27,28. Penguapan air mata yang meningkat salah satunya disebabkan oleh MGD 29,30. MGD 10 menyebabkan gangguan pada lapisan lipid air mata yang penting untuk mengurangi penguapan31. MGD merupakan penyebab dry eye yang tersering32. Penelitian ini mendapatkan subyek penelitian dengan hasil uji schirmer I abnormal sebanyak 57,3 % dan hasil uji ferning abnormal sebanyak 49 %. Hasil ini didapatkan mengingat subyek penelitian yang banyak berusia lanjut dan berjenis kelamin perempuan. Penelitian ini mendapatkan subyek penelitian yang berusia di atas 50 tahun sebanyak 64,7 % dan jenis kelamin perempuan sebanyak 75 %. Beberapa penelitian epidemiologi telah mengidentifikasi usia dan jenis kelamin perempuan sebagai faktor resiko pada dry eye. Kejadian dry eye meningkat secara signifikan pada pasien yang berusia lanjut dan lebih banyak pada perempuan daripada laki-laki8,11,26,33-39. Dry eye pada pada pasien usia lanjut diasosiasikan dengan penurunan produksi dan stabilitas air mata, peningkatan evaporasi dan osmolaritas air mata, serta perubahan komposisi lipid kelenjar meibom yang diperkuat oleh perubahan hormon35,37,40. Dengan meningkatnya usia terjadi peningkatan fibrosis periduktal, fibrosis interasinar, hilangnya pembuluh darah paraduktal, dan atrofi sel asinar yang dapat menyebabkan disfungsi kelenjar lakrimal11. Peningkatan usia juga mempengaruhi struktur dan atau fungsi kelenjar meibom seperti peningkatan vaskularitas tepi kelopak, keratinisasi, telangiektesia, kekeruhan sekresi kelenjer meibom, metaplasia dan penyempitan orificium kelenjar meibom serta atrofi dan dilatasi kistik asinus41,42. Hormon seks terutama androgen dan estrogen memainkan peran dalam perkembangan dan penyebab dry eye37. Androgen mempengaruhi morfologi, biokimia, fisiologi, imunologi, dan sekresi kelenjar lakrimal 8,36,43. Androgen juga mempengaruhi perkembangan, diferensiasi, dan produksi lipid kelenjar meibom36,41-44. Estrogen diketahui ikut merangsang kelenjar meibom, mempengaruhi struktur, fungsi, dan sekresi kelenjar lakrimal serta membantu mengatur homeostasis permukaan mata39,45. 11 Dry eye pada perempuan diasosiasikan dengan tingkat androgen yang rendah. Tingkat androgen yang rendah disebabkan oleh ovarium yang hanya sedikit menghasilkan androgen44. Tingkat androgen yang rendah ditambah penurunan tingkat androgen seperti pada menopause menyebabkan tingkat androgen di bawah batas yang diperlukan untuk kesehatan mata yang optimum39. Penurunan tingkat androgen dapat menyebabkan hilangnya lingkungan anti inflamasi di dalam kelenjar lakrimal sehingga kelenjar lakrimal menjadi rentan terhadap inflamasi imunogenik22,33,36. Dry eye juga diasosiasikan dengan tingkat estrogen yang rendah seperti pada menopause dan selama menyusui serta pada tingkat estrogen tinggi seperti pada kehamilan, minum obat kontrasepsi dan terapi pengganti hormon. Penjelasan yang dapat diberikan untuk ambiguitas pengaruh estrogen adalah pada kedua situasi tersebut dapat menyebabkan berkurangnya bioavaibilitas androgen. Rendahnya tingkat estrogen diasosiasikan dengan berkurangnya avaibilitas androgen, karena hormon androgen dan estrogen dihasilkan dari kelenjar