perkembangan dan kegagalan sistem politik di indonbsia

advertisement
PERKEMBANGAN DAN KEGAGALAN
SISTEM POLITIK DI INDONBSIA
Budi Suryadi
Fisip, Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin.
Email : [email protected]
Abstract:
This article discovers the progress of Indonesian political system from old order
era to reform era. The experience involved shocks and unreal stabiliry in long a
period. It finally ends up with failed political system construction. The political
system failure becomes the result of the absence of ability to cope with internal
and external problems. Moreover, Indonesian political problems, from one to
another phase have been getting more complex.
Keywords:
Political system, Indonesia
PENDAHULUAN
Sistem politik suatu negara seringkali merupakan serangkaian interaksi sub-sub
sistem ekonomi, sosial, budaya yang menyesuaikan dengan kondisi lingkungan dalam
negeri maupun lingkungan internasional.
Sebagai suatuinteraksi sub-sub sistemtersebut seringkali menjadipotretperkembangan
suatu sistem politik sekarang dengan sistem politik sebelumnya,yangdianggap merupakan
hubungan yang fungsional, dimana sistem politik itu saling memperbaiki satu dengan yang
lainnya. Sangat jarang terjadinya pembentukkan suatu sistem politik yang akan dikembangkan tanpa menjadikan atau mengambil pelajaran dari sistem politik di masa lalu.
Tulisan dalam makalah ini merupakan sebuah refleksi rangkaian perkembangan sistem
politik Indonesia dari dulu sampai sekarang dengan memuat uraian kegagalan dan prediksiprediksi kemungkinan kegagalan sistem politik masa sekarang. Rangkaian perkembangan
sistem politik ini menjadi pengingat sekaligus pembanding bagi kita semua akan apa yang
dibentuk pada sistem politik tahun 2009.
Sehingga paling tidak sistem politik tahun 2009 bukan merupakan pengulangan dari
kesalahan sistem politik di masa lalu tetapi justru merupakan sistem politik yang kondusif
b'agi atmosfir kehidupan demokrasi yang mencerminkan terselenggaranya negara yang
bersih, bebas KKN dan memfasilitasi terciptanya kesejahteraan masyarakat umum.
89
90
Jurnal Charta Publika, Vol. I , Nomor 2, Januari-Juni
2011 ,
hlm. 75-t 66
PEMBAHASAN
Setiap sistem politik memiliki kekuatan dan kelemahan, hal ini terjadi dikarenakan
sistem politik itu memiliki bagian-bagian yang membentuk sistem, seperti bagian yang
inheren dalam sifat manusia, bagian mencerminkan sifat dan tradisi masyarakat, bagian
bersifat struktural, bagian bersifat kontemporer dan minor, bagian merupakan harga
kemajuan karena prestasi lembaga-lembaga dan praktek-praktek lama, bagian sebagai
konsekuensi dari keengganan merevisi prosedur-prosedur yang masih lemah, dan bagai
hasil dari perkembangan di luar batas masyarakat (Byrnes, 1984).
Setiap sistem politik pasti harus menyesuaikan
diri
dengan masalah-masalah
dan di seluruh dunia
sendiri
yang sering menonjol, yang berubah dalam masyarakatnya
yang diciptakannya. Memang beberapa fakta negara dan sistem sosial belum tanggap
mengendalikan munculnya berbagai kekuatan baru dengan memperkenalkan perubahan
sedangkan yang lainnya dengan susah payah dan sukses melestarikan sistem politiknya
dari waktu ke waktu (Byrnes, 1984).
Perkembangan
Secara riel politik, perkembangan sistem poiitik di Indonesia mengalami 3 (tiga)
periode masa, yaitu masa orde lama, orde baru dan orde reformasi. Ketiga masa ini
sebenamya penyumbang dan saling melengkapi perkembangan sistem politik di Indonesia
dari masa ke masa.
mana kelebihan dan kekurangan yang terdapat dalam sistem politik orde lama
di perbaiki dan disempurnakan dalam sistem politik orde baru. Kemudian kelebihan dan
kekurangan yang terdapat dalam sistem politik orde baru diperbaiki dan disempurnakan
dalam sistem politik orde reformasi.
Di
Adapun perkembangan antar sistem politik Indonesia dari masa ke masa, sebagai
berikut, yaitu:
Masa Orde Lama
Awalnya sistem politik dibangun dalam rangka mengisi kekosongan kekuasaan dalam
kehidupan politik negara dan kehidupan masyarakat sebagai konsekuensi dari negaruyang
merdeka dari penguasa penjajahan.
