BAB 4 HASIL PENELITIAN DAN BAHASAN 4.1 Hasil Penelitian 4.1

advertisement
BAB 4
HASIL PENELITIAN DAN BAHASAN
4.1 Hasil Penelitian
4.1.1 Studi Pendahuluan di Unit Perawatan Intensif
Jumlah penderita di unit perawatan intensif umum (GICU) lebih banyak dari unit
perawatan intensif lain (CICU, PICU) yaitu 132 penderita. Jumlah penderita yang
meninggal di unit perawatan intensif umum (GICU) juga lebih banyak yaitu 31
penderita. Data lebih rinci dapat dilihat pada Lampiran B, Tabel 4.1.
Diagnosa terbanyak di unit perawatan intensif umum adalah peritonitis diffusa
(8,15%) diikuti paska pengangkatan tumor (7,72%). Diagnosa terbanyak di unit
perawatan intensif jantung adalah penyakit jantung koroner dengan ST elevasi
miokardiak infark (27,83%) diikuti paska kateter (18,26%). Diagnosa terbanyak di
unit perawatan intensif anak adalah bronkopneumonia (18,92%) dan sindrom syok
Dengue (17,57%). Data lebih rinci dapat dilihat pada Lampiran B, Tabel 4.2, 4.3
dan 4.4.
4.1.2
Studi Kuantitatif Penderita di Unit Perawatan Intensif Umum
Data kuantitatif penderita meliputi data demografi penderita berdasarkan jenis
kelamin, kelompok usia, keadaan awal, keadaan akhir, lama perawatan, cara
pembayaran, data diagnosis utama maupun diagnosis tambahan penderita.
Jumlah penderita pria lebih banyak dari wanita yaitu sebesar 53,95%. Keadaan
awal penderita terbanyak adalah komposmentis (88,16%) diikuti somnolensi
(9,21%) kemudian sopor (2,63%). Keadaan akhir penderita terbanyak adalah
pindah (keluar) sebesar 92,1%, pulang paksa (3,95%) dan meninggal sebesar
3,95%. Kelompok usia penderita terbanyak adalah dewasa (14-64 tahun) sebesar
88,16% dan lansia (9,21%). Lama perawatan terbanyak adalah 1-7 hari sebesar
76,31% diikuti 8-14 hari (18,42%) kemudian 15-28 hari (5,27%). Data lebih rinci
dapat dilihat pada Lampiran C, Tabel 4.5.
Diagnosa utama penderita terbanyak adalah paska lupus sebesar 18,18%,
pengangkatan tumor kranial (14,77%), peritonitis diffusa (7,95%), paska
pembedahan thoraks dan perdarahan disebabkan varises esofagus (masing-masing
sebesar 4,54%). Data lebih rinci dapat dilihat pada Lampiran C, Tabel 4.6.
Diagnosa utama beserta jumlah diagnosa tambahan yang menyertainya terbanyak
adalah penyakit paru obstruksi kronis dan paska kelahiran caesar dengan 3
diagnosa tambahan. Sedangkan jumlah kasus terbanyak diagnosa utama beserta
diagnosa tambahan yang menyertai adalah paska lupus. Data lebih rinci dapat
dilihat pada Lampiran C, Tabel 4.7.
Diagnosa tambahan terbanyak penderita adalah sepsis (15,38%), tumor (7,69%)
serta gagal pernapasan, suspek perforasi gaster, dan post bypass biliodigestive
(masing-masing sebesar 5,77%). Data lebih rinci dapat dilihat pada Lampiran C,
Tabel 4.8.
4.1.3
Studi Kuantitatif Penggunaan Obat di Unit Perawatan Intensif Umum
Data kuantitatif penggunaan obat terdiri atas data penggolongan obat berdasarkan
golongan farmakologi dan terapi, data penggunaan obat generik dan non generik,
rute pemberian obat.
Berdasarkan golongan farmakologi dan terapi, obat terbanyak yang digunakan
adalah antiinfeksi (21,26%), elektrolit (17,01%), obat sistem saraf pusat (16,39%),
obat saluran cerna (14,94%), vitamin (7,78 %) serta obat sistem saraf otonom
(6,74%). Data lebih rinci dapat dilihat pada Lampiran D, Tabel 4.9.
