TRADISI PERKAWINAN MERARIQ SUKU SASAK DI LOMBOK: Studi Kasus Integrasi Agama dengan Budaya Masyarakat Tradisional Skripsi Diajukan Sebagai Tugas Akhir Untuk Mendapatkan Gelar Sarjana Agama (S. Ag) Oleh : ANNISA RIZKY AMALIA NIM : 1113032100014 JURUSAN STUDI AGAMA-AGAMA FAKULTAS USHULUDDIN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1438 H/2017 M ABSTRAK Annisa Rizky Amalia Judul Skripsi : “Tradisi Perkawinan Merariq Suku Sasak di Lombok: Studi Kasus Integrasi Agama dengan Budaya Masyarakat Tradisional” Kajian pokok penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan gambaran tradisi Merariq dalam Suku Sasak di Lombok di desa Sade, serta ingin mengetahui apa saja alasan masyarakat menjalankan tradisi Merariq tersebut. Dalam hal ini yang menjadi subjek penelitian adalah seluruh masyarakat Suku Sasak Lombok yang berada di desa Sade, sedangkan objek kajiannya adalah perspektif Islam dengan menggunakan metode kualitatif dengan melakukan pendekatan antropologi agama. Responden yang diteliti sebanyak empat orang dari latar belakang yang berbeda. Berdasarkan hasil penelitian, penulis menyimpulkan bahwa tradisi Merariq ini dalam Suku Sasak Lombok di desa Sade terdiri dari beberapa tahapan yaitu: (1) Midang (meminang). Termasuk bagian dari midang ini adalah ngujang (mengunjungi calon istri di luar rumah), disini terjadilah kesepakatan antara kedua belah pihak untuk melakukan penculikan atau si laki-laki membawa lari si perempuan. (2) Pihak laki-laki harus menculik (melarikan) pengantin perempuan. (3) Pihak laki-laki harus melaporkan kejadian kawin lari itu kepada kepala dusun tempat pengantin perempuan tersebut tinggal, yang dikenal dengan istilah selabar (nyelabar). (4) Pelunasan uang jaminan dan mahar. (5) Melakukan akad nikah dengan cara Islam. (6) Adapun istilah yang digunakan dalam pembayaran adat ketika ingin menikah di Suku Sasak Lombok disebut dengan Sorong doe atau sorong serah. (7) Nyongkolan, yaitu mengantarkan kembali pihak perempuan pada pihak keluarganya, diarak keliling kampung dengan berjalan kaki diiringi musik tradisional khas lombok (gendang belek dan kecimol). Tradisi Merariq ini tidak di benarkan dalam Islam, karena proses peminangan dalam Islam dengan peminangan tradisi Merariq sangat berbeda dan tradisi ini banyak menimbulkan kemudharatan dan bertentangan dengan hukum Islam. Walaupun begitu Merariq tetap diakui sebagai status hukum karena merupakan salah satu adat istiadat. Kata Kunci : Suku Sasak, Tradisi Perkawinan Merariq, Integrasi Agama dengan Budaya Masyarakat Desa Sade. iv KATA PENGANTAR Alhamdulillahirabbil ‘alamin rasa syukur untuk Allah SWT yang tak henti-henti memberikan nikmatnya untuk kita sehingga sampai detik ini kita masih bisa berdiri tegak dan menikmati kehidupan dengan penuh kebahagiaan. Tidak lupa juga salam serta sholawat terus saya ucapkan teruntuk Nabi Muhammad SAW. Selanjutnya penulis haturkan ungkapan terimakasih yang sebesarbesarnya kepada beliau-beliau yang telah banyak berjasa dalam membantu penyelesaian tugas akhir ini : 1. Prof. Dr. M. Ridwan Lubis, MA selaku Dosen Pembimbing Skripsi, atas kesabaran dan ketelitian dalam membimbing penulis. Beliau yang telah banyak meluangkan waktu, tenaga, fikiran dan memberikan arahan, motivasi serta bimbingan kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. 2. Dra. Hj, Hermawati MA. Selaku Penasehat Akademik yang memberikan arahan dan motivasi kepeda penulis untuk menyelesaikan dengan baik. 3. Dr. Media Zainul Bahri, M.A, selaku Ketua Jurusan Studi AgamaAgama dan Dr. Halimah Mahmudy M.A, selaku sekretaris Jurusan Studi Agama-Agama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang selalu memberikan pelayanan kepada mahasiswanya dengan baik. 4. Prof. Dr. Ikhsan Tangok, M.A, selaku Wadek I bidang Administrasi Fakultas Ushuluddin. Dr. Bustami, M.A, selaku Wadek II bidang v Administrasi Umum. Dr. M. Suryadinata, M.A, selaku Wadek III bidang Kemahasiswaan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 5. Seluruh Dosen Fakultas Ushuluddin, para Staff Akademik Fakultas Ushuluddin, para Staff Perpustakaan Fakultas Ushuluddin dan para Staff Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 6. Ayahanda tercinta Agus Santoso dan Ibunda tercinta Evi Syafiiyah yang tidak pernah lepas memberikan kasih sayangnya mulai dari kecil sampai waktu yang tak terkira, semoga beliau berdua selalu memberikan semangat, motivasi, kasih sayang, dan doa yang tulus untuk kesuksesan penulis. Semoga Allah selalu melimpahkan rahmat-Nya dan memberikan umur panjang kepada mereka. 7. Kepada keluarga bapak Ir. H. Ikhsan Gemala Putra dan Ibu Hj. Asiah yang telah memberikan doa, motivasi serta bantuannya dan segala fasilitas untuk penulis melakukan penelitian di Lombok. Semoga Beliau berdua diberikan umur panjang dan sehat walafiat dan para Narasumber yang telah membantu penulis dalam mengumpulkan informasi terkait dengan penulisan skripsi ini sehingga skripsi ini dapat terselesaikan. 8. Kakak-kakak tersayang Mba Ambartyas Niken, Mba Nindy Febriani Agustina, Mba Alfitiara, Teteh Fauzia Nashiha, Teteh Sofia Ade Putri, juga adik-adik tersayang Chairul Anam, Yusran Kamil, Mutia Sufi Ulwani, Fadhilah Putri Gemala, Berlianty Ratu Piningit terimakasih atas doa dan dukungannya sehingga penulis dapat vi menyelesaikan skripsi ini. Terimakasih atas doa dan dukungannya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. 9. Teman tersayang seperjuangan selama kuliah dan skripsi Khemas Aulia Ulwan yang selalu memberikan motivasi, bantuan, dan doa yang tiada hentinya, terimakasih banyak sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. 10. Teman-teman tersayang yaitu Tri Indah Annisa, Rayyan Adilla Anwar, Nur Syamsiyah, Mawaddah Salimah, Siti Khusniatussaidah dan juga teman-teman seperjuangan Studi Agama-agama angkatan 2013 yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu, terimakasih banyak atas doa dan dukungannya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. 11. Sahabat-sahabat tersayang Irda sudistiani Putri, Yayi Rista Radanti, Suci Alvia Helmi, Zuhria Nisa Pratiwi, Ratnawati Inesia Pratiwi, Ariska Sukmawati, Alfianur Fidia Rahma dan Resty Rahmawati, terimakasih banyak atas doa dan dukungannya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. 12. Dan kepada semua orang yang saya kenal maupun yang mengenal saya, terimakasih atas ilmu dan pengalaman yang diberikan. Terimakasih banyak atas doa dan dukungannya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. vii Semoga peran-peran beliau semua mendapat imbalan yang sepantasnya dan mendapatkan ridho dari Allah SWT Amin. Penulis menyadari bahwa sedikit karya tulis ini bukanlah akhir dan puncak dari pencarian ilmu pengetahuan akan tetapi merupakan awal dalam mengembangkan karya-karya ilmiah lainnya. Kritik dan saran serta solusi sangat penulis harapkan dari berbagai pihak guna penyempurnaan dari kebaikan karya-karya penulis nantinya. Jakarta, 03 Juli 2017 Annisa Rizky Amalia viii DAFTAR ISI LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING ...................................................... i LEMBAR PENGESAHAN PANITIA SIDANG ................................................ ii LEMBAR PERNYATAAN ................................................................................. iii ABSTRAK .............................................................................................................iv KATA PENGANTAR ........................................................................................... v DAFTAR ISI ......................................................................................................... ix BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ................................................................... 1 B. Rumusan Masalah ............................................................................10 C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian .................................................... 10 D. Kajian Pustaka ................................................................................ 11 E. Metodologi Penelitian ..................................................................... 14 F. Sumber Data ................................................................................... 19 G. Sistematika Penulisan ..................................................................... 21 BAB II GAMBARAN UMUM MASYARAKAT SASAK A. Sejarah Singkat Suku Sasak ............................................................ 23 B. Letak Geografis ............................................................................... 24 C. Sistem Keyakinan Masyarakat Sasak ............................................. 27 a. Akidah Masyarakat Sasak terhadap Pengetahuan kepada Allah ........................................................................................ 30 b. Pendekatan Ibadah yang dilakukan Masyarakat Sasak kepada Allah ............................................................................ 32 c. Akhlak Masyarakat Sasak terhadap Perilaku Sosial ................ 34 BAB III KEBUDAYAAN A. Tantangan dalam Tradisi Merariq yang Menghasilkan Kreativitas Kebudayaan .................................................................. 37 B. Karya dalam Tradisi Merariq yang Mengahsilkan Inovasi Kebudayaan .................................................................................... 45 ix C. Tujuan dalam Tradisi Merariq yang Menghasilkan Nilai Kebudayaan .................................................................................... 48 BAB IV FAKTOR DOMINAN ANTARA AGAMA DAN BUDAYA DALAM TRAIDI MERARIQ A. Tujuan Merariq ............................................................................... 53 B. Alasan Merariq ............................................................................... 59 C. Perspektif Merariq .......................................................................... 64 BAB V PENUTUPAN A. Kesimpulan .................................................................................... 68 B. Saran-saran ...................................................................................... 70 DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 71 LAMPIRAN ......................................................................................................... 75 x BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kebudayaan biasa kita sambungkan pada hal-hal yang indah (seperti candi, tari-tarian, seni rupa, seni suara, kesusastraan dan filsafat) saja. Sedangkan kebudayaan dalam antropologi jauh lebih luas sifat dan ruang lingkupnya. Menurut antropologi, kebudayaan adalah “keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar”. Hal tersebut berarti bahwa hampir seluruh tindakan manusia adalah kebudayaan, karena hanya sedikit tindakan manusia dalam kehidupan masyarakat yang tidak perlu dibiasakan dengan belajar, yaitu hanya beberapa tindakan naluri, beberapa refleksi, beberapa tindakan akibat proses fisiologi, atau kelakuan membabi buta. Bahkan berbagai tindakan manusia yang merupakan kemampuan naluri yang terbawa dalam gen bersama kelahirannya (seperti makan, minum atau berjalan dengan kedua kakinya), juga dirombak olehnya menjadi tindakan kebudayaan.1 Sistem nilai budaya merupakan tingkat yang paling tinggi dan paling abstrak dari adat-istiadat. Hal itu disebabkan karena nilai budaya merupakan konsep-konsep mengenai suatu yang ada dalam alam pikiran sebagian besar dari masyarakat yang mereka anggap bernilai, suatu 1 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi (Jakarta: Rineka Cipta, 2009), h. 144- 145. 1 2 pedoman yang memberi arah orientasi pada kehidupan para warga masyarakat tersebut. Walaupun nilai budaya berfungsi sebagai pedoman hidup manusia dalam masyarakat, tetapi sebagai konsep suatu nilai budaya itu bersifat sangat umum, mempunyai ruang lingkup yang sangat luas, dan biasanya sulit diterangkan secara rasional dan nyata. Namun, justru karena sifatnya yang umum, luas, dan tidak konkret itu, maka nilai-nilai budaya dalam suatu kebudayaan berada dalam daerah emosional dari alam jiwa para individu yang menjadi warga dan kebudayaan bersangkutan. Selain itu juga, para individu tersebut sejak kecil telah diresapi dengan nilai budaya yang hidup dalam masyarakatnya sehingga konsep-konsep itu sejak lama telah berakar dalam alam jiwa mereka. Itulah sebabnya nilainilai budaya yang lain dalam waktu singkat, dengan cara mendiskusikannya secara rasional.2 Ritual merupakan salah satu aspek terpenting di dalam masyarakat adat dan agama lokal di Indonesia. Begitu juga halnya dengan Islam di Lombok, sejumlah ritus keagamaan seperti perkawinan mendapat porsi yang cukup penting di dalam kajian mengenai Islam di wilayah ini. Dalam beberapa tahun terakhir ini, kajian Islam di Lombok juga beragam, khususnya dengan meletusnya peristiwa kerusuhan di Mataram pada tahun 2001. Lombok mengalami banyak perubahan pada masa reformasi, ditandai dengan kemunculan berbagai kelompok sosial dan politik yang turut bermain di dalam politik lokal di Lombok. Aspek kesenian lokal, 2 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, h. 153. 3 khususnya seni musik di Lombok juga dikaji karena keterkaitannya dengan agama Islam, budaya Bali dan adat khas Lombok sendiri. Namun demikian, sejauh ini belum cukup banyak kajian yang memfokuskan diri kepada Islam dan dinamika agama lokal, bukan hanya terkait dengan Islam semata tetapi juga kebijakan pemerintah. Seperti diketahui, sejumlah kasus merebak di tanah air karena sebagian masyarakat adat pengaku tidak mendapatkan perlakuan yang sama sebagai warga negara, khususnya terkait dengan sistem kepercayaan dan adat istiadatnya. Disinilah arti pentingnya penelitian ini, di mana agama lokal dilihat sebagai suatu sistem kepercayaan yang dinamis. Terlebih dengan adanya Undang-undang yang menjamin hak-hak yuridis dan hak-hak sipil setiap warga negara, disini para pemeluk dan pengikut agama lokal seperti yang terdapat di Lombok didengar aspirasi dan permasalahan yang dihadapi.3 Antara agama dan budaya sama-sama melekat pada diri seseorang. Dari aspek keyakinan maupun aspek ibadah formal, praktik agama akan selalu bersamaan, dan bahkan berinteraksi dengan budaya. Kebudayaan sangat berperan penting di dalam terbentuknya sebuah praktik keagamaan bagi seseorang atau masyarakat. Tidak hanya melahirkan bermacam-macam agama, kebudayaan ini lah juga mempunyai andil besar bagi terbentuknya aneka ragam praktik beragama dalam satu payung agama yang sama. Dalam kenyataannya dua atau lebih orang dengan agama yang sama belum tentu mempunyai praktik atau cara pengamalan 3 Suhanah, Dinamika Agama Lokal di Indonesia (Jakarta: Kementrian Agama, 2004), h.161-162. 4 agama, khususnya ritual, yang sama. Keragaman cara beribadah dalam suatu komunitas agama ini mudah kita dapati dalam setiap masyarakat, dengan terbentuknya berbagai macam kelompok agama.4 Perkawinan sangat dibutuhkan dalam kehidupan bermasyarakat guna melangsungkan kehidupan umat manusia serta untuk mempertahankan eksistensi kemanusiaan di muka bumi. Hal ini sangat disenangi oleh setiap pribadi manusia dan merupakan fitrah bagi setiap makhluk Tuhan. Dengan perkawinan akan tercipta suatu masyarakat kecil dalam bentuk keluarga hdan dari situlah akan terlahir beberapa suku dan bangsa.5 Sejarah perkawinan telah tercatat semenjak Nabi Adam turun ke bumi dan menjalani kehidupan bersama-sama dengan anak cucunya. Sedangkan perkawinan merupakan satu hal yang paling mendasar dan sangat di butuhkan dalam kehidupan manusia. Perkawinan merupakan hal yang fitrah bagi manusia yang sudah tertanam dan terpatri dalam hati dan perasaan manusia laki-laki dan wanita. Keduanya saling membutuhkan guna saling mengisi dan membagi perasaan suka maupun duka. Hidup ini terasa kurang sempurnatanpa kehadiran orang lain disisinya, menjalin kasih sayang bersamanya, membangun mahligai rumah tangga yang bahagia dan sejahtera.6 4 Khadziq, Islam Dan Budaya Lokal, Belajar Memahami Realitas Agama Dalam Masyarakat (Yogyakarta: Teras, 2009), h.42-43. 5 Musifin As’ad dan Salim Basyarahil, Perkawinan dan Masalahnya (Jakarta: Pustaka Al-Kaustar, 1993), h. 14. 6 As’ad dan Basyarahil, Perkawinan dan masalahnya, h. 17-18. 5 Selanjutnya, sebelum kita membahas tentang Merariq, terdapat 2 macam penulisan Merariq. Yakni (Merariq7 dan Merari’8) akan tetapi penulis memilih menggunakan kata Merariq dengan alasan karena lebih banyak digunakan oleh penulisan karya Ilmiah. Dalam adat sasak pernikahan sering disebut dengan Merariq. Secara etimologis kata Merariq diambil dari kata “lari”, berlari. Merari’an berarti Melai’ang artinya melarikan. Kawin lari, adalah sistem adat penikahan yang masih diterapkan di Lombok. Apabila membahas perkawinan suku Sasak, tidak bisa terlepas membicarakan Merariq. Merariq yaitu melarikan anak gadis untuk dijadikan istri. Begitu mendarah dagingnya tradisi ini dalam masyarakat, sehingga apabila ada orang yang ingin mengetahui status pernikahan seseorang, orang tersebut cukup bertanya apakah yang bersangkutan telah Merariq atau belum. Oleh karenanya tepat jika dikatakan bahwa Merariq merupakan hal yang sangat penting dalam perkawinan Sasak.9 Ada dua pandangan yang mengemukakan munculnya tradisi kawin lari (Merariq) di pulau Lombok, yaitu: Pertama, orisinalitas Merariq. Kawin lari (Merariq) dianggap sebagai budaya produk lokal dan merupakan ritual asli (genuine) dan leluhur masyarakat Sasak yang sudah 7 M Harfin Zuhdi, Praktik Merariq: Wajah Sosial Masyarakat Sasak (Mataram: LEPPIM IAIN Mataram, 2012). 