Bab 2 - Widyatama Repository

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Retailing
Ritel merupakan salah satu bagian terpenting dalam mata rantai konsumsi,
karena ritel atau disebut juga usaha eceran adalah segala sesuatu yang
berhubungan dengan kegiatan penjualan barang dan atau jasa siap pakai kepada
konsumen akhir. Berikut ini merupakan beberapa definisi mengenai retailing yang
dijelaskan dalam beberapa sumber literature.
Menurut Berman dan Evans (1998: 3),
“Retailing consist of those business activities involved in the sale of goods
and services to consumers for their personal, family, or household use. It
is the final stage in the distribution process.”
Menurut Levy dan Weitz (2004: 6),
“Retailing is the set of business activities that adds value to the products
and services sold to consumers for their personal or family use.”
Menurut Guy (1998: 255),
“A retail outlet can be defined as a building from which retailing is
carried out. In order to exclude buildings concerned solely with mail order
sales, etc. a retail outlet should normally store retail goods which can be
sold to members of the public from the premises, without prior
appointment.”
Menurut Dunne dan Lusch (2008: 4)
“Retailing, as we use the term in this text, consist of the final activities and
steps needed to place a product made elsewhere into the hands of the
consumer or to provide services to the consumer.”
Menurut Tjiptono (2008: 191)
“Retailing merupakan semua kegiatan penjualan barang dan jasa secara
langsung kepada konsumen akhir untuk pemakaian pribadi dan rumah
tangga, bukan untuk keperluan bisnis.”
Dari beberapa definisi mengenai retailing tersebut, dapat disimpulkan
bahwa retailing adalah segala sesuatu yang mencakup kegiatan penjualan barang
dan atau jasa kepada konsumen akhir untuk penggunaan yang sifatnya pribadi,
keluarga, atau rumah tangga – bukan bisnis, tanpa ada perjanjian sebelumnya.
Dalam salurannya kepada konsumen, bisnis ritel (eceran) merupakan usaha
terpenting yang menghubungkan manufaktur dengan end user. Retailing
merupakan tahap akhir dari proses distribusi yang bukan hanya sekedar berupa
proses penjualan saja melainkan juga proses mengoptimalkan kepuasan dengan
memperoleh value dari pertukaran.
2.1.1
Fungsi Retailing
Keberadaan bisnis ritel selain berimplikasi terhadap perkembangan bisnis
lain sebenarnya juga menjalankan beberapa fungsi. Ritel memiliki fungsi-fungsi
penting yang dapat dipisahkan dari sisi konsumen maupun fungsi dari sisi
produsen. Fungsi yang dijalankan ritel dipandang dari sisi konsumen adalah dapat
meningkatkan nilai produk dan jasa yang mereka jual pada konsumen. Adapun
dari sisi produsen ritel menjalankan fungsi dalam memudahkan distribusi produkproduk tersebut bagi mereka yang memproduksinya. Menurut Levy dan Weitz
(2004), fungsi tersebut diantaranya adalah:
1. Menyediakan Berbagai Macam Produk dan Jasa (Providing Assortments)
Konsumen selalu mempunyai pilihan sendiri terhadap berbagai macam produk
dan jasa. Sebagai pelaku bisnis ritel berusaha menyediakan berbagai macam
kebutuhan konsumen yaitu beraneka ragam produk dan jasa. Misalnya adalah
Supermarket yang menyediakan produk-produk makanan, kesehatan, perawatan
kecantikan dan produk rumah tangga, sedangkan Department Store menyediakan
berbagia macam pakaian dan aksesoris.
2. Memecah (Breaking Bulk)
Memecah berarti memecah beberapa ukuran produk menjadi lebih kecil, yang
akhirnya menguntungkan produsen dan konsumen. Jika produsen memproduksi
barang dan jasa dalam jumlah besar, maka harga barang atau jasa tersebut menjadi
tinggi. Sedangkan konsumen juga membutuhkan barang atau jasa dengan tidak
dalam jumlah besar dan mereka menghendaki harga yang lebih rendah. Kemudian
ritel menawarkan produk-produk tersebut dalam jumlah kecil yang disesuaikan
dengan pola konsumsi para konsumen secara individual dan rumah tangga.
3. Mengadakan Inventory (Holding Inventory)
Ritel juda dapat berposisi sebagai perusahaan yang menyimpan stok atau
persediaan dengan ukuran lebih kecil. Dalam hal ini, pelanggan akan diuntungkan
karena akan terdapat jaminan ketersediaan barang atau jasa yang disimpan ritel.
Fungsi utama ritel adalah mempertahankan inventory yang sudah ada, sehingga
produk akan tersedia saat para konsumen menginginkannya. Jadi para konsumen
dapat mempertahankan inventaris kecil produk di rumah, karena mereka tahu ritel
akan menyediakan produk-produk tersebut pada waktu dan tempat yang tepat.
