Paradigma Baru bagi Pengkajian Masalah Wanita dan

advertisement
Paradigma Baru bagi Pengkajian
Masalah Wanita dan Jender dalam Antropologi1
T.O. Ihromi
(Univeritas Indonesia)
Abstract
In this article the author argues for the need to develop and use a new paradigm in examining
the role of women. By considering the significant role women played in the recent economic crisis
in Indonesia which has been neglected by various parties, including scholars, the author prefers
strongly to use the paradigm ‘criticts’ in the studies about women. She explains further the difference between this paradigm and the ‘interpretive’ and positivism’ paradigms. The use of the new
paradigm would enable the researcher to examine the relevant issues, carry out a participative
approach, as well as change the disadvantaged situations and roles the women have.
Pendahuluan
Dalam penelitian-penelitian antropologi
umum, wanita tentunya juga menjadi fokus
kajian, namun, yang dipermasalahkan oleh para
pemerhati masalah-masalah wanita dan jender
adalah bagaimana penggambaran tentang wanita
itu, dan bagaimana interpretasi peneliti
mengenai peran wanita yang dikajinya.
Mengutip hasil-hasil pengkajian terhadap
wanita suku Aborigin Australia, Henrietta
Moore (1998) menilai bahwa para antropolog
pria menggambarkan wanita sebagai pencemar,
secara ekonomis tidak penting, sedangkan
antropolog wanita menggambarkannya sebagai
orang-orang yang memainkan peranan sentral
1
Tulisan ini merupakan hasil penulisan ulang dari makalah
yang disajikan dalam Sesi ‘Menjelang Abad ke-21: Teori
dan Metodologi’ dalam Seminar Jubileum ke-30 Jurnal
ANTROPOLOGI INDONESIA, ‘Memasuki Abad ke-21:
Antropologi Indonesia Menghadapi Krisis Budaya
Bangsa’, 6-8 Mei 1999, di Pusat Studi Jepang, Kampus
Universitas Indonesia, Depok.
50
dalam ekonomi subsisten (Moore 1998:9-10).
Penggambaran antropolog pria itu bersumber
pada ‘bias’ yang melatarbelakangi visi mereka
dan yang mewarnai analisis mereka. ‘Bias’ itu
adalah anggapan bahwa pria dalam masyarakat
yang dikaji memiliki informasi yang penting
dan bukanlah wanita. Bias yang lain melekat
pada masyarakat yang diteliti. Terdapat
anggapan yang umum bahwa wanita adalah
subordinat bagi pria, dan inilah yang langsung
diterima oleh peneliti pria. ‘Antropologi
Wanita’ muncul dalam rangka mengadakan
koreksi terhadap pendekatan yang bias pria itu.
Walaupun para penganutnya berjasa dalam
memperkaya karya-karya antropologi yang
mengoreksi pendekatan ‘bias’ pria, sumbangansumbangan yang berarti dalam bidang teori
barulah terjadi melalui antropologi feminis.
Salah satu unsur dalam metodologi feminis
adalah keberpihakan peneliti terhadap sasaran
penelitiannya. Penelitian Jutta Berninghaussen
ANTROPOLOGI INDONESIA 60, 1999
dan Birgit Kerstan (1992) di Jawa Tengah
merupakan contoh penelitian yang
menggunakan metodologi feminis. Penelitian
tersebut bertitik tolak dari sejumlah postulat
seperti: sikap yang secara sadar mengadakan
negasi terhadap netralitas, solidaritas kepada
wanita dan identifikasi parsial dengan para
wanita yang dikaji. Selain untuk mencapai
sesuatu, seseorang harus memanfaatkan hasilhasil kajiannya untuk membantu memecahkan
masalah-masalah yang dihadapi wanita. Peneliti
harus membantu mencapai perubahan dan perlu
berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan
emansipatoris.
Krisis ekonomi dan peranan ekonomi
wanita
Krisis ekonomi mulai melanda Indonesia
pada bulan Agustus 1997. Mula-mula krisis
ekonomi itu dipandang sebagai krisis keuangan
saja, akibat dari peristiwa-peristiwa di berbagai
negara Asia. Pendapat-pendapat optimis
mengemukakan bahwa krisis ekonomi tersebut
akan teratasi dalam waktu cepat berhubung
kondisi fundamental ekonomi Indonesia lebih
baik keadaannya dibandingkan dengan negara
lain. Namun, proses pemburukan yang terjadi
di segala bidang, menyadarkan bangsa
Indonesia bahwa krisis yang berlangsung
bersumber pada kegiatan-kegiatan ekonomi
yang tidak efisien, manajemen yang keliru (mismanagement) dan high-cost economy . Para
birokrat menjadi mitra dari para pengusaha
besar dan para pejabat pemerintahan cenderung
untuk mengambil kesempatan-kesempatan
menguntungkan diri sendiri, ketika warga
masyarakat memerlukan pelayanan. Praktekpraktek korupsi, kolusi, nepotisme merajalela
(Wilopo dan Adioetomo 1999:2). Jelaslah
bahwa kondisi ekonomi yang terus menerus
memburuk itu dan yang telah menimbulkan
pembengkakan dari jumlah penduduk miskin
di Indonesia bersumber pada krisis moral, krisis
ANTROPOLOGI INDONESIA 60, 1999
budaya.
Berbagai kajian dan pengamatan mengungkapkan bahwa wanita termasuk kategori
penduduk yang paling terkena oleh dampak
krisis ekonomi (Gardiner 1999:130). Namun,
wanita tidak dapat membiarkan diri
menganggur mengingat kebutuhan keluarga
yang harus dipenuhi. Karena itu, mereka
melakukan apa saja yang masih dapat
menghasilkan sesuatu untuk menutupi
keperluan anggota-anggota rumah tangga
(Gardiner 1999:133).
