20. Prosiding Puspita Tunggodewi-OK

advertisement
Prosiding Seminar Nasional Manajemen Teknologi XX
Program Studi MMT-ITS, Surabaya 1 Februari 2014
PERANCANGAN SEKOLAH LUAR BIASA KHUSUS ANAK
TUNALARAS DENGAN MENGGUNAKAN PENDEKATAN PERILAKU
Puspita Tunggodewi1), Sri Nastiti Ekasiwi 2), dan Purwanita Setijanti 3)
1) Program Studi Magister Arsitektur, Institut Teknologi Sepuluh Nopember,
Jl. Arief Rahman Hakim, Surabaya 60111, Indonesia
e-mail: [email protected]
2) Jurusan Arsitektur, Institut Teknologi Sepuluh Nopember
ABSTRAK
Anak tunalaras seringkali disebut sebagai anak yang nakal, karena tingkah laku
mereka yang seringkali tidak menuruti aturan yang berlaku. Anak tunalaras terbagi ke dalam 2
jenis, yaitu anak aktif yang tidak dapat mengontrol emosi berlebih mereka, serta anak pasif
yang tidak mampu bersosialisasi. Tujuan dari penelitian ini adalah menghasilkan kriteria
perancangan serta rancangan akhir Sekolah Luar Biasa yang dapat mendukung perkembangan
emosi dan sosial anak tunalaras dengan mengedepankan aspek-aspek perilaku. Metode yang
digunakan pada penelitian ini menggunakan metode program arsitektur melalui
pengkerucutan beberapa masalah ke dalam misi, goal, performace requirement, dan konsep.
Penelitian ini memfokuskan kepada bentuk massa bangunan yang mempengaruhi pengawasan
terhadap perilaku anak aktif, desain koridor yang mempengaruhi ruang privasi anak pasif,
serta desain ruang kelas yang mempengaruhi perilaku anak saat belajar. Perancangan ini
menemukan bahwa ada beberapa hal yang dapat menyelesaikan masalah keaktifan yang
dimiliki anak aktif, serta rasa rendah diri dari anak pasif. Salah satu masalah tersebut
diselesaikan melalui desain ruang kelas yang menghindari bidang menonjol dan ruang kosong
untuk menekan emosi berlebih anak aktif, serta pemilihan pola meja agar dapat
memaksimalkan interaksi guru dan murid agar dapat melatih anak pasif untuk berani dan
mandiri.
Kata kunci: Perancangan Sekolah, Sekolah Luar Biasa, Tunalaras, Pendekatan Perilaku
PENDAHULUAN
Anak tunalaras adalah anak dengan gangguan atau hambatan atau kelainan tingkah
laku sehingga kurang dapat menyesuaikan diri dengan baik terhadap lingkungan keluarga,
sekolah, dan masyarakat. Anak tunalaras terbagi menjadi 2 jenis, yaitu anak tunalaras yang
terlalu aktif dan anak tunalaras yang terlalu pasif, dimana masing-masing dari mereka
memiliki potensi dan intelegensia yang sama dengan anak-anak normal. Anak tunalaras
dengan gangguan emosi, atau tunalaras aktif, memiliki kecenderungan ingin menguasai dan
mengontrol segala sesuatu di sekitarnya. Pergaulannya terbilang tidak ramah, karena sering
kali melakukan kekerasan terhadap teman sebayanya, terutama pada anak tunalaras pasif.
Sedangkan masalah pada anak tunalaras dengan gangguan sosial, atau tunalaras pasif, adalah
sulitnya mereka untuk bersosialisasi. Mereka cenderung merasa tidak berguna, adanya
perasaan rendah diri, dan tidak percaya diri. Hal ini mengakibatkan mereka lebih suka
menyendiri. Tingkat konsentrasi mereka pun rendah karena mereka merasa rendah diri dan
tidak mampu, sehingga mempengaruhi nilai akademis dan kehidupan sosial mereka.
