1083 Prosiding Forum Inovasi Teknologi - BPPBAP

advertisement
1083
Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2013
STRUKTUR KOMUNITAS, KERAGAMAN, KESERAGAMAN, DAN DOMINANSI
FITOPLANKTON DI KEPULAUAN BUNGKU SELATAN KABUPATEN MOROWALI,
SULAWESI TENGAH
Mat Fahrur*), I Nyoman Radiarta**), dan Rezki Antoni Suhaimi*)
*)
Balai Penelitian dan Pengembangan Budidaya Air Payau
Jl. Makmur Dg. Sitakka No. 129, Maros 90512, Sulawesi Selatan
E-mail: [email protected]
**)
Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan Budidaya
Jl. Ragunan 20, Pasar Minggu, Jakarta Selatan 12540
ABSTRAK
Penelitian ini dilaksanakan di perairan Kepulauan Kecamatan Bungku Selatan Provinsi Sulawesi Tengah pada
bulan Juli 2011. Penelitian bertujuan untuk menganalisa struktur komunitas, keragaman, keanekaragaman,
dan dominansi fitoplankton. Sampel fitoplankton dikoleksi secara vertikal menggunakan plankton net no
25. Hasil penelitian menunjukkan bahwa struktur komunitas fitoplankton tersusun oleh tiga kelas yang
terbagi dalam 12 genus. Kelimpahan fitoplankton tertinggi yakni 86 sel/L. Thallasionema dan Chaetoceros
merupakan genus yang ditemukan pada semua titik sampling. Indek keseragaman (E) dan Keragaman (H’)
yang diperoleh dalam penelitian ini berturut-turut adalah sebesar 0,80 dan 0,75 yang menunjukkan bahwa
fitoplankton menyebar tidak merata ke semua stasiun sampling sehingga struktur fitoplankton tidak stabil.
Indeks dominansi (D) sebesar 0,54 menunjukkan bahwa terdapat spesies plankton yang dominan dalam
komunitas fitoplankton.
KATA KUNCI:
fitoplankton, kelimpahan, index keragaman, keseragaman, dominansi, Kepulaun Bungku
Selatan
PENDAHULUAN
Bungku Selatan termasuk kepulauan yang berpenduduk cukup padat, yang dihadapkan pada
permasalahan pengelolaan hutan yang dikonversi dan diperuntukkan sebagai lahan penambangan.
Kegiatan penambangan dapat berdampak pada peningkatan sedimentasi dari tanah yang terbawa
erosi pada saat musim hujan, sehingga dapat mengganggu kestabilan ekosistem terutama fitoplankton.
Fitoplankton (plankton nabati) adalah kelompok tumbuhan tingkat rendah yang mampu
mensintesis makanannya sendiri (produsen), mudah dibawa arus, dipengaruhi oleh kualitas air fisika
dan kimia, sangat dipengaruhi oleh cahaya matahari sebagai sumber energi dan sangat banyak
manfaatnya dalam ekologi perairan. Dalam ekosistem perairan plankton memiliki peranan yang
sangat penting sebagai dasar dari kehidupan. Frenchel (1988) menjelaskan jaringan makanan dalam
bentuk sebuah piramida makanan di mana produser primer (plankton autrofik) terletak paling dasar,
kemudian naik sampai zooplankton (herbivora) dan ikan (herbivora/karnovora).
Peran yang sangat penting dari produktivitas primer adalah mengalirnya energi melalui proses
fotosintesis. Ketersediaan zat hara seperti nitrogen dan fosfor merupakan pendukung faktor kimia
perairan yang dapat mempengaruhi produktivitas primer selain faktor fisik seperti temperatur dan
cahaya matahari (Wetzel, 2001). Energi yang diperlukan dan mejadi penggerak ekosistem hampir
seluruhnya bergantung pada aktivitas fotosintesis tumbuhan laut. Tumbuhan yang terdapat di
ekosistem laut adalah fitoplankton yang mampu mengikat bagian terbesar dari energi. Fitoplankton
akan tumbuh dengan baik pada perairan yang dapat ditembus oleh sinar matahari, dari lapisan
tersebut dapat diketahui kondisi produktivitas perairan dalam kondisi yang baik atau buruk.