4. Memberikan Jasa atau Layanan (Providing Service)
Dengan adanya ritel, konsumen akan mendapat kemudahan dalam
mengkonsumsi produk-produk yang dihasilkan produsen. Selain itu, ritel juga
dapat mengantar produk hingga lokasi dimana konsumen berada. ritel pun
menyediakan jasa yang membuat mudah bagi konsumen membeli dan
menggunakan produk.
5. Meningkatkan Nilai Produk dan Jasa
Pelanggan akan membutuhkan ritel, karena tidak semua barang dijual dalam
keadaan lengkap. Pembelian salah satu barang pada ritel akan menambah nilai
barang tersebut karena mampu memenuhi kebutuhan konsumen.
Sedangkan menurut Lamba (2003:22) terdapat empat fungsi ritel, yaitu:
1. Deciding on an appropriate mix of product and services
2. Converting large quantities purchased into individual units
3. Holding inventory
4. Providing display and additional services
Dengan menjalankan fungsi-fungsi tersebut, peritel dapat berinteraksi
dengan konsumen akhir dengan memberikan nilai tambah bagi produk atau
barang dagangan dan memberikan layanan lainnya seperti pengantaran,
pemasangan, dan sebagainya.
2.1.2
Jenis-jenis Retailer
Secara garis besar di Indonesia, ritel terbagi menjadi dua jenis, yaitu ritel
tradisional dan ritel modern. Dalam Wikipedia dijelaskan pengertian mengenai
pasar tradisional, yaitu:
“pasar tradisional merupakan tempat bertemunya penjual dan pembeli
serta ditandai dengan adanya transaksi penjual pembeli secara langsung
dan biasanya ada proses tawar-menawar, bangunan biasanya terdiri dari
kios-kios atau gerai, los dan dasaran terbuka yang dibuka oleh penjual
maupun suatu pengelola pasar. Kebanyakan menjual kebutuhan sehari-hari
seperti bahan-bahan makanan berupa ikan, buah, sayur-sayuran, telur,
daging, kain, pakaian, barang elektronik, jasa dan lain-lain. Selain itu, ada
pula yang menjual kue-kue dan barang-barang lainnya. Pasar seperti ini
masih banyak ditemukan di Indonesia, dan umumnya terletak dekat
kawasan perumahan agar memudahkan pembeli untuk mencapai pasar.”
Untuk membedakan keduanya, CSR review online memberikan penjelasan
mengenai pengertian ritel tradisional dan ritel modern. Ritel tradisional adalah
ritel yang sederhana, tempatnya tidak begitu luas, barang yang dijual tidak begitu
banyak jenisnya, system manajemennya masih sederhana, tidak menawarkan
kenyamanan berbelanja dan masih ada proses tawar-menawar harga dengan
pedagang. Sedangkan ritel modern adalah sebaliknya, menawarkan tempat luas,
barang yang dijual banyak jenisnya, system manajemen terkelola dengan baik,
menawarkan kenyamanan berbelanja, harga sudah tetap (fixed) dan adanya sistem
swalayan. Sedangkan pengertian pasar modern yang dijelaskan dalam Wikipedia
yaitu:
“Pasar modern tidak banyak berbeda dari pasar tradisional, namun pasar
jenis ini penjual dan pembeli tidak bertransaksi secara langsung melainkan
pembeli melihat label harga yang tercantum dalam barang (barcode),
berada dalam bangunan dan pelayanannya dilakukan secara mandiri
(swalayan) atau dilayani oleh pramuniaga. Barang-barang yang dijual,
selain bahan makanan seperti : buah, sayuran, daging; sebagian besar
barang lainnya yang dijual adalah barang yang dapat bertahan lama.
Contoh dari pasar modern adalah pasar swalayan dan hypermarket,
supermarket, dan minimarket.”
Sedangkan menurut Kotler (2003: 216) terdapat jenis-jenis Ritel utama, yaitu
sebagai berikut:
1. Toko Barang Khusus (Specialty Store)
Lini produk yang sempit dengan keragaman yang dalam. Toko pakaian
adalah toko lini tunggal; toko pakaian pria adalah toko lini terbatas; dan
toko kemeja pesanan pria adalah toko yang sangat khusus.
Contoh: Athlete’s Foot, Tall man, The Limited, The Body Shop
2. Toko Serba Ada (Departement Store)
Beberapa lini produk, biasanya pakaian, perlengkapan rumah dan barang
kebutuhan keluarga dengan masing-masing lini yang ditempatkan sebagai
bagian tersendiri yang dikelola pembeli khusus atau pedagang khusus.
Contoh: Sears, JCPenney, Nordstrom, Bloomingdale’s
3. Pasar Swalayan (Supermarket)
Usaha yang relative besar, berbiaya rendah, bermarjin rendah, bervolume
tinggi, swalayan yang dirancang untuk melayani semua kebutuhan untuk
makanan, sarana mencuci, dan produk-produk keluarga.
