BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Parameter Fisik dan Kimia Perairan Telaga Bromo Rata-rata hasil pengukuran terhadap parameter fisik dan kimia perairan yang telah dilakukan setiap pengambilan sampel pada bulan Januari 2016 – Maret 2016 di Telaga Bromo dapat dilihat di Tabel 1. Tabel 1. Nilai Parameter Fisik dan Kimia Perairan Telaga Bromo Parameter Intensitas Cahaya (Lux) Kekeruhan (mg/L) Kedalaman (meter) Suhu (0C) pH DO (mg/L) COD (mg/L) BOD (mg/L) Fosfat (mg/L) Nitrat (mg/L) Sulfat (mg/L) Kalsium (mg/L) Stasiun I Kisaran Rerata 8.200 26.400 111.100 Stasiun II Kisaran Rerata 11.200 22.300 109.800 Stasiun III Kisaran Rerata 9600 16.600 81.800 Stasiun IV Kisaran Rerata 9.700 22.200 83.600 60 - 493 158,6 32 - 80 62,4 11 - 80 62,2 13 - 70 54,6 0,6 - 1,1 0,8 1,3 - 2,3 1,71 0,7 - 1,2 0,9 0,5 - 0,8 0,65 29,1 47,2 7,6 - 10 3,03 8,94 94,62380,16 9,59 19,06 0,012 0,444 0,348 0,967 20,009 85,149 8,00 15,84 34,3 29,3 40,1 7,3 - 8,5 3,90 8,90 93,18 380,16 2,34 41,13 0,138 0,276 0,437 0,987 19,316 102,212 10,30 12,00 32,6 28,8 35,2 6,5 - 9,3 4,12 7,73 75,26 316,80 1,58 47,15 0,1270,689 0,433 1,196 16,789 71,875 7,42 10,40 31,24 29,3 45,4 6,2 - 8,5 0,53 8,65 82,43 506,88 1,42 44,91 0,076 1,012 0,426 1,728 13,754 105,528 14,40 15,84 34,5 8,48 4.99 235,913 13,01 0,2643 0,6923 55,5793 11,147 7,94 4,27 222,813 20,07 0,2023 0,7523 65,0587 10,9 7,92 4,237 164,66 19,697 0,4417 0,822 29,5547 8,873 Sumber: Analisis Data Primer Keterangan : Stasiun I Stasiun II Stasiun III Stasiun IV = bagian tepi telaga (tempat mencuci dan mandi) = bagian tengah telaga = bagian teduhan = bagian tanpa teduhan 47 7,32 3,06 264,383 23,687 0,5313 1,173 65,145 15,147 Kualitas air merupakan subyek yang sangat kompleks dan dicerminkan dari jenis pengukuran dan indikator air yang digunakan. Pengukuran akan lebih akurat jika dilakukan di tempat karena air berada dalam kondisi yang ekuilibrium dengan lingkungannya. Pengukuran di tempat umumnya akan mendapatkan data mendasar seperti temperatur, pH, kekeruhan dan sebagainya. Untuk pengukuran yang lebih kompleks membutuhkan sampel air yang kemudian dijaga kondisinya, dipindahkan dan dianalisis di laboratorium. Pengukuran ini memiliki kendala seperti karakteristik air pada sampel mungkin tidak sama dengan sumbernya karena terjadi perubahan secara kimiawi dan biologis seiring waktu. Bahkan kualitas air dapat bervariasi antara siang dan malam akibat pengaruh organisme air. Air sampel akan menyesuaikan diri dengan lingkungan baru yaitu botol atau kemasan yang digunakan untuk pengambilan sampel. Sehingga bahan yang digunakan untuk pengambilan sampel harus bersifat inert atau memiliki tingkat reaktivitas yang minimum sehingga tidak mempengaruhi kualitas air yang diuji. Ruang udara yang berada di dalam kemasan sampel dapat mempengaruhi karena ada resiko udara larut dalam sampel air. Selain itu, cahaya matahari juga mempengaruhi organisme dalam sampel seperti fitoplankton untuk melakukan fotosintesis sehingga mengubah kondisi kimiawi sampel air. Menjaga kualitas sampel dapat dilakukan dengan mendinginkan sampel sehingga mengurangi laju reaksi kimia dan perubahan fase. 48 1. Intensitas Cahaya Dari hasil penelitian diketahui bahwa intensitas cahaya tertinggi terdapat di stasiun I (bagian tepi telaga) yaitu 26.400 lux yang disebabkan karena sedikitnya vegetasi di sekitar tepi telaga dan pengukuran dilakukan pada siang hari meski dalam keadaan mendung atau hujan. Walaupun stasiun IV merupakan stasiun yang tidak memiliki naungan vegetasi, stasiun IV memiliki banyak vegetasi di sekitarnya dan pengukurannya dilakukan paling akhir sehingga cahaya matahari mulai berkurang. Nilai intensitas cahaya terendah terdapat di stasiun III yaitu 16.600 lux karena adanya naungan vegetasi. Kisaran intensitas cahaya 16.600-26.400 lux tergolong rendah sehingga fitoplankton tidak dapat berfotosintesis secara optimum. Hal ini didukung dengan pernyataan Susanti (2001) bahwa kisaran intensitas cahaya yang membuat fitoplankton berfotosintesis secara optimum berkisar antara 48.500-120.000 lux. Rendahnya intensitas cahaya tersebut karena saat pengambilan sampel sedang mendung atau hujan. Intensitas cahaya dan kekeruhan merupakan parameter yang saling berkaitan, parameter-parameter ini merupakan indikator produktivitas perairan sehubungan dengan proses fotosintesis dan proses respirasi biota perairan terutama plankton. Kekeruhan yang tinggi menyebabkan rendahnya intensitas cahaya yang masuk ke dalam perairan sehingga proses fotosintesis fitoplankton terhambat dan pertumbuhan fitoplankton tidak optimal. 49 2. Kekeruhan Nilai kekeruhan perairan di Telaga Bromo berkisar antara 54,6 – 158,6 mg/L (Tabel 1). Tingginya nilai kekeruhan pada stasiun I diduga akibat banyaknya sampah di bagian tepi telaga terutama sampah plastik detergen. Selain itu, tingginya nilai kekeruhan tersebut disebabkan oleh air limpasan dari daratan. Sedangkan rendahnya nilai kekeruhan di stasiun IV disebabkan karena efek dari air limpasan tidak terlalu tinggi. Nilai kekeruhan yang masih dapat ditolerir oleh organisme perairan yaitu < 30 mg/l. Nilai kekeruhan yang tinggi dapat menyebabkan berkurangnya penetrasi cahaya ke dalam perairan sehingga menghambat laju fotosintesis fitoplankton. Fotosintesis yang terhambat akan mengakibatkan pertumbuhan fitoplankton tidak optimal dan berkurangnya oksigen dalam air. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Floder (2002: 395396). 