TRADISI PERKAWINAN MERARIQ SUKU SASAK

advertisement
TRADISI PERKAWINAN MERARIQ SUKU SASAK DI LOMBOK: Studi Kasus
Integrasi Agama dengan Budaya Masyarakat Tradisional
Skripsi
Diajukan Sebagai Tugas Akhir Untuk Mendapatkan Gelar Sarjana Agama (S. Ag)
Oleh :
ANNISA RIZKY AMALIA
NIM : 1113032100014
JURUSAN STUDI AGAMA-AGAMA
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1438 H/2017 M
ABSTRAK
Annisa Rizky Amalia
Judul Skripsi : “Tradisi Perkawinan Merariq Suku Sasak di Lombok: Studi Kasus
Integrasi Agama dengan Budaya Masyarakat Tradisional”
Kajian pokok penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan gambaran tradisi
Merariq dalam Suku Sasak di Lombok di desa Sade, serta ingin mengetahui apa saja
alasan masyarakat menjalankan tradisi Merariq tersebut. Dalam hal ini yang menjadi
subjek penelitian adalah seluruh masyarakat Suku Sasak Lombok yang berada di desa
Sade, sedangkan objek kajiannya adalah perspektif Islam dengan menggunakan metode
kualitatif dengan melakukan pendekatan antropologi agama. Responden yang diteliti
sebanyak empat orang dari latar belakang yang berbeda.
Berdasarkan hasil penelitian, penulis menyimpulkan bahwa tradisi Merariq ini
dalam Suku Sasak Lombok di desa Sade terdiri dari beberapa tahapan yaitu: (1) Midang
(meminang). Termasuk bagian dari midang ini adalah ngujang (mengunjungi calon istri
di luar rumah), disini terjadilah kesepakatan antara kedua belah pihak untuk melakukan
penculikan atau si laki-laki membawa lari si perempuan. (2) Pihak laki-laki harus
menculik (melarikan) pengantin perempuan. (3) Pihak laki-laki harus melaporkan
kejadian kawin lari itu kepada kepala dusun tempat pengantin perempuan tersebut
tinggal, yang dikenal dengan istilah selabar (nyelabar). (4) Pelunasan uang jaminan dan
mahar. (5) Melakukan akad nikah dengan cara Islam. (6) Adapun istilah yang digunakan
dalam pembayaran adat ketika ingin menikah di Suku Sasak Lombok disebut dengan
Sorong doe atau sorong serah. (7) Nyongkolan, yaitu mengantarkan kembali pihak
perempuan pada pihak keluarganya, diarak keliling kampung dengan berjalan kaki
diiringi musik tradisional khas lombok (gendang belek dan kecimol).
Tradisi Merariq ini tidak di benarkan dalam Islam, karena proses peminangan
dalam Islam dengan peminangan tradisi Merariq sangat berbeda dan tradisi ini banyak
menimbulkan kemudharatan dan bertentangan dengan hukum Islam. Walaupun begitu
Merariq tetap diakui sebagai status hukum karena merupakan salah satu adat istiadat.
Kata Kunci : Suku Sasak, Tradisi Perkawinan Merariq, Integrasi Agama dengan
Budaya Masyarakat Desa Sade.
iv
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahirabbil ‘alamin rasa syukur untuk Allah SWT yang tak
henti-henti memberikan nikmatnya untuk kita sehingga sampai detik ini kita
masih bisa berdiri tegak dan menikmati kehidupan dengan penuh
kebahagiaan. Tidak lupa juga salam serta sholawat terus saya ucapkan
teruntuk Nabi Muhammad SAW.
Selanjutnya penulis haturkan ungkapan terimakasih yang sebesarbesarnya kepada beliau-beliau yang telah banyak berjasa dalam membantu
penyelesaian tugas akhir ini :
1. Prof. Dr. M. Ridwan Lubis, MA selaku Dosen Pembimbing Skripsi,
atas kesabaran dan ketelitian dalam membimbing penulis. Beliau
yang telah banyak meluangkan waktu, tenaga, fikiran dan
memberikan arahan, motivasi serta bimbingan kepada penulis
sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
2. Dra. Hj, Hermawati MA. Selaku Penasehat Akademik yang
memberikan
arahan
dan
motivasi
kepeda
penulis
untuk
menyelesaikan dengan baik.
3. Dr. Media Zainul Bahri, M.A, selaku Ketua Jurusan Studi AgamaAgama dan Dr. Halimah Mahmudy M.A, selaku sekretaris Jurusan
Studi Agama-Agama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang selalu
memberikan pelayanan kepada mahasiswanya dengan baik.
4. Prof. Dr. Ikhsan Tangok, M.A, selaku Wadek I bidang Administrasi
Fakultas Ushuluddin. Dr. Bustami, M.A, selaku Wadek II bidang
v
Administrasi Umum. Dr. M. Suryadinata, M.A, selaku Wadek III
bidang Kemahasiswaan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
5. Seluruh Dosen Fakultas Ushuluddin, para Staff Akademik Fakultas
Ushuluddin, para Staff Perpustakaan Fakultas Ushuluddin dan para
Staff Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
6. Ayahanda tercinta Agus Santoso dan Ibunda tercinta Evi Syafiiyah
yang tidak pernah lepas memberikan kasih sayangnya mulai dari
kecil sampai waktu yang tak terkira, semoga beliau berdua selalu
memberikan semangat, motivasi, kasih sayang, dan doa yang tulus
untuk kesuksesan penulis. Semoga Allah selalu melimpahkan
rahmat-Nya dan memberikan umur panjang kepada mereka.
7. Kepada keluarga bapak Ir. H. Ikhsan Gemala Putra dan Ibu Hj.
Asiah yang telah memberikan doa, motivasi serta bantuannya dan
segala fasilitas untuk penulis melakukan penelitian di Lombok.
Semoga Beliau berdua diberikan umur panjang dan sehat walafiat
dan para Narasumber yang telah membantu penulis dalam
mengumpulkan informasi terkait dengan penulisan skripsi ini
sehingga skripsi ini dapat terselesaikan.
8. Kakak-kakak tersayang Mba Ambartyas Niken, Mba Nindy Febriani
Agustina, Mba Alfitiara, Teteh Fauzia Nashiha, Teteh Sofia Ade
Putri, juga adik-adik tersayang Chairul Anam, Yusran Kamil, Mutia
Sufi Ulwani, Fadhilah Putri Gemala, Berlianty Ratu Piningit
terimakasih atas doa dan dukungannya sehingga penulis dapat
vi
menyelesaikan skripsi ini. Terimakasih atas doa dan dukungannya
sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
9. Teman tersayang seperjuangan selama kuliah dan skripsi Khemas
Aulia Ulwan yang selalu memberikan motivasi, bantuan, dan doa
yang tiada hentinya, terimakasih banyak sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini.
10. Teman-teman tersayang yaitu Tri Indah Annisa, Rayyan Adilla
Anwar, Nur Syamsiyah, Mawaddah Salimah, Siti Khusniatussaidah
dan juga teman-teman seperjuangan Studi Agama-agama angkatan
2013 yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu, terimakasih
banyak atas doa dan dukungannya sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini.
11. Sahabat-sahabat tersayang Irda sudistiani Putri, Yayi Rista Radanti,
Suci Alvia Helmi, Zuhria Nisa Pratiwi, Ratnawati Inesia Pratiwi,
Ariska Sukmawati, Alfianur Fidia Rahma dan Resty Rahmawati,
terimakasih banyak atas doa dan dukungannya sehingga penulis
dapat menyelesaikan skripsi ini.
12. Dan kepada semua orang yang saya kenal maupun yang mengenal
saya, terimakasih atas ilmu dan pengalaman yang diberikan.
Terimakasih banyak atas doa dan dukungannya sehingga penulis
dapat menyelesaikan skripsi ini.
vii
Semoga peran-peran beliau semua mendapat imbalan yang
sepantasnya dan mendapatkan ridho dari Allah SWT Amin. Penulis
menyadari bahwa sedikit karya tulis ini bukanlah akhir dan puncak dari
pencarian
ilmu
pengetahuan
akan
tetapi
merupakan
awal
dalam
mengembangkan karya-karya ilmiah lainnya. Kritik dan saran serta solusi
sangat penulis harapkan dari berbagai pihak guna penyempurnaan dari
kebaikan karya-karya penulis nantinya.
Jakarta, 03 Juli 2017
Annisa Rizky Amalia
viii
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING ...................................................... i
LEMBAR PENGESAHAN PANITIA SIDANG ................................................ ii
LEMBAR PERNYATAAN ................................................................................. iii
ABSTRAK .............................................................................................................iv
KATA PENGANTAR ........................................................................................... v
DAFTAR ISI ......................................................................................................... ix
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ............................................................................10
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian .................................................... 10
D. Kajian Pustaka ................................................................................ 11
E. Metodologi Penelitian ..................................................................... 14
F. Sumber Data ................................................................................... 19
G. Sistematika Penulisan ..................................................................... 21
BAB II GAMBARAN UMUM MASYARAKAT SASAK
A. Sejarah Singkat Suku Sasak ............................................................ 23
B. Letak Geografis ............................................................................... 24
C. Sistem Keyakinan Masyarakat Sasak ............................................. 27
a.
Akidah Masyarakat Sasak terhadap Pengetahuan kepada
Allah ........................................................................................ 30
b.
Pendekatan Ibadah yang dilakukan Masyarakat Sasak
kepada Allah ............................................................................ 32
c.
Akhlak Masyarakat Sasak terhadap Perilaku Sosial ................ 34
BAB III KEBUDAYAAN
A. Tantangan
dalam
Tradisi
Merariq
yang
Menghasilkan
Kreativitas Kebudayaan .................................................................. 37
B. Karya dalam Tradisi Merariq yang Mengahsilkan Inovasi
Kebudayaan .................................................................................... 45
ix
C. Tujuan dalam Tradisi Merariq yang Menghasilkan Nilai
Kebudayaan .................................................................................... 48
BAB IV FAKTOR DOMINAN ANTARA AGAMA DAN BUDAYA DALAM
TRAIDI MERARIQ
A. Tujuan Merariq ............................................................................... 53
B. Alasan Merariq ............................................................................... 59
C. Perspektif Merariq .......................................................................... 64
BAB V PENUTUPAN
A. Kesimpulan .................................................................................... 68
B. Saran-saran ...................................................................................... 70
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 71
LAMPIRAN ......................................................................................................... 75
x
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Kebudayaan biasa kita sambungkan pada hal-hal yang indah
(seperti candi, tari-tarian, seni rupa, seni suara, kesusastraan dan filsafat)
saja. Sedangkan kebudayaan dalam antropologi jauh lebih luas sifat dan
ruang lingkupnya. Menurut antropologi, kebudayaan adalah “keseluruhan
sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam kehidupan
masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar”. Hal
tersebut berarti bahwa hampir seluruh tindakan manusia adalah
kebudayaan, karena hanya sedikit tindakan manusia dalam kehidupan
masyarakat yang tidak perlu dibiasakan dengan belajar, yaitu hanya
beberapa tindakan naluri, beberapa refleksi, beberapa tindakan akibat
proses fisiologi, atau kelakuan membabi buta. Bahkan berbagai tindakan
manusia yang merupakan kemampuan naluri yang terbawa dalam gen
bersama kelahirannya (seperti makan, minum atau berjalan dengan kedua
kakinya), juga dirombak olehnya menjadi tindakan kebudayaan.1
Sistem nilai budaya merupakan tingkat yang paling tinggi dan
paling abstrak dari adat-istiadat. Hal itu disebabkan karena nilai budaya
merupakan konsep-konsep mengenai suatu yang ada dalam alam pikiran
sebagian besar dari masyarakat yang mereka anggap bernilai, suatu
1
Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi (Jakarta: Rineka Cipta, 2009), h. 144-
145.
1
2
pedoman yang memberi arah orientasi pada kehidupan para warga
masyarakat tersebut. Walaupun nilai budaya berfungsi sebagai pedoman
hidup manusia dalam masyarakat, tetapi sebagai konsep suatu nilai budaya
itu bersifat sangat umum, mempunyai ruang lingkup yang sangat luas, dan
biasanya sulit diterangkan secara rasional dan nyata. Namun, justru karena
sifatnya yang umum, luas, dan tidak konkret itu, maka nilai-nilai budaya
dalam suatu kebudayaan berada dalam daerah emosional dari alam jiwa
para individu yang menjadi warga dan kebudayaan bersangkutan. Selain
itu juga, para individu tersebut sejak kecil telah diresapi dengan nilai
budaya yang hidup dalam masyarakatnya sehingga konsep-konsep itu
sejak lama telah berakar dalam alam jiwa mereka. Itulah sebabnya nilainilai
budaya
yang
lain
dalam
waktu
singkat,
dengan
cara
mendiskusikannya secara rasional.2
Ritual merupakan salah satu aspek terpenting di dalam masyarakat
adat dan agama lokal di Indonesia. Begitu juga halnya dengan Islam di
Lombok, sejumlah ritus keagamaan seperti perkawinan mendapat porsi
yang cukup penting di dalam kajian mengenai Islam di wilayah ini. Dalam
beberapa tahun terakhir ini, kajian Islam di Lombok juga beragam,
khususnya dengan meletusnya peristiwa kerusuhan di Mataram pada tahun
2001. Lombok mengalami banyak perubahan pada masa reformasi,
ditandai dengan kemunculan berbagai kelompok sosial dan politik yang
turut bermain di dalam politik lokal di Lombok. Aspek kesenian lokal,
2
Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, h. 153.
3
khususnya seni musik di Lombok juga dikaji karena keterkaitannya
dengan agama Islam, budaya Bali dan adat khas Lombok sendiri. Namun
demikian, sejauh ini belum cukup banyak kajian yang memfokuskan diri
kepada Islam dan dinamika agama lokal, bukan hanya terkait dengan Islam
semata tetapi juga kebijakan pemerintah. Seperti diketahui, sejumlah kasus
merebak di tanah air karena sebagian masyarakat adat pengaku tidak
mendapatkan perlakuan yang sama sebagai warga negara, khususnya
terkait dengan sistem kepercayaan dan adat istiadatnya. Disinilah arti
pentingnya penelitian ini, di mana agama lokal dilihat sebagai suatu sistem
kepercayaan yang dinamis. Terlebih dengan adanya Undang-undang yang
menjamin hak-hak yuridis dan hak-hak sipil setiap warga negara, disini
para pemeluk dan pengikut agama lokal seperti yang terdapat di Lombok
didengar aspirasi dan permasalahan yang dihadapi.3
Antara agama dan budaya sama-sama melekat pada diri
seseorang. Dari aspek keyakinan maupun aspek ibadah formal, praktik
agama akan selalu bersamaan, dan bahkan berinteraksi dengan budaya.
Kebudayaan sangat berperan penting di dalam terbentuknya sebuah praktik
keagamaan bagi seseorang atau masyarakat. Tidak hanya melahirkan
bermacam-macam agama, kebudayaan ini lah juga mempunyai andil besar
bagi terbentuknya aneka ragam praktik beragama dalam satu payung
agama yang sama. Dalam kenyataannya dua atau lebih orang dengan
agama yang sama belum tentu mempunyai praktik atau cara pengamalan
3
Suhanah, Dinamika Agama Lokal di Indonesia (Jakarta: Kementrian Agama, 2004),
h.161-162.
4
agama, khususnya ritual, yang sama. Keragaman cara beribadah dalam
suatu komunitas agama ini mudah kita dapati dalam setiap masyarakat,
dengan terbentuknya berbagai macam kelompok agama.4
Perkawinan sangat dibutuhkan dalam kehidupan bermasyarakat
guna
melangsungkan
kehidupan
umat
manusia
serta
untuk
mempertahankan eksistensi kemanusiaan di muka bumi. Hal ini sangat
disenangi oleh setiap pribadi manusia dan merupakan fitrah bagi setiap
makhluk Tuhan. Dengan perkawinan akan tercipta suatu masyarakat kecil
dalam bentuk keluarga hdan dari situlah akan terlahir beberapa suku dan
bangsa.5
Sejarah perkawinan telah tercatat semenjak Nabi Adam turun ke
bumi dan menjalani kehidupan bersama-sama dengan anak cucunya.
Sedangkan perkawinan merupakan satu hal yang paling mendasar dan
sangat di butuhkan dalam kehidupan manusia. Perkawinan merupakan hal
yang fitrah bagi manusia yang sudah tertanam dan terpatri dalam hati dan
perasaan manusia laki-laki dan wanita. Keduanya saling membutuhkan
guna saling mengisi dan membagi perasaan suka maupun duka. Hidup ini
terasa kurang sempurnatanpa kehadiran orang lain disisinya, menjalin
kasih sayang bersamanya, membangun mahligai rumah tangga yang
bahagia dan sejahtera.6
4
Khadziq, Islam Dan Budaya Lokal, Belajar Memahami Realitas Agama Dalam
Masyarakat (Yogyakarta: Teras, 2009), h.42-43.
5
Musifin As’ad dan Salim Basyarahil, Perkawinan dan Masalahnya (Jakarta: Pustaka
Al-Kaustar, 1993), h. 14.
6
As’ad dan Basyarahil, Perkawinan dan masalahnya, h. 17-18.
5
Selanjutnya, sebelum kita membahas tentang Merariq, terdapat 2
macam penulisan Merariq. Yakni (Merariq7 dan Merari’8) akan tetapi
penulis memilih menggunakan kata Merariq dengan alasan karena lebih
banyak digunakan oleh penulisan karya Ilmiah. Dalam adat sasak
pernikahan sering disebut dengan Merariq. Secara etimologis kata
Merariq diambil dari kata “lari”, berlari. Merari’an berarti Melai’ang
artinya melarikan. Kawin lari, adalah sistem adat penikahan yang masih
diterapkan di Lombok. Apabila membahas perkawinan suku Sasak, tidak
bisa terlepas membicarakan Merariq. Merariq yaitu melarikan anak gadis
untuk dijadikan istri. Begitu mendarah dagingnya tradisi ini dalam
masyarakat, sehingga apabila ada orang yang ingin mengetahui status
pernikahan seseorang, orang tersebut cukup bertanya apakah yang
bersangkutan telah Merariq atau belum. Oleh karenanya tepat jika
dikatakan bahwa Merariq merupakan hal yang sangat penting dalam
perkawinan Sasak.9
Ada dua pandangan yang mengemukakan munculnya tradisi kawin
lari (Merariq) di pulau Lombok, yaitu: Pertama, orisinalitas Merariq.
Kawin lari (Merariq) dianggap sebagai budaya produk lokal dan
merupakan ritual asli (genuine) dan leluhur masyarakat Sasak yang sudah
7
M Harfin Zuhdi, Praktik Merariq: Wajah Sosial Masyarakat Sasak (Mataram: LEPPIM
IAIN Mataram, 2012).
8
Fachrir Rahman, Pernikahan di Nusa Tenggara Barat antara Islam dan Tradisi
(Mataram: LEPPIM IAIN Mataram, 2012).
9
Nur Yasin, hukum perkawinan Islam Sasak (Malang: UIN Malang Press, 2008), h. 150151.
6
dipraktikkan oleh masyarakat sebelum datangnya kolonial Bali maupun
kolonial Belanda. Pendapat ini didukung oleh sebagian masyarakat Sasak
yang dipelopori oleh tokoh tokoh adat, di antaranya adalah H.Lalu
Mudjitahid, mantan wagub NTB dan kini ketua Masyarakat Adat Sasak
(MAS); dan peneliti Belanda, Nieuwenhuyzen mendukung pandangan ini.
Menurut Nieuwenhuyzen, sebagaimana dikutip Tim Depdikbud, banyak
adat Sasak yang memiliki persamaan dengan adat suku Bali, tetapi
kebiasaan atau adat, khususnya perkawinan Sasak, adalah adat Sasak yang
sebenarnya. Kedua, akulturasi Merariq. Kawin lari (Merariq) dianggap
budaya produk impor dan bukan asli (ungenuine) dari leluhur masyarakat
sasak serta tidak dipraktikkan masyarakat sebelum datangnya kolonial
Bali. Pendapat ini didukung oleh sebagian masyarakat Sasak dan
dipelopori oleh tokoh agama, Pada tahun 1955 di Bengkel Lombok Barat,
Tuan Guru Haji Saleh Hambali menghapus, kawin lari (Merariq) karena
dianggap manifestasi Hinduisme Bali dan tidak sesuai dengan Islam. Hal
yang sama dapat dijumpai di desa yang menjadi basis kegiatan Islam di
Lombok, seperti Pancor, Kelayu, dan lain-lain. Menurut John Ryan
Bartholomew, praktik kawin lari dipinjam dari budaya Bali. Analisis
antropologis historis yang dilakukan Clifford Geertz dalam bukunya
Internal Convention in Bali (1973), Hildred Geertz dalam, tulisannya An
Anthropology of Religion and Magic (1975), dan James Boon dalam
bukunya, The Anthropological Romance of Bali (1977), seperti dikutip
Bartolomew, memperkuat pandangan akulturasi budaya Bali dan Lombok
7
dalam Merariq. Solichin Salam menegaskan bahwa praktik kawin lari di
Lombok merupakan pengaruh dari tradisi kasta dalam budaya Hindu Bali.