Proses pembangunan bangsa Indonesia ini pada masa sistem politik orde lama
menimbulkan berbagai gejolak-gejolak dalam tubuh penyelenggaraan negara sehingga
terjadi 2 kali perubahan tatanan sistem politik dengan istilah sebutan sistem politik
demokrasi liberal parlementer dan sistem politik demokrasi terpimpin.
Namun kecenderungan persamaannya dalam kedua sistem politik demokrasi liberal
parlementer dan sistem politik demokrasi terpimpin pada masa orde lama ini menunjukkan
kekuasaan dominan pada presiden selaku kepala negara dan penguasa lembaga eksekutif.
Sistem politik masa orde lama sama sekali tidak sesuai dengan amanat konstitusi
yang terdapat dalam UUD 1945, hal ini terjadi dikarenakan kondisi saat itu Negara
Indonesia yang baru merdeka dan kondisi dalam tahapan sedang akan membangun politik
kelembagaan negara dan pembangunan bangsa (nation building).
Budi Surya di, Perkembangan dan Kegagalan Sisiem Politik di Indonesia gl
Sekitar tahun 1945 sampai 1949 sistem politik berjalan dengan kelembagaannegara
yang tidak lengkap dan tidak berfungsi, yang secara otomatis berimbas pada lebih banyak
peran lembaga eksekutif melalui adanya otoritas dominan presiden dan koalisi partai-partai
politik dalam komite nasional Indonesia pusat (KNIP).
Secara detilnya, pada waktu itu kekuasaan eksekutif dipegang oleh presiden,
kekuasaan legislatif dipegang oleh KNIP (komite nasional Indonesia pusat) dan kekuasaan
yudikatif dipegang oleh MA.
Apabila dilihat dari format kelembagaan negara yang ada maka secara formal memang
terlihatpemisahankekuasaan (separationpower)antarkelembagaannegarayangada,tetapi
secara substansi pemisahan kekuasaan (separation of power) ini tidak optimal berjalan dan
cenderung pada pembagian kekuasaan (distribution of power). Hal ini dikarenakan belum
adanya mekanisme tata aturan kerja yang signifikan dan belum adanyaperangkat-perangkat
pendukung antar ketiga lembaga ini, seperti tiadanya kekuasaan legislatif.
Pada segi politik, menunjukkan fenomena politik banyak diwarnai koalisi partaipartai politik terjadi dalam tubuh kabinet, yang terdiri dari partai politik hasil kolaborasi
kelompok-kelompok di masyarakat yang berbeda spektrum ideologi, seperti PNI, Masyumi,
PSI, PSII, PRN, PIR, Parindra, PKI, Partai Buruh, BTI, PBI, Parkindo, dan PKRI.
Ternyata koalisi partai politik dan perbedaan jarak ideologi yang tajam antar partai
politik maka menyebabkan kegoncangan dalam kabinet-kabinet, sehingga kabinet ini
berjalan tidak stabil, di mana tercatat pada kurun masa itu terjadi 9 (sembilan) kali penggantian kabinet, yang mana umur masing-masing kabinet antara minggu-an dan bulan-an.
Kemudian baru sekitar tahun 1950-an, dengan diberlakukan UUDS 1950, terjadi
perubahan tatanan sistem politik melalui penetapan kelembagaan negara yang baru, yaitu
kekuasaan legislatif dipegang oleh parlemen (DPR), Kekuasaan eksekutif dipegang oleh
perdana menteri beserta kabinet, kekuasaan yudikatif oleh Mahkamah Agung. Tambahan
lembaga negara lainnya, yaitu Dewan Pengawas Keuangan dan Badan Konstituante.
Sebagai mekanisme pelengkap dalam sistem
politik demokrasi parlementer diseleng-
sarakanlah pemilihan umum dengan menggunakan sistem proporsional dengan stelsel
daftar pada tahun 1955 yang diikuti sekitar 52partai politik. Pemilihan umum tahun 1955
ini dilakukan sebagai sarana legitimasi penguasa negara dan pengisian jabatan-jabatan
politik pada lembaga legislatif.
Alhasil ternyata pemilihan umum 1955 tidak menghasilkan partai politik yang
mayoritas diparlemen dan apalagi terjadinya perbedaan ideologi yang tajam antar partai
politik yang berimbas pada kestabilan jalannya pemeritahan. Kabinet dan pemerintahan
juga mengalami kegoncangan konflik kepentingan antar partai politik, seperti masa tahun
1915-1949. Pada tahun 1959 sistem demokrasi parlementer diganti dengan sistem politik
demokrasi terpimpin, maka sejak saat itu dimulailah babak baru sistem politik demokrasi
:erpimpin sebagai realisasi pengganti sistem politik demokrasi parlementer.