8 Fachrir Rahman, Pernikahan di Nusa Tenggara Barat antara Islam dan Tradisi (Mataram: LEPPIM IAIN Mataram, 2012). 9 Nur Yasin, hukum perkawinan Islam Sasak (Malang: UIN Malang Press, 2008), h. 150151. 6 dipraktikkan oleh masyarakat sebelum datangnya kolonial Bali maupun kolonial Belanda. Pendapat ini didukung oleh sebagian masyarakat Sasak yang dipelopori oleh tokoh tokoh adat, di antaranya adalah H.Lalu Mudjitahid, mantan wagub NTB dan kini ketua Masyarakat Adat Sasak (MAS); dan peneliti Belanda, Nieuwenhuyzen mendukung pandangan ini. Menurut Nieuwenhuyzen, sebagaimana dikutip Tim Depdikbud, banyak adat Sasak yang memiliki persamaan dengan adat suku Bali, tetapi kebiasaan atau adat, khususnya perkawinan Sasak, adalah adat Sasak yang sebenarnya. Kedua, akulturasi Merariq. Kawin lari (Merariq) dianggap budaya produk impor dan bukan asli (ungenuine) dari leluhur masyarakat sasak serta tidak dipraktikkan masyarakat sebelum datangnya kolonial Bali. Pendapat ini didukung oleh sebagian masyarakat Sasak dan dipelopori oleh tokoh agama, Pada tahun 1955 di Bengkel Lombok Barat, Tuan Guru Haji Saleh Hambali menghapus, kawin lari (Merariq) karena dianggap manifestasi Hinduisme Bali dan tidak sesuai dengan Islam. Hal yang sama dapat dijumpai di desa yang menjadi basis kegiatan Islam di Lombok, seperti Pancor, Kelayu, dan lain-lain. Menurut John Ryan Bartholomew, praktik kawin lari dipinjam dari budaya Bali. Analisis antropologis historis yang dilakukan Clifford Geertz dalam bukunya Internal Convention in Bali (1973), Hildred Geertz dalam, tulisannya An Anthropology of Religion and Magic (1975), dan James Boon dalam bukunya, The Anthropological Romance of Bali (1977), seperti dikutip Bartolomew, memperkuat pandangan akulturasi budaya Bali dan Lombok 7 dalam Merariq. Solichin Salam menegaskan bahwa praktik kawin lari di Lombok merupakan pengaruh dari tradisi kasta dalam budaya Hindu Bali. Karena telah dijelaskan di awal bab 1 bahwa Merariq ini memiliki dua pandangan yang mengemuka di Lombok, pertama yaitu keorisinalitas budaya, yaitu merupakan budaya lokal, dan yang kedua itu Merariq merupakan budaya produk impor, bukan asli (ungenuine) dari leluhur masyarakat sasak serta tidak dipraktikkan masyarakat sebelum datangnya kolonial Bali. Berdasarkan kedua argument tentang sejarah kawin lari (Merariq) di atas, tampak bahwa paham akulturasi Merariq memiliki tingkat akurasi lebih valid.10 Dalam konteks ini penulis lebih kepada pendapat kedua, yakni Merariq ini dilatar belakangi oleh pengaruh adat hindu-Bali. Sebagai bagian dari rekayasa sosial budaya Hindu-Bali terhadap suku Sasak, dalam suku Sasak dikenal adanya strata sosial yang disebut triwangsa. Strata sosial ini sudah jelas sama dengan pola Hindu-Bali. 11 Dalam menyikapi tradisi kawin lari, secara garis besar pendapat masyarakat Sasak terhadap Merariq terjadi menjadi dua, yaitu mereka yang menyetujuinya dan mereka yang menolaknya. Perbedaan pendapat kedua kelompok ini masih merupakan rangkaian dari perbedaan pendapat mereka dalam melihat asal mula kawin lari. Para tokoh adat Sasak yang berpendapat bahwa kawin lari merupakan budaya asli masyarakat Sasak tentu mendukung lestarinya tradisi ini. Sedangkan para tokoh agama atau 10 Yasin, hukum perkawinan Islam Sasak, h. 155-157. John Ryan Bartholomew, Alif Lam Mim: Kearifan Masyarakat Sasak (Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya, 2001), h. 49. 11 8 tuan guru yang berpendapat bahwa budaya kawin lari merupakan tradisi masyarakat Hindu Bali yang diikuti oleh masyarakat Sasak sudah tentu juga lebih menganjurkan untuk meninggalkan tradisi ini. Menurut tuan guru haji Muharror, meskipun ada perbedaan antara kawin lari di Lombok dan Bali, dimana bagi umat Hindu, setelah perempuan dilarikan mereka langsung boleh “bergaul”, sedangkan pada masyarakat Sasak, setelah pelarian mereka masih tetap di larang “bergaul” sampai terlaksananya akad nikah secara Islami, tetap saja tradisi kawin lari sebaiknya ditinggalkan. Menurutnya, budaya kawin lari merupakan salah satu bentuk tasyabbuh bi al-kuffar (penyerupaan dengan orang-orang kafir) dan umat Islam dilarang untuk melakukannya. Seharusnya umat Islam lebih mentradisikan khitbah atau lamaran dari pada kawin lari, namun untuk mensosialisasikannya harus tetap tanpa mengencam adat istiadat Merariq.12 Tradisi Merariq ini merupakan bagian dari kebudayaan. Kebudayaan dan kehidupan sosial masyarakat Lombok tidak bisa lepas dari dikotomi kebudayaan nusantara. Ada dua aliran utama yang mempengaruhi kebudayaan nusantara, yaitu tradisi kebudayaan Jawa yang dipengaruhi oleh filsafat Hindu-Budha dan tradisi kebudayaan Islam. Kedua aliran kebudayaan itu nampak jelas pada kebudayaan orang Lombok. Golongan pertama, di pusat-pusat kota Mataram dan Cakranegara, terdapat masyarakat orang Bali, penganut ajaran Hindu-Bali 12 Ahmad Fathan Aniq, konflik peran Gender pada tradisi merariq di pulau Lombok (Surabaya: IAIN Sunan Ampel) h. 33-35. 9 sebagai sinkretis Hindu-Budha. Golongan kedua, sebagian besar dari penduduk Lombok, beragama Islam dan peri-kehidupan serta tatanan sosial budayanya dipengaruhi oleh agama tersebut. Mereka sebagian besar adalah orang Sasak. Merariq sebagai sebuah tradisi yang biasa berlaku pada suku Sasak di Lombok ini memiliki logika tersendiri yang unik. Bagi masyarakat Sasak, Merariq berarti mempertahankan harga diri dan menggambarkan sikap kejantanan seorang pria Sasak, karena ia berhasil mengambil (melarikan) seorang gadis pujaan hatinya. Sementara pada sisi lain, bagi orang tua gadis yang dilarikan juga cenderung enggan, kalau tidak dikatakan gengsi, untuk memberikan anaknya begitu saja jika diminta secara biasa (konvensional), karena mereka beranggapan bahwa anak gadisnya adalah sesuatu yang berharga, karena perempuan/gadis di lombok itu sangat dihargai, ditambah kalau perempuan itu memiliki tahta atau garis keturunan bangsaawan, tetapi tetap wanita yang tidak memiliki tahta atau garis keturunan bangsawan tetap sangat berharga, jika diminta secara biasa, maka dianggap seperti meminta barang yang tidak berharga. Ada ungkapan yang biasa diucapkan dalam bahasa Sasak: Ara’m ngendeng anak manok baen (seperti meminta anak ayam saja). Jadi dalam konteks ini, Merariq dipahami sebagai sebuah cara untuk melakukan prosesi pernikahan, di samping cara untuk keluar dari konflik.13 13 Yasin, hukum perkawinan Islam Sasak, h. 152-154. 10 B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, penulis merasa perlu membatasi ruang lingkup kajian dalam pembahasan penelitian ini agar lebih fokus dan tidak menjadi bias. Oleh karena itu, di sini penulis telah merumuskan permasalahan yang ingin dikaji lebih dalam terkait Tradisi Merariq tentang Perkawinan Suku Sasak yang mendiami Pulau Lombok, yaitu: 1. Bagaimana pola Integrasi Agama dengan Adat suku Sasak? 2. Bagaimana Format Tradisi Perkawinan Merariq di Lombok? 3. Bagaimana Masa Depan Perkawinan Merariq di Lombok dengan Tuntutan Kehidupan Modern? C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah : 1. Untuk mengetahui bagaimana pola Integrasi Agama dengan adat suku Sasak 2. Untuk mengetahui Format Tradisi perkawinan Merariq di Lombok 3. Untuk mengetahui Masa Depan Perkawinan Merariq di Lombok dengan Tuntutan Kehidupan Modern Sedangkan kegunaan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Untuk memberi pemahaman dan pengetahuan kepada masyarakat tentang Tradisi perkawinan Merariq di Lombok 2. Untuk tambahan koleksi kepustakaan Islam mengenai Tradisi perkawinan Merariq di Lombok 11 D. Kajian Pustaka Dalam kajian pustaka ini adalah sebagai penelitian terdahulu yang mana bukan untuk melihat referensi buku yang ingin kita gunakan tetapi untuk mengetahui keorisinilan judul yang ingin saya teliti, dan di sisi lain untuk mengetahui siapakah sarjanah yang pernah membahas tentang judul ini agar kita bisa melacaknya. Kajian pustaka ini bertujuan untuk pijakan kita dalam menulis penelitian ini untuk mencari data-data terdahulu. Dan sementara yang berkaitan dengan judul penulis teliti ini membahas tentang Tradisi Perkawinan Merariq Suku Sasak di Lombok: Studi Kasus Integrasi Agama dengan Budaya Masyarakat Tradisional. Dalam penelusuran penulis tidak ada sarjana yang membahas tentang judul yang bersangkutan dengan judul ini, sehingga penulis dapat melanjutkannya. Dan ada beberapa buku yang membahas juga tentang Perkawinan Merariq antara lain: 1. Tulisan yang pertama adalah buku yang terbit pada tahun 2012 karya Muhammad Harfin Zuhdi dengan judul “Praktik Merariq: Wajah Sosial Masyarakat Sasak”. Buku ini menjelaskan tentang adat perkawinan suku Sasak di Lombok yang sudah mengakar dan dilakukan secara turun temurun dan hingga kini lebih banyak di pahami sebagai selarian (kawin lari). Oleh sebab itu tidak heran kalau Merariq mendapat konotasi yang negatif juga prosesinya yang panjang dengan melalui delapan tahapan dan memerlukan biaya yang sangat besar sepenuhnya menjadi tanggung jawab pengantin pria. Seolah 12 sampai timbul asumsi bahwa perempuan disamakan dengan barang dagangan atau kepemilikian sang pria. Hal ini berpengaruh terhadap hubungan suami istri dalam rumah tangga dan berdampak pada pelestarian praktik bias jender. 2. Tulisan yang kedua adalah buku yang terbit pada tahun 2001 karya dari John Ryan Bartholomew terjemahan dari “Alif Lam Mim: Reconciling Islam, Modernity and Tradition in an Indonesian Kampung...” yang kemudian di terjemahkan oleh Imron Rosyidi dengan judul “Alif Lam Mim: Kearifan Masyarakat Sasak”. Buku ini menjelaskan tentang adat perkawinan suku Sasak di Lombok yang mana berpijak pada kasus perkawinan Merariq yang dilakukan oleh Ali dan Windi dikampung Demen. Dengan kondisi kampung Demen dan aktivitas kedua masjid yaitu Nahdatul Wathan (NW) dan Muhammadiyah, yang mendamaikan hubungan antara Islam, tradisi, dan modernitas. Kasus antara Ali dan Windi menjadi pintu masuk yang sangat pas karena kedua organisasi Islam diatas berbeda pandangan tentang Merariq. Masjid Al Aziz yang dikuasai oleh organisasi Muhammadiyah menolak Merariq, sementara masjid Al Jibril yang dikuasai oleh organisasi Nahdatul Wathan meskipun tidak menyetujui, namun tidak juga secara aktif melarang jamaahnya mempraktikan adat tersebut. Karena, letak kedua masjid ini berdekatan, Merariq menjadi persoalan kontroversial di Demen. 13 3. Tulisan yang ketiga adalah jurnal yang terbit pada tahun 2006 karya dari M. Yasin dengan judul “Kontekstualisasi Doktrin Tradisional di Tengah Modernisasi Hukum Nasional: Studi tentang Kawin Lari (Merariq) di Pulau Lombok”. ada empat prinsip dasar yang terkandung dalam praktik kawin lari (Merariq) di pulau lombok. Pertama, prestise keluarga perempuan, dipahami dan diyakini sebagai bentuk kehormatan atas harkat dan martabat keluarga perempuan. Ada anggapan yang mengakar kuat dalam struktur memori dan mental masyarakat tertentu di lombok bahwa dengan melarikan berarti anak gadisnya memiliki nilai tawar ekonomis yang tinggi. Konsekuensinya, keluarga perempuan merasa terhina jika perkawinan gadisnya tidak dengan kawin lari (Merariq). Kedua, superioritas lelaki, inferioritas perempuan. Satu hal yang tidak bisa dihindarkan dari sebuah kawin lari (Merariq) adalah seseorang lelaki tampak sangat kuat, menguasai, dan mampu menjinakkan kondisi sosial psikologis calon istri. Kawin lari tetap memberikan legitimasi kepada kaum perempuan. Ketiga, egalitarisnisme, terjadinya kawin lari menimbulkan rasa kebersamaan di kalangan seluruh keluarga perempuan. Tidak hanya di lingkungan kelurga tetapi juga kebersamaan melibatkan komunitas besar masyarakat di lingkungan setempat. Keempat, komersial. Terjadinya kawin lari hampir selalu berlanjut pada tawar menawar. Apapun alasannya, pertimbangan-pertimbangan dari aspek ekonomi yang paling kuat dan dominan. Ada indikasi bahwa orangtua merasa telah 14 membesarkan anak gadisnya sejak kecil hingga dewasa. Untuk itu semua usaha tersebut telah menghabiskan banyak biaya yang tidak sedikit. Untuk itu memperoleh sebagai ganti dari calon menantunya. Semakin tinggi tingkat pendidikan dan tingkat sosial anak dan orangtua semakin tinggi pula nilai tawar sang gadis. Sebaliknya, semakin rendah tingkat sosial dan tinggkat pendidikan anak serta orangtua semakin rendah pula nilai ekonomis yang ditawarkan. E. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian Jenis Penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Metode ini bersifat deskriptif. Penelitian deskriptif ini adalah sebuah penelitian yang bertujuan untuk menggambarkan suatu gejala sosial, politik, ekonomi, dan budaya, yang mana dalam penelitian ini penulis berusaha untuk menggambarkan suatu tradisi perkawinan Merariq di Lombok.14 2. Teknik Pengumpulan Data Sedangkan untuk mendapatkan sebuah data dalam melakukan penelitian ini, peneliti menggunakan dua cara yaitu: 1) Studi kepustakaan (Library research) Studi kepustakaan ialah mengumpulkan data dengan cara mencari buku-buku yang sesuai dengan tema yang kita buat 14 Mastuhu, Metodologi Penelitian Agama: Teori dan Praktik, (Jakarta: PT Grafindo Persada, 2006) h. 29. 15 dengan tujuan sebagai dasar untuk mendapatkan data-data baik itu data primer maupun data skunder. Sumber studi kepustakaan ini di dapatkan dari buku, majalah, artikel, jurnal, dll. 2) Penelitian Lapangan (Field research) Metode penelitian lapangan ini yang mengadakan penelitian lapangan terhadap ritual perkawinan Merariq khususnya pada suku Sasak dengan pendekatan Kualitatif. Yang mana dibagi menjadi 3 cara yaitu: a. Observasi Observasi atau pengamatan langsung di lakukan untuk memperoleh fakta nyata tentang tradisi upacara perkawinan suku sasak (Merariq) dan hal-hal yang berkaitan kemudian melakukan pencatatan di salah satu sebuah Desa Sade yang terletak di bagian Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat. Kemudian penulis mewawancarai salah satu pemangku adat Sasak yang berada di tempat observasi Desa Sade. Kemudian observasi juga di lakukan di jalan raya cakranegara yang mana, sedang diadakan nyongkolan (arak-arakan pengantin dari rumah pria kerumah wanita dengan di iringi musik khas tradisional suku Sasak). Metode ini di lakukan dengan cara terjun langsung ke 16 lapangan untuk melakukan pengamatan tentang pelaksaan upacara perkawinan suku Sasak (Merariq), yang meliputi proses upacara, perlengkapan upacara, dan tempat penyelenggaraan upacara. Agar terpenuhi standar ilmiah maka peneliti harus mampu masuk di dalamnya untuk berperan serta dalam ritual adat setempat.15 b. Wawancara Mendalam (In-depth Interview) Wawancara adalah metode pengumpulan data dengan melakukan dialog atau percakapan terkait dengan tema penelitian kepada informan.16 Metode ini dimaksudkan untuk memperoleh data primer, karena data ini diperoleh langsung melalui wawancara dengan pelaku upacara. Adapun tokoh upacara, pemimpin/pemangku adat perkawinan Merariq, kedua pasangan pengantin, dan berbagai pihak yang bersangkutan. c. Dokumentasi Dalam penelitian ini penulis mengkaji bahan tertulis dan tidak tertulis yang bertujuan untuk mendapatkan data skunder sebagai pelengkap dari kedua data diatas. Sumber tertulis tersebut berupa data monografi dan arsip-arsip yang ada relevansinya dengan penelitian, sedangkan 15 Suwardi Endraswara, Metodologi Penelitian Kebudayaan, (Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 2006), h. 169. 16 Lexi J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2006), h. 186. 17 sumber tidak tertulis brupa foto-foto dan video tentang praktik terjadinya Tradisi Perkawinan Merariq. 3) Analisis data Data yang terkumpul selanjutnya perlu diolah dan dianalisis untuk menjawab masalah penelitian yang mana analisis data yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah analisis deskriptif. Penulis menggambarkan dan menjelaskan mengenai tentang situasi yang terjadi dalam tempat penelitian sehingga nantinya akan memperoleh deskripsi yang sistematis dan fakta-fakta dalam tempat penelitian.17 4) Pendekatan Penelitian Dalam melakukan penelitian ini penulis menggunakan beberapa pendekatan, pendekatan-pendekatan tersebut adalah: a. Pendekatan Antropologis Pendekatanan antropologis adalah dasar filosofis yang fokus pembahasannya berkaitan dengan kegiatan manusia, baik secara normatif maupun historis. Itulah mengapa penelitian ini perlu sekali dikaitkan dengan penelitian saya karena peduli terhadap tindakan manusia di masa lalu dan kelanjutannya. Untuk menghasilkan gambaran yang tepat 17 tentang fenomena antropologis peneliti Sumardi Suryabrata, metodologi penelitian (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,1998) h.18. 