Struktur komunitas fitoplankton berpengaruh terhadap struktur komunitas zooplankton dan
organisme disuatu perairan. Goldman & Hone (1983) menyatakan bahwa produksi dan biomassa
ikan antara lain ditentukan oleh kualitas dan produktivitas plankton yang dapat dimanfaatkan sebagai
makanannya. Nontji (2008) menyatakan bahwa manfaat ekonomi plankton seperti semua jenis ikan
Struktur komunitas, keragaman, keseragaman, dan dominansi... (Mat Fahrur)
1084
menjalani hidupnya sebagai plankton, hampir seluruh ikan-ikan pelagis kecil dan lar vanya
memanfaatkan plankton, berdasarkan jenis makanannya 63% ikan pelagis pemakan plankton (plankton
feeder), dan ada korelasi antara konsentrasi fitoplankton atau zooplankton dengan hasil tangkapan.
Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi struktur komunitas, keragaman, keseragaman, dan
dominansi fitoplankton yang terdapat di perairan Kepulauan Bungku Selatan. Manfaat yang dapat
diambil dari penelitian ini untuk mengetahui tingkat kesuburan perairan dengan melihat indek
biologinya (keseragaman, keragaman, dan dominansi).
METODE PENELITIAN
Studi dilakukan pada perairan kepulauan Bungku Selatan (Gambar 1). Sampling plankton dilakukan
secara vertikal menggunkan planktonnet no 25 yang dilengkapi dengan tali berkala diturunkan secara
vertikal sampai dasar dan ditarik secara konstan sampai permukaan. Jaring plankton disiram bagian
luar untuk melepas fitoplankton yang menempel pada jaring. Air yang tersaring diawetkan
menggunakan larutan lugol 1% (APHA, 2005). Identifikasi jenis fitoplankton menggunakan mikroskop
yang berpedoman pada Newel & Newel (1977) dan Yamaji (1976). Penghitungan fitoplankton
menggunakan alat bantu Sedwick Rafter Counter (SRC) (APHA, 2005). Untuk analisis kestabilan perairan
dilakukan analisis kuantitatif indeks biologi plankton meliputi keragaman, keseragaman, dan
dominansi, dari Shanon Wiener (Odum, 1971; Basmi, 2000). Perhitungan kelimpahan plankton dan
indek biologinya disajikan pada persamaan berikut.
Kelimpahan fitoplankton:
N = Oi/Op x Vr/Vo x 1/Vs x n/p
di mana:
N = Jumlah individu per liter
Oi = Luas gelas penutup preparat (mm2)
Op= Luas satu lapangan pandang (mm2)
Vr = Volume air tersaring (ml)
Vo = Volume air yang diamati (ml)
Vs = Volume air yang disaring (L)
n = Jumlah plankton pada seluruh lapangan pandang
p = Jumlah lapangan pandang yang teramati
Indeks keragaman Jenis
H’ = - Pi ln Pi
Pi 
di
H’
ni
N
Pi
ni
N
mana:
= Indeks keragaman jenis
= Jumlah individu taksa ke-i
= Jumlah total individu
= Proporsi spesies ke-i
Indeks keseragaman :
E 
di mana:
E
= Indeks keseragaman jenis
H’
= Indeks keragaman jenis
H maks = indeks keragaman maksimum
H'
Hmaks
1085
Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2013
Indeks dominansi :
D
di
D
ni
N
Pi
=
(Pi)2
mana :
= Indeks dominansi
= Jumlah individu genus ke-i
= Jumlah total individu
= ni/N = Proporsi spesies ke-i
Gambar 1. Sebaran titik pengambilan sampel di Kecamatan Bungku Selatan,
Sulawesi Tengah
Sementara kualitas air insitu seperti oksigen terlarut diukur menggunakan DO Meter 650 MDS,
pH diukur menggunakan pH meter, suhu diukur menggunakan termometer, dan salinitas diukur
menggunakan refraktometer. Sedangkan kualitas air eksitu seperti NO2-N dengan sulfanilamid (SNI
19-6964.1-2003), NO3-N dengan reduksi kadmium (SNI 19-6964.7-2003), NH3-N dengan biru indofenol
(SNI 19-6964.3-2003), dan PO4 menggunakan metode asam askorbat (SNI 06-6989.31-2005). Analisis
kualitas air dilakukan di laboratorium kualitas air Balai Peneitian dan Pengembangan Budidaya Air
Payau Maros.
