BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Fraktur pada tulang adalah suatu kejadian yang sering dijumpai dalam kehidupan kita. Salah satu komplikasi awal dari fraktur yang terjadi pada tulang adalah nyeri. Nyeri ini timbul karena respon inflamasi akibat kerusakan jaringan paska trauma yang terjadi. Nyeri yang timbul akibat adanya fraktur, merupakan suatu nyeri yang kuat sehingga memerlukan penanganan yang efektif, dengan memberikan pasien obat-obatan analgetik. Obat-obatan analgetik yang ada saat ini adalah golongan obat yang dapat mengatasi nyeri pada satu sisi serta dapat pula mengatasi respon inflamasi yang terjadi pada daerah fraktur akibat adanya suatu kerusakan jaringan lainnya. Penghambatan nyeri pada satu sisi tentunya akan membawa keuntungan pada pasien, sebaliknya penghambatan proses inflamasi tentunya akan menimbulkan masalah bagi penyembuhan fraktur. Penyembuhan fraktur itu sendiri merupakan suatu rangkaian proses kompleks yang sangat tergantung pada respon inflamasi jaringan bahkan terjadi segera setelah fraktur. Rangkaian proses tersebut adalah merupakan suatu rangkaian proses inflamasi yang sangat tergantung pada faktor-faktor sistemik dan faktor-faktor lokal, dimana semua faktor ini saling berkaitan. Salah satu dari faktor lokal yang berperan penting dalam proses inflamasi paska fraktur adalah siklooksigenase-2 ( COX-2 ). Siklooksigenase-2 ( COX-2 ) adalah suatu isoform yang berperanan dalam merubah asam arachidonat menjadi prostaglandin dan tromboxan, dan berperan penting dalam setiap respon inflamasi dalam tubuh manusia. Kedua zat tadi berperan dalam menimbulkan nyeri pada satu sisi serta mempengaruhi sel-sel dimana inflamasi terjadi, pada sisi lainnya. Peranan COX-2 sebagai isoform dalam merubah asam arachidonat menjadi prostaglandin, adalah sangat penting. Prostaglandin terutama prostaglandin E2 ( PG E2 ) telah lama diketahui berperan dalam proses remodeling dari tulang, dimana PG E2 sendiri dihasilkan oleh osteoblast yang telah memperoleh stimulus dari COX-2 Dengan semakin berkembangnya pengetahuan tentang peran COX-2 dalam proses timbulnya nyeri ini, dikembangkanlah golongan obat yang sekarang dikenal dengan COX-2 inhibitor. Obat ini merupakan salah satu golongan obat yang digolongkan dalam obat anti inflamasi non steroid ( OAINS ), dan berguna untuk mengurangi nyeri. Obat golongan COX2 inhibitor ini banyak dipilih karena memiiki efek samping yang lebih rendah pada saluran cerna dibandingkan penghambat COX yang non spesifik ( Urban, 2000 ). Menurut beberapa penelitian klinis pada hewan, efektivitas analgetik pada COX-2 inhibitor sebanding dengan parasetamol serta analgetik lain dalam mengurangi nyeri pada percobaan fraktur pada hewan. Pemberian analgetik pada hewan coba, berkisar dalam waktu 14 hari, dan hewan coba sudah memulai untuk menggerakan tungkai yang mengalami patah ( Bergenstock, 2005 ). COX-2 inhibitor sendiri dikelompokan dalam grup yang bersifat memiliki penghambat spesifik dan non spesifik. Penghambat spesifik untuk reseptor COX-2 juga dikelompokan dalam grup obat yang dikenal memiliki struktur metal sulfit. Salah satu golongan metil sulfit generasi pertama yang masih digunakan saat ini adalah celecoxib. Selanjutnya dikembangkan lagi obat golongan metasulfit generasi kedua antara lain : parecoxib dan etoricoxib. Akan tetapi, pemberian COX-2 pada fase-fase awal penyembuhan fraktur juga telah lama diketahui mempengaruhi dan memperlambat penyembuhan fraktur pada hewan coba. Oleh karena itu, penelitian uji klinik pada manusia pun masih terbatas dan belum memperoleh hasil yang konsisten. Hal ini juga berlaku pada penelitian pada kelompok usia pasien yang lebih tua dimana telah dibuktikan bahwa pertambahan umur juga akan menurunkan ekspresi gen penghasil COX-2 yang akan berpengaruh terhadap waktu penyembuhan fraktur ( Naik et al;2009 ). Pemberian COX-2 inhibitor pada hewan coba dengan fraktur tulang, juga ditemukan adanya gangguan proliferasi awal dari sel-sel mesenkim menjadi osteoblast serta pematangan osteoblast menjadi