Peranan ekonomi dari wanita inilah yang
tidak diakui setepatnya dalam ilmu-ilmu sosial
yang mengkaji ekonomi rumah tangga. Karena
itu, perencanaan ekonomi, alokasi dana JPS
misalnya, tidak menyentuh ibu-ibu rumah
tangga yang dalam kenyataan begitu besar
peranannya dalam penyediaan bahan-bahan
pemenuhan kebutuhan vital keluarga, yang
memang sangat terlanda oleh krisis yang
multidimensional itu.
Penggunaan paradigma baru dalam
meneliti peranan ekonomi wanita, seperti yang
diadvokasikan oleh antropologi feminis akan
memungkinkan pengungkapan informasi, data
mengenai peranan wanita dan pengalamanpengalamannya. Dengan keberpihakan pada
masalah-masalah mereka, peneliti perlu
merumuskan upaya-upaya yang dapat
memecahkan masalah mereka.
Terabaikannya peranan produktif
wanita
Suami adalah kepala keluarga dan isteri
adalah ibu rumah tangga. Inilah salah satu
aturan dalam Undang-undang Perkawinan
(Pasal 31 (3)). Aturan lain yang masih hendak
saya kutip adalah: suami wajib melindungi
isterinya dan memberikan segala sesuatu
keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan
kemampuannya. Selanjutnya ada pula pasal 34
(1): Isteri wajib mengatur urusan rumah tangga
50
sebaik-baiknya.
Kutipan-kutipan tadi mengungkapkan
bahwa dalam hukum formal, struktur dalam
rumah tangga bersifat asimetris, yaitu bapaklah
yang menjadi pemimpin. Dia bergerak di luar
rumah tangga untuk mencari nafkah, sedangkan
isteri adalah ibu rumah tangga yang tugasnya
mengurus rumah tangga. Istri adalah orang yang
tempatnya di rumah, tidak dimaksudkan
bergerak di luar rumah. Pembagian kerja yang
berdasarkan jenis kelamin ini merupakan
gagasan budaya yang diabsahkan oleh hukum.
Dalam kenyataannya, wanita—terutama wanita
dari lapisan ekonomi paling bawah—’tidak bisa
bermewah diri dan berada di dalam rumah saja’.
Seorang istri akan selalu menggali berbagai
kesempatan, sehingga akan dapat menghasil-kan
sesuatu. Namun, pekerjaan-pekerjaan produktif
dari wanita itu dianggap sebagai bagian dari
pekerjaan rumah saja. Dalam penyusunan
statistik ekonomi, berbagai kegiatan wanita
yang bersifat produktif itu tidak dianggap perlu
dicakup dalam angka-angka yang
menggambarkan produktivitas dalam suatu
masyarakat. Pengingkaran terhadap peranan
ekonomi wanita tersebut tidak hanya terjadi di
Indonesia. Charlton, seperti yang dikutip dalam
Moore (1988:43), mengemukakan bahwa
setengah dari kaum wanita di seluruh dunia
hidup dan bertani di negara-negara sedang
berkembang, dan menghasilkan 40-80% dari
seluruh produksi hasil pertumbuhan ekonomi,
namun hal itu tidak diakui.
Gagasan-gagasan budaya tentang peranan
yang wajar dari wanita, tentang hubungan antara
pria dan wanita, atau apa yang dikembangkan
dalam kajian tentang wanita (women’s studies),
disebut hubungan jender. Konsep pembagian
kerja berdasarkan jenis kelamin, tidaklah
dipertanyakan oleh warga masyarakat pada
umumnya. Gagasan-gagasan itu menjadi
pengarah bagi tindakan-tindakan mereka,
misalnya dalam pendidikan anak perempuan.
52
Gagasan-gagasan itu memberi petunjukpetunjuk tentang gambaran ideal tentang apa
yang menjadi model kepribadian anak yang
ingin mereka ‘cetak’ dari para anak asuh. Pada
umumnya, para anak wanita akan terbentuk
menjadi makhluk-makhluk feminin, halus dsb.,
atau terjadi konstruksi sosial yang
menghasilkan wanita yang aspirasinya berbeda
dari pria. Secara statistik dapat pula diamati
salah satu akibatnya, yaitu tingkat pendidikan
wanita yang umumnya lebih rendah daripada
pria. Peran-peran seks juga terbentuk
berdasarkan gagasan-gagasan tersebut. Wanita
tahu dan menghayati secara penuh bahwa peran
reproduktif mereka adalah peran yang harus
diutamakan.
Ketika wanita menjadi isteri dalam rumah
tangga, tugas-tugas reproduktif, melahirkan,
memberi pelajaran kepada anak, merupakan
tanggung jawabnya. Tugas-tugas itu menyita
waktu dan perhatiannya secara penuh.
Kenyataannya, tugas mengurus rumah tangga
itu—terutama dalam rumah tangga miskin—
juga dibebani dengan tugas untuk menyediakan
kebutuhan-kebutuhan anggota keluarga.
Terlalu ‘mewah’ bila wanita tidak turut aktif
mengupayakan mencari ‘nafkah tambahan’.
Peran ganda inilah yang menyebabkan curahan
waktu isteri lebih panjang daripada curahan
waktu suami untuk pelaksanaan tugas-tugas
mereka.
Kajian Wanita: peduli isu-isu wanita
dan paradigma baru
Para wanita di dunia kampus menyadari
berbagai bentuk perlakuan yang menomorduakan mereka dibandingkan dengan laki-laki.
Tetapi, saat mereka ingin memperoleh
gambaran mengenai tempat mereka dalam dunia
yang nyata, berbagai perlakuan yang
diskriminatif, secara implisit maupun eksplisit
dalam masyarakat, serta memperoleh jawabanjawaban atas pertanyaan-pertanyaan tentang
ANTROPOLOGI INDONESIA 60, 1999
sumber dan perlakuan berbagai ketimpangan
tersebut, mereka menghadapi kenyataan bahwa
isu-isu tersebut tidak digubris dalam ilmu-ilmu
yang disajikan di perguruan tinggi. Terutama
bila mereka hendak mencari pemecahan
masalah-masalah tersebut, upaya demikian
dianggap tidak ilmiah.