Karena telah dijelaskan di awal bab 1 bahwa Merariq ini memiliki dua
pandangan yang mengemuka di Lombok, pertama yaitu keorisinalitas
budaya, yaitu merupakan budaya lokal, dan yang kedua itu Merariq
merupakan budaya produk impor, bukan asli (ungenuine) dari leluhur
masyarakat sasak serta tidak dipraktikkan masyarakat sebelum datangnya
kolonial Bali. Berdasarkan kedua argument tentang sejarah kawin lari
(Merariq) di atas, tampak bahwa paham akulturasi Merariq memiliki
tingkat akurasi lebih valid.10
Dalam konteks ini penulis lebih kepada pendapat kedua, yakni
Merariq ini dilatar belakangi oleh pengaruh adat hindu-Bali. Sebagai
bagian dari rekayasa sosial budaya Hindu-Bali terhadap suku Sasak, dalam
suku Sasak dikenal adanya strata sosial yang disebut triwangsa. Strata
sosial ini sudah jelas sama dengan pola Hindu-Bali. 11
Dalam menyikapi tradisi kawin lari, secara garis besar pendapat
masyarakat Sasak terhadap Merariq terjadi menjadi dua, yaitu mereka
yang menyetujuinya dan mereka yang menolaknya. Perbedaan pendapat
kedua kelompok ini masih merupakan rangkaian dari perbedaan pendapat
mereka dalam melihat asal mula kawin lari. Para tokoh adat Sasak yang
berpendapat bahwa kawin lari merupakan budaya asli masyarakat Sasak
tentu mendukung lestarinya tradisi ini. Sedangkan para tokoh agama atau
10
Yasin, hukum perkawinan Islam Sasak, h. 155-157.
John Ryan Bartholomew, Alif Lam Mim: Kearifan Masyarakat Sasak (Yogyakarta: PT.
Tiara Wacana Yogya, 2001), h. 49.
11
8
tuan guru yang berpendapat bahwa budaya kawin lari merupakan tradisi
masyarakat Hindu Bali yang diikuti oleh masyarakat Sasak sudah tentu
juga lebih menganjurkan untuk meninggalkan tradisi ini. Menurut tuan
guru haji Muharror, meskipun ada perbedaan antara kawin lari di Lombok
dan Bali, dimana bagi umat Hindu, setelah perempuan dilarikan mereka
langsung boleh “bergaul”, sedangkan pada masyarakat Sasak, setelah
pelarian mereka masih tetap di larang “bergaul” sampai terlaksananya
akad nikah secara Islami, tetap saja tradisi kawin lari sebaiknya
ditinggalkan. Menurutnya, budaya kawin lari merupakan salah satu bentuk
tasyabbuh bi al-kuffar (penyerupaan dengan orang-orang kafir) dan umat
Islam dilarang untuk melakukannya. Seharusnya umat Islam lebih
mentradisikan khitbah atau lamaran dari pada kawin lari, namun untuk
mensosialisasikannya harus tetap tanpa mengencam adat istiadat
Merariq.12
Tradisi
Merariq
ini
merupakan
bagian
dari
kebudayaan.
Kebudayaan dan kehidupan sosial masyarakat Lombok tidak bisa lepas
dari dikotomi kebudayaan nusantara. Ada dua aliran utama yang
mempengaruhi kebudayaan nusantara, yaitu tradisi kebudayaan Jawa yang
dipengaruhi oleh filsafat Hindu-Budha dan tradisi kebudayaan Islam.
Kedua aliran kebudayaan itu nampak jelas pada kebudayaan orang
Lombok.
Golongan pertama, di
pusat-pusat kota Mataram dan
Cakranegara, terdapat masyarakat orang Bali, penganut ajaran Hindu-Bali
12
Ahmad Fathan Aniq, konflik peran Gender pada tradisi merariq di pulau Lombok
(Surabaya: IAIN Sunan Ampel) h. 33-35.
9
sebagai sinkretis Hindu-Budha. Golongan kedua, sebagian besar dari
penduduk Lombok, beragama Islam dan peri-kehidupan serta tatanan
sosial budayanya dipengaruhi oleh agama tersebut. Mereka sebagian besar
adalah orang Sasak. Merariq sebagai sebuah tradisi yang biasa berlaku
pada suku Sasak di Lombok ini memiliki logika tersendiri yang unik. Bagi
masyarakat Sasak, Merariq berarti mempertahankan harga diri dan
menggambarkan sikap kejantanan seorang pria Sasak, karena ia berhasil
mengambil (melarikan) seorang gadis pujaan hatinya. Sementara pada sisi
lain, bagi orang tua gadis yang dilarikan juga cenderung enggan, kalau
tidak dikatakan gengsi, untuk memberikan anaknya begitu saja jika
diminta secara biasa (konvensional), karena mereka beranggapan bahwa
anak gadisnya adalah sesuatu yang berharga, karena perempuan/gadis di
lombok itu sangat dihargai, ditambah kalau perempuan itu memiliki tahta
atau garis keturunan bangsaawan, tetapi tetap wanita yang tidak memiliki
tahta atau garis keturunan bangsawan tetap sangat berharga, jika diminta
secara biasa, maka dianggap seperti meminta barang yang tidak berharga.
Ada ungkapan yang biasa diucapkan dalam bahasa Sasak: Ara’m
ngendeng anak manok baen (seperti meminta anak ayam saja). Jadi dalam
konteks ini, Merariq dipahami sebagai sebuah cara untuk melakukan
prosesi pernikahan, di samping cara untuk keluar dari konflik.13
13
Yasin, hukum perkawinan Islam Sasak, h. 152-154.
10
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, penulis merasa perlu
membatasi ruang lingkup kajian dalam pembahasan penelitian ini
agar lebih fokus dan tidak menjadi bias. Oleh karena itu, di sini penulis
telah merumuskan permasalahan yang ingin dikaji lebih dalam terkait
Tradisi Merariq tentang Perkawinan Suku Sasak yang mendiami Pulau
Lombok, yaitu:
1. Bagaimana pola Integrasi Agama dengan Adat suku Sasak?
2. Bagaimana Format Tradisi Perkawinan Merariq di Lombok?
3. Bagaimana Masa Depan Perkawinan Merariq di Lombok dengan
Tuntutan Kehidupan Modern?
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui bagaimana pola Integrasi Agama dengan adat
suku Sasak
2. Untuk mengetahui Format Tradisi perkawinan Merariq di Lombok
3. Untuk mengetahui Masa Depan Perkawinan Merariq di Lombok
dengan Tuntutan Kehidupan Modern
Sedangkan kegunaan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk memberi pemahaman dan pengetahuan kepada masyarakat
tentang Tradisi perkawinan Merariq di Lombok
2.
Untuk tambahan koleksi kepustakaan Islam mengenai Tradisi
perkawinan Merariq di Lombok
11
D. Kajian Pustaka
Dalam kajian pustaka ini adalah sebagai penelitian terdahulu yang
mana bukan untuk melihat referensi buku yang ingin kita gunakan tetapi
untuk mengetahui keorisinilan judul yang ingin saya teliti, dan di sisi lain
untuk mengetahui siapakah sarjanah yang pernah membahas tentang judul
ini agar kita bisa melacaknya. Kajian pustaka ini bertujuan untuk pijakan
kita dalam menulis penelitian ini untuk mencari data-data terdahulu. Dan
sementara yang berkaitan dengan judul penulis teliti ini membahas tentang
Tradisi Perkawinan Merariq Suku Sasak di Lombok: Studi Kasus Integrasi
Agama dengan Budaya Masyarakat Tradisional. Dalam penelusuran
penulis tidak ada sarjana yang membahas tentang judul yang bersangkutan
dengan judul ini, sehingga penulis dapat melanjutkannya. Dan ada
beberapa buku yang membahas juga tentang Perkawinan Merariq antara
lain:
1. Tulisan yang pertama adalah buku yang terbit pada tahun 2012 karya
Muhammad Harfin Zuhdi dengan judul “Praktik Merariq: Wajah
Sosial Masyarakat Sasak”. Buku ini menjelaskan tentang adat
perkawinan suku Sasak di Lombok yang sudah mengakar dan
dilakukan secara turun temurun dan hingga kini lebih banyak di
pahami sebagai selarian (kawin lari). Oleh sebab itu tidak heran kalau
Merariq mendapat konotasi yang negatif juga prosesinya yang panjang
dengan melalui delapan tahapan dan memerlukan biaya yang sangat
besar sepenuhnya menjadi tanggung jawab pengantin pria. Seolah
12
sampai timbul asumsi bahwa perempuan disamakan dengan barang
dagangan atau kepemilikian sang pria. Hal ini berpengaruh terhadap
hubungan suami istri dalam rumah tangga dan berdampak pada
pelestarian praktik bias jender.
2. Tulisan yang kedua adalah buku yang terbit pada tahun 2001 karya
dari John Ryan Bartholomew terjemahan dari “Alif Lam Mim:
Reconciling Islam, Modernity and Tradition in an Indonesian
Kampung...” yang kemudian di terjemahkan oleh Imron Rosyidi
dengan judul “Alif Lam Mim: Kearifan Masyarakat Sasak”. Buku ini
menjelaskan tentang adat perkawinan suku Sasak di Lombok yang
mana berpijak pada kasus perkawinan Merariq yang dilakukan oleh
Ali dan Windi dikampung Demen. Dengan kondisi kampung Demen
dan aktivitas kedua masjid yaitu Nahdatul Wathan (NW) dan
Muhammadiyah, yang mendamaikan hubungan antara Islam, tradisi,
dan modernitas. Kasus antara Ali dan Windi menjadi pintu masuk
yang sangat pas karena kedua organisasi Islam diatas berbeda
pandangan tentang Merariq. Masjid Al Aziz yang dikuasai oleh
organisasi Muhammadiyah menolak Merariq, sementara masjid Al
Jibril yang dikuasai oleh organisasi Nahdatul Wathan meskipun tidak
menyetujui, namun tidak juga secara aktif melarang jamaahnya
mempraktikan adat tersebut. Karena, letak kedua masjid ini
berdekatan, Merariq menjadi persoalan kontroversial di Demen.
13
3. Tulisan yang ketiga adalah jurnal yang terbit pada tahun 2006 karya
dari M. Yasin dengan judul “Kontekstualisasi Doktrin Tradisional di
Tengah Modernisasi Hukum Nasional: Studi tentang Kawin Lari
(Merariq) di Pulau Lombok”. ada empat prinsip dasar yang terkandung
dalam praktik kawin lari (Merariq) di pulau lombok. Pertama, prestise
keluarga
perempuan,
dipahami
dan
diyakini
sebagai
bentuk
kehormatan atas harkat dan martabat keluarga perempuan. Ada
anggapan yang mengakar kuat dalam struktur memori dan mental
masyarakat tertentu di lombok bahwa dengan melarikan berarti anak
gadisnya memiliki nilai tawar ekonomis yang tinggi. Konsekuensinya,
keluarga perempuan merasa terhina jika perkawinan gadisnya tidak
dengan kawin lari (Merariq). Kedua, superioritas lelaki, inferioritas
perempuan. Satu hal yang tidak bisa dihindarkan dari sebuah kawin
lari (Merariq) adalah seseorang lelaki tampak sangat kuat, menguasai,
dan mampu menjinakkan kondisi sosial psikologis calon istri. Kawin
lari tetap memberikan legitimasi kepada kaum perempuan. Ketiga,
egalitarisnisme, terjadinya kawin lari menimbulkan rasa kebersamaan
di kalangan seluruh keluarga perempuan. Tidak hanya di lingkungan
kelurga tetapi juga kebersamaan melibatkan komunitas besar
masyarakat di lingkungan setempat. Keempat, komersial. Terjadinya
kawin lari hampir selalu berlanjut pada tawar menawar. Apapun
alasannya, pertimbangan-pertimbangan dari aspek ekonomi yang
paling kuat dan dominan. Ada indikasi bahwa orangtua merasa telah
14
membesarkan anak gadisnya sejak kecil hingga dewasa. Untuk itu
semua usaha tersebut telah menghabiskan banyak biaya yang tidak
sedikit. Untuk itu memperoleh sebagai ganti dari calon menantunya.
Semakin tinggi tingkat pendidikan dan tingkat sosial anak dan
orangtua semakin tinggi pula nilai tawar sang gadis. Sebaliknya,
semakin rendah tingkat sosial dan tinggkat pendidikan anak serta
orangtua semakin rendah pula nilai ekonomis yang ditawarkan.
E. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Jenis Penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Metode
ini bersifat deskriptif. Penelitian deskriptif ini adalah sebuah
penelitian yang bertujuan untuk menggambarkan suatu gejala
sosial, politik, ekonomi, dan budaya, yang mana dalam penelitian
ini
penulis
berusaha
untuk
menggambarkan suatu
tradisi
perkawinan Merariq di Lombok.14
2. Teknik Pengumpulan Data
Sedangkan
untuk
mendapatkan
sebuah
data
dalam
melakukan penelitian ini, peneliti menggunakan dua cara yaitu:
1) Studi kepustakaan (Library research)
Studi kepustakaan ialah mengumpulkan data dengan cara
mencari buku-buku yang sesuai dengan tema yang kita buat
14
Mastuhu, Metodologi Penelitian Agama: Teori dan Praktik, (Jakarta: PT Grafindo
Persada, 2006) h. 29.
15
dengan tujuan sebagai dasar untuk mendapatkan data-data baik
itu data primer maupun data skunder. Sumber studi
kepustakaan ini di dapatkan dari buku, majalah, artikel, jurnal,
dll.
2) Penelitian Lapangan (Field research)
Metode
penelitian
lapangan
ini
yang
mengadakan
penelitian lapangan terhadap ritual perkawinan Merariq
khususnya pada suku Sasak dengan pendekatan Kualitatif.
Yang mana dibagi menjadi 3 cara yaitu:
a.
Observasi
Observasi atau pengamatan langsung di lakukan
untuk memperoleh fakta nyata tentang tradisi upacara
perkawinan suku sasak (Merariq) dan hal-hal yang
berkaitan kemudian melakukan pencatatan di salah satu
sebuah Desa Sade yang terletak di bagian Lombok
Tengah,
Nusa
Tenggara
Barat.
Kemudian
penulis
mewawancarai salah satu pemangku adat Sasak yang
berada di tempat observasi Desa Sade.
Kemudian observasi juga di lakukan di jalan raya
cakranegara yang mana, sedang diadakan nyongkolan
(arak-arakan pengantin dari rumah pria kerumah wanita
dengan di iringi musik khas tradisional suku Sasak).
Metode ini di lakukan dengan cara terjun langsung ke
16
lapangan untuk melakukan pengamatan tentang pelaksaan
upacara perkawinan suku Sasak (Merariq), yang meliputi
proses upacara, perlengkapan upacara, dan tempat
penyelenggaraan upacara. Agar terpenuhi standar ilmiah
maka peneliti harus mampu masuk di dalamnya untuk
berperan serta dalam ritual adat setempat.15
b.
Wawancara Mendalam (In-depth Interview)
Wawancara adalah metode pengumpulan data
dengan melakukan dialog atau percakapan terkait dengan
tema
penelitian
kepada
informan.16
Metode
ini
dimaksudkan untuk memperoleh data primer, karena data
ini diperoleh langsung melalui wawancara dengan pelaku
upacara. Adapun tokoh upacara, pemimpin/pemangku adat
perkawinan Merariq, kedua pasangan pengantin, dan
berbagai pihak yang bersangkutan.
c.
Dokumentasi
Dalam penelitian ini penulis mengkaji bahan tertulis
dan tidak tertulis yang bertujuan untuk mendapatkan data
skunder sebagai pelengkap dari kedua data diatas. Sumber
tertulis tersebut berupa data monografi dan arsip-arsip
yang ada relevansinya dengan penelitian, sedangkan
15
Suwardi Endraswara, Metodologi Penelitian Kebudayaan, (Yogyakarta: Gajah Mada
University Press, 2006), h. 169.
16
Lexi J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung: PT Remaja Rosdakarya,
2006), h. 186.
17
sumber tidak tertulis brupa foto-foto dan video tentang
praktik terjadinya Tradisi Perkawinan Merariq.
3) Analisis data
Data yang terkumpul selanjutnya perlu diolah dan dianalisis
untuk menjawab masalah penelitian yang mana analisis data
yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah analisis
deskriptif. Penulis menggambarkan dan menjelaskan mengenai
tentang situasi yang terjadi dalam tempat penelitian sehingga
nantinya akan memperoleh deskripsi yang sistematis dan
fakta-fakta dalam tempat penelitian.17
4) Pendekatan Penelitian
Dalam melakukan penelitian ini penulis menggunakan
beberapa pendekatan, pendekatan-pendekatan tersebut adalah:
a. Pendekatan Antropologis
Pendekatanan antropologis adalah dasar
filosofis yang fokus pembahasannya berkaitan
dengan kegiatan manusia, baik secara normatif
maupun historis. Itulah mengapa penelitian ini perlu
sekali dikaitkan dengan penelitian saya karena
peduli terhadap tindakan manusia di masa lalu dan
kelanjutannya. Untuk menghasilkan gambaran yang
tepat
17
tentang
fenomena
antropologis
peneliti
Sumardi Suryabrata, metodologi penelitian (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,1998)
h.18.
18
menggunakan pendekatan induktif, dalam lingkup
yang tidak terlalu luas, fleksibel, dan kontekstual.18
b. Pendekatan Sosiologis
Pendekatan
Sosiologis
dibedakan
dari
pendekatan studi Agama lainnya karena fokus
perhatiannya pada interaksi antara agama dan
masyarakat.
Beranggapan
dasar
perspektif
sosiologis adalah Concern-nya pada struktur sosial,
konstruksi pengalaman manusia, dan kebudayaan
termasuk Agama.19
c. Pendekatan Historis
Pendekatan
Historis
ialah
salah
satu
pendekatan yang digunakan untuk memahami gejala
sosial keagamaan. Pendekatan ini cukup populer di
kalangan para ahli di lingkungan Departemen
Agama. Pendekatan ini mengasumsikan bahwa
realitas sosial yang terjadi sekarang ini sebenarnya
merupakan hasil proses sejarah yang terjadi sejak
beberapa tahun, ratusan tahun, bahkan ribuan tahun
18
Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian suatu Pendekatan Praktik, (Jakarta: PT
Rineka Cipta, 2006) h. 15.
19
Peter Connolly (ed), Aneka Pendekatan Studi Agama, (Yogyakarta: PT LkiS Printing
Cemerlng, 2002) h. 271
19
yang
lalu.20
Maka
dari
itu
penulis
juga
menggunakan pendekatan ini.
d. Pendekatan Teologis
Pendekatan Teologis ini ialah merupakan
pendekatan yang paling dominan dan paling
berpengaruh dalam Studi Agama dan Studi Agamaagama. Inilah pendekatan yang bersifat normatif
dan subyektif. Dengan pendekatan ini seorang
peneliti melakukan satu dari dua hal: (1) studi
internal. Dalam hal ini, seorang sarjana/peneliti
agama adalah orang yang berusaha secara aktif
dalam kegiatan ilmiahnya untuk mrlrstarikan dan
mempromosikan
keunggulan
agamanya
serta
mempertahankannya dari ancaman atau serangan
dari orang lain. (2) studi eksternal. Dalam hal ini,
soeang peneliti/ penganut agama tertentu melakukan
kajian terhadap agama/keyakinan orang lain untuk
menilai dan menghakiminya dengan ukuran agama
sang peneliti.21
F. Sumber Data
Sumber data ialah dari mana kita mendapatkan sebuah data
tersebut, dalam hal ini peneliti mempunyai dua sumber data yang pertama
20
Mastuhu, Metodologi Penelitian Agama, h. 149.
Media Zainul Bahri, Aneka Pendekatan Studi Agama-agama (Jakarta: 2014), h.8.
21
20
sumber data primer dan sumber data skunder. Sedangkan sumber sementara
yang peneliti miliki:
a. Sumber Primer adalah data yang sebenarnya langsung dengan
tema penelitian yang sumbernya berupa:
1. Nur Yasin. Hukum Perkawinan Islam Sasak, Malang: UIN
Malang Press, 2008.
