TINJAUAN PUSTAKA Tungau Merah Tetranychus kanzawai Karakter Morfologi Siklus hidup T. kanzawai terdiri dari telur, larva, nimfa (protonimfa dan deutonimfa) dan dewasa. Telur umumnya diletakkan pada permukaan bawah daun tapi terkadang juga pada permukaan atas daun bila populasi T. kanzawai berlimpah. Telur berbentuk bulat seperti bola dan saat baru diletakkan berwarna putih bening. Larva dan nimfa berwarna hijau kekuningan dengan bintik gelap pada bagian dorsolateral idiosoma seperti pada gambar 1 (Ehara 2002). Tungau dewasa umumnya berwarna merah atau merah kekuningan (Ehara 2002). Warna tubuh imago T. kanzawai terkadang dipengaruhi oleh tanaman inangnya. Tungkai berwarna kekuningan. Betina dewasa berukuran sekitar 400-500 µm dan jantan dewasa lebih kecil dengan hysterosoma yang meruncing. Imago T. kanzawai jantan memiliki knob yang besar pada aedeagus (Zhang 2003). a b Gambar 1 Tetranychus kanzawai (a, pradewasa; b, dewasa; sumber Ehara, 2002) Bioekologi T. kanzawai pertama kali ditemukan pada tanaman murbei di Jepang (Kishida 1927). Walter & Proctor (1999) menyatakan bahwa sebelum perang dunia II, tungau ini merupakan hama sekunder. Penggunaan pestisida kimiawi secara intensif menyebabkan perubahan status pada spesies ini. Spesies tungau ini bersifat kosmopolit dan dapat dijumpai hampir di seluruh belahan dunia. T. kanzawai merupakan spesies tungau hama yang cukup terkenal di Asia. Tungau ini mudah dijumpai pada pertanaman teh sehingga dikenal juga sebagai tungau merah teh. Selain itu, T. kanzawai dapat menyerang lebih dari 100 spesies tanaman. Pada umumnya tungau ini mudah dijumpai di lapangan, namun juga menjadi hama pada pertanaman dalam rumah kaca seperti anggur, stroberi, dan lain-lain. Gejala kerusakan yang diakibatkan oleh tungau hama ini bervariasi tergantung jenis tanamannya. Nekrotik merupakan gejala yang pasti terjadi pada daun yang terserang tungau hama ini, kemudian daun tersebut mengering. Populasi tungau yang sangat tinggi dapat menyebabkan kematian tanaman. Populasi T. kanzawai dapat meningkat dalam waktu yang cepat. Hal ini berkaitan dengan waktu perkembangan T. kanzawai yang singkat, yaitu berkisar 12-19 hari pada suhu 20-25°C (Zhang 2003). Keberhasilan hidup sampai tahap imago dapat mencapai 80 %. Nisbah kelamin bersifat female biased dengan nilai 1:3. Imago betina memiliki lama hidup yang lebih panjang dibandingkan imago jantan. Tingkat fekunditas bervariasi dan dipengaruhi oleh suhu. Satu imago betina dapat bertelur sebanyak 28-76 butir pada kisaran suhu 15-30°C (Zhang 2003). Tungau Predator Famili Phytoseiidae Kelompok tungau predator yang banyak digunakan sebagai agens pengendali hama tanaman berasal dari famili Phytoseiidae. Selain memakan tungau fitofag, tungau predator famili Phytoseiidae juga memakan serangga kecil yang berada di tanaman. Beberapa spesies juga memakan nematoda, spora cendawan, polen, dan eksudat tanaman. Famili Phytoseiidae memiliki tiga subfamili yaitu Amblyseiinae, Phytoseiinae, dan Typhlodrominae. Spesies tungau yang telah dikembangkan secara komersial adalah genera Neoseiulus dan Phytoseiulus yang termasuk dalam subfamili Amblyseiinae dan Phytoseiinae (Zhang 2003). Siklus hidup tungau predator terdiri dari telur, larva, protonimfa, deutonimfa, dan imago. Telur memiliki bentuk oval memanjang dan berwarna bening. Kelembapan