18 menggunakan pendekatan induktif, dalam lingkup yang tidak terlalu luas, fleksibel, dan kontekstual.18 b. Pendekatan Sosiologis Pendekatan Sosiologis dibedakan dari pendekatan studi Agama lainnya karena fokus perhatiannya pada interaksi antara agama dan masyarakat. Beranggapan dasar perspektif sosiologis adalah Concern-nya pada struktur sosial, konstruksi pengalaman manusia, dan kebudayaan termasuk Agama.19 c. Pendekatan Historis Pendekatan Historis ialah salah satu pendekatan yang digunakan untuk memahami gejala sosial keagamaan. Pendekatan ini cukup populer di kalangan para ahli di lingkungan Departemen Agama. Pendekatan ini mengasumsikan bahwa realitas sosial yang terjadi sekarang ini sebenarnya merupakan hasil proses sejarah yang terjadi sejak beberapa tahun, ratusan tahun, bahkan ribuan tahun 18 Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian suatu Pendekatan Praktik, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2006) h. 15. 19 Peter Connolly (ed), Aneka Pendekatan Studi Agama, (Yogyakarta: PT LkiS Printing Cemerlng, 2002) h. 271 19 yang lalu.20 Maka dari itu penulis juga menggunakan pendekatan ini. d. Pendekatan Teologis Pendekatan Teologis ini ialah merupakan pendekatan yang paling dominan dan paling berpengaruh dalam Studi Agama dan Studi Agamaagama. Inilah pendekatan yang bersifat normatif dan subyektif. Dengan pendekatan ini seorang peneliti melakukan satu dari dua hal: (1) studi internal. Dalam hal ini, seorang sarjana/peneliti agama adalah orang yang berusaha secara aktif dalam kegiatan ilmiahnya untuk mrlrstarikan dan mempromosikan keunggulan agamanya serta mempertahankannya dari ancaman atau serangan dari orang lain. (2) studi eksternal. Dalam hal ini, soeang peneliti/ penganut agama tertentu melakukan kajian terhadap agama/keyakinan orang lain untuk menilai dan menghakiminya dengan ukuran agama sang peneliti.21 F. Sumber Data Sumber data ialah dari mana kita mendapatkan sebuah data tersebut, dalam hal ini peneliti mempunyai dua sumber data yang pertama 20 Mastuhu, Metodologi Penelitian Agama, h. 149. Media Zainul Bahri, Aneka Pendekatan Studi Agama-agama (Jakarta: 2014), h.8. 21 20 sumber data primer dan sumber data skunder. Sedangkan sumber sementara yang peneliti miliki: a. Sumber Primer adalah data yang sebenarnya langsung dengan tema penelitian yang sumbernya berupa: 1. Nur Yasin. Hukum Perkawinan Islam Sasak, Malang: UIN Malang Press, 2008. 2. Ahmad Fathan Aniq. Konflik Peran Gender pada Tradisi Merariq di Pulau Lombok, Surabaya: IAIN Sunan Ampel 3. M. Harfin Zuhdi. Praktik Merariq: Wajah Sosial Masyarakat Sasak, Mataram: LEPPiM IAIN Mataram, 2012. 4. John Ryan Bartholomew. Alif Lam Mim: kearifan Masyarakat Sasak, Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya, 2001. 5. Melakukan wawancara mendalam dengan pemimpin/ pemangku upacara adat perkawinan dan masyarakat Sasak. b. Sumber Sekunder adalah data yang relevan tapi tidak berhubungan langsung yang didapat melalui literatur kepustakaan (Library Research), seperti buku, jurnal, arsip, ensiklopedi, majalah, dan sumber kepustakaan lainnya yang berhubungan dengan penelitian ini. 21 G. Sistematika Penulisan Agar mempermudah dalam pembahasan maka dari itu disusun sistematika penulisan bab per bab. BAB I PENDAHULUAN Pada Bab I ini terdiri dari tujuh sub bab yang terdiri dari: Latar Belakang, Rumusan Masalah, Tujuan dan kegunaan Penelitian, Kajian Pustaka, Metodologi Penelitian, Sumber Data, dan Sistematika Penulisan. BAB II GAMBARAN UMUM MASYARAKAT SUKU SASAK Pada Bab II ini akan menguraikan Sejarah Singkat Suku Sasak di Lombok, Letak Geografisnya serta membahas tentang sistem keyakinan yang dianut oleh masyarakat Sasak yang terdiri dari Akidah Masyarakat Sasak terhadap Pengetahuannya kepada Allah, Pendekatan Ibadah yang dilakukan Masyarakat Sasak kepada Allah serta akhlak Masyarakat Sasak terhadap Perilaku Sosialnya. BAB III KEBUDAYAAN Pada Bab III ini akan menguraikan beberapa teori budaya yang mana dalam Tradisi Merariq melahirkan Tantangan yang menghasilkan Kreasi Budaya dan dalam Tradisi Merariq menimbulkan Karya yang menghasilkan Inovasi Budaya dan akhir dari Tujuan menghasilkan nilai-nilai Budaya. Budaya Merariq 22 BAB IV FAKTOR DOMINAN ANTARA AGAMA DAN BUDAYA DALAM TRADISI MERARIQ Pada Bab IV ini akan menguraikan tentang Tujuan Merariq itu seperti apa, alasan Merariq itu bagaimana dan perspektif Merariq menurut pandangan masyarakat Sasak maupun diluar Sasak. BAB V PENUTUP Penutup yang terdiri dari: Kesimpulan dan Saran. BAB II GAMBARAN UMUM MASYARAKAT SASAK A. Sejarah Singkat Suku Sasak Sasak secara etimologi, berasal dari kata “sah” yang berarti “pergi” dan “shaka” yang berarti “leluhur”. Dengan begitu dapat disimpulkan bahwa “sasak” memiliki arti “pergi ke tanah leluhur”. Dari pengertian inilah diduga bahwa leluhur orang Sasak itu adalah orang Jawa. Bukti lainnya merujuk kepada aksara Sasak yang digunakan oleh orang Sasak disebut sebagai “Jejawan”, merupakan aksara yang berasal dari tanah Jawa, pada perkembangannya, aksara ini dipersepsikan dengan baik oleh para pujangga yang telah melahirkan tradisi kesusastraan Sasak.1 Pendapat lain beranggapan bahwa kata Sasak berasal dari kata saksak yang dalam bahasa Sasak berarti sampan. Pengertian ini dihubungkan dengan kedatangan nenek moyang orang Sasak dengan menggunakan sampan dari arah barat. Sumber lainnya yang sering dihubungkan dengan etimologi Sasak adalah kitab Nagarakertagama yang memuat catatan kekuasaan Majapahit abad ke-14, ditulis oleh Mpu Prapanca. Dalam kitab Nagarakertagama terhadap ungkapan “lombok sasak mirah adi”, pemaknaan ini merujuk kepada kata Sasak (sa-sak) yang diartikan sebagai satu atau utama, Lombok (Lomboq) dari bahasa kawi yang dapat diartikan sebagai jujur atau lurus, mirah diartikan sebagai permata dan adi bermakna baik. Maka, Lombok Sasak Mirah Adi berarti kejujuran adalah permata 1 Wawancara Pribadi dengan Mahardika (Pemangku Adat Sasak desa Sade Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat) Pada Tanggal 29 Maret 2017. 23 24 kenyataan yang baik atau utama. Masyarakat suku Sasak merupakan masyarakat yang masih memegang teguh tradisi dan mempertahankan kebudayaan sampai saat ini. Kini, suku Sasak bukan hanya sebuah kelompok masyarakat tetapi juga merupakan salah satu etnis yang melambangkan kekayaan tradisi yang dimiliki oleh Indonesia.2 Sasak adalah penduduk asli dan kelompok etnik mayoritas Lombok. mereka meliputi lebih dari 90% dari keseluruhan penduduk Lombok. kelompok-kelompok etnik lain seperti Bali, Sumbawa, Jawa, Arab, dan Cina adalah para pendatang. Diantara mereka, orang Bali merupakan kelompok etnik kedua terbesar setelah Islam di pulau Lombok. Orang Sumbawa terutama bermukim di Lombok Timur, dan orang-orang Arab di Ampenan. Lingkungan pemukiman masyarakat Arab Ampenan disebut sebagai kampung Arab Ampenan. Orang-orang Cina, mayoritas adalah pedagang yang tinggal di pusat-pusat pasar, seperti Ampenan dan Cakra. Orang-orang Bugis, khususnya yang hidup sebagai nelayan, tinggal di kawasan pantai Tanjung Ringgit dan Tanjung Luar di Lombok Timur. Kampung Jawa atau pemukiman orang Jawa terletak di Praya, Lombok Tengah.3 B. Letak Geografis Diantara kepulauan Indonesia, Lombok terletak disebelah timur Bali dan disebelah barat Sumbawa. Pada bagian Barat, terletak selat 2 Lalu Lukman, Pulau Lombok dalam Sejarah: ditinjau dari aspek Budaya (Mataram: 2005), h. 3. 3 Erni Budiwanti, Islam Sasak: Wetu Telu versus Waktu Lima (Yogyakarta: LKiS, 2000), h. 6-7. 25 Lombok dan pada bagian Timur, terdapat selat Alas. Disebelah utara Lombok juga berbatasan dengan laut Jawa dan disebelah timur lautan Indonesia di bagian selatannya. Lombok diantara pulau-pulau tentangganya, Bali dan Jawa disebelah baratnya yang mendapatkan lebih banyak curah hujan dan disebelah timurnya, Sumbawa dan NTT, yang realif tandus dan kering. Pada tanggal 14 Agustus 1958, Propinsi Sunda Kecil dipisahkan menjadi tiga propinsi: Bali, Nusa Tenggara Barat (NTB), dan Nusa Tenggara Timur (NTT). Bali menjadi propinsi tersendiri dengan ibukotanya Denpasar yang terletak di Bali Selatan. Lombok dan Sumbawa disatukan menjadi propinsi NTB (Nusa Tenggara Barat) dengan ibukotanya Mataram yang terletak di Lombok Barat. Propinsi NTT (Nusa Tenggara Timur) terdiri dari gabungan seluruh pulau di kawasan Timur, dari Flores hingga Timor (termasuk pulau-pulau yang sangat kecil) dengan Kupang sebagai ibukotanya.4 Propinsi NTB terdiri dari enam kabupaten dan satu kota. Enam kabupaten itu adalah Lombok Barat, Lombok Tengah, dan Lombok Timur yang terletak di Pulau Lombok dan Sumbawa, Dompu, dan Bima yang terletak di Pulau Sumbawa. Mataram merupakan salah satu kabupaten di NTB, yang juga merupakan ibukota propinsi dan kabupaten Lombok Barat. NTB merupakan daerah dengan luas sekitar 2,015,315 kilometer dan mempunyai penduduk sekitar 3,369,649 yang tersebar secara tidak merata di keenam kabupatennya. Lebih dari 70% atau sekitar 2,4 juta 4 Erni Budiwanti, Islam Sasak, h. 4-5 26 penduduk NTB bermukim di Lombok. Lombok sendiri merupakan kawasan dengan luas 470,000 kilometer atau hampir seperempat dari luas propinsi NTB. Lombok Barat dengan penduduk berjumlah 859,273 orang merupakan kabupaten dengan penduduk paling padat. Lebih dari 83% penduduk NTB tinggal di pedesaan dan hidup dengan bertani. Dan lebih dari 36% penduduk Lombok Barat bertempat tinggal di kota-kota.5 Orang sasak mendiami pulau Lombok di deretan pulau-pulau Nusa Tenggara (Sunda Kecil). Jumlah populasinya sekitar 1,8 juta jiwa. Bahasa Sasak terdiri atas beberapa dialek, yaitu dialek Sasak Pejanggi, Sasak Selaparang, Sasak Bayan, Sasak Tanjong, Sasak Punjut, Sasak Sembalun, Sasak Tebanggo, dan Sasak Pengantap. Bahasa Sasak juga mengenal tingkatan, yaitu halus dalam, halus biasa, dan Kasar. Peneliti akan membahas tentang Sasak Punjut, yang mana ada di desa Rembitan kecamatan Punjut ini terdapat Dusun Sade yang terletak di kecamatan Punjut Lombok Tengah. Mengapa peneliti membahas tentang Sasak Punjut, karena salah satunya penulis juga penasaran akan hal tradisi-tradisi yang ada di sasak Punjut ini dan juga sebelumnya penulis mengetahui desa sade tersebut, penulis sempat berwisata ke Lombok dan berinisiatif untuk mempelajari dan mendalami apa itu desa sade dan sasak Punjut yang ada di Lombok dan juga sasak Punjut yang masih asli sampai saat ini yaitu tempat tinggalnya, juga beberapa tradisi yang masih dijalankannya, walaupun hanya sebagian kecil tradisi yang dijalankan sampai saat ini, 5 Erni Budiwanti, Islam Sasak, h. 6. 27 karena pada saat ini sudah hampir menjalankan Islam sempurna sekarang akibat pendakwah Islam yang mulai menyebar di Nusa Tenggara Barat.6 Dusun Sade atau Desa Sade terletak di wilayah Desa Rambitan, kecamatan Punjut, Kabupaten Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat. Letak kampung ini 50 km arah Tenggara Kota Mataram (Ibu Kota NTB) dan 19 km dari kota Praya (Ibu Kota Lombok Tengah). Desa Sade memiliki Luas 50 Ha. Secara geografis pada koordinat 08 derajat 50 LS dan 116 derajat BT. Desa Sade terletak pada ketinggian120-126 m di atas permukaan laut, terletak pada sebuah panteisme bukit, di sebelah Utara dan Selatan terdapat persawahan dan ladang penduduk. Batas wilayah yaitu Sebelah Barat Dusun Penyalu, Sebelah Utara Dusun Selak, sebelah Selatan Dusun Selemang.7 C. Sistem Keyakinan yang dianut Masyarakat Sasak Sebelum kedatangan pengaruh asing di Lombok, Boda merupakan kepercayaan asli orang Sasak. Orang Sasak pada waktu itu, menganut kepercayaan ini, disebut sebagai Sasak Boda. Kendati demikian agama ini tidaklah sama dengan Buddhisme karena ia tidak mengakui Sidarta Gautama atau Sang Buddha sebagai figur utama pemujaannya maupun terhadap ajaran pencerahannya. Agama Boda dari orang Sasak asli terutama ditandai oleh animisme dan pemujaan dan penyembahan roh-roh leluhur dan berbagai dewa lokal lainnya merupakan fokus utama dari 6 Lalu Erwan Husnan, Ungkapan Tradisional Masyarakat Sasak (NTB: KSU Primaguna, 2012) , h. 5-6. 7 Wawancara Pribadi dengan Mahardika (Pemangku Adat Sasak desa Sade Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat) Pada Tanggal 29 Maret 2017. 28 praktik keagamaan Sasak Boda. Berbagai kekuatan asing yang menaklukkan Lombok selama berabad-abad, sangat menentukan cara orang Sasak menyerap pengaruh-pengaruh luar.8 Penganut Boda sebagai komunitas kecil yang berdiam di wilayah pegunungan utara dan di lembah-lembah pegunungan Lombok bagian selatan. Kelompok Boda ini konon adalah orang-orang Sasak yang dari segi kesukuan, budaya, dan bahasa menganut kepercayaan asli. Mereka menyingkir ke daerah pegunungan melepaskan diri dari Islamisasi di Lombok.9 Kemudian kerajaan Majapahit masuk ke Lombok dan membawa serta budayanya. Hindu-Buddha Majapahit pun kemudian dikenal oleh suku Sasak. Di akhir abad ke 16 hingga abad ke 17 awal perkembangan agama Islam menyentuh pulau Lombok. Salah satunya karena peran Sunan Giri. Setelah perkembangan Islam, kepercayaan suku Sasak sebagian berubah dari Hindu menjadi penganut Islam. Berdasarkan sistem kepercayaan suku Sasak pada masa-masa selanjutnya, kemudian dapat diklasifikasikan tiga kelompok utama; Boda, Wetu Telu, dan Islam (Wetu Lima).10 Sementara sinkretisme Islam wetu telu kini berkembang terbatas di beberapa bagian utara dan selatan Pulau Lombok. Meliputi Bayan, dataran tinggi Sembalun, Suranadi di Lombok Timur, Pujut di Lombok Tengah, 8 Erni Budiwanti, Islam Sasak, h. 8 Erni Budiwanti, Islam Sasak, h. 11 10 Lalu Lukman, Pulau Lombok dalam Sejarah, h. 6 9 29 dan Tanjung di Lombok Barat. Istilah Islam wetu telu diberikan karena penganut kepercayaan ini beribadah tiga kali di bulan puasa, yaitu sholat pada waktu Magrib, Isya, dan waktu Subuh. Penganut kepercayaan wetu telu melakukan ibadah tiga waktu itu, konon pada saat penyebaran agama Islam di Nusa Tenggara Barat atau di Lombok itu baru mengajarkan setengahnya. Jadi belum sempurna penyebarannya para pendakwah Islam yang datang ke Lombok sudah pergi meninggalkan Lombok. jadi memang yang didapat oleh orang-orang terdahulu orang sasak seperti itu, sampai saat ini pun orang Sasak memahaminya seperti itu. Di luar bulan puasa, mereka hanya satu hari dalam seminggu melakukan ibadah, yaitu pada hari Kamis dan atau Jumat, meliputi waktu Asar. Salah satu alasan mereka melakukan ibadah dengan menitipkan kepada pemangku karena memang begitulah adat yang mereka yakini, bahwa beribadah mereka harus diwakili oleh pemangku atau orang yang mempunyai ilmu lebih tinggi dibandingkan orang-orang biasa. Kalau di ibaratkan pada Islam, yaitu kepada kiyai atau pemangku. Untuk urusan ibadah lainnya biasanya dilakukan oleh pemimpin agama mereka; para kiai dan penghulu. Para penganut Islam Wetu telu membangun Masjid (tempat ibadah) mereka dengan gaya arsitektur khas suku Sasak; dari kayu dan bambu, dengan bagian atapnya terbuat dari jenis alang-alang atau sirap dari bambu. Dengan denah berbentuk persegi empat dan bagian atap seperti piramid bertumpang yang disangga dengan tiang-tiang, beberapa ahli menilai arsitektur masjid ini mirip dengan Arsitektur masjid lama yang ada di 30 Ternate dan Tidore.11 a. Akidah Masyarakat Sasak terhadap Pengetahuannya kepada Allah Awalnya Agama wetu telu memiliki ciri sama dengan Hindu-Bali dan Kejawen. Kemudian mengapa saat ini orang sasak sudah beralih kepada Islam sempurna seperti sekarang, karena pendakwah Islam sekarang yang sudah berusaha menyebarkan Islam yang benar dan sempurna yang orang Islam yakini seperti sekarang ini. Pada perkembangannya wetu telu justru lebih dekat dengan Islam. Dari peneliti temui bahwan sekarang hampir semua suku Sasak bahkan di desa sade kecamatan Punjut sudah menganut Agama Islam lima waktu dan meninggalkan wetu telu sepenuhnya. 12 Penganut paham Islam wetu telu ini tersebar di beberapa desa dan kampung di pulau Lombok. Secara prinsipil tidak ada perbedaan paham antara wetu telu dengan wetu lima, mengapa karena meski wetu telu lebih percaya kepada pemangku adat dan wetu lima lebih kepada ajaran agama, tetapi tetap saja, sama sama berkeyakinan kepada yang satu yaitu Tuhannya. Perbedaan ajaran yang diikuti sampai saat ini masih berkeyakinan yang disebut kepada Tuhannya, dalam wetu telu hanya cara penyampaiannya saja melalui pemimpin mereka atau kepada kepala adat pemangku, sedangkan wetu lima atau Islam sekarang lebih kepada pribadi individual manusianya masing masing. Beberapa ajaran Islam ada yang 11 H. Masnun, Tuan Guru KH. Muhammad Zainuddin Al-Madjid: Gagasan dan Gerakan Pembaharuan Islam di Nusa Tenggara Barat (Mataram: Pustaka Al-Miqdad, 2007), h.53. 12 Wawancara Pribadi dengan Mahardika (Pemangku Adat Sasak desa Sade Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat) Pada Tanggal 29 Maret 2017. 