2. Ahmad Fathan Aniq. Konflik Peran Gender pada Tradisi
Merariq di Pulau Lombok, Surabaya: IAIN Sunan Ampel
3. M.
Harfin
Zuhdi.
Praktik Merariq:
Wajah Sosial
Masyarakat Sasak, Mataram: LEPPiM IAIN Mataram,
2012.
4. John Ryan Bartholomew. Alif Lam Mim: kearifan
Masyarakat Sasak, Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya,
2001.
5. Melakukan wawancara mendalam dengan pemimpin/
pemangku upacara adat perkawinan dan masyarakat Sasak.
b. Sumber Sekunder adalah data yang relevan tapi tidak
berhubungan
langsung
yang
didapat
melalui
literatur
kepustakaan (Library Research), seperti buku, jurnal, arsip,
ensiklopedi, majalah, dan sumber kepustakaan lainnya yang
berhubungan dengan penelitian ini.
21
G. Sistematika Penulisan
Agar mempermudah dalam pembahasan maka dari itu disusun
sistematika penulisan bab per bab.
BAB I
PENDAHULUAN
Pada Bab I ini terdiri dari tujuh sub bab yang terdiri dari:
Latar Belakang, Rumusan Masalah, Tujuan dan kegunaan
Penelitian, Kajian Pustaka, Metodologi Penelitian, Sumber
Data, dan Sistematika Penulisan.
BAB II
GAMBARAN UMUM MASYARAKAT SUKU SASAK
Pada Bab II ini akan menguraikan Sejarah Singkat Suku
Sasak di Lombok, Letak Geografisnya serta membahas
tentang sistem keyakinan yang dianut oleh masyarakat
Sasak yang terdiri dari Akidah Masyarakat Sasak terhadap
Pengetahuannya kepada Allah, Pendekatan Ibadah yang
dilakukan Masyarakat Sasak kepada Allah serta akhlak
Masyarakat Sasak terhadap Perilaku Sosialnya.
BAB III
KEBUDAYAAN
Pada Bab III ini akan menguraikan beberapa teori budaya
yang mana dalam Tradisi Merariq melahirkan Tantangan
yang menghasilkan Kreasi Budaya dan dalam Tradisi
Merariq menimbulkan Karya yang menghasilkan Inovasi
Budaya
dan
akhir
dari
Tujuan
menghasilkan nilai-nilai Budaya.
Budaya
Merariq
22
BAB IV
FAKTOR
DOMINAN
ANTARA
AGAMA
DAN
BUDAYA DALAM TRADISI MERARIQ
Pada Bab IV ini akan menguraikan tentang Tujuan Merariq
itu seperti apa, alasan Merariq itu bagaimana dan perspektif
Merariq menurut pandangan masyarakat Sasak maupun
diluar Sasak.
BAB V
PENUTUP
Penutup yang terdiri dari: Kesimpulan dan Saran.
BAB II
GAMBARAN UMUM MASYARAKAT SASAK
A. Sejarah Singkat Suku Sasak
Sasak secara etimologi, berasal dari kata “sah” yang berarti “pergi”
dan “shaka” yang berarti “leluhur”. Dengan begitu dapat disimpulkan
bahwa “sasak” memiliki arti “pergi ke tanah leluhur”. Dari pengertian
inilah diduga bahwa leluhur orang Sasak itu adalah orang Jawa. Bukti
lainnya merujuk kepada aksara Sasak yang digunakan oleh orang Sasak
disebut sebagai “Jejawan”, merupakan aksara yang berasal dari tanah
Jawa, pada perkembangannya, aksara ini dipersepsikan dengan baik oleh
para pujangga yang telah melahirkan tradisi kesusastraan Sasak.1
Pendapat lain beranggapan bahwa kata Sasak berasal dari kata saksak yang dalam bahasa Sasak berarti sampan. Pengertian ini dihubungkan
dengan kedatangan nenek moyang orang Sasak dengan menggunakan
sampan dari arah barat. Sumber lainnya yang sering dihubungkan dengan
etimologi Sasak adalah kitab Nagarakertagama yang memuat catatan
kekuasaan Majapahit abad ke-14, ditulis oleh Mpu Prapanca. Dalam kitab
Nagarakertagama terhadap ungkapan “lombok sasak mirah adi”,
pemaknaan ini merujuk kepada kata Sasak (sa-sak) yang diartikan sebagai
satu atau utama, Lombok (Lomboq) dari bahasa kawi yang dapat diartikan
sebagai jujur atau lurus, mirah diartikan sebagai permata dan adi bermakna
baik. Maka, Lombok Sasak Mirah Adi berarti kejujuran adalah permata
1
Wawancara Pribadi dengan Mahardika (Pemangku Adat Sasak desa Sade Lombok
Tengah, Nusa Tenggara Barat) Pada Tanggal 29 Maret 2017.
23
24
kenyataan yang baik atau utama. Masyarakat suku Sasak merupakan
masyarakat yang masih memegang teguh tradisi dan mempertahankan
kebudayaan sampai saat ini. Kini, suku Sasak bukan hanya sebuah
kelompok masyarakat tetapi juga merupakan salah satu etnis yang
melambangkan kekayaan tradisi yang dimiliki oleh Indonesia.2
Sasak adalah penduduk asli dan kelompok etnik mayoritas
Lombok. mereka meliputi lebih dari 90% dari keseluruhan penduduk
Lombok. kelompok-kelompok etnik lain seperti Bali, Sumbawa, Jawa,
Arab, dan Cina adalah para pendatang. Diantara mereka, orang Bali
merupakan kelompok etnik kedua terbesar setelah Islam di pulau Lombok.
Orang Sumbawa terutama bermukim di Lombok Timur, dan orang-orang
Arab di Ampenan. Lingkungan pemukiman masyarakat Arab Ampenan
disebut sebagai kampung Arab Ampenan. Orang-orang Cina, mayoritas
adalah pedagang yang tinggal di pusat-pusat pasar, seperti Ampenan dan
Cakra. Orang-orang Bugis, khususnya yang hidup sebagai nelayan, tinggal
di kawasan pantai Tanjung Ringgit dan Tanjung Luar di Lombok Timur.
Kampung Jawa atau pemukiman orang Jawa terletak di Praya, Lombok
Tengah.3
B. Letak Geografis
Diantara kepulauan Indonesia, Lombok terletak disebelah timur
Bali dan disebelah barat Sumbawa. Pada bagian Barat, terletak selat
2
Lalu Lukman, Pulau Lombok dalam Sejarah: ditinjau dari aspek Budaya (Mataram:
2005), h. 3.
3
Erni Budiwanti, Islam Sasak: Wetu Telu versus Waktu Lima (Yogyakarta: LKiS, 2000),
h. 6-7.
25
Lombok dan pada bagian Timur, terdapat selat Alas. Disebelah utara
Lombok juga berbatasan dengan laut Jawa dan disebelah timur lautan
Indonesia
di
bagian
selatannya.
Lombok
diantara
pulau-pulau
tentangganya, Bali dan Jawa disebelah baratnya yang mendapatkan lebih
banyak curah hujan dan disebelah timurnya, Sumbawa dan NTT, yang
realif tandus dan kering. Pada tanggal 14 Agustus 1958, Propinsi Sunda
Kecil dipisahkan menjadi tiga propinsi: Bali, Nusa Tenggara Barat (NTB),
dan Nusa Tenggara Timur (NTT). Bali menjadi propinsi tersendiri dengan
ibukotanya Denpasar yang terletak di Bali Selatan. Lombok dan Sumbawa
disatukan menjadi propinsi NTB (Nusa Tenggara Barat) dengan
ibukotanya Mataram yang terletak di Lombok Barat. Propinsi NTT (Nusa
Tenggara Timur) terdiri dari gabungan seluruh pulau di kawasan Timur,
dari Flores hingga Timor (termasuk pulau-pulau yang sangat kecil) dengan
Kupang sebagai ibukotanya.4
Propinsi NTB terdiri dari enam kabupaten dan satu kota. Enam
kabupaten itu adalah Lombok Barat, Lombok Tengah, dan Lombok Timur
yang terletak di Pulau Lombok dan Sumbawa, Dompu, dan Bima yang
terletak di Pulau Sumbawa. Mataram merupakan salah satu kabupaten di
NTB, yang juga merupakan ibukota propinsi dan kabupaten Lombok
Barat. NTB merupakan daerah dengan luas sekitar 2,015,315 kilometer
dan mempunyai penduduk sekitar 3,369,649 yang tersebar secara tidak
merata di keenam kabupatennya. Lebih dari 70% atau sekitar 2,4 juta
4
Erni Budiwanti, Islam Sasak, h. 4-5
26
penduduk NTB bermukim di Lombok. Lombok sendiri merupakan
kawasan dengan luas 470,000 kilometer atau hampir seperempat dari luas
propinsi NTB. Lombok Barat dengan penduduk berjumlah 859,273 orang
merupakan kabupaten dengan penduduk paling padat. Lebih dari 83%
penduduk NTB tinggal di pedesaan dan hidup dengan bertani. Dan lebih
dari 36% penduduk Lombok Barat bertempat tinggal di kota-kota.5
Orang sasak mendiami pulau Lombok di deretan pulau-pulau Nusa
Tenggara (Sunda Kecil). Jumlah populasinya sekitar 1,8 juta jiwa. Bahasa
Sasak terdiri atas beberapa dialek, yaitu dialek Sasak Pejanggi, Sasak
Selaparang, Sasak Bayan, Sasak Tanjong, Sasak Punjut, Sasak Sembalun,
Sasak Tebanggo, dan Sasak Pengantap. Bahasa Sasak juga mengenal
tingkatan, yaitu halus dalam, halus biasa, dan Kasar. Peneliti akan
membahas tentang Sasak Punjut, yang mana ada di desa Rembitan
kecamatan Punjut ini terdapat Dusun Sade yang terletak di kecamatan
Punjut Lombok Tengah. Mengapa peneliti membahas tentang Sasak
Punjut, karena salah satunya penulis juga penasaran akan hal tradisi-tradisi
yang ada di sasak Punjut ini dan juga sebelumnya penulis mengetahui desa
sade tersebut, penulis sempat berwisata ke Lombok dan berinisiatif untuk
mempelajari dan mendalami apa itu desa sade dan sasak Punjut yang ada
di Lombok dan juga sasak Punjut yang masih asli sampai saat ini yaitu
tempat tinggalnya, juga beberapa tradisi yang masih dijalankannya,
walaupun hanya sebagian kecil tradisi yang dijalankan sampai saat ini,
5
Erni Budiwanti, Islam Sasak, h. 6.
27
karena pada saat ini sudah hampir menjalankan Islam sempurna sekarang
akibat pendakwah Islam yang mulai menyebar di Nusa Tenggara Barat.6
Dusun Sade atau Desa Sade terletak di wilayah Desa Rambitan,
kecamatan Punjut, Kabupaten Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat.
Letak kampung ini 50 km arah Tenggara Kota Mataram (Ibu Kota NTB)
dan 19 km dari kota Praya (Ibu Kota Lombok Tengah). Desa Sade
memiliki Luas 50 Ha. Secara geografis pada koordinat 08 derajat 50 LS
dan 116 derajat BT. Desa Sade terletak pada ketinggian120-126 m di atas
permukaan laut, terletak pada sebuah panteisme bukit, di sebelah Utara
dan Selatan terdapat persawahan dan ladang penduduk. Batas wilayah
yaitu Sebelah Barat Dusun Penyalu, Sebelah Utara Dusun Selak, sebelah
Selatan Dusun Selemang.7
C. Sistem Keyakinan yang dianut Masyarakat Sasak
Sebelum kedatangan pengaruh asing di Lombok, Boda merupakan
kepercayaan asli orang Sasak. Orang Sasak pada waktu itu, menganut
kepercayaan ini, disebut sebagai Sasak Boda. Kendati demikian agama ini
tidaklah sama dengan Buddhisme karena ia tidak mengakui Sidarta
Gautama atau Sang Buddha sebagai figur utama pemujaannya maupun
terhadap ajaran pencerahannya. Agama Boda dari orang Sasak asli
terutama ditandai oleh animisme dan pemujaan dan penyembahan roh-roh
leluhur dan berbagai dewa lokal lainnya merupakan fokus utama dari
6
Lalu Erwan Husnan, Ungkapan Tradisional Masyarakat Sasak (NTB: KSU Primaguna,
2012) , h. 5-6.
7
Wawancara Pribadi dengan Mahardika (Pemangku Adat Sasak desa Sade Lombok
Tengah, Nusa Tenggara Barat) Pada Tanggal 29 Maret 2017.
28
praktik keagamaan Sasak Boda. Berbagai kekuatan asing yang
menaklukkan Lombok selama berabad-abad, sangat menentukan cara
orang Sasak menyerap pengaruh-pengaruh luar.8
Penganut Boda sebagai komunitas kecil yang berdiam di wilayah
pegunungan utara dan di lembah-lembah pegunungan Lombok bagian
selatan. Kelompok Boda ini konon adalah orang-orang Sasak yang dari
segi kesukuan, budaya, dan bahasa menganut kepercayaan asli. Mereka
menyingkir ke daerah pegunungan melepaskan diri dari Islamisasi di
Lombok.9
Kemudian kerajaan Majapahit masuk ke Lombok dan membawa
serta budayanya. Hindu-Buddha Majapahit pun kemudian dikenal oleh
suku Sasak. Di akhir abad ke 16 hingga abad ke 17 awal perkembangan
agama Islam menyentuh pulau Lombok. Salah satunya karena peran Sunan
Giri. Setelah perkembangan Islam, kepercayaan suku Sasak sebagian
berubah dari Hindu menjadi penganut Islam. Berdasarkan sistem
kepercayaan suku Sasak pada masa-masa selanjutnya, kemudian dapat
diklasifikasikan tiga kelompok utama; Boda, Wetu Telu, dan Islam (Wetu
Lima).10
Sementara sinkretisme Islam wetu telu kini berkembang terbatas di
beberapa bagian utara dan selatan Pulau Lombok. Meliputi Bayan, dataran
tinggi Sembalun, Suranadi di Lombok Timur, Pujut di Lombok Tengah,
8
Erni Budiwanti, Islam Sasak, h. 8
Erni Budiwanti, Islam Sasak, h. 11
10
Lalu Lukman, Pulau Lombok dalam Sejarah, h. 6
9
29
dan Tanjung di Lombok Barat. Istilah Islam wetu telu diberikan karena
penganut kepercayaan ini beribadah tiga kali di bulan puasa, yaitu sholat
pada waktu Magrib, Isya, dan waktu Subuh. Penganut kepercayaan wetu
telu melakukan ibadah tiga waktu itu, konon pada saat penyebaran agama
Islam di Nusa Tenggara Barat atau di Lombok itu baru mengajarkan
setengahnya. Jadi belum sempurna penyebarannya para pendakwah Islam
yang datang ke Lombok sudah pergi meninggalkan Lombok. jadi memang
yang didapat oleh orang-orang terdahulu orang sasak seperti itu, sampai
saat ini pun orang Sasak memahaminya seperti itu. Di luar bulan puasa,
mereka hanya satu hari dalam seminggu melakukan ibadah, yaitu pada
hari Kamis dan atau Jumat, meliputi waktu Asar. Salah satu alasan mereka
melakukan ibadah dengan menitipkan kepada pemangku karena memang
begitulah adat yang mereka yakini, bahwa beribadah mereka harus
diwakili oleh pemangku atau orang yang mempunyai ilmu lebih tinggi
dibandingkan orang-orang biasa. Kalau di ibaratkan pada Islam, yaitu
kepada kiyai atau pemangku. Untuk urusan ibadah lainnya biasanya
dilakukan oleh pemimpin agama mereka; para kiai dan penghulu. Para
penganut Islam Wetu telu membangun Masjid (tempat ibadah) mereka
dengan gaya arsitektur khas suku Sasak; dari kayu dan bambu, dengan
bagian atapnya terbuat dari jenis alang-alang atau sirap dari bambu.
Dengan denah berbentuk persegi empat dan bagian atap seperti piramid
bertumpang yang disangga dengan tiang-tiang, beberapa ahli menilai
arsitektur masjid ini mirip dengan Arsitektur masjid lama yang ada di
30
Ternate dan Tidore.11
a. Akidah Masyarakat Sasak terhadap Pengetahuannya kepada Allah
Awalnya Agama wetu telu memiliki ciri sama dengan Hindu-Bali
dan Kejawen. Kemudian mengapa saat ini orang sasak sudah beralih
kepada Islam sempurna seperti sekarang, karena pendakwah Islam
sekarang yang sudah berusaha menyebarkan Islam yang benar dan
sempurna yang orang Islam yakini seperti sekarang ini. Pada
perkembangannya wetu telu justru lebih dekat dengan Islam. Dari peneliti
temui bahwan sekarang hampir semua suku Sasak bahkan di desa sade
kecamatan Punjut sudah menganut Agama Islam lima waktu dan
meninggalkan wetu telu sepenuhnya. 12
Penganut paham Islam wetu telu ini tersebar di beberapa desa dan
kampung di pulau Lombok. Secara prinsipil tidak ada perbedaan paham
antara wetu telu dengan wetu lima, mengapa karena meski wetu telu lebih
percaya kepada pemangku adat dan wetu lima lebih kepada ajaran agama,
tetapi tetap saja, sama sama berkeyakinan kepada yang satu yaitu
Tuhannya. Perbedaan ajaran yang diikuti sampai saat ini masih
berkeyakinan yang disebut kepada Tuhannya, dalam wetu telu hanya cara
penyampaiannya saja melalui pemimpin mereka atau kepada kepala adat
pemangku, sedangkan wetu lima atau Islam sekarang lebih kepada pribadi
individual manusianya masing masing. Beberapa ajaran Islam ada yang
11
H. Masnun, Tuan Guru KH. Muhammad Zainuddin Al-Madjid: Gagasan dan Gerakan
Pembaharuan Islam di Nusa Tenggara Barat (Mataram: Pustaka Al-Miqdad, 2007), h.53.
12
Wawancara Pribadi dengan Mahardika (Pemangku Adat Sasak desa Sade Lombok
Tengah, Nusa Tenggara Barat) Pada Tanggal 29 Maret 2017.
31
mirip dengan wetu telu, yaitu penyampaian ibadahnya melalui pemangku,
misalnya kalau di Islam melalui Ustad, fungsinya Ustad yaitu sebagai
penghubung antara umatnya dalam suatu hal, semisal dalam tradisi Islam
di Indonesia ada yang namanya Akikah atau Selametan pengajian, acara
seperti itu diharuskan ada pak ustad yang memimpin doa-doa dalam acara
tersebut. Perbedaannya hanya terletak pada tata cara pelaksanaan syariat
atau praktik ibadah sehari-hari. Islam seperti yang diamalkan oleh wetu
telu lebih dipengaruhi oleh adat istiadat setempat. Di Lombok Barat,
praktik ajaran Islam lebih dipengaruhi oleh kepercayaan Hinduisme.
Sedangkan di Lombok Timur dan Tengah, Islam yang dipraktikkan oleh
paham wetu telu sudah dianggap sesuai dengan ajaran Islam. Maksud
paham wetu telu sudah dianggap sesuai dengan ajaran Islam disini, ialah
orang sasak pada saat ini walaupun mereka masih meyakini wetu telu
tetapi pada kenyataannya sudah menjalankan wetu lima, menjalankan
syariat Islam pada masa sekarang ini. Mereka paham wetu telu hanya
meyakini wetu telu hanya karena menghargai tradisi keturunan dari nenek
moyangnya saja.13
Secara teologis wetu telu sedikit memiki perbedaan dengan konsep
Islam. Ia percaya kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, kepada nabi dan rasul,
malaikat, hari akhir, serta percaya adanya surga dan neraka. Hanya saja
kepercayaannya sebatas yang mereka ketahui, misalnya mereka hanya
mengetahui tiga malaikat yakni Malaikat Izrail, Mungkar, dan Nakir.