Penggunaan obat generik lebih besar dibandingkan obat nongenerik yaitu sebesar
51,56%. Rute pemberian obat terbanyak adalah intravena (45,12%), oral
(41,80%), serrta intramuskular (15,14%). Data lebih rinci dapat dilihat pada
Lampiran D, Tabel 4.10.
4.1.4 Studi Kualitatif Penggunaan Obat di Unit Perawatan Intensif Umum
Data kualitatif penggunaan obat meliputi kasus interaksi farmakodinamik/
farmakokinetik; kasus duplikasi; kasus kombinasi antagonis; dan ketidaktepatan
dosis obat.
Interaksi penggunanan obat yang terjadi adalah interaksi farmakodinamik sebesar
0,20 % dan interaksi farmakokinetik sebesar 0,51%. Interaksi farmakodinamik
yaitu antara deksametason dan metilprednisolon dengan fenitoin sedangkan
interaksi farmakokinetik yang terjadi adalah antara salbutamol dengan
deksametason dan metilprednisolon. Data lebih rinci dapat dilihat pada Lampiran
E, Tabel 4.11.
4.2 Bahasan
4.2.1 Studi Pendahuluan di Unit Perawatan Intensif
Jumlah penderita dan jumlah penderita yang meninggal di unit perawatan intensif
umum yang lebih banyak dari unit perawatan intensif lainnya menjadi dasar
pertimbangan utama dalam pemilihan unit perawatan intensif umum (GICU)
sebagai unit perawatan yang akan diteliti lebih lanjut.
4.2.2 Studi Kuantitatif Penderita di Unit Perawatan Intensif Umum
Kondisi awal penderita saat memasuki unit perawatan intensif umum terbanyak
adalah keadaan komposmentis. Keadaan komposmentis adalah keadaan penderita
yang masih dapat berbicara dan mempunyai kesadaran penuh terhadap respon
yang diberikan. Keadaan somnolensi adalah keadaan penderita mendekati tidur
(seperti efek hipnotik). Keadaan sopor adalah keadaan tubuh penderita yang tidak
dapat
digerakkan
maupun
berbicara
normal
karena
adanya
hambatan
pengaktivasian kerja motorik di otak, atau dapat dikatakan keadaan tertidur
dengan siklus tidur-bangun (seperti pada kasus pingsan akibat hantaman benda di
kepala ataupun adanya cedera pada fungsi kognitif tubuh). Keadaan letargi adalah
keadaan tubuh penderita merasa kelelahan. Letargi dibagi menjadi dua yaitu
letargi sentral dan letargi perifer. Letargi sentral adalah keadaan penurunan respon
motorik sistem saraf sehingga otot tidak dapat melakukan kerja. Sedangkan letargi
perifer adalah keadaan tubuh tidak dapat mencukupi kebutuhan energi yang
dibutuhkan sehingga terjadi disfungsi kontraktil dan penurunan kinerja otot.
Keadaan koma adalah keadaan tidur yang dalam (keadaan tidak sadar), tidak
dapat dibangunkan, tidak berespon pada rasa sakit maupun cahaya (respon otak
menurun), tidak mempunyai siklus tidur-bangun seperti somnolensi, serta refleks
normal menurun. Keadaan koma biasanya selama rentang waktu beberapa hari
sampai beberapa minggu dan jarang sekali lebih dari 2-5 minggu. Setelah waktu
ini penderita dapat keluar dari koma atau berada dalam keadaan vegetatif
(keadaan hidup tanpa adanya aktivitas otak) bahkan kematian (Harrison,1994).
Kondisi penderita di unit perawatan intensif dipengaruhi oleh jenis penyakit
maupun metode penanganan pertama penderita yang telah dilakukan. Kondisi
komposmentis dapat disebabkan penderita sendiri merupakan penderita pindahan
dari ruang perawatan lain dengan kondisi yang diperkirakan akan memburuk
sehingga membutuhkan pemantauan lebih intensif atau penderita segera dibawa
ke unit perawatan intensif sehingga kondisi kesadaran masih dapat dipertahankan.
Kelompok usia penderita terbanyak yang memasuki unit perawatan intensif adalah
kelompok usia dewasa (14-64 tahun) disusul oleh lansia (di atas 65 tahun). Hal ini
menunjukkan bahwa usia dewasa rentan terkena penyakit kronis ataupun penyakit
infeksi parah. Hal ini disebabkan karena pola makanan yang tidak seimbang dan
tidak higienis, faktor aktivitas, stres, sanitasi yang buruk, dan pola hidup yang
merusak kesehatan seperti merokok dan meminum alkohol.