yang tinggi yaitu berkisar 90-100%, dibutuhkan untuk penetasan telur. Perilaku makan larva berbeda untuk beberapa spesies. Beberapa spesies tungau predator memiliki stadium larva yang tidak makan, sementara larva beberapa spesies membutuhkan makanan untuk perkembangannya. Pada umumnya perkembangan tungau predator lebih cepat dibandingkan dengan tungau Tetranychus sp. Sebagian besar tungau predator membutuhkan waktu sekitar satu minggu untuk perkembangannya. Beberapa spesies Phytoseiulus bahkan dapat menyelesaikan siklus hidupnya dalam waktu 4 hari. Famili Phytoseiidae bersifat pseudo-arrhenotokous, yaitu menghasilkan keturunan jantan haploid dari telur yang dibuahi yang akan kehilangan genom induk pada awal perkembangan (Walter & Proctor 1999). Oleh karena itu, kopulasi sangat penting dalam reproduksi. Nisbah kelamin jantan:betina adalah 1:3 (Zhang 2003). Watson (2008) menjelaskan bahwa secara morfologi perbedaan antara tungau betina dan jantan terletak pada bagian lapisan pelindung ventral. Tungau jantan hanya memiliki satu lapisan ventral sedangkan tungau betina memiliki tiga lapis pelindung, yaitu sternal, genital dan anal. Seta merupakan salah satu unsur dalam klasifikasi tungau. Beberapa peneliti memiliki penamaan letak seta pada idiosoma dorsal tungau. Pada gambar 2, Zhang (2003) mendeskripsikan ciri khas pada famili Phytoseiidae yaitu idiosoma bagian dorsal memiliki tidak lebih dari 24 pasang seta dan pada bagian J1, J3, serta J4 tidak terdapat seta. Salah satu ciri khas tungau predator adalah pergerakannya yang cepat. Hal tersebut disebabkan oleh tungkai tungau predator yang relatif panjang. Olfaktori sangat berguna dalam pencarian mangsa sehingga tungau predator dapat mengetahui tanaman yang terinfestasi oleh tungau fitofag (Boom et al. 2002; Zhang 2003, Nachappa 2008 ). Gambar 2 Bagian dorsal Phytoseiidae (Zhang 2003) Tungau Predator Neoseiulus longispinosus Karakter Morfologi N. longispinosus termasuk dalam famili Phytoseiidae, ordo Mesostigmata. Gerson et al. (2003) menyatakan bahwa N. longispinosus sangat berhubungan dekat dengan N. womersleyi secara biosistematika. Penampakan morfologi secara kasat mata hampir sama untuk kedua predator ini. Bentuk tungau betina N. longispinosus lebih besar dibandingkan tungau betina N. womersleyi (Gerson et al. 2003). Zhang (2003) menambahkan bahwa N. longispinosus memiliki tekstur seta lebih halus dan panjang pada seta S5. Siklus hidup N. longispinosus terdiri dari telur, larva, protonimfa, deutonimfa dan dewasa. Telur berbentuk oval dan transparan serta berwarna putih bening. Perubahan warna telur menjadi putih agak keruh terjadi saat menjelang penetasan. Telur diletakkan secara individu pada permukaan bawah daun. Stadia telur berlangsung selama 1-2 hari (Puspitarini 2005; Yulianah 2008). Larva N. longispinosus berwarna putih dengan 3 pasang tungkai. Pada stadia larva, predator tidak mengkonsumsi mangsa. Mobilitas larva terbilang pasif karena cenderung lebih banyak diam. Masa stadia larva pada umumnya relatif singkat dan biasanya hanya dalam hitungan jam. Stadia nimfa terdiri dari protonimfa dan deutonimfa. Pada stadia ini, predator lebih aktif dalam mobilitas dan memangsa. Nimfa berwarna putih agak keruh dan memiliki 4 pasang tungkai. Setelah memangsa, warna nimfa berubah menjadi putih kekuningan atau kemerahan pada bagian