Secara teoritis sistem politik demokrasi terpimpin berdasarkan pada mekanisme
aruran yang terdapat pada konstitusi UUD 1945,yaitu diberlakukannya lembaga-lembaga
negara, seperti MPRS, DPR, MA dll. Tetapi secara praktek perjalanan sistem politik
demokrasi terpimpin tidak konstitusional dikarenakan kekuasaan presiden yang sangat kuat
dan absolut di seluruh lembaga-lembaga negara ini.
92
Jurnal Charta Publika, Vol.
1, Nomor 2,
Januari-Juni 2011, hlm.75-166
Presiden pada waktu itu memegang seluruh kekuaaan legislatif, kekuasaan eksekutif
dan kekuasaan yudikatif. Pemusatan seluruh kekuasaan lembaga negaru di tangan presiden
akhimya tidak melahirkan pembagian kekuasaan antar lembaga-lembaga negara, hal ini
ditambah lagi tidak adany a mekanisme proses penyelengg araan pemilihan umum.
Sehingga fenomena-fenomena politik di atas menyebabkan sistem politik demokrasi
terpimpin menimbulkan respon yang tidak kondusif di kelompok-kelompok masyarakat,
melalui munculnya beberapa demonstrasi dan kekac auan y ang menginginkan penggantian
presiden, sehingga sampai akhirnya sistem politik demokrasi terpimpin juga mengalami
keambrukan dan kehancuran. Kehancuran dan keambrukan sistem politik demokrasi
terpimpin diwarnai proses penggantian presiden dan peristiwa G 30 S PKI. Sejak saat itu
dimulailah babak masa baru sistem politik yang dikenal dengan masa orde baru.
Masa Orde Baru
Memasuki masa orde baru, oleh para ahli politik dan penguasa waktu itu istilah sistem
politik demokrasi terpimpin diubah menjadi sebutan sistem politik demokrasi Pancasila.
Istilah Pancasila digunakan sebagai sumber segala sumber hukum dan menjadi landasan
idiil kehidupan politik negara sedangkan landasan formilnya adalah UUD 1945.
Sistem demokrasi pancasila membagi secara sederhana lapangan politik kenegaraan
ke dalam istilah infrastruktur politik dan suprastruktur politik negara. Infrastruktur politik
negara terdiri dari partai-partai politik dan organisasi masyarakat sedangkan suprastruktur
politik negara terdiri dari lembaga tertinggi negara, yaitu MPR dan lembaga tinggi negara,
yaitu DPR, Presiden, DPA, BPK dan MA.
Pada sistem demokrasi pancasila dalam pengisian jabatan
politik di lembaga legislatif
menggunakan mekanisme pemilihan umum, di mana proses pemilihan umum diadakan
untuk memilih wakil rakyat yang akan duduk di lembaga legislatif, yang selanjutnya
para anggota legislatif memilih presiden. Pemilihan umum sepanjang masa orde baru
menggunakan mekanisme sistem proporsional yang dikaitkan dengan stelsel daftar.
Sistem politik demokrasi pancasila ini juga mampu menstabilkan pemerintahan
melalui berbagai strategi kebijakan, seperti strategi fusi partai politik, penerapan asas
tunggal Pancasila dan rekayasa politik di dalam komposisi lembaga legislatif sehingga
banyak program-program pembangunan dari pemerintahan dapat terwujud dan terlaksana.
Strategi fusi partai politik dilakukan sekitar tahun 1973, melalui kebijakan yang
dibuat presiden dengan menyederhanakan 10 (sepuluh) partai politik menjadi 3 (tiga) partai
politik. Penerapan asas tunggal Pancasila dimaksudkan dengan keharus an partai politik
yang ada untuk menggunakan 1 asas tunggal, yaitu Pancasila, sedangkan rekayasa politik
di lembagaan legislatif dilakukan melalui politik standar ganda, dimana sebagian anggota
lembaga legislatif dipilih melalui mekanisme pemilihan umum dan sebagian lagi melalui
mekanisme pengangkatan oleh presiden.
Strategi-strategi kebijakan politik di atas, ternyata lama kelamaan, tepatnya terakhir di
usia ke 30 tahun menyebabkan sistem politik demokrasi Pancasila mengalami kemunduran
dan keruntuhan, yang begrounnya terjadi perkembangan kondisi masyarakat domestik dan
masyarakat internasional, yang menunjukkan ketidakpuasan dan cenderung mendesak
perubahan aspek kehidupan dengan slogan istilah reformasi.