Kepedulian pada masalah wanita ini,
diawali dengan adanya pertemuan-pertemuan
para peminat yang datang dari berbagai disiplin
ilmu, lalu terjalin komunikasi antarmereka.
Melalui komunikasi antar peminat di berbagai
kampus dan lembaga-lembaga penelitian,
muncul suatu pengkajian yang memusatkan
perhatiannya pada isu-isu wanita. Isu-isu
semacam itu dianggap tidak bermakna untuk
kajian ilmu sosial, termasuk antropologi
umum.
Para peminat masalah wanita menyadari
bahwa pengalaman-pengalamann wanita dan
hubungannya dengan fenomena lain, perlu
dikaji. Dengan demikian, upaya-upaya untuk
mengatasi permasalahan wanita dapat
dilakukan.
Berkaitan dengan tujuan-tujuan—yang
oleh para peminat kajian dianggap sangat
bermakna—maka dengan pendekatan kritis,
mereka mempertanyakan pendekatanpendekatan, yang dinilai bersifat baku dalam
berbagai disiplin, termasuk antropologi.
Penelitian Jutta Berninghausen seperti yang
telah dikemukakan sebelumnya—yang
memperhatikan negasi terhadap netralitas dan
solidaritas terhadap wanita—secara sengaja
diajukan sebagai alternatif terhadap penelitian
bidang lmu sosial umum yang secara baku
mensyaratkan pengambilan jarak oleh peneliti
dari apa yang hendak dikaji.
Keberpihakan pada yang dikaji dan
kepekaan terhadap masalah yang dialami
memungkinkan peneliti memahami akar
permasalahan yang hendak dipelajari.
Pengalaman wanita, dalam pendekatan yang
ANTROPOLOGI INDONESIA 60, 1999
berperspektif feminis, menjadi hal yang sangat
penting dan diakui sebagai sesuatu yang absah,
agar peneliti mampu merumuskan masalah
yang sangat perlu dikaji. Peneliti dituntut untuk
tidak berhenti pada tahap penyajian laporan,
tetapi juga melakukan pengkajian pencerahan
mengenai pemahaman isu-isu wanita. Hal itu
dapat mendorongnya untuk merumuskan
upaya-upaya untuk pemecahan masalah wanita.
Peneliti harus memberi sumbangan ke arah
pembebasan wanita dari masalah-masalahnya.
Pengalaman wanita itu sangat sentral
sifatnya, baik dalam seluruh proses pengkajian
yang berperspektif feminis, maupun pada tahap
pencarian upaya pemecahan. Karena itu,
paradigma feministik mengembangkan
pendekatan partisipatif yang menekankan bahwa
pada semua tahap penelitian, keturutsertaan orang yang dikaji hakiki sifatnya, sehingga peneliti
dan yang diteliti akan punya hubungan
kemitraan. Hal lain yang membuat kajian wanita
itu mampu memperoleh pemahaman tentang
masalah-masalah secara komprehensif adalah
kerjasama antar disiplin.
Dalam contoh yang dibahas, isu pekerjaan
wanitalah yang dikemukakan. Isu-isu lain yang
dalam waktu cukup lama tidak dianggap
bermakna di kalangan pemerhati ilmu sosial
umum, seperti hubungan jender yang ditandai
oleh kekuasaan pria; penyalahgunaan dari
kedudukan oleh suami sehingga menimbulkan
tindakan-tindakan kekerasan dalam keluarga;
pranata-pranata ekonomi dalam masyarakat
yang mengandung unsur kendala bagi
pengembangan peranan ekonomi dari wanita,
dapat terangkat menjadi topik kajian ilmiah.
Kita pun akan menyaksikan pengembangan
kepustakaan yang semakin kaya.
Tiga paradigma utama
Untuk memperoleh gambaran yang lebih
jelas mengenai perobahan paradigma yang telah
dikemukakan dalam butir tentang kajian wanita,
52
akan dijelaskan pemikiran-pemikiran yang
melatarbelakangi hal tersebut.
Mengikuti seorang ahli metodologi
penelitian bernama Sarantakos, saya hendak
memberi patokan mengenai sejumlah istilah
yang akan digunakan dalam uraian singkat ini,
yaitu paradigma, metodologi dan metode. Perlu
diingat bahwa penelitian ilmu sosial merupakan
suatu proses yang kompleks dan didasarkan
pada pandangan-pandangan teoritis yang sangat
beragam, atau dalam perkataan Sarantakos,
berlangsung sebagai proses yang pluralistik
(Sarantakos 1993:30). Karena itu, istilahistilah seperti paradigma juga diartikan berbeda
oleh berbagai penulis. Dalam tulisan ini akan
saya gunakan pendapat Sarantakos sebagai
patokan. Paradigma, menurut Sarantokos
(mengutip Patton 1990:37) adalah suatu
perangkat proposisi yang memberi penjelasan
mengenai bagaimanakah dunia dipersepsikan,
suatu cara bagaimana dunia yang kompleks itu
dipilah-pilah. Paradigma itu mengemukakan
kepada para peneliti dan ilmuwan sosial pada
umumnya, apakah yang penting, apakah yang
sahih (legitimate), dan apa yang ‘masuk akal’.
Suatu metodologi adalah suatu model yang
mencakup prinsip-prinsip teoritis dan kerangka
pemikiran yang memuat pedoman mengenai
bagaimana penelitian dilakukan dalam konteks
suatu paradigma. Dengan perkataan lain, suatu
metodologi menerjemah-kan suatu paradigma
dalam bahasa penelitian, dan menunjukkan
bagaimana keberadaan dunia nyata dapat
dijelaskan, bagaimana dunia dapat ditangani,
dapat didekati atau dipelajari. Metode adalah
instrumen yang digunakan oleh peneliti untuk
mengumpulkan
bukti-bukti
empirik
(Sarantakos 1993:30).