Sekolah Luar Biasa yang bertugas untuk mendidik anak tunalaras adalah Sekolah Luar
Biasa tipe E. Sekolah ini ditugaskan untuk dapat mendidik anak-anak tunalaras agar dapat
berkomunikasi dan belajar seperti anak-anak pada umumnya. Quinn (2000) mengemukakan
ISBN : 978-602-97491-9-9
B-20-1
Prosiding Seminar Nasional Manajemen Teknologi XX
Program Studi MMT-ITS, Surabaya 1 Februari 2014
bahwa desain sekolah biasa dengan desain khusus anak tunalaras akan berbeda, karena pada
sekolah khusus anak tunalaras terdapat 4 hal yang perlu diperhatikan pada lingkungan sekolah
tersebut, yaitu kejelasan fungsi sebuah ruang, ruangan yang dapat mengontrol stimulasi
berlebih, penataan ruang yang dapat mempermudah pengawasan, serta sebuah tempat sepi
untuk mendukung kebutuhan dari anak tunalaras pasif.
Lingkungan sekolah yang ada kurang mendukung kebutuhan anak tunalaras, sehingga
dapat berpengaruh terhadap perilaku anak tunalaras di sekolah. Karena anak tunalaras
termasuk ke dalam anak berkebutuhan khusus, sehingga masyarakat sering mengelompokkan
anak tunalaras dengan anak berkebutuhan khusus lainnya. Namun lingkungan pada Sekolah
Luar Biasa tipe E tidak akan sama dengan Sekolah Luar Biasa lainnya, karena kebutuhan dari
murid-murid tersebut sangat berbeda. Masyarakat pada umumnya belum mengetahui
perbedaan Sekolah Luar Biasa khusus anak tunalaras dengan yang lainnya, sehingga
mayoritas perancangan Sekolah Luar Biasa tipe E di Indonesia mengadaptasi perancangan
sekolah pada umumnya. Sekolah Luar Biasa di Indonesia belum memiliki solusi terkait
dengan lingkungan sekolah dan ruang kelas untuk anak dengan gangguan emosional (aktif)
dan gangguan sosial (pasif), selain itu Sekolah Luar Biasa di Indonesia belum memiliki solusi
perancangan Sekolah Luar Biasa yang mewadahi kebutuhan anak tunalaras pasif dan aktif,
serta menciptakan interaksi antara anak pasif dan anak aktif.
Tujuan yang hendak dicapai dari penelitian ini adalah untuk menghasilkan kriteria
perancangan serta rancangan akhir Sekolah Luar Biasa yang dapat mendukung kebutuhan
siswa-siswi perkembangan emosi dan sosial anak tunalaras dengan mengedepankan aspekaspek perilaku dari siswa-siswi berkebutuhan khusus yang diharapkan anak-anak tunalaras
yang memiliki gangguan emosi, atau anak aktif, dan sosial, atau anak pasif, mendapatkan
pelajaran secara akademis dan juga pelajaran untuk mengontrol emosi dan perilaku mereka,
sehingga mereka menjadi anak yang lebih baik.
METODE
Penelitian perancangan ini menggunakan kerangka fundamental menurut Donna P.
Duerk. Program ini menggunakan tata cara mengkerucutkan masalah dengan memfokuskan
penelitian kepada misi-misi yang akan dicapai, kemudian membagi permasalahan ke dalam
goal. Hasil akhirnya adalah berupa konsep yang didapat dari hasil pemecahan masalah
terhadap misi. Pada langkah terakhir, konsep-konsep yang didapat akan dievaluasi. Untuk
mengkaji perilaku yang ditimbulkan dari anak tunalaras serta mengidentifikasi kondisi
lapangan, maka dalam penelitian ini menggunakan wawancara, observasi, serta studi
dokumentasi kepada pihak guru dan murid SLB-E Prayuwana dan meninjau dari penelitian
terdahulu yang relevan.
Proses Desain
Proses perancangan yang digunakan adalah cyclical design process yang memiliki
karakteristik bahwa dalam perancangan tidak berlangsung secara searah, melainkan proses
berputar yang mendapat penyempurnaan dari langkah sebelumnya. Dalam cyclical design
process terdapat 3 tahapan (Duerk, 1993), yaitu:
1. Analisa, adalah penyusunan data berupa penelitian terkait dengan perancangan serta
penyusunan data terkait dengan kondisi pra-rancang yang berupa kondisi eksisting lahan
untuk menghasilkan kriteria rancang,
2. Sintesa, adalah pemilahan dan pengambilan keputusan konsep dan program terkait yang
paling sesuai dengan kriteria dan parameter perancangan sehingga dapat menjawab
masalah penelitian.