Contoh: Kronger, Safeway, Jewel
4. Toko Kenyamanan (Convenience Store)
Toko yang relative kecil dan terletak dekat daerah pemukiman, menjual
lini terbatas produk-produk kenyamanan dengan tingkat perputaran yang
tinggi dan harga yang sedikit lebih tinggi.
5. Toko Diskon (Discount Store)
Barang dagangan standar yang dijual dengan harga yang lebih murah,
dengan marjin yang lebih rendah dan volume yang lebih tinggi.
6. Pengecer Potongan Harga (Off-Price Retailer)
Barang dagangan yang dibeli dibawah harga pedagang besar biasa dan
dijual di bawah harga eceran.
7. Gerai Pabrik (Factory Outlet)
Dimiliki dan dijalankan produsen dan biasanya menjual barang-barang
yang berlebihan, tidak diproduksi lagi, atau tidak biasa.
8. Pengecer potongan harga independen (Independent off-price retailer)
Dimiliki dan dijalankan pengusaha atau divisi perusahaan eceran yang
lebih besar.
9. Klub gudang atau klub pedagang besar (warehouse clubs atau wholesale
clubs)
Menjual pilihan terbatas jenis produk kebutuhan pokok, perlengkapan
rumah tangga, pakaian bermerek dan berbagai jenis barang lain dengan
diskon yang sangat besar bagi anggota-anggota yang membayar iuran
keanggotaan tahunan.
10. Toko Besar (Superstore)
Ruang penjualan sekitar 35.000 kaki persegi yang ditujukan untuk
memenuhi seluruh kebutuhan konsumen untuk jenis produk makanan dan
non-makanan yang dibeli rutin.
11. Toko Kombinasi (Combination stores)
Toko gabungan makanan dan obat yang memiliki ruang penjualan rata-rata
55.000 kaki persegi.
12. Hiperpasar (Hypermarkets)
Berkisar antara 80.000 hingga 220.000 kaki persegi dan menggabungkan
pasar swalayan, toko diskon, dan eceran gudang.
13. Ruang Pameran Katalog
Pilihan yang sangat banyak barang-barang berharga tinggi, mengalami
perputaran cepat, dan bermerek dengan harga diskon.
Masih menurut Kotler, retailer dapat diklasifikasikan kedalam tiga
kategori berikut ini, yaitu:
1. Pengecer Toko (Store Retailers)
Pengecer yang menggunakan suatu tempat khusus sebagai toko,
pengecer toko dibagi kedalam beberapa kategori yang sudah dibahas
pada paragraph sebelumnya.
2. Pengecer Tanpa Toko (Non-Store Retailers)
Pengecer yang tidak mempunyai tempat penjualan khusus, pengecer
tanpa toko dibagi ke dalam beberapa kategori, yang akan diringkas
pada table 2.1.
3. Organisasi Eceran (Corporate Retailers)
Organisasi tertentu yang bekerjasama dalam perdagangan eceran
dengan mengutamakan kepentingan para anggotanya. Organisasi
eceran dibagi menjadi kedalam beberapa kategori, sebagimana yang
diringkas pada table 2.2.
Table 2.1
Kategori Non-Toko Eceran
TIPE
DESKRIPSI
Penjualan langsung
Penjualan langsung disini tidak termasuk
(Direct Selling)
penjualan dari bisnis ke bisnis. Kegiatan ini
dimulai dari pedagang keliling dan terus
berkembang menjadi industry yang besar.
Penjualan ini dilakukan oleh para wiraniaga
langsung kepada pemakai akhir.
Pebjual satu-satu
Penjualan dilakukan oleh wiraniaga dengan
(One to One Selling)
cara mengunjungi tempat tinggal konsumen
satu per satu serta berusaha mendapatkan
pesanan pembelian.
Penjual satu ke banyak
Seorang wiraniaga akan dating ke rumah
(One to Party Selling)
seorang konsumen dan mengundang teman
atau tetangganya untuk melihat demonstrasi
produk.
Pemasaran Jaringan
Perusahaan memilih para usahawan untuk
(Network Marketing-MLM)
berperan sebagai distributor. Distributor lalu
akan memilih beberapa anggota baru sebagai
agen. Para agen kemudian akan memilih
beberapa orang lain lagi untuk menjual
produk perusahaan kepada para pembeli yang
potensial.
Pemasaran Langsung
Pemasaran langsung dimulai dari catalog dan
(Direct Marketing)
surat pos, bahkan sekarang telah berkembang
berbagai cara baru yang modern, seperti
pemasaran melalui telepon (Telemarketing),
pemasaran melalui TV (Home Shopping),
maupun
informasi
berbelanja
melalui
elektronik (infomercial).
