MEMBANGUN MORALITAS APARAT PENEGAK HUKUM DEMI KEADILAN MEMBANGUN MORALITAS APARAT PENEGAK HUKUM DEMI MEWUJUDKAN KEADILAN (LAW ENFORCEMENT) Punasin Mahasiswa Prodi Al-Ahwal Al-Syakhsiyyah STAIN Jember Abstrak Untuk mewujudkan sebuah keadilan, seorang aparat penegak hukum dituntut untuk professional dalam melakukan tugasnya. Professional disini bukan harus selalu berpatokan kepada Undangundang sebagai landasan utama dalam bertindak membuat sebuah keputusan, akan tetapi juga harus melihat kepada realitas yang terjadi di masyarakat. Karena apa yang sudah dikodifikasi dalam Undang-undang kadang-kadang tidak sama jika dibenturkan dengan realitanya, hal itulah kenapa seorang aparat penegak hukum dituntut untuk cerdas dalam menyelesaikan permasalahan hukum. Cerdaspun tidak akan cukup jika tidak dilandaskan pada moral, karena ukuran baik tidaknya prilaku seseorang dilihat dari moralnya. Hal itulah kenapa moral menjdi patokan yang utama dan harus diutamakan oleh parat penegak hukum demi mewujudkan keadilan (law enforcement). Kata Kunci: Moralitas, Penegak Hukum, Keadilan Penhuluan Keadilan, satu kata yang mudah dikatakan tapi sulit untuk direalisasikan. Mungkin ungkapan tersebut pas dengan kondisi yang sekarang terjadi di Indonesia. Bbagaimana tidak, melihat pada realitas yang terjadi di Negara Indonesia, banyak kasus-kasus pelanggaran hukum yang melanda para penegak hukum di Indonesia, mulai dari , advokat, kepolisian, jaksa, bahkan yang paling menghebohkan adalah dengan tertangkapnya ketua Mahkamah Konstitusi (MK) dengan tuduhan kasus korupsi. Keadilan merupakan nilai ideal yang selalu diperjuangkan oleh umat manusia. Sebagai nilai ideal, cita-cita menggapai keadilan tidak pernah tuntas dicari, dan tidak pernah selesai dibahas. Keadilan akan menjadi diskursus panjang dalam sejarah peradaban manusia. Dalam sebuah negara hukum seperti Indonesia, upaya untuk mencapai keadilan Al-Ahwal, Vol. 5, No. 1 April 2013 135 Punasin tidak bisa diabaikan. Negara hukum tidak boleh apatis terhadap perjuangan dan setiap upaya untuk menegakkan keadilan. Konsepsi tentang keadilan sangat penting agar sebuah negara hukum menjadi pijakan semua pihak baik warga negara maupun pemimpin negara sebagai kepastian dalam menyelesaikan berbagai persoalan hukum yang dihadapi. Sebuah negara hukum dituntut sebuah konsep keadilan yang dapat menyentuh dan memulihkan berbagai persoalan hukum untuk memuaskan rasa keadilan semua pihak. Oleh karena itu, untuk menegaskan kepastiannya sebagai sarana untuk mencapai keadilan, sebuah negara hukum harus mampu merumuskan konsep hukumnya dalam suatu afirmasi yang bersifat konstitusional. Negara Indonesia adalah negara hukum, demikian afirmasi sebuah Negara hukum yang tertuang dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 1 ayat (3). Penegasan tersebut mengharuskan bahwa dalam sebuah negara hukum persoalan-persoalan yang berkaitan dengan hukum harus diselesaikan melalui jalur hukum. Prosedur penyelesaian terhadap semua persoalan hukum melalui jalur hukum tersebut merupakan penegasan terhadap superioritas hukum. Hukum yang superior tidak pernah tunduk di bawah kepentingan apa pun selain kepentingan hukum itu sendiri yaitu mencapai keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan yang merupakan tujuan utama hukum. Tetapi hukum tidak pernah bekerja secara otomatis. Hukum dalam sebuah negara hukum selalu berhubungan dan berkaitan erat dengan aparat penegak hukum. Superior dan tegaknya keadilan hukum membutuhkan aparat penegak hukum sebagai pihak yang berperan sangat penting untuk menegakkan keadilan agar hukum memiliki kekuatan untuk mengatur ketertiban sosial, keteraturan, dan keadilan dalam masyarakat. Dengan demikian, hukum yang tegas dan berlaku adil membuat hukum tersebut