Menurut Sarantakos, walaupun tidak
terdapat kesepakatan antara para ilmuwan sosial
mengenai aliran-aliran pemikiran yang mana
yang dapat dianggap sebagai suatu paradigma,
(misalnya ada yang beranggapan bahwa
54
phenomenologi, Marxisme, feminisme
hermeneutika, feminisme adalah paradigma),
namun kebanyakan ilmuwan sosial sepakat
bahwa dewasa ini ada tiga paradigma utama
yang digunakan sebagai pedoman dalam teori
dan penelitian sosial (Sarantakos 1993:33).2
Ketiga paradigma itu adalah paradigma
positivistik, interpretif dan kritis.
Positivisme merupakan paradigma tertua
dalam ilmu sosial. Sampai sekarang pun
kebanyakan ilmuwan sosial masih mendasarkan
penelitiannya pada paradigma ini. Suatu hal
yang perlu diketahui adalah bagaimana
pandangan tentang kenyataan dalam paradigmaparadigma itu. Dalam pandangan positivistik,
realitas adalah semua hal yang dapat diamati
melalui indera. Kenyataan dianggap sebagai
sesuatu yang berada ‘di luar sana’ dan berada
di situ tanpa ditentukan, atau terlepas dari
kesadaran manusia. Kenyataan itu bersifat
objektif, keberadaannya bertumpu pada
keteraturan, dan dikuasai oleh hukum-hukum
yang alamiah, yang tidak dapat diubah, dan
dapat diwujudkan melalui pengalaman. Semua
anggota masyarakat mendefinisikan kenyataan
dalam pengertian-pengertian yang sama, karena
mereka semuanya menganut makna atau
pengertian-pengertian yang sama.
Persepsi tentang kenyataan paradigma
interpretif berbeda dari positivistik. Dalam
paradigma interpretif ini, kenyataan tidaklah
berada di ‘luar sana’, tetapi dalam pikiran
manusia. Kenyataan itu dialami secara internal,
dikonstruksi secara sosial melalui interaksi, dan
diinterpretasikan oleh para pelaku atau aktoraktor dan didasarkan pada definisi yang
diberikan pada hal tersebut. Realitas adalah
subyektif, bukan obyektif. Kenyataan adalah apa
yang dilihat orang sebagai realitas (Hughes
dalam Sarantakos 1993:53).
2
Ada yang beranggapan bahwa fenomenologi, marxisme,
feminisme hermeunetika dan feminisme adalah
paradigma.
ANTROPOLOGI INDONESIA 60, 1999
Dalam paradigma kritis, kenyataan
dipersepsikan secara berbeda. Kenyataan
bukanlah hasil kreasi alam, melainkan kreasi
manusia, yaitu oleh manusia yang berkuasa.
Mereka yang berkuasa itu memanipulasi orangorang lain, mengkondisikan mereka, ‘mencuciotak’ mereka, agar melihat hal-hal yang ada, dan
memberi interpretasi mengenai hal-hal itu
menurut kehendak mereka. Lebih jauh lagi,
kenyataan itu tidaklah berada dalam keteraturan,
tetapi berada dalam konflik, ketegangan dan
saling bertentangan, yang menghasilkan suatu
dunia yang secara terus-menerus berubah. Para
penganut paradigma ini juga membedakan
antara penampakan (appearance ) dan
kenyataan. Apa yang tampak bukanlah
kenyataan, karena yang sering terjadi, yang
tampak itu, tidak mencerminkan konflik,
ketegangan-ketegangan serta kontradiksikontradiksi yang nyata-nyata ada dalam
masyarakat. Dasar dari hal-hal yang tampak itu
adalah ilusi dan distorsi.
Selanjutnya, ketiga paradigma ini juga
mengandung persepsi yang berbeda mengenai
manusia. Untuk para penganut positivisme,
manusia adalah makhluk rasional dan manusia
dikuasai oleh hukum-hukum sosial. Perilaku
mereka dapat diketahui melalui pengamatan,
dan dikuasai oleh hukum eksternal yang
menghasilkan hal yang sama, artinya penyebab
yang sama menghasilkan konsekuensi yang
sama.
Dalam perspektif interpretif, manusia
mempunyai kedudukan yang sentral. Kenyataan
dan dunia sosial diciptakan oleh manusia
melalui sistem makna yang mereka berikan pada
kejadian-kejadian. Kebanyakan penganut
perspektif ini beranggapan bahwa tidak ada
hukum-hukum yang memiliki watak
membatasi. Namun, pola-pola dan keteraturanketeraturan timbul juga sebagai hasil dari
konvensi-konvensi sosial yang terjadi melalui
interaksi. Termasuk tugas dari ilmu sosial yang
ANTROPOLOGI INDONESIA 60, 1999
interpretif untuk menemukan sistem-sistem
makna yang digunakan oleh para pelaku untuk
memperoleh makna dari dunia mereka
(Sarantakos 1993:35). Dalam pandangan
paradigma kritis, manusia mempunyai potensi
untuk bersifat kreatif dan menyesuaikan diri.
Namun, mereka dibatasi dan ditindas oleh
faktor-faktor sosial dan kondisi-kondisi sosial,
dan oleh sesamanya yang meyakinkan mereka
bahwa nasibnya adalah tepat dan dapat diterima.
Kepercayaan terhadap ilusi demikian
menghasilkan kesadaran yang palsu dan menjadi
kendala bagi perwujudan sepenuhnya dari
potensi-potensi mereka (Sarantakos 1993:36).
Bagaimanakah ilmu pengetahuan
dipersepsikan dalam tiga paradigma ini? Dalam
perspektif positivistik, ilmu pengetahuan
didasarkan pada aturan-aturan dan prosedurprosedur yang ketat, dan sangat berbeda dari
spekulasi dan akal sehat (common sense).