HASIL DAN BAHASAN
Struktur Komunitas Fitoplankton
Hasil identifikasi fitoplankton di perairan Kepulauan Bungku Selatan terdiri atas 12 spesies
fitoplankton (Gambar 2). Dari total pengambilan sampel di 26 stasiun, jenis Caetoceros sp. ditemukan
sebanyak 278 sel/L dengan rata-rata 10,69 sel/L, dan kepadatan tertinggi terdapat pada stasiun 19
(71 sel/L). Jenis Thallasionema sp. ditemuakn sebanyak 322 cel/L dengan rata-rata 12,38 sel/L, dan
kepadatan kepadatan tertinggi ditemukan di stasiun 19 (91 sel/L). Jenis lainnya yang ditemukan
berturut-turut Oscillatoria sp., Coscinodiscus sp., Gyrodinium sp., Manguinea sp., Nitchia sp., Bacteriastrum
sp., Cerataulina sp., Eucampia sp., dan Ceratium sp. (Gambar 2). Spesies predominan Caetoceros sp.
dan Thallasionema sp. menunjukkan perairan yang memiliki tingkat kesesuaian yang tinggi untuk
pertumbuhan dan berkembang biak. Dari total stasiun pengematan, 16 stasiun ditemukan Chaetoceros
Struktur komunitas, keragaman, keseragaman, dan dominansi... (Mat Fahrur)
1086
Gambar 2. Komposisi rata-rata spesies fitoplankton yang ditemukan di
perairan Kecamatan Bungku Selatan, Sulawesi Tengah
sp. Tingginya fitoplankton pada stasiun 19 diduga kondisi perairannya dalam masih alami, tidak
terpengaruh oleh kegiatan luar, tidak ada aktifitas atau penduduk disekitar pulau tersebut dan tidak
adanya dampak aktivitas penambangan pada stasiun tersebut (Gambar 1).
Chaetoceros sp. adalah kelompok kelas Bacillariophyceae atau diatom. Jenis ini dalam budidaya
perikanan memiliki peran sangat istimewa karena nilai gizinya tinggi, mudah dicerna dan sangat
baik untuk meningkatkan kelangsungan hidup larva udang pada pendederan di hatcheri. Selain nilai
ekonomisnya tinggi Chaetoceros sp. mudah dalam kultur baik secara murni maupun masal. Pakan
alami terutama mikroalga merupakan sumber protein, karbohidrat, dan lemak (Renaud et al., 1999).
Chaetoceros sp. (diatom) adalah salah satu pakan alami yang umum digunakan dalam marikultur
karena memiliki kandungan protein yang tinggi dan mudah untuk dicerna (Sektiana, 2008).
Thallasionema sp. ditemukan 80% dari seluruh titik pengambilan sampel. Genus Thallasionema sp.
masuk kedalam kelas Bacillariophyceae atau Diatom. Diatom atau kelas Bacillariophyceae merupakan
fitoplankton yang paling umum dijumpai baik dari pantai hingga ke tengah samudra dan diperkirakan
antara 1400-1800 jenis diatom. Banyak manfaat yang didapatkan dari jenis diatom, jumlahnya yang
begitu banyak kadang disebut sebagai invesible forest atau hutan belantara yang tak terlihat dan
dengan kemampuan fotosintesis tidak kalah dengan hutan di darat (Nontji, 2008).
Proses fotosintesis yang terjadi pada siang hari disebabkan oleh adanya cahaya matahari sebagai
sumber energi. Dalam proses fotosintesis cahaya matahari diserap oleh pigmen klorofil, dan dengan
adanya karbondioksida (CO2), air dan zat-zat hara mengalami proses kimia yang akan menghasilkan
senyawa organik (karbondioksida) yang mempunyai potensi energi kimiawi yang tinggi yang
disimpan dalam sel. Proses fotosintesis menghasilkan oksigen. Potensi energi yang tersimpan dalam
sel berupa bahan organik dapat digunakan untuk proses respirasi. Proses respiarsi itu sendiri adalah
kebalikan dari proses fotosintesis yaitu bahan organik dalam sel mengkonsumsi oksigen dan akan
menghasilkan karbondioksida (Nontji, 2008).
Menurut Reynolds (1990), komposisi dan kelimpahn fitoplankton terus-menerus berubah pada
berbagai tingkatan sebagai respon terhadap perubahan kondisi lingkungan baik secara fisik, kimia
maupun biologi. Ourlake.Org (2001) menyebutkan bahwa distribusi dan konsentrasi dari
fitoplankton merupakan hal yang sangat penting dalam ilmu ekologi dan kualitas air, terutama
terhadap blooming fitoplankton serta hubungannya dengan gangguan pada kondisi di permukaan
perairan yang terjadi sebagai respon dari adanya input antropogenik dalam hal nutrien penting bagi
tanaman (terutama fosfor).