menjadi superior, memiliki keunggulan, kelebihan yang dapat diandalkan dan kredibel bagi semua pihak. Hukum yang mengarahkan diri pada keadilan tidak saja membutuhkan aparat penegak hokum, tetapi lebih pada aparat penegak hukum yang bermoral dan berintegritas tinggi. Aparat penegak hukum yang bermoral tersebut diharapkan dapat menegakkan hukum sebaik mungkin sebagai upaya mencapai tujuan-tujuan hukum termasuk untuk mencapai keadilan. Tanpa aparat penegak hukum yang bermoral, sebaik apapun hukum dibuat dapat saja sia-sia karena tidak mampu memenuhi rasa keadilan dan kepastian hukum bagi semua pihak. Oleh karena itu, 136 Al-Ahwal, Vol. 5, No. 1 April 2013 MEMBANGUN MORALITAS APARAT PENEGAK HUKUM DEMI KEADILAN kiprah aparat penegak hukum yang baik sangat dibutuhkan agar hukum tetap superior, tidak mudah diperjualbelikan dan tidak berada di bawah penindasan kepentingan politik dan ekonomi. Sesungguhnya superioritas hukum dalam sebuah negara hukum terletak pada konsistensi aparat penegak hukum untuk berpegang teguh pada aspek moralitas demi menegakkan keadilan dan kepastian hukum. MORALITAS SEBAGAI PEDOMAN APARAT PENEGAK HUKUM Secara etimologis, kata moralitas berasal dari kata bahasa Latin mosmores yang berarti ‘kebiasaan’, ‘adat’ dan sebagainya. Moralitas pada dasarnya memiliki arti yang sama dengan moral tetapi lebih abstrak. Sebagaimana telah diuraikan bahwa moralitas berawal dari kebiasaan atau adat. Kebiasaan tersebut mula-mula mungkin hanya bersifat individual. Namun karena manusia senantiasa hidup bersama dengan orang lain dan dalam suatu lingkungan tertentu, maka kebiasaan individu tersebut akan ditiru orang lain, dan lama kelamaan akan menjadi kebiasaan kelompok. Jika kelompok sudah menetapkan bahwa kebiasaan tersebut baik, maka kebiasaan tersebut dijadikan kewajiban yang harus ditaati oleh kelompok. Dengan demikian, moralitas semula hanya berupa kebiasaankebiasaan sehari-hari yang menyangkut aspek lahiriah, lama kelamaan merupakan pembakuan atas kebiasaan-kebiasaan yang menentukan kebaikan manusia secara universal. Oleh karena itu, moralitas bersifat universal, yaitu berlaku bagi semua manusia secara menyeluruh. Di samping sifat universalnya, moralitas bersifat rasional. Artinya, moralitas ditetapkan berdasarkan pertimbangan akal sehat, nalar dan rasio dan bukan berdasarkan selera.1 Menurut Franz Magnis-Suseno, term moral selalu merujuk pada baik-buruknya manusia sebagai manusia. Jadi bukan mengenai baikburuknya begitu saja, misalnya sebagai dosen, hakim, jaksa, advokat, melainkan sebagai manusia. Norma-norma moral adalah tolok ukur untuk menentukan betul-salahnya sikap dan tindakan manusia dilihat dari segi baik buruknya sebagai manusia dan bukan sebagai pelaku peran tertentu dan terbatas. Norma moral menjadi ukuran yang dipakai masyarakat untuk mengukur kebaikan seseorang.2 Permasalahan yang esensial dalam penegakan hukum di Indonesia 1 Agus Tridiatno, Masalah-Masalah Moral. (Yogyakarta: Penerbit Universitas Atma Jaya, 2000), 14-16 2 Franz Magnis Suseno, Etika Politik: Prinsip-Prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern. (Jakarta: PT. Gramedia, 1987), 19 Al-Ahwal, Vol. 5, No. 1 April 2013 137 Punasin bukan hanya semata-mata terhadap produk hukum yang tidak responsif, melainkan juga berasal dari faktor aparat penegak hukumnya. Untuk meletakkan pondasi penegakan hukum, maka pilar yang utama adalah penegak hukum yang mampu menjalankan tugasnya dengan integritas dan dedikasi yang baik. Karena sepanjang sapu kotor belum dibersihkan, maka setiap pembicaraan tentang keadilan akan menjadi omong kosong belaka, as long as the dirty broom is not cleaned, any talk of justice will be empty.3 Permasalahan penegakan hukum di Indonesia, terletak pada 3 faktor. Integritas aparat