Budi Surya di, Perkembangan dan Kegagalan
Sistem
Politik di Indonesia 93
Ternyata akumulasi problem pembusukan politik sangat fatal terjadi melalui
pengaturan fusi partai politik dan penerapan asa tunggal Pancasila serta rekayasa politik
dalam kelembagaan legislatif dengan mekanisme pengangkatan dan pemilihan anggotanya,
ditambah lagi dengan rekayasa hasil pemilu melalui birokrasi menjadi mesin politik bagi
pemenangan partai politik tertentu.
Alhasil kesemuaan rekayasa politik ini memunculkan dominasi kekuasaan presiden
yang mutlak(absolute) dan tanpa batas, yang berimbas pada terjadinya ketidakseimbangan
mekanisme kekuasaan yang berjalan. Kekuasaan eksekutif (presiden) menjadi besar/
kuat, yang otomatis menjadikan presiden sebagai aktor utama segala keputusan politik
kenegaraan.
Kevokalan politisi dan tuntutan demontrasi dibungkam melalui istilah recolling partai
politik dan adanya keterlibatan militer yang sangat kuat dengan pendekatan keamanan
semakin menggelembungkan tuntutan aspirasi masyarakat tersebut.
Sekitartahun 1998, gelembung aspirasi masyarakattersebutmeledak denganramainya
bermunculan gerakan demontrasi oleh mahasiswa di berbagai daerah yang menuntut
untuk penggantian presiden dan tatanan politik orde baru" Tahun 1999 sampai seterusnya
merupakan simbol diubahnya sistem demokrasi Pancasila masa orde baru dengan istilah
sistem politik reformasi.
Kegagalan
Sepanjang sejarah di Indonesia sejak kemerdekaannya tahun 1945 sampai sekarang
mengalami kegagalan sistem politik sebanyak 2kali masa, yaitu masa orde lama dan masa
orde baru, dan mengalami perubahan sistem politik sebanyak 3 kali masa, yaitu masa orde
lama, masa orde baru dan masa orde reformasi.
Kegagalan sistem politik pada masa orde lama dan masa orde baru terjadi dikarenakan
ketidakseimbangan proses kekuasaan dalam lembaga legislatif, eksekutif dan lembaga
yudikatif, sehingga out put yang dihasilkan sebuah sistem politik tanpamengakar aspiratif
masyarakat, tanpa kendali dan tidak ada check and balance.
Pada masa orde lama yang dikarenakan kondisi yang masih awal kemerdekaan
yang menunjukkan ketidakstabilan dibeberapa daerah dan gonjang-ganjing parlemen saat
itu, menyebabkan presiden Soekarno melakukan pemusatan kekuasaan pada satu orang
(presiden), yang secara otomatis berimbas pada matinya kekuasaan pada lembaga legislatif
dan lembaga yudikatif.
Matinya atau tidak berfungsinya lembaga legislatif dan lembaga yudikatif menyebabkan kekuasaan presiden dan orang sekelilingnya menjadi tidak terkendali sehingga sepertinya politik kenegaraan akomodasi dari perasaan like and dislike seorang presiden.
Hal ini lama-kelamaan berdampak pada 2 sisi kehidupan politik kenegaraan, yaitu
satu sisi politik kenegaraan pada waktu itu hanya melambangkan kemegahan seorang
presiden dan Sisi lainnya kesejahteraan masyarakat yang tidak mengalami peningkatan dan
perekonomian negara yang dibawah standar.
Puncak kegagalan sistem politik masa orde lama ditunjukkan melalui adanya persaingan ideologis komunis dan Pancasila di antara elit-elit politik yang menguasai kelembagaan pemerintahan saat itu, yang merembes ke gerakan-gerakan pemuda dan mahasiswa.
94
Jurnal Charta Publika, Vol. I, Nonror 2. Januari-Juni 201t, htm.75-166
Sementara pada masa orde baru lebih dikarenakan kemampuan rekayasa politik rczim
yang berkuasa dalam memelintir hukum dan politik kenegaraan. Rekayasa politik tersebut
banyak terjadi pada proses pemilihan umum dan kelembagaan legislatif.
Pada proses pemilihan umum terlihat keberadaan birokrasi yang dijadikan mesin
politik mulai dari proses pemenangan sebuah partai politik sampai menjadi wasit yang
tidak adil dalam proses penyelenggaraan pemilu. Sementara di Lembaga legislatif (MPR
dan DPR) dijadikan wadah pengesah kebijakan eksekutif tanpa dapat melakukan fungsifungsi pengawasan dan hak interpelasi dll. Lembaga legislatif direkayasa sedemikian rupa
sehingga hanya menjadi sebuah lembaga yang mandul kekuasaan.
