Prosiding Seminar Nasional Manajemen Teknologi XX Program Studi MMT-ITS, Surabaya 1 Februari 2014 PERANCANGAN SEKOLAH LUAR BIASA KHUSUS ANAK TUNALARAS DENGAN MENGGUNAKAN PENDEKATAN PERILAKU Puspita Tunggodewi1), Sri Nastiti Ekasiwi 2), dan Purwanita Setijanti 3) 1) Program Studi Magister Arsitektur, Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Jl. Arief Rahman Hakim, Surabaya 60111, Indonesia e-mail: [email protected] 2) Jurusan Arsitektur, Institut Teknologi Sepuluh Nopember ABSTRAK Anak tunalaras seringkali disebut sebagai anak yang nakal, karena tingkah laku mereka yang seringkali tidak menuruti aturan yang berlaku. Anak tunalaras terbagi ke dalam 2 jenis, yaitu anak aktif yang tidak dapat mengontrol emosi berlebih mereka, serta anak pasif yang tidak mampu bersosialisasi. Tujuan dari penelitian ini adalah menghasilkan kriteria perancangan serta rancangan akhir Sekolah Luar Biasa yang dapat mendukung perkembangan emosi dan sosial anak tunalaras dengan mengedepankan aspek-aspek perilaku. Metode yang digunakan pada penelitian ini menggunakan metode program arsitektur melalui pengkerucutan beberapa masalah ke dalam misi, goal, performace requirement, dan konsep. Penelitian ini memfokuskan kepada bentuk massa bangunan yang mempengaruhi pengawasan terhadap perilaku anak aktif, desain koridor yang mempengaruhi ruang privasi anak pasif, serta desain ruang kelas yang mempengaruhi perilaku anak saat belajar. Perancangan ini menemukan bahwa ada beberapa hal yang dapat menyelesaikan masalah keaktifan yang dimiliki anak aktif, serta rasa rendah diri dari anak pasif. Salah satu masalah tersebut diselesaikan melalui desain ruang kelas yang menghindari bidang menonjol dan ruang kosong untuk menekan emosi berlebih anak aktif, serta pemilihan pola meja agar dapat memaksimalkan interaksi guru dan murid agar dapat melatih anak pasif untuk berani dan mandiri. Kata kunci: Perancangan Sekolah, Sekolah Luar Biasa, Tunalaras, Pendekatan Perilaku PENDAHULUAN Anak tunalaras adalah anak dengan gangguan atau hambatan atau kelainan tingkah laku sehingga kurang dapat menyesuaikan diri dengan baik terhadap lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat. Anak tunalaras terbagi menjadi 2 jenis, yaitu anak tunalaras yang terlalu aktif dan anak tunalaras yang terlalu pasif, dimana masing-masing dari mereka memiliki potensi dan intelegensia yang sama dengan anak-anak normal. Anak tunalaras dengan gangguan emosi, atau tunalaras aktif, memiliki kecenderungan ingin menguasai dan mengontrol segala sesuatu di sekitarnya. Pergaulannya terbilang tidak ramah, karena sering kali melakukan kekerasan terhadap teman sebayanya, terutama pada anak tunalaras pasif. Sedangkan masalah pada anak tunalaras dengan gangguan sosial, atau tunalaras pasif, adalah sulitnya mereka untuk bersosialisasi. Mereka cenderung merasa tidak berguna, adanya perasaan rendah diri, dan tidak percaya diri. Hal ini mengakibatkan mereka lebih suka menyendiri. Tingkat konsentrasi mereka pun rendah karena mereka merasa rendah diri dan tidak mampu, sehingga mempengaruhi nilai akademis dan kehidupan sosial mereka. Sekolah Luar Biasa yang bertugas untuk mendidik anak tunalaras adalah Sekolah Luar Biasa tipe E. Sekolah ini ditugaskan untuk dapat mendidik anak-anak tunalaras agar dapat berkomunikasi dan belajar seperti anak-anak pada umumnya. Quinn (2000) mengemukakan ISBN : 978-602-97491-9-9 B-20-1 Prosiding Seminar Nasional Manajemen Teknologi XX Program Studi MMT-ITS, Surabaya 1 Februari 2014 bahwa desain sekolah biasa dengan desain khusus anak tunalaras akan berbeda, karena pada