Sebenarnya, ilmu tidak cocok untuk
mempelajari kenyataan sosial, karena kenyataan
itu mengandung bias, tidak sistematis dan
secara logis tidak konsisten. Sifat yang kedua
dari ilmu pengetahuan adalah deduktif, yaitu
bertolak dari hal yang umum abstrak, lalu
beranjak ke yang spesifik dan konkrit. Sifatnya
yang ketiga, nomotetis, didasarkan pada
hukum-hukum universal yang kausal yang
digunakan untuk menjelaskan kejadiankejadian sosial yang konkrit, dan hubunganhubungan sosial. Sifat yang keempat,
mengandalkan pengetahuan yang diperoleh
melalui indra, sumber-sumber lain yang tidak
dapat diandalkan. Sifat yang terakhir adalah
bahwa ilmu pengetahuan memisahkan fakta dari
nilai. Ilmu pengetahuan bersifat bebas-nilai.
Dalam paradigma interpretif, ilmu pengetahuan
dipersepsikan secara sangat berbeda. Pertamatama dikemukakan bahwa bias dari penjelasan
mengenai kehidupan sosial dan kejadian sosial
bukanlah ilmu pengetahuan menurut versi
positivistik, melainkan akal sehat (common
54
sense), karena di dalamnya terdapat maknamakna yang digunakan manusia untuk memberi
arti bagi kehidupannya. Kedua, pendekatannya
adalah induktif, yaitu beranjak dari yang
spesifik ke yang umum, dan dari yang konkrit
ke yang abstrak. Ilmu disebut bersifat ideografis
dan bukan nomotetis. Ilmu pengetahuan itu
menyajikan kenyataan secara simbolik dalam
bentuk deskriptif. Pengetahuan tidaklah hanya
dihasilkan berdasarkan apa yang diamati
melalui indra. Memahami makna dan memberi
interpretasi mengenai hal yang diamati dianggap
lebih penting. Terakhir disebutkan bahwa ilmu
pengetahuan tidaklah bebas-nilai. Sifat netral
nilai menurut perspektif ini tidak diperlukan
dan juga tidak mungkin terwujud.
Pandangan mengenai ilmu pengetahuan
dalam pendekatan kritis berada di antara posisi
positivisme dan perspektif interpretif. Menurut
para penganutnya, para aktor dihadapkan pada
kondisi sosial-ekonomi yang memberi bentuk
tertentu pada kehidupan mereka. Namun, para
aktor itu mampu juga untuk memberi makna
tertentu pada dunia mereka, dan sebagai
respons bertindak untuk mengubah kehidupannya. Manusia dilihat sebagai aktor yang dapat
menciptakan tujuan hidupnya, misalnya melalui
perjuangan melawan ilusi, serta strukturstruktur yang mengungkungnya. Ilmu
pengetahuan pun tidaklah bebas-nilai. Ilmu
pengetahuan yang kritis adalah ilmu yang
melibatkan diri, artinya mengambil peranan
secara aktif, baik penelitinya, maupun pakar
teorinya. Para peneliti tidak meneliti kenyataan,
tetapi juga bertindak sebagai respons terhadap
kenyataan (Sarantakos 1993:36-37). Sesuai
dengan sifat-sifat ketiga paradigma tersebut,
apakah tujuan dari penelitian sosial dalam
ketiganya?
Di kalangan para pengikut positivisme,
penelitian sosial bersifat instrumental.
Penelitian sosial adalah alat untuk mengkaji
peristiwa-peristiwa sosial, dan mengkaji
56
hubungan antara peristiwa-peristiwa.
Berdasarkan pengertian mengenai hubunganhubungan tersebut, dapat ditemukan hukumhukum umum dan penjelasan-penjelasan. Halhal itu didokumen-tasikan. Pengetahuan
tentang
peristiwa-peristiwa
sosial
memungkinkan dibuatnya prediksi mengenai
kejadian di masa datang. Dalam pandangan
interpretif, penelitian sosial tidak memiliki nilai
instrumental langsung. Melalui penelitian, orang terbantu dalam upayanya untuk memberi
interpretasi mengenai alasan-alasan para aktor
sosial untuk bertindak, memahami alasanalasan mereka untuk bertindak, memahami
bagaimana mereka mengonstruksikan
kehidupannya dan makna yang mereka berikan
terhadapnya, serta untuk memahami konteks
sosial dari tindakan sosial. Yang dipentingkan
di sini bukanlah tindakan-tindakan sosial yang
teramati, melainkan makna subyektif mengenai
tindakan-tindakan sosial tersebut. Penelitian
sosial dalam paradigma kritis harus
memungkinkan peneliti untuk menjadi mampu
‘menangkap’ apakah yang ada pada akar
masalah, dan mengungkapkan hubunganhubungan yang sebenarnya ada; untuk
membongkar mitos-mitos dan ilusi; untuk
menunjukkan kepada khalayak bagaimanakah
dunia itu seharusnya; bagaimanakah dapat
mewujudkan tujuan-tujuan sosial atau secara
umum, bagaimana dapat mengubah dunia ini.
Sarantakos mengutip kalimat-kalimat
seorang pakar bernama Fay, sebagai berikut:
‘Ilmu sosial yang kritis menjelaskan sifat dari
tatanan sosial, sehingga akan menjadi
katalisator yang mengarahkan kepada
transformasi tatanan sosial tersebut (Fay
1987:27 dalam Sarantakos 1993:37).’
Sampai tahun 1960 ilmu sosial masih
didominasi oleh paradigma positivistik dan
malahan sebenarnya secara umum, penelitipeneliti sosial masih berpegang teguh pada
dalil-dalil positivistik tersebut. Namun, selama
ANTROPOLOGI INDONESIA 60, 1999
lebih dari seperempat abad telah timbul
tantangan-tantangan terhadap dominasi dari
pemikiran positivistik yang diterapkan secara
ketat terhadap fenomena sosial. Timbullah
periode pasca empirik (Nielsen 1990:7).
Tantangan utama datang dari kalangan pemikir
yang ditandai oleh tradisi hermeneutik atau
interpretif dan para pemikir aliran kritis. Yang
paling ditantang adalah tuntutan terhadap
peneliti untuk bersikap netral, serta sifat
objektif dari dunia kenyataan.