13
H. Masnun, Gagasan dan Gerakan Pembaharuan Islam, h.55.
32
Mereka dikenal sangat fanatik terhadap Nabi Muhammad SAW,
sedangkan nabi-nabi yang lain tidak banyak disebut. Mereka membaca dua
kalimat syahadat yang dalam istilah wetu telu yang disebut nyadat.14
b. Pendekatan Ibadah yang dilakukan Masyarakat Sasak kepada Allah
Dalam siklus hubungan ini status pemangku dan dewa berfungsi
sebagai penghubung. Jika seseorang melaksanakan nazar, misalnya
memohon keselamatan, sembuh dari penyakit dan sebagainya, mereka
minta kepada pemangku untuk mengantarkan dan memimpin upacara ke
tempat tertentu dan kepada dewa mana untuk permohonan tersebut
disampaikan. Pemangku adalah orang yang dipilih oleh masyarakat untuk
menjadi kepala atau ketua adat (pemangku adat). Pemangku juga bisa di
anggap sebagai pemangku jika usianya lebih tua, kemudian memiliki
aspek ilmu agama yang lebih dan juga berwibawa. Permohonan dimaksud
kemudian dihubungkan kepada Tuhan oleh dewa karena Tuhanlah yang
dapat memutuskan segala sesuatunya. Jadi, pemangku dan dewa berfungsi
perantara dalam hubungan manusia dengan Tuhan. Dalam pola beribadah
Pemangku mengantarkan manusia berhubungan kepada Tuhannya.
Sebagai petugas, seluruh tugas-tugas dan kewajiban peribadatan dari
Tuhan, menurut paham Islam wetu telu cukup dikerjakan oleh para Tuan
Guru atau kyai. Oleh karena itu tugasnya yang tergolong berat, maka Tuan
Guru atau Kyai cukup dihormati. Masyarakat setempat sangat patuh
terhadap sikap dan nasehatnya. Itulah yang menjadi pendekatan ibadah
14
Sumber data dari Kejaksaan Negeri Nusa Tenggara Barat, Data-data tentang Ajaran
Wetu Telu di Nusa Tenggara Barat (Mataram: tanggal 30 maret 2017).
33
masyarakat sasak terhadap Tuhannya.15
Meskipun sebagian masyarakat sasak ada yang masih mempercayai
wetu telu, ada juga yang sudah meninggalkannya dan mengerjakan waktu
lima yaitu Islam sempurna. Mereka hanya mempercayai untuk tetap
menghormati leluhur Budaya mereka tentang wetu telu tersebut. Dan wetu
telu itu mereka tidak pernah mengerjakannya, karena setiap ibadah wetu
telu itu hanya di lakukan oleh pemimpin seperti Pemangku Adat yang
sudah dijelaskan diatas, jadi ibadah wetu telu dahulu dilakukan hanya
diwakilkan saja oleh pemimpinnya dan jamaahnya hanya meyakini dan
mempercayainya saja. Dan tidak ada resiko jika paham wetu telu tidak
mengikuti ajaran leluhurnya, akan tetapi jika tidak mengikuti atau
meyakininya lagi, tradisi adat keturunan mereka akan benar benar punah
seiring waktu berjalan dengan berjalannya para pendakwah Islam yang
mulai banyak menyebarkannya ke daerah Lombok. Itulah masyarakat
sasak yang masih menganut wetu telu, beda halnya yang sudah
meninggalkannya dan mengerjakan waktu lima, mereka hanya percaya saja
tidak mengerjakannyanya. Dengan begitu mereka tetap mempercayai
adanya Allah, taat kepada Allah, percaya adanya Nabi Muhammad SAW,
dan juga percaya manusia pertama itu adalah Adam. Masyarakat sasak
tetap mengerjakan sholat lima waktu, berpuasa, bersedekah, dan
sebagainya seperti Islam pada umumnya tetapi yang membedakan mereka
masih melakukan ritual-ritual adat budaya peninggalan nenek moyang
15
H. Masnun, Gagasan dan Gerakan Pembaharuan Islam, h.65.
34
mereka16
c. Akhlak Masyarakat Sasak terhadap Perilaku Sosial
Sejak semula, manusia tidak pernah dapat hidup berdiri sendiri,
melainkan antara manusia yang satu dengan manusia yang lain saling
membutuhkan dan hidup dalam suatu kelompok sosial atau homoni socius.
Dalam kehidupan sosial, proses interaksi antara mereka terus terjadi.
Menurut Soejono Soekanto, terjadinya interaksi sosial di dahului dengan
adanya kontak sosial (social contact) dan komunikasi. Lebih lanjut
dijelaskan bahwa terjadinya suatu kontak tidak semata-mata tergantung
dari tindakan, tetapi tanggapan terhadap tindakan itu. Tanggapan terhadap
tingkah laku orang atau kelompok kemungkinan besar terjadi perbedaan.
Dengan demikian komunikasi memainkan peranan penting untuk
menjembatani perbedaan menjadi kerjasama antara orang perorangan atau
antara kelompok manusia.17 Dalam bagian ini akan disampaikan nilai
budaya yang berhubungan dengan hakikat hubungan manusia dengan
sesama manusia yang tercermin dalam ungkapan-ungkapan tradisional
masyarakat Sasak. Penyampaian nilai-nilai
yang dimaksud akan
dipaparkan berdasarkan klasifikasi ungkapan-ungkapan tersebut seperti
pengklasifikasian yang telah dihasilkan:
a. Persatuan kelompok
Terdapat dua nilai hakikat hubungan manusia dengan sesama
manusia yang saling berlawanan yang tercermin dalam ungkapan pertama
16
H. Masnun, Gagasan dan Gerakan Pembaharuan Islam, h.68.
Muhammad Ahyar Fadly, Islam Lokal: Akulturasi Islam di Bumi Sasak (Lombok:
STAIIQH Press, 2008), h. 67-68.
17
35
dalam kelompok ini. Nilai pertama bersifat positif dan nilai kedua
mengarah ke sifat negatif. Penyebutan nilai yang positif disebabkan karena
ungkapan ini mencerminkan persatuan dalam satu kelompok masyrakat
etnis sasak yang begitu kuat. Anggota individu dalam kelompok tersebut
merasa senasib seperjuangan. Sebagai konsekuensinya, apapun yang
terjadi suatu masalah mereka akan saling membantu atas nama kelompok.
Namun begitu, persatuan yang terlalu kuat berujung pada munculnya egokelompok yang berlebihan, yaitu sifat negatif. Hal ini didasarkan pada
bukti empiris yang terjadi selama ini di beberapa daerah lombok.
Pertikaian atau bentrok fisik antarkelompok masayrakat dalam etnis Sasak
kebanyakan dipicu oleh hal sepele. Ungkapan ini memiliki nilai yang
berhubungan dengan hakikat hubungan manusia dengan sesama manusia
yang hampir sama. Mereka akan selalu saling membantu satu sama lainnya
baik suka maupun duka. Dalam keadaan suka bisa dilihat pada acara
perkawinan yang mana satu anggota kelompok akan membantu anggota
lain dalam mempersiapan acara, dari berlangsungnya acara hingga akhir.
Begitu pula pada saat duka, anggota kelompok akan membantu anggota
kelompok lain ketika sedang tertimpa musibah baik secara fisik, material,
dan spiritual. Dengan kata lain, ungkapan ini mencerminkan hubungan
antarindividu yang kuat dalam kelompok masyarakat Sasak.18
b. Ikatan persatuan
Bila lisan sudah dipercaya dan menjadi ikatan dalam suatu
18
Lalu Erwan Husnan, Ungkapan Tradisional, h. 48-49
36
kelompok masyarakat berarti hubungan antar individu dalam kelompok
tersebut sangat kuat. Hal inilah yang dicerminkan oleh kelompok ini.
Dengan demikian nilai budaya yang berkaitan dengan hubungan
antarsesama manusia dalam masyarakat Sasak begitu kuat mengingat
mereka sudah saling percaya yang berpegang pada ucapan yang mereka
ujarkan.19
Nilai budaya yang berkaitan dengan hubungan manusia dengan
sesama manusia yang terkandung dalam kelompok ungkapan ini adalah
usaha menjaga hubungan yang baik dengan individu dan masyarakat
sekitarnya. Antar individu dalam masyarakat sasak memiliki perasaaan
saling memiliki, suku bangsa Sasak, satu sama lainnya. Dan salah satu dari
kelompok etnis sasak yang saya ambil adalah Desa Sade asli suku Sasak,
maka sosialisasi mereka tidak jauh-jauh dari lingkungan sekitar kampung
itu. Tetapi mereka tetap berinteraksi di luar dari kampung tersebut. Karena
bagaimanapun tetap satu komunitas masih membutuhkan bantuan dan
interaksi sosial di luar dari komunitasnya tersebut. Dengan demikian maka
masyarakat Sade pun ada komunikasi antarkelompok terhadap masyarakat
di luar kampung Sade.20
19
Lalu Erwan Husnan, Ungkapan Tradisional, h. 49-50.
Wawancara Pribadi dengan Mahardika (Pemangku Adat Sasak desa Sade Lombok
Tengah, Nusa Tenggara Barat) Pada Tanggal 29 Maret 2017.
20
BAB III
KEBUDAYAAN
A. Tantangan dalam Tradisi Merariq yang menghasilkan Kreativitas
Kebudayaan
Kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil
karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang diperoleh
melalui belajar. Kebudayaan bisa dikatakan sebagai suatu sistem dalam
masyarakat di mana terjadi interaksi antar individu/kelompok dengan
individu/kelompok lain sehingga menimbulkan suatu pola tertentu,
kemudian menjadi sebuah kesepakatan bersama (baik secara langsung
ataupun tidak langsung).1
Kreativitas manusia sepanjang sejarah meliputi banyak kegiatan,
diantaranya dalam organisasi sosial dan ekonomi, ilmu pengetahuan,
teknologi, dan proses simbolis2. Uraian ini memusatkan perhatian pada
proses simbolis, yaitu pada kegiatan manusia dalam menciptakan makna
yang berujuk pada realitas yang lain daripada pengalaman sehari-hari.
Proses dari simbolis tersebut meliputi bidang-bidang agama, filsafat, seni,
ilmu, sejarah, mitos, dan bahasa.3
Dalam masyarakat patrimonial, misalnya akan ada dikotomi sosial
budaya antara golongan bangsawan dan petani. Ada budaya istana dan ada
1
Bambang Rustanto, Masyarakat Multikultural di Indonesia (Bandung: PT Remaja
Rosdakarya, 2015), h.26.
2
Simbolis Ialah Lambang. kalau proses simbolis ialah peristiwa yang sedang terjadi dan
akan menjadi suatu lambang.
3
Kuntowijoyo, Budaya dan Masyarakat (Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya, 1987),
h. 3.
37
38
budaya rakyat yang masing-masing mempunyai lembaga, simbol dan
normanya sendiri. Demikian juga pada kategori kapitalis dikenal adanya
dikotomi budaya dalam budaya tinggi dan budaya populer, dengan
lembaga, simbol dan norma sendiri-sendiri. Dalam hal ini perlu diingat
bahwa sekalipun dikotomi itu ada, ada pula mobilitas budaya, ke atas atau
ke bawah, yang menyebabkan baik lembaga, simbol dan normanya tentu
saja mengalami transformasi. 4
Mengapa
sebuah
proses
simbolis
mengalami
transformasi,
merupakan bahan studi tentang anomali budaya. Kebudayaan dapat
menjadi tidak fungsional jika simbol dan normanya tidak lagi didukung
oleh lembaga-lembaga sosialnya, atau oleh modus organisasi sosial dari
budaya itu. Johns menyatakan bahwa Indonesia terdapat ketegangan antara
tradisi historiografi Melayu yang cenderung bersifat mitis dengan tradisi
historiografi Islam yang pada dasarnya realistis. Perbedaan tradisi budaya
ini menerangkan juga ketegangan antara istana dan pusat-pusat penyebaran
agama pada awal berdirinya kerajaaan Mataram.5
Dalam Tradisi Perkawinan Merariq tantangan yang menghasilkan
kreasi disini ialah cara meminta untuk dinikahkannya yaitu dengan dibawa
lari atau dalam bahasa sasak di sebut Merariq. Dalam Merariq ada 2 versi
yang mana Merariq atau kawin lari yakni perkawinan yang terjadi dengan
cara melarikan si gadis tanpa sepengetahuan orang tua si gadis karena
merupakan keputusan terakhir yang diambil oleh calon pengantin laki
4
Kuntowijoyo, Budaya dan Masyarakat, h. 11.
Kuntowijoyo, Budaya dan Masyarakat, h. 7.
5
39
apabila tidak mendapat restu dari orang tua calon pengantin wanita. Yang
kedua yaitu dengan persetujuan orangtua dan tetap melakukan Merariq
karena merupakan adat istiadat. 6
Dalam tradisi adat Sasak, melakukan perkawinan itu harus dengan
Merariq jika tidak maka justru orang tua perempuan merasa tersinggung
jika anak perempuannya tidak dilarikan. Biasanya kawin lari di lakukan
pada malam hari antara waktu magrib dan isya, dimana si gadis dijemput
pada tempat yang telah disepakati kedua calon pengantin. Dan selanjutnya
dalam rombongan penjemput, ketentuan adat mengharuskan keikutsertaan
seorang wanita “suci” dalam arti telah memasuki masa menopause. Ini
bertujuan, agar ada yang menemani si gadis dalam proses perjalanan
“kawin lari”, sehingga tidak terjadi sesuatu di luar norma susila dan demi
menghindari kecurigaan masyarakat.7
Pada masyarakat Sasak, sebelum melaksanakan perkawinan atau
melakukan Merariq ada beberapa proses yang harus dilalui sebagai sarana
saling kenal mengenal antara laki-laki dan perempuan. Berikut
penjelasannya:
1. Midang (meminang), yaitu kunjungan secara langsung oleh laki-laki
kerumah perempuan yang diidam-idamkan dalam rangka saling
mengenal lebih mendalam tentang keberadaan mereka masingmasing untuk selanjutnya bersepakat untuk mengikat hubungan
6
Merariq bisa dikatakan Anomali yang artinya bisa dikatakan suatu penyimpangan tetapi
masih bisa di terima.
7
Sudirman. Bahrie. Lalu Ratmaja, Prosesi Perkawinan Masyarakat Gumi Sasak (NTB:
KSU Primaguna, 2012), h. 5-7.
40
pertalian yang lebih mendalam dalam bentuk perkawinan. Proses
peminangan diatur oleh adat yang disebut “awig-awig”, yaitu
aturan-aturan pelaksanaan adat yang diberlakukan dan berdasarkan
kesepakatan bersama warga setempat. Beberapa aturan-aturan
meminang:8
a. Yang boleh meminang adalah setiap laki-laki yang bukan
muhrim, baik dia masih jejaka/gadis, janda/duda atau masih
beristri.
b. Tidak boleh saling mencemburui karena masih berada dalam
proses peminang
c. Cara duduk pada saat meminang tidak boleh berdekatan
dengan yang dipinang
d. Kalau ada peminang lain yang datang menyusul, bagi yang
sudah datang terlebih dahulu harus meninggalkan tempat
peminangan meskipun pembicaranya belum tuntas.
e. Kalau terjadi peminangan yang dilakukan dalam waktu yang
bersamaan oleh dua orang laki-laki atau lebih terhadap satu
orang perempuan, maka laki-laki sebagai tamu tidak boleh
saling
mempersilahkan
(menyuguhkan
sesuatu),
harus
perempuan yang dipinang yang mempersilahkannya.
8
M. Fachrir Rahman, Pernikahan di Nusa Tenggara Barat antara Islam dan Tradisi
(Mataram: LEPPIM IAIN Mataram, 2013), h.118-119.
41
f. Bagi peminangan yang tadinya meninggalkan karena ada yang
menyusul datang, boleh meminang perempuan lain lagi
ditempat yang lain.
g. Pada waktu terlaksananya peminangan orangtua si gadis/janda
harus meninggalkan ruang tempat peminangan itu dilakukan.
h. Tempat peminangan harus terbuka
i. Meminang tidak boleh dilakukan pada tempat yang sepi/petang
Tujuan utama midang (peminangan) itu adalah untuk bertemu
dengan perempuan yang menjadi idamannya. Midang disamping sebagai
sarana kenal mengenal di dalamnya juga dibicarakan soal perkawinan
dikemudian hari. Apabila kesepakatan dapat diperoleh pada saat
meminang tersebut, maka untuk melangsungkan perkawinan, mereka
merencanakan untuk sepakat lari pada malam hari yang telah ditentukan
bersama.9
2. Merariq merupakan rangkaian akhir dari proses pencarian jodoh
(pasangan) untuk menuju perkawinan. Merariq artinya membawa
lari seorang perempuan oleh pihak laki-laki untuk kawin. Merariq
merupakan cara yang paling banyak dilakukan oleh suku Sasak
dibeberapa tempat di Lombok dari dulu hingga sekarang untuk
perkawinan. Beberapa aturan Merariq yang berlaku secara umum
pada suku Sasak adalah sebagai berikut:10
9
M. Fachrir Rahman, Pernikahan di Nusa Tenggara Barat..., h.119.
M. Harfin Zuhdi, Praktik Merariq: Wajah Sosial Masyarakat Sasak (Mataram: LEPPiM
IAIN Mataram, 2012), h. 62.
10
42
a. Calon
mempelai
perempuan
harus
diambil
di
rumah
orangtuanya dan tidak boleh diambil di rumah keluarganya
atau di tengah jalan, sawah, tempar kerja, pondok, apalagi di
sekolah.
b. Calon mempelai perempuan yang mau diambil itu benar-benar
bersedia untuk kawin dan bahkan pernah ada janji dengannya
untuk kawin.
c. Merariq harus dilakukan pada malam hari dari habis magrib
samapai jam 23.00 Wita, dan terhina bagi yang Merariq pada
siang hari
d. Merariq harus dilakukan dengan cara-cara yang sopan dan
bijaksana, tidak boleh dengan jalan paksaan, kekerasan, dan
keusilan lainnya.
e. Harus mengikutkan seorang perempuan dalam mengambil
sebagai teman gadis calon mempelai guna menghindarinya
hal-hal yang tidak diinginkan.
f. Calon mempelai perempuan yang diambil itu harus dibawa ke
rumah
salah
seorang
keluarga
pihak
laki-laki
guna
menghindari keterkejutan atau kemarahan orangtua laki-laki
karena tidak setuju, sehingga si perempuan tidak dapat
mendengarkan kata-kata tidak senonoh yang keluar dari calon
mertuanya. Di tempat ini, calon pengantin perempuan harus
ditemani oleh seorang perempuan lain dari keluarga laki-laki
43
dan baru boleh pulang ke rumah orangtua laki-laki setelah
selesai Betikah.11
g. Calon mempelai perempuan yang diambil harus segera
diinformasikan keadaannya kepada kepala dusunnya dan
keluargnaya atau tepesejati dan tepeselebar.12
3. Kemudian yang selanjutnya ialah Mesejati dan Selabar. Mesejati
adalah pemberitahuan yang dilakukan oleh keluarga pengantin lakilaki kepada keluarga pengantin perempuan bahwa anak kedua
keluarga tersebut telah kawin. Sedangkan Berselabar ialah
penyeberahan kepada khalayak ramai tentang peristiwa Merariq
yang terjadi. Orang yang datang mesejati paling sedikit 4 orang
terdiri atas keliang (kepala dusun), kepala RT, kepala RW dan satu
orang dari pihak keluarga pengantin laki. Keempat orang ini
mendatangi kepala desa, kepala dusun dan ketua RT di mana
pengantin perempuan bertempat tinggal yang selanjutnya bersama
sama mendatangi orang tua dari pengantin wanita. Keempat utusan
dari keluarga pengantin wanita melaporkan bahwa proses mbait
wali13 dilakukan tanpa sepengetahuan keluarga calon pengantin
perempuan. Untuk menghindari kecemasan orang tua calon
pengantin wanita yang kehilangan anak gadisnya maka sesegera
mungkin dilakukan pemberitahuan. Biasanya langsung bersamaan
11
Betikah dalam Bahasa Sasak Ialah Kawin/Nikah.
M. Harfin Zuhdi, Praktik Merariq: Wajah Sosial Masyarakat..... h. 65-66.
13
Mbait Wali ialah seseorang yang diutus memberi kabar kepada kedua orang tua calon
pengantin perempuan, bahwa anaknya siap untuk dinikahkan.
12
44
dengan acara merangkat atau kalau ditunda waktunya paling lambat
tiga hari. Persoalan yang sering terjadi dalam penyelesaian adat ini
adalah “ajikrama” dan permasalahan yang terkait dengan biaya
penyelesaian
upacara
“begawe”
(resepsi).