sekolah khusus anak tunalaras terdapat 4 hal yang perlu diperhatikan pada lingkungan sekolah tersebut, yaitu kejelasan fungsi sebuah ruang, ruangan yang dapat mengontrol stimulasi berlebih, penataan ruang yang dapat mempermudah pengawasan, serta sebuah tempat sepi untuk mendukung kebutuhan dari anak tunalaras pasif. Lingkungan sekolah yang ada kurang mendukung kebutuhan anak tunalaras, sehingga dapat berpengaruh terhadap perilaku anak tunalaras di sekolah. Karena anak tunalaras termasuk ke dalam anak berkebutuhan khusus, sehingga masyarakat sering mengelompokkan anak tunalaras dengan anak berkebutuhan khusus lainnya. Namun lingkungan pada Sekolah Luar Biasa tipe E tidak akan sama dengan Sekolah Luar Biasa lainnya, karena kebutuhan dari murid-murid tersebut sangat berbeda. Masyarakat pada umumnya belum mengetahui perbedaan Sekolah Luar Biasa khusus anak tunalaras dengan yang lainnya, sehingga mayoritas perancangan Sekolah Luar Biasa tipe E di Indonesia mengadaptasi perancangan sekolah pada umumnya. Sekolah Luar Biasa di Indonesia belum memiliki solusi terkait dengan lingkungan sekolah dan ruang kelas untuk anak dengan gangguan emosional (aktif) dan gangguan sosial (pasif), selain itu Sekolah Luar Biasa di Indonesia belum memiliki solusi perancangan Sekolah Luar Biasa yang mewadahi kebutuhan anak tunalaras pasif dan aktif, serta menciptakan interaksi antara anak pasif dan anak aktif. Tujuan yang hendak dicapai dari penelitian ini adalah untuk menghasilkan kriteria perancangan serta rancangan akhir Sekolah Luar Biasa yang dapat mendukung kebutuhan siswa-siswi perkembangan emosi dan sosial anak tunalaras dengan mengedepankan aspekaspek perilaku dari siswa-siswi berkebutuhan khusus yang diharapkan anak-anak tunalaras yang memiliki gangguan emosi, atau anak aktif, dan sosial, atau anak pasif, mendapatkan pelajaran secara akademis dan juga pelajaran untuk mengontrol emosi dan perilaku mereka, sehingga mereka menjadi anak yang lebih baik. METODE Penelitian perancangan ini menggunakan kerangka fundamental menurut Donna P. Duerk. Program ini menggunakan tata cara mengkerucutkan masalah dengan memfokuskan penelitian kepada misi-misi yang akan dicapai, kemudian membagi permasalahan ke dalam goal. Hasil akhirnya adalah berupa konsep yang didapat dari hasil pemecahan masalah terhadap misi. Pada langkah terakhir, konsep-konsep yang didapat akan dievaluasi. Untuk mengkaji perilaku yang ditimbulkan dari anak tunalaras serta mengidentifikasi kondisi lapangan, maka dalam penelitian ini menggunakan wawancara, observasi, serta studi dokumentasi kepada pihak guru dan murid SLB-E Prayuwana dan meninjau dari penelitian terdahulu yang relevan. Proses Desain Proses perancangan yang digunakan adalah cyclical design process yang memiliki karakteristik bahwa dalam perancangan tidak berlangsung secara searah, melainkan proses berputar yang mendapat penyempurnaan dari langkah sebelumnya. Dalam cyclical design process terdapat 3 tahapan (Duerk, 1993), yaitu: 1. Analisa, adalah penyusunan data berupa penelitian terkait dengan perancangan serta penyusunan data terkait dengan kondisi pra-rancang yang berupa kondisi eksisting lahan untuk menghasilkan kriteria rancang, 2. Sintesa, adalah pemilahan dan pengambilan keputusan konsep dan program terkait yang paling sesuai dengan kriteria dan parameter perancangan sehingga dapat menjawab masalah penelitian. 