endokrin yang sama yaitu ovarium. Tingkat estrogen yang tinggi diregulasi dengan mekanisme umpan balik negatif oleh aksis hipotalamus-pituitari. Tingkat estrogen yang tinggi menyebabkan aksis hipotalamus-pituitari mengeluarkan follicle-stimulating hormone (FSH) and luteinizing hormone (LH) yang menghambat produksi hormon yang dihasilkan ovarium. Sebagai konsekuensi berasal dari kelenjar yang sama, tingginya tingkat estrogen berpengaruh terhadap berkurangnya tingkat sekresi androgen. Tingkat estrogen yang tinggi juga merangsang sekresi sex hormonebinding globulin (SHBG) dari hati yang mengikat estrogen dan androgen sehingga mengurangi bioavaibilitas androgen dan estrogen44. Uji schirmer I pada pasien dry eye yang disebabkan oleh MGD mungkin tidak menunjukkan penurunan sekresi akuos meskipun proses dry eye sudah berlangsung46. Hal ini disebabkan pada dry eye yang disebabkan MGD terdapat mekanisme kompensasi lakrimal. Mekanisme 12 kompensasi lakrimal merupakan respon terhadap hilangnya stabilitas air mata akibat gangguan lapisan lipid air mata. Gangguan lapisan lipid air mata menyebabkan peningkatan gesekan pada kornea dan kelopak mata selama berkedip sehingga terjadi refleks sekresi lakrimal. Mekanisme kompensasi lakrimal terjadi pada tahap awal dry eye ini bertujuan untuk mempertahankan homeostasis permukaan mata 11,20,47. Seiring perkembangan dry eye yang semakin progresif, kehilangan sensasi kornea menyebabkan mekanisme kompensasi lakrimal juga menghilang 48. Mekanisme yang mendasari uji ferning dan interaksinya dengan sub tipe dry eye masih belum dipahami dengan baik49. Hasil uji ferning yang berupa pola ferning tergantung dari komposisi dan konsentrasi air mata. Perubahan komposisi atau konsentrasi air mata seperti pada keadaan hiperosmolaritas akan menghasilkan perubahan pola ferning, sehingga uji ferning digunakan untuk mendeteksi hiperosomolaritas air mata50. Pola ferning terbentuk dari rasio garam seperti natrium dan kalium terhadap makromolekul seperti protein dan musin. Peningkatan osmolaritas dan penurunan konsentrasi makromolekul pada dry eye mengakibatkan rasio garam terhadap makromolekul berubah. Perubahan rasio garam terhadap makromolekul akan menurunkan kualitas pola ferning49. Penelitian ini mendapatkan hasil uji schirmer I yang tidak memiliki hubungan yang bermakna dengan hasil uji ferning pada pasien dry eye yang disebabkan MGD. Hasil ini sesuai dengan penelitian lain yang meneliti hubungan antar uji air mata. Penelitian Guyette et al mendapatkan hasil uji schirmer memiliki hubungan yang buruk dengan uji osmolaritas air mata51. Penelitian Kumar et al dengan menggunakan uji schirmer dan impresi sitologi konjungtiva pada dry eye menemukan uji schirmer tidak dapat memprediksi perubahan morfologi konjungtiva52. Penelitian Sapkota et al mendapatkan hasil tidak ada hubungan antara densitas sel goblet dengan skor schirmer53. Menurut Yeh et al, uji diagnostik seperti uji schirmer dan uji break up time tidak menggambarkan kerusakan musin pada permukaan mata54. Sedangkan menurut Masmali et al, terdapat 13 hubungan yang lemah antara uji ferning dengan uji air mata yang lain 50. Hubungan