dorsal. Lama stadia nimfa biasanya berlangsung selama satu hari. Tungau dewasa memiliki banyak seta pada bagian dorsal. Lapisan dorsal memiliki 17 pasang seta. Gambar 3 menunjukkan bahwa seluruh seta pada bagian dorsal berukuran panjang dan berduri kecuali seta pada J1 dan S5 (Zhang 2003). Tungau dewasa memiliki warna yang sama seperti pada stadia nimfa. Tungau betina dewasa memiliki ukuran rata-rata sekitar 350 µm. Ukuran tungau dewasa jantan lebih kecil dibandingkan tungau dewasa betina. Perbedaan tungau jantan dan betina terletak pada bagian genitalia. Tungau jantan memiliki kaliks spermateka berbentuk seperti botol. Lama hidup tungau jantan lebih pendek dibandingkan tungau betina. Gambar 3 Bentuk dan jumlah seta pada bagian dorsal N. longispinosus (Zhang 2003) Kopulasi terjadi ketika tungau betina menjadi dewasa. Tungau dewasa jantan akan menunggu deutonimfa betina. Saat penantian tersebut, tungau jantan akan menjaga area di sekeliling deutonimfa berada. Vantornhout (2006) menyatakan bahwa detonimfa memiliki feromon seks yang dapat menarik tungau jantan. Apabila tungau jantan lain memasuki area tersebut maka akan terjadi pertarungan. Perilaku kawin tungau jantan N. longispinosus cukup unik (Gambar 4). N. longispinosus memiliki pola kawin tipe Phytoseiulus. Tipe Phytoseiulus memiliki karakter saling berhadapan lalu tungau jantan akan merayap secara perlahan di bawah tungau betina. Gambar 4 Tipe pola kawin N. longispinosus (Vantornhout 2006) Bioekologi Neoseiulus longispinosus dilaporkan berada di Indonesia pertama kali dengan nama Typhlodromus longispinosus (Evans 1952). Kongchuesin et al. (2005) menyatakan bahwa populasi N. longispinosus akan melimpah pada tanaman yang terinfestasi tungau merah dengan produksi jaring yang banyak pada permukaan bawah daun. Predator ini banyak dijumpai pada tanaman ubi kayu yang terinfestasi tungau Tetranychidae terutama T. kanzawai di Indonesia (Santoso, komunikasi pribadi). Selain itu, predator ini juga ditemui pada tanaman stroberi dan jeruk di lapangan (Puspitarini 2005; Yulianah 2008). N. longispinosus ditemukan pada 33 spesies tanaman di Thailand (Kongchuesin et al. 2005). Gambar 5 N. longispinosus (a, telur; b, tungau dewasa; Koleksi Pribadi) N. longispinosus banyak ditemui di beberapa negara seperti di India, Cina bagian timur, Philiphina, Indonesia, Thailand, Malaysia, Taiwan, Hawaii, Pakistan, Papua Nugini, Australia dan New Zealand (Gerson et al. 2003; Kongchuensin et al. 2005; Raza 2008). Masa siklus hidup N. longispinosus dipengaruhi oleh kondisi lingkungan terutama suhu. Zhang (2003) melaporkan bahwa perkembangan N. longispinosus berlangsung selama 5 hari pada suhu 28 °C. Penelitian Puspitarini (2005) dan Yulianah (2008) menunjukkan hasil yang sama bahwa siklus hidup N. longispinosus berlangsung selama 4-5 hari dalam kondisi laboratorium. Hal ini memperlihatkan bahwa siklus hidup N. longispinosus lebih cepat dibandingkan siklus hidup tungau Tetranychidae. Neraca Hayati Neraca hayati merupakan ringkasan pernyataan tentang kehidupan individu dalam populasi atau kelompok (Price 1997). Lincoln et al. (1982) mendefinisikan neraca hayati sebagai tabulasi data mortalitas lengkap dari populasi terhadap umur. Neraca hayati merupakan riwayat perkembangan cohort yang bersifat dinamis (Tarumingkeng 1992). Neraca hayati berisi