Peran Mahasiswa dalam Penegakan HAM Oleh Asep Mulyana Dalam literatur ilmu politik, mahasiswa merupakan salah satu aktor yang dapat digolongkan ke dalam pressure group (kelompok penekan). Mahasiswa merupakan aktor penting dalam perubahan-perubahan sosial dan politik. Sejarah perubahan politik besar di negeri ini selalu diwarnai oleh peran mahasiswa yang sangat menonjol. Perubahan politik besar pada 1965—1966, Peristiwa Malari 1974, Peristiwa 1978, Gerakan Kelompok Diskusi 1980-an Pasca-NKK/BKK, Gerakan Mahasiswa pada 1998, dan terakhir gerakan parlemen jalanan menolak kenaikan Bahan Bakar Minyak (BBM) pada 2012 telah menunjukkan dengan gamblang kepada kita semua betapa mahasiswa merupakan kelompok penekan yang kekuatan politiknya tak bisa dipandang remeh. Jadi, jargon bahwa mahasiswa adalah agent of change bukan lagi mitos. Mahasiswa, sebagai kelompok intelektual dan wakil dari kelompok anak muda dari warga, secara naluriah memiliki tingkat kepekaan yang tinggi pada persoalanpersoalan sosial di sekitarnya. Tak heran Bung Karno pernah berujar, ”Sediakan aku 10 pemuda, maka akan kuguncang dunia!” Secara kelembagaan politik, mahasiswa memang bukan aktor politik yang terlembaga secara mapan. Di samping itu, unsur-unsur kekuatan politik mahasiswa tidak ajeg karena mahasiswa selalu datang dan pergi dengan wajah baru dari satu generasi ke generasi berikutnya. Konsistensi gerakan mahasiswa sangat longgar dan tergantung pada pola kaderisasi di lembaga-lembaga kemahasiswaan. Di samping itu, kekuatan politik mahasiswa juga sangat rentan pada fragmentasi ideologi gerakan, dari ujung Kiri hingga ujung Kanan. Kemapanan ideologi gerakan juga ditentukan oleh tradisi yang tumbuh pada masing-masing universitas. Dengan demikian, mahasiswa sebagai kekuatan politik memang menyisakan persoalan soliditas gerakan. Selama ini, satu-satunya isu yang dapat menyatukan mahasiswa dalam satu platform gerakan adalah isu kegagalan pemerintah dalam memihak kepentingan warga atau kelompok warga yang dimarjinalkan oleh proses pembangunan. Demonstrasi dan parlemen jalanan kemudian menjadi pilihan paling taktis ketika, sebagai sebuah kekuatan politik, mahasiswa tidak diintegrasikan ke dalam pelembagaan politik. HAM: Negara sebagai Pemangku Kewajiban Pada dasarnya, Hak-hak Asasi Manusia (HAM) adalah hukum perjanjian internasional yang telah diratifikasi oleh pemerintah. Dengan melakukan ratifikasi, maka pemerintah mengikatkan diri dengan sejumlah kewajiban yang melekat sebagai negara pihak dalam perjanjian itu untuk menjamin penikmatan hak-hak dasar warga. Ada tiga kewajiban HAM yang diemban negara, yaitu to respect (menghormati), to fulfill(memenuhi), dan to protect (melindungi) hak-hak dasar warga. Kewajiban untuk menghormati (obligation to respect) adalah kewajiban negara untuk menahan diri untuk tidak melakukan intervensi, kecuali atas hukum yang sah (legitimate). Kewajiban untuk memenuhi (the obligation to fulfill) adalah kewajiban negara untuk mengambil langkah-langkah legislatif, administratif, yudisial, dan praktis, yang perlu untuk menjamin pelaksanaan HAM. Kewajiban negara untuk melindungi (the obligation to protect) adalah kewajiban untuk melindungi hak bukan hanya terhadap pelanggaran yang dilakukan negara, namun juga terhadap pelanggaran atau tindakan yang dilakukan oleh entitas atau pihak lain (non-negara) yang akan mengganggu perlindungan hak tersebut. Secara periodik, Pemerintah Indonesia dievaluasi oleh badan-badan perjanjian international di bidang HAM untuk mengukur seberapa patuh Pemerintah Indonesia pada sejumlah kewajiban dalam hukum-hukum perjanjian international yang sudah diratifikasi. Kewajiban negara c.q. pemerintah untuk memajukan dan menegakkan HAM tertera pula pada UUD 1945. Pasal 28 I ayat (4) UUD 1945 menyebutkan bahwa “perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan HAM adalah tanggungjawab negara, terutama pemerintah”. Semangat yang sama tampak dalam Pasal 1 angka (1) UU No. 39/1999 yang menegaskan bahwa negara wajib menghormati, melindungi, serta menjunjung tinggi HAM. Jadi penegakan HAM adalah tanggung jawab Negara c.q pemerintah. Negara adalah pemangku kewajiban, sementara