penegak hukum, produk hukum, dan tidak dilaksanakannya nilai-nilai Pancasila oleh aparat penegak hukum dalam pelaksanaan tugasnya sehari-hari. Lebih lanjut Lawrence Friedman mengemukakan 3 aspek yang menjadi dasar keterpurukan hukum suatu negara adalah struktur, substansi dan kultur. Ketiga pisau analisis Friedman tersebut, apabila dikombinasikan dengan keterpurukan penegakan hukum yang ada di Indonesia, maka sangatlah tepat bilamana teori Lawrence Friedmann, menjadi kajian teori analisis penulis, mengingat berbicara mengenai sistem hukum, maka kita tidak akan terlepas dari 3 (tiga) komponen sistem hukum tersebut yakni : 1. Struktur, yaitu keseluruhan institusi-institusi hukum yang ada beserta aparatnya, mencakupi antara lain kepolisian dengan para polisinya, kejaksaan dengan para jaksanya, pengadilan dengan para hakimnya; 2. Substansi, yaitu keseluruhan aturan hukum, norma hukum dan asas hukum, baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis, termasuk putusan pengadilan. 3. Kultur hukum yaitu opini-opini, kepercayaan-kepercayaan (keyakinankeyakinan), kebiasaan-kebiasaan, cara berpikir, dan cara bertindak, baik dari para penegak hukum maupun warga masyarakat, tentang hukum dan berbagai fenomena yang berkaitan dengan hukum.4 Berbicara masalah aparat penegak hukum, tidak terlepas dari khittoh manusia yang mempunyai sifat lalai, akan tetapi bagaimana dengan kekurangan sifat itulah manusia diharapkan menempatkan moralitas sebagai patokan utama dalam menjalankan hidup di masyarakat, lebih spesifik lagi dalam menjalankan profesinya sebagai aparat penegak hukum. Karena melihat iklim kehidupan di era reformasi ini telah memperlihatkan 3 Ahmad Ali, Keterpurukan Hukum di Indonesia, Penyebab dan Solusinya (Ghalia Indonesia, 2001), 74 4 M. Friedma Laurance, Law and Society An Introduction (New Jersey. 1977), 11-16 138 Al-Ahwal, Vol. 5, No. 1 April 2013 MEMBANGUN MORALITAS APARAT PENEGAK HUKUM DEMI KEADILAN perubahan yang begitu signifikan dalam kehidupan demokrasi di Indonesia. Fenomena yang ada, dimana kebebasan mengekspresikan hak hidup sebagai warga negara dan menyampaikan aspirasi begitu marak dilakukan oleh warga masyarakat. Hanya patut disayangkan, terkadang hal itu dilakukan dengan menabrak rambu-rambu hukum dan peraturan yang ada serta terlepas dari kendali moral, yang seyogyanya harus dipatuhi dan dijunjung tinggi, sehingga luapan ekspresi kebebasan tersebut terkesan anarkis dan merugikan pihak lain. Disinilah perlunya penyadaran untuk kembali kepada nilai-nilai moral sebagai bangsa yang beragama dan beradab untuk komitmen menjadikan moralitas sebagai landasan dalam berpolitik dan penegakkan hukum. Agenda besar dan penting ini tidak dapat ditundatunda lagi, kalau kita ingin segera terwujud cita-cita awal digulirkannya reformasi, yaitu diantaranya menjadikan hukum sebagai panglima, agar penegakan supremasi hukum dapat terlaksana dengan baik. Karena penegakan supremasi hukum sudah tidak dapat ditawar-tawar lagi, kalau memang ingin membangun dan menyaksikan Indonesia sebagai Negara Hukum. Dapat dikatakan bahwa Aparat penegak hukum merupakan institusi penegak hukum yang meliputi polisi, jaksa, dan hakim. Seperti halnya dalam penyelenggaraan sistem peradilan pidana, diperlukan jajaran aparatur penegak hukum yang profesional, cakap, jujur, dan bijaksana. Para penegak hukum memiliki tanggung jawab menegakkan wibawa hukum dan menegakkan keadilan. Profesionalisme penegak hukum dapat dilihat dari tingkat penguasan ilmu hukum, keterampilan dan kepribadian para penegak hukum dalam menjalankan tugas dan wewenangnya dalam bekerja. Penegak hukum disebut profesional karena kemampuan berpikir dan bertindak melampaui hukum tertulis tanpa menciderai nilai keadilan. Dalam menegakkan keadilan, dituntut