Kelas Fitoplankton dan Kualitas Air
Fitoplankton yang teridentifikasi terbagi menjadi 3 kelas yaitu kelas Bacillariophyceae sebanyak
9 genus, Chromonadea sebanyak 2 genus dan Cyanophyceae hanya 1 genus (Tabel 1). Kelas
1087
Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2013
Bacillariophyceae mendominasi atau kelompok terbesar, hal ini diduga pada saat pengambilan sampel
yaitu musim hujan yang sangat erat hubungannya dengan ketersediaan nutrien (nitrat dan fosfat).
Hasil pengukuran PO4 menunjukkan nilai antara 0,0019–0,0151 mg/L (0,0027±0,003). Kandungan
ortofosfat sering dipakai sebagai indikator tingkat kesuburan suatu perairan (Sediadi, 1999). Pada
perairan yang memiliki nilai fosfat rendah diatom akan dominan dari pada fitoplankton yang lain
(Supriadi, 2001). Berdasarkan baku mutu air laut untuk biota laut Kep. MENLH no. 51 tahun 2004,
PO4 berkisar 0,015. Hasil pengukuran di lapangan menunjukkan nilai cukup rendah bila dibandingkan
dengan baku mutu yang telah ditetapkan.
Tabel 1. Komposisi dan jumlah total fitoplankton yang ditemukan di
perairan Kecamatan Bungku Selatan, Sulawesi Tengah
Spesies
Kelas
Bacteriastrum sp.
Chaetoceros sp.
Cerataulina sp.
Ceratium sp.
Coscinodiscus sp.
Eucampia sp.
Manguinea sp.
Nitzschia sp.
Thallasionema sp.
Gyrodinium sp.
Protoperidinium sp.
Oscillatoria sp.
Jumlah (sel/L)
Bacillariophyceae
Bacillariophyceae
Bacillariophyceae
Bacillariophyceae
Bacillariophyceae
Bacillariophyceae
Bacillariophyceae
Bacillariophyceae
Bacillariophyceae
Chcromonadea (Dinoflagellata)
Chcromonadea (Dinoflagellata)
Cyanophyceae
19
278
16
1
53
13
33
24
322
41
3
13
Nitrogen merupkan bagian dari unsur nutrien yang diperlukan dalam proses fotosintesis yang
diserap dalam bentuk nitrat (NO 3) kemudian dirubah menjadi protein. Nitrat (NO 3) yang terukur
antara 0,0015–0,114 mg/L (0,034±0,039). Kandungan nitrat yang terukur lebih tinggi dibanding
dengan baku mutu air laut untuk biota laut, yaitu 0,008 mg/L (Kep. MENLH, 2004). Nitrogen
dibutuhkan untuk membuat asam amino dan asam nukleat, sedangkan fosfat diperlukan untuk
membuat tenaga (ATP). Dalam proses fotosintesis protoplasma dalam bentuk amoniak dan asamasam amino dalam bentuk lain yang diabsorbsi pada waktu proses fotosintesis. Pengukuran amoniak
(NH3) antara 0,046–0,179 mg/L (0,105±0,032) nilai ini cukup rendah bila dibandinhgkan dengan
Kep. MENLH no. 51 tahun 2004, yaitu 0,3 mg/L (Tabel 2).
Tabel 2. Kualitas air yang diamati di di perairan Kecamatan Bungku
Selatan, Sulawesi Tengah
Peubah
o
Suhu ( C)
NO3 (mg/L)
NH3 (mg/L)
PO4 (mg/L)
BOT (mg/L)
Fe (mg/L)
SiO2 (mg/L)
Kekeruhan
Minimum Maksimum Rata-rata Simpangan
27,56
29,08
28,29
0,402
0,0015
0,046
0,0019
10,74
0,002
0,0002
0,17
0,114
0,179
0,015
20,08
0,007
0,0197
1,13
0,034
0,105
0,002
17,69
0,001
0,0084
0,435
0,039
0,032
0,003
2,34
0,002
0,0049
0,228
Struktur komunitas, keragaman, keseragaman, dan dominansi... (Mat Fahrur)
1088
Kualitas air fisika dan kimia selama penelitian dapat dilihat pada Tabel 2. Suhu yang terukur
antara 27,56–29,080C. Menurut Koniyo (2006), suhu air yang optimal untuk pertumbuhan
Chaetoceros sp. berkisar antara 25–30°C. Kenaikan suhu yang optimal akan dapat mempercepat
proses metabolisme sel (Suriawiria, 1985). Menurut Stoemer & Ladewski (1978), dalam Pappas &
Stoemer (2003), Hastle & Syvertsen (1997) faktor lingkungan seperti perbedaan suhu di perairan
akan mempengaruhi bentuk valve diatom sedangkan ketersediaan nutrien dapat menyebabkan variasi
bentuk striae, puntae, dan ornamen diatom.