informasi dasar tentang mortalitas dan kelangsungan hidup suatu populasi dalam penjelasan statistik. Informasi tersebut diperlukan untuk mengetahui dinamika populasi suatu organisme. Pertumbuhan populasi suatu organisme akan dipengaruhi oleh tiga faktor yaitu kelahiran, kematian dan migrasi. Pertumbuhan populasi positif terjadi bila angka kelahiran lebih besar daripada angka kematian dan migrasi bernilai 0 (angka emigrasi = angka imigrasi). Apabila terjadi sebaliknya maka akan terjadi pertumbuhan populasi negatif (Oka 1995). Neraca hayati digolongkan menjadi dua tipe yaitu neraca hayati horizontal yang lebih bersifat spesifik umur dan neraca hayati vertikal yang bersifat spesifik waktu (Bellows & Van Driesche 1992). Neraca hayati horizontal meliputi penghitungan berulang terhadap suatu kelompok (cohort) tunggal yang terdiri dari umur individu yang sama. Data yang berasal dari suatu kejadian tunggal yang diasumsikan bahwa semua generasinya saling lingkup dengan sempurna karena kelas umur yang secara simultan sama, merupakan neraca kehidupan vertikal. Parameter-parameter yang terdapat dalam neraca hayati meliputi laju reproduktif kotor (GRR), laju reproduktif bersih (Ro), waktu generasi (T), laju pertambahan intrinsik (r), laju pertambahan terbatas (λ) dan doubling time (DT) (Rauf dan Hidayat 1987). Parameter tersebut berisi informasi dasar seperti keperidian, kemampuan hidup harian, nisbah kelamin dan laju pertambahan suatu organisme dalam analisa dinamika populasi. Laju reproduktif kotor (GRR) adalah rata-rata jumlah keturunan betina per generasi (Σ mx). Laju reproduktif bersih (Ro) menunjukkan jumlah keturunan betina yang berhasil menjadi imago. Waktu generasi (T) merupakan waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan siklus hidup per generasi. Laju pertambahan intrinsik (r) menggambarkan laju pertambahan populasi pada keadaan lingkungan konstan, sumber daya tak terbatas serta kematian yang terjadi hanya disebabkan oleh faktor fisiologi (Birch 1948). Laju pertambahan terbatas (λ) menunjukkan nilai kelipatan populasi organisme per hari. Doubling time (DT) merupakan kemampuan organisme berkembang dalam satu generasi. Pada umumnya tungau predator famili Phytoseiidae memiliki nilai laju pertambahan intrinsik yang berkisar dari 0.1 - 0.4 (Escudero LA & Ferragut F. 2005; Vasconcelos et al. 2008). Tanggap Fungsional Keberhasilan pengendalian hayati ditentukan oleh dinamika interaksi predator-mangsa. Perubahan jumlah mangsa dapat direspons oleh predator. Peningkatan jumlah generasi predator (tanggap numerik) dan tingkat predasi predator secara individu (tanggap fungsional) merupakan respon predator terhadap perubahan jumlah mangsa (Taylor 1984). Tanggap fungsional merupakan respon perilaku predator terhadap perubahan jumlah mangsa dalam waktu yang relatif singkat. Keefektifan predator atau parasitoid dapat dilihat dari tanggap fungsionalnya. Salah satu ciri predator yang baik adalah memiliki tanggap fungsional yang tinggi. Tanggap fungsional merupakan komponen yang sangat esensial dari dinamika interaksi antara predator/parasitoid dan mangsa/inang serta sangat penting untuk determinasi stabilitas dari sistem yang dikelola (Oaten & Murdoch 1975 dalam Wang & Ferro 1998). hubungan antara jumlah Tanggap fungsional menggambarkan mangsa/inang yang dikonsumsi/diparasit per