3. Evaluasi, adalah pemilahan dan pengambilan keputusan konsep.
ISBN : 978-602-97491-9-9
B-20-2
Prosiding Seminar Nasional Manajemen Teknologi XX
Program Studi MMT-ITS, Surabaya 1 Februari 2014
Program Perancangan
Gambar 1. Kerangka Program Perancangan
Program perancangan dimulai dengan mengkerucutkan masalah dan solusi dari sebuah
tujuan menjadi beberapa misi utama. Setelah didapat sebuah misi, maka langkah selanjutnya
adalah menentukan goal. Goal adalah sebuah pernyataan yang mengandung niat dalam
sebuah perancangan (Duerk, 1993). Untuk menemukan goal, diperlukan informasi terlebih
dahulu yang didapat melalui wawancara, observasi atau pencarian dokumen yang sudah ada
(Duerk, 1993), sehingga informasi tersebut yang akan membuat sebuah batasan terukur dari
sebuah goal. Jika goal sudah ditemukan, maka dapat ditemukan sebuah performace
requirement. Performance requirement adalah kriteria yang didapat dari hasil pengamatan.
Dalam penelitian ini tahap goal dan performance requirement adalah tahapan metode
penelitian yang berupa pengumpulan data dan analisa untuk menemukan kriteria perancangan.
Penentuan performance requirement adalah hal yang terukur, artinya performance
requirement dapat berupa peraturan, batasan, garis pedoman, dan kriteria. Dengan demikian,
dalam desain tesis ini, performance requirement adalah sebuah kriteria yang akan dicari
dalam desain tesis ini melalui pengkerucutan solusi dan misi dan goal.
Saluran Krativitas
Desain tesis ini menggunakan saluran kreativitas yang memfokuskan kepada
penggunaan material. Penggunaan saluran kreativitas ini adalah dengan memainkan warna,
bentuk, tekstur, dan ekspresi yang ditimbulkan dari berbagai material (Antoniades, 1990).
Ekspresi yang ditimbulkan material dapat bermacam-macam, seperti perasaan bijaksana,
alami, sabar, ataupun berteknologi tinggi. Saluran kreativitas ini diterapkan kepada bangunan
melalui pemilihan warna dan tekstur material ke dalam bangunan. Hal ini bertujuan untuk
membantu pemahaman anak tunalaras terhadap pemisahan fungsi dan guna dari sebuah
ruangan, serta memberikan sebuah kesan dan perasaan kepada pengguna bangunan.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil pengamatan yang telah dilakukan pada SLB-E Prayuwana terlah didapat
beberapa fakta terkait perilaku dari anak tunalaras bahwa anak pasif membutuhkan sebuah
tempat privasi yang dapat memberikan rasa aman. Perilaku ini ditunjukkan pada saat jam
istirahat, bahwa anak pasif memilih sudut lapangan untuk menyendiri dibandingkan bermain
di lapangan bersama teman-temannya. Hal ini berdampak negatif, sebab anak-anak pasif yang
menyendiri di tempat terpisah tidak mampu bersosialisasi dan kontak visual dengan anak pasif
lainnya. Perlu adanya sebuah tempat privasi khusus untuk anak pasif agar mereka mampu
bersosialisasi, namun tetap memperhatikan privasi masing-masing anak pasif. Saat istirahat,
anak pasif dan anak aktif tidak saling mengganggu. Anak aktif lebih memilih bermain dengan
sesama anak aktif, seperti bermain sepak bola. Selain itu, perilaku yang diamati di ruang kelas
menunjukkan bahwa anak aktif sering menganggu anak pasif. Hal ini dikarenakan oleh
ISBN : 978-602-97491-9-9
B-20-3
Prosiding Seminar Nasional Manajemen Teknologi XX
Program Studi MMT-ITS, Surabaya 1 Februari 2014
penataan meja pada ruang kelas yang membentuk efek gestalt yang memberikan persepsi
perbedaan zona. Sehingga perlu adanya sebuah desain interior ruang kelas yang mampu
menekan keaktifan anak aktif, serta pola penataan meja yang tidak menimbulkan batas antara
anak aktif dan pasif.