Salinitas pada lokasi penelitian berkisar antara 31–32,48 ppt. Salinitas dapat mempengaruhi
komposisi dari fitoplankton. Salinitas penting di perairan untuk mempertahankan tekanan osmosis
antara tubuh organisme dan perairan. Variasi salinitas dapat menentukan kelimpahan dan distribusi
fitoplankton. Salinitas merupakan salah satu parameter yang menentukan jenis-jenis fitoplankton
yang terdapat dalam suatu perairan, tergantung dari sifat fitoplankton tersebut apakah eurihalin atau
stenohalin. Secara umum, salinitas permukaan perairan laut di Indonesia rata-rata berkisar antara 3234 ‰ (Dahuri et al., 1996).
Kandungan BOT di perairan ini berkisar antara 10,7376-20,0849 mg/L (17,70±2,34), rata-rata
kadar BOT cukup tinggi terutama pada titik 24, diduga pada titik tersebut langsung berhadapan
dengan titik penambangan nikel didarat dan bersamaan dengan musim hujan sehingga terjadi
masukan partikel yang cukup tinggi. Dahuri et al. (1996) menyebutkan secara garis besar derajat
kerusakan lingkungan yang mengancam kelesatarian sumberdaya pesisir dan laut yang berasal dari
lahan atas diantaranya konversi kawasan hutan lindung menjadi peruntukan pembangunan lain.
Menurut Koesbiono (1981) kadar BOT air laut rata-rata rendah dan tidak melebihi 3 mg/L, kemudian
disebutkan bahwa bahan organik terlarut bukan hanya sebagai sumber energi, tetapi juga sebagai
sumber bahan organik esensial bagi organisme perairan. Menurut Reid (1961), perairan dengan
kandungan BOT di atas 26 mg/L tergolong subur. Variasi kandungan BOT tersebut dapat mempengaruhi
keragaman fitoplankton.
Kandungan silikat yang terukur SiO3 antara 0,0002–0,0197 mg/L, silikat merupakan unsur penting
dalam pembentukan dinding sel dan cangkang bagi kelompok diatom (Herawati, 2008). Kep. MENLH
no. 51 tahun 2004 menetapkan ambang batas nilai kekeruhan bagi biota laut adalah <5 NTU. Nilai
yang terukur antara 0,17–1,13 NTU. Dari data yang didapat menunjukkan bahwa nilai kekeruhan
dari semua stasiun pengamatan berada dalam kisaran yang masih normal dan sangat baik untuk
menunjang proses kehidupan biota di dalamnya.
Indeks Biologi
Indeks keragaman fitoplankton di lokasi penelitian berkisar antara 0,014–1,71 (0,80±0,40) dengan
nilai rata-rata H’<1 (Tabel 3). Nilai indek keragaman tersebut megindikasikan perairan secara
keseluruhan tidak stabil atau kestabilan rendah artinya terjadi degradasi dan perlu pengelolaan
lingkungan yang lebih baik terutama bagian hutan bakau yang telah dikonversi menjadi pemukiman
dan kawasan tambang nikel, yang tentu dalam jangka panjang akan berdampak pada ekosistem
laut. Keragaman tertinggi ditemukan pada stasiun 18, genus yang didapatkan sebanyak 8 dengan
kepadatan 198 sel/L. Hal ini berarti semakin tinggi genus yang didapatkan maka keragaman akan
meningkat. Indeks keseragaman berkisar antara 0,010–1,0 (0,75±0,20), dengan rata-rata E>0,75.
Hal ini berarti kepadatan antar genus cenderung tidak merata, yang diindikasikan dengan nilai E
Tabel 3. Indeks biologi
Peubah
Individu
Keragaman H’
Keseragaman E
Dominansi D
Minimum Maksimum Rata-rata
1,0
0,014
0,010
0,246
322
1.719
1,0
1
816
0,80
0,75
0,54
Simpangan
109,80
0,403
0,20
0,183
1089
Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2013
lebih mendekati nilai 1. Indeks dominansi berkisar antara 0,246–1 (0,54±0,183), secara rata-rata
tidak ada jenis tertentu yang mendominasi atau kondisi perairan dalam kondisi stabil.