Puncak kegagalan sistem politik masa orde baru ditunjukkan melalui adanya persaingan ide-ide demokrasi di antara elit-elit politik yang menguasai kelembagaan pemerintahan dan kelembagaanpartai politik serta keiembagaan pendidikan (universitas) saat
itu, yang lama kelamaan merembes ke gerakan-gerakan mahasisu,a.
Apabila ke gagalan dua masa sistem politik ini dihubungkan dengan teori sistem politik
maka dapat disimpulkan keberlangsungan sebuah sistem poiitik sangat tergantung adanya
interaksi terbuka antara input, konversi, output dan umpan ba1ik. apabila mekanisme arus
interaksi politik ini tidak terjadi maka dapat diprediksi kelangsungan sistem politik tidak
bertahan lama.
Peristiwa-peristiwa berupa tuntutan dan dukungan )'ang mendorong ke arah pembangunan politik berasal dari lingkungan internasional. dan masr,arakat domestik, atau
dari elit-elit politik dalam sistem politik itu sendiri. Suaru slstem politik negara dapat
merasa terancam oleh negara bangsa yang menjadi saingannl'a. Dalam hal ini menghadapi
tantangan tersebut temyata dibutuhkan lebih banyak sumber da1'a dan caru-cara yang
lebih efektif dalam mengorganisir dan mengerahkan sumber-sumber dayanya - angkatan
bersenjata regular, misalnya, atau dinas pegawai yang bertu-qas memungut pajak. Mungkin
harus dilakukan adaftasi diri secara struktural, yaitu mengembangkan peranan-peranan
baru, bila ingin tetap hidup. Bila ancaman internasional berlanjut dalam masa yang panjang,
sistem itu harus mengadaptasi dirinya secara budaya, menanamkan sikap-sikap militan dan
mendapatkan keterampilan dan nilai-nilai yang berhubun-ean dengan perang (Almond &
Powel dalam Siregar, L999).
Konstruksi Masa Reformasi
Secara leterlec reformasi adalah perubahan secara bertahap atau gradual yang
ditekankan pada empat pondasi sistem politik (Andrian, 1992). Relevan dengan pengertian
ini, reformasi sering dimaknai sebagai perubahan-perubahan yang terbatas pada arena
sistem politik sehingga konsekuensinya reformasi merupakan perubahan yang bertahap.
Namun argumen lain dari para pemikir sering menggambarkan dengan istilah-istilah
reformasi yang ditujukan pada dua wilayah kekuasaan, yaitu rvilayah kekuasaan negara dan
wilayah kekuasaan masyarakat, atau dengan ungkapan lain reformasi di tingkat negara dan
reformasi di tingkat masyarakat.
Kerangka reformasi mendiskripsikan salah safu tekanan perubahan secara bertahap
yaitu pada tatanan atau struktur politik. Artinya struktur politik yang diciptakan cenderung
ke arah demokrasi (Oksenberg & Dickson, 1998).
Budi Suryadi, Perkembangon dan Kegagalan sistem politik di Indonesia
95
Masa reformasi ditandai dengan kejatuhan presiden orde
baru dan gejolak demontrasi
di masyarakat yang dimotori mahasiswa. Gejolak demontrasi ini sebagai
bentuk respon
dari ketidakpercayaan (detegitimet) padasistem politik pada
masa orde baru.
Segera setelah presiden mengundurkan diri, Mahkamah
Agung mengambil sumpah
kepresidenan Bacharuddin Yusuf Habibie, yang sudah
dipilih Soeharto sendiri menjadi
wakil presiden sejak bulan Maret dan sudah menjadi menteri dalam
kabinet orde baru
secara terus menerus selama dua dekade sebelumnya (Emmerson,
2001).
Solusi satu-satunya dari gejolak demontrasi ini adalah perlunya
dilakukan perubahan
melalui rekayasa ulang terhadap sistem politik yang ada, yang
diwujudkan melalui gagasan
penciptakan format politik kelembagan negar ayangbaru
dan format politik kemasy arakatan
yang baru melalui produk UU dibidang politik yang
baru.