3. Evaluasi, adalah pemilahan dan pengambilan keputusan konsep. ISBN : 978-602-97491-9-9 B-20-2 Prosiding Seminar Nasional Manajemen Teknologi XX Program Studi MMT-ITS, Surabaya 1 Februari 2014 Program Perancangan Gambar 1. Kerangka Program Perancangan Program perancangan dimulai dengan mengkerucutkan masalah dan solusi dari sebuah tujuan menjadi beberapa misi utama. Setelah didapat sebuah misi, maka langkah selanjutnya adalah menentukan goal. Goal adalah sebuah pernyataan yang mengandung niat dalam sebuah perancangan (Duerk, 1993). Untuk menemukan goal, diperlukan informasi terlebih dahulu yang didapat melalui wawancara, observasi atau pencarian dokumen yang sudah ada (Duerk, 1993), sehingga informasi tersebut yang akan membuat sebuah batasan terukur dari sebuah goal. Jika goal sudah ditemukan, maka dapat ditemukan sebuah performace requirement. Performance requirement adalah kriteria yang didapat dari hasil pengamatan. Dalam penelitian ini tahap goal dan performance requirement adalah tahapan metode penelitian yang berupa pengumpulan data dan analisa untuk menemukan kriteria perancangan. Penentuan performance requirement adalah hal yang terukur, artinya performance requirement dapat berupa peraturan, batasan, garis pedoman, dan kriteria. Dengan demikian, dalam desain tesis ini, performance requirement adalah sebuah kriteria yang akan dicari dalam desain tesis ini melalui pengkerucutan solusi dan misi dan goal. Saluran Krativitas Desain tesis ini menggunakan saluran kreativitas yang memfokuskan kepada penggunaan material. Penggunaan saluran kreativitas ini adalah dengan memainkan warna, bentuk, tekstur, dan ekspresi yang ditimbulkan dari berbagai material (Antoniades, 1990). Ekspresi yang ditimbulkan material dapat bermacam-macam, seperti perasaan bijaksana, alami, sabar, ataupun berteknologi tinggi. Saluran kreativitas ini diterapkan kepada bangunan melalui pemilihan warna dan tekstur material ke dalam bangunan. Hal ini bertujuan untuk membantu pemahaman anak tunalaras terhadap pemisahan fungsi dan guna dari sebuah ruangan, serta memberikan sebuah kesan dan perasaan kepada pengguna bangunan. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil pengamatan yang telah dilakukan pada SLB-E Prayuwana terlah didapat beberapa fakta terkait perilaku dari anak tunalaras bahwa anak pasif membutuhkan sebuah tempat privasi yang dapat memberikan rasa aman. Perilaku ini ditunjukkan pada saat jam istirahat, bahwa anak pasif memilih sudut lapangan untuk menyendiri dibandingkan bermain di lapangan bersama teman-temannya. Hal ini berdampak negatif, sebab anak-anak pasif yang menyendiri di tempat terpisah tidak mampu bersosialisasi dan kontak visual dengan anak pasif lainnya. Perlu adanya sebuah tempat privasi khusus untuk anak pasif agar mereka mampu bersosialisasi, namun tetap memperhatikan privasi masing-masing anak pasif. Saat istirahat, anak pasif dan anak aktif tidak saling mengganggu. Anak aktif lebih memilih bermain dengan sesama anak aktif, seperti bermain sepak bola. Selain itu, perilaku yang diamati di ruang kelas menunjukkan bahwa anak aktif sering menganggu anak pasif. Hal ini dikarenakan oleh ISBN : 978-602-97491-9-9 B-20-3 Prosiding Seminar Nasional Manajemen Teknologi XX Program Studi MMT-ITS, Surabaya 1 Februari 2014 penataan meja pada ruang kelas yang membentuk efek gestalt yang memberikan persepsi perbedaan zona. Sehingga perlu adanya sebuah desain interior ruang kelas yang mampu menekan keaktifan anak aktif, serta pola penataan meja yang tidak menimbulkan batas antara anak aktif dan pasif. Mendapatkan misi adalah langkah pertama dari proses program perancangan. Misi adalah sebuah pernyataan yang mengekspresikan alasan khusus dalam perancangan sebuah bangunan (Duerk, 1993). Tujuan dari penelitian ini adalah