yang lemah disebabkan oleh keterbatasan dalam klasifikasi Rolando yaitu terdapat tumpang tindih antar tipe ferning. Hasil yang tidak memiliki hubungan yang bermakna mungkin karena banyak subjek pada penelitian ini yang memiliki dry eye derajat ringan dan sedang (68 subjek/ 70,9 %). Menurut Wang et al dan Zhou dan Beuerman, uji air mata yang digunakan untuk mengevaluasi sistem air mata sering ditemukan hasil yang bertentangan dan hubungan diantara uji tersebut sangat buruk55,56. Pertentangan hasil uji air mata sering terjadi pada dry eye ringan dan sedang tetapi tidak pada dry eye berat57. Hasil yang tidak berhubungan juga mungkin karena sifat dry eye yang multifaktorial dan heterogenik. Dry eye merupakan penyakit multifaktorial dan heterogenik yang berhubungan dengan hilangnya fungsi lapisan air mata dan komponen permukaan mata 47,50,58,59. Uji schirmer I dan uji ferning menilai faktor dry eye yang berbeda tetapi dapat saling melengkapi satu sama lain. Uji schirmer I menilai sekresi akuos lakrimal sedangkan uji ferning menilai kualitas musin sel goblet 5,15. Kelemahan dalam penelitian ini antara lain tidak dapat mengontrol faktor lingkungan seperti suhu dan kelembapan. Suhu yang rendah dan kelembapan yang tinggi menurunkan kualitas ferning. Kondisi lingkungan yang stabil diperlukan dalam uji ferning. Kondisi yang diperlukan adalah suhu berkisar antara 20–26°C dan kelembapan tidak lebih dari 50 %50. KESIMPULAN DAN SARAN Kejadian dry eye yang disebabkan oleh MGD di klinik mata RSUD dr. Soedarso banyak terjadi pada usia lanjut dan jenis kelamin perempuan. Tidak terdapat hubungan yang bermakna antara hasil uji schirmer I dengan hasil uji ferning. Perlu penelitian lebih lanjut dengan menggunakan rancangan penelitian case control, kohort ataupun eksperimental sehingga variable perancu dapat dikontrol lebih ketat. 14 DAFTAR PUSTAKA 1. Simanjuntak G, Gondhowiardjo TJ. 2003. Efek Vitamin A dan Doksisiklin Sistemik pada Disfungsi Kelenjar Meibom. MOI. 29(3): 229-234. 2. Wagner P, Lang GK. 2000. Lacrimal System. Dalam: Lang GK (ed). Ophthalmology. Thieme. New York. 3. Rubin PAD. 2002. Eyelids and Lacrimal System. In: Pavan-Langston D (ed). Manual of Ocular Diagnosis and Therapy 5th ed. Lippincott. [tempat tidak diketahui]. 4. Galloway NR. 2006. Common Eye Diseases and their Management 3rd ed. Springer. Singapore. 5. Whitcher JP. 2007. Tears. Dalam: Eva PR, Whitcher JP (ed). Vaughan and Asbury's General Ophthalmology 17th ed. McGrawHill. [tempat tidak diketahui]. 6. Khurana AK. 2007. Comprehensive Ophthalmology 4th ed. New Age International. New Delhi. 7. Tu EY, Rheinstrom S. 2008. Dry eye. Dalam: Yanoff M, Duker JS (ed). Yanoff and Duker: Ophthalmology 3rd ed. Elvesier. [tempat tidak diketahui]. 8. Gayton JL. 2009. Etiology, Prevalence, and Treatment of Dry eye Disease. CO. 3:405–412. 9. Nakamura S et al. 2010. Lacrimal Hypofunction as a New Mechanism of Dry eye in Visual Display Terminal Users. PO. 5(6). 10. Bekibele et al. 2008. Tear Function and Abnormalities of Ocular Surface: Relationship with Subjective Symptoms of Dry eye in Ibadan Nigeria. MEAJO. 15(1): 12-15. 11. Anonim. 