reduksi bijih besi laterit dari bayah provinsi banten dengan reduktor

advertisement
REDUKSI BIJIH BESI LATERIT DARI BAYAH PROVINSI
BANTEN DENGAN REDUKTOR BATU BARA
DADANG HIDAYAT
DEPARTEMEN KIMIA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2009
ABSTRAK
Dadang Hidayat. Reduksi Bijih Besi Laterit dari Bayah Provinsi Banten dengan Reduktor
Batubara. Dibimbing oleh Dondin Sajuthi dan Idrus Bambang Iryanto.
Bijih besi banyak ditemukan di Indonesia. Permasalahan energi yang dihadapi industri
baja nasional dapat diatasi dengan menggunakan reduktor batubara. Indonesia merupakan
salah satu negara yang memiliki cadangan batubara, yaitu sekitar 38,8 milyar ton.
Penelitian ini bertujuan melakukan pengkayaan kandungan bijih besi laterit dalam batuan
besi dengan benefisiasi, memperoleh suhu optimum dalam reduksi bijih besi laterit, dan
membandingkan hasil reduksi antara penambahan kapur dan penambahan bentonit.
Penelitian ini meliputi beberapa tahap, yaitu preparasi sampel, analisis bijih besi (meliputi
silikat, Fe total, dan Fe2+), pembuatan besi spons (reduksi bijih besi), analisis besi spons
(meliputi Fe total dan Fe metal), analisis komposisi kimia dari kapur dan bentonit
(meliputi CaO, MgO, silikat), dan analisis batubara (meliputi kadar air, volatile matter
(vm), kadar fixed carbon (fc), dan kadar abu). Berdasarkan hasil penelitian yang telah
dilakukan maka diperoleh bahwa kadar silikat menurun setelah dilakukan benefisiasi,
yaitu 5.90% menjadi 2.69% sehingga kadar Fe total dapat meningkat, yaitu 56.70%
menjadi 64.51%. Batubara yang digunakan termasuk jenis sub-bituminus dengan kadar
fixed carbon 47.19% karenanya cukup efektif untuk proses reduksi. Penambahan bentonit
berfungsi sebagai perekat sehingga pelet yang diperoleh lebih baik (cukup keras) dan
kadar metalisasi lebih tinggi dibandingkan penambahan kapur dengan persen metalisasi
berturut-turut, yaitu 82.11% dan 80.63%. Suhu optimum yang diperoleh untuk mereduksi
bijih besi laterit dari bayah berkisar antara 1000 oC dan 1100 oC. Bijih besi laterit dari
bayah cukup dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku alternatif untuk produksi baja.
ABSTRACT
Dadang Hidayat. Laterit Iron Ore Reduction from Bayah, Banten Province with Coal
Reductor. Supervised by Dondin Sajuthi and Idrus Bambang Iryanto.
Iron ore is one of the most usually found metal in Indonesia. The energy problems
faced by the national steel industry can be reduced by using coal reductor. Indonesia is a
country which has coal reserves at least 38.8 billion tons. The objectives of this research
are to enrich laterite iron ore in iron rock with benefiziation, to get optimum temperature
of laterite iron ore rediction, and to compare the final reduction result between calcite
and bentonite addings. This research covers several stages, includes sample preparation,
iron ore analysis (includes silicate, total Fe, and Fe2+), spons iron producing (iron ore
reduction), spons iron analysis (includes total Fe and metal Fe), calcite and bentonite
chemical composition analysis (includes CaO, MgO, and silicate), and coal analysis
(includes moisture contain, volatile matter (vm), fixed carbon (fc) contain, and ash
contain). Based on the results of the research is that the silicate content decreased after
the benefiziation from 5.90% to 2.69%, which total Fe content has been increased from
56.70% to 64.51%. The used coal was a type of sub-degree bituminus with 47.19% fixed
carbon which it was quite effective for reduction process. The function of the bentonit
addings was as a sticker which can make the pellet was more better and made the
metalization contain was higher than the calcite addings with respectively percentage are
82.11% and 80.63%. The range of optimum temperature of the iron ore laterit reduction
from bayah is 1000oC to 1100oC. Laterit iron ore from bayah could be used as alternative
raw materials for steel production.