menciptakan sebuah Sekolah Luar Biasa yang mendukung perkembangan emosi dan sosial bagi anak tunalaras. Dengan demikian, masalah dari penelitian ini dapat dikerucutkan menjadi 2 hal, yaitu bagaimana cara agar anak tunalaras tidak lagi memiliki gangguan emosi dan bagaimana agar anak tunalaras tidak lagi memiliki gangguan sosial. Setelah didapat sebuah misi, maka langkah selanjutnya adalah menentukan goal. Misi pertama yang terfokus kepada permasalah anak pasif menghasilkan 3 buah solusi, yakni menyediakan tempat privasi yang berfungsi sebagai sarana untuk mengembangkan kemampuan sosial anak pasif, menciptakan desain bangunan sekolah yang dapat mendukung kemandirian anak pasif, serta menyediakan ruang kelas yang dapat mendukung mereka agar dapat berani mengemukakan pendapat. Sedangkan misi kedua yang terfokus kepada permasalahan anak aktif menghasilkan 2 solusi, yakni menciptakan bangunan sekolah yang dapat membantu anak aktif untuk menekan emosi berlebih, serta menyediakan ruang kelas yang dapat membantu anak aktif untuk menekan emosi berlebihnya. Pengkerucutan masalah ke dalam misi, goal, isu, dan performance requirement menghasilkan 9 kriteria perancan Sekolah Luar Biasa khusus anak tunalaras. Kriteria tersebut dirangkum dalam tabel berikut. Tabel 1 Kriteria Perancangan dan Konsep Sekolah Luar Biasa kKhusus Anak Tunalaras N o Kriteria Konsep 1 Terdapat tempat menyendiri yang memiliki privasi sejarak 1,5 – 3 meter antara orang yang satu dengan yang lain privasi terbentuk dari perbedaan jarak pada kursi dalam suatu zona. 2 Koridor sebaiknya didesain untuk mencegah anak pasif menyendiri 3 Elemen sekolah sebaiknya memiliki penanda sebagai pemisah fungsi 4 Pada koridor sebaiknya terpisah antara anak aktif dan pasif, namun tetap menjaga interaksi visual 5 Desain ruang guru dapat memungkinkan pengawasan yang maksimal 6 7 8 9 Desain ruang kelas sebaiknya menghindari ruang kosong (void) Ruang kelas sebaiknya tidak ada bidang menonjol Desain ruang kelas sebaiknya tidak menimbulkan gap Desain ruang kelas sebaiknya memaksimalkan interaksi guru dan siswa ISBN : 978-602-97491-9-9 B-20-4 terdapat pengulangan pada bidang tidak ada tempat bersandar, sehingga koridor berfungsi sebagai jalan pemisah fungsi ditandai oleh warna ruangan yang berbeda. tempat privasi terpisah namun masih terjalin interaksi visual dinding pemisah menggunakan kisi-kisi yang berlubang pemantauan melalui ruang guru yang memakai banyak material kaca zona guru berada terpisah kelas menggunakan meja yang lebar dan terbuka memasukkan furniture ke dalam dinding posisi meja berbentuk bulat Prosiding Seminar Nasional Manajemen Teknologi XX Program Studi MMT-ITS, Surabaya 1 Februari 2014 Setelah mendapatkan kriteria perancangan Sekolah Luar Biasa yang dapat mendukung komunikasi anak tunalaras, maka didapat beberapa konsep perancangan. Ide rancang dimulai dari bentuk dan desain massa bangunan. Berdasarkan kriteria nomor 3 dan nomor 5, bahwa elemen sekolah sebaiknya memiliki penanda sebagai pemisah fungsi, serta desain ruang guru dapat memungkinkan pengawasan yang maksimal. Dengan mempertimbangan kedua hal tersebut, maka ruang guru diletakkan di tengah (pada gambar 2 ditandai oleh warna merah), sehingga dapat memungkinkan pengawasan pada setiap kelas dan koridor. Kemudian di antara kedua massa tersebut dihubungkan oleh sebuah koridor yang berfungsi sebagai area sirkulasi yang menghubungkan massa barat dan timur. Gambar 2. Ide Perancangan Denah dan Penataan Massa Selain mempertimbangkan bentuk dan penataan massa, perlu adanya pertimbangan terhadap perilaku anak tunalaras