kemampuan penegak hukum mengkritisi hukum dan praktik hukum demi menemukan apa yang seharusnya dilakukan sebagai seorang profesional. Dalam konsep negara hukum (rechtsstaat), ada dua fungsi penegakan hukum, yaitu fungsi pembentukan hukum (law making process) dan fungsi penerapan hukum (law applying process). Fungsi pembentukan hukum (law making process) harus ditujukan untuk mencapai tegaknya supremasi hukum. Hukum yang dibuat tetapi tidak dijalankan tidak akan berarti. Demikian pula sebaliknya tidak ada hukum yang dapat dijalankan jika hukumnya tidak ada. Jika hukum dan keadilan telah terwujud maka supremasi hukum dapat dirasakan oleh segenap masyarakat. Dalam mengemban tugas pemeliharaan keamanan dan ketertiban nasional, tiap- Al-Ahwal, Vol. 5, No. 1 April 2013 139 Punasin tiap anggota Polri harus menjalankannya dengan berlandas pada ketentuan berperilaku petugas penegak hukum (code of conduct) dan penghormatan terhadap hak asasi manusia. Standar-standar dalam code of conduct dapat dijadikan sarana untuk menentukan apakah telah terjadi malpraktik profesional atau tidak. Dapat dikatakan telah terjadi malpraktik apabila seorang profesional dalam menjalankan tugas dan kewajibannya telah melakukan tindakan yang tidak profesional di bawah standar atau substandar profesinya, menimbulkan kerugian (damage) terhadap orang lain sebagai akibat perbuatannya.5 Yang timbul sekarang ini dalam masyarakat Indonesia adalah terlalu banyak terjadi diskriminasi terhadapa pelaksanaan hukum atau tebang pilih, sehingga asas equal justice under law hanya menjadi lips service para penegak hukum, lebih-lebih banyaknya kasus-kasus kakap yang gagal dalam penangananya, mulai dari kepolisian, kejaksaan sampai pengadilan, bahkan dibentuknya lembaga-lembaga penegakan hukum lainnya seperti KPK tidak memberikan efek jera terhadap koruptor kelas kakap di negeri ini. Jika demikian, apa peran moral, dan bagaimana kita akan mewujudkan cita-cita pancasila yang tujuan akhirnya adalah sebuah keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia. Dari sanalah moral mempunyai peranan yang sangat penting, sebagai sarana kontrol sosial, mencegah pengawasan atau campur tangan yang dilakukan oleh pemerintah atau oleh masyarakat melalui agen atau pelaksanannya.agar para penegak hukum yang ada di Negara kita tidak menyalahgunakan kekuasaannya. Penyalahgunaan dapat terjadi karena persaingan yang melanda individu profesional hukum ataupun karena tidak adanya disiplin diri. Dalam profesi hukum dapat dilihat dua hal yang sering kontrast satu sama lain, yaitu: citacita etika yang terlalu tinggi di satu sisi dan praktik-praktik pelaksanaan pengembalaan hukum yang berada jauh di bawah cita-cita tersebut di sisi lain. Tak seorang jurist pun yang menginginkan perjalanan kariernya menemui hambatan sebagai akibat terjerat oleh cita-cita profesi yang terlalu tinggi dan menghindari pelayanan yang jauh dari semangat mementingkan diri sendiri. Banyak jurist mempergunakan status profesinya untuk menciptakan uang atau untuk maksud-maksud politik.6 5 Mardjono Reksodiputro, “Reformasi Hukum di Indonesia”(Yakarta: BPHN Departemen Kehakiman dan HAM, 1999), 73-87. 6 Sumaryono, Etika Profesi Hukum Norma-Norma Bagi Penegak Hukum (Yogyakarta: Kanisius, 1995), 70-74 140 Al-Ahwal, Vol. 5, No. 1 April 2013 MEMBANGUN MORALITAS APARAT PENEGAK HUKUM DEMI KEADILAN Upaya Mewujudkan Keadilan (Law Enforcement) Penegakan hukum adalah kegiatan menyerasikan hubungan nilainilai yang terjabarkan dalam kaidah-kaidah, pandangan-pandangan yang mantap dan mengejawantahkannya dalam sikap, tindak sebagai serangkaian penjabaran nilai tahap akhir untuk menciptakan keadilan, kedamaian pergaulan hidup.7 Keberadaan hukum adalah untuk ditaati, dilaksanakan dan ditegakkan. Penegakan