Salah satu putusan penting dari Mahkamah Konstitusi (MK) yang

advertisement
Quo Vadis Sengketa Pemilukada?
Oleh: Pan Mohamad Faiz
Salah satu putusan penting dari Mahkamah Konstitusi (MK) yang diputuskan Senin (19/5)
lalu
tampaknya
kurang
memperoleh
perhatian
luas.
Konsentrasi publik masih terserap pada proses pencalonan pasangan presiden dan wakil
presiden. Padahal, Putusan MK tersebut sangat terkait erat dengan proses pemilihan
kepala daerah di seluruh Indonesia. Melalui Putusan Nomor 97/PUU-XI/2013, MK
menyatakan bahwa penanganan sengketa hasil pemilihan kepala daerah (pilkada) oleh
MK adalah inkonstitusional. Akibatnya, MK tidak berwenang lagi mengadili sengketa
pilkada.
Putusan
ini
tidak
diambil
secara
bulat.
Tiga hakim konstitusi menyampaikan pendapat berbeda (dissenting opinions) terhadap
pendapat keenam hakim lainnya. Salah satu klausul penting dalam putusan tersebut,
kewenangan untuk mengadili sengketa pilkada selama belum ada undang-undang yang
mengaturnya tetap berada di tangan MK. Alasannya agar tidak ada keragu-raguan,
ketidakpastian hukum, dan kevakuman lembaga yang menyelesaikan sengketa pilkada
(hlm.
62).
Putusan kondisional seperti ini memang belum lazim digunakan dalam sistem pengujian
konstitusional di Indonesia. Namun dalam praktiknya sering digunakan oleh MK Korea
dengan merujuk pada jenis putusan MK Jerman yang dikenal dengan
istilah
unvereinbar
(West
and
Yoon,
1992).
Inkonsistensi Penafsiran
Polemik pemindahan kewenangan MK dalam mengadili sengketa pilkada yang muncul
belakangan ini sebenarnya lebih banyak berada pada tataran praktis. Namun, dalam
putusannya, MK memang membatasi pertimbangannya pada alasan-alasan
konstitusional semata. Tak ada satu pun argumentasi teknis yang diambil sebagai
pendapat
MK
dalam
“mengamputasi”
kewenangannya
sendiri.
Namun dalam perspektif konstitusi, masih tersisa ruang perdebatan terhadap putusan
tersebut, khususnya ketika terjadi perbedaan penafsiran dalam isu konstitusional sejenis
yang pernah diputus sebelumnya. Pada Putusan Nomor 072- 073/PUU-II/2004 bertanggal
22 Maret 2005, mayoritas hakim konstitusi secara tidak langsung telah menafsirkan
bahwa penentuan pilkada sebagai bagian dari pemilihan umum merupakan kebijakan
terbuka
bagi
pembuat
undang-undang
(opened
legal
policy).
Oleh karena itu, MK dapat berwenang untuk mengadili sengketa pilkada berdasarkan
pilihan kebijakan yang diambil oleh pemerintah dan DPR. Bahkan, tiga hakim konstitusi
yang ikut memutus perkara tersebut secara terang-terangan dalam putusannya
menyatakan secara tegas bahwa pilkada merupakan bagian dari rezim pemilu yang
sengketanya dapat ditangani oleh MK. Pertanyaannya, dapatkah MK membuat putusan
yang berbeda penafsiran dengan perkara sejenis yang pernah diputus sebelumnya?
Donald Kommers dalam tulisannya, “German Constitutionalism: A Prolegomenon” (1991),
berpendapat bahwa putusan MK selain final juga memang mengikat bagi seluruh organ
negara dan pejabat publik, namun tidak mengikat MK itu sendiri secara absolut.
Keterikatan absolut MK terhadap penafsirannya sendiri memang berpotensi untuk
menghalangi terciptanya konstitusi yang hidup (the living constitution). Sama halnya
dengan Mahkamah Agung Amerika Serikat yang beberapa kali pernah menyimpangi
putusannya
yang
terdahulu.