Keadaan akhir penderita terbanyak di unit perawatan intensif umum adalah keluar
(pindah). Penderita yang keluar/pindah menunjukkan bahwa penderita sudah
menunjukkan
tanda-tanda
penyembuhan/perbaikan
sehingga
tidak
lagi
memerlukan penanganan yang intensif dan dapat dipindahkan ke ruang perawatan
biasa (rawat inap) berdasarkan kriteria penderita yang boleh keluar dari unit
perawatan intensif. Kasus pulang paksa biasanya disebabkan kesulitan ekonomi,
maupun keinginan keluarga penderita untuk beralih ke metode pengobatan
alternatif. Akan tetapi hal ini masih tidak jelas karena tidak lengkapnya status
pekerjaan maupun pendidikan terakhir penderita pada catatan rekam medik.
Sedangkan pada kasus penderita yang meninggal di unit perawatan intensif umum
bisa saja karena adanya komplikasi penyakit atau penanganan awal yang
terlambat sehingga tidak dapat diselamatkan lagi oleh unit perawatan intensif.
Lama perawatan penderita terbanyak adalah 1-7 hari, hal ini bisa dipahami karena
unit perawatan intensif adalah unit yang memberikan pelayanan maksimum
dengan pemantauan secara intensif terhadap penderita yang mengalami kegagalan
akut dan tidak stabil maupun kegagalan multi sistem vital yang mengancam
kehidupan. Hal ini sesuai dengan pustaka yang menyebutkan perawatan di unit
perawatan intensif membutuhkan minimal sekitar 1-4 hari sampai tanda-tanda
vital penderita (denyut nadi, detak jantung, respirasi, tekanan darah) maupun
keadaan fisiologis lain memenuhi persyaratan kriteria penderita yang keluar dari
unit perawatan intensif untuk dipindahkan ke ruang perawatan biasa (McLeod,
1981).
Diagnosis penderita terbanyak di unit perawatan intensif umum adalah paska
penyakit lupus (LE). Penyakit ini adalah penyakit autoimun yang dikarakterisasi
dengan auto antibodi yang berperan dalam mediasi kerusakan jaringan, sendi,
kulit dan ginjal, sistem saraf pusat, dan organ lain. Penyakit ini lebih banyak
menyerang wanita karena pada hormon pria lebih banyak mempunyai efek
protektif. Gejala pada umumnya berupa atralgia/artritis, kelelahan, demam,
penurunan berat badan, anemia, nefritis, gejala pulmonari, trombosis, perdarahan,
leukopenia, trombositopenia, pneumonitis, takikardia, titik-titik pada wajah
biasanya berwarna merah dan berbentuk kupu-kupu. Pada kasus tertentu penyakit
ini dihubungkan dengan penyakit pada organ dalam tubuh seperti peritonitis
diffusa dan penyakit infeksi sekunder lainnya. Keluhan utama penderita adalah
rasa nyeri di perut, tidak bisa buang air besar (BAB), urin berwarna seperti teh.
Penanganan biasanya dilakukan dengan istirahat cukup, menghindari stimulan
yang memprovokasi penyakit ini seperti sinar ultraviolet, infeksi, stres,
menangani lebih lanjut penyakit yang menyertainya, perlu diwaspadai pemberian
obat yang mempunyai efek imunostimulan ataupun penggunaan kombinasi obat
yang berakibat pada stimulasi sistem imun secara berlebih. Pemberian terapi obat
dalam penyakit paska lupus ini adalah NSAID (hidrokuinolon) untuk gejala pada
otot dan sendi, kortikosteroid dosis tinggi (prednison/prednisolon 1 µg/kg/hari)
untuk adanya demam tinggi, trombositopenia, koma. Sedangkan penyakit lupus
ringan ditangani dengan kortikosteroid dosis rendah. Dosis kortikosteroid harus
tetap diperhatikan mengingat efek samping yang ditimbulkan, yakni retensi
cairan, kehilangan ion K+, alkalosis hipokalemik, gagal jantung kongestif,
esofagitis ulseratif, pankreatitis, gangguan saluran cerna, distensi abdomen dan
lainnya. Dosis kortikosteroid juga harus diturunkan secara bertahap apabila
diberikan dalam jangka panjang (Harrison, 1994; Martindale, 2005).