Pemerintahan Presiden Habibie, dalam rnenghadapi tuntutan
kearah perubahan i,i,
tampaknya tak punya pilihan lain kecuali menempatkan reformasi
dalam segala bidang,
terutama bidang politik sebagai agenda. Agenda perubahan
bidang politik i1i mulai
dilakukan dengan rneninjau kembali semua pengaturan bidang perpolitikkan
yang dibuat
oleh pemerintahan orde baru. Dan yang paling mendesak
untuk diiakukan adalah 6engga,ti
sejumlah UU Politik, seperti UU tentang sistem pemilihan
umum, UU sistem kepartaian
dan uu tentang susunan dan kedudukan MpR/DpR (Gafar,
rggg).
Sebagai langkah awal, tahun 1999-2002 merupakan
tahun-tahun momentum
uuD 1945 sebagai dasar konstitusi negara, yang mengalami perubahan-perubahan bagi
dengan
istilah Amandemen sebanyak 4 kali. Amandemen
terhadap uuD 1945 dilakukan sebagi
syarat dasar perubahan kerangka bangunan sistem politik
Indonesia, yang akan mendorong
perubahan lainnya.
Amandemen ke IV UUD 1945 menunjukkan format
sistem politik sangat berbeda
dan prospek cerah bagi pengembangan kehidupan
politik dernokratis. kelembagaan negara
diformat hanva ke dalam T (tujuh) lembaga tingginegara,
yan1r.;;i;i;;J*ro (DpR +
DPD), Presiden, MA, MK, Ky dan BpK.
Artinya dengan format seperti di atas muncul pemisahan
kekuasaan (separation oJ.
power) yang jelas dan tidak ada lembag ayangmerasa
tertinggi dari lembaga lain, sehingga
diharapkan muncul check and balance intar
lembaga tinggi yang ada dalam penyelenggaraan
fungsi-fungsi kekuasaan negara.
Selain itu pada sistem politik di masa reformasi,
menunjukkan kemunculan lembagalembaga baru seperi DPD, MK dan KY. yang
ketiga lembaga ini pada sistem politik masa
sebelumnya (orde lama, orde baru) tidak pernah
ada. Kekuasaan-kekuasaan lemba ganegara
tidak difokuskan pada satu lembaga tertentu tetapi
dipisah dan dibagi habis dalam lembagalembaga negara yang ad,a.
Seiring dengan itu dilakukan perubahan pada
sektor politik masyarakat dengan
gagasan reproduksi ulang eksistensi partai-partai
politik yang ad.a di masyarakat. partaipartai politik di daftar ulang dan dibuka arus
kebebasan mendirikan partaipolitik. Selain
itu dibentuk mekanisme aturan main bagi parlai politik
dalam mendudukkan calonnya di
lembaga legislatif, dengan istilah pemilihan
,*u* yang bebas dan jurdil serta lembaga
penyelenggara pemilu yang independen.
96
Jurnal Charta Publika, Vol.
1, Nomor 2,
Januari-Juni
2011 ,
htm. 75-t 66
Pada masa reformasi kemunculan partai politik juga lebih banyak disponsori oleh
kebijakan-kebijakan negara,yang sebagai respon atas suara masyarakat,yangmenghendaki
penegakan nilai-nilai demokratisasi.
Sehingga kebebasan politik ini di manfaatkan masyarakat dengan beramai-ramai
mendirikan partai politik, alhasilnya kemunculan partai politik ibarat cendawan di musim
hujan merebak ke sana ke mari tak tentu arah. Pada tahun 1999 terdata di Defkeh jumlah
partar politik yang mendaftar dan sah untuk ikut pemilu 1999 sebanyak 141(seratus empat
puluh satu) partai politik.
Banyaknya jumlah partai politik ini sebenarnya bukti bahwa kebebasan berpolitik itu
sangat dimanfaatkan masyarakat. Namun dikarenakan seleksi administrasi secara faktual
cleh tim 11 yang dibentuk pemerintah menyebabkan jumlah partai politik yang resmi ikut
pemilu 1999 merosot tajam jumlahnya dari 141 (seratus empat puluh satu) partai politik
menjadi hanya 48 (empat puluh delapan) partai politik.
Seleksi faktual ini seperti eliminasi bagi partai politik yang tidak memenuhi syaratsyarat ketentuan pemilihan umum tahun 1999. misalnya ada saja partai politik yang tidak
memiliki kantor di cabang kabupaten atau double-nya KTP penduduk sebagai pengurus di
dunia partai politik, partai politik yang tidak memiliki kepengurusan di tingkat kabupaten, dll.
Pemilu tahun 1999 merupakan kemunculan partai politik baru dengan muka lama
pada masa reformasi, artinya sekitar 32 tahun baru pada saat ini negara Indonesia kembali
ke era multi partai politik, yang star awal jumlahnya sekitar 48 (empat puluh delapan)
partai politik.