Kalau kita membaca buku-buku tentang
metodologi penelitian sosial, akan terlihat
bahwa dalam pendekatan positivistik atau
naturalistik sangat ditekankan bahwa peneliti
harus menjauhkan diri dari sikap-sikap
keberpihakan pada para anggota masyarakat
yang kehidupannya dikaji. Satu asumsi yang
mendasar adalah pemisahan di antara peneliti
yang subyektif dari realitas yang obyektif.
Peneliti yang subyektif tidak diperkenan-kan
untuk mencemari kebenaran yang obyektif
(Nielsen 1990:4).
Peneliti feminis: memilih pendekatan
kritis
Kalau kita pelajari latar belakang dari
timbulnya gerakan feminisme, maka dapat
disimpulkan bahwa pemikiran inti dari para
penganut feminisme adalah pengakuan bahwa
wanita mengalami ketidakadilan sosial karena
mereka wanita. Wanita mengalami berbagai
bentuk perlakuan diskriminatif di semua bidang
kehidupan. Para feminis berketetapan hati
untuk mengupayakan agar ketimpanganketimpangan tersebut berakhir, dan terhapuskan. Penelitian sosial yang bertitik tolak dari
paradigma positivistik tidak akan dapat
memuaskan mereka, bila mereka mengharapkan
bantuan dalam mengungkapkan informasi
tentang masalah-masalah yang dihadapi oleh
wanita. Terutama bila diharapkan analisis yang
dapat mengungkapkan sebab-sebab ketidak-
ANTROPOLOGI INDONESIA 60, 1999
adilan itu, serta bagaimana menemukan upaya
pemecahan agar dapat menghasilkan keadilan
jender. Peneliti positivistik melukiskan hasil
pengamatannya, peneliti feminis berpihak pada
wanita yang didiskriminasi. Peneliti feminis
menggabungkan diri pada aliran yang
menantang paradigma positivistik yang telah
berkuasa sekian lama, dan yang masih berkuasa
itu.
Dalam memandang realitas atau kenyataan,
misalnya, kaum feminis bersama kubu kritis
mengritik pandangan bahwa realitas memiliki
struktur yang obyektif. Mereka beranggapan
bahwa hal-hal yang tampak, dalam banyak hal,
tidak mencerminkan apa yang sebenarnya ada,
yaitu ketegangan-ketegangan dan konflik.
Melalui kajian yang dilakukan, hendak diekspos
atau diungkapkan keadaan yang sebenarnya.
Mitos-mitos dan ilusi harus dimunculkan ke
permukaan. Dalam pandangan mereka,
kenyataan didominasi oleh pandanganpandangan pria dan oleh kepentingan pria.
Kepentingan-kepentingan itu bertentangan
dengan kepentingan wanita (Sarantakos
1992:35).
Jika manusia dalam paradigma positivistik
dipersepsikan sebagai orang yang digerakkan
oleh hukum-hukum sosial, dan tidak memiliki
kemauan bebas, para peneliti feminis mengikuti
kubu kritis dalam pandangannya, yaitu bahwa
manusia mempunyai potensi untuk memiliki
kreativitas. Ciri-ciri dari penelitian dengan
perspektif feminis itu akan dijelaskan dengan
mengacu pada penelitian seperti yang telah
dilakukan oleh Jutta Berninghausen dengan
Birgit Kerstan. Pemilihan topik kajian mereka
saja telah menunjukkan keberpihakannya pada
wanita. Mereka bertitik tolak dari kenyataan
yang telah diamati, yaitu bahwa wanita di daerah
pedesaan Jawa sejak masa-masa lalu bekerja
giat untuk menyumbangkan penghasilannya
pada ekonomi rumah tangga. Namun, yang
menjadi pertanyaan mereka adalah: apakah
56
dengan adanya sumbangan ekonomi tersebut
dari kaum wanita, secara otomatis
meningkatkan kedudukan sosial mereka?
Apakah wanita tersebut mempunyai kekuasaan
dalam rumah tangga mereka, dan bagaimana
pula kedudukan mereka dalam komunitas
setempat? Topik kajian ini tidak akan
mendorong peneliti untuk pergi jauh ke daerah
yang asing baginya, bila dia mempunyai sikap
yang netral terhadap hubungan pria wanita.
Dalam penjelasan mengenai postulat sentral
yang mereka terapkan, kedua peneliti
mengemukakan bahwa dengan sadar mereka
mengabaikan sikap netral. Mereka bertitik tolak
dari sikap solider dengan wanita yang dikaji.
Semua wanita, menurut mereka, termasuk
suatu kategori politik yang terpengaruh oleh
struktur patriarkhis. Selanjutnya mereka
mengatakan, hal itu tidak berarti bahwa peneliti
selalu harus menyetujui hal-hal yang menjadi
sikap dan pendirian dari wanita yang dikajinya,
atau bahwa peneliti memiliki hubunganhubungan pribadi dengan mereka. Pada
umumnya, kondisi hidup dan bentuk-bentuk
persepsi antara peneliti dan yang dikaji berbeda,
sehingga hal-hal demikian tidak tercapai.
Lebih jauh peneliti juga mengemukakan
bahwa sikap tidak netral yang dilakukan secara
sadar itu bukan saja didasarkan pada
tergolongnya mereka dalam kategori jender
yang sama-sama ditindas, serta fakta bahwa
struktur-struktur secara jender bersifat
diskriminatif yang menimbulkan akibat pada
mereka sebagai wanita, melainkan dapat
difahami pula sebagai ‘kesadaran kelas’
berbasiskan jender.
Lebih lanjut kedua peneliti menjelaskan
bahwa dalam Kajian Wanita yang seyogianya
dilakukan adalah mengungkapkan dan
menjelaskan
struktur-struktur
yang
mendominasi, sehingga dapat mengakhiri
diskriminasi yang sistematik terhadap wanita.
Karena itu, tidak terelakkan bahwa kajian
58
wanita, oleh wanita, untuk wanita atau
penelitian feminis akan memiliki corak politik
dan berpihak pada wanita.