31 mirip dengan wetu telu, yaitu penyampaian ibadahnya melalui pemangku, misalnya kalau di Islam melalui Ustad, fungsinya Ustad yaitu sebagai penghubung antara umatnya dalam suatu hal, semisal dalam tradisi Islam di Indonesia ada yang namanya Akikah atau Selametan pengajian, acara seperti itu diharuskan ada pak ustad yang memimpin doa-doa dalam acara tersebut. Perbedaannya hanya terletak pada tata cara pelaksanaan syariat atau praktik ibadah sehari-hari. Islam seperti yang diamalkan oleh wetu telu lebih dipengaruhi oleh adat istiadat setempat. Di Lombok Barat, praktik ajaran Islam lebih dipengaruhi oleh kepercayaan Hinduisme. Sedangkan di Lombok Timur dan Tengah, Islam yang dipraktikkan oleh paham wetu telu sudah dianggap sesuai dengan ajaran Islam. Maksud paham wetu telu sudah dianggap sesuai dengan ajaran Islam disini, ialah orang sasak pada saat ini walaupun mereka masih meyakini wetu telu tetapi pada kenyataannya sudah menjalankan wetu lima, menjalankan syariat Islam pada masa sekarang ini. Mereka paham wetu telu hanya meyakini wetu telu hanya karena menghargai tradisi keturunan dari nenek moyangnya saja.13 Secara teologis wetu telu sedikit memiki perbedaan dengan konsep Islam. Ia percaya kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, kepada nabi dan rasul, malaikat, hari akhir, serta percaya adanya surga dan neraka. Hanya saja kepercayaannya sebatas yang mereka ketahui, misalnya mereka hanya mengetahui tiga malaikat yakni Malaikat Izrail, Mungkar, dan Nakir. 13 H. Masnun, Gagasan dan Gerakan Pembaharuan Islam, h.55. 32 Mereka dikenal sangat fanatik terhadap Nabi Muhammad SAW, sedangkan nabi-nabi yang lain tidak banyak disebut. Mereka membaca dua kalimat syahadat yang dalam istilah wetu telu yang disebut nyadat.14 b. Pendekatan Ibadah yang dilakukan Masyarakat Sasak kepada Allah Dalam siklus hubungan ini status pemangku dan dewa berfungsi sebagai penghubung. Jika seseorang melaksanakan nazar, misalnya memohon keselamatan, sembuh dari penyakit dan sebagainya, mereka minta kepada pemangku untuk mengantarkan dan memimpin upacara ke tempat tertentu dan kepada dewa mana untuk permohonan tersebut disampaikan. Pemangku adalah orang yang dipilih oleh masyarakat untuk menjadi kepala atau ketua adat (pemangku adat). Pemangku juga bisa di anggap sebagai pemangku jika usianya lebih tua, kemudian memiliki aspek ilmu agama yang lebih dan juga berwibawa. Permohonan dimaksud kemudian dihubungkan kepada Tuhan oleh dewa karena Tuhanlah yang dapat memutuskan segala sesuatunya. Jadi, pemangku dan dewa berfungsi perantara dalam hubungan manusia dengan Tuhan. Dalam pola beribadah Pemangku mengantarkan manusia berhubungan kepada Tuhannya. Sebagai petugas, seluruh tugas-tugas dan kewajiban peribadatan dari Tuhan, menurut paham Islam wetu telu cukup dikerjakan oleh para Tuan Guru atau kyai. Oleh karena itu tugasnya yang tergolong berat, maka Tuan Guru atau Kyai cukup dihormati. Masyarakat setempat sangat patuh terhadap sikap dan nasehatnya. Itulah yang menjadi pendekatan ibadah 14 Sumber data dari Kejaksaan Negeri Nusa Tenggara Barat, Data-data tentang Ajaran Wetu Telu di Nusa Tenggara Barat (Mataram: tanggal 30 maret 2017). 33 masyarakat sasak terhadap Tuhannya.15 Meskipun sebagian masyarakat sasak ada yang masih mempercayai wetu telu, ada juga yang sudah meninggalkannya dan mengerjakan waktu lima yaitu Islam sempurna. Mereka hanya mempercayai untuk tetap menghormati leluhur Budaya mereka tentang wetu telu tersebut. Dan wetu telu itu mereka tidak pernah mengerjakannya, karena setiap ibadah wetu telu itu hanya di lakukan oleh pemimpin seperti Pemangku Adat yang sudah dijelaskan diatas, jadi ibadah wetu telu dahulu dilakukan hanya diwakilkan saja oleh pemimpinnya dan jamaahnya hanya meyakini dan mempercayainya saja. Dan tidak ada resiko jika paham wetu telu tidak mengikuti ajaran leluhurnya, akan tetapi jika tidak mengikuti atau meyakininya lagi, tradisi adat keturunan mereka akan benar benar punah seiring waktu berjalan dengan berjalannya para pendakwah Islam yang mulai banyak menyebarkannya ke daerah Lombok. Itulah masyarakat sasak yang masih menganut wetu telu, beda halnya yang sudah meninggalkannya dan mengerjakan waktu lima, mereka hanya percaya saja tidak mengerjakannyanya. Dengan begitu mereka tetap mempercayai adanya Allah, taat kepada Allah, percaya adanya Nabi Muhammad SAW, dan juga percaya manusia pertama itu adalah Adam. Masyarakat sasak tetap mengerjakan sholat lima waktu, berpuasa, bersedekah, dan sebagainya seperti Islam pada umumnya tetapi yang membedakan mereka masih melakukan ritual-ritual adat budaya peninggalan nenek moyang 15 H. Masnun, Gagasan dan Gerakan Pembaharuan Islam, h.65. 34 mereka16 c. Akhlak Masyarakat Sasak terhadap Perilaku Sosial Sejak semula, manusia tidak pernah dapat hidup berdiri sendiri, melainkan antara manusia yang satu dengan manusia yang lain saling membutuhkan dan hidup dalam suatu kelompok sosial atau homoni socius. Dalam kehidupan sosial, proses interaksi antara mereka terus terjadi. Menurut Soejono Soekanto, terjadinya interaksi sosial di dahului dengan adanya kontak sosial (social contact) dan komunikasi. Lebih lanjut dijelaskan bahwa terjadinya suatu kontak tidak semata-mata tergantung dari tindakan, tetapi tanggapan terhadap tindakan itu. Tanggapan terhadap tingkah laku orang atau kelompok kemungkinan besar terjadi perbedaan. Dengan demikian komunikasi memainkan peranan penting untuk menjembatani perbedaan menjadi kerjasama antara orang perorangan atau antara kelompok manusia.17 Dalam bagian ini akan disampaikan nilai budaya yang berhubungan dengan hakikat hubungan manusia dengan sesama manusia yang tercermin dalam ungkapan-ungkapan tradisional masyarakat Sasak. Penyampaian nilai-nilai yang dimaksud akan dipaparkan berdasarkan klasifikasi ungkapan-ungkapan tersebut seperti pengklasifikasian yang telah dihasilkan: a. Persatuan kelompok Terdapat dua nilai hakikat hubungan manusia dengan sesama manusia yang saling berlawanan yang tercermin dalam ungkapan pertama 16 H. Masnun, Gagasan dan Gerakan Pembaharuan Islam, h.68. Muhammad Ahyar Fadly, Islam Lokal: Akulturasi Islam di Bumi Sasak (Lombok: STAIIQH Press, 2008), h. 67-68. 17 35 dalam kelompok ini. Nilai pertama bersifat positif dan nilai kedua mengarah ke sifat negatif. Penyebutan nilai yang positif disebabkan karena ungkapan ini mencerminkan persatuan dalam satu kelompok masyrakat etnis sasak yang begitu kuat. Anggota individu dalam kelompok tersebut merasa senasib seperjuangan. Sebagai konsekuensinya, apapun yang terjadi suatu masalah mereka akan saling membantu atas nama kelompok. Namun begitu, persatuan yang terlalu kuat berujung pada munculnya egokelompok yang berlebihan, yaitu sifat negatif. Hal ini didasarkan pada bukti empiris yang terjadi selama ini di beberapa daerah lombok. Pertikaian atau bentrok fisik antarkelompok masayrakat dalam etnis Sasak kebanyakan dipicu oleh hal sepele. Ungkapan ini memiliki nilai yang berhubungan dengan hakikat hubungan manusia dengan sesama manusia yang hampir sama. Mereka akan selalu saling membantu satu sama lainnya baik suka maupun duka. Dalam keadaan suka bisa dilihat pada acara perkawinan yang mana satu anggota kelompok akan membantu anggota lain dalam mempersiapan acara, dari berlangsungnya acara hingga akhir. Begitu pula pada saat duka, anggota kelompok akan membantu anggota kelompok lain ketika sedang tertimpa musibah baik secara fisik, material, dan spiritual. Dengan kata lain, ungkapan ini mencerminkan hubungan antarindividu yang kuat dalam kelompok masyarakat Sasak.18 b. Ikatan persatuan Bila lisan sudah dipercaya dan menjadi ikatan dalam suatu 18 Lalu Erwan Husnan, Ungkapan Tradisional, h. 48-49 36 kelompok masyarakat berarti hubungan antar individu dalam kelompok tersebut sangat kuat. Hal inilah yang dicerminkan oleh kelompok ini. Dengan demikian nilai budaya yang berkaitan dengan hubungan antarsesama manusia dalam masyarakat Sasak begitu kuat mengingat mereka sudah saling percaya yang berpegang pada ucapan yang mereka ujarkan.19 Nilai budaya yang berkaitan dengan hubungan manusia dengan sesama manusia yang terkandung dalam kelompok ungkapan ini adalah usaha menjaga hubungan yang baik dengan individu dan masyarakat sekitarnya. Antar individu dalam masyarakat sasak memiliki perasaaan saling memiliki, suku bangsa Sasak, satu sama lainnya. Dan salah satu dari kelompok etnis sasak yang saya ambil adalah Desa Sade asli suku Sasak, maka sosialisasi mereka tidak jauh-jauh dari lingkungan sekitar kampung itu. Tetapi mereka tetap berinteraksi di luar dari kampung tersebut. Karena bagaimanapun tetap satu komunitas masih membutuhkan bantuan dan interaksi sosial di luar dari komunitasnya tersebut. Dengan demikian maka masyarakat Sade pun ada komunikasi antarkelompok terhadap masyarakat di luar kampung Sade.20 19 Lalu Erwan Husnan, Ungkapan Tradisional, h. 49-50. Wawancara Pribadi dengan Mahardika (Pemangku Adat Sasak desa Sade Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat) Pada Tanggal 29 Maret 2017. 20 BAB III KEBUDAYAAN A. Tantangan dalam Tradisi Merariq yang menghasilkan Kreativitas Kebudayaan Kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang diperoleh melalui belajar. Kebudayaan bisa dikatakan sebagai suatu sistem dalam masyarakat di mana terjadi interaksi antar individu/kelompok dengan individu/kelompok lain sehingga menimbulkan suatu pola tertentu, kemudian menjadi sebuah kesepakatan bersama (baik secara langsung ataupun tidak langsung).1 Kreativitas manusia sepanjang sejarah meliputi banyak kegiatan, diantaranya dalam organisasi sosial dan ekonomi, ilmu pengetahuan, teknologi, dan proses simbolis2. Uraian ini memusatkan perhatian pada proses simbolis, yaitu pada kegiatan manusia dalam menciptakan makna yang berujuk pada realitas yang lain daripada pengalaman sehari-hari. Proses dari simbolis tersebut meliputi bidang-bidang agama, filsafat, seni, ilmu, sejarah, mitos, dan bahasa.3 Dalam masyarakat patrimonial, misalnya akan ada dikotomi sosial budaya antara golongan bangsawan dan petani. Ada budaya istana dan ada 1 Bambang Rustanto, Masyarakat Multikultural di Indonesia (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2015), h.26. 2 Simbolis Ialah Lambang. kalau proses simbolis ialah peristiwa yang sedang terjadi dan akan menjadi suatu lambang. 3 Kuntowijoyo, Budaya dan Masyarakat (Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya, 1987), h. 3. 37 38 budaya rakyat yang masing-masing mempunyai lembaga, simbol dan normanya sendiri. Demikian juga pada kategori kapitalis dikenal adanya dikotomi budaya dalam budaya tinggi dan budaya populer, dengan lembaga, simbol dan norma sendiri-sendiri. Dalam hal ini perlu diingat bahwa sekalipun dikotomi itu ada, ada pula mobilitas budaya, ke atas atau ke bawah, yang menyebabkan baik lembaga, simbol dan normanya tentu saja mengalami transformasi. 4 Mengapa sebuah proses simbolis mengalami transformasi, merupakan bahan studi tentang anomali budaya. Kebudayaan dapat menjadi tidak fungsional jika simbol dan normanya tidak lagi didukung oleh lembaga-lembaga sosialnya, atau oleh modus organisasi sosial dari budaya itu. Johns menyatakan bahwa Indonesia terdapat ketegangan antara tradisi historiografi Melayu yang cenderung bersifat mitis dengan tradisi historiografi Islam yang pada dasarnya realistis. Perbedaan tradisi budaya ini menerangkan juga ketegangan antara istana dan pusat-pusat penyebaran agama pada awal berdirinya kerajaaan Mataram.5 Dalam Tradisi Perkawinan Merariq tantangan yang menghasilkan kreasi disini ialah cara meminta untuk dinikahkannya yaitu dengan dibawa lari atau dalam bahasa sasak di sebut Merariq. Dalam Merariq ada 2 versi yang mana Merariq atau kawin lari yakni perkawinan yang terjadi dengan cara melarikan si gadis tanpa sepengetahuan orang tua si gadis karena merupakan keputusan terakhir yang diambil oleh calon pengantin laki 4 Kuntowijoyo, Budaya dan Masyarakat, h. 11. Kuntowijoyo, Budaya dan Masyarakat, h. 7. 5 39 apabila tidak mendapat restu dari orang tua calon pengantin wanita. Yang kedua yaitu dengan persetujuan orangtua dan tetap melakukan Merariq karena merupakan adat istiadat. 6 Dalam tradisi adat Sasak, melakukan perkawinan itu harus dengan Merariq jika tidak maka justru orang tua perempuan merasa tersinggung jika anak perempuannya tidak dilarikan. Biasanya kawin lari di lakukan pada malam hari antara waktu magrib dan isya, dimana si gadis dijemput pada tempat yang telah disepakati kedua calon pengantin. Dan selanjutnya dalam rombongan penjemput, ketentuan adat mengharuskan keikutsertaan seorang wanita “suci” dalam arti telah memasuki masa menopause. Ini bertujuan, agar ada yang menemani si gadis dalam proses perjalanan “kawin lari”, sehingga tidak terjadi sesuatu di luar norma susila dan demi menghindari kecurigaan masyarakat.7 Pada masyarakat Sasak, sebelum melaksanakan perkawinan atau melakukan Merariq ada beberapa proses yang harus dilalui sebagai sarana saling kenal mengenal antara laki-laki dan perempuan. Berikut penjelasannya: 1. Midang (meminang), yaitu kunjungan secara langsung oleh laki-laki kerumah perempuan yang diidam-idamkan dalam rangka saling mengenal lebih mendalam tentang keberadaan mereka masingmasing untuk selanjutnya bersepakat untuk mengikat hubungan 6 Merariq bisa dikatakan Anomali yang artinya bisa dikatakan suatu penyimpangan tetapi masih bisa di terima. 7 Sudirman. Bahrie. Lalu Ratmaja, Prosesi Perkawinan Masyarakat Gumi Sasak (NTB: KSU Primaguna, 2012), h. 5-7. 40 pertalian yang lebih mendalam dalam bentuk perkawinan. Proses peminangan diatur oleh adat yang disebut “awig-awig”, yaitu aturan-aturan pelaksanaan adat yang diberlakukan dan berdasarkan kesepakatan bersama warga setempat. Beberapa aturan-aturan meminang:8 a. Yang boleh meminang adalah setiap laki-laki yang bukan muhrim, baik dia masih jejaka/gadis, janda/duda atau masih beristri. b. Tidak boleh saling mencemburui karena masih berada dalam proses peminang c. Cara duduk pada saat meminang tidak boleh berdekatan dengan yang dipinang d. Kalau ada peminang lain yang datang menyusul, bagi yang sudah datang terlebih dahulu harus meninggalkan tempat peminangan meskipun pembicaranya belum tuntas. e. Kalau terjadi peminangan yang dilakukan dalam waktu yang bersamaan oleh dua orang laki-laki atau lebih terhadap satu orang perempuan, maka laki-laki sebagai tamu tidak boleh saling mempersilahkan (menyuguhkan sesuatu), harus perempuan yang dipinang yang mempersilahkannya. 8 M. Fachrir Rahman, Pernikahan di Nusa Tenggara Barat antara Islam dan Tradisi (Mataram: LEPPIM IAIN Mataram, 2013), h.118-119. 41 f. Bagi peminangan yang tadinya meninggalkan karena ada yang menyusul datang, boleh meminang perempuan lain lagi ditempat yang lain. g. Pada waktu terlaksananya peminangan orangtua si gadis/janda harus meninggalkan ruang tempat peminangan itu dilakukan. h. Tempat peminangan harus terbuka i. Meminang tidak boleh dilakukan pada tempat yang sepi/petang Tujuan utama midang (peminangan) itu adalah untuk bertemu dengan perempuan yang menjadi idamannya. Midang disamping sebagai sarana kenal mengenal di dalamnya juga dibicarakan soal perkawinan dikemudian hari. Apabila kesepakatan dapat diperoleh pada saat meminang tersebut, maka untuk melangsungkan perkawinan, mereka merencanakan untuk sepakat lari pada malam hari yang telah ditentukan bersama.9 2. Merariq merupakan rangkaian akhir dari proses pencarian jodoh (pasangan) untuk menuju perkawinan. Merariq artinya membawa lari seorang perempuan oleh pihak laki-laki untuk kawin. Merariq merupakan cara yang paling banyak dilakukan oleh suku Sasak dibeberapa tempat di Lombok dari dulu hingga sekarang untuk perkawinan. Beberapa aturan Merariq yang berlaku secara umum pada suku Sasak adalah sebagai berikut:10 9 M. Fachrir Rahman, Pernikahan di Nusa Tenggara Barat..., h.119. M. Harfin Zuhdi, Praktik Merariq: Wajah Sosial Masyarakat Sasak (Mataram: LEPPiM IAIN Mataram, 2012), h. 62. 10 42 a. Calon mempelai perempuan harus diambil di rumah orangtuanya dan tidak boleh diambil di rumah keluarganya atau di tengah jalan, sawah, tempar kerja, pondok, apalagi di sekolah. b. Calon mempelai perempuan yang mau diambil itu benar-benar bersedia untuk kawin dan bahkan pernah ada janji dengannya untuk kawin. c. Merariq harus dilakukan pada malam hari dari habis magrib samapai jam 23.00 Wita, dan terhina bagi yang Merariq pada siang hari d. Merariq harus dilakukan dengan cara-cara yang sopan dan bijaksana, tidak boleh dengan jalan paksaan, kekerasan, dan keusilan lainnya. e. Harus mengikutkan seorang perempuan dalam mengambil sebagai teman gadis calon mempelai guna menghindarinya hal-hal yang tidak diinginkan. f. Calon mempelai perempuan yang diambil itu harus dibawa ke rumah salah seorang keluarga pihak laki-laki guna menghindari keterkejutan atau kemarahan orangtua laki-laki karena tidak setuju, sehingga si perempuan tidak dapat mendengarkan kata-kata tidak senonoh yang keluar dari calon mertuanya. Di tempat ini, calon pengantin perempuan harus ditemani oleh seorang perempuan lain dari keluarga laki-laki 43 dan baru boleh pulang ke rumah orangtua laki-laki setelah selesai Betikah.11 g. Calon mempelai perempuan yang diambil harus segera diinformasikan keadaannya kepada kepala dusunnya dan keluargnaya atau tepesejati dan tepeselebar.12 3. Kemudian yang selanjutnya ialah Mesejati dan Selabar. Mesejati adalah pemberitahuan yang dilakukan oleh keluarga pengantin lakilaki kepada keluarga pengantin perempuan bahwa anak kedua keluarga tersebut telah kawin. Sedangkan Berselabar ialah penyeberahan kepada khalayak ramai tentang peristiwa Merariq yang terjadi. Orang yang datang mesejati paling sedikit 4 orang terdiri atas keliang (kepala dusun), kepala RT, kepala RW dan satu orang dari pihak keluarga pengantin laki. Keempat orang ini mendatangi kepala desa, kepala dusun dan ketua RT di mana pengantin perempuan bertempat tinggal yang selanjutnya bersama sama mendatangi orang tua dari pengantin wanita. Keempat utusan dari keluarga pengantin wanita melaporkan bahwa proses mbait wali13 dilakukan tanpa sepengetahuan keluarga calon pengantin perempuan. Untuk menghindari kecemasan orang tua calon pengantin wanita yang kehilangan anak gadisnya maka sesegera mungkin dilakukan pemberitahuan. Biasanya langsung bersamaan 11 Betikah dalam Bahasa Sasak Ialah Kawin/Nikah. M. Harfin Zuhdi, Praktik Merariq: Wajah Sosial Masyarakat..... h. 65-66. 