3. Kedalaman Setelah dirata-rata dari kelima pengambilan, kedalaman Telaga Bromo berkisar antara 0,65-1,71 meter (Tabel 1). Dari pengambilan pertama sampai pengambilan ke empat, hanya stasiun II yang berkedalaman di atas 1 meter. Pada pengambilan terakhir, hanya stasiun IV yang berkedalaman di bawah 1 meter. Bertambahnya volume air telaga dikarenakan oleh air hujan yang turun selama bulan Januari-Maret 2016. Kedalaman perairan berperan penting terhadap kehidupan biota pada ekosistem tersebut. Semakin dalam perairan maka terdapat zona yang 50 masing-masing memiliki kekhasan tertentu, seperti suhu, kelarutan gas-gas dalam air, kecepatan arus, penetrasi cahaya matahari dan tekanan hidrostatik. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Satino (2010: 13) yang mengatakan bahwa perubahan faktor - faktor fisik dan kimiawi perairan akibat perubahan kedalaman akan menyebabkan respon yang berbeda biota di dalamnya. Fitoplankton banyak dijumpai pada kedalaman tidak lebih dari satu meter pada perairan umum (sungai, danau, telaga dan waduk) karena pada kedalaman satu meter merupakan daerah transparansi matahari yang merupakan daerah fitoplankton dapat menyerap cahaya tampak dari matahari secara optimal. 4. Suhu Hasil pengukuran menunjukkan bahwa suhu perairan berkisar antara 31,24-34,5 0C (Tabel 1), dengan suhu tertinggi pada stasiun IV dan terendah pada stasiun III. Tingginya suhu pada stasiun IV disebabkan karena tidak adanya naungan vegetasi sehingga badan air terkena cahaya matahari secara langsung. Rendahnya suhu di stasiun III karena adanya naungan vegetasi sehingga penetrasi cahaya matahari ke perairan akan terhalang dan akibatnya suhu perairan tidak meningkat secara cepat. Variasi suhu yang terukur selama pengamatan sangat dipengaruhi oleh suhu udara di atasnya dan perbedaan intensitas cahaya matahari saat pengukuran. Suhu secara langsung berpengaruh dalam mengontrol laju berbagai proses metabolisme dalam sel mikroalga. Laju proses metabolisme akan meningkat seiring dengan kenaikan suhu. 51 Kisaran suhu antara 31,24-34,5 0C tergolong dalam kisaran suhu yang masih dapat ditolerir plankton. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Wibisono (2005) yang mengatakan bahwa suhu yang dapat ditolerir oleh organisme berkisar antara 20-300C, suhu yang sesuai dengan perkembangan fitoplankton berkisar antara 25-300C, suhu yang optimal untuk pertumbuhan zooplankton antara 15-350C. 5. Derajat Keasaman (pH) Berdasarkan pengukuran nilai pH di Telaga Bromo, diperoleh kisaran pH antara 7,32-8,48 (Tabel 1). Nilai pH terendah terdapat di stasiun IV sedangkan nilai pH tertinggi terdapat di stasiun I. Tinggi atau rendahnya pH perairan terkait dengan aktivitas organisme dekomposer dalam penguraian materi organik baik di dasar perairan maupun di kolom air. Tingginya nilai pH di stasiun I disebabkan oleh banyaknya materi organik yang diuraikan. Materi organik tersebut berasal dari air limpasan yang banyak mengandung sampah dan nutrisi yang terlihat dari nilai kekeruhan di stasiun I. Sedangkan stasiun IV memiliki nilai pH terendah karena materi organik dari air limpasan yang perlu diuraikan sedikit. Meskipun nilai pH di stasiun I merupakan nilai pH tertinggi, nilai tersebut masih dapat ditolerir oleh plankton. Hal tersebut didukung oleh pernyataan dari Effendi (2003) dalam Anjar Asmara (2005:38) yang mengatakan bahwa nilai pH yang ideal untuk kehidupan organisme akuatik pada umumnya berkisar antara 7-8,5. 52 6. Oksigen Terlarut (Dissolved Oxygen) Dari hasil pengukuran yang dilakukan diperoleh nilai oksigen terlarut berkisar antara 3,06-4,99 mg/L (Tabel 1). Tinggi rendahnya kadar oksigen terlarut berkaitan dengan kekeruhan air dan aktivitas mikroorganisme untuk menguraikan zat organik menjadi zat anorganik yang menggunakan oksigen terlarut. Seharusnya nilai DO terendah terdapat di stasiun I yang merupakan tempat mencuci dan mandi sehingga aktivitas organisme dekomposernya tinggi. Namun, nilai DO terendah justru terdapat di stasiun IV. Hal tersebut disebabkan oleh arah aliran air di telaga. Karena perbedaan kedalaman telaga maka perairan di stasiun I akan mengalir ke stasiun IV sehingga aktivitas organisme dekomposer banyak terjadi di stasiun IV. Kisaran DO yang diperoleh masih dapat ditolerir oleh organisme perairan yang ada di telaga. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Suharsono (1990) dalam Lisanty (2000) yang mengatakan bahwa kadar oksigen terlarut minimum yang dibutuhkan untuk mendukung kehidupan organisme akuatik secara normal adalah 2 mg/l dengan catatan di dalam perairan tidak terdapat persenyawaan beracun dan kadar oksigen terlarut yang optimal untuk pertumbuhan organisme akuatik adalah 5 mg/l. 7. COD (Chemical Oxygen Demand) Dari hasil pengukuran yang dilakukan diperoleh nilai COD (Chemical Oxygen Demand) tertinggi pada stasiun IV yaitu 264,383 mg/L dan terendah pada stasiun III yaitu 164,66 mg/L. Hanya pada stasiun III 53 yang memiliki nilai COD di bawah 200 mg/L (Tabel 1). Tingginya nilai COD menunjukkan bahwa perairan mengandung banyak senyawa organik dan anorganik yang harus diuraikan secara kimia karena tidak dapat diuraikan secara biologis saja. Pengukuran COD dilakukan untuk mengetahui tingkat penguraian produk-produk kimiawi seperti senyawa minyak dan buangan kimia lainnya yang sangat sulit atau bahkan tidak bisa diuraikan oleh mikroorganisme. Kadar COD tertinggi seharusnya terdapat di stasiun I karena stasiun I merupakan tempat untuk mencuci dan mandi sehingga terdapat banyak buangan kimia dari sabun dan detergen. Namun, kadar COD tertinggi terdapat di stasiun IV. Hal tersebut disebabkan oleh arah aliran air di telaga. Karena perbedaan kedalaman telaga maka perairan di stasiun I akan mengalir ke stasiun IV sehingga limbah air sabun dan detergen banyak terdapat di stasiun IV. Nilai COD yang terlalu tinggi tidak baik untuk kehidupan plankton karena akan banyak oksigen yang digunakan dalam menguraikan bahan organik tersebut. Nilai COD