Penelitian yang dibicarakan ini berlangsung
di Gentuk suatu daerah permukiman dekat
Klaten, dengan penduduk yang terdiri dari 60
keluarga. Suatu LSM, yaitu LP3ES mempunyai
program-program pengembangan wanita di
situ, tempat para wanita dibimbing menjadi
peserta dalam kelompok-kelompok wanita yang
melakukan kegiatan simpan-pinjam. Para
wanita itu juga dibantu, sehingga kegiatankegiatan produktivitas mereka berkembang.
Jelaslah bahwa yang dikaji adalah masalah
wanita. Dalam penyusunan desain penelitian,
pedoman-pedoman yang telah berkembang
dalam paradigma positivistik juga tidak
‘mengikat mereka’. Peneliti memilih untuk
menggunakan pendekatan studi kasus. Di
samping itu, mereka juga menggunakan
berbagai metode penelitian yang semuanya
diperhitungkan sebagai metode atau teknik
untuk memungkinkan dipahaminya perempuan
dan permasalahannya (Sadli dan Porter 1999:45).
Suatu hal yang rupanya sangat membantu
para peneliti dalam membina rapport dengan
penduduk setempat adalah identifikasi oleh
penduduk pada kedua peneliti sebagai ‘Mama
Max’ dan ‘Mama Lola’. Mereka juga dikenal
sebagai para wanita yang ingin menceriterakan
kehidupan wanita Jawa di Gentuk pada para
wanita Jerman.
Terdapat suatu postulat yang oleh para
peneliti ini dianggap harus direvisi, yaitu yang
berkaitan dengan postulat yang telah
berkembang di kalangan para peneliti Feminis:
‘Untuk mencapai sesuatu, seseorang harus
mengubah keadaan, harus berpartisipasi aktif
dalam kegiatan-kegiatan emansipatoris’.
Menurut para peneliti, dalam penelitian di
mana peneliti juga mengadakan kajian terhadap
masyarakat dan kebudayaannya sendiri, hal
ANTROPOLOGI INDONESIA 60, 1999
semacam itu acapkali dilakukan, karena adanya
perbedaan-perbedaan di antara para peneliti dan
mereka yang dikaji. Perbedaan-perbedaan itu
dapat berupa perbedaan dalam identitas dan
dalam minat, sehingga sukar untuk menyepakati
kegiatan-kegiatan bersama. Dalam situasi yang
dihadapi oleh kedua peneliti, keadaannya lebih
sulit lagi. Peneliti takut bila usul mereka untuk
mengadakan perubahan yang didasarkan pada
anggapan-anggapan mereka yang didasarkan
pada nilai-nilai yang mereka anut, akan
mengarah pada hubungan subordinatif, diterima
dan ditelan saja oleh wanita setempat tanpa
memikirkannya. Ketika para peneliti
membicarakan dengan para pembina LP3ES dan
para pemimpin wanita setempat bahwa sangat
baik untuk mengadakan penyadaran melalui
diskusi terbuka tentang hal-hal yang terjadi,
seperti perlakuan-perlakuan suami yang
menyeleweng dalam bidang seksual, dan
bertitik tolak dari contoh-contoh konkrit
demikian menjadikan para wanita lebih sadar
tentang struktur sosial yang patriarkhis itu
(wanita menerima saja bila memperoleh
perlakuan-perlakuan seperti itu), maka para
pemimpin wanita tidak menyetujuinya.
Membicarakan hal-hal yang demikian secara
terbuka di muka umum, tidak sesuai dengan
nilai-nilai dalam kebudayaan Jawa. Mengingat
bahwa mereka yang mengalami ketidakadilan
dari struktur patriarkhis demikian tidak
mempertanyakan kondisi-kondisi yang menurut
peneliti harus dikecam, tidak mendorong kedua
peneliti untuk menyampaikan lagi kritikankritikan peneliti secara terbuka, serta saran-saran untuk mengadakan perubahan.
Beberapa penemuan dari Jutta
Berninghausen dan Brigit Kerstan dapat
disimak sebagai berikut :
Wanita menyumbang secara sangat bermakna
pada penghasilan keluarga. Di samping
melaksanakan semua tugas-tugasnya sebagai
ibu rumah tangga, para wanita di Gentuk ratarata menghasilkan 42 % dari pendapatan rumah
ANTROPOLOGI INDONESIA 60, 1999
tangga, dan para pria (suami) menghasilkan ratarata 58%. (Berninghausen dan Kerstan
1992:103). Para peneliti mengadakan kalkulasi,
kira-kira berapa prosentase para wanita di
Gentuk yang akan mampu menghidupi
keluarganya sendiri, andai kata suami tidak lagi
menyerahkan penghasilannya. Menurut
mereka, hal itu signifikan secara analitis dan
praktis. Banyak sekali terjadi bahwa bila suami
menceraikan isteri, yang terpaksa harus
menghidupi anak-anak dan dirinya adalah isteri.
Dengan menemukan angka ini, maka akan
diketahui bagaimana posisi ekonomi dari wanita
bila dibandingkan dengan suami mereka.
Ternyata lebih dari sepertiga wanita di Gentuk,
dengan perhitungan konsumsi beras untuk
seorang dalam setahun 240 kg, dapat
menghidupi sendiri keluarganya yang
beranggotakan 5 orang. Jumlah pria (suami)
yang mampu menghidupi sendiri keluarganya
andai itu memang terjadi, sedikit lebih banyak,
yaitu hampir 50%. Peranan wanita dalam
menyediakan keperluan-keperluan dari keluarga
ini adalah suatu fakta yang tidak dapat diingkari.
Khusus untuk keluarga lapisan bawah, tidak ada
yang menyangkal peranan wanita tersebut .