hukum (law enforcement) harus dilakukan dengan tegas dan konsekuen, penuh dedikasi dan tanggung jawab. Hal ini akan berpengaruh bagi peningkatan kesadaran hukum masyarakat. Karena kalau penegakan hukum lemah, maka akan melahirkan sikap acuh dari masyarakat dan memberi peluang serta perangsang terjadinya pelanggaran hukum dan perbuatan main hakim sendiri, sehingga keadilan tidak akan pernah tercapai. Sifat hakiki hukum selain kepastian hukum juga keadilan. Keadilan adalah nilai ideal-metafisis yang mesti selalu diperjuangkan dalam penegakan hukum. Keadilan mesti terus-menerus diperjuangkan dalam upaya penegakan hukum. Menurut Suseno, (Franz MagnisSuseno,1987:81), keadilan mempunyai dua arti. Pertama, dalam arti formal keadilan menuntut bahwa hukum berlaku umum. Artinya, hukum mesti berlaku bagi semua orang yang tersentuh aturan hukum tersebut. Keadilan menuntut agar semua orang dalam situasi yang sama diperlakukan dengan sama pula. Setiap orang, entah siapa pun dia, selalu diperlakukan menurut hukum yang berlaku. Setiap orang yang karena kedudukan, fungsi, atau kelakuannya memenuhi deskripsi yang dimaksud dalam suatu norma hukum akan diperlakukan menurut norma hukum tersebut. Jadi kalau saya memakai jalan umum, peraturan-peraturan lalu lintas akan diberlakukan kepada saya, karena peraturan lalu lintas itu berlaku bagi siapa saja yang dapat disebut sebagai pemakai jalan. Hal yang sama terjadi juga untuk kasus korupsi. Ketika seseorang melakukan korupsi, entah dia orang biasa atau pejabat akan terjerat undang-undang Tindak Pidana Korupsi. Jadi di hadapan hukum semua orang sama derajatnya. Semua orang berhak atas perlindungan hukum dan tidak ada yang kebal hukum.8 Kedua, dalam arti material dituntut agar hukum sesuai dengan citacita keadilan dalam masyarakat. Masyarakat tidak sembarang membutuhkan dan mengakui tatanan normatif, melainkan masyarakat mengakui dan menghormati suatu tatanan yang menunjang kehidupan 7 Soerjono Soekanto, Beberapa Permasalahan Hukum Dalam Kerangka Pembangunan Di Indonesia (Yakarta: UI-Press, 1983), 3 8 Ibid., 81 Al-Ahwal, Vol. 5, No. 1 April 2013 141 Punasin bersama berdasarkan apa yang dinilai baik, wajar dan adil. Masyarakat tidak menilai hukum menurut prinsip-prinsip yang abstrak, melainkan menurut apa yang dalam situasi konkret terasa adil. Tuntutan keadilan memuat agar hukum dirumuskan secara luwes agar hakim mempunyai kebebasan penuh untuk memperhatikan semua unsur konkret dalam perkara yang dihadapi. Karena itu, keadilan adalah prasyarat hakiki bagi hukum. Hukum hanya disebut hukum karena menghendaki dan menyediakan keadilan. Menurut Hans Kelsen Keadilan bermakna legalitas yaitu bahwa suatu peraturan umum berlaku ‘adil’ jika ia benar-benar diterapkan kepada semua kasus yang, menurut isinya, peraturan itu harus diterapkan. Keadilan dalam arti legalitas, adalah suatu kualitas yang berhubungan bukan dengan isi dari suatu tatanan hukum positif, melainkan dengan penerapannya. Keadilan berarti pemeliharaan atas tatanan hukum positif melalui penerapannya yang benar-benar sesuai dengan jiwa dari tatanan hukum positif tersebut. Keadilan ini adalah keadilan berdasarkan hukum.9 Menurut Hans Kelsen, keadilan hukum bukan didasarkan sematamata pada isi dari tatanan hukum positif, tetapi pada penerapannya oleh aparat penegak hukum. Aparat penegak hukum yang menentukan tatanan hukum positif tersebut berlaku adil atau tidak adil dalam penerapan dengan memperhatikan nilai-nilai keadilan yang hidup dalam masyarakat. selain itu Hans Kelsen juga menekankan keadilan hukum sebagai nilai keadilan selalu terikat pada penerapan hukum yang berlaku yang sesuai dengan semangat, dan sistem hukum tersebut. Perbuatan seseorang dikatakan adil atau tidak adil harus sesuai dengan