Setelah
semua
kesepakatan ini diperoleh maka dilanjutkan dengan acara akad nikah
yang diselenggarakan dirumah calon mempelai laki-laki. Pelaksaan
akad nikah dilaksanakan sesuai aturan yang diberlakukan menurut
syariat Islam. 14
4. Sorong serah atau ajikrama. Merupakan acara dalam upacara adat
perkawinan di Lombok. yaitu acara pesta perkawinan pada waktu
orangtua si gadis akan kedatangan keluarga besar mempelai lakilaki. Dalam acara ini keluarga perempuan juga mengadakan suatu
acara selametan yang biasanya biaya ditanggung oleh pihak laki-laki
atas dasar kesepakatan yang telah di tentukan pada saat pelaksanaan
selabar. Pada saat ini juga dilakukan beberapa tagihan yang terkait
dengan adat yang harus dilaksanakan, terutama berupa denda yang
dikenakan kepada pihak laki-laki apabila dalam proses penyelesaian
adat sebelum acara ini pernah terjadi pelanggaran-pelanggaran
terhadap adat yang diperlukan.15
5. Nyongkol adalah kegiatan terakhir dari seluruh proses perkawinan.
Kegiatan ini dilakukan secara bersamaan seluruh anggota keluarga
mempelai laki-laki bersama masyarakat berkunjung kerumah
14
Sudirman. Bahrie. Lalu Ratmaja, Prosesi Perkawinan Masyarakat Gumi... h. 10.
Wawancara Pribadi dengan Drs. H. Syahdan Ilyas MM (Ketua dari Forum Kerukunan
Umat Beragama di Lombok, Nusa Tenggara Barat) Pada Tanggal 10 April 2017.
15
45
mempelai perempuan. Tujuannya adalah untuk menampakkan
dirinya secara resmi
dihadapan orangtuanya dan keluarga-
keluarganya bahkan juga kepada seluruh masyarakat sambil meminta
maaf serta memberi hormat kepada kedua orangtua pengantin
perempuan. Kedua mempelai dalam kegiatan ini bagaikan sang raja
dan permaisurinya yang diiringi oleh rakyatnya. Keduanya
menggunakan
pakaian
serba
mewah
sebagaimana
layaknya
perlengkapan seorang raja bersama permaisurinya. Adapun bentuk
pakaian yang dikenakan oleh kedua mempelai dalam acara nyongkol
harus
menggunakan
pakaian
sesuai
ketentuan
adat.
Untuk
menyamarkan kegiatan ini biasanya diiringi dengan berbagai
kesenian tradisional, seperti gamelan, klentang dan kesenian
tradisional Lombok lainnya.16
B. Karya dalam Tradisi Merariq yang menghasilkan Inovasi Kebudayaan
Ketika seseorang yang melakukan perkawinan maka terdorong
untuk bersikeras berjuang demi perkawinannya, alasannya adalah Dalam
adat suku sasak yang unik ini mempelai laki-laki dituntut untuk bisa
memberi mahar yang cukup fantastis kepada mempelai wanitanya. Sebagai
contoh mahar yang harus diberikan berupa seekor kerbau atau seekor sapi,
bagi para masyarakat suku pedalaman Sasak itu adalah bentuk mahar yang
sangat besar tanggungannya.17
16
Sudirman. Bahrie. Lalu Ratmaja, Prosesi Perkawinan Masyarakat Gumi, h. 126.
Wawancara Pribadi dengan Drs. H. Syahdan Ilyas MM (Ketua dari Forum Kerukunan
Umat Beragama di Lombok, Nusa Tenggara Barat) Pada Tanggal 10 April 2017.
17
46
Jadi mereka para lelaki jika ingin pertahankan cintanya maka
mereka haruslah berusaha keras untuk pencapaian mahar tersebut. Tetapi
yang membuat inovasi dalam masyarakat sasak ini adalah “Merariq” itu
sendiri, dimana para lelaki sudah siap rencana untuk membawa lari
pasangannya agar dapat dinikahkan, disinilah bentuk kelihaian dan
kematangan strategi para kaum lelaki suku sasak dalam Merariq. Pasangan
yang sudah benar-benar serius ingin melangsungkan perkawinan dituntut
untuk bisa meyakinkan kepala suku adat ketika pasangan yang sudah
berhasil kabur dari kediaman mereka dan kembali setelah kedua orang tua
mempelai melaporkan kejadiaan ini dan sudah mengetahui lokasi anakanak mereka masing-masing, bahwa mereka sudah saling siap satu sama
lain untuk melangsungkan perkawinan.18
Permasalahan krusial
ketika mempelai laki-laki tidak memiliki harta apapun pada dirinya, maka
keputusan bagaimana dari orang tua mempelai wanita tetapi sejauh ini
apabila hal ini terjadi biasanya orang tua dari mempelai wanita
memberikan waktu untuk pria tersebut memenuhi maharnya dalam tempo
waktu yang ditentukan dengan kata lain (hutang mahar). Jadi sebagai
gantinya mahar saat penikahan berlangsung bisa berupa berapapun jumlah
uang yang dimiliki atau harta benda yang ada pada diri mempelai laki-laki
tersebut.19
Pada saat ingin melangsungkan perkawinan biasanya para kaum
wanita haruslah bisa menjahit dan merajut karena pada dasarnya mata
18
Sudirman. Bahrie. Lalu Ratmaja, Prosesi Perkawinan Masyarakat Gumi, h. 100.
Wawancara Pribadi dengan Drs. H. Syahdan Ilyas MM (Ketua dari Forum Kerukunan
Umat Beragama di Lombok, Nusa Tenggara Barat) Pada Tanggal 10 April 2017.
19
47
pencaharian mereka para suku sasak ini adalah bertani. Jadi apabila musim
hujan sudah melanda maka penghasilan dari bertani mereka bisa kurang
hingga 70% dari biasanya. Maka dari itu solusi dari mereka para wanita
suku sasak yang nantinya akan melangsungkan perkawinan adalah harus
bisa menjahit atau merajut dan hasilnya dijual ke sekitar desa bahkan bisa
sampai Kota Mataram. Semua ini juga demi kelangsungan hidup anak
mereka dan keturunannya kelak.20
Rata-rata survei yang sudah dilakukan bahwa masyarakat suku
Sasak Merariq muda. Mulai dari kalangan remaja lulusan SMA sampai
baru lulus SMP sudah melakukan Merariq, jadi bisa dibayangkan
bagaimana mereka yang ingin Merariq sudah harus berfikir dewasa untuk
bisa membawa lari wanita yang dicintainya. Sedangkan apabila sudah
dibawa lari tetapi pada ujungnya orang tua wanita tetap tidak mau merestui
maka keduan pasangan lari ini akan sangat malu pada masyarakat desa.
Bagaimana tidak karena ketika kejadian bawa lari itu terjadi maka kepala
suku dan orang tua para anak pasti menyebarkan berita tersebut, jadi
seluruh masyarakat di desa itu pasti mendengar dan mengetahuinya. Maka
dari itu kebanyakan para orang tua merestui anak-anaknya yang sudah
sama-sama mencintai karena takut omongan dan kebencian masyarakat
terhadap anaknya.21
C. Tujuan dalam Tradisi Merariq yang menghasilkan Nilai Kebudayaan
20
Wawancara Pribadi dengan Mahardika (Pemangku Adat Sasak di Desa Sade Lombok,
Nusa Tenggara Barat) Pada Tanggal 10 April 2017.
21
Wawancara Pribadi dengan Drs. H. Syahdan Ilyas MM (Ketua dari Forum Kerukunan
Umat Beragama di Lombok, Nusa Tenggara Barat) Pada Tanggal 10 April 2017.
48
Merariq sebagai sebuah tradisi yang biasa berlaku pada suku Sasak
memiliki logika tersendiri yang unik. Bagi masyarakat sasak, Merariq
berarti mempertahankan harga diri dan menggambarkan sikap kejantanan
seorang laki-laki sasak karena ia berhasil mengambil (melarikan) seorang
gadis pujaan hatinya. Sementara pada sisi lain, bagi orang tua gadis yang
dilarikan juga cenderung resisten, kalau tidak dikatakan menolak untuk
memberikan anaknya begitu saja jika diminta secara biasa (konvensional).
Hal ini dikarenakan mereka beranggapan bahwa anak gadisnya
adalah sesuatu yang berharga, jika diminta secara biasa, maka dianggap
seperti meminta barang yang tidak berharga. Ada ungkapan yang biasa
diucapkan dalam bahasa Sasak: Ara’m ngendeng anak manok baen
(seperti meminta anak ayam saja). Jadi dalam konteks ini, Merariq
dipahami sebagai sebuah cara untuk melakukan prosesi pernikahan,
disamping itu juga cara untuk keluar dari konflik. Mengapa seperti itu,
karena pengertian dari Merariq atau kawin lari itu, bisa karena orang tua
sang gadis tidak merestui pernikahan anaknya, dikarenakan harus sang
laki-laki melarikan anak perempuannya, maka mau tidak mau itu harus di
kawinkan tetapi tetap ada bayar denda karena sudah melarikan anak gadis
orang.22
Munculnya stratifikasi sosial disebabkan karena adanya perbedaan
tinggi
rendah
kedudukan
seseorang
dalam
masyarakat
sehingga
menyebabkan adanya kedudukan yang dinilai lebih tinggi dari kedudukan
22
Wawancara Pribadi dengan Drs. H. Syahdan Ilyas (Ketua Forum Kerukunan Umat
Beragamadi Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat) Pada Tanggal 10 April 2017.
49
yang lainnya.23 Sistem ini merupakan ciri yang tetap dan umum dalam
setiap masyarakat yang hidupnya teratur. Begitu juga dengan masyarakat
suku Sasak di Lombok. pelapisan masyarakat di daerah ini didasarkan
pada kebijaksanaan, keberanian, kebesaran darma, dan asal-usul
keturunan.
Stratifikasi sosial merupakan berbagai macam susunan hubungan
antarindividu
yang menyebabkan adanya berbagai
sistem
dalam
masyarakat. Konsep stratifikasi sosial suku sasak pada umumnya banyak
ditentukan oleh susunan keluarga yang berawal dari perkawinan yang
disebut nurut mama (dibaca: mame).24 Artinya, garis keturunan darah
ditekankan pada laki-laki (garis bapak). Garis keturunan ini memberi
pengaruh pada pembentukan lapisan sosial dan pola kekerabatan dalam
sistem kemasyarakatan etnis suku Sasak. Perkawinan seorang perempuan
bangsawan dengan laki-laki dari lapisan status sosial rendah, maka anak
yang di lahirkan tidak berhak menggunakan identitas kebangsawanan
ibunya. 25
Demikian pula sebaliknya, anak yang di lahirkan akan diberikan
hak untuk menggunakan atribut kebangsawanannya apabila ia dilahirkan
oleh seorang laki-laki dari kalangan bangsawan, walaupun ibunya dari
lapisan sosial jajar karang (rakyat biasa). Struktur sosial dengan konsep
23
Wayan Geriya, Beberapa Segi Tentang Masyarakat dan Sistem Sosial (Denpasar:
Universitas Udayana, 1981), h. 36.
24
Idrus Abdullah, Penyelesaian Sengketa Melalui Mekanisme Pranata Lokal di
Kabupaten Lombok Barat, Disertasi (Jakarta: Fakultas Hukum Program Pasca Sarjana UI, 2000),
h. 105.
25
M. Harfin Zuhdi, Praktik Merariq: Wajah Sosial Masyarakat, h. 33-34.
50
nurut
mama
ini, kemudian membentuk
sistem kewarisan
yang
menitikbertakan kepada pola kekerabatan patrilineal.26
Menurut M. Nur Yasin (2006:73-75), setidaknya ada empat prinsip
dasar yang terkandung dalam praktik kawin lari (Merariq) di pulau
Lombok:27
1. Prestise keluarga perempuan. Kawin lari (Merariq) dipahami dan
diyakini sebagai bentuk kehormatan atas harkat dan martabat keluarga
perempuan. Atas dasar keyakinan ini, seorang gadis yang dilarikan
sama sekali tidak dianggap sebagai sebuah wanprestasi (pelanggaran
sepihak) oleh keluarga lelaki atas keluarga perempuan. Seorang gadis
yang dilarikan merasa dianggap memiliki keistimewahan tertentu
sehingga menarik hati lelaki. Ada anggapan yang mengakar kuat
dalam struktur memori dan mental masyarakat tertentu di Lombok,
bahwa dengan dilarikan berarti anak gadisnya memiliki nilai tawar
ekonomis yang tinggi. Konsekuensinya, keluarga perempuan merasa
terhina jika perkawinan gadisnya tidak dengan kawin lari (Merariq).
2. Superioritas lelaki, inferioritas perempuan. Satu hal yang tidak bisa
dihindarkan dari sebuah kawin lari (Merariq) adalah seseorang lelaki
tampak sangat kuat, menguasai, dan mampu menjinakkan kondisi
sosial psikologis calon isteri. Terlepas apakah dilakukan atas dasar
suka sama suka dan telah direncanakan sebelumnya maupun belum
direncanakan sebelumnya, kawin lari (Merariq) tetap memberikan
26
Patrilineal adalah garis keturunan dari Ayah.
Fachrir Rahman, Pernikahan di Nusa Tenggara Barat antara Islam dan Tradisi
(Mataram: LEPPIM IAIN Mataram, 2012), h. 116-117.
27
51
legitimasi yang kuat atas superoritas lelaki. Pada sisi lain
menggambarkan sikap inferioritas, yakni ketidakberdayaan kaum
perempuan atas segala tindakan yang dialaminya. Kesemarakan
Merariq memperoleh
kontribusi yang besar dari sikap-sikap yang
muncul dari kaum perempuan berupa rasa pasrah atau bahkan
menikmati suasana inferioritas tersebut.
3. Egalitarianisme. Terjadinya kawin lari (Merariq) menimbulkan rasa
kebersamaan (egalitarian) dikalangan seluruh keluarga perempuan.
Tidak hanya bapak, ibu, kakak, dan adik, tetapi paman, bibi, seluruh
sanak saudara dan handai taulan ikut terdorong sentimen keluarganya
untuk
ikut
menuntaskan keberlanjutan kawin
lari
(Merariq).
Kebersamaan melibatkan komunitas besar masyarakat di lingkungan
setempat. Proses penuntasan kawin lari (Merariq) tidak selalu berakhir
dengan dilakukannya pernikahan, melainkan adakalanya berakhir
dengan tidak jadi pernikahan, karena tidak ada kesepakatan antara
pihak keluarga calon suami dengan keluarga calon isteri.berbagai
ritual, seperti mesejah, mbaitwali, sorong serah, dan sebagainya
merupakan bukti kongkret kuatnya kebersamaan di antara keluarga dan
komponen masyarakat.
4. Komersil. Terjadinya kawin lari selalu berlanjut ke proses tawar
menawar pisuke. Proses nego berkaitan dengan besaran pisuke yang
biasanya dilakukan dalam acara mbait wali sangat kental dengan
nuansa bisni. Apapun alasannya, dan dominan sepanjang acara mbait
52
wali. Ada indikasi kuat bahwa seorang wali merasa telah mmbesarkan
anak gadisnya tersebut memperoleh ganti dari calon menantunya.
Semakin tinggi tingkat pula nilai tawar sang gading. Sebaliknya,
semakin rendah tingkat sosial dan tingkat pendidikan anak serta orang
tua semakin rendah pula nilai ekonomis yang ditawarkan.
BAB IV
FAKTOR DOMINAN ANTARA AGAMA DAN BUDAYA DALAM
TRADISI MERARIQ
A. Tujuan Merariq
Perkawinan merupakan suatu peristiwa penting dalam kehidupan
suku Sasak. Seseorang baru dianggap sebagai warga penuh dari suatu
masyarakat apabila ia telah berkeluarga. Dengan demikian ia akan
memperoleh hak-hak dan kewajiban baik sebagai warga kelompok
kerabat atau pun sebagai warga masyarakat. Sebagaimana perkawinan
menurut Islam dikonsepsikan sebagai jalan mendapatkan kehidupan
berpasang-pasangan,
tenteram
dan
damai
(mawaddah
wa
rahmat) sekaligus sebagai sarana pelanjutan generasi (mendapatkan
keturunan), maka perkawinan bagi masyarakat Sasak juga memiliki
makna yang sangat luas, bahkan menurut orang Sasak, perkawinan bukan
hanya mempersatukan seorang laki-laki dengan seorang perempuan saja,
tetapi sekaligus mengandung arti untuk mempersatukan hubungan dua
keluarga besar, yaitu kerabat pihak laki-laki dan kerabat pihak
perempuan. Berdasarkan tujuan besar tersebut, maka terdapat tiga macam
perkawinan dalam masyarakat Sasak, yaitu :1
1. Perkawinan antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan dalam
satu kadang waris yang disebut perkawinan betempuh pisa’ (misan
dengan misan/cross cousin).
1
Fachrir Rahman, Pernikahan di Nusa Tenggara Barat antara Islam dan Tradisi
(Mataram: LEPPIM IAIN Mataram, 2013), h.115.
53
54
2. Perkawinan antara laki-laki dan perempuan yang mempunyai hubungan
kadang jari (ikatan keluarga) disebut perkawinan sambung uwat benang
(untuk memperkuat hubungan kekeluargaan).
3. Perkawinan antara pihak laki-laki dan perempuan yang tidak ada
hubungan perkadangan (kekerabatan) disebut perkawinan pegaluh gumi
(memperluas daerah/wilayah). Dengan demikian, semakin jelas bahwa
tujuan perkawinan menurut adat sasak adalah untuk melanjutkan
keturunan, memperkokoh ikatan kekerabatan, dan memperluas hubungan
kekeluargaan.2
Proses tawar menawar dalam kawin lari tampak kuat dan tertuntut
untuk selalu dilaksanakan apabila suami isteri yang menikah sama-sama
berasal dari suku Sasak. Jika salah satu di antara calon suami isteri
berasal dari luar suku Sasak, ada kecenderungan bahwa tuntutan
dilaksanakannya tawar menawar agak melemah. Hal ini terjadi karena
ternyata ada dialog peradaban, adat, dan budaya antara nilai-nilai yang
dipegangi oleh masyarakat Sasak. Kontak dialogis budaya dan peradaban
yang
kemudian
menghasilkan
kompromi
sama
sekali
tidak
menggambarkan inferioritas budaya Sasak, tetapi justru sebaliknya,
budaya dan peradaban Sasak memiliki kesiapan untuk berdampingan
dengan budaya dan peradaban luar Sasak. Sikap ini menunjukkan adanya
keterbukaan masyarakat Sasak bahwa memulai kebaikan dan kebenaran
2
M Harfin Zuhdi, Praktik Merariq: wajah sosial Masyarakat Sasak (Mataram: LEPPIM
IAIN Mataram, 2012), h.58.
55
dari manapun asalnya bisa dipahami dan bahkan diimplementasikan oleh
masyarakat suku Sasak.3
Bisa dikatakan bahwa tujuan dari pada Merariq itu sebenarnya
adalah sebuah hal penyimpangan kalau di sandingkan dengan hukum
Islam atau ketentuan lainnya. Maksud dari kata penyimpangan disini
bahwasanya, dari yang peneliti ketahui bahwa ada 2 perspektif Merariq
yang berbeda. Yang pertama diketahui orangtua tetapi tetap melakukan
Merariq karna merupakan proses adat. Yang kedua karena tidak
diketahui orangtua yang menjadikan sebuah penyimpangan karena
melanggar hukum juga agama. Sebenarnya Merariq ini bisa dikatakan
legal jika proses adatnya sesuai dengan proses adat yaitu kesepakatan
orangtua, dan juga bisa dikatakan ilegal jika Merariq ini tidak melalui
kesepakatan orangtua, atau jalan keluar jika sepasang kekasih tidak
mendapat restu dari orangtua. Merariq hampir ditinggalkan, dan
beberapa praktik adat yang telah mengalami metamorfosa dan perubahan
paradigma di masyarakat Sasak tentang perspektif Merariq ini setelah
mendalami ajaran agama Islam dan fenomena perkawinan adat lain di
Indonesia seperti yang terjadi di Jawa dan Pulau Sumbawa. Dalam
perubahan ini memang tidak bisa secara sekaligus, tetapi secara bertahap,
dan dimulai oleh warga Sasak yang berpendidikan dan memiliki
pengalaman di daerah lain. Sekitar hanya 3 % dari suku Sasak yang
3
Zuhdi, Praktik Merariq.... h.57.
56
masih melakukan Merariq. Salah satu alasan mengapa Merariq mulai
ditinggalkan karena sulitnya memenuhi persyaratan adat perkawinannya,
juga tradisi adat Sasak Lombok ini sebenarnya sudah banyak yang
paralel dengan ajaran Islam, seperti soal pisuke dan nyongkolan.4
Pisuke5 sesuai dengan namanya tidak boleh ada unsur pemaksaan,
tetapi harus ada kerelaan keluarga kedua belah pihak. Pemberian Pisuke
dalam budaya Sasak bukan berarti memperjualbelikan anak perempuan.