Pengangkatan tumor kranial adalah proses pengangkatan tumor (jaringan tubuh
yang terdiri dari pertumbuhan sel-sel abnormal) yang terdapat di dalam otak.
Terapi pengangkatan tumor kranial adalah pemberian elektrolit untuk mensuplai
kebutuhan nutrisi paska operasi sehingga homeostasis tubuh tetap terjaga, dan
analgesik untuk menghilangkan rasa nyeri di daerah bekas operasi. Antibakteri
terkadang diberikan untuk mencegah terjadinya infeksi bakteri akibat kontaminasi
saat pembedahan. Pemberian terapi ini sama untuk diagnosis paska pembedahan
toraks (Lange, 2005; Martindale, 2005).
Peritonitis adalah infeksi intraabdomen yang diperparah oleh abses intraperitoneal
dan abses hati dan pankreas. Peritonitis dibagi menjadi peritonitis primer dan
peritonitis sekunder. Peritonitis primer adalah infeksi yang disebabkan bakteri E.
coli, Enterobacteriaceae, dan Streptococci. Gejala pada umumnya adalah nyeri
abdominal, demam, asites dan sakit pada perut sebelah kanan atas yang
menunjukkan terjadinya pembesaran hati. Terapi pemberian obat untuk keadaan
ini adalah ampisilin, aminoglikosida dan sefalosporin generasi ketiga. Terapi
alternatifnya adalah penisilin, karbapenem atau kombinasi antara penisilin dan β-
laktamase inhibitor. Penggunaan metronidazol dapat dilakukan apabila ada infeksi
bakteri
anaerob.
Untuk
profilaksis
bisa
diberikan
florokuinolon
dan
kotrimoksazol. Peritonitis sekunder adalah perforasi saluran cerna akibat
apendisitis, diverkulitis dan kontaminasi pembedahan. Bakteri yang menginfeksi
umumnya adalah E. coli, Enterobacteriaceae, bakteri anaerob, Pseudomonas, dan
Enterococci. Gejala peritonitis sekunder adalah gejala lokal pada daerah yang
terinfeksi seperti nyeri epigastrik pada ulser gastrik akut. Terapi obat untuk
keadaan ini adalah pemberian aminoglikosida secara intravena, sefalosporin dan
metronidazol/klindamisin. Terapi alternatifnya adalah pemberian karbapenem,
sefepim, florokuinolon/aminoglikosida. Untuk kasus komplikasi peritonitis
(CAPD) bisa diberikan sefalosporin secara intraperitoneal dengan terapi alternatif
yaitu pemberian seftazolin/sefalotin ditambah aminoglikosida selama 14 sampai
21 hari (Harrison, 1994; Martindale, 2005).
Perdarahan varises esofagus adalah perdarahan yang disebabkan pembesaran
pembuluh darah di oesofagus mukosa akibat manifestasi hipertensi portal yang
mempengaruhi hati dan sistem sirkulasi tubuh. Gejala pada umumnya adalah
hematemesis dengan/tanpa melena, takikardi ringan sampai syok berdasarkan
hasil derajat hipovolemia dan jumlah darah yang hilang. Terapi pengobatan
dilakukan dengan pemberian vasopresin untuk mengontrol tekanan vena,
pemberian analog terlisperin (gliseril trinitrat) untuk mengurangi efek samping
vasopresin (iskemik miokardial dan mesenterik), serta pemberian somatostatin
dan oktreotida. Sedangkan terapi pengobatan jangka panjang dilakukan dengan
pemberian propanolol (β-bloker) untuk mengurangi perdarahan yang terjadi dan
kombinasi nadolol dengan isosorbid dinitrat untuk mencegah terjadinya
perdarahan ulang, serta pemberian vitamin K maupun asam traneksamat sebagai
terapi penunjang (Harrison,1994; Martindale, 2005; Singer, 1997).
Diagnosa utama dengan satu atau lebih diagnosa tambahan menunjukkan bahwa
penderita membutuhkan terapi yang berbeda antar penyakitnya sehingga
penggunaan obat harus diwaspadai agar tidak terjadi kesalahan/ketidaktepatan
penggunaan obat kepada penderita.