Kemudian pada pemilu 2004 terjadi perubahan kembali pada tatanan kehidupan
politik, yang berupa keluarnya produk baru UU politik dan otomatis menggantikan UU
politik sebelumnya.
Undang-Undang politik baru ini memuat afuran lebih ketat mengenai syarat bagi
partai politik untuk ikut pada pemilihan umum tahun 2004. Syarat atau seleksi ini tercantum
pada pasal-pasal yang terdapat pada UU No. 31 tahun 2002 tentang partai politik dan UU
No. 12 tahun 2003 tentang pemilihan umum.
Pasal-pasal dalam tIU ini mengatur partai politik dengan istilah electoral threshold
(ambang batas) dan syarat-syarat perolehan jumlah kursi DPR, DPRD Propinsi dan DPRD
Kabupaten/Kota. Bagi partaipolitik yang tidak memenuhi syarat ini akan di eliminasi untuk
tidak ikut pemilu tahun 2004.
Alhasilnya dari jumlah partai politik semula hasil pemilu 2004 sebagai 48 (empat
puluh delapan) partai politik mengalami pengerucutan kembali menjadi hanya 24 (&ta
puluh empat) partai politik yang secara resmi dan sah untuk ikut pemilu pada tahun 2004.
Pemilu 2004 dengan jumlah peserta pemilunya sebanyak 24 (duapuluh empat) partai
politik merupakan reformasi partai politik babak ke2 pasca reformasi di negara Indonesia.
Pengurangan jumlah partai politik ini diakibatkan karena adanya suara-suara sumbang di
masyarakat mengenai partai politik.
Partai politik yang multi dianggap sebagai salah satu sebab ketidak fokusan
jalannya proses reformasi. Partai politik yang multi lebih banyak memperlihatkan bentuk
perilaku yang arogan. Partai-partai politik lebih banyak bekerja dan mempertentangkan
kepentingannya sehingga banyak mengabaikan kepentingan-kepentingan masyarakat.
Budi Suryadi, Perkembangan c{an Kegagalan Sistem Polilik di Indonesia
Dalam kurun waktu kurang lebih 4 tahun sistem politik refomasi berjalan, dengan 4
(empat) kali penggantian presiden memperlihatkan kondisi check and balance yangbegitu
kuat dari kelembagaan legislatif terhadap kekuasaan eksekutif.
Apabila check and balance yang begitu ki:at ini berlangsung lama tanpa adanya
keseimbangan peran lembaga negara lainnya, maka ada beberapa catatan kemungkinan
problem-problem besar yang dihadapi dan dapat meruntuhkan sistem politik reformasi,
sebagai berikut:
Pertama, problemjumlah partai yang banyak selama 2 kali pemilu cukup mengganggu
jalan program dan roda pemerintahan. Apalagi saat ini tidak ada partai yang mayoritas
di parlemen sehingga kecenderungan perilaku politik anggota DPR hanya lah melakukan
koalisi dan bargaining-bargaining vest interest yang kurang menunjukkan aspirasi rakyat
Indonesia. Koalisi dan bargaining yang terjadi mengarah pada pembentukan kabinet wakilwakil partai politik dengan istilah cabinet bersatu dll. Persoalannya kabinet persatuan partai
politik ini sangat rentan konflik yang mengganggu jalannya penyelenggaraan pmerintahan.
Sebagai contoh ketika ada tuntutan atau persinggungan antar partai politik yang tidak
terakomodasi maka berdampak pada gangguan dalam prograrui-program kabinet.
Kedua, problem sistem pemilu yaflg kecenderungan pengaturannya kearah
penguatan partai politik bukan calon wakil sehingga mendcrong peran partai politik yang
masih dominan dibandingkan calon-calon anggota legisiatifhya. Hal ini kurang kondusif
bagi para wakil rakyat yang ada di lembaga iegislatif untuk lebih interest pada aspirasi
masyarakat umum.
Ketiga, Problem presiden bukan dari parlai politik mayoritas di lembaga legislatif.
Di lembaga legislatif selama masa reformasi berkembang sernangat poiitik dagang sapi,
melalui koalisi (deal-deal politik) yang berdampak pada presiden yang terpilih bukan
karena memiliki partai politik mayoritas di lembaga legislatif tetapi memiliki mayoritas
koalisi partai politik. Sehingga yang tercipta model presiden yang dimiliki banyak patai
politik, yang otomatis selama menjabat presiden lebih sibuk melayani kepentingan partai
politik ini dibandingkan kepentingan rakyat.