Mesin Penjual Otomatis
Mesin penjual otomatis ini memiliki beberapa
(Automatic Vending)
keunggulan, seperti penjualan 24 jam sehari,
serta mudah ditemukan di banyak tempat
yang strategis.
Jasa Pembelian
Suatu pengecer tanpa toko yang melayani
(Buying Service)
konsumen khusus, seperti sekolahan, rumah
sakit,
ataupun
lembaga
pemerintahan.
Anggota organisasi tersebut dapat menjadi
anggota jasa pembelian dan mereka boleh
membeli berbagai produk dengan harga
diskon.
Sumber: Kotler, “Marketing Management”, 11th edition. 2003: 538
Table 2.2
Kategori Organisasi Eceran (Corporate Retailers)
TIPE
Jaringan toko koperasi
DESKRIPSI
Dua
atau
lebih
gerai
yang
dimiliki
dan
dikendalikan bersama, menerapkan pembelian dan
perdagangan terpusat, dan menjual lini barang
yang sama. Jaringan korporasi muncul dalam
semua tipe pengeceran, tetapi paling kuat dalam
department store, toko makanan, apotek, toko
sepatu, dan toko pakaian wanita.
Jaringan voluntir
Kelompok pengecer independen yang didukung
pedagang grosir dan terlibat dalam pembelian
dalam jumlah besar dan perdagangan bersama.
Koperasi pengecer
Kelompok pengecer independen yang membentuk
organisasi pembelian terpusat dan mengadakan
usaha promosi gabungan.
Organisasi waralaba
Asosiasi kontraktual antara pewaralaba (produsen,
pedagang
grosir,
atau
organisasi
jasa)
dan
terwaralaba (pebisnis independen yang membeli
hak untuk memiliki dan mengoperasikan satu unit
atau lebih dalam system waralaba). Organisasi
waralaba biasanya didasarkan pada beberapa
produk unik, jasa, atau metode pelaksanaan bisnis,
atau nama dagang atau hak paten, atau nama baik
yang dikembangkan pewaralaba.
Konglomerasi perdagangan
Korporasi bentuk bebas yang menggabungkan
beberapa lini eceran konglomerasi berbeda dan
dibentuk di bawah kepemilikan sentral, beserta
beberapa integrasi fungsi distribusi dan manajemen
mereka.
Sumber: Kotler dan Armstrong, “Prinsip-prinsip Pemasaran” 12th edition. 2008:85
2.2 Retail Mix
Pedagang eceran sekarang ini berusaha untuk menemukan strategi
pemasaran eceran yang baik dengan tujuan memaksimalkan dan meningkatkan
volume penjualan. Retailer berusaha untuk memperluas pangsa pasarnya dengan
cara menarik sebanyak mungkin pelanggan baru. Bisnis ritel pun memerlukan
kombinasi marketing mix yang tepat agar segmen pasar yang dituju dapat dilayani
dengan baik. Secara khusus, bisnis ritel memiliki bentuk marketing mix tersendiri
yang disebut juga dengan retail mix.
Menurut Levy dan Weitz (2004: 24),
“The retail mix is the combinations of factors retailers use to satisfy
customer needs and influence their purchase decisions. Elements in the
retail mix include the types of merchandise and services offered,
merchandise, pricing, advertising and promotional programs, store design
and merchandise display, assistance to customers provided by
salespeople, and convenience of the store’s locations.”
Sementara menurut Berman dan Evans (1998: 132),
“A retailer may be classified by its strategy mix. This mix is a firm’s
particular combination of these factors: store location, operating
procedures, goods/services offered, pricing tactics, store atmosphere and
customer services, and promotional methods.”
Menurut Kotler dan Armstrong (2008: 441), retailer strategy yaitu target
market dan retail store positioning memberikan pengaruh pada pengambilan
keputusan retail mix. Dimensi retail mix Kotler dan Armstrong adalah:
a. Product & service assortment, yang terdiri dari product assortment (width,
depth dan quality), services mix dan store’s atmospehere
b. Prices
c. Promotion, yang terdiri dan advertising, personal selling, sales promotion
dan public relation.
d. Place (location)
Menurut Dunne dan Lusch (2008: 52),
“The specific retail mix that the retailer intends to use to appeal to its
target market, and thereby meets its financial objectives. The retail mix, is
the combination of merchandise, price, advertising and promotion,
location, customer services and selling, and store layout design that the
retailer uses to satisfy the target market.”
Pengertian lain mengenai retail mix menurut Charles Dennis, Tino Fenech,
dan Bill Merrilles (2005: 179) adalah sebagai berikut “(E-)retail mix is a
shorthand term of the blend of tools and techniques that (e-)retailers use to
provide value for customers. It is a development of the well-know n marketing
mix, more specific to retail and e-retail.” Dalam jurnal tersebut dijelaskan lebih
lanjut mengenai komponen (e-)retail mix. Menurut Dennis, Fenech dan Merrilees,
komponen (e-)retail mix terdiri dari 7 macam komponen yang disebut juga dengan
“the 7 Cs”. Komponen tersebut ialah C1 untuk convenience, C2 untuk customer
value and benefit, C3 untuk cost to the customer, C4 untuk computing and
category management, C5 untuk customer franchise, C6 untuk customer care and
service, dan C7 untuk communication and customer relationships.