Namun, pemberian uang/barang pisuke lebih dimaknai sebagai
penghargaan atas jerih payah yang dilakukan oleh keluarga sang gadis
dalam membesarkan dan mendidiknya selama puluhan tahun, hingga
dewasa dan siap dinikahkan. Selain itu, diharapkan dengan adanya tradisi
pemberian pisuke akan mengurangi kebiasaan pria untuk melakukan
kawin cerai, yang dampak negatifnya banyak tertumpu kepada pihak
perempuan. Dengan adanya tradisi tersebut, nantinya bisa menjadi
pemikiran dan pertimbangan jika suatu saat sang pria hendak
menceraikan istrinya.6 Maksud pertimbangan disini ialah dalam tradisi
Merariq ada adat yang namanya Pisuke yakni kegiatan transaksi atau
negosiasi terkait mahar untuk mempelai wanita. Kegiatan ini kadang
4
M. Nur Yasin, “Kontekstualisasi Doktrin Tradisional Di Tengah Modernisasi Hukum
Nasional: Studi tentang Kawin Lari (Merari’) di Pulau Lombok”, Jurnal Istinbath No. I Vol. IV
Desember 2006, h. 73-75.
5
Pisuke yakni kegiatan transaksi atau negosiasi terkait mahar untuk mempelai wanita.
Kegiatan ini kadang dilakukan dalam waktu yang relative lama dan juga sangat singkat.
Tergantung kesepakatan keluarga kedua belah pihak. Faktor strata sosial dan ekonomi sangat
menentukan jalannya acara pisuke tersebut.
6
Yasin, Kontekstualisasi Doktrin......,h. 82-83.
57
dilakukan dalam waktu yang relative lama dan juga sangat singkat.
Tergantung kesepakatan keluarga kedua belah pihak. Faktor strata sosial
dan ekonomi sangat menentukan jalannya acara Pisuke tersebut. Itulah
mengapa adat Pisuke ini dilakukan selain untuk menghargai perempuan
tetapi juga untuk menghindari perceraian karena proses awal atas mahar
yang diberikan kepada wanita pada diawal pernikahan menjadi
pertimbangan oleh laki-laki untuk menceraikan istrinya kelak.
Demikian
juga
acara
nyongkolan7
merupakan
sarana
pengumuman dan silaturrahmi sebagaimana yang dianjurkan oleh Nabi
Muhammad
saw.
penyalahgunaan
yang
Hanya
oleh
saja
oknum
dalam
pada
kasus
tertentu
acara
terjadi
nyongkolan
menyebabkan terjadinya pertikaian, mabuk-mabukan dengan
minuman keras dan meninggalkan sholat, maka perilaku inilah yang
perlu dihindari dalam praktek nyongkolan. Singkatnya, orang Sasak lah
yang banyak melanggar aturan/adat sasak itu sendiri.
Pernikahan Sasak juga merupakan pengejawantahan keyakinan
masyarakat Sasak terhadap Tuhan. Pelaksanaan Merarik, upacara
batobat, selamatan tampah wirang, metikah buah lekuk, bedak keramas,
7
Tradisi nyongkolan mengantar mempelai perempuan kepada pihak keluarga setelah
beberapa saat dilarikan ke rumah pihak keluarga mempelai laki-laki. Tradisi ini biasanya
melibatkan banyak orang (ratusan hingga ribuan orang) yang menggunakan pakaian adat Sasak
Lombok, sebagai bentuk penghormatan dan penghargaan pihak keluarga mempelai laki-laki
kepada keluarga mempelai perempuan, sekaligus diikuti dengan tradisi minta maaf pengantin lakilaki dan juga pengantin perempuan atas dosa dan kesalahannya selama ini, khususnya saat mencari
/ melarikan mempelai perempuan. Tradisi ini juga biasanya diiringi dengan musik-musik dan
tarian tradisional khas Sasak-Lombok.
58
dan metikah merupakan ekspresi keberagamaan akulturatif masyarakat
Sasak. Melalui upacara perkawinan tersebut, masyarakat Sasak
mempertontonkan pemahamanan keagamaan yang khas. Mungkin saja
ekspresi
keberagamaan
tersebut
tidak
sejalan
dengan
ekspresi
keberagamaan arus utama, tapi yang harus disadari adalah bahwa
masyarakat Sasak telah menunjukkan bagaimana menyikapi adanya
batas-batas liminal antara adat dan agama dengan menggunakan idiomidiom lokal.8 Karena ekspresi keberagamaan adat Sasak tidak sejalan
dengan ekspresi keberagamaan arus utama yang membuat mereka tetap
memliki batasan atas adat lokal, maka dari itu masyarakat Sasak sangat
percaya menghargai tradisi mereka yang ada dari nenek moyang mereka.
Dan beberapa pendapat ulama di Lombok tentang perkawinan Merariq
hampir semuanya tidak setuju, karena bagaimanapun Merariq keluar dari
konteks ajaran agama Islam. Salah satu narasumber yang diwawancarai
oleh penulis adalah Ir. H. Ikhsan Gemala Putra, beliau adalah seorang
pengamat budaya Sasak di Lombok/budayawan Sasak di Lombok Nusa
Tenggara Barat. Beliau sendiri tidak menyetujui tentang perkawinan
Merariq tersebut, tetapi beliau tidak berusaha untuk mengusik atau
melarangnya, karena itu sudah jadi bagian adat tradisi suku Sasak, maka
8
Wawancara Pribadi dengan Drs. H. Lalu Mudjitahid (Ketua Masyarakat Adat Sasak di
Lombok, Nusa Tenggara Barat) Pada Tanggal 08 April 2017.
59
bagi masyarakat yang meyakininya silahkan saja.9
B. Alasan Merariq
Membicarakan pernikahan Sasak, tidak bisa tidak membicarakan
Merariq, yaitu melarikan anak gadis untuk dijadikan istri. Merariq
sebagai ritual memulai perkawinan merupakan fenomena yang sangat
unik, dan tidak hanya dapat ditemui di masyarakat Sasak, Lombok, Nusa
Tenggara Barat. Tradisi ini tidak hanya ada di Sasak tetapi juga berbagai
adat daearah lain seperti Marlojong atau mangalua pada masyarakat
Angkola di Batak. Tradisi perkawinan Marlojong „kawin lari‟ pada
masyarakat Angkola merupakan satu kebiasaan apabila perkawinan yang
umum tidak dapat dilakukan. Untuk itu, perlu diketahui dan dipahami
dengan baik perkawinan menurut adat Dalihan na Tolu ini di daerah
Angkola. Dalam tradisi ini memberikan penjelasan untuk lebih mengenal
perkawinan Marlojong „kawin lari‟, salah satu cara perkawinan pada
masyarakat Angkola. Jadi, perkawinan Marlojong ini merupakan jalan
keluar yang akan ditempuh oleh sepasang muda-mudi Angkola apabila
mereka
memperoleh
kesulitan
dan
kendala
yang
tidak
dapat
diselesaikan.10 Jadi tidak hanya ada di masyarakat Sasak saja yang
9
Wawancara Pribadi dengan Ir. H. Iksan Gemala Putra (Budayawan Sasak di Lombok,
Nusa Tenggara Barat) Pada Tanggal 09 April 2017.
10
E.H. Tambunan, Sekelumit Mengenai Masyarakat Batak Toba dan Kebudayaannya
(Bandung: Tarsito, 1982), h. 136.
60
melakukan „kawin lari‟ tetapi di masyarakat Batak juga terkenal Tradisi
Marlojong. Tradisi Merariq ini menjadi cara paling terhormat bagi lakilaki Sasak untuk menikahi seorang perempuan. Alasannya, karena
Merariq memberikan kesempatan kepada para pemuda, yang hendak
beristri, untuk menunjukkan kejantanannya. Sifat jantan merupakan
simbolisasi sosok suami yang bertanggung jawab dalam segala kondisi
terhadap keberlangsungan keluarganya. Laki-laki yang melakukan
Merariq telah membuktikan dirinya sebagai seorang pemberani. Terdapat
beberapa
alasan
mengapa
Merariq
dilakukan.
Pertama,
untuk
menunjukkan kesungguhan si laki-laki terhadap si gadis. Kedua,
menunjukkan keberanian, seperti seorang ksatria. Ketiga, karena alasan
sejarah. Keempat, karena alasan kompetisi. Akan tetapi sekarang ini adat
Merariq telah banyak mengalami pergeseran nilai dan praktik yang
disebabkan kurangnya pemahaman pelaku Merariq terhadap ketentuan
adat dan ajaran agama.11
Seiring perkembangan zaman, jumlah orang yang melakukan
Merariq semakin sedikit. Tetapi bukan berarti berkurangnya laki-laki
yang hilang kejantannya, melainkan karena ada beberapa kasus di
beberapa adat tradisi misalnya seperti nyongkolan. Bahwa yang telah
dijelaskan diatas, membuat Merariq hanya dijadikan simbol tradisi dan
11
Wawancara Pribadi dengan Drs. H. Lalu Mudjitahid (Ketua Masyarakat Adat Sasak di
Lombok, Nusa Tenggara Barat) Pada Tanggal 08 April 2017.
61
karena semakin zaman berkembang sudah banyak orang-orang yang
berpendidikan membuat pemikiran mereka lebih berkembang dan
mencari jalan lain untuk melangsungkan perkawinan. Akan tetapi mereka
tetap menghormati tradisi adat Sasak dengan masih melakukan adat-adat
yang pantas sampai saat ini dan mudah dilakukan dan meninggalkan
yang sudah tidak cocok di zaman sekarang ini. Pada saat ini Merariq
yang dilakukan terkadang hanya bersifat simbolis belaka, yaitu dengan
“sepengetahuan” kedua orang tua si gadis. Perkelahian yang mungkin
timbul akibat dari tertangkapnya orang yang melakukan Merariq juga
dilakukan hanya untuk menggugurkan ketentuan adat.12
Terlepas dari semakin tidak populernya Merariq sebagai ritual
awal perkawinan Sasak, ritual ini telah melahirkan sebuah perkawinan
khas masyarakat Sasak. Mas kawin yang harus diserahkan oleh pihak
laki-laki, misalnya, disebut sajikrama (hadiah kawin lari). Barang yang
digunakan sebagai sajikrama merupakan sanksi yang dibebankan kepada
mempelai laki-laki karena melarikan anak gadis orang. Oleh karenanya,
besar sajikrama dihitung berdasarkan pelanggaran yang mungkin saja
terjadi sebelum, selama, dan sesudah penculikkan.13
Kemungkinan denda yang harus dibayarkan antara lain: pertama,
ngampah-ngampah ilen pati. Denda ini dijatuhkan karena orangtua
12
Wawancara Pribadi dengan Drs. H. Syahdan Ilyas MM (Ketua Forum Kerukunan Umat
Beragama di Lombok, Nusa Tenggara Barat) Pada Tanggal 10 April 2017.
13
Wawancara Pribadi dengan Mahardika (Pemangku Adat Sasak desa Sade Lombok
Tengah, Nusa Tenggara Barat) Pada Tanggal 29 Maret 2017.
62
mempelai wanita berasa bahwa sebelum, selama, dan sesudah melarikan
si gadis, mempelai pria telah mempermalukan anak mereka, misalnya
sebelum acara Merariq si pria mengunjungi si gadis terlebih dahulu.
Padahal menurut adat Sasak, seorang pemuda tidak boleh mengunjungi
gadis yang hendak di culik. Kedua, terlambat salabar. Denda yang harus
dibayar oleh mempelai laki-laki apabila orangtua mempelai perempuan
menganggap keluarga mempelai pria terlambat mengabarkan penculikan
anak gadis mereka. Menurut adat Sasak, waktu toleransi untuk
memberikan kabar penculikan adalah tiga hari. Lebih dari tiga hari, maka
pihak pengantin laki-laki harus membayar denda terlambat selabar.
Bahkan, adakalanya juga harus membayar ngampah-ngampah ilen pati
karena telah membikin malu keluarga pengantin wanita. Ketiga, dosan
jeruman. Denda ini harus dibayarkan oleh mempelai laki-laki karena dia
menggunakan perantara dalam melakukan pelarian diri anak gadis orang.
Keempat, lain keliang. Denda yang dibayarkan karena mempelai pria
berasal dari tempat yang berbeda, misalnya si gadis berasal dari Sasak,
sedangkan mempelai prianya berasal dari Jawa. Kelima, ajin gubug.
Denda ini dibayarkan atas permintaan komunitas tempat mempelai
wanita tinggal. Keenam, turunan bangsa. Denda ini dibebankan kepada
pengantin pria yang mempunyai status sosial lebih rendah daripada
pengantin
perempuan.
Oleh
karenanya
perkawinan
model
ini
menyebabkan status sosial perempuan menjadi turun, maka pembayaran
63
turunan bangsa pada hakekatnya adalah kompensasi kehilangan status
sosial tersebut. Semakin tinggi status sosial perempuan, semakin besar
pula denda turunan bangsa yang harus dibayarkan oleh pihak mempelai
laki-laki.14
Beragam denda yang mengikuti Merariq, yang menjadikan biaya
yang harus ditanggung pengantin laki-laki sngat besar. Kondisi seperti ini
yang semakin memudarnya tradisi Merariq, tidak hanya memberatkan
mempelai laki-laki tetapi juga meletakkan perempuan pada posisi
dilematis. Aturan-aturan tersebut menyebabkan perempuan tidak bebas
memilih pasangan hidupnya, karena harus menunggu orang yang mampu
membayar sajikrama. Maka dari itu semakin lama banyak orang tidak
menggunakan adat Sasak dalam perkawinannya karena biaya yang harus
dikeluarkan sangat mahal.15
C. Perspektif Merariq
Peneliti telah berbincang dengan ketua Adat
Masyarakat Sasak16, beliau berbicara bahwa, asal kata Merariq dari
perilaku kesengajaan berpaling atau memalingkan muka, menutup mata.
Misalnya, salah seorang perempuan mau Merariq dengan pacarnya yaitu
pemuda kampung sebelah dan telah disebutkan namanya kepada ibunya.
14
Erni Budiwanti, Islam Sasak: Wetu Telu versus Waktu Lima (Yogyakarta: LkiS, 2000),
h. 252-254.
15
Budiwanti, Islam Sasak...... h. 261.
16
Wawancara Pribadi dengan H. Lalu Mudjitahid (Ketua Masyarakat Adat Sasak di
Lombok, Nusa Tenggara Barat) Pada Tanggal 08 April 2017.
64
Lalu disarankan oleh ibunya agar tidak melamar dikarenakan saudara
jauh mau menikahi juga dan ada pula tetangga yang menaruh minat
untuk datang melamar. Agar tidak terjadi perpecahan antar keluarga atau
tetangga, maka orang tua bilang 'palingin keentan'. "Si ibu berpura-pura
menutup mata atau berpaling 'palingin keentan', lalu membiarkan pergi
atau lari anak perempuannya dengan lelaki yang datang Merariq itu. Tapi
itu disepakati dan merupakan rekayasa adat untuk menjaga hubungan
agar tidak retak. Karena salah satu tujuan dari pada Merariq yang sudah
pernah dijelaskan, itu menyambung tali persaudaraanan antara sesama
misan atau sepupu, jadi dalam masyarakat Sasak, rata-rata mereka
menikah sesama sepupu/misan untuk menyambung tali persaudaraan.
Kenapa keluarga tidak dikasih tetapi orang lain dikasih, karena sebagian
keluarga ada yang orangtuanya memberi kebebasan terhadap anaknya
untuk memilih pasangan hidupnya. Jadi dari pada terjadi perselisihan
diantara keluarga lebih baik di larikan. Itulah asal usul Merariq yang
sebenarnya bukan kawin lari dalam artian kawin lari ilegal.17
Itulah yang pada saat ini Merariq yang masih dijalankan oleh
beberapa masyarakat Sasak sekitar 3% yang dijelaskan diatas. Walaupun
begitu, itu sudah bermetamorfosa dari tradisi perkawinan Sasak yang asli,
yang mana ada kisah sebuah mitos. Konon, dulu di Lombok ada seorang
raja dengan putri yang sangat cantik. Karena terlalu cantiknya, semua
17
Zuhdi, Praktik Merariq....., h.57.
65
pria suka padanya dan berlomba-lomba melamarnya. Maka sang Raja
mendirikan sebuah kamar dengan sistem penjagaan yang sangat ketat.
Lalu raja memberi tantangan, "Barangsiapa berhasil menculik putriku,
akan kunikahkan dia dengan putriku," Dari situ, pria-pria Lombok
memiliki kebanggaan jika berhasil menculik orang yang dicintainya.
Maka, jika sudah berhasil terculik, pihak keluarga perempuan harus rela
anaknya dinikahkan dengan sang penculik. Maka dari itu satu perempuan
di kampung adat Sade/orang Lombok
pacarnya banyak bisa sampai
delapan, karena tidak ada istilah pacaran, siapa cepat menculik atau
mengajak kabur maka ia yang berhasil menjadi ksatria. Saat peneliti
masuk ke Bale Tani18, ruang pertama langsung terisi oleh kasur
bertingkat tempat orang tua tidur. Kasur ada di sebelah tangga menuju
lantai dua. Di lantai dua ada dapur, di sebelahnya terdapat kamar kecil
dengan satu kasur dan selimut. Kamar kecil di sebelah dapur itu kamar
gadis, diletakan paling belakang agar tidak mudah diculik anaknya. Itulah
tradisi adat Sasak yang asli yang pernah dijelaskan pada sub sebelumnya,
alasan Merariq membuat lelaki Lombok menjadi kstria karena berani
melarikan anak gadis orang dan menjadi pria sejati kalau berani
melarikan berarti berani bertanggung jawab atas pernikahannya kelak.19
Perspektif Merariq ialah berbeda-beda ada yang berpandangan
18
Salah satu rumah adat tradisional di Desa Sade.
19
Wawancara Pribadi dengan Mahardika (Pemangku Adat Sasak desa Sade Lombok
Tengah, Nusa Tenggara Barat) Pada Tanggal 29 Maret 2017.
66
bahwa masyarakat Islam sasak terhadap Merariq ada dua pendapat.
Pertama, pandangan masyarakat biasa, yang mengatakan bahwa Merariq
tidak ada masalah selama dilakukan dengan ketentuan adat dan ajaran
agama. Kedua, pandangan kaum terdidik, mereka lebih melihat pada
dampak dari mulai proses awal sampai akhir. Sehingga sebaiknya perlu
dicarikan alternatif yang lebih sederhana dan baik untuk menghindari
dampak negatif yang muncul.20
Dari hasil yang penulis wawancarai bahwa masyarakat Sasak
yang saat ini mulai meninggalkan tradisi Merariq ialah yang sudah
mengenal Islam yang sesungguhnya, banyak pendakwah Islam yang
menyebar diseluruh pulau Lombok yang mulai mengajarkan Islam
sesungguhnya kepada masyarakat Sasak. Jadi salah satu alasan tradisi
Merariq di zaman ini mulai pudar karena fakor penyempurnaan Agama
Islam yang disebarkan oleh pendakwah Islam di pulau Lombok yang
semakin banyak. Dan juga faktor modernisasi zaman, yang membuat
pola fikir manusia yang berbeda. Tetapi semakin berkembangnya zaman,
dan mudahnya pendakwah menyebarkan ajaran agama Islam, juga
pendidikan di Indonesia yang meningkat sehingga banyak sekali generasi
muda yang mulai berfikir lebih rasional dibandingkan dengan orangorang zaman dahulu, akan tetapi orang-orang tersebut tetap menjaga
20
Harfin Zuhdi, Muhammad dkk, Lombok Mirah Sasak Adi: Sejarah Sosial, Islam,
Budaya, dan Ekonomi, (Jakarta: Imsak Press, 2011), h. 10.
67
tradisi keturunan mereka supaya tidak benar-benar musnah. Karena,
bagaimanapun adat tradisi harus tetap ada dalam suatu daerah untuk
menjadikan ciri khas daerah tersebut, walaupun hanya beberapa persen.21
21
Wawancara Pribadi dengan Ir. H. Iksan Gemala Putra (Budayawan Sasak di Lombok,
Nusa Tenggara Barat) Pada Tanggal 09 April 2017.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan penelitian yang telah dilaksanakan, peneliti dapat mengambil
kesimpulan sebagai berikut :
1. Terjadinya integrasi agama dengan Budaya ialah antara Wetu Telu dengan
Merariq tersebut. Maksudnya adalah hubungan Wetu Telu dengan Merariq yaitu
praktik yang terjadi dalam Merariq tersebut adalah ketentuan dari pada Wetu Telu
yang mana, telah dijelaskan di bab sebelumnya bahwa Wetu Telu ini perpaduan
antara Islam dan Hindu. Yang mana dalam konsep Islamnya ini hanya ada solat
Jum’at, solat Idul Fitri dan solat Idul Adha, sedangkan dalam konsep Hindunya,
Wetu Telu ini masih menggunakan unsur-unsur mistik seperti sesajen, dll. Sudah
sempat dijelaskan juga bahwa Merariq merupakan percampuran antara Islam dan
Hindu. Jadi ada hubungannya antara Wetu Telu dan Merariq, yaitu dari cara
praktik dan sejarah awalnya. Konsep agama atau keyakinan yang melahirkan
Merariq ialah Wetu Telu tersebut yang sudah dijelaskan diatas tadi bahwa, praktik
yang terjadi dalam Merariq merupakan lahir dari konsep Wetu Telu.