yang terukur di tiap stasiun menunjukkan nilai yang cukup tinggi sehingga Telaga Bromo tergolong perairan tercemar. Hal ini sesuai dengan pernyataan Effendi (2003) dalam Anjar Asmara (2005:42) yang mengatakan bahwa nilai COD di perairan tidak tercemar biasanya kurang dari 20 mg/l sedangkan perairan tercemar lebih dari 200 mg/l. 54 8. BOD (Biological Oxygen Demand) Dari hasil pengukuran yang dilakukan diperoleh nilai BOD (Biological Oxygen Demand) tertinggi terdapat di stasiun IV yaitu 23,687 mg/L dan terendah terdapat di stasiun I yaitu 13,01 mg/L. Tinggi atau rendahnya nilai BOD menunjukkan banyak tidaknya kandungan senyawa organik dan anorganik dalam badan perairan yang membutuhkan oksigen untuk menguraikannya. BOD menunjukkan jumlah oksigen terlarut yang dibutuhkan oleh organisme hidup untuk menguraikan atau mengoksidasi bahan-bahan buangan di dalam air. Jika konsumsi oksigen tinggi, yang ditunjukkan dengan semakin kecilnya sisa oksigen terlarut dalam air, maka berarti kandungan bahan buangan yang membutuhkan oksigen tinggi. Bahanbahan buangan yang memerlukan oksigen terutama terdiri dari bahanbahan organik dan mungkin beberapa bahan anorganik. Polutan semacam ini berasal dari berbagai sumber seperti kotoran hewan maupun manusia, tanaman-tanaman yang mati atau sampah organik, bahan-bahan buangan dari industri dan sebagainya. Air yang telah tercemar oleh bahan buangan yang bersifat antiseptik atau racun seperti detergen, jumlah mikroorganismenya juga relatif sedikit. Seharusnya stasiun I memiliki nilai BOD tertinggi karena banyak terdapat air sabun dari mencuci maupun mandi. Namun, kadar BOD tertinggi terdapat di stasiun IV. Hal tersebut disebabkan oleh arah aliran air di telaga. Karena perbedaan 55 kedalaman telaga maka perairan di stasiun I akan mengalir ke stasiun IV sehingga limbah air sabun dan detergen banyak terdapat di stasiun IV. Perairan di Telaga Bromo tergolong perairan yang tercemar berat berdasarkan kadar BOD yang terukur. Hal tersebut didukung oleh pernyataan Brower (1990:52) yang menyatakan bahwa kadar BOD < 3,0 mg/l termasuk perairan tidak tercemar, kadar BOD 3,0-4,9 mg/l termasuk perairan tercemar ringan, kadar BOD 5,0-15 mg/l termasuk perairan tercemar sedang dan kadar BOD >15 mg/l termasuk perairan tercemar berat. 9. Fosfat Hasil pengukuran menunjukkan kadar fosfat berkisar antara 0,2023-0,5313 mg/L (Tabel 1). Kadar fosfat tertinggi terletak di stasiun IV sedangkan kadar fosfat terendah terletak di stasiun II. Tingginya kandungan fosfat pada stasiun IV dapat diakibatkan oleh pupuk organik yang terbawa oleh air limpasan karena stasiun IV dekat dengan area persawahan. Kadar fosfat yang terukur termasuk dalam kisaran yang cukup untuk mendukung kehidupan plankton. Hal ini sesuai dengan pendapat Siregar, Misran Hasudungan (2010: 52) yang mengatakan bahwa untuk pertumbuhan plankton yang optimal, diperlukan konsentrasi fosfat pada kisaran 0,27-5,51 mg/l dan akan menjadi faktor pembatas apabila kurang dari 0,02 mg/l. 56 10. Nitrat Hasil pengukuran menunjukkan kadar nitrat berkisar antara 0,6923-1,173 mg/L (Tabel 1). Kadar nitrat tertinggi terletak di stasiun IV sedangkan kadar nitrat terendah terletak di stasiun I. Rendahnya kandungan nitrat disebabkan karena limbah domestik dalam perairan lebih banyak mengandung senyawa anorganik dibanding senyawa organik. Banyaknya senyawa anorganik dapat dilihat dari nilai COD yang tinggi sedangkan nilai BOD rendah seperti yang terjadi pada stasiun I. Kandungan nitrat yang tinggi berpengaruh pada kepadatan fitoplankton dari divisi Cyanophyta yang memiliki kepadatan tertinggi di stasiun IV. Fitoplankton dari divisi Cyanophyta mampu memfiksasi nitrogen secara langsung tanpa bantuan dari organisme lainnya. Tingginya kandungan nitrat di stasiun IV dapat dikarenakan banyaknya masukan materi organik dari daerah pertanian di sekitar telaga berupa pupuk organik yang masuk ke dalam telaga sebagai dampak dari peristiwa air limpasan. Pada penelitian ini, rasio N:P < 16:1 sehingga unsur N yang membatasi pertumbuhan fitoplankton. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Sakka, dkk (1999:149) yang mengatakan bahwa pertumbuhan fitoplankton akan berlangsung optimal apabila rasio unsur N:P sebesar 16:1. Ketika rasio N:P < 16:1, maka unsur N merupakan unsur yang membatasi pertumbuhan fitoplankton sedangkan ketika rasio N:P > 16:1 maka unsur P membatasi pertumbuhan fitoplankton. 57 11. Sulfat Hasil pengukuran menunjukkan kadar sulfat berkisar antara 29,5547-65,145 mg/L (Tabel 1). Kadar sulfat tertinggi terletak di stasiun IV sedangkan kadar sulfat terendah terletak di stasiun III. Tingginya kadar sulfat disebabkan limbah detergen yang menggunakan sulfat sebagai bahan tambahan yang tidak memiliki kemampuan meningkatkan daya cuci sehingga menambah kuantitas penggunaan contohnya senyawa Na2SO4 sehingga limbah detergen menghasilkan sulfat. Karena perbedaan kedalaman telaga maka perairan di stasiun I akan mengalir ke stasiun IV sehingga limbah detergen yang menghasilkan sulfat banyak terdapat di stasiun IV Kadar sulfat di Telaga Bromo masih tergolong normal sesuai dengan pendapat Effendi (2003) dalam Arniati Labanni’ (2013: 4) yang mengatakan bahwa kadar sulfat pada perairan tawar alami berkisar antara 2-80 mg/liter. 12. Kalsium Hasil pengukuran menunjukkan kadar kalsium berkisar antara 8,873-15,147 mg/L (Tabel 1). Kadar kalsium tertinggi terletak di stasiun IV sedangkan kadar kalsium terendah terletak di stasiun III. Dari keempat stasiun, hanya stasiun III yang memiliki kadar kalsium di bawah 10 ppm. Semakin tinggi kadar kalsium, maka jumlah jenis plankton akan semakin banyak. Kadar kalsium di Telaga Bromo menunjukkan bahwa perairan telaga tergolong baik. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Tyas, Permata 58 (2009:14) yang menyatakan bahwa jumlah kalsium dalam air menunjukkan bagus atau tidaknya sumber air tersebut. Jika kalsium <10 ppm tergolong kurang baik, 10-25 ppm tergolong baik dan bila > 25 ppm tergolong sangat baik. Kadar kalsium yang tinggi di perairan relatif tidak berbahaya. Sumber utama kalsium di perairan adalah batuan dan tanah. Banyaknya Microcystis di Telaga Bromo sesuai dengan pendapat Tyas, Permata (2009: 15) yang mengatakan bahwa Microcystis merupakan marga yang dapat hidup di perairan kaya kalsium. 2. Komposisi Jenis Plankton Komposisi jenis plankton yang ditemukan di Telaga Bromo adalah fitoplankton dan zooplankton. Fitoplankton dan zooplankton yang ditemukan jumlahnya beragam tergantung dari ketersediaan nutrisi dan suhu perairan. Selain itu keberadaannya juga tergantung dengan lingkungan sekitar apabila lingkungan tidak cocok maka akan terjadi penurunan jumlah jenis meskipun populasi untuk jenis tertentu masih meningkat karena berkurangnya kompetisi. Setelah plankton yang ditemukan teridentifikasi, berikut ini adalah tabel spesies fitoplankton yang ditemukan beserta jumlah totalnya: No. 1. 2. Tabel 2. Komposisi Jenis Fitoplankton yang Ditemukan Divisi Spesies Stasiun Stasiun Stasiun Stasiun I II III IV Cyanophyta Microcystis sp. 70.797 70.105 62.693 62.766 Aphanocapsa 517 114 182 92 sp. Chlorophyta Scenedesmus 84 23 43 43 ellipsoideus Scenedesmus 26 35 24 25 dimorphus Jumlah (ind/l) 266.361 905 193 110 59 Tabel 2. (Lanjutan) Schroederia setigera Kirchneriella obesa Coelastrum reticulatum Pediastrum sp. Total (ind/l) Sumber: Analisis Data Primer 4 4 0 0 8 2 0 1 0 3 0 0 1 0 1 0 0 0 267.582 1 1 Berdasarkan tabel tersebut maka dapat diketahui bahwa fitoplankton yang teridentifikasi terdiri dari 2 divisi yaitu Cyanophyta dan Chlorophyta dengan 8 spesies yang ditemukan. Jumlah fitoplankton yang paling banyak ditemukan berasal dari divisi Cyanophyta yaitu Microcystis sp. sebanyak 266.361 ind/l. Hal tersebut dikarenakan Microcystis dapat hidup dalam kondisi perairan yang tercemar berat. Perbedaan rasio N/P dapat menyebabkan pertumbuhan Microcystis yang cenderung mendominasi perairan dengan kadar nitrat tinggi. Fosfat merupakan faktor pembatas bagi kehidupan Microcystis yang hanya dibutuhkan dalam jumlah sedikit. Hal ini sesuai penelitian yang dilakukan oleh Catur Retnaningdyah dan Suharjono (2009) yang mengatakan bahwa kadar nitrat tinggi dan kadar fosfat rendah dapat mempengaruhi secara nyata terhadap kelimpahan maksimum Microcystis. Adapun tabel spesies zooplankton yang ditemukan di Telaga Bromo beserta jumlahnya adalah sebagai berikut: No. 1. 2. Tabel 3. Komposisi Jenis Zooplankton yang Ditemukan Filum Spesies Stasiun Stasiun Stasiun I II III Arthropoda Cyclops sp. 582 622 251 Diaphanosoma 10 13 3 sp. Nauplius sp. 713 582 350 Rotifera Brachionus 7.121 11.112 9.319 Stasiun IV 430 6 Jumlah (ind/l) 1.885 32 526 6.319 2.171 33.871 60 Tabel 3. (Lanjutan) 3. forficula Brachionus sp. Brachionus angularis Notholca sp. Protozoa Calonympha sp. Total (ind/l) 59 280 20 656 812 160 0 238 81 1.334 25 0 32 1 19 1 26 0 102 2 39.478 Sumber: Analisis Data Primer Dari tabel di atas dapat diketahui bahwa zooplankton yang ditemukan terdiri dari 3 filum yaitu Arthropoda, Rotifera dan Protozoa dengan 8 spesies. Zooplankton yang paling banyak ditemukan berasal dari filum Rotifera yaitu Brachionus forficula dengan jumlah 33.871 ind/l. Jumlah fitoplankton yang ditemukan lebih banyak daripada jumlah zooplankton pada musim penghujan. Hal tersebut karena pertumbuhan dan perkembangan fitoplankton bersifat dinamis merespon pada musim dan tersedianya hara. Nutrisi di perairan lebih banyak pada musim penghujan karena dampak positif air limpasan sehingga fitoplankton dapat tumbuh secara optimal sesuai dengan pendapat I.C.Onyema (2008) yang mengatakan bahwa jumlah zooplankton akan lebih banyak ditemukan pada musim kemarau daripada musim hujan. 3. Kelimpahan Plankton 1. Kelimpahan Fitoplankton Berdasarkan hasil perhitungan, kelimpahan jumlah fitoplankton diketahui memiliki kelimpahan jenis berkisar antara 231.546,9 - 2.618.215 ind/l. Jumlah kelimpahan fitoplankton tertinggi terdapat di stasiun IV yang berasal dari divisi Cyanophyta dengan rata-rata jumlah 1.188.576,82 ind/l sedangkan kelimpahan terendah terdapat di stasiun II yang berasal dari 61 divisi Chlorophyta dengan rata-rata jumlah 499,13 ind/l. Rendahnya kelimpahan divisi Chlorophyta dapat disebabkan oleh rendahnya intensitas cahaya akibat dari mulainya musim penghujan sehingga cahaya matahari yang sampai di permukaan lebih sedikit. Pada kelas Cyanophyceae memerlukan nitrogen dan fosfor sebagai faktor pembatas bagi pertumbuhannya disamping dengan faktor lain. Sedangkan pada kelas Chlorophyceae, intensitas cahaya dan suhu merupakan faktor yang membatasi pertumbuhannya. Hal tersebut didukung oleh pendapat Hayati (2009: 17) yang mengungkapkan bahwa cahaya mempengaruhi ukuran sel, komposisi dan letak pigmen yang berdampak juga pada kondisi pertumbuhan spesies. Tipe substrat perairan dapat berpengaruh terhadap komposisi dan kelimpahan organisme plankton baik fitoplankton maupun zooplankton dalam suatu ekosistem perairan. Tingkat kesuburan berdasarkan kelimpahan fitoplankton di Telaga Bromo adalah eutrofik. Hal ini sesuai dengan Ladner (1976) dalam Verba Suryati (2011: 18) yang mengatakan tingkat kesuburan plankton berdasarkan kelimpahan fitoplankton terbagi atas oligotrofik 0-2000 ind/liter, mesotrofik 2000-15.000 ind/liter dan eutrofik > 15.000 ind/liter. 