Diagnosis tambahan terbanyak di unit perawatan intensif adalah infeksi bakteri
(septikemia). Gejala pada umumnya adalah demam, menggigil, takikardia,
takipnea, hipotensi, mual, muntah, nausea, diare. Terapi pengobatan dilakukan
dengan pemberian penisilin, aminoglikosida serta metronidazol apabila terjadi
infeksi bakteri anaerob. Terapi alternatif adalah dengan penisilin, aminoglikosida,
sefalosporin
generasi
ketiga/keempat
(sefotaksim,
seftasidim)
dan/atau
meropenem (Harrison, 1994; Martindale, 2005).
Gagal pernapasan adalah keadaan tekanan arterial plasma dari O2 dan CO2 tidak
berada pada batas fisiologis normal. Penyakit ini disebabkan berbagai macam hal
seperti penggunaan obat agonis opiat, kecelakaan serebrovaskular, trauma,
tetanus, sindrom Guillain Barre, miastenia gravis, obstruksi saluran napas atas,
pneumonia, udem pulmonari, pneumothoraks, effusi pleura, gagal jantung, asma,
anafilaksis dan lainnya. Gagal pernapasan diklasifikasikan menjadi dua yakni
hipoksemia dan hiperkapnea. Hipoksemia adalah keadaan gagal pernapasan
karena tekanan parsial oksigen yang rendah. Sedangkan hiperkapnea adalah
keadaan gagal pernapasan karena tekanan parsial CO2 yang tinggi. Penanganan
dilakukan dengan pemberian oksigen dengan konsentrasi tinggi sekitar 40-60%
sampai saturasi O2 dalam rentang menuju normal (>80%) untuk meningkatkan
tekanan parsial O2 dan menurunkan tekanan parsial CO2 serta mengurangi resiko
respirasi asidosis. Terapi penunjang yang diberikan adalah bronkodilator,
antikolinergik, obat stimulan pernapasan (doksapram), antibiotik untuk mencegah
terjadinya infeksi sekunder dan antagonis opiat (Harrison, 1994; Singer, 1997).
Perforasi gaster adalah luka/lubang pada saluran cerna yang diakibatkan penyakit
ulser parah maupun akibat paska-pembedahan. Gejala pada umumnya adalah
nyeri epigastrik yang makin parah, nausea, muntah, konstipasi, demam, nyeri pada
abdomen, peritonitis, agitasi, peningkatan metabolik asidosis, tanda-tanda
hipovolemia/sepsis. Terapi pengobatan dilakukan dengan pemberian elektrolit
apabila terdapat abnormalitas cairan tubuh, penghentian penggunaan antikoagulan
maupun analgesik jika ada perdarahan, pemberian injeksi lokal adrenalin untuk
menghentikan pendarahan lebih lanjut, pemberian antiinfeksi (sefalosporin
generasi kedua/ketiga, kuinolon/karbapenem, dan metronidazol dengan/tanpa
aminoglikosida), pemberian antiulser secara intravena atau antasid untuk
mengatasi ulser dan inflamasi yang mungkin terjadi (Lange, 2005; Singer, 1997).
Biliodigestive bypass adalah pengalihan aliran makanan dari saluran cerna yang
mengalami lesi aterosklerotik oklusif dan mengakibatkan iskemik saluran cerna.
Penyebabnya adalah penyakit peptik ulser, refluks gastroesofageal, pankreatitis,
iritasi saluran cerna dan malignansi. Gejala pada umumnya adalah nyeri
epigastrik, sitofobia, penurunan berat badan, jumlah leukosit tinggi, hipotensi,
distensi abdominal, asidosis laktat. Terapi yang dilakukan adalah dengan
pemberian elektrolit secara intravena (Lange, 2005; Singer, 1997).