Dari beberapa pengertian mengenai retail mix dan dimensinya tersebut,
dapat ditarik kesimpulan bahwa retail mix adalah strategi yang terdiri dari
kombinasi beberapa elemen, yang digunakan oleh retailer dalam memenuhi
kebutuhan pelanggannya. Elemen-elemen retail mix yang akan digunakan dalam
penelitian ini sebagai dasar perbandingan antara ritel tradisional dengan ritel
modern dibagi menjadi 6 (enam) elemen, yaitu product assortment, price, place,
promotion, store atmospehere, dan service mix.
2.2.1
Product Assortment
Menjual barang dan jasa adalah tujuan utama dari setiap retailer. Oleh
karena itu, pemilihan produk menjadi keputusan yang sangat penting bagi retailer.
Retailer harus dapat membuat keputusan dalam menentukan berapa banyak jenis
maupun jumlah barang yang akan mereka jual. Keputusan mengenai product
assortment terdiri dari (Levy dan Weitz, 2004):
1. Variety adalah banyaknya jenis produk yang berbeda-beda dalam satu
toko
2. Assortment adalah banyaknya jumlah produk yang ditawarkan untuk
setiap jenis/kategori, dan
3. Product availability adalah ketersediaan produk yang dicari konsumen.
2.2.2
Store Atmosphere
Store atmosphere merupakan keadaan dan suasana toko yang dibentuk
untuk mencerminkan image suatu toko. Menurut Shari Waters dalam About.com
atmosphere adalah “the physical characteristics and surrounding influence of a
retail store that is used to create an image in order to attract customer.”
Menurut Bowen yang dikutip dalam Petra University Journal,
“atmosphere is more general term than store layout; it deals how managers
can manipulate the design of the building, the interior space, the layout of
the aisles, the texture of the walls, the scents, colors, shapes, and sounds
experienced by customer.”
Menurut Levy dan Weitz (2004: 609),
“atmosphere refers to the design of an environment via visual
communications, lighting, colors, music, and scent, to stimulate customers
perceptual and emotional response and ultimately to affect their purchase
behavior.”
Berdasarkan pendapat Sopiah dan Syihabudhin (2008: 149), suasanan toko suatu
ritel harus menciptakan gabungan unsur-unsur sebagai berikut:
1. Desain toko
2. Perencanaan toko
3. Komunikasi visual
4. Penyajian merchandise
2.2.3
Price Decision
Keputusan harga adalah keputusan yang dibuat retailer mengenai harga
produk yang dijual. Keputusan yang dibuat retailer mengenai harga akan
menentukan segmen konsumen yang akan dituju. Menurut Berman dan Evans
(1998: 132),
“pricing refers to a retailer’s comparative strategy: prestige pricing
(creating a quality image through high prices); competitive pricing
(setting prices at the level of rivals); or penetration pricing (underpricing
other retailers to attract value-conscius consumers).”
Menurut Levy dan Weitz (2004: 478), “the importance of pricing
decisions is growing because today’s customers are looking for good value when
they buy merchandise and services. Dalam penetapan harga terdapat beberapa
tujuan (Sopiah dan Syihabudhin, 2008), antara lain:
1. Pembentukan citra seperti sebagai market leader yang mampu menentukan
price leader.
2. Percepatan penjualan
3. Promosi
4. Perlindungan atas ancaman pesaing yang kerap memainkan harga,
meningkatkan daya saing melalui harga “miring” dan lain-lain.
2.2.4
Place Decision
Keputusan mengenai pemilihan lokasi/tempat untuk suatu ritel merupakan
keputusan yang penting karena pemilihan lokasi akan menentukan segmen
konsumen yang akan dilayani sekaligus akan menentukan kesuksesan suatu ritel.
Berman dan Evans (1998: 132) menyebutkan bahwa terdapat berbagai cara untuk
menjadi suatu power retailer, salah satunya adalah dengan menjadi toko yang
convenience-oriented untuk menarik konsumen yang menginginkan kemudahan
dalam berbelanja dengan cara menghadirkan toko di lokasi yang dekat dengan
pemukiman/strategis, dan dengan memberikan pelayanan 24 jam.
Menurut Berman dan Evans (1998: 132), “store location refers to the use
of a store or nonstore format, placement in a geographic area, and the kind of site
(such as a shopping center versus an pedestrian traffic, vehicular traffic, parking
facilities, transportation, store composition, specific site, terms of occupancy, dan
overall rating.”