62 Densitas Fitoplankton x 105 (ind/l) Rata-rata Jumlah Kelimpahan Fitoplankton 12 11.886 10.934 8.841 10 8 Cyanophyta 5.239 6 Chlorophyta 4 2 0 0.019 Stasiun I 0.00499 Stasiun II 0.011 Stasiun III 0.0145 Stasiun IV Gambar 3. Diagram Batang Rata-rata Jumlah Kelimpahan Fitoplankton Berdasarkan diagram tersebut, dapat diketahui bahwa rata-rata jumlah Chlorophyta tertinggi terdapat di stasiun I. Kondisi tersebut diakibatkan oleh materi organik yang didominasi oleh limbah rumah tangga berupa limbah detergen yang mengakibatkan bertambahnya kandungan fosfor dan sulfat dalam perairan. Hal ini sesuai dengan penelitian Mohammad, Faiz Faza (2012:31) yang mengatakan bahwa tingginya Chlorophyta di suatu tempat dipengaruhi oleh tingginya kandungan fosfor dan rendahnya nilai kekeruhan yang terkait dengan penetrasi cahaya matahari sehingga memungkinkan divisi Chlorophyta melakukan fotosintesis secara optimal dengan ketersediaan cahaya matahari yang mencukupi. Berdasarkan pendapat tersebut, stasiun IV merupakan daerah yang memiliki kandungan fosfor tertinggi dan nilai kekeruhan terendah dibandingkan stasiun lain. Namun hasil pengamatan 63 menunjukkan bahwa stasiun IV memiliki rata-rata Chlorophyta terbesar kedua setelah stasiun I. Hal tersebut dapat diakibatkan karena nilai intensitas cahaya di stasiun I merupakan nilai tertinggi sehingga divisi Chlorophyta mendapatkan cahaya lebih banyak (Tabel 1). Seperti pendapat dari Hayati (2009: 17) yang mengatakan bahwa cahaya mempengaruhi ukuran sel, komposisi dan letak pigmen yang berdampak juga pada kondisi pertumbuhan spesies. Schroederia, Coelastrum dan Kirchneriella ditemukan saat pengambilan pertama pada stasiun yang berbeda (Tabel 2). Schroederia ditemukan di stasiun I dan II, Kirchneriella ditemukan di stasiun I dan III sedangkan Coelastrum hanya ditemukan di stasiun III (Lampiran I). Pediastrum ditemukan saat pengambilan kelima pada stasiun IV. Kondisi fisik dan kimia yang berubah-ubah tiap pengambilan menjadi penyebab perbedaan munculnya beberapa marga tersebut. Pada pengambilan pertama, pH cenderung netral (6,2-7,9) sedangkan pada pengambilan kedua sampai keempat pH perairan menjadi cenderung basa (7,2-10). Selanjutnya pada pengambilan kelima pH kembali ke netral (7,3-7,6). Selain pH, intensitas cahaya juga mengalami perbedaan pada setiap pengambilan. Pengambilan pertama memiliki nilai intensitas cahaya tertinggi sedangkan pengambilan yang lain memiliki nilai intensitas cahaya lebih rendah karena cuaca mendung atau bahkan hujan. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Siregar, Misran Hasudungan (2009: 45) yang mengatakan bahwa kelas Chlorophyceae umumnya mampu bertahan 64 hidup pada pH normal hingga basa (7,5-8,5) dan intensitas cahaya yang tinggi untuk melakukan fotosintesis secara optimal. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa Pediastrum hanya ditemukan pada stasiun IV karena stasiun IV memiliki kandungan nitrat dan fosfat tertinggi (Tabel 1). Hal tersebut didukung oleh pendapat Siregar, Misran Hasudungan (2009:30) yang mengatakan bahwa marga Pediastrum dipengaruhi kandungan nitrat dan fosfat yang cukup tinggi yaitu berkisar antara 0,5-0,7 mg/l dan 0,3-0,6 mg/l. Dari gambar 2 terlihat bahwa divisi Cyanophyta memiliki kelimpahan sangat tinggi dibandingkan dengan divisi Chlorophyta. Pertumbuhan Chlorophyta dibatasi oleh suhu dan intensitas cahaya. Rendahnya kelimpahan Chlorophyta dapat disebabkan karena rendahnya intensitas cahaya akibat mulainya musim penghujan sehingga divisi Chlorophyta tidak dapat tumbuh secara optimal. Sedangkan Cyanophyta merupakan divisi plankton yang pertumbuhannya dipengaruhi oleh kadar nitrat dan fosfat. Kondisi tersebut sesuai dengan pendapat Lee (2008:49) dalam Mohammad, Faiz Faza (2012:32) yang mengatakan bahwa kemampuan fitoplankton dari divisi Cyanophyta dalam memfiksasi nitrogen berpengaruh terhadap tingginya kepadatan fitoplankton dari divisi Cyanophyta. Rata-rata jumlah kelimpahan Cyanophyta terbesar terdapat di stasiun IV yang memiliki kandungan nitrat tertinggi (Tabel 1). Cyanophyta merupakan kelompok alga yang memiliki toleransi tinggi dibandingkan kelompok lainnya. 65 2. Kelimpahan Zooplankton Berdasarkan hasil perhitungan, kelimpahan jumlah zooplankton diketahui memiliki kelimpahan jenis berkisar antara 12.524,04 – 468.764,1 ind/l. Jumlah kelimpahan zooplankton tertinggi terdapat di stasiun III yang berasal dari filum Rotifera dengan rata-rata jumlah 138.319,12 ind/l sedangkan kelimpahan terendah terdapat di stasiun I dan IV yang berasal dari filum Protozoa dengan rata-rata jumlah 0 ind/l karena Protozoa hanya ditemukan pada stasiun II dan stasiun III pengambilan ketiga (Lampiran I). Kondisi ini dapat terjadi disebabkan oleh adanya perubahan fisik-kimia perairan. Faktor fisik dan kimia sangat mempengaruhi organisme yang ada di perairan. Organisme yang mampu bertoleransi tinggi akan ditemukan lebih banyak seperti contohnya filum Rotifera. Sedangkan protozoa memiliki kondisi lingkungan yang lebih spesifik sehingga tidak dapat tumbuh maksimal. Sesuai dengan pendapat Siregar, Misran Hasudungan (2009: 40) yang mengatakan bahwa filum Rotifera memiliki tingkat toleransi yang tinggi pada pH (5-10), suhu rendah (minimal 150C) dan DO rendah (minimal 2 mg/l) sedangkan filum Protozoa mampu bertahan apabila kandungan DO tinggi (minimal 4 mg/l), kadar nitrat tinggi (0,4-0,7 mg/l) dan kadar fosfat rendah (0,2-0,4 mg/l). Apabila dibandingkan dengan jumlah fitoplankton yang ditemukan maka jumlah fitoplankton lebih besar dibandingkan dengan jumlah zooplankton karena adanya perbedaan kecepatan tumbuh. Zooplankton memiliki siklus reproduksi lebih lambat daripada fitoplankton. Hal 66 tersebut sesuai dengan pendapat dari Steeman dan Nielsen (1973) dalam Syahbudin Mahmud (2013:5) yang menyebutkan bahwa pertumbuhan zooplankton tergantung pada fitoplankton tetapi karena pertumbuhannya lebih lambat daripada fitoplankton maka populasi maksimum zooplankton akan tercapai beberapa waktu setelah populasi maksimum fitoplankton. Tingginya kepadatan zooplankton dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti kepadatan fitoplankton, arus dan adanya predator. Sebagai herbivora di ekosistem perairan, peranan zooplankton sangat penting karena dapat mengontrol kelimpahan fitoplankton. Apabila dalam suatu perairan populasi zooplankton mulai meningkat maka pemangsaan pada fitoplankton akan sampai pada laju tertentu. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Davis (1995) dalam Mohammad, Faiz Faza (2012: 8) yang mengatakan bahwa bila populasi zooplankton meningkat, pemangsaan fitoplankton akan sedimikian cepatnya sehingga fitoplankton tidak sempat membelah diri. Ketika populasi zooplankton mulai menurun, fitoplankton akan berkembang dengan cepat dan mengakibatkan peningkatan kelimpahan fitoplankton karena siklus reproduksi fitoplankton relatif singkat dibandingkan zooplankton, sehingga fitoplankton mampu meningkatkan jumlah individu secara cepat. Zooplankton biasanya banyak terdapat di perairan yang kaya akan bahan organik sebagai sumber nutrisinya. Tingkat kesuburan zooplankton di Telaga Bromo termasuk eutrofik seperti pendapat Ladner (1976) dalam Verba Suryati (2011: 18) yang mengatakan bahwa pembagian kesuburan 67 perairan berdasarkan kelimpahan zooplankton yaitu oligotrofik 1 ind/l, mesotrofik 1-500 ind/l dan eutrofik 500-7500 ind/ l. Densitas Zooplankton x 105 (ind/L) Rata-rata Jumlah Kelimpahan Zooplankton 1.4 1.2 1.383 1.232 1.185 0.899 1 Arthropoda 0.8 Rotifera 0.6 Protozoa 0.4 0.2 0 0.163 0 Stasiun I 0.1601 0.0773 0.0756 0.00013 0.00007 0 Stasiun II Stasiun III Stasiun IV Gambar 4. Diagram Batang Rata-rata Jumlah Kelimpahan Zooplankton Nauplius banyak ditemukan di stasiun I karena memiliki nilai BOD terendah dan nilai DO tertinggi (Tabel 1). Selain itu, pH yang normal atau cenderung basa juga mempengaruhi banyaknya Nauplius di stasiun I. Faktor-faktor tersebut akan mempengaruhi pertumbuhan Nauplius menjadi fase dewasa karena Nauplius merupakan fase larva dari spesies lain. Hal tersebut seperti pernyataan Siregar, Misran Hasudungan (2009:28) yang mengatakan bahwa keberadaan marga Nauplius bergantung pada faktor kimia seperti pH yang normal, kelarutan oksigen yang tinggi, kadar nitrat yang cukup tinggi dan nilai BOD yang cukup rendah. 68 Marga Brachionus banyak ditemukan di stasiun II karena memiliki nilai COD yang cukup rendah dibandingkan stasiun I dan stasiun III. Selain itu, pada stasiun II kandungan fosfatnya lebih rendah daripada kandungan nitrat. Sedangkan marga Diaphanosoma banyak ditemukan di stasiun II karena suhu perairan yang cukup, pH masih dalam batas toleransi dan kadar DO yang tinggi. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Siregar, Misran Hasudungan (2009: 30) yang mengatakan bahwa keberadaan marga Brachionus dipengaruhi terutama oleh nilai COD perairan. Brachionus dapat tumbuh optimal di lingkungan yang memiliki nilai COD rendah dan kandungan nitrat yang lebih tinggi daripada fosfat. Marga Diaphanosoma mampu hidup pada kisaran suhu 26-310C, pH 7,38,7 dan kandungan oksigen terlarut sebesar 4,0-6,9 mg/l. Marga Cyclops memiliki kisaran toleransi terhadap kondisi faktor fisik kimia seperti kelarutan oksigen dan nilai COD lebih luas dari marga lainnya sehingga persebarannya cukup merata di setiap stasiun. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Isnansetyo dan Kurniastuty (1955: 55) dalam Siregar, Misran Hasudungan (2009: 30) yang menyatakan bahwa kelompok zooplankton dari kelas Crustaceae memiliki kisaran toleransi yang luas terhadap kelarutan oksigen. Pada kandungan oksigen 1 mg/L kelompok hewan ini masih dapat bertahan, namun kandungan oksigen yang baik bagi pertumbuhan Crustaceae adalah lebih besar dari 3 mg/L. 69 3. Hubungan Curah Hujan dengan Jumlah Plankton Data intensitas curah hujan di kecamatan Paliyan kabupaten Gunungkidul yang didapatkan dari BMKG Stasiun Geofisika Kelas I Yogyakarta selama bulan Januari-Maret 2016 sebagai berikut: Tabel 4. Data Curah Hujan Kecamatan Paliyan Bulan Hari Hujan Sifat Hujan Curah Hujan Januari 13 / 31 hari Bawah Normal 221 mm/ bulan Februari 18 / 29 hari Normal 295 mm/ bulan Maret 15 / 31 hari Normal 242 mm/bulan Sumber: BMKG, 2016 Saat pengambilan pertama dan kedua dilakukan dalam kondisi cuaca berawan sedangkan pada pengambilan ketiga sedang mendung. Pengambilan keempat dan kelima dilakukan dalam kondisi hujan. Pada pengambilan pertama dan kedua pada bulan Januari, kelimpahan plankton masih tergolong tinggi karena curah hujan tergolong di bawah normal. Kemudian pada pengambilan ketiga dan keempat yang dilakukan pada bulan Februari kelimpahan plankton berkurang cukup banyak karena curah hujan mencapai 295 mm/bulan. Pengambilan terakhir pada bulan Maret menunjukkan kelimpahan plankton kembali naik meskipun jumlahnya tidak sebanyak bulan Januari karena curah hujan tidak setinggi bulan Februari namun lebih tinggi daripada curah hujan bulan Januari. Volume perairan juga semakin banyak karena terakumulasi dari hujan bulan sebelumnya sehingga perairan semakin encer. 70 100000 90000 89624 80000 70000 60000 48442 50000 Total Plankton 39685 40000 30000 20000 10000 0 Januari Februari Maret Gambar 5. Diagram Batang Jumlah Plankton Bulan Januari-Maret Densitas yang rendah pada musim penghujan disebabkan karena pada musim penghujan proses dekomposisi bahan organik berjalan lambat sehingga massa tinggal air di perairan lebih cepat sehingga unsurunsur hara tidak dapat dimanfaatkan secara optimum oleh plankton untuk tumbuh. Dampak negatif air limpasan berupa bertambahnya kekeruhan perairan menyebabkan penetrasi matahari yang masuk lebih sedikit yang berakibat pada terhambatnya proses fotosintesis sehingga menghambat pertumbuhan plankton. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Luthfiana dkk (2013: 1-3) yang mengatakan bahwa meski dampak positif dari air limpasan adalah bertambahnya nutrisi dari permukaan tanah, terdapat pula dampak negatifnya berupa bertambahnya kekeruhan perairan sehingga mempengaruhi proses fotosintesis fitoplankton. 71 4. Indeks Keanekaragaman Plankton 1. Indeks Keanekaragaman Fitoplankton Indeks keanekaragaman (H’) fitoplankton di stasiun I, stasiun II, stasiun III dan stasiun IV pada Telaga Bromo masing-masing sebesar 0,1062, 0,0161, 0,0221 dan 0,0194 ind/l (Gambar 6). Indeks keanekaragaman tertinggi terdapat di stasiun I sedangkan yang terendah terdapat di stasiun II. Tinggi atau rendahnya nilai indeks keanekaragaman terkait dengan kemerataan jumlah individu per spesies pada suatu habitat. Semakin banyak jumlah spesies dan jumlah individu per spesiesnya merata, semakin tinggi keanekaragaman. Selain terkait dengan kemerataan individu, indeks keanekaragaman juga dipengaruhi oleh kondisi perairan baik parameter fisik maupun kimia yang mendukung pertumbuhan fitoplankton seperti nilai kekeruhan yang rendah dan kandungan oksigen terlarut (DO) yang tinggi. Kekeruhan mempengaruhi penetrasi cahaya matahari yang masuk ke perairan, karena cahaya diperlukan fitoplankton dalam melakukan fotosintesis. Pada stasiun I, meski memiliki nilai kekeruhan yang tinggi tetapi kandungan oksigen terlarutnya juga tinggi sehingga lingkungannya mendukung banyak plankton untuk bertahan hidup. Apabila suatu komunitas hanya terdiri dari sedikit spesies dengan jumlah individu per spesies tidak merata, maka komunitas tersebut memiliki keanekaragaman yang rendah. Hal tersebut sesuai dengan yang diungkapakan Barus (2004: 121) yang mengatakan bahwa suatu komunitas 72 dikatakan mempunyai keanekaragaman spesies yang tinggi apabila terdapat banyak spesies dengan jumlah individu masing-masing spesies relatif merata. 0.12 0.1062 0.10 0.08 Indeks Keanekaragaman Fitoplankton 0.06 0.04 0.0161 0.02 0.00 Stasiun I Stasiun II 0.0221 0.0194 Stasiun III Stasiun IV Gambar 6. Diagram Batang Indeks Keanekaragaman Fitoplankton Stasiun I memiliki indeks keanekaragaman tertinggi karena di stasiun I ditemukan beberapa jenis fitoplankton yang tidak ditemukan di stasiun lain seperti marga Schroederia dan Kirchneriella. Hal tersebut tentu berkaitan dengan kondisi fisik dan kimia yang mempengaruhi keberadaan suatu spesies seperti yang diungkapkan oleh Siregar, Misran Hasudungan (2009: 45) bahwa setiap jenis plankton memiliki batas toleransi yang berbeda untuk bertahan hidup di lingkungannya. Kisaran nilai indeks keanekaragaman fitoplankton di Telaga Bromo berada pada angka 0 < H’ < 1,5 sehingga termasuk dalam keanekaragaman rendah yang artinya kondisi perairan labil karena 73 perairan tersebut hanya cocok bagi jenis tertentu seperti pendapat yang dikemukakan oleh Odum (1993: 189). Sedangkan bila nilai indeks keanekaragaman dikaitkan dengan tingkat pencemaran, maka Telaga Bromo termasuk dalam kategori tercemar berat karena memiliki nilai indeks keanekaragaman 0 < H’ < 1. Hal ini seperti pendapat dari Wilhm & Dorris (1968: 780). 2. Indeks Keanekaragaman Zooplankton Indeks keanekaragaman zooplankton di stasiun I, stasiun II, stasiun III dan stasiun IV pada Telaga Bromo masing-masing sebesar 0,6207, 0,5521, 0,5195 dan 0,5428 ind/l (Gambar 7). Indeks keanekaragaman tertinggi terdapat di stasiun I sedangkan yang terendah terdapat di stasiun III. Tinggi atau rendahnya keanekaragaman zooplankton dipengaruhi oleh kemerataan jumlah individu per spesies. Di samping itu, kepadatan zooplankton dipengaruhi oleh kepadatan fitoplankton. Pada stasiun I, kepadatan fitoplanktonnya tergolong tinggi sehingga kepadatan zooplankton pada stasiun I juga tinggi. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Syahbudin, Mahmud (2013: 5) yang mengatakan bahwa keberadaan zooplankton sangat dipengaruhi oleh fitoplankton karena fitoplankton merupakan makanan bagi zooplankton sehingga keanekaragaman maupun kepadatan zooplankton sangat tergantung pada kepadatan fitoplankton. Berdasarkan kisaran indeks keanekaragaman, zooplankton yang berada pada angka 0 < H’ < 1,5 termasuk dalam keanekaragaman rendah 74 yang artinya kondisi perairan labil karena perairan tersebut hanya cocok bagi jenis tertentu seperti yang diungkapkan oleh Odum (1993: 189). Selain itu, perairan Telaga Bromo tergolong dalam perairan yang tercemar berat karena nilai indeks keanekaragamannya lebih kecil 1 (H’ < 1) seperti pernyataan dari Wilhm & Dorris (1968: 780). 0.64 0.62 0.6207 0.60 0.58 0.56 0.54 0.52 0.5521 0.5428 0.5195 Indeks Keanekaragaman Zooplankton 0.50 0.48 0.46 Stasiun I Stasiun II Stasiun III Stasiun IV Gambar 7. Diagram Batang Indeks Keanekaragaman Zooplankton Dari kedua gambar (Gambar 6 dan 7), dapat dilihat bahwa stasiun I memiliki indeks keanekaragaman paling tinggi dibandingkan stasiun lain. Hal tersebut dikarenakan kondisi lingkungan yang mendukung pertumbuhan plankton. Stasiun I memiliki intensitas cahaya paling tinggi dibandingkan yang lain sehingga membuat fitoplankton terutama divisi Chlorophyta banyak jenisnya. Kandungan terbesar DO juga di stasiun I yaitu 4,99 mg/l yang merupakan konsentrasi oksigen terlarut yang optimal untuk organisme akuatik seperti plankton. Kandungan fosfat, nitrat, sulfat dan kalsium di stasiun I sudah mencukupi kebutuhan plankton untuk hidup. 