2. Dari beberapa penjelasan di setiap bab telah dijelaskan bahwa format dari pada
Merariq di Lombok sudah sangat jelas bahwa praktik yang terjadi dalam Merariq
tersebut sangat kental Budayanya. Dari perpaduan antara budaya Sasak, juga
budaya Hindu Bali dan ada Unsur Islamnya juga di dalam praktik Merariq. Ini
yang sangat jelas bahwa Merariq merupakan integrasi agama dengan budaya yang
menghasilkan praktik perkawinan Merariq.
68
69
3. Perkawinan Merariq yang terjadi di masa depan dengan persoalan tuntutan
kehidupan modern sungguh sangat berat, karena telah kita ketahui bahwa hampir
sebagian kebudayaan di Indonesia hampir mengalami kepunahan karena,
jarangnya kepedulian manusia terhadap kebudayaannya sendiri. Yang telah kita
ketahui bahwa dunia semakin modern, zaman semakin maju yang membuat adat
tradisi hamoir ditinggalkan karna pola fikir manusia yang semakin modern juga
pergeseran makna yang sempit terhadap tradisi budaya menjadi luas karena ilmu
yang modern. Jika kita melihat apakah sama rasanya sepasang kekasih yang
melakukan Merariq dengan yang tidak melakukan Merariq. Itu kita bisa lihat dari
individu orangnya, sebagian orang sasak mungkin sangat bahagia jika menikahnya
menggunakan proses adat Merariq karena merupakan kebanggan tersendiri bagi
orang-orang sasak. Tetapi kalau sepasang kekasih yang tidak menggunakan
Merariq itu juga sudah kesepakatan bersama sepasang kekasih, karena mungkin
zaman yang sudah modern atau pasangan dari pihak perempuan bukan lg dari
keturunan sasak.
4. Skripsi yang penulis buat ini memiliki temuan positif dalam Merariq, bahwa kalau
penulis baca buku-buku terdahulu atau skrispi terdahulu tentang Merariq itu lebih
kepada konten negatif. Karena Merariq ini lahir dari pada agama dan budaya yang
menjadikan integrasi yang saling memahami dan bermakna. Sehingga para tokoh
ulama-ulama di Lombok pun enggan berkomentar tentang Merariq karena, salah
satu tradisi budaya yang mana tidak bisa dipisahkan dengan agama itu sendiri.
Karena memang agama dan budaya sudah melekat satu sama lain saling
memahami.
70
B. Saran-saran
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, maka saran yang ingin
disampaikan oleh penulis ialah :
1. Integrasi agama dengan Budaya yang menghasilkan tradisi perkawinan
Merariq ini tetap harus dijaga karena tradisi ini sangat unik dan menjadi
sebuah simbol dari pada suku sasak di Lombok.
2. Dari proses praktik Merariq agar dijaga dan jangan disalahgunakan
walaupun tuntutan zaman yang sudah modern, tetapi harus menjaga ke
aslian dari pada adat Merariq itu sendiri, agar tidak hilang tradisi
perkawinannya tersebut.
3. Untuk menjaga tradisi perkawinan Merariq di masa modern ini maka harus
disesuaikan dengan hukum yang berlaku tetapi tetap menjaga keasliannya.
Jika terjadi beberapa kendala pendapat dari praktik Merariq tersebut maka
untuk menyesuaikan dengan tuntutan dunia modern maka dibuang yang
tidak sesuai dengan dunia modern dan diambil baiknya lalu di jaga
keasliannya.
Daftar Pustaka
Koentjaraningrat. Pengantar Ilmu Antropologi, Jakarta: Rineka Cipta,
2009
Suhanah. Dinamika Agama Lokal di Indonesia, Jakarta: Kementerian
Agama, 2004
Khadziq. Islam Dan Budaya Lokal, Belajar Memahami Realitas Agama
Dalam Masyarakat, Yogyakarta: Teras, 2009
Musifin As’ad dan Salim Basyarahil. Perkawinan dan Masalahnya,
Jakarta: Pustaka Al-Kaustar, 1993
Yasin, Nur. Hukum Perkawinan Islam Sasak, Malang: UIN Malang Press,
2008
Aniq, Ahmad Fathan. Konflik Peran Gender pada Tradisi Merariq di
Pulau Lombok, Surabaya: IAIN Sunan Ampel
Mastuhu. Metodologi Penelitian Agama: Teori dan Praktik, Jakarta: PT
Grafindo Persada, 2006
Moleong, Lexy J. Metodologi Penelitian Kualitatif , Bandung: PT Remaja
Rosdakarya, 2006
Endraswara, Suwardi. Metodologi Penelitian Kebudayaan, Yogyakarta:
Gajah Mada University Press, 2006
Arikunto, Suharsimi. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik,
Jakarta: PT Rineka Cipta, 2006
71
72
Suryabrata, Sumardi. Metodologi Penelitian, Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 1998
Connolly, Peter(ed). Pendekatan Studi Agama, Yogyakarta: PT LkiS
Printing Cemerlng, 2002
Budiwanti, Erni. Islam Sasak: Wetu Telu versus Waktu Lima, Yogyakarta:
LkiS, 2000
Bartholomew, John Ryan. Alif Lam Mim: Kearifan Masyarakat Sasak,
Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya, 2001
Zuhdi, M. Harfin. Praktik Merariq: Wajah Sosial Masyarakat Sasak,
Mataram: LEPPIM IAIN Mataram, 2012
Rahman, Fachrir. Pernikahan di Nusa Tenggara Barat antara Islam dan Tradisi,
Mataram: LEPPIM IAIN Mataram, 2012
Lukman, Lalu. Pulau Lombok dalam sejarah: ditinjau dari aspek budaya,
Mataram:2005.
Masnun. Tuan Guru KH. Muhammda Zainuddin Al-Madjid: gagasan dan
gerakan pembaharuan Islam di Nusa Tenggara Barat, Mataram: Pustaka Miqdad,
2007.
Sumber data dari kejaksaan Negeri Nusa Tenggara Barat, data-data
tentang ajaran wetu Telu di Nusa Tenggara Barat, Mataram: 28 Maret 2017.
Ahyar Fadly, Muhammad. Islam Lokal: akultuasi Islam dibumi Sasak,
Lombok: STAIIQH Press, 2008.
73
Rustanto, Bambang. Masyarakat Multikultural di Indonesia, Bandung: PT
Remaja Rosdakarya, 2015.
Kuntowijoyo. Budaya dan Masyarakat, Yogyakarta: PT Tiara Wacana
yogya, 1987.
Sudirman. Bahrie. Ratmaja, Lalu. Prosesi Perkawinan Masyarakat Gumi
Sasak, NTB: KSU Primaguna, 2012.
Geriya, Wawan. Beberapa segi tentang masyarakat dan sistem sosial,
Denpasar: Universitas Udayana, 1981.
Abdullah, Idris. Penyelesaian sengketa melalui mekanisme pranata lokal
di kabupaten Lombok Barat, disertasi. Jakarta: fakultas Hukum Program Pasca
Sarjana UI. 2000.
Nur Yasin, M. Kontekstualisasi Doktrin Tradisional di Tengah
Mordenisasi Kawin Lari (Merari) di pulau Lombok, jurnal Istimbath no.1 vol. IV
desember 2006.
Tambunan, E.H. Sekelumit mengenai Masyarakat Batak Toba dan
Kebudayaannya, Bandung:1982.
74
WAWANCARA
Wawancara pribadi dengan Mahardika, Pemangku Adat Sasak di
Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat, Sabtu, 29 Maret 2017.
Wawancara pribadi dengan Drs. H. Lalu Mudjitahid, Ketua Masyarakat
Adat Sasak di Lombok, Nusa Tenggara Barat. Sabtu, 08 April 2017.
Wawancara pribadi dengan Ir. H. Ikhsan Gemala Putra,
Budayawan Sasak di Lombok, Nusa Tenggara Barat. Minggu, 09 April 2017.
Wawancara pribadi dengan Drs. H. Syahdan Ilyas, Ketua Forum
Kerukunan Umat Beragama di Lombok, Nusa Tenggara Barat, Senin, 10 April
2017.
75
Lampiran 1
Surat Bukti Penelitian
76
Lampiran 2
Pertanyaan Wawancara
1. GAMBARAN UMUM MASYARAKAT SUKU SASAK
A. Sejarah Singkat suku Sasak
-
Jelaskan sejarah tentang suku sasak?
B. Letak Geografis
-
Jelaskan letak geografis Suku Sasak?
C. Sistem Keyakinan yang dianut masyarakat Sasak?
-
Jelaskan sistem keyakinan yang dianut masyarakat sasak?
a. Akidah kepada Allah
-
Jelaskan Akisah masyarakat sasak terhadap pengetahuannya kepada
Allah
b. Ibadah kepada Allah
-
Bagaimana pendekatan ibadah yang dilakukan masyarakat sasak
terhadap Allah
c. Akhlak Perilaku Sosial
-
Bagaimana akhlak masyarakat Sasak terhadap Perilaku sosial
2. KEBUDAYAAN
A. Tantangan dalam Tradisi Merariq yang menghasilkan Kreasiativitas
Kebudayaan
-
Bagaimana tantangan yang muncul dalam tradisi Merariq yang
menghasilkan Kreativitas Kebudayaan?
77
B. Karya dalam Tradisi Merariq yang menghasilkan Inovasi Kebudayaan
-
Bagaimana karya dalam tradisi Merariq dalam menghasilkan sebuah
Inovasi Kebudayaan?
C. Tujuan Tradisi Merariq yang menghasilkan Nilai-nilai Kebudayaan
-
Bagaimana Tujuan dalam tradisi Merariq dalam menghasilkan nilainilai dalam kebudayaan tersebut?
3. FAKTOR DOMINAN ANTARA AGAMA DAN BUDAYA DALAM
TRADISI MERARIQ
A. Tujuan Merariq
-
Jelaskan Tujuan dari perkawinan Merariq?
B. Alasan Merariq
-
Jelaskan alasan dari perkawinan Merariq?
C. Perspektif Merariq
-
Jelaskan perspektif orang terhadap perkawinan Mearariq?
78
79
80
81
82
Lampiran 3
Hasil Wawancara :
1. Data Pribadi
a. Nama
: Bajang Mahardika
b. Jenis Kelamin
: Laki-laki
c. Tempat Tanggal Lahir
: Mataram, 31 Desember 1993
d. Umur Narasumber
: 24 tahun
e. Alamat Narasumber
: Desa Sade Lombok Tengah
f. Pekerjaan Narasumber
: Pemangku Adat Asli Desa Sade (Sudah
Merariq’)
g. Tanggal Wawancara
: 29 Maret 2017
h. Tempat Wawancara
: Desa Sade Lombok Tengah
i. Waktu Wawancara
: 10.30 – 11.30 WITA
2. Wawancara dan Hasil Wawancara
-
Pewawancara
:
: Jelaskan Sejarah Tentang Suku Sasak yang anda
ketahui?
-
Narasumber
: Sasak berasal dari kata “sah” yang berarti “pergi”
dan “shaka” yang berarti “leluhur”. Dengan begitu dapat disimpulkan
bahwa “sasak” memiliki arti “pergi ketanah leluhur”. Dari pengertian
inilah kita bisa lihat bahwa leluhur orang sasak itu adalah orang Jawa.
Bukti lainnya merujuk kepada aksara Sasak yang digunakan oleh orang
Sasak disebut sebagai “Jejawan”, merupakan aksara yang berasal dari
tanah Jawa, pada perkembangannya, aksara ini dipersepsikan dengan
83
baik oleh para pujangga yang telah melahirkan tradisi kesusastraan
Sasak. kata Sasak juga berasal dari kata sak-sak yang dalam bahasa
Sasak berarti sampan. Pengertian ini dihubungkan dengan kedatangan
nenek moyang orang Sasak dengan menggunakan sampan dari arah
barat. Dan juga Sasak adalah kitab Nagarakertagama yang memuat
catatan kekuasaan Majapahit abad ke-14, ditulis oleh Mpu Prapanca.
Dalam kitab Nagarakertagama terhadap ungkapan “lombok sasak
mirah adi”, pemaknaan ini merujuk kepada kata Sasak (sa-sak) yang
diartikan sebagai satu atau utama, Lombok (Lomboq) dari bahasa kawi
yang dapat diartikan sebagai jujur atau lurus, mirah diartikan sebagai
permata dan adi bermakna baik. Maka, Lombok Sasak Mirah Adi
berarti kejujuran adalah permata kenyataan yang baik atau utama.
Masyarakat Suku Sasak merupakan masyarakat yang masih memegang
teguh tradisi dan mempertahankan kebudayaan sampai saat ini. Kini,
suku Sasak bukan hanya sebuah kelompok masyarakat tetapi juga
merupakan salah satu etnis yang melambangkan kekayaan tradisi yang
dimiliki oleh Indonesia. Sasak adalah penduduk asli dan kelompok
etnik mayoritas Lombok. mereka meliputi lebih dari 90% dari
keseluruhan penduduk Lombok. kelompok-kelompok etnik lain seperti
Bali, Sumbawa, Jawa, Arab, dan Cina adalah para pendatang.
-
Pewawancara
ini?
: Lalu coba anda jelaskan letak geografis Desa Sade
84
-
Narasumber
: Dusun Sade atau Desa Sade terletak di wilayah
Desa Rambitan, kecamatan Punjut, Kabupaten Lombok Tengah, Nusa
Tenggara Barat. Letak kampung ini 50 km arah Tenggara Kota
Mataram (Ibu Kota NTB) dan 19 km dari kota Praya (Ibu Kota
Lombok Tengah). Desa Sade ini memiliki Luas 50 Ha. Secara
geografis pada koordinat 08 derajat 50 LS dan 116 derajat BT. Desa
Sade terletak pada ketinggian 120-126 m di atas permukaan laut,
terletak pada sebuah bukit, di sebelah Utara dan Selatan terdapat
persawahan dan ladang penduduk. Batas wilayah yaitu Sebelah Barat
Dusun Penyalu, Sebelah Utara Dusun Selak, sebelah Selatan Dusun
Selemang.
-
Pewawancara
: Dan bagaimanakah sistem keyakinan yang dianut
masyarakat Sasak? Keyakinan manusia terhadap Tuhannya, kemudian
bagaimana cara pendekatan ibadah manusia kepada Tuhannya, serta
bagaimana perilaku sosial antara sesama manusianya?
-
Narasumber
: Sebelum kedatangan pengaruh asing di Lombok,
Boda merupakan kepercayaan asli orang Sasak. Orang Sasak pada
waktu itu, menganut kepercayaan ini, disebut sebagai Sasak Boda.
Dengan begitu agama ini tidaklah sama dengan Buddhisme karena ia
tidak mengakui Sisarta Gautama atau Sang Buddha sebagai figur
utama pemujaannya maupun terhadap ajaran pencerahannya. Agama
Boda dari orang Sasak asli terutama ditandai oleh animisme dan
pantaisme. Pemujaan dan penyembahan roh-roh leluhur dan berbagai
85
dewa lokal lainnya merupakan yang utama dari praktik keagamaan
Sasak-Boda. Konversi orang Sasak ke dalam Islam sangat berkaitan
erat dengan kenyataan adanya penaklukan dari kekuatan luar. Berbagai
kekuatan asing yang menaklukkan Lombok selama berabad-abad,
sangat menentukan cara orang Sasak menyerap pengaruh-pengaruh
luar. Penganut Boda sebagai komunitas kecil yang berdiam di
wilayah pegunungan utara dan di lembah-lembah pegunungan
Lombok bagian selatan. Kelompok Boda ini konon adalah orangorang Sasak yang dari segi kesukuan, budaya, dan bahasa menganut
kepercayaan asli. Mereka menyingkir ke daerah pegunungan
melepaskan diri dari islamisasi di Lombok. Kemudian kerajaan
Majapahit masuk ke Lombok dan membawa serta budayanya. HinduBuddha Majapahit pun kemudian dikenal oleh Suku Sasak. Di akhir
abad ke 16 hingga abad ke 17 awal perkembangan agama Islam
menyentuh pulau Lombok. Salah satunya karena peran Sunan Giri.
Setelah perkembangan Islam, kepercayaan Suku Sasak sebagian
berubah dari Hindu menjadi penganut Islam. Berdasarkan sistem
kepercayaan Suku Sasak pada masa-masa selanjutnya, kemudian
dapat diklasifikasikan tiga kelompok utama; Boda, Wetu Telu, dan
Islam (Wetu Lima). Awalnya Agama Wetu Telu memiliki ciri sama
dengan Hindu-Bali dan Kejawen. Peran leluhur begitu menonjol. Hal
itu didasarkan pada pandangan yang berakar pada kepercayaan
tentang kehidupan senantiasa mengalir. Pada perkembangannya Wetu
86
Telu justru lebih dekat dengan Islam. Sekarang hampir semua desa
suku Sasak sudah menganut Agama Islam lima waktu dan
meninggalkan Wetu telu sepenuhnya. Sementara sinkretisme Islam
Wetu telu kini berkembang terbatas di beberapa bagian utara dan
selatan Pulau Lombok. Meliputi Bayan, dataran tinggi Sembalun,
Suranadi di Lombok Timur, Pujut di Lombok Tengah, dan Tanjung
di Lombok Barat. Istilah Islam Wetu Telu diberikan karena penganut
kepercayaan ini beribadah tiga kali di bulan puasa, yaitu waktu
Magrib, Isya, dan waktu Subuh. Di luar bulan puasa, mereka hanya
satu hari dalam seminggu melakukan ibadah, yaitu pada hari Kamis
dan atau Jumat, meliputi waktu Asar. Untuk urusan ibadah lainnya
biasanya dilakukan oleh pemimpin agama mereka; para kiai dan
penghulu. Para penganut Islam Wetu telu membangun Masjid
(tempat ibadah) mereka dengan gaya arsitektur khas Suku Sasak; dari
kayu dan bambu, dengan bagian atapnya terbuat dari jenis alangalang atau sirap dari bambu. Dengan denah berbentuk persegi empat
dan bagian atap seperti piramid bertumpang yang disangga dengan
tiang-tiang, beberapa ahli menilai arsitektur masjid ini mirip dengan
Arsitektur masjid lama di Ternate dan Tidore. Dalam siklus hubungan
ini status mangku dan dewa berfungsi sebagai penghubung. Jika
seseorang melaksanakan nazar, misalnya memohon keselamatan,
sembuh dari penyakit dan sebagainya, mereka minta kepada mangku
untuk mengantarkan dan memimpin upacara ke tempat tertentu dan
87
kepada dewa mana permohonan tersebut disampaikan. Permohonan
dimaksud kemudian dihubungkan kepada Tuhan oleh dewa karena
Tuhanlah yang dapat memutuskan segala sesuatunya. Jadi, mangku
dan dewa berfungsi perantara dalam hubungan manusia dengan Tuhan.
Dalam pola berhubungan ibadah antara manusia kepada Tuhannya itu
di posisikan oleh Kyainya. Sebagai petugas, seluruh tugas-tugas dan
kewajiban peribadatan dari Tuhan, menurut faham Isalm wetu telu
cukup dikerjakan oleh para Tuan Guru atau kyai. Oleh karena itu
tugasnya yang tergolong berat, maka Tuan Guru atau Kyai cukup
dihormati. Masyarakat setempat sangat patuh terhadap sikap dan
nasehatnya. Itulah yang menjadi pendekatan ibadah masyarakat sasak
terhadap Tuhannya. Meskipun sebagian masyarakat sasak ada yang
masih mempercayai Wetu Telu, ada juga yang sudah meninggalkannya
dan mengerjakan waktu lima yaitu Islam sempurna. Mereka hanya
mempercayai untuk tetap menghormati leluhur Budaya mereka tentang
Wetu Telu tersebut. Dan Wetu Telu itu mereka tidak pernah
mengerjakannya, karena setiap ibadah Wetu Telu itu hanya di lakukan
oleh Pemimpin seperti Pemangku Adat yang sudah dijelaskan diatas,
jadi ibadah Wetu Telu dahulu di lakukan hanya diwakilkan saja oleh
pemimpinnya dan jamaahnya hanya meyakini dan mempercayainya
saja. Itulah masyarakat sasak yang masih menganut wetu telu, beda
halnya yang sudah meninggalkannya dan mengerjakan waktu lima,
mereka hanya percaya saja tidak mengerjakannyanya. Dengan begitu
88
mereka tetap mempercayai adanya Allah, taat kepada Allah, percaya
adanya Nabi Muhammad SAW, dan juga percaya manusia pertama itu
adalah Adam. Masyarakat Sasak tetap mengerjakan sholat lima waktu,
berpuasa, bersedekah, dan sebagainya seperti Islam pada umumnya
tetapi yang membedakan mereka masih melakukan ritual-ritual adat
budaya peninggalan nenek moyang mereka. Nilai budaya yang
berkaitan dengan hubungan manusia dengan sesama manusia yang
terkandung dalam kelompok ungkapan ini adalah usaha menjaga
hubungan yang baik dengan individu dan masyarakat sekitarnya.