KESIMPULAN
1. Kelimpahan fitoplankton di perairan Kepulauan Bungku Selatan tertinggi pada stasiun 19 yakni
(91 sel/L) dari kelas Diatom atau Bacillariophyceae. Jumlah individu fitoplankton rata-rata berkisar
anatar 0,04-12,38 sel/L, jumlah genus sebanyak 12 dan digolongkan ke dalam tiga kelas.
2. Keragaman fitoplankton tidak stabil, keseragaman menunjukkan kepadatan antar genus cenderung
tidak merata dan dominansi kondisi perairan dalam kondisi stabil.
3. Pengelolaan perairan perlu lebih ditingkatkan agar tidak mengaggu kestabilan ekosistem sehingga
diversitas organisme tetap terjaga.
DAFTAR ACUAN
Dahuri, Rais, R.J., Ginting, S.P., & Sitepu, M.J. 1996. Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir dan
Lautan Secara Terpadu. PT. Pradnya Paramitra, Jakarta Indonesia, 301 hlm.
Hastle, G.R. & Syvertsen, E.E. 1997. Marine Diatoms. Identifying Marine Phytoplankton. Ed. Carmelo R.
Tomas. Academic Press. California.
Herawati, V.E. 2008. Analisis Kesesuaian Perairan Segara Anakan Kabupaten Cilacap sebagai Lahan Budidaya
Kerang Totok (Polymesoda Erosa) Ditinjau Dari Aspek Produktivitas Primer Menggunakan Penginderaan
Jauh. Tesis. Program Pasca Sarjana Universitas Diponegoro. Semarang.
Kep MENLH. 2004. Keputusan Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup No. Kep. 51/MENLH/I /2004.
Tentang Pedoman Penetapan Baku MutuLingkungan, 11 hlm.
Kusfebriani, Ilsan, N.A., & Kurniasih, Y. 2011. Makalah Ekosistem Laut. Pendidikan Biologi Reguler
2008, Jurusan Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Negeri Jakarta.
Koesbiono. 1981. Biologi Laut. Bogor: Fakultas. Perikanan, Institut Pertanian Bogor.Koniyo, Y. 2006.
Biologi dan Metode Kultur Plankton Sebagai Pakan Alami Larva Hewan Air. Makara Sains, 3(2): 18.
Nontji, A. 2008. Plankton Laut. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.
Arifin, R. 2009. Distribusi Spasial dan Temporal Biomassa Fitoplankton (Klorofil-a) dan keterkaitannya
dengan kesuburan Perairan Estuari Sungai Brantas, Jawa Timur. Departemen Manajemen
Sumberdaya Perairan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor, 999 hlm.
Renaud, S.M., Thinh, L.V., & David, D.L. 1999. The Gross Chemical Composition and Fatty Acid
Composition of 18 Species of Tropical Australian Microalgae for Possible Use in Mariculture.
Aquaculture, 170: 147-159.
Reid, G.K. 1961. Ecology Inland Water Estuaria. New York: Reinhold Published Co. Sektiana, S.P. 2008.
Pengembangan Medium Untuk Kultur Semi Masal Diatom Laut, Chaetoceros gracilis Schutt. Tesis.
Pascasarjana. IPB Bogor, 135 hlm.
Stoermer, E.F. & Ladewski, T.B. 1976. Apparent Optimal Temperatures for the Occurrence of Some
Common Phytoplankton Species in Souther Lake Michigan. Great Lakes Research Division, Institute
of Science and Technology, University of Michigan, Ann Arbor, MI, GLRD Special Report No. 18, 49
pp.
Stoermer, E.F. 1978. Diatoms from the Great Lakes. I. Rare or Poorly Known Species of the Genera
Diploneis, Oestrupia and Stauroneis. J. Great Lakes Res. Internat. Assoc. Great Lakes Res. 4(2): 170177. 1 pl.
Supriadi, I.H. 2001. Dinamika Estuari Tropik. Oceana, Volume XXVI, Nomor 4, 2001 :1-11. ISSN 02161877.
Suriawiria, U. 1985. Pengantar Mikrobiologi Umum. Angkasa. Bandung. 224 hal. Weyl, P. K. 1970.
Oceanography an introduction to marine environtment. John Wiley and Sons Inc. New York.
Download