4.2.3 Studi Kuantitatif Penggunaan Obat di Unit Perawatan Intensif Umum
Obat terbanyak yang digunakan di unit perawatan intensif umum adalah
antiinfeksi. Antiinfeksi diberikan untuk mencegah terjadinya infeksi baik pada
penderita paska operasi/nonoperasi. Hal ini berhubungan dengan diagnosis utama
dan tambahan penderita terbanyak adalah paska lupus dan sepsis yang
menggunakan antiinfeksi sebagai terapi pengobatannya. Elektrolit, alkali dan
sediaan pengganti berfungsi menjaga homeostasis penderita yang dapat berubah
paska operasi. Kondisi penderita yang tidak sadar, dalam pengaruh obat bius dan
kondisi yang lemah perlu diseimbangkan dengan pemberian elektrolit. Analgesik
digunakan untuk menghilangkan rasa nyeri pada daerah bekas operasi. Obat
saluran cerna, terutama golongan antiulser dan supresan asam diberikan kepada
penderita paska operasi yang mengalami hipersekresi patologi, tukak lambung,
tukak duodenum, dan penggunaan terapi obat lain yang menyebabkan ulser seperti
aspirin. Sedangkan obat sistem saraf otonom, seperti obat simpatomimetik
digunakan untuk terapi penyakit jantung koroner, paska kelahiran serta paska
operasi untuk menormalkan tekanan darah penderita.
RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung adalah rumah sakit umum pemerintah yang
mempunyai kewajiban menggunakan obat generik sesuai peraturan Menteri
Kesehatan RI no 085/MenKes/Per/I/1985. Pemerintah juga menghimbau
penggunaan obat generik kepada penderita asuransi kesehatan miskin (Askeskin).
Penggunaan obat non generik yang cukup besar di unit perawatan intensif
disebabkan keadaan penderita yang kritis sehingga dokter cenderung memilih
produk orisinil (original poduct) obat yang mempunyai bioavailibilitas dan efek
terapetik yang lebih bagus. Disamping itu faktor penyebab lain adalah adanya
kerjasama antara industri farmasi dengan dokter untuk menggunakan obat nongenerik atau belum adanya bentuk generik obat. Penggunaan obat generik di
rumah sakit dimaksudkan agar dapat memberikan pelayanan kesehatan kepada
golongan penderita tidak mampu.
Rute pemberian obat terbanyak di unit perawatan intensif adalah rute intravena
karena penderita unit perawatan intensif berada dalam kondisi kritis yang
mengancam kehidupan sehingga terapi obat yang diberikan harus dapat
memunculkan efek segera dan hal ini dapat dicapai dengan pemberian obat secara
intravena (Urden, 1996). Pemberian obat secara oral (dengan/tanpa sonde)
menunjukkan jumlah yang cukup besar karena sebagian besar penderita masih
berada dalam kondisi sadar penuh (komposmentis).
4.2.4 Studi Kualitatif Penggunaan Obat di Unit Perawatan Intensif Umum
Hasil penelitian menunjukkan adanya interaksi farmakokinetik pada penggunaan
deksametason dan fenitoin; fenitoin dan metilprednisolon. Fenitoin (derivat
hidantoin, antikonvulsan) dapat menurunkan efek terapetik deksametason.
Fenitoin
sebagai
agen
induksi
enzim
hati
meningkatkan
metabolisme
kortikosteroid sehingga kortikosteroid dimetabolisme lebih cepat dari tubuh, yang
berakibat pada penurunan efek terapetik kortikosteroid. Hal sama berlaku antara
metilprednisolon dengan fenitoin karena metilprednisolon adalah golongan
kortikosteroid (Stockley, 1999).
Interaksi antara salbutamol (simpatomimetik/β-1 agonis adrenergik) sebagai
antiasma dan terapi Penyakit Paru Obstruksi Kronis dengan deksametason
(kortikosteroid) adalah meningkatnya resiko hipokalemia pada penderita karena
salbutamol mempunyai efek hipokalemia. Dengan pemberian kortikosteroid yang
merupakan obat deplesi K+ maka efek hipokalemia makin nyata. Efek ini akan
menyebabkan jantung tidak dapat bekerja dengan normal. Interaksi obat ini juga
berbahaya bagi penderita asma karena meningkatkan resiko aritmia jantung. Hal
sama berlaku pada pemberian salbutamol dan metilprednisolon karena metil
prednisolon merupakan golongan kortikosteroid (Stockley, 1999).
Interaksi obat dapat meningkatkan efek samping masing-masing obat dan
meningkatkan efek obat sehingga menyebabkan toksisitas. Selain itu kasus
interaksi obat dapat menghambat atau menurunkan kerja salah satu obat (Urden,
1996).
Download