osteosit. Dalam hal lain, penghambatan COX-2 juga berperan dalam mempengaruhi pembentukan Bone Morphogenic Protein ( BMP ) yang akhirnya memperlambat penyembuhan fraktur. Selain itu, pemberian COX-2 pada fase awal juga, dikaitkan dengan timbulnya gangguan proses pembentukan pembuluh darah di sekitar fraktur sehingga akan menurunkan jumlah sel-sel inflamasi dan menghambat proses awal dari penyembuhan fraktur. Sebaliknya, pada penelitian lain dengan hewan coba, ditemukan pemberian COX-2 inhibitor pada hewan coba dapat menghambat proses penyembuhan tulang akan tetapi, hambatan ini bersifat sementara asalkan pemberian COX-2 inhibitor tidak melebihi 2 minggu ( Gerstenfeld, et al ; 2007 ). Terdapat perbedaan efek dari masing – masing obat COX-2 inhibitor, terkait dengan struktur kimia yang dimilikinya. Celecoxib telah terbukti dapat menghambat proses pembentukan tulang baru pada fraktur walaupun pemberian dalam jangka waktu pendek. Pemberian celecoxib pada fase awal penyembuhan tulang, yaitu pada fase inflamasi menibulkan penurunan yang signifikan dalam jumlah sel – sel osteoblast serta terjadi penurunan dalam jumlah sel – sel osteoclast. Selain itu, struktur dari kallus juga akan mengalami gangguan akibat adanya hambatan ini. Sebaliknya pada percobaan menggunakan golongan generasi kedua COX-2 inhibitor yang lain, yaitu parecoxib, dalam dosis terapi dan dalam jangka waktu yang sama dengan pemberian celecoxib ternyata tidak menimbulkan penghambatan dalam proses penyembuhan fraktur ( Akritopoulos et al, 2008 ). Disini kita menjumpai adanya perbedaan dari efek akibat pemberian obat golongan COX-2 inhibitor generasi pertama yaitu celecoxib dengan obat golongan COX-2 generasi kedua yaitu parecoxib. Selain parecoxib, ada jenis COX-2 generasi kedua yang juga telah lama beredar di pasaran yaitu etoricoxib. Etoricoxib adalah merupakan salah satu dari golongan obat COX-2 inhibitor yang memiliki kelebihan penghambatan reseptor spesifik COX-2 yang lebih baik dari generasi sebelumnya. Obat ini memiliki kemampuan inhibisi spesifik COX-2 berbanding COX-1 (COX-2/ COX-1) sebesar 106. Selain itu, etoricoxib semakin banyak dipilih karena memiliki waktu paruh yang panjang, sekitar 20 – 22 jam. Penelitian pada manusia yang mengalami osteoarthritis genu, etoricoxib telah cukup lama digunakan. Efektivitas obat ini dalam mengatasi nyeri lutut sehingga pasien bisa memulai latihan fisik bahkan dijumpai lebih baik dibandingkan dengan celecoxib atau pun bila dibandingkan dengan golongan penghambat COX-2 non spesifik seperti parasetamol dan natrim diclofenak. Selain itu, efek samping saluran cerna akibat pemakaian jangka waktu panjang juga lebih sedikit dari pada celecoxib maupun parasetamol dan natrium diclofenak. Berkaitan dengan dosis yang diberikan untuk menimbulkan penurunan nyeri yang sama, etoricoxib ternyata memiliki keuntungan, dimana dengan dosis 60 mg sekali perhari, ternyata efektif dibandingkan dengan celecoxib 200 mg dua kali perhari serta parasetamol 4000 mg perhari dan natrium diclofenak 100 mg tiga kali sehari ( Stam, et al 2008 ). Sayangnya dalam penggunaan golongan obat COX-2 inhibitor dalam penanganan fraktur masih sangat terbatas akibat masih banyaknya kontroversi dan tidak konsistennya data yang diperoleh pada penelitian menggunakan binatang percobaan. Hingga saat ini dalam penanganan fraktur, masih banyak menggunakan penghambat non spesifik COX-2 antara lain, parasetamol. Parasetamol merupakan salah satu golongan anti inflamasi non steroid yang memiliki efek analgetik ringan, sehingga diperlukan dosis yang lebih besar untuk menimbulkan efek analgesia. Karena efek samping saluran cerna yang rendah, maka parasetamol telah digunakan selama puluhan tahun. Penelitian menunjukan bahwa paracetamol injeksi dengan dosis 60 mg/kg berat badan, cukup efektif dalam mengatasi nyeri paska operatif pada bedah orthopaedi ( Hyllested, 2002 ). Pada penelitian menggunakan hewan coba, baik dosis terapi maupun dosis yang lebih besar, paracetamol ternyata tidak memiliki efek inhibisi pada proses penyembuhan