Terdapat beberapa factor dalam mempertimbangkan pilihan letak atau
tempat ritel yang akan didirikan/dibuka menurut Ma’ruf (2006: 131), yaitu:
1. Lalu lintas pejalan kaki
Untuk mendapatkan informasi:

Jumlah pria dan jumlah wanita yang melintas (anak-anak usia
tertentu ke bawah tidak dihitung)

Jumlah orang yang melintas pada pagi, siang, sore, dan malam
atau menurut jam.

Proporsi potensi konsumen (persentase pembelanjaan dari total
orang yang melintas)

Proporsi orang yang berkunjung dari total yang melintas.
2. Lalu lintas kendaraan
Jalan yang lebar, mulus, dan tidak begitu macet akan menjadi potensi
yang baik bagi peritel. Sebaliknya, jalan yang selalu macet meski lebar
dan mulus akan mengurangi daya tarik suatu ritel yang berlokasi
disitu.
3. Fasilitas parkir
Untuk kota-kota besar, pertokoan atau pusat perbelanjaan yang
memiliki fasilitas parkit yang memadai dapat menjadi pillihan yang
lebih baik bagi peritel dibandingkan dengan pertokoan dan pusat
perbelanjaan yang fasilitas parkirnya tidak mencukupi.
4. Transportasi umum
Transportasi umum berupa bis dan angkot yang melintas di depan
suatu pasar perbelanjaan atau pertokoan akan member daya tarik yang
lebih tinggi karena banyak konsumen yang dengan mudah langsung
masuk ke area perbelanjaan atau pertokoan tersebut.
5. Komposisi toko
Komposisi toko yang saling melengkapi akan menjadi tujuan belanja
yang disebut one-stop shopping.
6. Letak berdirinya gerai
Letak berdirinya gerai sering kali dikaitkan dengan visibility
(keterlihatan), yaitu mudah terlihatnya toko dan plang namanya oleh
pejalan kaki dan pengendaran mobil untuk toko yang didirikan di aral
pertokoan.
7. Syarat dan ketentuan pemakaian ruang
Syarat dan ketentuan pemakaian ruang, baik berupa toko di pertokoan
ataupun gerai dalam pusat perbelanjaan, perlu dipelajari dan
dibandingkan sebelum diputuskan lokasi yang diambil.
8. Penilaian keseluruhan
Penilaian keseluruhan perlu dilakukan berdasarkan faktor-faktor di atas
dengan memilih alternative yang memiliki nilai terbaik.
2.2.5
Promotion Decision
Promotion decision dapat disusun oleh retailer untuk mencapai tujuan
jangka panjang seperti misalnya untuk menciptakan dan memperkuat store’s
image. Namun promotion decision dapat juga digunakan untuk mencapai tujuan
jangka pendek, misalnya untuk meningkatkan penjualan. Retailer berkomunikasi
dengan pelanggan melalui alat-alat promosi yang disebut dengan retail promotion
mix.
Menurut Berman dan Evans (1998: 586) “retatil promotion mix is any
communication by a retailer that informs, persuades, and/or reminds the target
market about any aspect of that firm.”
Levy dan Weitz (2004: 519) mengkalsifikasikan metode komunikasi
promosi menjadi:
1. Paid impersonal communication: advertising, promosi penjualan,
atmosfer gerai dan website.
2. Paid personal communication: personal selling
3. Unpaid impersonal communication: publicity pada surat kabar,
majalah, dan liputan televisi.
4. Unpaid personal communication: word-of-mouth
Kegiatan promosi yang dilaksanakan oleh perusahaan bertujuan untuk
menciptakan pembelian yang merupakan hasil akhir dari suatu proses
pengambilan keputusan yang dibuat oleh konsumen. Tjiptono (2008: 221)
menyebutkan bahwa tujuan utama dari promosi adalah menginformasikan,
mempengaruhi dan membujuk, serta mengingatkan pelanggan sasaran tentang
perusahaan dan bauran pemasaran.
2.2.6
Service Mix
Service mix merupakan keputusan retailer mengenai pelayanan apa saja
yang akan ditawarkan kepada konsumen. Keputusan service mix pada suatu ritel
dapat membedakan satu ritel dengan ritel lainnya. Menurut Kotler (2003: 542),
services mix suatu ritel terdiri dari tiga elemen, yaitu prepurchase service seperti
meneriman pesanan melalui telepon dan surat, advertising, window display dan
interior display, dan sebagainya; postpurchase services seperti pelayanan antar
barang, retur/pengembalian barang, dan pemasangan barang dan ancillary
services.
Sopiah dan Syihabudhin (2008: 150) berpendapat mengenai fasilitas toko
yang harus dimiliki oleh ritel, diantaranya adalah:
1. Jasa pengantaran
2. Cara pembayaran dengan credit card atau debit card
3. Fasilitas kenyamanan dan keamanan berupa tangga jalan dan tangga
darurat.