norma hukum yang dianggap absah oleh subjek yang menilainya karena norma tersebut termasuk tatanan hukum positif. Jika ada masyarakat yang menilai penerapan hukum dalam kasus tertentu tidak adil, maka penilaian tersebut mesti didasarkan pada tatanan hukum positif yang diakui secara absah, bukan berdasarkan logika normatif yang lain. Idealisme hukum yang dipaparkan Hans Kelsen mesti selalu diperjuangkan dalam penegakan hukum dalam upaya mencapai keadilan, yakni nilai keadilan yang berasal dari penegakan hukum oleh aparat penegak hukum dan berdasarkan pada nilai-nilai keadilan yang hidup dalam masyarakat. Berbagai konsep keadilan yang hidup dalam masyarakat mesti didalami, diinterpretasi dan diimplementasikan oleh aparat penegak hukum untuk mengantisipasi praktek penegakan hukum yang diskriminatif. 9 Hans Kelsen, General Theory of Law State. (New York: Rusel and Rusel,1971), 17 142 Al-Ahwal, Vol. 5, No. 1 April 2013 MEMBANGUN MORALITAS APARAT PENEGAK HUKUM DEMI KEADILAN Penegakan hukum di Indonesia sudah sering mengabaikan nilai-nilai keadilan karena praktek hukum lebih dipengaruhi oleh aspek politis dan kepentingan-kepentingan pribadi dan kelompok tertentu sehingga meruntuhkan bahkan mendegradasi wibawa dan superioritas hukum. Prosedur penegakan hukum mesti berjalan baik dan murni tanpa ada kepentingan terselubung yang menyebabkan distorsinya nilai-nilai penegakan hukum yang adil, pasti, dan bermanfaat. Kesimpulan Dari berbagai penjelasan diatas, dapat ditarik sebuah kesimpulan: 1. Demi mewujudkan keadilan (law enforcement), seorang aparat penegak hukum bukan hanya berpatokan kepada Undang-undang debagai landasan utama, akan tetapi moralitas juga harus diperhatikan, karena melihat realitas yang terjadi pada era reformasi ini bukan karena para aparat penegak hukum yang tidak cerdas, tetapi lebih kepada dekadensi moral. 2. Moralitas merupakan satu hal yang tidak bisa dilupakan oleh oleh para aparat pengak hukum, karena ketika konsep Undang-undang sudah baik, tetapi aparat penegak hukmnya kurang baik maka yang akan terjadi adalah penyelewengan-penyelewengan, begitu juga sebaliknya. Jadi keduanya harus seimbang. Saran/Rekomendasi Berdasarkan pergumulan penulis dalam merangkai tulisan ini, maka penulis merekomendasikan beberapa hal berikut: 1. Bagi lembaga pendidikan hukum, agar dapat mendidik para mahasiswa hukum dengan sikap yang baik karena keteladanan merupakan salah satu cara untuk menanamkan moralitas yang baik. 2. Sistem rekrutmen untuk menjadi aparat penegak hukum harus dilakukan dengan objektif dan sungguh-sungguh tanpa ada suapmenyuap. 3. Terhadap lembaga-lembaga penegak hukum, agar dapat menciptakan kondisi yang kondusif bagi bertumbuh dan berkembangnya aparat penegak hukum yang bermoral tinggi sehingga mampu mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap aparat penegak hukum. Al-Ahwal, Vol. 5, No. 1 April 2013 143 Punasin Daftar Pustaka Ali, Ahmad, Keterpurukan Hukum di Indonesia, Penyebab dan solusinya (Ghalia Indonesia, 2001). Friedman, M. Laurance, Law And Society An Introduction (New Jersey, 1977). Soekanto, Soerjono, .Beberapa Permasalahan Hukum Dalam Kerangka Pembangunan Di Indonesia (Jakarta: UI-Press, 1983). Kelsen, Hans, General Theory of Law State (New York: Rusel and Rusel, 1971). Reksodiputro, Mardjono, “Reformasi Hukum di Indonesia”, Seminar Hukum Nasional Ke VII, BPHN Departemen Kehakiman dan HAM, 1999. Suseno, Franz Magnis, Etika Politik: Prinsip-Prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern (Jakarta: PT. Gramedia, 1987). Sumaryono, Etika Profesi Hukum Norma-Norma Bagi Penegak Hukum (Yogyakarta : Kanisius, 1995). Tridiatno, Agus, Masalah-Masalah Moral (Yogyakarta: Penerbit Universitas Atma Jaya, 2000). 144 Al-Ahwal, Vol. 5, No. 1 April 2013