75 5. Indeks Kemerataan Plankton 1. Indeks Kemerataan Fitoplankton Indeks kemerataan (E) menunjukkan kelimpahan individu organisme merata atau tidak. Jika nilai indeks kemerataan tinggi maka keberadaan setiap jenis organisme di perairan mempunyai kelimpahan yang merata. Berdasarkan hasil perhitungan yang telah dilakukan, diketahui bahwa indeks kemerataan fitoplankton di Telaga Bromo berkisar antara 0,01016 - 0,05264 ind/l (Gambar 8). Nilai indeks kemerataan tertinggi terdapat di stasiun I sedangkan nilai indeks kemerataan terendah terdapat di stasiun II. 0.060 0.05264 0.050 0.040 0.030 0.020 0.01016 0.010 0.000 Stasiun I Stasiun II 0.01254 0.01246 Stasiun III Stasiun IV Gambar 8. Diagram Batang Indeks Keseragaman Fitoplankton Seluruh stasiun memiliki nilai indeks kemeratan pada kisaran 0,00–0,25 sehingga perairan di Telaga Bromo penyusun komunitasnya tidak merata atau tidak banyak ragamnya yang menunjukkan adanya dominansi spesies tertentu seperti pendapat dari Pielou (1977: 308) dalam Mohammad, Faiz Faza (2012: 22) yang mengatakan apabila indeks 76 kemerataan mendekati nol berarti kemerataan antar spesies tergolong rendah. 2. Indeks Kemerataan Zooplankton Indeks kemerataan zooplankton berdasarkan hasil perhitungan yang telah dilakukan, diketahui berkisar antara 0,24981 - 0,29851 ind/l (Gambar 9). Nilai indeks keseragaman tertinggi terdapat di stasiun I sedangkan nilai indeks keseragaman terendah terdapat di stasiun III. 0.310 0.300 0.29851 0.290 0.280 0.26549 0.270 0.260 0.26103 0.24981 0.250 0.240 0.230 0.220 Stasiun I Stasiun II Stasiun III Stasiun IV Gambar 9. Diagram Batang Indeks Keseragaman Zooplankton Menurut skala Pielou (1977: 308) dalam Mohammad, Faiz Faza (2012: 22), stasiun III tergolong tidak merata karena berada di kisaran 0,00–0,25 sedangkan stasiun I, II dan IV tergolong kurang merata karena berada di kisaran 0,26 – 0,50. Meskipun begitu, seluruh stasiun menunjukkan adanya dominansi spesies tertentu. Rendahnya nilai indeks kemerataan baik fitoplankton maupun zooplankton pada seluruh stasiun disebabkan karena kelimpahan plankton tidak merata sehingga ada spesies yang lebih mendominasi. 77 6. Indeks Dominansi Plankton 1. Indeks Dominansi Fitoplankton Rendahnya indeks keanekaragaman disebabkan karena adanya dominansi dari suatu jenis. Indeks dominansi (D) digunakan untuk mengetahui adanya pendominasian jenis tertentu di perairan. Nilai indeks dominansi berkisar antara 0-1. Nilai yang mendekati 0 menunjukkan bahwa tidak ada marga dominan dalam komunitas. Sebaliknya, nilai yang mendekati 1 menunjukkan adanya marga dominan. Hal tersebut menunjukkan bahwa kondisi struktur komunitas dalam keadaan labil dan terjadi tekanan ekologis. Dari hasil perhitungan yang telah dilakukan diketahui bahwa indeks dominansi fitoplankton berkisar 0,9995-1,1615 ind/l (Gambar 10). 1.20 1.1615 1.15 1.10 1.05 1.00 1.0004 1.0000 0.9995 Indeks Dominansi Fitoplankton 0.95 0.90 Stasiun I Stasiun II Stasiun III Stasiun IV Gambar 10. Diagram Batang Indeks Dominansi Fitoplankton Nilai indeks dominansi tertinggi terletak di stasiun I sedangkan nilai indeks dominansi terendah terletak di stasiun IV. Hasil tersebut menunjukkan bahwa seluruh stasiun memiliki nilai indeks dominansi 78 mendekati 1 sehingga terdapat dominansi marga tertentu yaitu marga Microcystis. Hal ini disebabkan karena Microcystis dapat hidup di kondisi perairan yang tercemar berat. Cyanophyta umumnya hidup di perairan dengan pH netral atau cenderung basa. Kelompok Cyanophyta tidak ditemukan pada perairan dengan pH kurang dari 4. Cyanophyta memiliki suhu optimal untuk pertumbuhannya berkisar dari 25-35 0 C. Pada umumnya anggota divisi Cyanophyta menghasilkan toksin yang disebut Cyanotoksin apabila mendominasi suatu perairan. Cyanotoksin dapat berupa neurotoksin, hepatotoksin dan sitotoksin. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Chorus dan Batram (1999) yang mengatakan bahwa marga Microcystis tergolong Cyanophyta penghasil hepatotoksin yang dapat mengganggu kerja hati dan ginjal. Manusia yang melakukan kontak dengan perairan yang terjadi blooming Microcystis dapat terkena gastroenteritis, diare, iritasi, alergi dan penyakit hati. Perbandingan nitrat dan fosfat di perairan berpengaruh pada Microcystis yang cenderung menggunakan nitrat untuk tumbuh. Kadar nitrit dan ammonia perairan tidak berpengaruh pada Microcystis apabila konsentrasi nitrat berlebih karena Microcystis mengonsumsi nitrogen yang dibutuhkan dalam bentuk nitrat. Oleh karena itu, Microcystis merupakan bioindikator untuk perairan dengan kadar nitrat tinggi. Selain nitrat, Microcystis juga termasuk marga yang dapat hidup di kadar kalsium tinggi. 79 2. Indeks Dominansi Zooplankton Indeks dominansi zooplankton berkisar antara 0,9837-1,000 ind/l (Gambar 11). Pada stasiun II, stasiun III dan stasiun IV memiliki nilai indeks dominansi yang sama yaitu 1 ind/l sedangkan stasiun I memiliki nilai indeks dominansi terendah yaitu 0,9837 ind/l. Meskipun begitu, hasil tersebut menunjukkan bahwa seluruh stasiun memiliki nilai indeks dominansi mendekati 1 sehingga terdapat dominansi marga tertentu yaitu marga Brachionus. Brachionus merupakan marga dari filum Rotifera yang toleran terhadap kondisi asam ataupun basa yaitu berkisar antara 5-10. Brachionus dapat bertahan pada suhu 15 0C dan kandungan DO sekurangkurangnya 2 mg/l. 1.01 1.0000 1.00 1.0000 1.0000 1.00 0.99 0.99 Indeks Dominansi Zooplankton 0.9837 0.98 0.98 Stasiun I Stasiun II Stasiun III Stasiun IV . Gambar 11. Diagram Batang Indeks Dominansi Zooplankton Apabila terdapat individu yang dominan menandakan bahwa individu tersebut memiliki kemampuan untuk bertahan hidup lebih baik dari jenis lainnya walaupun kondisi lingkungan berubah-ubah, yang berarti 80 pula bahwa tolerensi individu tersebut terhadap tekanan fisiologis dan kisaran kondisi fisik lingkungan sangat tinggi. 81