4. Fasilitas telepon
5. Jam operasional toko, jam buka yang panjang atau buka 24 jam
2.3 Persepsi Konsumen
Seseorang yang termotivasi oleh suatu hal akan melakukan suatu
perbuatan. Bagaimana seseorang termotivasi berbuat sesuatu dipengaruhi oleh
persepsinya terhadap situasi yang dihadapi. Menurut Kotler dan Armstong (2003:
197) “Perception is the process by which an individual selects, organized, and
interprets information inputs to create a meaningful picture of the world.”
Persepsi sangat penting bagi perusahaan dalam memasarkan produk/jasa
mereka, karena konsumen bertindak dan bersaksi berdasarkan atas persepsi
mereka, bukan pada kenyataan yang sebenarnya (Schiffman & Kanuk, 2004).
Persepsi seseorang akan mempengaruhi keputusan orang itu dalam membeli suatu
barang/jasa tertentu. Persepsi seseorang dipengaruhi oleh dua input: Physical
Stimuli dari lingkungan luar, harapan, motivasi, pembelajaran dari dalam orang itu
sendiri yang berasal dari pengalaman sebelumnya.
Setiap orang akan mempunyai persepsi yang berbeda terhadap situasi yang
sama disebabkan oleh perbedaan setiap orang dalam menerima sebuah objek
rangsangan melalui penginderaan, yakni arus informasi yang masuk melalui alat
indera kita: penglihatan, pendengaran, pembauan, perabaan dan perasaan.
Perbedaan persepsi terhadap objek rangsangan yang sama disebabkan oleh tiga
proses yang berkenaan dengan persepsi, yaitu:
1. Perhatian selektif (selective attention)
Penerimaan informasi secara terpilih terhadap sejumlah rangsangan dalam
kehidupan sehari-hari. Penerimaan informasi tersebut berarti bahwa para
pemasar perlu bekerja keras untuk memikat perhatian konsumen.
2. Perubahan makna secara selektif (selective distortion)
Perubajan makna secara selektif menggambarkan kecenderungan orang
untuk mengartikan informasi sesuai dengan pengertiannya sendiri. Dalam
hal ini orang lebih cenderung menafsirkan informasi menurut satu cara
yang akan mendukung konsepsi yang sebelumnya telah ada daripada
membantah konsepsi yang telah ada.
3. Mengingat kembali secara selektif (selective retention)
Pada umumnya orang akan melupakan sesuatu yang telah mereka pelajari
dan mereka cenderung mengingat kembali informasi yang mendukung
sikap dan kepercayannya hal ini disebut juga ingatan kembali yang bersifat
selektif.
Retail mix dikomunikasikan kepada konsumen, ditangkap oleh panca
indera, lau disimpan dalam memorinya. Jadi apabila konsumen ditanya mengenai
retail mix dari retailer, maka konsumen dapat menyampaikan pendapatnya
mengenai produk berdasarkan informasi yang pernah didapatnya. Menurut
Schiffman dan Kanuk (2004: 158), “for if one thinks about it, it’s not what
actually is so, but what consumers think is so, that affects their actions, their
buying habits, their leisure habits, and so fortg.” Artinya, setiap perilaku
konsumen baik itu perilaku berbelanja, perilaku bersenang-senang, dan perilaku
lainnya dipengaruhi oleh apa yang konsumen pikirkan, bukan berdasarkan
kenyataan. Jadi, dapat disimpulkan bahwa pemilihan tempat berbelanja dapat
dipengaruhi oleh persepsi.
2.4 Preference
Preferensi merupakan kesukaan konsumen, dalam arti bahwa seorang
konsumen lebih suka tempat berbelanja tertentu daripada tempat berbelanja
lainnya. Setiap pemasar mungkin menginginkan tanggapan kognitif (cognitive),
pengaruh (afektif), atau perilaku (behavior) dari konsumen yang dituju. Artinya,
pemasar ingin memasukkan sesuatu ke dalam pikiran konsumen, mengubah sikap
konsumen atau mendorong konsumen untuk melakukan suatu tindakan.
Menurut Kardes (1999: 105) preferensi konsumen selalu terlibat dalam
memperbandingkan antara produk-produk. Kadang perilaku seseorang terhadap
suatu produk dapat menjadi paling kuat, jika preferensi seseorang tersebut positif
terhadap suatu produk maka ia akan tetap memilih produk tersebut walaupun ada
produk baru yang mungkin memiliki atribut yang lebih daripada produk yang
dipilihnya dan terkadang preferensi didasarkan pada perbandingan akan atributatribut dari dua produk atau lebih. Preferensi yang terbentuk berdasarkan perilaku
keseluruhan konsumen terhadap dua produk atau lebih, dapat juga disebut
preferensi berdasarkan perilaku (attitude-based preference).