predator/parasitoid dan kepadatan mangsa/inang (Wang & Ferro 1998; Speight 1999). Holling 1959 dalam Hassel 2000 menggolongkan tanggap fungsional menjadi tiga tipe: linier (Tipe I), hiperbolik (Tipe II), dan sigmoid (Tipe III). Tanggap Fungsional Tipe I Tanggap fungsional tipe I memiliki grafik bersifat linier. Hal ini menunjukkan hubungan yang bersifat konstan. Tingkat predasi meningkat secara linier dengan peningkatan kepadatan mangsa, kemudian tingkat predasi menjadi konstan setelah predator berada dalam kondisi kenyang. Tipe I berasal dari modifikasi sederhana tanggap fungsional linier dari persamaan Lotka-Volterra. Tipe I dijumpai pada interaksi yang stabil. Tanggap fungsional tipe I biasa ditemukan pada predator yang bersifat pasif seperti labalaba. Gambar 6 Grafik tanggap fungsional tipe I. Hubungan antara mangsa yang dimakan (Ne) dengan kepadatan mangsa yang tersedia (N) pada gambar A; hubungan antara proporsi mangsa yang dimakan (Ne/N) dan kepadatan mangsa yang tersedia (N) pada gambar B (Vantornhout 2006) Tanggap Fungsional Tipe II Tanggap fungsional tipe II memiliki grafik yang bersifat hiperbolik. Model tipe II berasal dari persamaan cakram Holling. Tingkat predasi meningkat seiring dengan peningkatan kepadatan mangsa secara konstan pada awalnya hingga kepadatan mangsa maksimum. Penurunan tingkat predasi akan terjadi secara cepat seiring meningkatnya mangsa sehingga terjadi bentuk grafik yang hiperbolik. Pada tanggap fungsional tipe II terdapat waktu penanganan dan laju pemangsaan. Tanggap fungsional tipe II juga mudah ditemukan dalam kondisi lingkungan yang stabil. Grafik tipe II umumnya ditemukan pada predator atau parasitoid. Gambar 7 Grafik tanggap fungsional tipe II. Hubungan antara mangsa yang dimakan (Ne) dengan kepadatan mangsa yang tersedia (N) pada gambar C; hubungan antara proporsi mangsa yang dimakan (Ne/N) dan kepadatan mangsa yang tersedia (N) pada gambar D (Vantornhout 2006) Tanggap Fungsional Tipe III Tanggap fungsional tipe III memiliki grafik sigmoid. Tingkat predasi bersifat cekung pada kepadatan mangsa rendah, tapi akan bersifat cembung pada kepadatan mangsa tinggi. Tanggap fungsional tipe III dapat terjadi karena pembelajaran hal baru, perubahan kemampuan, atau hal lain yang belum diketahui yang terkadang disebut sebagai ekspresi preferensi. Sebagian besar proses menyertai perubahan nutrisi dari satu tipe mangsa ke tipe mangsa lainnya. Tanggap fungsional tipe III biasanya terjadi pada lingkungan sekitar kepadatan mangsa yang seimbang. Ketika kepadatan mangsa bertambah banyak, predator pun meningkat dan pengaruh stabilisasi lain mengakibatkan perilaku predator hilang. Stabilitas pada sistem tanggap fungsional tipe III dipengaruhi seluruh komponen dari biologi spesies dan interaksi antar spesies tersebut (Taylor 1984). Grafik tipe III umumnya terdapat pada predator yang memangsa beberapa spesies (Sharov 1996 dalam Hidrayani 2002). Model tanggap fungsional tipe III menggambarkan bentuk grafik secara sigmoid. Pada awalnya predasi terjadi secara lambat kemudian meningkat cepat seiring bertambahnya kepadatan mangsa lalu tingkat predasi akan menurun pada kepadatan mangsa yang lebih tinggi lagi hingga mencapai kejenuhan. Gambar 8 Grafik tanggap fungsional tipe III. Hubungan antara mangsa yang dimakan (Ne) dengan kepadatan mangsa yang tersedia (N) pada