Wanita juga memperoleh tugas untuk
mengatur keuangan keluarga. Penghasilannya
sendiri serta penghasilan dari para anggota
keluarga lainnya tercakup dalam pengaturan
wanita (istri). Namun, tidak terpikirkan oleh para
wanita tersebut untuk menggunakan keuangan
keluarga demi memuaskan kesenangannya
sendiri. Norma bahwa seorang wanita
mempunyai tugas untuk mengurus keluarga dan
menyediakan keperluan-keperluan keluarga,
begitu mengakar dalam diri mereka, sehingga
mereka menganggap bahwa sudah
semestinyalah mereka mengumpulkan harta
untuk keperluan anak-anaknya. Karena itu,
biaya-biaya untuk keperluan-keperluan keluarga
akan diprioritaskan bila dihadapkan dengan
kebutuhan-kebutuhan mereka sendiri. Para pria
diberikan kesempatan yang lebih banyak untuk
menikmati kesenangan-kesenangan sendiri dan
menghabiskan waktu untuk memuaskan
keinginan-keinginannya sendiri dibandingkan
dengan wanita. Karena itu, tidaklah
mengherankan jika para pria atau suami
menghabiskan lebih banyak uang untuk
keperluan-keperluannya sendiri dibandingkan
dengan isteri-isteri mereka.
Banyak wanita yang dikaji di Gentuk
mengeluh bahwa suami mereka menghamburkan harta keluarga untuk kesenangankesenangan pribadinya, padahal untuk menutupi
kebutuhan paling dasar pun, penghasilan
keluarga hampir tidak mencukupi. Para wanita
58
itu beranggapan bahwa hal itu merupakan
ungkapan dari watak pria. Mereka tidak
menyenanginya, tetapi menurut mereka watak
itu tidak dapat diubah. Untuk membatasi
kegemaran-kegemaran suami hingga ukuranukuran yang masih dapat diterima, mereka
mengupayakan pola komunikasi yang
diplomatis dengan suami, dan melakukan
administrasi yang baik terhadap penghasilan
keluarga.
Demikianlah suatu contoh dari penelitian
yang dilakukan dengan sengaja dan dirancang
dengan keberpihakan pada wanita. Melalui
penelitian dengan perspektif demikian, maka
masalah-masalah wanita dapat terungkap dan
akan dapat dipahami, sehingga kemudian dapat
dicari
upaya-upaya
pemecahannya.
Pengalaman-pengalaman wanita merupakan hal
yang sangat penting. Pada penelitian
berperspektif positivistik, pengalamanpengalaman semacam itu tidak dimunculkan
sebagai topik yang wajar untuk diteliti. Akan
terlihat bagaimana struktur masyarakat yang
patriarkhis mendiskriminasi wanita, dan—
melalui proses sosialisasi—para wanita
menerima saja peran-peran yang sebenarnya
diskriminatif tersebut.
Pendekatan dengan perspektif feminis
menempatkan manusia wanita sebagai pemeran
keluarga, pemeran ekonomi yang penting, dan
—bila sumbangannya dapat dimaksimalkan —
akibat krisis dapat dipecahkan, mulai pada
tingkat mikro untuk kemudian beranjak ke
tingkat makro. Hak azasi wanita diperhatikan
dan dihargai. Karena wanita menyangkut lebih
dari 50 % jumlah rakyat Indonesia. Bila 50 %
penduduk mengalami diskriminasi, tentu hal itu
berdampak negatif bagi terwujudnya
ketentraman dalam masyarakat.
Ilmuwan yang berpihak pada manusia, yang
tidak melepaskan tanggung jawab ilmiahnya—
setelah mendeskripsikan hal-hal yang dikaji,
menganalisis merumuskan kesimpulannya,
serta terus turut memperjuang-kan agar terdapat
upaya-upaya pemecahan masalah—akan besar
sumbangsihnya dalam upaya pemecahan krisis
ekonomi dan kondisi budaya bangsa.
Penutup
Krisis ekonomi yang dialami bangsa
Indonesia telah secara nyata berdampak sangat
buruk terhadap ekonomi rumah tangga,
terutama ekonomi rumah tangga orang kecil.
Dalam kenyataan, peranan ibu rumah tangga
dalam kenyataan tidak terakomodasi dalam
berbagai upaya pemecahan masalah. Krisis
ekonomi itu pada dasarnya merupakan akibat
dari salah urus di bidang ekonomi, korupsi pada
berbagai tingkat birokrasi, kolusi dunia bisnis
dengan birokrat yang sudah berlangsung lama.
Kebijakan pembangunan yang top down
memungkinkan hal-hal itu berlangsung subur.
Kebijakan ekonomi yang berorientasi pada
pertumbuhan menyebabkan bahwa kepentingan rakyat menjadi terkesampingkan.
60
ANTROPOLOGI INDONESIA 60, 1999
Kepustakaan
Berninghausen, J. dan B. Kerstan
1992 Forging New Paths: Feminist Social Methodology and Rural Women in Java. London and
New Jersey: Zed Books Ltd.
Gardiner, M.O.
1999 Women and Men at work in Indonesia. PT. Insan Hitawasana Sejahtera.
Moore, H.L.
1988 Feminism and Anthropology. Minneapolis: The Univesity of Minnesota Press.
Nielsen, J. Mc Carl (peny.)
1990 Feminist Research Methods: Exemplary Readings in the Social Sciences. Boulder, San
Fransisco dan London: Westview Press.
Sadli, S. dan S. Padmonodewo
1995 ‘Identitas Gender dan Peranan Gen der’, dalam T.O. Ihromi (peny.) Kajian Wanita dalam
Pembangunan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Hal. 69-83.
Sadli, S. dan M. Porter
1999 Metodologi Penelitian Berperspektif Perempuan dalam Riset Sosial. Jakarta, Program Studi
Kajian Wanita UI.
Sarantakos, S.
1992
Social Research. South Melbourne: Macmillan Education.
Wilopo, S.A.dan S.M. Adioetomo
1999 The Impact of Crisis on Population and Reproductive Health in Indonesia. Jakarta: The
State Ministry of Population in Collaboration with United Nations Population Fund.
ANTROPOLOGI INDONESIA 60, 1999
60
Download