Model Hirearchy of Effect Model dibawah ini mengasumsikan bahwa
konsumen akan melewati tahap-tahap sebelum melakukan pembelian. Umumnya
konsumen melakukan beberapa hal yaitu menyadari, mengetehui, menyenangi,
memilih sampai pada suatu sikap yaitu berniat untuk membeli suatu produk.
Setiap konsumen yang akan melakukan pembelian sebuah produk akan melewati
enam tahap, berikut adalah gambar dari model hierarki pengaruh menurut Kotler
(2003: 568).
Gambar 2.1
Model of Hierarchy of Effects
Awareness
Knowledge
Liking
Preference
Conviction
Sumber: Kotler (2003), Marketing Management, 11th Edition, p.568
Model ini mengasumsikan bahwa konsumen melewati tahap kognitif,
pengaruh, dan perilaku. Komponen kognitif mengacu pada kesadaran konsumen
dan pengetahuannya terhadap objek atau fenomena. Kadang disebut komponen
keyakinan (belief component). Dari pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa
konsumen yang berniat membeli sebuah produk akan mengumpulkan informasiinformasi yang dibutuhkan.
Komponen afektif mengacu pada preferensi dan kesenangan konsumen
pada obyek atau fenomena. Pada umumnya komponen ini merupakan hasil
evaluasi informasi atau keadaan menjadi suatu perasaan positif atau negative.
Komponen afektif pada umumnya bersifat reaktif (Peter dan Olson: 1999). Selain
itu, mereka juga berpendapat bahwa komponen perilaku mengacu pada perilaku
pembelian yang berupa niat beli konsumen. Preferensi merupakan tahap dimana
konsumen sudah melakukan pemilihan terhadap obyek yang disenangi
dibandingkan yang lain yang pada akhirnya menimbulkan niat beli yang
merupakan tahap kecenderungan konsumen untuk bertindak sebelum keputusan
membeli dilaksanakan.
Terdapat pendapat lain mengenai preferensi menurut Kinnear dan Taylor
(1988: 305), yaitu preferensi dapat dikenali melalui indikator-indikator sebagai
berikut:
Purchase
a. Pencarian Informasi
Ketika konsumen merasa membutuhkan barang kebutuhan rumah
tangga, dia akan mencari dan mengumpulkan informasi dari berbagai
sumber mengenai kesadaran dan pengetahuan pasar tentang cirri-ciri
produk, iklan, penetapan harga, ketersediaan produk dan lain-lain, atau
dalam hal ini adalah retail mix yang dilakukan oleh perusahaan.
b. Menyenangi
Setelah konsumen mengumpulkan berbagai macam informasi,
menyadari dan akhirnya mengetahui terhadap bentuk-bentuk retail mix
yang dilakukan oleh perusahaan, selanjutnya timbul perasaan
suka/menyenangi atau sebaliknya terhadap bentuk-bentuk retail mix
yang dilakukan oleh perusahaan.
c. Preferensi atau Pemilihan
Konsumen membandingkan antara retail mix yang satu dengan retail
mix yang lainnya dan pada akhirnya memilih sebuah toko dengan
retail mix yang dianggap dapat memenuhi kebutuhannya akan produk
tersebut.
2.5 Hubungan retail mix dengan preferensi konsumen pada tempat
berbelanja barang kebutuhan rumah tangga di pasar tradisional dan
pasar modern
Preferensi adalah persepsi cara pandang pada pada sebuah objek.
Preferensi konsumen terhadap cara pandang tempat berbelanja tentunya memiliki
persepsi yang berbeda-beda ditinjau dari karakter atau kebiasaan konsumen.
Umumnya konsumen lebih memilih pada tempat atau pasar yang lengkap, aman
dan nyaman. Akan tetapi tidak sedikit pula konsumen yang lebih menyukai
berbelanja pada pasar-pasar tradisional yang tentunya memiliki suasana yang
berbeda dengan pasar modern.
Faktor infrastruktur sangat mempengaruhi konsumen untuk melakukan
pembelian. Menurut Henry Ma’ruf bahwa sarana yang memfasilitasi gerak dan
kerja
individu
berpengaruh
besar
pada
perkembangan
pasar
ritel.
(Ma’ruf,2006:59). Industri ritel berkembang karena format baru yang lebih
memikat konsumen, dengan memberi nilai tambah lain seperti hiburan dan
kenyamanan berbelanja.
Peluang lain yang muncul adalah mengubah format gerai tradisional
seperti toko dan warung menjadi gerai modern atau minimarket. Masyarakat yang
mempunyai daya beli meningkat tentu akan tumbuh kebutuhan dan/atau keinginan
yang tidak dapat dipenuhi oleh gerai tradisional (toko dan warung)
(Ma’ruf,2006:39).
Dari keterangan di atas terlihat bahwa preferesi konsumen sangat
berhubungan dengan pemilihan tempat berbelanja. Konsumen akan sangat
menentukan perkembangan pasar, baik pasar modern maupun pasar tradisional.
Download