13 Mbait Wali ialah seseorang yang diutus memberi kabar kepada kedua orang tua calon pengantin perempuan, bahwa anaknya siap untuk dinikahkan. 12 44 dengan acara merangkat atau kalau ditunda waktunya paling lambat tiga hari. Persoalan yang sering terjadi dalam penyelesaian adat ini adalah “ajikrama” dan permasalahan yang terkait dengan biaya penyelesaian upacara “begawe” (resepsi). Setelah semua kesepakatan ini diperoleh maka dilanjutkan dengan acara akad nikah yang diselenggarakan dirumah calon mempelai laki-laki. Pelaksaan akad nikah dilaksanakan sesuai aturan yang diberlakukan menurut syariat Islam. 14 4. Sorong serah atau ajikrama. Merupakan acara dalam upacara adat perkawinan di Lombok. yaitu acara pesta perkawinan pada waktu orangtua si gadis akan kedatangan keluarga besar mempelai lakilaki. Dalam acara ini keluarga perempuan juga mengadakan suatu acara selametan yang biasanya biaya ditanggung oleh pihak laki-laki atas dasar kesepakatan yang telah di tentukan pada saat pelaksanaan selabar. Pada saat ini juga dilakukan beberapa tagihan yang terkait dengan adat yang harus dilaksanakan, terutama berupa denda yang dikenakan kepada pihak laki-laki apabila dalam proses penyelesaian adat sebelum acara ini pernah terjadi pelanggaran-pelanggaran terhadap adat yang diperlukan.15 5. Nyongkol adalah kegiatan terakhir dari seluruh proses perkawinan. Kegiatan ini dilakukan secara bersamaan seluruh anggota keluarga mempelai laki-laki bersama masyarakat berkunjung kerumah 14 Sudirman. Bahrie. Lalu Ratmaja, Prosesi Perkawinan Masyarakat Gumi... h. 10. Wawancara Pribadi dengan Drs. H. Syahdan Ilyas MM (Ketua dari Forum Kerukunan Umat Beragama di Lombok, Nusa Tenggara Barat) Pada Tanggal 10 April 2017. 15 45 mempelai perempuan. Tujuannya adalah untuk menampakkan dirinya secara resmi dihadapan orangtuanya dan keluarga- keluarganya bahkan juga kepada seluruh masyarakat sambil meminta maaf serta memberi hormat kepada kedua orangtua pengantin perempuan. Kedua mempelai dalam kegiatan ini bagaikan sang raja dan permaisurinya yang diiringi oleh rakyatnya. Keduanya menggunakan pakaian serba mewah sebagaimana layaknya perlengkapan seorang raja bersama permaisurinya. Adapun bentuk pakaian yang dikenakan oleh kedua mempelai dalam acara nyongkol harus menggunakan pakaian sesuai ketentuan adat. Untuk menyamarkan kegiatan ini biasanya diiringi dengan berbagai kesenian tradisional, seperti gamelan, klentang dan kesenian tradisional Lombok lainnya.16 B. Karya dalam Tradisi Merariq yang menghasilkan Inovasi Kebudayaan Ketika seseorang yang melakukan perkawinan maka terdorong untuk bersikeras berjuang demi perkawinannya, alasannya adalah Dalam adat suku sasak yang unik ini mempelai laki-laki dituntut untuk bisa memberi mahar yang cukup fantastis kepada mempelai wanitanya. Sebagai contoh mahar yang harus diberikan berupa seekor kerbau atau seekor sapi, bagi para masyarakat suku pedalaman Sasak itu adalah bentuk mahar yang sangat besar tanggungannya.17 16 Sudirman. Bahrie. Lalu Ratmaja, Prosesi Perkawinan Masyarakat Gumi, h. 126. Wawancara Pribadi dengan Drs. H. Syahdan Ilyas MM (Ketua dari Forum Kerukunan Umat Beragama di Lombok, Nusa Tenggara Barat) Pada Tanggal 10 April 2017. 17 46 Jadi mereka para lelaki jika ingin pertahankan cintanya maka mereka haruslah berusaha keras untuk pencapaian mahar tersebut. Tetapi yang membuat inovasi dalam masyarakat sasak ini adalah “Merariq” itu sendiri, dimana para lelaki sudah siap rencana untuk membawa lari pasangannya agar dapat dinikahkan, disinilah bentuk kelihaian dan kematangan strategi para kaum lelaki suku sasak dalam Merariq. Pasangan yang sudah benar-benar serius ingin melangsungkan perkawinan dituntut untuk bisa meyakinkan kepala suku adat ketika pasangan yang sudah berhasil kabur dari kediaman mereka dan kembali setelah kedua orang tua mempelai melaporkan kejadiaan ini dan sudah mengetahui lokasi anakanak mereka masing-masing, bahwa mereka sudah saling siap satu sama lain untuk melangsungkan perkawinan.18 Permasalahan krusial ketika mempelai laki-laki tidak memiliki harta apapun pada dirinya, maka keputusan bagaimana dari orang tua mempelai wanita tetapi sejauh ini apabila hal ini terjadi biasanya orang tua dari mempelai wanita memberikan waktu untuk pria tersebut memenuhi maharnya dalam tempo waktu yang ditentukan dengan kata lain (hutang mahar). Jadi sebagai gantinya mahar saat penikahan berlangsung bisa berupa berapapun jumlah uang yang dimiliki atau harta benda yang ada pada diri mempelai laki-laki tersebut.19 Pada saat ingin melangsungkan perkawinan biasanya para kaum wanita haruslah bisa menjahit dan merajut karena pada dasarnya mata 18 Sudirman. Bahrie. Lalu Ratmaja, Prosesi Perkawinan Masyarakat Gumi, h. 100. Wawancara Pribadi dengan Drs. H. Syahdan Ilyas MM (Ketua dari Forum Kerukunan Umat Beragama di Lombok, Nusa Tenggara Barat) Pada Tanggal 10 April 2017. 19 47 pencaharian mereka para suku sasak ini adalah bertani. Jadi apabila musim hujan sudah melanda maka penghasilan dari bertani mereka bisa kurang hingga 70% dari biasanya. Maka dari itu solusi dari mereka para wanita suku sasak yang nantinya akan melangsungkan perkawinan adalah harus bisa menjahit atau merajut dan hasilnya dijual ke sekitar desa bahkan bisa sampai Kota Mataram. Semua ini juga demi kelangsungan hidup anak mereka dan keturunannya kelak.20 Rata-rata survei yang sudah dilakukan bahwa masyarakat suku Sasak Merariq muda. Mulai dari kalangan remaja lulusan SMA sampai baru lulus SMP sudah melakukan Merariq, jadi bisa dibayangkan bagaimana mereka yang ingin Merariq sudah harus berfikir dewasa untuk bisa membawa lari wanita yang dicintainya. Sedangkan apabila sudah dibawa lari tetapi pada ujungnya orang tua wanita tetap tidak mau merestui maka keduan pasangan lari ini akan sangat malu pada masyarakat desa. Bagaimana tidak karena ketika kejadian bawa lari itu terjadi maka kepala suku dan orang tua para anak pasti menyebarkan berita tersebut, jadi seluruh masyarakat di desa itu pasti mendengar dan mengetahuinya. Maka dari itu kebanyakan para orang tua merestui anak-anaknya yang sudah sama-sama mencintai karena takut omongan dan kebencian masyarakat terhadap anaknya.21 C. Tujuan dalam Tradisi Merariq yang menghasilkan Nilai Kebudayaan 20 Wawancara Pribadi dengan Mahardika (Pemangku Adat Sasak di Desa Sade Lombok, Nusa Tenggara Barat) Pada Tanggal 10 April 2017. 21 Wawancara Pribadi dengan Drs. H. Syahdan Ilyas MM (Ketua dari Forum Kerukunan Umat Beragama di Lombok, Nusa Tenggara Barat) Pada Tanggal 10 April 2017. 48 Merariq sebagai sebuah tradisi yang biasa berlaku pada suku Sasak memiliki logika tersendiri yang unik. Bagi masyarakat sasak, Merariq berarti mempertahankan harga diri dan menggambarkan sikap kejantanan seorang laki-laki sasak karena ia berhasil mengambil (melarikan) seorang gadis pujaan hatinya. Sementara pada sisi lain, bagi orang tua gadis yang dilarikan juga cenderung resisten, kalau tidak dikatakan menolak untuk memberikan anaknya begitu saja jika diminta secara biasa (konvensional). Hal ini dikarenakan mereka beranggapan bahwa anak gadisnya adalah sesuatu yang berharga, jika diminta secara biasa, maka dianggap seperti meminta barang yang tidak berharga. Ada ungkapan yang biasa diucapkan dalam bahasa Sasak: Ara’m ngendeng anak manok baen (seperti meminta anak ayam saja). Jadi dalam konteks ini, Merariq dipahami sebagai sebuah cara untuk melakukan prosesi pernikahan, disamping itu juga cara untuk keluar dari konflik. Mengapa seperti itu, karena pengertian dari Merariq atau kawin lari itu, bisa karena orang tua sang gadis tidak merestui pernikahan anaknya, dikarenakan harus sang laki-laki melarikan anak perempuannya, maka mau tidak mau itu harus di kawinkan tetapi tetap ada bayar denda karena sudah melarikan anak gadis orang.22 Munculnya stratifikasi sosial disebabkan karena adanya perbedaan tinggi rendah kedudukan seseorang dalam masyarakat sehingga menyebabkan adanya kedudukan yang dinilai lebih tinggi dari kedudukan 22 Wawancara Pribadi dengan Drs. H. Syahdan Ilyas (Ketua Forum Kerukunan Umat Beragamadi Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat) Pada Tanggal 10 April 2017. 49 yang lainnya.23 Sistem ini merupakan ciri yang tetap dan umum dalam setiap masyarakat yang hidupnya teratur. Begitu juga dengan masyarakat suku Sasak di Lombok. pelapisan masyarakat di daerah ini didasarkan pada kebijaksanaan, keberanian, kebesaran darma, dan asal-usul keturunan. Stratifikasi sosial merupakan berbagai macam susunan hubungan antarindividu yang menyebabkan adanya berbagai sistem dalam masyarakat. Konsep stratifikasi sosial suku sasak pada umumnya banyak ditentukan oleh susunan keluarga yang berawal dari perkawinan yang disebut nurut mama (dibaca: mame).24 Artinya, garis keturunan darah ditekankan pada laki-laki (garis bapak). Garis keturunan ini memberi pengaruh pada pembentukan lapisan sosial dan pola kekerabatan dalam sistem kemasyarakatan etnis suku Sasak. Perkawinan seorang perempuan bangsawan dengan laki-laki dari lapisan status sosial rendah, maka anak yang di lahirkan tidak berhak menggunakan identitas kebangsawanan ibunya. 25 Demikian pula sebaliknya, anak yang di lahirkan akan diberikan hak untuk menggunakan atribut kebangsawanannya apabila ia dilahirkan oleh seorang laki-laki dari kalangan bangsawan, walaupun ibunya dari lapisan sosial jajar karang (rakyat biasa). Struktur sosial dengan konsep 23 Wayan Geriya, Beberapa Segi Tentang Masyarakat dan Sistem Sosial (Denpasar: Universitas Udayana, 1981), h. 36. 24 Idrus Abdullah, Penyelesaian Sengketa Melalui Mekanisme Pranata Lokal di Kabupaten Lombok Barat, Disertasi (Jakarta: Fakultas Hukum Program Pasca Sarjana UI, 2000), h. 105. 25 M. Harfin Zuhdi, Praktik Merariq: Wajah Sosial Masyarakat, h. 33-34. 50 nurut mama ini, kemudian membentuk sistem kewarisan yang menitikbertakan kepada pola kekerabatan patrilineal.26 Menurut M. Nur Yasin (2006:73-75), setidaknya ada empat prinsip dasar yang terkandung dalam praktik kawin lari (Merariq) di pulau Lombok:27 1. Prestise keluarga perempuan. Kawin lari (Merariq) dipahami dan diyakini sebagai bentuk kehormatan atas harkat dan martabat keluarga perempuan. Atas dasar keyakinan ini, seorang gadis yang dilarikan sama sekali tidak dianggap sebagai sebuah wanprestasi (pelanggaran sepihak) oleh keluarga lelaki atas keluarga perempuan. Seorang gadis yang dilarikan merasa dianggap memiliki keistimewahan tertentu sehingga menarik hati lelaki. Ada anggapan yang mengakar kuat dalam struktur memori dan mental masyarakat tertentu di Lombok, bahwa dengan dilarikan berarti anak gadisnya memiliki nilai tawar ekonomis yang tinggi. Konsekuensinya, keluarga perempuan merasa terhina jika perkawinan gadisnya tidak dengan kawin lari (Merariq). 2. Superioritas lelaki, inferioritas perempuan. Satu hal yang tidak bisa dihindarkan dari sebuah kawin lari (Merariq) adalah seseorang lelaki tampak sangat kuat, menguasai, dan mampu menjinakkan kondisi sosial psikologis calon isteri. Terlepas apakah dilakukan atas dasar suka sama suka dan telah direncanakan sebelumnya maupun belum direncanakan sebelumnya, kawin lari (Merariq) tetap memberikan 26 Patrilineal adalah garis keturunan dari Ayah. Fachrir Rahman, Pernikahan di Nusa Tenggara Barat antara Islam dan Tradisi (Mataram: LEPPIM IAIN Mataram, 2012), h. 116-117. 27 51 legitimasi yang kuat atas superoritas lelaki. Pada sisi lain menggambarkan sikap inferioritas, yakni ketidakberdayaan kaum perempuan atas segala tindakan yang dialaminya. Kesemarakan Merariq memperoleh kontribusi yang besar dari sikap-sikap yang muncul dari kaum perempuan berupa rasa pasrah atau bahkan menikmati suasana inferioritas tersebut. 3. Egalitarianisme. Terjadinya kawin lari (Merariq) menimbulkan rasa kebersamaan (egalitarian) dikalangan seluruh keluarga perempuan. Tidak hanya bapak, ibu, kakak, dan adik, tetapi paman, bibi, seluruh sanak saudara dan handai taulan ikut terdorong sentimen keluarganya untuk ikut menuntaskan keberlanjutan kawin lari (Merariq). Kebersamaan melibatkan komunitas besar masyarakat di lingkungan setempat. Proses penuntasan kawin lari (Merariq) tidak selalu berakhir dengan dilakukannya pernikahan, melainkan adakalanya berakhir dengan tidak jadi pernikahan, karena tidak ada kesepakatan antara pihak keluarga calon suami dengan keluarga calon isteri.berbagai ritual, seperti mesejah, mbaitwali, sorong serah, dan sebagainya merupakan bukti kongkret kuatnya kebersamaan di antara keluarga dan komponen masyarakat. 4. Komersil. Terjadinya kawin lari selalu berlanjut ke proses tawar menawar pisuke. Proses nego berkaitan dengan besaran pisuke yang biasanya dilakukan dalam acara mbait wali sangat kental dengan nuansa bisni. Apapun alasannya, dan dominan sepanjang acara mbait 52 wali. Ada indikasi kuat bahwa seorang wali merasa telah mmbesarkan anak gadisnya tersebut memperoleh ganti dari calon menantunya. Semakin tinggi tingkat pula nilai tawar sang gading. Sebaliknya, semakin rendah tingkat sosial dan tingkat pendidikan anak serta orang tua semakin rendah pula nilai ekonomis yang ditawarkan. BAB IV FAKTOR DOMINAN ANTARA AGAMA DAN BUDAYA DALAM TRADISI MERARIQ A. Tujuan Merariq Perkawinan merupakan suatu peristiwa penting dalam kehidupan suku Sasak. Seseorang baru dianggap sebagai warga penuh dari suatu masyarakat apabila ia telah berkeluarga. Dengan demikian ia akan memperoleh hak-hak dan kewajiban baik sebagai warga kelompok kerabat atau pun sebagai warga masyarakat. Sebagaimana perkawinan menurut Islam dikonsepsikan sebagai jalan mendapatkan kehidupan berpasang-pasangan, tenteram dan damai (mawaddah wa rahmat) sekaligus sebagai sarana pelanjutan generasi (mendapatkan keturunan), maka perkawinan bagi masyarakat Sasak juga memiliki makna yang sangat luas, bahkan menurut orang Sasak, perkawinan bukan hanya mempersatukan seorang laki-laki dengan seorang perempuan saja, tetapi sekaligus mengandung arti untuk mempersatukan hubungan dua keluarga besar, yaitu kerabat pihak laki-laki dan kerabat pihak perempuan. Berdasarkan tujuan besar tersebut, maka terdapat tiga macam perkawinan dalam masyarakat Sasak, yaitu :1 1. Perkawinan antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan dalam satu kadang waris yang disebut perkawinan betempuh pisa’ (misan dengan misan/cross cousin). 1 Fachrir Rahman, Pernikahan di Nusa Tenggara Barat antara Islam dan Tradisi (Mataram: LEPPIM IAIN Mataram, 2013), h.115. 53 54 2. Perkawinan antara laki-laki dan perempuan yang mempunyai hubungan kadang jari (ikatan keluarga) disebut perkawinan sambung uwat benang (untuk memperkuat hubungan kekeluargaan). 3. Perkawinan antara pihak laki-laki dan perempuan yang tidak ada hubungan perkadangan (kekerabatan) disebut perkawinan pegaluh gumi (memperluas daerah/wilayah). Dengan demikian, semakin jelas bahwa tujuan perkawinan menurut adat sasak adalah untuk melanjutkan keturunan, memperkokoh ikatan kekerabatan, dan memperluas hubungan kekeluargaan.2 Proses tawar menawar dalam kawin lari tampak kuat dan tertuntut untuk selalu dilaksanakan apabila suami isteri yang menikah sama-sama berasal dari suku Sasak. Jika salah satu di antara calon suami isteri berasal dari luar suku Sasak, ada kecenderungan bahwa tuntutan dilaksanakannya tawar menawar agak melemah. Hal ini terjadi karena ternyata ada dialog peradaban, adat, dan budaya antara nilai-nilai yang dipegangi oleh masyarakat Sasak. Kontak dialogis budaya dan peradaban yang kemudian menghasilkan kompromi sama sekali tidak menggambarkan inferioritas budaya Sasak, tetapi justru sebaliknya, budaya dan peradaban Sasak memiliki kesiapan untuk berdampingan dengan budaya dan peradaban luar Sasak. Sikap ini menunjukkan adanya keterbukaan masyarakat Sasak bahwa memulai kebaikan dan kebenaran 2 M Harfin Zuhdi, Praktik Merariq: wajah sosial Masyarakat Sasak (Mataram: LEPPIM IAIN Mataram, 2012), h.58. 55 dari manapun asalnya bisa dipahami dan bahkan diimplementasikan oleh masyarakat suku Sasak.3 Bisa dikatakan bahwa tujuan dari pada Merariq itu sebenarnya adalah sebuah hal penyimpangan kalau di sandingkan dengan hukum Islam atau ketentuan lainnya. Maksud dari kata penyimpangan disini bahwasanya, dari yang peneliti ketahui bahwa ada 2 perspektif Merariq yang berbeda. Yang pertama diketahui orangtua tetapi tetap melakukan Merariq karna merupakan proses adat. Yang kedua karena tidak diketahui orangtua yang menjadikan sebuah penyimpangan karena melanggar hukum juga agama. Sebenarnya Merariq ini bisa dikatakan legal jika proses adatnya sesuai dengan proses adat yaitu kesepakatan orangtua, dan juga bisa dikatakan ilegal jika Merariq ini tidak melalui kesepakatan orangtua, atau jalan keluar jika sepasang kekasih tidak mendapat restu dari orangtua. Merariq hampir ditinggalkan, dan beberapa praktik adat yang telah mengalami metamorfosa dan perubahan paradigma di masyarakat Sasak tentang perspektif Merariq ini setelah mendalami ajaran agama Islam dan fenomena perkawinan adat lain di Indonesia seperti yang terjadi di Jawa dan Pulau Sumbawa. Dalam perubahan ini memang tidak bisa secara sekaligus, tetapi secara bertahap, dan dimulai oleh warga Sasak yang berpendidikan dan memiliki pengalaman di daerah lain. Sekitar hanya 3 % dari suku Sasak yang 3 Zuhdi, Praktik Merariq.... h.57. 