Namun demikian, ketidakterikatan ini tetap memerlukan kerangka yang jelas agar tidak
terjadi gelombang penafsiran yang berbeda-beda setiap terjadinya pergantian generasi
hakim konstitusi. Dalam disertasinya berjudul “The Desirability of Consistency in
Constitutional Interpretation” (2011), Sithembiso Dzingwa menyimpulkan bahwa
penafsiran konstitusi hanya dapat berubah tatkala dalam putusan sebelumnya telah
nyata-nyata terbukti salah. Adanya perbedaan penafsiran konstitusi yang berubah-ubah
dalam jangka waktu yang relatif singkat tentu dapat menciptakan ketidakpastian dalam
sistem
ketatanegaraan
dan
pemenuhan
atas
jaminan
hak
dasar.
Mengutip pandangan mantan Hakim Konstitusi Mukthie Fadjar (2005), “MK seyogianya
memberikan pencerahan dalam membangun sistem ketatanegaraan dan sistem
demokrasi Indonesia yang berkelanjutan (sustainable democracy), bukan demokrasi yang
patah-patah,
‘mulur
mungkret’,
seperti
gelang
karet”.
Masa Depan Sengketa Pilkada
Terkait kewenangan menangani pilkada, pemerintah sebenarnya telah mengajukan
Rancangan Undang-Undang Pilkada kepada DPR dengan usulan penyelesaian sengketa
pemilihan gubernur kepada Mahkamah Agung (MA) dan sengketa pemilihan bupati/ wali
kota kepada Pengadilan Tinggi (Djohan, 2014). Artinya, mekanisme legislative review
sebagai konsekuensi dari opened legal policy berdasarkan putusan MK yang terdahulu,
telah
dan
sedang
dilakukan
oleh
pembentuk
undang-undang.
Oleh sebab itu, MK dapat saja menunggu hasil dari legislative review tersebut, tanpa perlu
mengeluarkan putusan yang hanya berdampak pada akselerasi pembahasannya.
Namun, kini putusan telah diketuk dan tinggal dijalankan. Karena implementasi
putusannya tidak diberi batas waktu tertentu, peralihan kewenangan tersebut pun tetap
saja masih harus menunggu selesainya undang-undang yang baru. Satu hal yang perlu
digarisbawahi, mengembalikan kewenangan mengadili sengketa pilkada ke MA dan
pengadilan
tinggi
bukanlah
satu-satunya
jalan
alternatif.
Apalagi di dalam putusan MK, pemerintah mengakui bahwa putusan sengketa pilkada
yang dihasilkan oleh pengadilan umum di banyak daerah telah mengakibatkan polemik
dan kontroversi, misalnya di Sulawesi Selatan, Maluku Utara, dan Depok (vide hal 44).
Belum lagi ditambah tingginya potensi terjadinya konflik horizontal antarpendukung
kandidat kepala daerah manakala sengketa pilkada harus diselesaikan di wilayahnya
masing-masing. Alternatif lain untuk penyelesaian sengketa pilkada, yaitu dengan
membentuk
pengadilan
khusus
pemilu
yang
terpisah.
Konsentrasi penanganan sengketa pilkada diharapkan akan menghasilkan putusan
dengan standar pertimbangan dan kualitas yang sama. Namun demikian, tetap tidak
mudah untuk membangun suatu lembaga baru, baik dari pemenuhan sumber daya
manusia, keuangan, manajemen, hingga keperluan bangunan fisiknya. Oleh karena itu,
ada juga yang pernah mengusulkan agar cukup dibentuk kamar khusus untuk menangani
sengketa
pilkada
yang
tetap
berada
di
bawah
Mahkamah
Agung.
Berangkat dari pengalaman selama ini, penyelesaian sengketa pilkada telah menjadi
tahapan yang sangat krusial dalam menjalankan sistem demokrasi konstitusional di
Indonesia. Setidaknya, wadah yang tepat akan menjadi sarana resolusi konflik dari
pergulatan di jalanan menuju ke dalam ruang persidangan (Mietzner, 2010). Proses trial
and error yang berkepanjangan dan berlarut-larut justru akan menghambat terciptanya
konsolidasi
demokrasi
di
Indonesia.
Oleh karena itu, pemerintah dan DPR perlu secara cermat dan hati-hati dalam
memutuskan sistem penyelesaian sengketa pilkada yang baru. Termasuk membuka
ruang yang seluas-luasnya untuk menerima dan mempertimbangkan segala masukan
yang disampaikan oleh unsur civil society, khususnya dari para penggiat pemilu dan
demokrasi.
Download