Mendapatkan misi adalah langkah pertama dari proses program perancangan. Misi
adalah sebuah pernyataan yang mengekspresikan alasan khusus dalam perancangan sebuah
bangunan (Duerk, 1993). Tujuan dari penelitian ini adalah menciptakan sebuah Sekolah Luar
Biasa yang mendukung perkembangan emosi dan sosial bagi anak tunalaras. Dengan
demikian, masalah dari penelitian ini dapat dikerucutkan menjadi 2 hal, yaitu bagaimana cara
agar anak tunalaras tidak lagi memiliki gangguan emosi dan bagaimana agar anak tunalaras
tidak lagi memiliki gangguan sosial. Setelah didapat sebuah misi, maka langkah selanjutnya
adalah menentukan goal. Misi pertama yang terfokus kepada permasalah anak pasif
menghasilkan 3 buah solusi, yakni menyediakan tempat privasi yang berfungsi sebagai sarana
untuk mengembangkan kemampuan sosial anak pasif, menciptakan desain bangunan sekolah
yang dapat mendukung kemandirian anak pasif, serta menyediakan ruang kelas yang dapat
mendukung mereka agar dapat berani mengemukakan pendapat. Sedangkan misi kedua yang
terfokus kepada permasalahan anak aktif menghasilkan 2 solusi, yakni menciptakan bangunan
sekolah yang dapat membantu anak aktif untuk menekan emosi berlebih, serta menyediakan
ruang kelas yang dapat membantu anak aktif untuk menekan emosi berlebihnya.
Pengkerucutan masalah ke dalam misi, goal, isu, dan performance requirement
menghasilkan 9 kriteria perancan Sekolah Luar Biasa khusus anak tunalaras. Kriteria tersebut
dirangkum dalam tabel berikut.
Tabel 1 Kriteria Perancangan dan Konsep Sekolah Luar Biasa kKhusus Anak Tunalaras
N
o
Kriteria
Konsep
1
Terdapat tempat menyendiri yang memiliki
privasi sejarak 1,5 – 3 meter antara orang
yang satu dengan yang lain
privasi terbentuk dari perbedaan jarak pada
kursi dalam suatu zona.
2
Koridor sebaiknya didesain untuk mencegah
anak pasif menyendiri
3
Elemen sekolah sebaiknya memiliki penanda
sebagai pemisah fungsi
4
Pada koridor sebaiknya terpisah antara anak
aktif dan pasif, namun tetap menjaga interaksi
visual
5
Desain ruang guru dapat memungkinkan
pengawasan yang maksimal
6
7
8
9
Desain ruang kelas sebaiknya menghindari
ruang kosong (void)
Ruang kelas sebaiknya tidak ada bidang
menonjol
Desain ruang kelas sebaiknya tidak
menimbulkan gap
Desain ruang kelas sebaiknya memaksimalkan
interaksi guru dan siswa
ISBN : 978-602-97491-9-9
B-20-4
terdapat pengulangan pada bidang
tidak ada tempat bersandar, sehingga koridor
berfungsi sebagai jalan
pemisah fungsi ditandai oleh warna ruangan
yang berbeda.
tempat privasi terpisah namun masih terjalin
interaksi visual
dinding pemisah menggunakan kisi-kisi yang
berlubang
pemantauan melalui ruang guru yang memakai
banyak material kaca
zona guru berada terpisah
kelas menggunakan meja yang lebar dan terbuka
memasukkan furniture ke dalam dinding
posisi meja berbentuk bulat
Prosiding Seminar Nasional Manajemen Teknologi XX
Program Studi MMT-ITS, Surabaya 1 Februari 2014
Setelah mendapatkan kriteria perancangan Sekolah Luar Biasa yang dapat mendukung
komunikasi anak tunalaras, maka didapat beberapa konsep perancangan. Ide rancang dimulai
dari bentuk dan desain massa bangunan. Berdasarkan kriteria nomor 3 dan nomor 5, bahwa
elemen sekolah sebaiknya memiliki penanda sebagai pemisah fungsi, serta desain ruang guru
dapat memungkinkan pengawasan yang maksimal. Dengan mempertimbangan kedua hal
tersebut, maka ruang guru diletakkan di tengah (pada gambar 2 ditandai oleh warna merah),
sehingga dapat memungkinkan pengawasan pada setiap kelas dan koridor. Kemudian di
antara kedua massa tersebut dihubungkan oleh sebuah koridor yang berfungsi sebagai area
sirkulasi yang menghubungkan massa barat dan timur.