individu dan warga adalah pemangku hak. Lalu di mana peran mahasiswa? Pelanggaran HAM dan Peran Mahasiswa Kewajiban penegakan HAM ada di tangan aparat Negara. Negara disebut melanggar HAM atau melanggar norma-norma dalan prinsip-prinsip hukum perjanjian HAM internasional ketika Negara melakukan atau tidak melakukan sesuatu. HAM memiliki dua rumpun, yaitu hak-hak sipil dan politik (sipol) dan hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya (ekosob). Hak sipol disebut juga hak negatif dimana negara tidak boleh melakukan intervensi. Semakin negara bertindak, maka potensi pelanggran HAM makin besar. Kebebasan berpendapat dan berekspresi termasuk rumpun hak sipol, sehingga semakin kecil intervensi negara dalam penghormatan hak ini, maka peluang penikmatan HAM makin besar. Sebaliknya, hak ekosob disebut sebagai hak positif dimana pemenuhan hak ini sangat tergantung pada seberapa besar intervensi negara. Pemenuhan hak ekosob akan makin terjamin jika negara mengambil langkah-langkah yang memadai dengan cara realisasi progresif. Dalam hukum HAM nasional, tepatnya UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM, dibentuk Komnas HAM yang bertugas sebagai pemantau pelaksanaan kewajiban HAM oleh negara c.q. pemerintah untuk memastikan bahwa negara memenuhi kewajiban-kewajibannya di bidang HAM. Komnas HAM tak dapat bekerja sendiri dalam pemajuan dan penegakan HAM di tanah air. Keterlibatan kelompok-kelompok dalam ruang sosial yang ada, termasuk mahasiswa, kemudian menjadi penting. Apalagi peran mahasiswa dalam perubahan politik di negeri ini, sebagaimana diuraikan di atas, sangat signifikan. Sebagai kekuatan penekan, mahasiswa dapat memainkan peran dalam penegakan HAM dengan pilihan strategi dan taktik berikut: a. Menggunakan parlemen jalanan sebagai sebuah taktik gerakan ketika pelanggaran HAM terjadi. Demonstrasi dapat menjadi pilihan sejauh ditempuh dengan cara-cara damai dan beradab. Sebagai bagian dari HAM, demonstrasi merupakan ekspresi ketidakpuasan warga yang harus dihormati Negara. Namun pembatasan atas pelaksanaan hak dan kebebasan berekspresi—termasuk demonstrasi—diijinkan. Dalam Pasal 28J UUD 1945 dinyatakan bahwa pembatasan hak diijinkan jika ditetapkan dengan undang-undang untuk menjamin penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan nasional, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis. Spirit pasal ini diturunkan dari Pasal 19 DUHAM dan Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik yang sudah diratifikasi melalui UU No. 12 Tahun 2005. Semangat yang sama ditegaskan Pasal 73 UU No. 39/1999 tentang HAM. b. Membangun jejaring gerakan HAM dengan lembaga-lembaga yang relevan dan penting, misalnya Komnas HAM, Komisi Hukum DPR RI, Mahkamah Konstitusi, LSM, dan kelompok-kelompok mahasiswa di berbagai universitas. c. Melakukan advokasi kebijakan untuk memastikan bahwa pola, struktur dan kelembagaan negara betul-betul ramah terhadap penghormatan HAM. Kelompok- kelompok mahasiswa yang belajar di Fakultas Hukum lebih mudah mengaplikasikan hal ini. Namun mereka tak dapat bekerja soliter. Mereka harus membangun jejaring dan sinergi dengan mahasiswa dari berbagai fakultas untuk melakukan tinjauantinjauan kritis-akademik terhadap berbagai UU atau RUU yang sedang dibahas di DPR RI untuk memastikan bahwa regulasi yang telah atau sedang disusun oleh lembaga legislatif itucomplay dengan norma dan prinsip HAM. Kemudian hasil telaah kritis-akademik itu disebarkan, didialogkan, dan dikampanyekan ke lembagalembaga yang relevan (Komnas HAM, DPR, MK) dan jejaring HAM yang dibentuk. Model gerakan semacam ini lebih elegan dan strategis, namun hingga kini belum dilakukan secara massif dan terorganisir oleh kelompok-kelompok dan gerakan mahasiswa pada umumnya. Model ini sesungguhnya dapat menjadi alternatif dari gerakan parlemen jalanan yang cenderung lebih reaksioner, temporer, sporadis, dan kurang menusuk pada akar persoalan. Model ini memang tidak populer dan tidak menarik perhatian media. Namun model gerakan semacam ini lebih strategis karena bekerja untuk perubahan-perubahan mendasar pada tingkat pola (kebijakan) dan struktur (lembaga, ideologi, kultur, dan nilai).