Keempat, problem masih banyaknya partai politik yang dikelola secara tradisional
dibandingkan secara modern. Partai-partai politik setelah pemilihan umum tidak
menciptakan hubungan erat dengan pemilihnya. Parta-partai politik tida meniptakan system
administrasi dan pelayanan aspirasi masyarakat yang baik dan efektif. Partai-partai politik
lebih menyukai menikmati kekuasaan yang diperolehnya. Kondisi ini akan memperlemah
peran pafiai politik sebagai jembatani aspirasi masyarakat" Dalam hal ini Olle Torquis
dalam wawancara di media Banjarmasin Pos tahun 2007, menyebutnya dengan istilah
partai politik di Indonesia sangat jauh dari konstituannya.
Kelima, problem fungsi DPD yang semu atau lemah dalam lembaga legislatif
sehingga kurang mendorong pertumbuhan demokrasi di lembaga legislatif itu sendiri dan
tidak terperhatikannya masalah pada aras lokal. Walaupun DPD seringkali melakukan lintas
pertemuan di daerah-daerah namun termentahkan ketika di lembaga legislatif" Pengaturan
DPD yang seperti ini atau tidak ada penguatan keleinbagaan DPD dalam lembaga legislatif
cenderung menjadikan anggota legislatif yang berasal dari partai politik tanpa pesaing
98
Jurnal Charta Publika, Vol. l, Nomor 2, Januari-Juni
2Oitt,
hlm. 75-166
kompetisi sehingga gerak legislatif lebih pada perwujudan kepentingan individu dan
kelompok legislatif itu sendiri.
Keenam, problempendidikanpolitikrakyatyang masih belumtersebarluas. Pendidikan politik lebih banyak terjadi di wilayah-wilayah perkotaan dibandingkan diwilayah
pedesaan. Sehingga hal ini berdampak pada kecenderungan yang lambannya kemunculan
kontrol kuat dari masyarakat terhadap jalannya kekuasaan lembaga-lembaga negara.
KESIMPULAN
Perkembangan sistem politik Indonesia mengalami 3 (tiga) periodesasi masa, yaitu
masa orde lama, orde baru dan orde reformasi, Ketiga periodesasi masa ini saling berkaitan
antara satu masa dengan masa lainnya. Sistem politik rvaktu itu seperti mengalami
reinkarnasi sistem yang berbeda dengan simbolisasi y,ang hampir sama. Kelebihan dan
kekurangan yang terdapat dalam sistem poiitik orde lama di perbaiki dan disempurnakan
dalam sistem politik orde baru. Kemudian kelebihan dan kekurangan yang terdapat dalam
sistem politik orde baru diperbaiki dan disempurnakan dalam sistem politik orde reformasi.
Sementara kegagalan yang terdapat dalam sistem politik Indonesia sangat dipengaruhi
sistem dan pelembagaan politik yang masih prematur.
DAFTAR PUSTAI(\
Andrain, Charles F,1992. Perubahan Politik dan Perubahan Sosial, Penerjemah Lugman H,
Yogyakarta: Tiara Wacana.
Almond, Gabriel A dan Bingham G Powel, 1966. Contparotive Politics: A Developmental
Approach, Boston: Brown Comp Little.
Byrnes, Robert F, 1984. Change in the Soviet Political Stsrem Lirnit and Likelihoods,
Review of Politics, University of Notre Dame.
Easton, David, 1965. A Frameworkfor Politicsl Anoll'sis, Neri'
Emmerson, Donald
K
\brk:
& Sons Inc.
(ed.), 2001. Indonesia Beyond Soeharto Negara, Ekonomi,
John Wiley
Masyarakat, Transisi, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Gaffar, Affan, 1999. Politik Indonesia Transisi Menuju Demokrasi, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Macridis, Roy C and Bernard E Brown,7992. Perbandingan Politik, Alih Bahasa Henry S,
Jakarta: Erlangga.
Oksenberg, Michael dan Dickson, Bruce J, 1998. Kerangka Analisis Reformasi Politik,
Seri Publikasi Reformasi.
Siregar, Amir Effendi (ed.), 1999. Arus Pemikiran Ekonomi Politik Esai-Esai Terpilih,
Yogyakarta: Tiara Wacana.
Varma, S.P, 1995. Teori Politik Modern, Penyunting Tohir E, Jakarta: RajaGrafindo Persada.
Undang-Undang DasarAmandemen Ke 4, Penerbit Citra Umbara, Bandung,2002.
Undang-Undang Politik, Penerbit Fokusmedia, Bandung, 2003.
Download