aktif. Untuk menekan perilaku berlebih dari anak tunalaras aktif, perlu adanya pengawasan yang lebih untuk anak tunalaras aktif agar dapat terus terpantau oleh para guru. Manusia memiliki jarak pandang sebesar 18 dejarat dari titik utama pandangan. Untuk memaksimalkan pengawasan dengan memanfaatkan jarak pandang dari manusia, maka ruang guru ditempatkan ditengah agar dapat memantau aktivitas murid-murid dengan menyediakan kaca yang dengan ketinggian 140 cm dari tanah dengan desain yang memanjang sepanjang ruangan. Gambar 3. Jarak Pandang Manusia serta Konsep Area Jangkau pada Ruang Guru Perancangan koridor merupakan perancangan yang perlu ditinjau lebih jauh karena koridor merupakan sebuah ruang dimana anak pasif dan aktif berkumpul menjadi satu, terutama pada saat jam istirahat. Koridor merupakan area yang sering dilalui, sehingga untuk memaksimalkan interaksi, maka tempat menyendiri sebaiknya tidak jauh dari area yang sering dilalui tersebut. Tempat menyendiri ditandai dengan warna merah muda, sedangkan koridor ditandai dengan warna kuning. Agar tetap dapat mempertahankan privasi dari anak pasif, maka jarak kursi sebaiknya berjarak sekitar 1,5 – 3,5 meter. Setelah memperhitungkan dengan berbagai jarak pada perancangan pada Sekolah Luar Biasa ini, maka didapat sebuah jarak 2,5 meter untuk jarak terdekat, serta 3 meter untuk jarak terjauh. ISBN : 978-602-97491-9-9 B-20-5 Prosiding Seminar Nasional Manajemen Teknologi XX Program Studi MMT-ITS, Surabaya 1 Februari 2014 Gambar 4. Jarak Privasi serta Ide Perancangan Koridor Selain koridor, ruangan yang sering digunakan oleh anak tunalaras adalah ruang kelas. Salah satu cara yang dapat memaksimal interaksi guru dan murid adalah memperdekat jarak komunikasi saat jam belajar antara guru dan murid. Perkins (2001) mengungkapkan bahwa terdapat beberapa pola penataan meja pada desain interior ruang kelas. Diantara pola-pola tersebut, yang paling banyak menghasilkan interkasi guru dan murid terbanyak adalah sebuah ruang kelas yang memiliki ruang kosong di tengah kelas, yaitu pola berputar. Untuk warna dalam ruang kelas menggunakan gabungan warna jingga tua atau coklat dan kuning. Warna jingga merangsang sikap energik, ekstrovert, dan ceria dari seseorang. Sedangkan untuk warna jingga tua, atau yang lebih sering disebut dengan warna coklat, memiliki arti kenyamanan serta keamanan. Sedangkan warna kuning merupakan warna yang paling banyak efek positif, seperti kebahagiaan, keceriaan, kesenangan, harapan, masa depan cerah, serta kebijaksanaan. Warna ini sangat baik untuk menstimulasi anak tunalaras pasif dalam komunikasi di lingkungan sekolahnya. Gambar 5. Desain dan Pemilihan Warna pada Ruang Kelas Selain ruang kelas dan koridor, ada sebuah ruang yang sering digunakan oleh para murid, yaitu kantin. Pada pengamatan yang telah dilakukan di SLB-E Prayuwana, hanya anak-anak tunalaras aktif saja yang mengunjungi kantin untuk membeli makanan ringan. Sedangkan untuk anak tunalaras pasif mayoritas membawa bekal sendiri yang mereka bawa dari rumah dan memakannya di tempat menyendiri mereka masing-masing. Desain kantin menggunakan context effect untuk menimbulkan kesan tenang, agar anak aktif tidak melakukan hal-hal yang berlebihan. Warna yang menunjukkan perasaan tenang dan dingin ialah warna biru (Mahnke, 1996), sehingga perancangan interior menggunakan warna biru ISBN : 978-602-97491-9-9 B-20-6 Prosiding Seminar Nasional Manajemen Teknologi XX Program Studi MMT-ITS, Surabaya 1 Februari 2014 dan gradasinya sebagai warna utama. Untuk menetralkan perasaan dingin yang diciptkan warna biru, dibutuhkan