Antarindividu dalam masyarakat sasak memiliki perasaaan saling
memiliki, suku bangsa sasak, satu sama lainnya. Dan salah satu dari
kelompok etnis sasak yang saya ambil adalah Desa Sade asli suku
Sasak, maka sosialisasi mereka tidak jauh-jauh dari lingkungan sekitar
kampung itu. Tetapi mereka tetap berinteraksi di luar dari kampung
tersebut.
Karena
bagaimanapun
tetap
satu
komunitas
masih
membutuhkan bantuan dan interaksi sosial di luar dari komunitasnya
tersebut. Dengan demikian maka masyarakat Sade pun ada komunikasi
antarkelompok terhadap masyarakat di luar kampung Sade.
1. Data Pribadi
a. Nama
: Drs. H. Lalu Mudjitahid
b. Jenis Kelamin
: Laki-laki
c. Tempat Tanggal Lahir
: Lombok Barat, 08 September 1938
d. Umur Narasumber
: 79 tahun
89
e. Alamat Narasumber
: Jalan Ahamd Yani No.1 Cakranegara Kota
Mataram
f. Pekerjaan Narasumber
: Ketua Masyarakat Adat Sasak (MAS)
Lombok
g. Tanggal Wawancara
: 08 April 2017
h. Tempat Wawancara
: Kediaman Beliau (dirumah Beliau)
i. Waktu Wawancara
: 16.25 – 17.35 WITA
2. Wawancara dan Hasil Wawancara :
-
Pewawancara
: Bagaimana menurut anda tentang tantangan yang
muncul dalam Tradisi Merariq yang menghasilkan Kreativitas
Kebudayaan?
-
Narasumber
yang
: Dalam Tradisi Perkawinan Merariq tantangan
menghasilkan
kreasi
disini
ialah
cara
meminta
untuk
dinikahkannya yaitu dengan dibawa lari atau dalam bahasa sasak di
sebut Merariq. Merariq atau kawin lari yakni perkawinan yang terjadi
dengan cara melarikan si gadis tanpa sepengetahuan orangtua si gadis.
Merariq’ atau kawin lari merupakan keputusan terakhir yang diambil
oleh calon pengantin laki apabila tidak mendapat restu dari orangtua
calon pengantin wanita. Tetapi Merariq’ juga dilakukan jika kedua
pasangan saling suka. Dalam tradisi adat sasak, melakukan perkawinan
itu harus dengan Merariq jika tidak maka justru orangtua perempuan
merasa tersingkung jika anak perempuannya tidak dilarikan. Biasanya
kawin lari di lakukan pada malam hari antara waktu magrib dan isya,
90
dimana si gadis dijemput pada tempat yang telah disepakati kedua
calon pengantin. Merariq’ dilakukan bila laki-laki dan wanita sama
suka atau lelakinya saja yang suka dengan wanita, tetap bisa Merariq.
Dalam
rombongan
penjemput,
ketentuan
adat
mengharuskan
keikutsertaan seorang wanita “suci” dalam arti telah memasuki masa
menopause. Ini bertujuan, agar ada yang menemani si gadis dalam
proses perjalanan “kawin lari”, sehingga tidak terjadi sesuatu di luar
norma susila dan demi menghindari kecurigaan masyarakat.
-
Pewawancara
: Lalu bagaimana pendapat anda tentang karya
dalam tradisi Merariq yang menghasilkan Inovasi Kebudayaan?
-
Narasumber
: Ketika seseorang yang melakukan perkawinan
maka terdorong untuk bersikeras berjuang demi perkawinannya,
karena apa? Dalam adat suku sasak yang unik ini mempelai laki-laki
dituntut untuk bisa memberi mahar yang cukup fantastis kepada
mempelai wanitanya. Sebagai contoh mahar yang harus diberikan
berupa seekor kerbau atau seekor sapi, bagi para masyarakat suku
pedalaman sasak itu adalah bentuk mahar yang sangat besar
tanggungannya. Jadi mereka para lelaki jika ingin pertahankan
cintanya maka mereka haruslah berusaha keras untuk pencapaian
mahar tersebut. Tetapi yang membuat inovasi dalam masyarakat sasak
ini adalah “Merariq” itu sendiri, dimana para lelaki sudah siap rencana
untuk membawa lari pasangannya agar dapat dinikahkan, disinilah
bentuk kelihaian dan kematangan strategi para kaum lelaki suku sasak
91
dalam Merariq. Pasangan yang sudah benar-benar serius ingin
melangsungkan perkawinan dituntut untuk bisa meyakinkan kepala
suku adat ketika pasangan yang sudah berhasil kabur dari kediaman
mereka dan kembali setelah kedua orang tua mempelai melaporkan
kejadiaan ini dan sudah mengetahui lokasi anak-anak mereka masingmasing, bahwa mereka sudah saling siap satu sama lain untuk
melangsungkan perkawinan. Permasalahan krusial ketika mempelai
laki-laki tidak memiliki harta apapun pada dirinya, maka keputusan
bagaimana dari orang tua mempelai wanita tetapi sejauh ini apabila hal
ini terjadi biasanya orang tua dari mempelai wanita memberikan waktu
untuk pria tersebut memenuhi maharnya dalam tempo waktu yang
ditentukan dengan kata lain (hutang mahar). Jadi sebagai gantinya
mahar saat penikahan berlangsung bisa berupa berapapun jumlah uang
yang dimiliki atau harta benda yang ada pada diri mempelai laki-laki
tersebut. Pada saat ingin melangsungkan perkawinan biasanya para
kaum wanita haruslah bisa menjahit dan merajut karena pada dasarnya
mata pencaharian mereka para suku sasak ini adalah bertani. Jadi
apabila musim hujan sudah melanda maka penghasilan dari bertani
mereka bisa kurang hingga 70% dari biasanya. Maka dari itu solusi
dari
mereka
para
wanita
suku
sasak
yang
nantinya
akan
melangsungkan perkawinan adalah harus bisa menjahit atau merajut
dan hasilnya dijual ke sekitar desa bahkan bisa sampai Kota Mataram.
Semua ini juga demi kelangsungan hidup anak mereka dan
92
keturunannya kelak. Rata-rata survei yang sudah dilakukan bahwa
masyarakat suku sasak Merariq muda. Mulai dari kalangan remaja
lulusan SMA sampai baru lulu SMP sudah melakukan merariq, jadi
bisa dibayangkan bagaimana mereka yang ingin Merariq sudah harus
berfikir dewasa untuk bisa membawa lari wanita yang dicintainya.
Sedangkan apabila sudah dibawa lari tetapi pada ujungnya orang tua
wanita tetap tidak mau merestui maka keduan pasangan lari ini akan
sangat malu pada masyarakat desa. Bagaimana tidak karena ketika
kejadian bawa lari itu terjadi maka kepala suku dan orang tua para
anak pasti menyebarkan berita tersebut, jadi seluruh masyarat di desa
itu pasti mendengar dan mengetahuinya. Maka dari itu kebanyakan
para orang tua merestui anak-anaknya yang sudah sama-sama
mencintai karena takut omongan dan kebencian masyarakat terhadap
anaknya
-
Pewawancara
: Dan bagaimana menurut anda Tradisi Merariq
dalam menghasilkan nilai-nilai kebudayaan?
-
Narasumber
:
Bagi
masyarakat
Sasak,
Merariq
berarti
mempertahankan harga diri dan menggambarkan sikap kejantanan
seorang laki-laki Sasak karena ia berhasil mengambil (melarikan)
seorang gadis pujaan hatinya. Sementara pada sisi lain, bagi orang tua
gadis yang dilarikan juga cenderung resisten, kalau tidak dikatakan
menolak untuk memberikan anaknya begitu saja jika diminta secara
biasa (konvensional). Hal ini dikarenakan mereka beranggapan bahwa
93
anak gadisnya adalah sesuatu yang berharga, jika diminta secara biasa,
maka dianggap seperti meminta barang yang tidak berharga. Ada
ungkapan yang biasa diucapkan dalam bahasa Sasak: Ara’m ngendeng
anak manok baen (seperti meminta anak ayam saja). Jadi dalam
konteks ini, merariq dipahami sebagai sebuah cara untuk melakukan
prosesi pernikahan, disamping itu juga cara untuk keluar dari konflik.
Mengapa seperti itu, karena pengertian dari Merariq atau kawin lari
itu, bisa karena orang tua sang gadis tidak merestui pernikahan
anaknya,
dikarenakan
harus
sang
laki-laki
melarikan
anak
perempuannya, maka mau tidak mau itu harus di kawinkan tetapi tetap
ada bayar denda karena sudah melarikan anak gadis orang.
1. Data Pribadi
a. Nama
: Ir. H. Ikhsan Gemala Putra
b. Jenis Kelamin
: Laki-laki
c. Tempat Tanggal Lahir
: Sumbawa, 14 Agustus 1967
d. Umur Narasumber
: 50 tahun
e. Alamat Narasumber
: Jalan Jayalengkara babakan residence A3
Mataram
f. Pekerjaan Narasumber
: Budayawan Sasak di Lombok Nusa
Tenggara Barat
g. Tanggal Wawancara
: 09 April 2017
h. Tempat Wawancara
: Kediaman Beliau (Rumah Beliau)
i. Waktu Wawancara
: 15.30 – 17.05 WITA
94
2. Wawancara dan Hasil Wawancara
-
Pewawancara
:
: Jelaskan Bagaimana pendapat Anda tentang
Merariq?
-
Narasumber
:
Pernikahan
Sasak
juga
merupakan
pengejawantahan keyakinan masyarakat Sasak terhadap Tuhan.
Pelaksanaan Merarik, upacara batobat, selamatan tampah wirang,
metikah buah lekuk, bedak keramas, dan metikah merupakan ekspresi
keberagamaan
perkawinan
akulturatif
tersebut,
masyarakat
masyarakat
Sasak.
Sasak
Melalui
upacara
mempertontonkan
pemahamanan keagamaan yang khas. Mungkin saja ekspresi
keberagamaan tersebut tidak sejalan dengan ekspresi keberagamaan
arus utama, tapi yang harus disadari adalah bahwa masyarakat Sasak
telah menunjukkan bagaimana menyikapi adanya batas-batas liminal
antara adat dan agama dengan menggunakan idiom-idiom lokal.
Karena ekspresi keberagamaan adat Sasak tidak sejalan dengan
ekspresi keberagamaan arus utama yang membuat mereka tetap
memliki batasan atas adat lokal, maka dari itu masyarakat Sasak sangat
percaya menghargai tradisi mereka yang ada dari nenek moyang
mereka. Dan beberapa pendapat ulama di Lombok tentang perkawinan
Merariq hampir semuanya tidak setuju, karena bagaimanapun Merariq
keluar dari konteks ajaran agama Islam. Terutama saya sendiri tidak
menyetujui tentang perkawinan Merariq tersebut, tetapi saya pun tidak
berusaha untuk mengusik atau melarangnya, karena itu sudah jadi
95
bagian adat tradisi suku Sasak, maka bagi masyarakat yang
meyakininya silahkan saja.
-
Pewawancara
: Apakah alasan yang menjadikan tradisi Merariq
itu pudaar ?
-
Narasumber
:
Masyarakat
Sasak
yang
saat
ini
mulai
meninggalkan tradisi Merariq ialah yang sudah mengenal Islam yang
sesungguhnya, banyak pendakwah Islam yang menyebar diseluruh
pulau Lombok yang mulai mengajarkan Islam sesungguhnya kepada
masyarakat Sasak. Jadi salah satu alasan tradisi Merariq di zaman ini
mulai pudar karena fakor penyempurnaan Agama Islam yang
disebarkan oleh pendakwah Islam di pulau Lombok yang semakin
banyak. Dan juga faktor modernisasi zaman, yang membuat pola fikir
manusia yang berbeda. Tetapi semakin berkembangnya zaman, dan
mudahnya pendakwah menyebarkan ajaran agama Islam, juga
pendidikan di Indonesia yang meningkat sehingga banyak sekali
generasi muda yang mulai berfikir lebih rasional dibandingkan dengan
orang-orang zaman dahulu, akan tetapi orang-orang tersebut tetap
menjaga tradisi keturunan mereka supaya tidak benar-benar musnah.
Karena, bagaimanapun adat tradisi harus tetap ada dalam suatu daerah
untuk menjadikan ciri khas daerah tersebut, walaupun hanya beberapa
persen.
1. Data Pribadi
a. Nama
: Drs. H. Syahdan Ilyas MM
96
b. Jenis Kelamin
: Laki-laki
c. Tempat Tanggal Lahir
: Lombok Tengah, 31 Desember
1949
d. Umur Narasumber
: 68 tahun
e. Alamat Narasumber
: Jalan Serayu Raya No.10 BTN
Kekalek Mataram
f. Pekerjaan Narasumber
: Ketua Forum Kerukunan Umat
Beragama Lombok
g. Tanggal Wawancara
: 10 April 2017
h. Tempat Wawancara
: Kediaman Beliau (Rumah Beliau)
i. Waktu Wawancara
: 17.30 – 18.10 WITA
2. Wawancara dan Hasil Wawancara
-
Pewawancara
:
: Jelaskan Bagaimana Tujuan dari Perkawinan
Merariq yang anda ketahui?
-
Narasumber
: Dalam pernikahan adat Sasak, Merariq lebih
dikenal dengan perkkawinan sesama misan/sepupu. Maka tujuan
dalam perkawinan Merariq ialah untuk melanjutkan keturunan,
memperkokoh ikatan
kekerabatan, dan memperluas hubungan
kekeluargaan. Dan sebenarnya bisa dikatakan bahwa tujuan dari pada
Merariq itu sebenarnya adalah sebuah hal penyimpangan kalau di
sandingkan dengan hukum Islam atau ketentuan lainnya. Akan tetapi
tradisi Merariq diakui sebagai status hukum yang berlaku karena
merupakan adat istiadat dari suku Sasak itu sendiri. Akan tetapi
97
perkembangan zaman semakin maju pada zaman sekarang. Merariq
hampir ditinggalkan, dan beberapa praktik adat yang telah mengalami
metamorfosa dan perubahan paradigma di masyarakat Sasak tentang
perspektif Merariq ini setelah mendalami ajaran agama Islam dan
fenomena perkawinan adat lain di Indonesia seperti yang terjadi di
Jawa dan Pulau Sumbawa. Dalam perubahan ini memang tidak bisa
secara sekaligus, tetapi secara bertahap, dan dimulai oleh warga Sasak
yang berpendidikan dan memiliki pengalaman di daerah lain. Sekitar
hanya 3 % dari suku Sasak yang masih melakukan Merariq. Salah satu
alasan mengapa Merariq mulai ditinggalkan karena sulitnya memenuhi
persyaratan adat perkawinannya, juga tradisi adat Sasak Lombok ini
sebenarnya sudah banyak yang paralel dengan ajaran Islam, seperti
soal pisuke dan nyongkolan.
-
Pewawancara
: Lalu Jelaskan Bagaimana Alasan dari Perkawinan
Merariq Tersebut?
-
Narasumber
: Orang-orang Sasak melakukan Merariq ini adalah
salah satunya menjadi cara paling terhormat bagi laki-laki Sasak untuk
menikahi seorang perempuan. Alasannya, karena Merariq memberikan
kesempatan kepada para pemuda, yang hendak beristri, untuk
menunjukkan kejantanannya. Sifat jantan merupakan simbolisasi sosok
suami yang bertanggung jawab dalam segala kondisi terhadap
keberlangsungan keluarganya. Laki-laki yang melakukan Merariq
telah membuktikan dirinya sebagai seorang pemberani. Terdapat
98
beberapa alasan mengapa Merariq dilakukan. Pertama, untuk
menunjukkan kesungguhan si laki-laki terhadap si gadis. Kedua,
menunjukkan keberanian, seperti seorang ksatria. Ketiga, karena
alasan sejarah. Keempat, karena alasan kompetisi. Akan tetapi
sekarang ini adat Merariq telah banyak mengalami pergeseran nilai
dan praktik yang disebabkan kurangnya pemahaman pelaku Merariq
terhadap ketentuan adat dan ajaran agama. Seiring perkembangan
zaman, jumlah orang yang melakukan Merariq semakin sedikit. Tetapi
bukan berarti berkurangnya laki-laki yang hilang kejantannya,
melainkan karena ada beberapa kasus di beberapa adat tradisi misalnya
seperti nyongkolan.
Bahwa yang telah dijelaskan diatas, membuat
Merariq hanya dijadikan simbol tradisi dan karena semakin zaman
berkembang sudah banyak orang-orang yang berpendidikan membuat
pemikiran mereka lebih berkembang dan mencari jalan lain untuk
melangsungkan perkawinan. Akan tetapi mereka tetap menghormati
tradisi adat Sasak dengan masih melakukan adat-adat yang pantas
sampai saat ini dan mudah dilakukan dan meninggalkan yang sudah
tidak cocok di zaman sekarang ini. Pada saat ini Merariq yang
dilakukan terkadang hanya bersifat simbolis belaka, yaitu dengan
“sepengetahuan” kedua orang tua si gadis. Perkelahian yang mungkin
timbul akibat dari tertangkapnya orang yang melakukan Merariq juga
dilakukan hanya untuk menggugurkan ketentuan adat.
99
-
Pewawancara
: Dan coba Jelaskan Bagaimana Perspektif menurut
Anda terhadap Perkawinan Merariq?
-
Narasumber
: Yang telah dijelaskan diatas bahwa perspektif
Merariq sudah memiliki banyak perubahan karena perekmabngan
zaman, yang mana saat ini praktik Merariq itu sudah diketahui oleh
orangtua daripada kedua calon pengantin, proses menculiknya itu
hanya proses adat yang tetap harus dijalankan karena merupakan dari
adat istiadat. Dan agar menjaga tali persaudaraan atau kerabat terdekat
yang juga ingin melamar anak perempuan dari salah satu desa
misalnya, maka dibiarkannya anak perempuannya diculik oleh
pacarnya karena itulah yang telah menjadi pilihan anak perempuan itu.
Itulah yang pada saat ini Merariq yang masih dijalankan oleh beberapa
masyarakat Sasak sekitar 3% yang dijelaskan diatas. Walaupun begitu,
itu sudah bermetamorfosa dari tradisi perkawinan Sasak yang asli,
yang mana ada kisah sebuah mitos. Konon, dulu di Lombok ada
seorang raja dengan putri yang sangat cantik. Karena terlalu cantiknya,
semua pria suka padanya dan berlomba-lomba melamarnya. Maka
sang Raja mendirikan sebuah kamar dengan sistem penjagaan yang
sangat ketat. Lalu raja memberi tantangan, "Barangsiapa berhasil
menculik putriku, akan kunikahkan dia dengan putriku," Dari situ,
pria-pria Lombok memiliki kebanggaan jika berhasil menculik orang
yang dicintainya. Maka, jika sudah berhasil terculik, pihak keluarga
perempuan harus rela anaknya dinikahkan dengan sang penculik. Maka
100
dari itu satu perempuan di kampung adat Sade/orang Lombok
pacarnya banyak bisa sampai delapan, karena tidak ada istilah pacaran,
siapa cepat menculik atau mengajak kabur maka ia yang berhasil
menjadi ksatria. Perspektif Merariq ialah berbeda-beda ada yang
berpandangan bahwa masyarakat Islam sasak terhadap Merariq ada
dua pendapat. Pertama, pandangan masyarakat biasa, yang mengatakan
bahwa Merariq tidak ada masalah selama dilakukan dengan ketentuan
adat dan ajaran agama. Kedua, pandangan kaum terdidik, mereka lebih
melihat pada dampak dari mulai proses awal sampai akhir. Sehingga
sebaiknya perlu dicarikan alternatif yang lebih sederhana dan baik
untuk menghindari dampak negatif yang muncul.
101
Lampiran 4
Foto Kegiatan Lapangan
102
103
104
Download