fraktur. Karena efek yang sangat bermanfaat ini, maka paracetamol sering digunakan dalam penelitian – penelitian klinik maupun penelitian hewan coba untuk membandingkan efek obat analgetik lain terhadap penyembuhan tulang ( Bergenstock, 2005 ). Dengan semakin berkembangnya kebutuhan akan obat analgetik yang lebih efektif untuk penanganan fraktur dengan efek yang rendah pada penyembuhan fraktur, maka banyak dilakukan penelitian yang dilakukan untuk membandingkan efektivitas dari obat golongan obat inhibitor COX non spesifik terhadap inhibitor spesifik COX-2. Salah satu jenis obat COX-2 inhibitor yang sekarang banyak diteliti adalah etoricoxib. Sayangnya, penelitian akan efektivitas dan efek samping etoricoxib untuk fraktur masih terbatas. Pada bidang kedokteran gigi bahkan telah melangkah lebih maju. Penelitian obat ini dicoba pada hewan yang menjalani operasi tulang rahang. Hasil penelitian ini menggunakan etoricoxib dosis 3 mg ( dosis ekuivalen 60 mg pada manusia ) serta dosis 10 mg ( dosis ekivalen 90 mg pada manusia. Hasilnya menunjukan tidak ada ditemukan hambatan dalam pembentukan volume fraksi pada trabekulae tulang baru dalam kantong alveolar rahang ( Fracon, 2010 ). Dengan masih adanya kontroversi dari efek akibat penggunaan etoricoxib, serta masih terbatasnya penelitian dalam bidang orthopaedi yang yang menggunakan etoricoxib, maka perlu dilakukan penelitian untuk melihat pengaruh pemberian etoricoxib selama dua minggu terhadap proses awal penyembuhan fraktur pada hewan coba yang menjalani tindakan bedah orthopaedi. 1.2. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian dalam latar belakang masalah di atas, dapat dirumuskan pertanyaan penelitian sebagai berikut : 1. Apakah jumlah sel – sel osteoblast pada tikus yang diberikan etoricoxib 3 mg/kg berat badan perhari dan tikus yang diberikan etoricoxib 10 mg/kg berat badan perhari selama dua minggu lebih sedikit dibandingkan dengan tikus yang diberikan parasetamol 60 mg/kg berat badan perhari selama dua minggu ? 2. Apakah jumlah sel – sel osteoclast pada tikus yang diberikan etoricoxib 3 mg/kg berat badan perhari dan tikus yang diberikan etoricoxib 10 mg/kg berat badan perhari selama dua minggu lebih sedikit dibandingkan dengan tikus yang diberikan parasetamol 60 mg/kg berat badan perhari selama dua minggu ? 3. Apakah tebal kortikal pada tulang tikus yang diberikan etoricoxib 3 mg/kg berat badan perhari dan tikus yang diberikan etoricoxib 10 mg/kg berat badan perhari selama dua minggu lebih tipis dibandingkan dengan tikus yang diberikan parasetamol 60 mg/kg berat badan selama dua minggu ? 1.3 Tujuan Penelitian Tujuan umum : Mencari pengaruh pemberian etoricoxib selama 2 minggu dalam proses penyembuhan awal pada fraktur tulang tikus yang menjalani reduksi terbuka dengan fixasi internal Tujuan khusus: 1. Mengukur penurunan jumlah sel – sel osteoblast pada tikus akibat pemberian etoricoxib 3 mg/kg berat badan perhari dan etoricoxib 10 mg/kg berat badan perhari selama dua minggu, yang dibandingkan dengan tikus yang diberikan parasetamol 60 mg/kg berat badan perhari selama dua minggu. 2. Mengukur penurunan jumlah sel – sel osteoclast pada tikus yang diberikan etoricoxib 3 mg/kg berat badan perhari dibandingkan dengan tikus yang diberikan parasetamol dan tikus yang diberikan etoricoxib 10 mg/kg berat badan perhari. 3. Membandingkan hasil pengukuran tebal kortikal pada tulang pada tikus yang diberikan etoricoxib 3 mg/kg berat badan perhari dibandingkan dengan tikus yang diberikan parasetamol dan tikus yang diberikan etoricoxib 10 mg/kg berat badan perhari ? 1.4. Manfaat Penelitian a. Manfaat akademis 1. Bila penelitian ini terbukti maka akan dapat memberikan informasi dan pengetahuan tentang pengaruh pemberian etoricoxib pada proses awl penyembuhan tulang pada tingkat sel osteoblast, osteoclast serta pada morfologi callus. 2. Dapat digunakan sebagai acuan untuk penelitian selanjutnya pada manusia. b. Manfaat praktis Memberikan informasi secara umum kepada pasien tentang pengaruh etoricoxib pada proses penyembuhan tulang.