Gambar 2. Ide Perancangan Denah dan Penataan Massa
Selain mempertimbangkan bentuk dan penataan massa, perlu adanya pertimbangan
terhadap perilaku anak tunalaras aktif. Untuk menekan perilaku berlebih dari anak tunalaras
aktif, perlu adanya pengawasan yang lebih untuk anak tunalaras aktif agar dapat terus
terpantau oleh para guru. Manusia memiliki jarak pandang sebesar 18 dejarat dari titik utama
pandangan. Untuk memaksimalkan pengawasan dengan memanfaatkan jarak pandang dari
manusia, maka ruang guru ditempatkan ditengah agar dapat memantau aktivitas murid-murid
dengan menyediakan kaca yang dengan ketinggian 140 cm dari tanah dengan desain yang
memanjang sepanjang ruangan.
Gambar 3. Jarak Pandang Manusia serta Konsep Area Jangkau pada Ruang Guru
Perancangan koridor merupakan perancangan yang perlu ditinjau lebih jauh karena
koridor merupakan sebuah ruang dimana anak pasif dan aktif berkumpul menjadi satu,
terutama pada saat jam istirahat. Koridor merupakan area yang sering dilalui, sehingga untuk
memaksimalkan interaksi, maka tempat menyendiri sebaiknya tidak jauh dari area yang sering
dilalui tersebut. Tempat menyendiri ditandai dengan warna merah muda, sedangkan koridor
ditandai dengan warna kuning. Agar tetap dapat mempertahankan privasi dari anak pasif,
maka jarak kursi sebaiknya berjarak sekitar 1,5 – 3,5 meter. Setelah memperhitungkan dengan
berbagai jarak pada perancangan pada Sekolah Luar Biasa ini, maka didapat sebuah jarak 2,5
meter untuk jarak terdekat, serta 3 meter untuk jarak terjauh.
ISBN : 978-602-97491-9-9
B-20-5
Prosiding Seminar Nasional Manajemen Teknologi XX
Program Studi MMT-ITS, Surabaya 1 Februari 2014
Gambar 4. Jarak Privasi serta Ide Perancangan Koridor
Selain koridor, ruangan yang sering digunakan oleh anak tunalaras adalah ruang kelas.
Salah satu cara yang dapat memaksimal interaksi guru dan murid adalah memperdekat jarak
komunikasi saat jam belajar antara guru dan murid. Perkins (2001) mengungkapkan bahwa
terdapat beberapa pola penataan meja pada desain interior ruang kelas. Diantara pola-pola
tersebut, yang paling banyak menghasilkan interkasi guru dan murid terbanyak adalah sebuah
ruang kelas yang memiliki ruang kosong di tengah kelas, yaitu pola berputar. Untuk warna
dalam ruang kelas menggunakan gabungan warna jingga tua atau coklat dan kuning. Warna
jingga merangsang sikap energik, ekstrovert, dan ceria dari seseorang. Sedangkan untuk
warna jingga tua, atau yang lebih sering disebut dengan warna coklat, memiliki arti
kenyamanan serta keamanan. Sedangkan warna kuning merupakan warna yang paling banyak
efek positif, seperti kebahagiaan, keceriaan, kesenangan, harapan, masa depan cerah, serta
kebijaksanaan. Warna ini sangat baik untuk menstimulasi anak tunalaras pasif dalam
komunikasi di lingkungan sekolahnya.
Gambar 5. Desain dan Pemilihan Warna pada Ruang Kelas
Selain ruang kelas dan koridor, ada sebuah ruang yang sering digunakan oleh para
murid, yaitu kantin. Pada pengamatan yang telah dilakukan di SLB-E Prayuwana, hanya
anak-anak tunalaras aktif saja yang mengunjungi kantin untuk membeli makanan ringan.
Sedangkan untuk anak tunalaras pasif mayoritas membawa bekal sendiri yang mereka bawa
dari rumah dan memakannya di tempat menyendiri mereka masing-masing. Desain kantin
menggunakan context effect untuk menimbulkan kesan tenang, agar anak aktif tidak
melakukan hal-hal yang berlebihan. Warna yang menunjukkan perasaan tenang dan dingin
ialah warna biru (Mahnke, 1996), sehingga perancangan interior menggunakan warna biru
ISBN : 978-602-97491-9-9
B-20-6
Prosiding Seminar Nasional Manajemen Teknologi XX
Program Studi MMT-ITS, Surabaya 1 Februari 2014
dan gradasinya sebagai warna utama. Untuk menetralkan perasaan dingin yang diciptkan
warna biru, dibutuhkan sebuah warna jingga atau coklat yang memiliki kesan yang
berlawanan. Dengan demikian, ada beberapa bagian dari interior yang akan menggunakan
material bata ekspos sebagai pencerminan warna coklat yang memberikan perasaan aman dan
nyaman.