56 masih melakukan Merariq. Salah satu alasan mengapa Merariq mulai ditinggalkan karena sulitnya memenuhi persyaratan adat perkawinannya, juga tradisi adat Sasak Lombok ini sebenarnya sudah banyak yang paralel dengan ajaran Islam, seperti soal pisuke dan nyongkolan.4 Pisuke5 sesuai dengan namanya tidak boleh ada unsur pemaksaan, tetapi harus ada kerelaan keluarga kedua belah pihak. Pemberian Pisuke dalam budaya Sasak bukan berarti memperjualbelikan anak perempuan. Namun, pemberian uang/barang pisuke lebih dimaknai sebagai penghargaan atas jerih payah yang dilakukan oleh keluarga sang gadis dalam membesarkan dan mendidiknya selama puluhan tahun, hingga dewasa dan siap dinikahkan. Selain itu, diharapkan dengan adanya tradisi pemberian pisuke akan mengurangi kebiasaan pria untuk melakukan kawin cerai, yang dampak negatifnya banyak tertumpu kepada pihak perempuan. Dengan adanya tradisi tersebut, nantinya bisa menjadi pemikiran dan pertimbangan jika suatu saat sang pria hendak menceraikan istrinya.6 Maksud pertimbangan disini ialah dalam tradisi Merariq ada adat yang namanya Pisuke yakni kegiatan transaksi atau negosiasi terkait mahar untuk mempelai wanita. Kegiatan ini kadang 4 M. Nur Yasin, “Kontekstualisasi Doktrin Tradisional Di Tengah Modernisasi Hukum Nasional: Studi tentang Kawin Lari (Merari’) di Pulau Lombok”, Jurnal Istinbath No. I Vol. IV Desember 2006, h. 73-75. 5 Pisuke yakni kegiatan transaksi atau negosiasi terkait mahar untuk mempelai wanita. Kegiatan ini kadang dilakukan dalam waktu yang relative lama dan juga sangat singkat. Tergantung kesepakatan keluarga kedua belah pihak. Faktor strata sosial dan ekonomi sangat menentukan jalannya acara pisuke tersebut. 6 Yasin, Kontekstualisasi Doktrin......,h. 82-83. 57 dilakukan dalam waktu yang relative lama dan juga sangat singkat. Tergantung kesepakatan keluarga kedua belah pihak. Faktor strata sosial dan ekonomi sangat menentukan jalannya acara Pisuke tersebut. Itulah mengapa adat Pisuke ini dilakukan selain untuk menghargai perempuan tetapi juga untuk menghindari perceraian karena proses awal atas mahar yang diberikan kepada wanita pada diawal pernikahan menjadi pertimbangan oleh laki-laki untuk menceraikan istrinya kelak. Demikian juga acara nyongkolan7 merupakan sarana pengumuman dan silaturrahmi sebagaimana yang dianjurkan oleh Nabi Muhammad saw. penyalahgunaan yang Hanya oleh saja oknum dalam pada kasus tertentu acara terjadi nyongkolan menyebabkan terjadinya pertikaian, mabuk-mabukan dengan minuman keras dan meninggalkan sholat, maka perilaku inilah yang perlu dihindari dalam praktek nyongkolan. Singkatnya, orang Sasak lah yang banyak melanggar aturan/adat sasak itu sendiri. Pernikahan Sasak juga merupakan pengejawantahan keyakinan masyarakat Sasak terhadap Tuhan. Pelaksanaan Merarik, upacara batobat, selamatan tampah wirang, metikah buah lekuk, bedak keramas, 7 Tradisi nyongkolan mengantar mempelai perempuan kepada pihak keluarga setelah beberapa saat dilarikan ke rumah pihak keluarga mempelai laki-laki. Tradisi ini biasanya melibatkan banyak orang (ratusan hingga ribuan orang) yang menggunakan pakaian adat Sasak Lombok, sebagai bentuk penghormatan dan penghargaan pihak keluarga mempelai laki-laki kepada keluarga mempelai perempuan, sekaligus diikuti dengan tradisi minta maaf pengantin lakilaki dan juga pengantin perempuan atas dosa dan kesalahannya selama ini, khususnya saat mencari / melarikan mempelai perempuan. Tradisi ini juga biasanya diiringi dengan musik-musik dan tarian tradisional khas Sasak-Lombok. 58 dan metikah merupakan ekspresi keberagamaan akulturatif masyarakat Sasak. Melalui upacara perkawinan tersebut, masyarakat Sasak mempertontonkan pemahamanan keagamaan yang khas. Mungkin saja ekspresi keberagamaan tersebut tidak sejalan dengan ekspresi keberagamaan arus utama, tapi yang harus disadari adalah bahwa masyarakat Sasak telah menunjukkan bagaimana menyikapi adanya batas-batas liminal antara adat dan agama dengan menggunakan idiomidiom lokal.8 Karena ekspresi keberagamaan adat Sasak tidak sejalan dengan ekspresi keberagamaan arus utama yang membuat mereka tetap memliki batasan atas adat lokal, maka dari itu masyarakat Sasak sangat percaya menghargai tradisi mereka yang ada dari nenek moyang mereka. Dan beberapa pendapat ulama di Lombok tentang perkawinan Merariq hampir semuanya tidak setuju, karena bagaimanapun Merariq keluar dari konteks ajaran agama Islam. Salah satu narasumber yang diwawancarai oleh penulis adalah Ir. H. Ikhsan Gemala Putra, beliau adalah seorang pengamat budaya Sasak di Lombok/budayawan Sasak di Lombok Nusa Tenggara Barat. Beliau sendiri tidak menyetujui tentang perkawinan Merariq tersebut, tetapi beliau tidak berusaha untuk mengusik atau melarangnya, karena itu sudah jadi bagian adat tradisi suku Sasak, maka 8 Wawancara Pribadi dengan Drs. H. Lalu Mudjitahid (Ketua Masyarakat Adat Sasak di Lombok, Nusa Tenggara Barat) Pada Tanggal 08 April 2017. 59 bagi masyarakat yang meyakininya silahkan saja.9 B. Alasan Merariq Membicarakan pernikahan Sasak, tidak bisa tidak membicarakan Merariq, yaitu melarikan anak gadis untuk dijadikan istri. Merariq sebagai ritual memulai perkawinan merupakan fenomena yang sangat unik, dan tidak hanya dapat ditemui di masyarakat Sasak, Lombok, Nusa Tenggara Barat. Tradisi ini tidak hanya ada di Sasak tetapi juga berbagai adat daearah lain seperti Marlojong atau mangalua pada masyarakat Angkola di Batak. Tradisi perkawinan Marlojong „kawin lari‟ pada masyarakat Angkola merupakan satu kebiasaan apabila perkawinan yang umum tidak dapat dilakukan. Untuk itu, perlu diketahui dan dipahami dengan baik perkawinan menurut adat Dalihan na Tolu ini di daerah Angkola. Dalam tradisi ini memberikan penjelasan untuk lebih mengenal perkawinan Marlojong „kawin lari‟, salah satu cara perkawinan pada masyarakat Angkola. Jadi, perkawinan Marlojong ini merupakan jalan keluar yang akan ditempuh oleh sepasang muda-mudi Angkola apabila mereka memperoleh kesulitan dan kendala yang tidak dapat diselesaikan.10 Jadi tidak hanya ada di masyarakat Sasak saja yang 9 Wawancara Pribadi dengan Ir. H. Iksan Gemala Putra (Budayawan Sasak di Lombok, Nusa Tenggara Barat) Pada Tanggal 09 April 2017. 10 E.H. Tambunan, Sekelumit Mengenai Masyarakat Batak Toba dan Kebudayaannya (Bandung: Tarsito, 1982), h. 136. 60 melakukan „kawin lari‟ tetapi di masyarakat Batak juga terkenal Tradisi Marlojong. Tradisi Merariq ini menjadi cara paling terhormat bagi lakilaki Sasak untuk menikahi seorang perempuan. Alasannya, karena Merariq memberikan kesempatan kepada para pemuda, yang hendak beristri, untuk menunjukkan kejantanannya. Sifat jantan merupakan simbolisasi sosok suami yang bertanggung jawab dalam segala kondisi terhadap keberlangsungan keluarganya. Laki-laki yang melakukan Merariq telah membuktikan dirinya sebagai seorang pemberani. Terdapat beberapa alasan mengapa Merariq dilakukan. Pertama, untuk menunjukkan kesungguhan si laki-laki terhadap si gadis. Kedua, menunjukkan keberanian, seperti seorang ksatria. Ketiga, karena alasan sejarah. Keempat, karena alasan kompetisi. Akan tetapi sekarang ini adat Merariq telah banyak mengalami pergeseran nilai dan praktik yang disebabkan kurangnya pemahaman pelaku Merariq terhadap ketentuan adat dan ajaran agama.11 Seiring perkembangan zaman, jumlah orang yang melakukan Merariq semakin sedikit. Tetapi bukan berarti berkurangnya laki-laki yang hilang kejantannya, melainkan karena ada beberapa kasus di beberapa adat tradisi misalnya seperti nyongkolan. Bahwa yang telah dijelaskan diatas, membuat Merariq hanya dijadikan simbol tradisi dan 11 Wawancara Pribadi dengan Drs. H. Lalu Mudjitahid (Ketua Masyarakat Adat Sasak di Lombok, Nusa Tenggara Barat) Pada Tanggal 08 April 2017. 61 karena semakin zaman berkembang sudah banyak orang-orang yang berpendidikan membuat pemikiran mereka lebih berkembang dan mencari jalan lain untuk melangsungkan perkawinan. Akan tetapi mereka tetap menghormati tradisi adat Sasak dengan masih melakukan adat-adat yang pantas sampai saat ini dan mudah dilakukan dan meninggalkan yang sudah tidak cocok di zaman sekarang ini. Pada saat ini Merariq yang dilakukan terkadang hanya bersifat simbolis belaka, yaitu dengan “sepengetahuan” kedua orang tua si gadis. Perkelahian yang mungkin timbul akibat dari tertangkapnya orang yang melakukan Merariq juga dilakukan hanya untuk menggugurkan ketentuan adat.12 Terlepas dari semakin tidak populernya Merariq sebagai ritual awal perkawinan Sasak, ritual ini telah melahirkan sebuah perkawinan khas masyarakat Sasak. Mas kawin yang harus diserahkan oleh pihak laki-laki, misalnya, disebut sajikrama (hadiah kawin lari). Barang yang digunakan sebagai sajikrama merupakan sanksi yang dibebankan kepada mempelai laki-laki karena melarikan anak gadis orang. Oleh karenanya, besar sajikrama dihitung berdasarkan pelanggaran yang mungkin saja terjadi sebelum, selama, dan sesudah penculikkan.13 Kemungkinan denda yang harus dibayarkan antara lain: pertama, ngampah-ngampah ilen pati. Denda ini dijatuhkan karena orangtua 12 Wawancara Pribadi dengan Drs. H. Syahdan Ilyas MM (Ketua Forum Kerukunan Umat Beragama di Lombok, Nusa Tenggara Barat) Pada Tanggal 10 April 2017. 13 Wawancara Pribadi dengan Mahardika (Pemangku Adat Sasak desa Sade Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat) Pada Tanggal 29 Maret 2017. 62 mempelai wanita berasa bahwa sebelum, selama, dan sesudah melarikan si gadis, mempelai pria telah mempermalukan anak mereka, misalnya sebelum acara Merariq si pria mengunjungi si gadis terlebih dahulu. Padahal menurut adat Sasak, seorang pemuda tidak boleh mengunjungi gadis yang hendak di culik. Kedua, terlambat salabar. Denda yang harus dibayar oleh mempelai laki-laki apabila orangtua mempelai perempuan menganggap keluarga mempelai pria terlambat mengabarkan penculikan anak gadis mereka. Menurut adat Sasak, waktu toleransi untuk memberikan kabar penculikan adalah tiga hari. Lebih dari tiga hari, maka pihak pengantin laki-laki harus membayar denda terlambat selabar. Bahkan, adakalanya juga harus membayar ngampah-ngampah ilen pati karena telah membikin malu keluarga pengantin wanita. Ketiga, dosan jeruman. Denda ini harus dibayarkan oleh mempelai laki-laki karena dia menggunakan perantara dalam melakukan pelarian diri anak gadis orang. Keempat, lain keliang. Denda yang dibayarkan karena mempelai pria berasal dari tempat yang berbeda, misalnya si gadis berasal dari Sasak, sedangkan mempelai prianya berasal dari Jawa. Kelima, ajin gubug. Denda ini dibayarkan atas permintaan komunitas tempat mempelai wanita tinggal. Keenam, turunan bangsa. Denda ini dibebankan kepada pengantin pria yang mempunyai status sosial lebih rendah daripada pengantin perempuan. Oleh karenanya perkawinan model ini menyebabkan status sosial perempuan menjadi turun, maka pembayaran 63 turunan bangsa pada hakekatnya adalah kompensasi kehilangan status sosial tersebut. Semakin tinggi status sosial perempuan, semakin besar pula denda turunan bangsa yang harus dibayarkan oleh pihak mempelai laki-laki.14 Beragam denda yang mengikuti Merariq, yang menjadikan biaya yang harus ditanggung pengantin laki-laki sngat besar. Kondisi seperti ini yang semakin memudarnya tradisi Merariq, tidak hanya memberatkan mempelai laki-laki tetapi juga meletakkan perempuan pada posisi dilematis. Aturan-aturan tersebut menyebabkan perempuan tidak bebas memilih pasangan hidupnya, karena harus menunggu orang yang mampu membayar sajikrama. Maka dari itu semakin lama banyak orang tidak menggunakan adat Sasak dalam perkawinannya karena biaya yang harus dikeluarkan sangat mahal.15 C. Perspektif Merariq Peneliti telah berbincang dengan ketua Adat Masyarakat Sasak16, beliau berbicara bahwa, asal kata Merariq dari perilaku kesengajaan berpaling atau memalingkan muka, menutup mata. Misalnya, salah seorang perempuan mau Merariq dengan pacarnya yaitu pemuda kampung sebelah dan telah disebutkan namanya kepada ibunya. 14 Erni Budiwanti, Islam Sasak: Wetu Telu versus Waktu Lima (Yogyakarta: LkiS, 2000), h. 252-254. 15 Budiwanti, Islam Sasak...... h. 261. 16 Wawancara Pribadi dengan H. Lalu Mudjitahid (Ketua Masyarakat Adat Sasak di Lombok, Nusa Tenggara Barat) Pada Tanggal 08 April 2017. 64 Lalu disarankan oleh ibunya agar tidak melamar dikarenakan saudara jauh mau menikahi juga dan ada pula tetangga yang menaruh minat untuk datang melamar. Agar tidak terjadi perpecahan antar keluarga atau tetangga, maka orang tua bilang 'palingin keentan'. "Si ibu berpura-pura menutup mata atau berpaling 'palingin keentan', lalu membiarkan pergi atau lari anak perempuannya dengan lelaki yang datang Merariq itu. Tapi itu disepakati dan merupakan rekayasa adat untuk menjaga hubungan agar tidak retak. Karena salah satu tujuan dari pada Merariq yang sudah pernah dijelaskan, itu menyambung tali persaudaraanan antara sesama misan atau sepupu, jadi dalam masyarakat Sasak, rata-rata mereka menikah sesama sepupu/misan untuk menyambung tali persaudaraan. Kenapa keluarga tidak dikasih tetapi orang lain dikasih, karena sebagian keluarga ada yang orangtuanya memberi kebebasan terhadap anaknya untuk memilih pasangan hidupnya. Jadi dari pada terjadi perselisihan diantara keluarga lebih baik di larikan. Itulah asal usul Merariq yang sebenarnya bukan kawin lari dalam artian kawin lari ilegal.17 Itulah yang pada saat ini Merariq yang masih dijalankan oleh beberapa masyarakat Sasak sekitar 3% yang dijelaskan diatas. Walaupun begitu, itu sudah bermetamorfosa dari tradisi perkawinan Sasak yang asli, yang mana ada kisah sebuah mitos. Konon, dulu di Lombok ada seorang raja dengan putri yang sangat cantik. Karena terlalu cantiknya, semua 17 Zuhdi, Praktik Merariq....., h.57. 65 pria suka padanya dan berlomba-lomba melamarnya. Maka sang Raja mendirikan sebuah kamar dengan sistem penjagaan yang sangat ketat. Lalu raja memberi tantangan, "Barangsiapa berhasil menculik putriku, akan kunikahkan dia dengan putriku," Dari situ, pria-pria Lombok memiliki kebanggaan jika berhasil menculik orang yang dicintainya. Maka, jika sudah berhasil terculik, pihak keluarga perempuan harus rela anaknya dinikahkan dengan sang penculik. Maka dari itu satu perempuan di kampung adat Sade/orang Lombok pacarnya banyak bisa sampai delapan, karena tidak ada istilah pacaran, siapa cepat menculik atau mengajak kabur maka ia yang berhasil menjadi ksatria. Saat peneliti masuk ke Bale Tani18, ruang pertama langsung terisi oleh kasur bertingkat tempat orang tua tidur. Kasur ada di sebelah tangga menuju lantai dua. Di lantai dua ada dapur, di sebelahnya terdapat kamar kecil dengan satu kasur dan selimut. Kamar kecil di sebelah dapur itu kamar gadis, diletakan paling belakang agar tidak mudah diculik anaknya. Itulah tradisi adat Sasak yang asli yang pernah dijelaskan pada sub sebelumnya, alasan Merariq membuat lelaki Lombok menjadi kstria karena berani melarikan anak gadis orang dan menjadi pria sejati kalau berani melarikan berarti berani bertanggung jawab atas pernikahannya kelak.19 Perspektif Merariq ialah berbeda-beda ada yang berpandangan 18 Salah satu rumah adat tradisional di Desa Sade. 19 Wawancara Pribadi dengan Mahardika (Pemangku Adat Sasak desa Sade Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat) Pada Tanggal 29 Maret 2017. 66 bahwa masyarakat Islam sasak terhadap Merariq ada dua pendapat. Pertama, pandangan masyarakat biasa, yang mengatakan bahwa Merariq tidak ada masalah selama dilakukan dengan ketentuan adat dan ajaran agama. Kedua, pandangan kaum terdidik, mereka lebih melihat pada dampak dari mulai proses awal sampai akhir. Sehingga sebaiknya perlu dicarikan alternatif yang lebih sederhana dan baik untuk menghindari dampak negatif yang muncul.20 Dari hasil yang penulis wawancarai bahwa masyarakat Sasak yang saat ini mulai meninggalkan tradisi Merariq ialah yang sudah mengenal Islam yang sesungguhnya, banyak pendakwah Islam yang menyebar diseluruh pulau Lombok yang mulai mengajarkan Islam sesungguhnya kepada masyarakat Sasak. Jadi salah satu alasan tradisi Merariq di zaman ini mulai pudar karena fakor penyempurnaan Agama Islam yang disebarkan oleh pendakwah Islam di pulau Lombok yang semakin banyak. Dan juga faktor modernisasi zaman, yang membuat pola fikir manusia yang berbeda. Tetapi semakin berkembangnya zaman, dan mudahnya pendakwah menyebarkan ajaran agama Islam, juga pendidikan di Indonesia yang meningkat sehingga banyak sekali generasi muda yang mulai berfikir lebih rasional dibandingkan dengan orangorang zaman dahulu, akan tetapi orang-orang tersebut tetap menjaga 20 Harfin Zuhdi, Muhammad dkk, Lombok Mirah Sasak Adi: Sejarah Sosial, Islam, Budaya, dan Ekonomi, (Jakarta: Imsak Press, 2011), h. 10. 