2007. Report of the International Dry eye WorkShop. OS. 5(2): 59-201. 12. Salamanca AD et al. 2010. Tear Cytokine and Chemokine Analysis and Clinical Correlations in Evaporative-Type Dry eye Disease. MV. 16:862-873. 13. Le et al. 2012. Impact of Dry eye Syndrome on Vision-Related Quality of Life in a Non-Clinic-Based General Population. BMCO. 12:22. 14. Nelson et al. 2011. Definition and Classification of Meibomian Gland Dysfunction. IOVS. 52(4): 1930-1936. 15. Savini G et al. 2008. The Challenge of Dry eye Diagnosis. CO. 2(1): 31–55. 16. Ilyas S. 2009. Dasar Teknik Pemeriksaan Dalam Ilmu Penyakit Mata Ed ke-3. Balai Penerbit FKUI. Jakarta. 17. McGinnigle S et al. 2012. Evaluation of Dry eye. SO. 57: 293-316. 18. Baudouin C et al. 2013. Role of Hyperosmolarity in the Pathogenesis and Management of Dry eye Disease: Proceedings of the OCEAN Group Meeting. OS. 11(4): 246-255. 15 19. Rege A et al. 2013. Clinical Study of Subtype-based Prevalence of Dry eye. JCDR. 7(10): 2207-2210. 20. Arita R et al. 2015. Increased Tear Fluid Production as a Compensatory Response to Meibomian Gland Loss. Opthalmology. 122(5):925-932. 21. Rahman EZ et al. 2015. Corneal Sensitivity in Tear Dysfunction and its Correlation With Clinical Parameters and Blink Rate. AJO. 160(5): 858-866. 22. Stern ME et al. 2010. Autoimmunity At The Ocular Surface: Pathogenesis And Regulation. MI. 3(5): 425–442. 23. Baudouin C et al. 2014. Diagnosing The Severity Of Dry eye: A Clear And Practical Algorithm. BJO. 98:1168–1176. 24. Hagan S, Tomlinson A. 2013. Tear Fluid Biomarker Profiling: A Review of Multiplex Bead Analysis. OS. 11(4): 219-235. 25. Bhargava R. 2014. The Diagnostic Value and Accuracy of Conjunctival Impression Cytology, Dry eye Symptomatology, and Routine Tear Function Tests in Computer Users . JLP. 6(2): 102-107. 26. Hua R et al. 2014. Discrepancy Between Subjectively Reported Symptoms And Objectively Measured Clinical Findings In Dry eye: A Population Based Analysis. BMJO. 4: 1-5. 27. Foulks GN. 2007. The Correlation Between the Tear Film Lipid Layer and Dry eye Disease. SO. 52(4): 369-373. 28. Wojtowicz JC, McCulley JP. 2009. Assessment and Impact of the Time of Day on Aqueous Tear Evaporation in Normal Subjects. ECL. 35(3): 117–119. 29. Giraldez MJ et al., 2009. A Preliminary Investigation into The Relationship Between Ocular Surface Temperature and Lipid Layer Thickness. CLAE. 32: 177–180. 30. Shin YK et al. 2015. Meibomian Gland Dysfunction in Graves’ Orbitopathy. CJO. 50: 278–282. 31. Suzuki T et al. 2015. Meibomian Glands And Ocular Surface Inflammation. OS. 13(2): 133-149. 32. Youngsub E et al. 2013. Correlation Between Quantitative Measurements of Tear Film Lipid Layer Thickness and Meibomian Gland Loss in Patients with Obstructive Meibomian Gland Dysfunction and Normal Controls. AJO. 155: 1104–1110. 33. Sullivan DA. 2004. Sex, Hormones, the Lacrimal Gland, and Aqueous-Deficient Dry eye. OS. 2(2): 92-107. 34. Gozali D, Marsetio M. 2005. A Descriptive Study On Clinical Characteristic of Dry eye Patient at Cipto Mangunkusomo Hospital. JOI. 32(1): 15-19. 35. Guillon M, Maissa C. 2010. Tear Film Evaporation: Effect Of Age And Gender. CLAE. 33: 171–175. 