gambar E; hubungan antara proporsi mangsa yang dimakan (Ne/N) dan kepadatan mangsa yang tersedia (N) pada gambar F (Vantornhout 2006) Tanggap Numerik Setiap makhluk hidup membutuhkan nutrisi untuk pertumbuhan dan perkembangannya. Sumber daya makanan yang berlimpah akan memberikan keuntungan bagi makhluk hidup tersebut. Nutrisi makanan yang berlimpah akan mempengaruhi tingkat reproduksi makhluk hidup dan secara tidak langsung berkontribusi terhadap generasi berikutnya. Peningkatan populasi mangsa dapat menyebabkan perubahan laju penyerangan per individu predator. Selain itu, peningkatan populasi mangsa juga dapat mengakibatkan perubahan kepadatan populasi predator. Perubahan populasi predator ini merupakan respon atau tanggap terhadap peningkatan populasi mangsa. Respon atau tanggap ini disebut sebagai tanggap numerik. Tarumingkeng (1992) menguraikan mekanisme terjadinya tanggap numerik sebagai berikut. Pertama, peningkatan populasi predator karena imigrasi yang berasal dari daerah sekeliling. Hal ini berkaitan dengan perilaku predator yang berkelompok dan menempati daerah-daerah dengan tingkat kerapatan populasi predator yang tinggi. Sekelompok burung yang bergerombol di tempat dengan kepadatan populasi belalang yang tinggi. Kedua, peningkatan populasi predator karena peningkatan reproduksi (Ro). Waktu generasi (Ro) predator umumnya lebih lama daripada waktu generasi (Ro) mangsa. Hal tersebut menimbulkan penundaan dalam perubahan keterpautan kepadatan atau senjang waktu (lag). Senjang waktu (lag) menyebabkan terjadinya peningkatan reproduksi predator. Tanggap numerik dibatasi oleh waktu generasi makhluk hidup tersebut. Makhluk hidup yang memiliki siklus hidup yang relatif pendek cenderung memiliki respon lebih cepat dengan tingkat fluktuasi terhadap kelimpahan sumber daya makanan. Preferensi Mangsa Makanan merupakan salah satu komponen yang mempengaruhi suatu makhluk hidup dalam kehidupan seperti bertahan dan berkembang. Kualitas dan kuantitas makanan adalah aspek penting untuk diperhatikan dalam pertumbuhan dan perkembangan makhluk hidup. Kualitas makanan akan berkaitan langsung dengan fisiologi makhluk hidup. Keberadaan jumlah makanan akan mempengaruhi kelimpahan populasi suatu makhluk hidup. Mangsa merupakan sumber daya nutrisi penting bagi predator. Mangsa yang berbeda dapat mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan predator. Oleh karena itu, tungau predator memiliki preferensi mangsa. Berdasarkan preferensi mangsa, tungau predator dapat digolongkan dalam 4 tipe (Zhang 2003), yaitu: 1) predator spesialis, hanya memakan spesies Tetranychus yang menghasilkan sarang yang besar contoh spesies dari genera Phytoseiulus; 2) tungau Phytoseiidae yang memiliki preferensi makan tungau Tetranychinae, terkadang tungau kecil, dan polen contoh spesies Neoseiulus californicus (McGregor); 3) predator generalis yang memakan berbagai jenis tungau, polen, dan serangga tapi tidak dapat mengendalikan spesies Tetranychus yang menghasilkan sarang yang besar contoh Iphiseius degenerans Berlese; dan 4) predator generalis tungau dan serangga tapi bersifat spesialis terhadap polen contoh spesies dari genera Euseius. N. longispinosus termasuk predator tipe 2, yang memiliki preferensi mangsa pada tungau Tetranychidae dan juga dapat memakan polen (Gerson et al. 2003; Zhang 2003).