Gambar 6. Desain dan Pemilihan Warna pada Kantin
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan dari hasil penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Terdapat 9 kriteria dalam perancangan Sekolah Luar Biasa khusus anak tunalaras dengan
menggunakan pendekatan perilaku dan mengedepankan aspek sosial.
2. Ada 3 syarat perancangan bangunan Sekolah Luar Biasa, yakni pola penataan meja pada
ruang kelas, desain tempat menyendiri, dan penggunaan warna atau material pada
bangunan.
3. Disarankan bangunan ini memiliki tempat menyendiri bagi anak pasif yang memiliki
privasi sejarak 1,5 – 3 meter antara orang yang satu dengan yang lain.
4. Perancangan ruang kelas sebaiknya didesain polos tanpa adanya bidang menonjol untuk
mengantisipasi pecahnya konsentrasi anak aktif .
5. Penataan meja pada ruang kelas disarankan menggunakan pola terbuka atau pola diskusi
untuk menghidari pengelompokkan jenis murid.
6. Penggunaan warna coklat dan kuning pada ruang kelas dapat meningkatkan keceriaan
anak pasif, serta ketenangan dan kenyaman pada aktif.
Untuk memperbaiki hasil penelitian ini, maka sarannya adalah:
Penelitian ini menggunakan pendekatan perilaku dan interaksi sosial sebagai usaha yang
mendukung kebutuhan anak tunalaras. Sehingga usaha dalam penelitian ini masih terbatas
kepada kebutuhan sosial anak tunalaras, dan belum mencakup kepada kebutuhan psikologi
dari anak-anak tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Antoniades, A. C. 1990. Poetics of Architecture: Theory of Design. New York: Van Nostrand
Reinhold.
Canter, David. 1974. Psychology for Architects. London: Applied Science Publishers, Ltd.
ISBN : 978-602-97491-9-9
B-20-7
Prosiding Seminar Nasional Manajemen Teknologi XX
Program Studi MMT-ITS, Surabaya 1 Februari 2014
Duerk, Donna P. 1993. Architectural Programming: Information Management for Design.
New York: Van Nostrand Reinfold Company.
Glantz, Karen. 2008. Health Behavior and Health Education, theory, research, and practice.
San Fransisco: Jossey Bass, A Wiley Imprint.
Heimsath, Clovis. 1977. Behavioral Architecture. New York: McGraw Hill Book Company.
Jones, J. Christopher. 1970. Design Methods: Seeds of Human Futures. London: WileyInterscience.
Holahan, Charles J. 1982. Environmental Psychology. New York: McGraw-Hill.
Kohler, Wolfgang. 1992. Gestalt Psychology: An Introduction to New Concepts in Modern
Psychology. Liveright Publishing Corporation.
Mahnke, Frank H. 1996. Color, Environment, and Human Response: An Interdisciplinary
Understanding of Color and Its Use as a Beneficial Element in the Design of the
Architectural Environment. San Francisco: John Wiley & Sons.
Quinn, Mary Magee; Osher, David; Warger, Cynthia L.; Hanley, Tom V.; Bader, Beth
DeHaven; Hoffman, Catherine C. 2000. Educational Strategies for Children with
Emotional and Behavioral Problem. Washington, DC: Center for Effective
Collaboration and Practice, American Institutes for Research.
Quinn, Mary Magee; Osher, David; Warger, Cynthia L.; Hanley, Tom V.; Bader, Beth
DeHaven; Hoffman, Catherine C. 2000. Teaching and Working with Children Who
Have Emotional and Behavioral Challenges. Washington, DC: Center for Effective
Collaboration and Practice, American Institutes for Research.
Ulfatin, Nurul. 2013. Metode Penelitian Kualitatif di Bidang Pendidikan. Malang: Bayumedia
Publishing.
ISBN : 978-602-97491-9-9
B-20-8
Download