sebuah warna jingga atau coklat yang memiliki kesan yang berlawanan. Dengan demikian, ada beberapa bagian dari interior yang akan menggunakan material bata ekspos sebagai pencerminan warna coklat yang memberikan perasaan aman dan nyaman. Gambar 6. Desain dan Pemilihan Warna pada Kantin KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan dari hasil penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Terdapat 9 kriteria dalam perancangan Sekolah Luar Biasa khusus anak tunalaras dengan menggunakan pendekatan perilaku dan mengedepankan aspek sosial. 2. Ada 3 syarat perancangan bangunan Sekolah Luar Biasa, yakni pola penataan meja pada ruang kelas, desain tempat menyendiri, dan penggunaan warna atau material pada bangunan. 3. Disarankan bangunan ini memiliki tempat menyendiri bagi anak pasif yang memiliki privasi sejarak 1,5 – 3 meter antara orang yang satu dengan yang lain. 4. Perancangan ruang kelas sebaiknya didesain polos tanpa adanya bidang menonjol untuk mengantisipasi pecahnya konsentrasi anak aktif . 5. Penataan meja pada ruang kelas disarankan menggunakan pola terbuka atau pola diskusi untuk menghidari pengelompokkan jenis murid. 6. Penggunaan warna coklat dan kuning pada ruang kelas dapat meningkatkan keceriaan anak pasif, serta ketenangan dan kenyaman pada aktif. Untuk memperbaiki hasil penelitian ini, maka sarannya adalah: Penelitian ini menggunakan pendekatan perilaku dan interaksi sosial sebagai usaha yang mendukung kebutuhan anak tunalaras. Sehingga usaha dalam penelitian ini masih terbatas kepada kebutuhan sosial anak tunalaras, dan belum mencakup kepada kebutuhan psikologi dari anak-anak tersebut. DAFTAR PUSTAKA Antoniades, A. C. 1990. Poetics of Architecture: Theory of Design. New York: Van Nostrand Reinhold. Canter, David. 1974. Psychology for Architects. London: Applied Science Publishers, Ltd. ISBN : 978-602-97491-9-9 B-20-7 Prosiding Seminar Nasional Manajemen Teknologi XX Program Studi MMT-ITS, Surabaya 1 Februari 2014 Duerk, Donna P. 1993. Architectural Programming: Information Management for Design. New York: Van Nostrand Reinfold Company. Glantz, Karen. 2008. Health Behavior and Health Education, theory, research, and practice. San Fransisco: Jossey Bass, A Wiley Imprint. Heimsath, Clovis. 1977. Behavioral Architecture. New York: McGraw Hill Book Company. Jones, J. Christopher. 1970. Design Methods: Seeds of Human Futures. London: WileyInterscience. Holahan, Charles J. 1982. Environmental Psychology. New York: McGraw-Hill. Kohler, Wolfgang. 1992. Gestalt Psychology: An Introduction to New Concepts in Modern Psychology. Liveright Publishing Corporation. Mahnke, Frank H. 1996. Color, Environment, and Human Response: An Interdisciplinary Understanding of Color and Its Use as a Beneficial Element in the Design of the Architectural Environment. San Francisco: John Wiley & Sons. Quinn, Mary Magee; Osher, David; Warger, Cynthia L.; Hanley, Tom V.; Bader, Beth DeHaven; Hoffman, Catherine C. 2000. Educational Strategies for Children with Emotional and Behavioral Problem. Washington, DC: Center for Effective Collaboration and Practice, American Institutes for Research. Quinn, Mary Magee; Osher, David; Warger, Cynthia L.; Hanley, Tom V.; Bader, Beth DeHaven; Hoffman, Catherine C. 2000. Teaching and Working with Children Who Have Emotional and Behavioral Challenges. Washington, DC: Center for Effective Collaboration and Practice, American Institutes for Research. Ulfatin, Nurul. 2013. Metode Penelitian Kualitatif di Bidang Pendidikan. Malang: Bayumedia Publishing. ISBN : 978-602-97491-9-9 B-20-8