67 tradisi keturunan mereka supaya tidak benar-benar musnah. Karena, bagaimanapun adat tradisi harus tetap ada dalam suatu daerah untuk menjadikan ciri khas daerah tersebut, walaupun hanya beberapa persen.21 21 Wawancara Pribadi dengan Ir. H. Iksan Gemala Putra (Budayawan Sasak di Lombok, Nusa Tenggara Barat) Pada Tanggal 09 April 2017. BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan penelitian yang telah dilaksanakan, peneliti dapat mengambil kesimpulan sebagai berikut : 1. Terjadinya integrasi agama dengan Budaya ialah antara Wetu Telu dengan Merariq tersebut. Maksudnya adalah hubungan Wetu Telu dengan Merariq yaitu praktik yang terjadi dalam Merariq tersebut adalah ketentuan dari pada Wetu Telu yang mana, telah dijelaskan di bab sebelumnya bahwa Wetu Telu ini perpaduan antara Islam dan Hindu. Yang mana dalam konsep Islamnya ini hanya ada solat Jum’at, solat Idul Fitri dan solat Idul Adha, sedangkan dalam konsep Hindunya, Wetu Telu ini masih menggunakan unsur-unsur mistik seperti sesajen, dll. Sudah sempat dijelaskan juga bahwa Merariq merupakan percampuran antara Islam dan Hindu. Jadi ada hubungannya antara Wetu Telu dan Merariq, yaitu dari cara praktik dan sejarah awalnya. Konsep agama atau keyakinan yang melahirkan Merariq ialah Wetu Telu tersebut yang sudah dijelaskan diatas tadi bahwa, praktik yang terjadi dalam Merariq merupakan lahir dari konsep Wetu Telu. 2. Dari beberapa penjelasan di setiap bab telah dijelaskan bahwa format dari pada Merariq di Lombok sudah sangat jelas bahwa praktik yang terjadi dalam Merariq tersebut sangat kental Budayanya. Dari perpaduan antara budaya Sasak, juga budaya Hindu Bali dan ada Unsur Islamnya juga di dalam praktik Merariq. Ini yang sangat jelas bahwa Merariq merupakan integrasi agama dengan budaya yang menghasilkan praktik perkawinan Merariq. 68 69 3. Perkawinan Merariq yang terjadi di masa depan dengan persoalan tuntutan kehidupan modern sungguh sangat berat, karena telah kita ketahui bahwa hampir sebagian kebudayaan di Indonesia hampir mengalami kepunahan karena, jarangnya kepedulian manusia terhadap kebudayaannya sendiri. Yang telah kita ketahui bahwa dunia semakin modern, zaman semakin maju yang membuat adat tradisi hamoir ditinggalkan karna pola fikir manusia yang semakin modern juga pergeseran makna yang sempit terhadap tradisi budaya menjadi luas karena ilmu yang modern. Jika kita melihat apakah sama rasanya sepasang kekasih yang melakukan Merariq dengan yang tidak melakukan Merariq. Itu kita bisa lihat dari individu orangnya, sebagian orang sasak mungkin sangat bahagia jika menikahnya menggunakan proses adat Merariq karena merupakan kebanggan tersendiri bagi orang-orang sasak. Tetapi kalau sepasang kekasih yang tidak menggunakan Merariq itu juga sudah kesepakatan bersama sepasang kekasih, karena mungkin zaman yang sudah modern atau pasangan dari pihak perempuan bukan lg dari keturunan sasak. 4. Skripsi yang penulis buat ini memiliki temuan positif dalam Merariq, bahwa kalau penulis baca buku-buku terdahulu atau skrispi terdahulu tentang Merariq itu lebih kepada konten negatif. Karena Merariq ini lahir dari pada agama dan budaya yang menjadikan integrasi yang saling memahami dan bermakna. Sehingga para tokoh ulama-ulama di Lombok pun enggan berkomentar tentang Merariq karena, salah satu tradisi budaya yang mana tidak bisa dipisahkan dengan agama itu sendiri. Karena memang agama dan budaya sudah melekat satu sama lain saling memahami. 70 B. Saran-saran Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, maka saran yang ingin disampaikan oleh penulis ialah : 1. Integrasi agama dengan Budaya yang menghasilkan tradisi perkawinan Merariq ini tetap harus dijaga karena tradisi ini sangat unik dan menjadi sebuah simbol dari pada suku sasak di Lombok. 2. Dari proses praktik Merariq agar dijaga dan jangan disalahgunakan walaupun tuntutan zaman yang sudah modern, tetapi harus menjaga ke aslian dari pada adat Merariq itu sendiri, agar tidak hilang tradisi perkawinannya tersebut. 3. Untuk menjaga tradisi perkawinan Merariq di masa modern ini maka harus disesuaikan dengan hukum yang berlaku tetapi tetap menjaga keasliannya. Jika terjadi beberapa kendala pendapat dari praktik Merariq tersebut maka untuk menyesuaikan dengan tuntutan dunia modern maka dibuang yang tidak sesuai dengan dunia modern dan diambil baiknya lalu di jaga keasliannya. Daftar Pustaka Koentjaraningrat. Pengantar Ilmu Antropologi, Jakarta: Rineka Cipta, 2009 Suhanah. Dinamika Agama Lokal di Indonesia, Jakarta: Kementerian Agama, 2004 Khadziq. Islam Dan Budaya Lokal, Belajar Memahami Realitas Agama Dalam Masyarakat, Yogyakarta: Teras, 2009 Musifin As’ad dan Salim Basyarahil. Perkawinan dan Masalahnya, Jakarta: Pustaka Al-Kaustar, 1993 Yasin, Nur. Hukum Perkawinan Islam Sasak, Malang: UIN Malang Press, 2008 Aniq, Ahmad Fathan. Konflik Peran Gender pada Tradisi Merariq di Pulau Lombok, Surabaya: IAIN Sunan Ampel Mastuhu. Metodologi Penelitian Agama: Teori dan Praktik, Jakarta: PT Grafindo Persada, 2006 Moleong, Lexy J. Metodologi Penelitian Kualitatif , Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2006 Endraswara, Suwardi. Metodologi Penelitian Kebudayaan, Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 2006 Arikunto, Suharsimi. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik, Jakarta: PT Rineka Cipta, 2006 71 72 Suryabrata, Sumardi. Metodologi Penelitian, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1998 Connolly, Peter(ed). Pendekatan Studi Agama, Yogyakarta: PT LkiS Printing Cemerlng, 2002 Budiwanti, Erni. Islam Sasak: Wetu Telu versus Waktu Lima, Yogyakarta: LkiS, 2000 Bartholomew, John Ryan. Alif Lam Mim: Kearifan Masyarakat Sasak, Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya, 2001 Zuhdi, M. Harfin. Praktik Merariq: Wajah Sosial Masyarakat Sasak, Mataram: LEPPIM IAIN Mataram, 2012 Rahman, Fachrir. Pernikahan di Nusa Tenggara Barat antara Islam dan Tradisi, Mataram: LEPPIM IAIN Mataram, 2012 Lukman, Lalu. Pulau Lombok dalam sejarah: ditinjau dari aspek budaya, Mataram:2005. Masnun. Tuan Guru KH. Muhammda Zainuddin Al-Madjid: gagasan dan gerakan pembaharuan Islam di Nusa Tenggara Barat, Mataram: Pustaka Miqdad, 2007. Sumber data dari kejaksaan Negeri Nusa Tenggara Barat, data-data tentang ajaran wetu Telu di Nusa Tenggara Barat, Mataram: 28 Maret 2017. Ahyar Fadly, Muhammad. Islam Lokal: akultuasi Islam dibumi Sasak, Lombok: STAIIQH Press, 2008. 73 Rustanto, Bambang. Masyarakat Multikultural di Indonesia, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2015. Kuntowijoyo. Budaya dan Masyarakat, Yogyakarta: PT Tiara Wacana yogya, 1987. Sudirman. Bahrie. Ratmaja, Lalu. Prosesi Perkawinan Masyarakat Gumi Sasak, NTB: KSU Primaguna, 2012. Geriya, Wawan. Beberapa segi tentang masyarakat dan sistem sosial, Denpasar: Universitas Udayana, 1981. Abdullah, Idris. Penyelesaian sengketa melalui mekanisme pranata lokal di kabupaten Lombok Barat, disertasi. Jakarta: fakultas Hukum Program Pasca Sarjana UI. 2000. Nur Yasin, M. Kontekstualisasi Doktrin Tradisional di Tengah Mordenisasi Kawin Lari (Merari) di pulau Lombok, jurnal Istimbath no.1 vol. IV desember 2006. Tambunan, E.H. Sekelumit mengenai Masyarakat Batak Toba dan Kebudayaannya, Bandung:1982. 74 WAWANCARA Wawancara pribadi dengan Mahardika, Pemangku Adat Sasak di Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat, Sabtu, 29 Maret 2017. Wawancara pribadi dengan Drs. H. Lalu Mudjitahid, Ketua Masyarakat Adat Sasak di Lombok, Nusa Tenggara Barat. Sabtu, 08 April 2017. Wawancara pribadi dengan Ir. H. Ikhsan Gemala Putra, Budayawan Sasak di Lombok, Nusa Tenggara Barat. Minggu, 09 April 2017. Wawancara pribadi dengan Drs. H. Syahdan Ilyas, Ketua Forum Kerukunan Umat Beragama di Lombok, Nusa Tenggara Barat, Senin, 10 April 2017. 75 Lampiran 1 Surat Bukti Penelitian 76 Lampiran 2 Pertanyaan Wawancara 1. GAMBARAN UMUM MASYARAKAT SUKU SASAK A. Sejarah Singkat suku Sasak - Jelaskan sejarah tentang suku sasak? B. Letak Geografis - Jelaskan letak geografis Suku Sasak? C. Sistem Keyakinan yang dianut masyarakat Sasak? - Jelaskan sistem keyakinan yang dianut masyarakat sasak? a. Akidah kepada Allah - Jelaskan Akisah masyarakat sasak terhadap pengetahuannya kepada Allah b. Ibadah kepada Allah - Bagaimana pendekatan ibadah yang dilakukan masyarakat sasak terhadap Allah c. Akhlak Perilaku Sosial - Bagaimana akhlak masyarakat Sasak terhadap Perilaku sosial 2. KEBUDAYAAN A. Tantangan dalam Tradisi Merariq yang menghasilkan Kreasiativitas Kebudayaan - Bagaimana tantangan yang muncul dalam tradisi Merariq yang menghasilkan Kreativitas Kebudayaan? 77 B. Karya dalam Tradisi Merariq yang menghasilkan Inovasi Kebudayaan - Bagaimana karya dalam tradisi Merariq dalam menghasilkan sebuah Inovasi Kebudayaan? C. Tujuan Tradisi Merariq yang menghasilkan Nilai-nilai Kebudayaan - Bagaimana Tujuan dalam tradisi Merariq dalam menghasilkan nilainilai dalam kebudayaan tersebut? 3. FAKTOR DOMINAN ANTARA AGAMA DAN BUDAYA DALAM TRADISI MERARIQ A. Tujuan Merariq - Jelaskan Tujuan dari perkawinan Merariq? B. Alasan Merariq - Jelaskan alasan dari perkawinan Merariq? C. Perspektif Merariq - Jelaskan perspektif orang terhadap perkawinan Mearariq? 78 79 80 81 82 Lampiran 3 Hasil Wawancara : 1. Data Pribadi a. Nama : Bajang Mahardika b. Jenis Kelamin : Laki-laki c. Tempat Tanggal Lahir : Mataram, 31 Desember 1993 d. Umur Narasumber : 24 tahun e. Alamat Narasumber : Desa Sade Lombok Tengah f. Pekerjaan Narasumber : Pemangku Adat Asli Desa Sade (Sudah Merariq’) g. Tanggal Wawancara : 29 Maret 2017 h. Tempat Wawancara : Desa Sade Lombok Tengah i. Waktu Wawancara : 10.30 – 11.30 WITA 2. Wawancara dan Hasil Wawancara - Pewawancara : : Jelaskan Sejarah Tentang Suku Sasak yang anda ketahui? - Narasumber : Sasak berasal dari kata “sah” yang berarti “pergi” dan “shaka” yang berarti “leluhur”. Dengan begitu dapat disimpulkan bahwa “sasak” memiliki arti “pergi ketanah leluhur”. Dari pengertian inilah kita bisa lihat bahwa leluhur orang sasak itu adalah orang Jawa. Bukti lainnya merujuk kepada aksara Sasak yang digunakan oleh orang Sasak disebut sebagai “Jejawan”, merupakan aksara yang berasal dari tanah Jawa, pada perkembangannya, aksara ini dipersepsikan dengan 83 baik oleh para pujangga yang telah melahirkan tradisi kesusastraan Sasak. kata Sasak juga berasal dari kata sak-sak yang dalam bahasa Sasak berarti sampan. Pengertian ini dihubungkan dengan kedatangan nenek moyang orang Sasak dengan menggunakan sampan dari arah barat. Dan juga Sasak adalah kitab Nagarakertagama yang memuat catatan kekuasaan Majapahit abad ke-14, ditulis oleh Mpu Prapanca. Dalam kitab Nagarakertagama terhadap ungkapan “lombok sasak mirah adi”, pemaknaan ini merujuk kepada kata Sasak (sa-sak) yang diartikan sebagai satu atau utama, Lombok (Lomboq) dari bahasa kawi yang dapat diartikan sebagai jujur atau lurus, mirah diartikan sebagai permata dan adi bermakna baik. Maka, Lombok Sasak Mirah Adi berarti kejujuran adalah permata kenyataan yang baik atau utama. Masyarakat Suku Sasak merupakan masyarakat yang masih memegang teguh tradisi dan mempertahankan kebudayaan sampai saat ini. Kini, suku Sasak bukan hanya sebuah kelompok masyarakat tetapi juga merupakan salah satu etnis yang melambangkan kekayaan tradisi yang dimiliki oleh Indonesia. Sasak adalah penduduk asli dan kelompok etnik mayoritas Lombok. mereka meliputi lebih dari 90% dari keseluruhan penduduk Lombok. kelompok-kelompok etnik lain seperti Bali, Sumbawa, Jawa, Arab, dan Cina adalah para pendatang. - Pewawancara ini? : Lalu coba anda jelaskan letak geografis Desa Sade 84 - Narasumber : Dusun Sade atau Desa Sade terletak di wilayah Desa Rambitan, kecamatan Punjut, Kabupaten Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat. Letak kampung ini 50 km arah Tenggara Kota Mataram (Ibu Kota NTB) dan 19 km dari kota Praya (Ibu Kota Lombok Tengah). Desa Sade ini memiliki Luas 50 Ha. Secara geografis pada koordinat 08 derajat 50 LS dan 116 derajat BT. Desa Sade terletak pada ketinggian 120-126 m di atas permukaan laut, terletak pada sebuah bukit, di sebelah Utara dan Selatan terdapat persawahan dan ladang penduduk. Batas wilayah yaitu Sebelah Barat Dusun Penyalu, Sebelah Utara Dusun Selak, sebelah Selatan Dusun Selemang. - Pewawancara : Dan bagaimanakah sistem keyakinan yang dianut masyarakat Sasak? Keyakinan manusia terhadap Tuhannya, kemudian bagaimana cara pendekatan ibadah manusia kepada Tuhannya, serta bagaimana perilaku sosial antara sesama manusianya? - Narasumber : Sebelum kedatangan pengaruh asing di Lombok, Boda merupakan kepercayaan asli orang Sasak. Orang Sasak pada waktu itu, menganut kepercayaan ini, disebut sebagai Sasak Boda. Dengan begitu agama ini tidaklah sama dengan Buddhisme karena ia tidak mengakui Sisarta Gautama atau Sang Buddha sebagai figur utama pemujaannya maupun terhadap ajaran pencerahannya. Agama Boda dari orang Sasak asli terutama ditandai oleh animisme dan pantaisme. Pemujaan dan penyembahan roh-roh leluhur dan berbagai 85 dewa lokal lainnya merupakan yang utama dari praktik keagamaan Sasak-Boda. Konversi orang Sasak ke dalam Islam sangat berkaitan erat dengan kenyataan adanya penaklukan dari kekuatan luar. Berbagai kekuatan asing yang menaklukkan Lombok selama berabad-abad, sangat menentukan cara orang Sasak menyerap pengaruh-pengaruh luar. Penganut Boda sebagai komunitas kecil yang berdiam di wilayah pegunungan utara dan di lembah-lembah pegunungan Lombok bagian selatan. Kelompok Boda ini konon adalah orangorang Sasak yang dari segi kesukuan, budaya, dan bahasa menganut kepercayaan asli. Mereka menyingkir ke daerah pegunungan melepaskan diri dari islamisasi di Lombok. Kemudian kerajaan Majapahit masuk ke Lombok dan membawa serta budayanya. HinduBuddha Majapahit pun kemudian dikenal oleh Suku Sasak. Di akhir abad ke 16 hingga abad ke 17 awal perkembangan agama Islam menyentuh pulau Lombok. Salah satunya karena peran Sunan Giri. Setelah perkembangan Islam, kepercayaan Suku Sasak sebagian berubah dari Hindu menjadi penganut Islam. Berdasarkan sistem kepercayaan Suku Sasak pada masa-masa selanjutnya, kemudian dapat diklasifikasikan tiga kelompok utama; Boda, Wetu Telu, dan Islam (Wetu Lima). Awalnya Agama Wetu Telu memiliki ciri sama dengan Hindu-Bali dan Kejawen. Peran leluhur begitu menonjol. Hal itu didasarkan pada pandangan yang berakar pada kepercayaan tentang kehidupan senantiasa mengalir. Pada perkembangannya Wetu 86 Telu justru lebih dekat dengan Islam. Sekarang hampir semua desa suku Sasak sudah menganut Agama Islam lima waktu dan meninggalkan Wetu telu sepenuhnya. Sementara sinkretisme Islam Wetu telu kini berkembang terbatas di beberapa bagian utara dan selatan Pulau Lombok. Meliputi Bayan, dataran tinggi Sembalun, Suranadi di Lombok Timur, Pujut di Lombok Tengah, dan Tanjung di Lombok Barat. Istilah Islam Wetu Telu diberikan karena penganut kepercayaan ini beribadah tiga kali di bulan puasa, yaitu waktu Magrib, Isya, dan waktu Subuh. Di luar bulan puasa, mereka hanya satu hari dalam seminggu melakukan ibadah, yaitu pada hari Kamis dan atau Jumat, meliputi waktu Asar. Untuk urusan ibadah lainnya biasanya dilakukan oleh pemimpin agama mereka; para kiai dan penghulu. Para penganut Islam Wetu telu membangun Masjid (tempat ibadah) mereka dengan gaya arsitektur khas Suku Sasak; dari kayu dan bambu, dengan bagian atapnya terbuat dari jenis alangalang atau sirap dari bambu. Dengan denah berbentuk persegi empat dan bagian atap seperti piramid bertumpang yang disangga dengan tiang-tiang, beberapa ahli menilai arsitektur masjid ini mirip dengan Arsitektur masjid lama di Ternate dan Tidore. Dalam siklus hubungan ini status mangku dan dewa berfungsi sebagai penghubung. Jika seseorang melaksanakan nazar, misalnya memohon keselamatan, sembuh dari penyakit dan sebagainya, mereka minta kepada mangku untuk mengantarkan dan memimpin upacara ke tempat tertentu dan 87 kepada dewa mana permohonan tersebut disampaikan. Permohonan dimaksud kemudian dihubungkan kepada Tuhan oleh dewa karena Tuhanlah yang dapat memutuskan segala sesuatunya. Jadi, mangku dan dewa berfungsi perantara dalam hubungan manusia dengan Tuhan. Dalam pola berhubungan ibadah antara manusia kepada Tuhannya itu di posisikan oleh Kyainya. Sebagai petugas, seluruh tugas-tugas dan kewajiban peribadatan dari Tuhan, menurut faham Isalm wetu telu cukup dikerjakan oleh para Tuan Guru atau kyai. Oleh karena itu tugasnya yang tergolong berat, maka Tuan Guru atau Kyai cukup dihormati. Masyarakat setempat sangat patuh terhadap sikap dan nasehatnya. Itulah yang menjadi pendekatan ibadah masyarakat sasak terhadap Tuhannya. Meskipun sebagian masyarakat sasak ada yang masih mempercayai Wetu Telu, ada juga yang sudah meninggalkannya dan mengerjakan waktu lima yaitu Islam sempurna. Mereka hanya mempercayai untuk tetap menghormati leluhur Budaya mereka tentang Wetu Telu tersebut. Dan Wetu Telu itu mereka tidak pernah mengerjakannya, karena setiap ibadah Wetu Telu itu hanya di