36. Bhavsar AS et al. 2011. Review On Recent Advances In Dry eye: Pathogenesis And Management. OJO. 4(2): 50-54. 16 37. Barabino S et al. 2012. Ocular Surface Immunity: Homeostatic Mechanisms and Their Disruption in Dry eye Disease. PRER. 31(3): 271–285. 38. Paulsen AJ et al. 2014. Dry eye in the Beaver Dam Offspring Study: Prevalence, Risk Factors, and Health-Related Quality of Life. AJO. 157:799–806. 39. Sharma A, Hindman HB. 2014.Aging: A Predisposition to Dry eyes. JO. 2014:1-8. 40. Azcarate PM et al. 2014. Androgen Deficiency and Dry eye Syndrome in the Aging Male. IOVS. 55: 5046–5053. 41. Schaumberg et al. 2011. Epidemiology and Associated Risk Factors of Meibomian Gland Dysfunction. IOVS. 52(4): 1996-2003. 42. Ding J, Sullivan DA. 2012. Aging and Dry eye Disease. EG. 47(7): 483–490. 43. Khandelwal P et al. 2012. Androgen Regulation Of Gene Expression In Human Meibomian Gland And Conjunctival Epithelial Cells. MV. 18: 1055-1067. 44. Johnson ME, Murphy PJ. 2004. Changes in The Tear Film and Ocular Surface from Dry eye Syndrome. PRER. 23: 449–474. 45. Darabad RR et al. 2014. Does Estrogen Deficiency Cause Lacrimal Gland Inflammation And Aqueous-Deficient Dry eye In Mice. EER. 127: 153–160. 46. Versura P et al. 2013. Diagnostic Performance of a Tear Protein Panel in Early Dry eye. MV. 19:1247-1257. 47. Lemp MA et al. 2011. Tear Osmolarity in the Diagnosis and Management of Dry eye Disease. AJO. 151:792–798. 48. Bron AJ et al. 2009. Predicted Phenotypes of Dry eye: Proposed Consequences of Its Natural History. OS. 7(2): 78-92. 49. Masmali AM et al. 2014. The tear ferning test: a simple clinical technique to evaluate the ocular tear film. CEO. 97: 399–406. 50. Masmali AM et al. 2015. Application of A New Grading Scale for Tear Ferning in Non-Dry eye Anddry eye Subjects. CLAE. 38:39–43 51. Guyette N et al. 2013. Comparison of Low-Abundance Biomarker Levels in Capillary-Collected Nonstimulated Tears and Washout Tears of Aqueous-Deficient and Normal Patients. IOVS. 54: 3729– 3737. 52. Kumar P et al. 2014. The Correlation of Routine Tear Function Tests and Conjunctival Impression Cytology in Dry eye Syndrome. KJO. 28(2):122-129. 53. Sapkota K et al. 2015. Goblet Cell Density Association With Tear Function And Ocular Surface Physiology. CLAE. 38: 240–244. 54. Yeh PT et al. 2013. A Novel Fluorescent Lipid Probe for Dry eye: Retrieval by Tear Lipocalin in Humans. IOVS. 54(2):1398-1408. 55. Wang J et al. 2008. Correlations Among Upper and Lower Tear Menisci, Noninvasive Tear Break-up Time, and the Schirmer Test. AJO. 145:795– 800. 17 56. Zhou L, Beuerman RW. 2012. Tear Analysis in Ocular Surface Diseases. PRER. 31: 527-550. 57. Sullivan BD et al. 2014. Correlations Between Commonly Used Objective Signs And Symptoms For The Diagnosis Of Dry eye Disease: Clinical Implications. AO. 92: 161–166. 58. Von Thun und Hohenstein-Blaul N et al. 2013. Tears As A Source Of Biomarkers For Ocular And Systemic Diseases. EER. 117: 126-137. 59. van Tilborg MMA et al. 2015. Agreement in Dry eye Management Between Optometrists and General Practitioners in Primary Health Care in The Netherlands. CLAE. 38: 283–293. 18