lakukan oleh Pemimpin seperti Pemangku Adat yang sudah dijelaskan diatas, jadi ibadah Wetu Telu dahulu di lakukan hanya diwakilkan saja oleh pemimpinnya dan jamaahnya hanya meyakini dan mempercayainya saja. Itulah masyarakat sasak yang masih menganut wetu telu, beda halnya yang sudah meninggalkannya dan mengerjakan waktu lima, mereka hanya percaya saja tidak mengerjakannyanya. Dengan begitu 88 mereka tetap mempercayai adanya Allah, taat kepada Allah, percaya adanya Nabi Muhammad SAW, dan juga percaya manusia pertama itu adalah Adam. Masyarakat Sasak tetap mengerjakan sholat lima waktu, berpuasa, bersedekah, dan sebagainya seperti Islam pada umumnya tetapi yang membedakan mereka masih melakukan ritual-ritual adat budaya peninggalan nenek moyang mereka. Nilai budaya yang berkaitan dengan hubungan manusia dengan sesama manusia yang terkandung dalam kelompok ungkapan ini adalah usaha menjaga hubungan yang baik dengan individu dan masyarakat sekitarnya. Antarindividu dalam masyarakat sasak memiliki perasaaan saling memiliki, suku bangsa sasak, satu sama lainnya. Dan salah satu dari kelompok etnis sasak yang saya ambil adalah Desa Sade asli suku Sasak, maka sosialisasi mereka tidak jauh-jauh dari lingkungan sekitar kampung itu. Tetapi mereka tetap berinteraksi di luar dari kampung tersebut. Karena bagaimanapun tetap satu komunitas masih membutuhkan bantuan dan interaksi sosial di luar dari komunitasnya tersebut. Dengan demikian maka masyarakat Sade pun ada komunikasi antarkelompok terhadap masyarakat di luar kampung Sade. 1. Data Pribadi a. Nama : Drs. H. Lalu Mudjitahid b. Jenis Kelamin : Laki-laki c. Tempat Tanggal Lahir : Lombok Barat, 08 September 1938 d. Umur Narasumber : 79 tahun 89 e. Alamat Narasumber : Jalan Ahamd Yani No.1 Cakranegara Kota Mataram f. Pekerjaan Narasumber : Ketua Masyarakat Adat Sasak (MAS) Lombok g. Tanggal Wawancara : 08 April 2017 h. Tempat Wawancara : Kediaman Beliau (dirumah Beliau) i. Waktu Wawancara : 16.25 – 17.35 WITA 2. Wawancara dan Hasil Wawancara : - Pewawancara : Bagaimana menurut anda tentang tantangan yang muncul dalam Tradisi Merariq yang menghasilkan Kreativitas Kebudayaan? - Narasumber yang : Dalam Tradisi Perkawinan Merariq tantangan menghasilkan kreasi disini ialah cara meminta untuk dinikahkannya yaitu dengan dibawa lari atau dalam bahasa sasak di sebut Merariq. Merariq atau kawin lari yakni perkawinan yang terjadi dengan cara melarikan si gadis tanpa sepengetahuan orangtua si gadis. Merariq’ atau kawin lari merupakan keputusan terakhir yang diambil oleh calon pengantin laki apabila tidak mendapat restu dari orangtua calon pengantin wanita. Tetapi Merariq’ juga dilakukan jika kedua pasangan saling suka. Dalam tradisi adat sasak, melakukan perkawinan itu harus dengan Merariq jika tidak maka justru orangtua perempuan merasa tersingkung jika anak perempuannya tidak dilarikan. Biasanya kawin lari di lakukan pada malam hari antara waktu magrib dan isya, 90 dimana si gadis dijemput pada tempat yang telah disepakati kedua calon pengantin. Merariq’ dilakukan bila laki-laki dan wanita sama suka atau lelakinya saja yang suka dengan wanita, tetap bisa Merariq. Dalam rombongan penjemput, ketentuan adat mengharuskan keikutsertaan seorang wanita “suci” dalam arti telah memasuki masa menopause. Ini bertujuan, agar ada yang menemani si gadis dalam proses perjalanan “kawin lari”, sehingga tidak terjadi sesuatu di luar norma susila dan demi menghindari kecurigaan masyarakat. - Pewawancara : Lalu bagaimana pendapat anda tentang karya dalam tradisi Merariq yang menghasilkan Inovasi Kebudayaan? - Narasumber : Ketika seseorang yang melakukan perkawinan maka terdorong untuk bersikeras berjuang demi perkawinannya, karena apa? Dalam adat suku sasak yang unik ini mempelai laki-laki dituntut untuk bisa memberi mahar yang cukup fantastis kepada mempelai wanitanya. Sebagai contoh mahar yang harus diberikan berupa seekor kerbau atau seekor sapi, bagi para masyarakat suku pedalaman sasak itu adalah bentuk mahar yang sangat besar tanggungannya. Jadi mereka para lelaki jika ingin pertahankan cintanya maka mereka haruslah berusaha keras untuk pencapaian mahar tersebut. Tetapi yang membuat inovasi dalam masyarakat sasak ini adalah “Merariq” itu sendiri, dimana para lelaki sudah siap rencana untuk membawa lari pasangannya agar dapat dinikahkan, disinilah bentuk kelihaian dan kematangan strategi para kaum lelaki suku sasak 91 dalam Merariq. Pasangan yang sudah benar-benar serius ingin melangsungkan perkawinan dituntut untuk bisa meyakinkan kepala suku adat ketika pasangan yang sudah berhasil kabur dari kediaman mereka dan kembali setelah kedua orang tua mempelai melaporkan kejadiaan ini dan sudah mengetahui lokasi anak-anak mereka masingmasing, bahwa mereka sudah saling siap satu sama lain untuk melangsungkan perkawinan. Permasalahan krusial ketika mempelai laki-laki tidak memiliki harta apapun pada dirinya, maka keputusan bagaimana dari orang tua mempelai wanita tetapi sejauh ini apabila hal ini terjadi biasanya orang tua dari mempelai wanita memberikan waktu untuk pria tersebut memenuhi maharnya dalam tempo waktu yang ditentukan dengan kata lain (hutang mahar). Jadi sebagai gantinya mahar saat penikahan berlangsung bisa berupa berapapun jumlah uang yang dimiliki atau harta benda yang ada pada diri mempelai laki-laki tersebut. Pada saat ingin melangsungkan perkawinan biasanya para kaum wanita haruslah bisa menjahit dan merajut karena pada dasarnya mata pencaharian mereka para suku sasak ini adalah bertani. Jadi apabila musim hujan sudah melanda maka penghasilan dari bertani mereka bisa kurang hingga 70% dari biasanya. Maka dari itu solusi dari mereka para wanita suku sasak yang nantinya akan melangsungkan perkawinan adalah harus bisa menjahit atau merajut dan hasilnya dijual ke sekitar desa bahkan bisa sampai Kota Mataram. Semua ini juga demi kelangsungan hidup anak mereka dan 92 keturunannya kelak. Rata-rata survei yang sudah dilakukan bahwa masyarakat suku sasak Merariq muda. Mulai dari kalangan remaja lulusan SMA sampai baru lulu SMP sudah melakukan merariq, jadi bisa dibayangkan bagaimana mereka yang ingin Merariq sudah harus berfikir dewasa untuk bisa membawa lari wanita yang dicintainya. Sedangkan apabila sudah dibawa lari tetapi pada ujungnya orang tua wanita tetap tidak mau merestui maka keduan pasangan lari ini akan sangat malu pada masyarakat desa. Bagaimana tidak karena ketika kejadian bawa lari itu terjadi maka kepala suku dan orang tua para anak pasti menyebarkan berita tersebut, jadi seluruh masyarat di desa itu pasti mendengar dan mengetahuinya. Maka dari itu kebanyakan para orang tua merestui anak-anaknya yang sudah sama-sama mencintai karena takut omongan dan kebencian masyarakat terhadap anaknya - Pewawancara : Dan bagaimana menurut anda Tradisi Merariq dalam menghasilkan nilai-nilai kebudayaan? - Narasumber : Bagi masyarakat Sasak, Merariq berarti mempertahankan harga diri dan menggambarkan sikap kejantanan seorang laki-laki Sasak karena ia berhasil mengambil (melarikan) seorang gadis pujaan hatinya. Sementara pada sisi lain, bagi orang tua gadis yang dilarikan juga cenderung resisten, kalau tidak dikatakan menolak untuk memberikan anaknya begitu saja jika diminta secara biasa (konvensional). Hal ini dikarenakan mereka beranggapan bahwa 93 anak gadisnya adalah sesuatu yang berharga, jika diminta secara biasa, maka dianggap seperti meminta barang yang tidak berharga. Ada ungkapan yang biasa diucapkan dalam bahasa Sasak: Ara’m ngendeng anak manok baen (seperti meminta anak ayam saja). Jadi dalam konteks ini, merariq dipahami sebagai sebuah cara untuk melakukan prosesi pernikahan, disamping itu juga cara untuk keluar dari konflik. Mengapa seperti itu, karena pengertian dari Merariq atau kawin lari itu, bisa karena orang tua sang gadis tidak merestui pernikahan anaknya, dikarenakan harus sang laki-laki melarikan anak perempuannya, maka mau tidak mau itu harus di kawinkan tetapi tetap ada bayar denda karena sudah melarikan anak gadis orang. 1. Data Pribadi a. Nama : Ir. H. Ikhsan Gemala Putra b. Jenis Kelamin : Laki-laki c. Tempat Tanggal Lahir : Sumbawa, 14 Agustus 1967 d. Umur Narasumber : 50 tahun e. Alamat Narasumber : Jalan Jayalengkara babakan residence A3 Mataram f. Pekerjaan Narasumber : Budayawan Sasak di Lombok Nusa Tenggara Barat g. Tanggal Wawancara : 09 April 2017 h. Tempat Wawancara : Kediaman Beliau (Rumah Beliau) i. Waktu Wawancara : 15.30 – 17.05 WITA 94 2. Wawancara dan Hasil Wawancara - Pewawancara : : Jelaskan Bagaimana pendapat Anda tentang Merariq? - Narasumber : Pernikahan Sasak juga merupakan pengejawantahan keyakinan masyarakat Sasak terhadap Tuhan. Pelaksanaan Merarik, upacara batobat, selamatan tampah wirang, metikah buah lekuk, bedak keramas, dan metikah merupakan ekspresi keberagamaan perkawinan akulturatif tersebut, masyarakat masyarakat Sasak. Sasak Melalui upacara mempertontonkan pemahamanan keagamaan yang khas. Mungkin saja ekspresi keberagamaan tersebut tidak sejalan dengan ekspresi keberagamaan arus utama, tapi yang harus disadari adalah bahwa masyarakat Sasak telah menunjukkan bagaimana menyikapi adanya batas-batas liminal antara adat dan agama dengan menggunakan idiom-idiom lokal. Karena ekspresi keberagamaan adat Sasak tidak sejalan dengan ekspresi keberagamaan arus utama yang membuat mereka tetap memliki batasan atas adat lokal, maka dari itu masyarakat Sasak sangat percaya menghargai tradisi mereka yang ada dari nenek moyang mereka. Dan beberapa pendapat ulama di Lombok tentang perkawinan Merariq hampir semuanya tidak setuju, karena bagaimanapun Merariq keluar dari konteks ajaran agama Islam. Terutama saya sendiri tidak menyetujui tentang perkawinan Merariq tersebut, tetapi saya pun tidak berusaha untuk mengusik atau melarangnya, karena itu sudah jadi 95 bagian adat tradisi suku Sasak, maka bagi masyarakat yang meyakininya silahkan saja. - Pewawancara : Apakah alasan yang menjadikan tradisi Merariq itu pudaar ? - Narasumber : Masyarakat Sasak yang saat ini mulai meninggalkan tradisi Merariq ialah yang sudah mengenal Islam yang sesungguhnya, banyak pendakwah Islam yang menyebar diseluruh pulau Lombok yang mulai mengajarkan Islam sesungguhnya kepada masyarakat Sasak. Jadi salah satu alasan tradisi Merariq di zaman ini mulai pudar karena fakor penyempurnaan Agama Islam yang disebarkan oleh pendakwah Islam di pulau Lombok yang semakin banyak. Dan juga faktor modernisasi zaman, yang membuat pola fikir manusia yang berbeda. Tetapi semakin berkembangnya zaman, dan mudahnya pendakwah menyebarkan ajaran agama Islam, juga pendidikan di Indonesia yang meningkat sehingga banyak sekali generasi muda yang mulai berfikir lebih rasional dibandingkan dengan orang-orang zaman dahulu, akan tetapi orang-orang tersebut tetap menjaga tradisi keturunan mereka supaya tidak benar-benar musnah. Karena, bagaimanapun adat tradisi harus tetap ada dalam suatu daerah untuk menjadikan ciri khas daerah tersebut, walaupun hanya beberapa persen. 1. Data Pribadi a. Nama : Drs. H. Syahdan Ilyas MM 96 b. Jenis Kelamin : Laki-laki c. Tempat Tanggal Lahir : Lombok Tengah, 31 Desember 1949 d. Umur Narasumber : 68 tahun e. Alamat Narasumber : Jalan Serayu Raya No.10 BTN Kekalek Mataram f. Pekerjaan Narasumber : Ketua Forum Kerukunan Umat Beragama Lombok g. Tanggal Wawancara : 10 April 2017 h. Tempat Wawancara : Kediaman Beliau (Rumah Beliau) i. Waktu Wawancara : 17.30 – 18.10 WITA 2. Wawancara dan Hasil Wawancara - Pewawancara : : Jelaskan Bagaimana Tujuan dari Perkawinan Merariq yang anda ketahui? - Narasumber : Dalam pernikahan adat Sasak, Merariq lebih dikenal dengan perkkawinan sesama misan/sepupu. Maka tujuan dalam perkawinan Merariq ialah untuk melanjutkan keturunan, memperkokoh ikatan kekerabatan, dan memperluas hubungan kekeluargaan. Dan sebenarnya bisa dikatakan bahwa tujuan dari pada Merariq itu sebenarnya adalah sebuah hal penyimpangan kalau di sandingkan dengan hukum Islam atau ketentuan lainnya. Akan tetapi tradisi Merariq diakui sebagai status hukum yang berlaku karena merupakan adat istiadat dari suku Sasak itu sendiri. Akan tetapi 97 perkembangan zaman semakin maju pada zaman sekarang. Merariq hampir ditinggalkan, dan beberapa praktik adat yang telah mengalami metamorfosa dan perubahan paradigma di masyarakat Sasak tentang perspektif Merariq ini setelah mendalami ajaran agama Islam dan fenomena perkawinan adat lain di Indonesia seperti yang terjadi di Jawa dan Pulau Sumbawa. Dalam perubahan ini memang tidak bisa secara sekaligus, tetapi secara bertahap, dan dimulai oleh warga Sasak yang berpendidikan dan memiliki pengalaman di daerah lain. Sekitar hanya 3 % dari suku Sasak yang masih melakukan Merariq. Salah satu alasan mengapa Merariq mulai ditinggalkan karena sulitnya memenuhi persyaratan adat perkawinannya, juga tradisi adat Sasak Lombok ini sebenarnya sudah banyak yang paralel dengan ajaran Islam, seperti soal pisuke dan nyongkolan. - Pewawancara : Lalu Jelaskan Bagaimana Alasan dari Perkawinan Merariq Tersebut? - Narasumber : Orang-orang Sasak melakukan Merariq ini adalah salah satunya menjadi cara paling terhormat bagi laki-laki Sasak untuk menikahi seorang perempuan. Alasannya, karena Merariq memberikan kesempatan kepada para pemuda, yang hendak beristri, untuk menunjukkan kejantanannya. Sifat jantan merupakan simbolisasi sosok suami yang bertanggung jawab dalam segala kondisi terhadap keberlangsungan keluarganya. Laki-laki yang melakukan Merariq telah membuktikan dirinya sebagai seorang pemberani. Terdapat 98 beberapa alasan mengapa Merariq dilakukan. Pertama, untuk menunjukkan kesungguhan si laki-laki terhadap si gadis. Kedua, menunjukkan keberanian, seperti seorang ksatria. Ketiga, karena alasan sejarah. Keempat, karena alasan kompetisi. Akan tetapi sekarang ini adat Merariq telah banyak mengalami pergeseran nilai dan praktik yang disebabkan kurangnya pemahaman pelaku Merariq terhadap ketentuan adat dan ajaran agama. Seiring perkembangan zaman, jumlah orang yang melakukan Merariq semakin sedikit. Tetapi bukan berarti berkurangnya laki-laki yang hilang kejantannya, melainkan karena ada beberapa kasus di beberapa adat tradisi misalnya seperti nyongkolan. Bahwa yang telah dijelaskan diatas, membuat Merariq hanya dijadikan simbol tradisi dan karena semakin zaman berkembang sudah banyak orang-orang yang berpendidikan membuat pemikiran mereka lebih berkembang dan mencari jalan lain untuk melangsungkan perkawinan. Akan tetapi mereka tetap menghormati tradisi adat Sasak dengan masih melakukan adat-adat yang pantas sampai saat ini dan mudah dilakukan dan meninggalkan yang sudah tidak cocok di zaman sekarang ini. Pada saat ini Merariq yang dilakukan terkadang hanya bersifat simbolis belaka, yaitu dengan “sepengetahuan” kedua orang tua si gadis. Perkelahian yang mungkin timbul akibat dari tertangkapnya orang yang melakukan Merariq juga dilakukan hanya untuk menggugurkan ketentuan adat. 99 - Pewawancara : Dan coba Jelaskan Bagaimana Perspektif menurut Anda terhadap Perkawinan Merariq? - Narasumber : Yang telah dijelaskan diatas bahwa perspektif Merariq sudah memiliki banyak perubahan karena perekmabngan zaman, yang mana saat ini praktik Merariq itu sudah diketahui oleh orangtua daripada kedua calon pengantin, proses menculiknya itu hanya proses adat yang tetap harus dijalankan karena merupakan dari adat istiadat. Dan agar menjaga tali persaudaraan atau kerabat terdekat yang juga ingin melamar anak perempuan dari salah satu desa misalnya, maka dibiarkannya anak perempuannya diculik oleh pacarnya karena itulah yang telah menjadi pilihan anak perempuan itu. Itulah yang pada saat ini Merariq yang masih dijalankan oleh beberapa masyarakat Sasak sekitar 3% yang dijelaskan diatas. Walaupun begitu, itu sudah bermetamorfosa dari tradisi perkawinan Sasak yang asli, yang mana ada kisah sebuah mitos. Konon, dulu di Lombok ada seorang raja dengan putri yang sangat cantik. Karena terlalu cantiknya, semua pria suka padanya dan berlomba-lomba melamarnya. Maka sang Raja mendirikan sebuah kamar dengan sistem penjagaan yang sangat ketat. Lalu raja memberi tantangan, "Barangsiapa berhasil menculik putriku, akan kunikahkan dia dengan putriku," Dari situ, pria-pria Lombok memiliki kebanggaan jika berhasil menculik orang yang dicintainya. Maka, jika sudah berhasil terculik, pihak keluarga perempuan harus rela anaknya dinikahkan dengan sang penculik. Maka 100 dari itu satu perempuan di kampung adat Sade/orang Lombok pacarnya banyak bisa sampai delapan, karena tidak ada istilah pacaran, siapa cepat menculik atau mengajak kabur maka ia yang berhasil menjadi ksatria. Perspektif Merariq ialah berbeda-beda ada yang berpandangan bahwa masyarakat Islam sasak terhadap Merariq ada dua pendapat. Pertama, pandangan masyarakat biasa, yang mengatakan bahwa Merariq tidak ada masalah selama dilakukan dengan ketentuan adat dan ajaran agama. Kedua, pandangan kaum terdidik, mereka lebih melihat pada dampak dari mulai proses awal sampai akhir. Sehingga sebaiknya perlu dicarikan alternatif yang lebih sederhana dan baik untuk menghindari dampak negatif yang muncul. 101 Lampiran 4 Foto Kegiatan Lapangan 102 103 104