REDUKSI BIJIH BESI LATERIT DARI BAYAH PROVINSI
BANTEN DENGAN REDUKTOR BATU BARA
DADANG HIDAYAT
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Sains pada
Departemen Kimia
DEPARTEMEN KIMIA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2009
Judul
:
Nama
NIM
:
:
Reduksi Bijih Besi Laterit dari Bayah Provinsi Banten dengan Reduktor
Batu bara
Dadang Hidayat
G44052926
Menyetujui:
Pembimbing I,
Pembimbing II,
Prof. drh. Dondin Sajuthi, MST, Ph.D
NIP 19541027 19767603 1 001
Idrus Bambang Iryanto, ST
NIK 6495
Mengetahui:
Dekan Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
Institut Pertanian Bogor
Dr. drh. Hasim, DEA
NIP 19610328 198601 1 002
Tanggal Lulus:
PRAKATA
Bismillahirrahmanirrahim…
Alhamdulillah, Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah atas segala rahmat
dan hidayah-Nya sehingga karya ilmiah yang berjudul “Reduksi Bijih Besi Laterit dari
Bayah Provinsi Banten dengan Reduktor Batu bara” dapat diselesaikan. Kegiatan
penelitian ini telah dilaksanakan pada bulan Februari sampai dengan Mei 2009 di
Laboratorium Kimia Pengendalian Kualitas Besi Spons Bahan Baku dan Bahan
Pembantu (PKBS BB dan BP) Divisi Pengendalian Kualitas PT Krakatau Steel Cilegon,
Banten.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Prof. drh. Dondin Sajuthi, MST,
Ph.D dan Bapak Idrus Bambang Iryanto, ST selaku pembimbing yang telah memberikan
saran dan masukannya kepada penulis. Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada ibu
dan bapak tercinta (Hj. Desy Rohayati dan H. Dulmukin), kakak dan adik tersayang
(Tedy Hidayat, ST dan Ainurrohmah), dan teman dekat Agustiarani Asih serta seluruh
keluarga yang telah memberikan semangat dan dukungannya.
Ucapan terima kasih juga, penulis sampaikan kepada Bapak Didik Eko Trimulyanto
selaku training koordinator, Bapak Runtut Bagus Pambudi selaku superintendent
laboratorium kimia, Bapak M. Irfan selaku manager pengendalian kualitas, Bapak M.
Najib selaku manager keamanan, Ibu Dewi Handayani selaku manager PEAD, dan Bapak
Nurjaya selaku koordinator PKL&Riset yang telah memberi kesempatan dan izin untuk
penelitian di PT Krakatau Steel.
Selain itu, penulis mengucapkan terimakasih kepada Ibu Hj. Yani, Bapak Dede
Sukandar, Bapak Kusman, dan Bapak Misto yang telah memberikan arahan dalam
melakukan analisis di laboratorium. Fahmi, Agis, dan Desman dari Teknik Metalurgi
Untirta, temen-teman di tempat riset (Icha, Ayu, Ria, Anggi, dan Wida), teman-teman
kimia 42 IPB (Herman, Hengki, Redo, Bowo, Ecep, Reni, Iki, Mega, dan Janti lain-lain)
dan teman-teman Asrama Sylvasari IPB yang telah membantu dan tukar pengetahuan.
Akhir kata, semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi pembaca.
Bogor, Juni 2009
Dadang Hidayat
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Serang pada tanggal 23 Januari 1987 dari pasangan H. Dulmukin
dan Hj. Desy Rohayati sebagai anak kedua dari tiga bersaudara. Penulis menjalankan
pendidikan formal mulai dari taman kanak-kanak (TK) sampai perguruan tinggi (PT).
Tahun 2002 sampai 2005 di SMA Negeri 2 Krakatau Steel Cilegon. Tahun 2005,
penulis melanjutkan studi di Departemen Kimia Fakultas Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI).
Penulis melakukan praktik lapangan pada tahun 2008 di PT Krakatau Steel, Cilegon
dengan judul laporan adalah proses percobaan pembuatan besi spons dari scale wire rod
mill. Selama perkuliahan, penulis aktif dalam organisasi kampus antara lain Dewan
Keluarga Mushala As-Shaf Asrama Putra Tingkat Persiapan Bersama IPB tahun
2005/2006, Organisasi Mahasiswa Daerah Keluarga Mahasiswa Banten tahun 2005/2006,
Forum for Scientific Studies tahun 2005/2007, Lembaga Dakwah Kampus Al-Hurriyyah
(hubungan luar dan pengembangan sumber daya manusia) tahun 2005/2007, Ikatan
Mahasiswa Kimia IPB tahun 2006/2007, Badan Eksekutif Mahasiswa Keluarga
Mahasiswa IPB Departemen Sosial dan Lingkungan tahun 2007/2008, kepengurusan
asrama Sylvasari IPB (pengembangan sumber daya manusia, pertahanan dan keamanan,
koperasi, dan pecinta alam) tahun 2006/2008.
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR GAMBAR................................................................................................ viii
DAFTAR LAMPIRAN.............................................................................................viii
PENDAHULUAN……............................................................................................ 1
TINJAUAN PUSTAKA
Bijih Besi dan Besi Laterit................................................................................. 1
Benefisiasi dan Pembuatan Pelet........................................................................2
Reduksi Bijih Besi……………………………..………………………………2
Reduksi Langsung dengan Reduktor Padatan dan Gas..................................... 2
Batu bara............................................................................................................ 2
Batu Kapur dan Bentonit.................................................................................... 3
Tinjauan Kinetika Reduksi................................................................................. 4
X-Ray Fluorescence Spectrofotometer dan Carbon/Sulfur Determinator......... 4
BAHAN DAN METODE
Bahan dan Alat................................................................................................... 5
Lingkup Penelitian............................................................................................. 5
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pengkayaan Kandungan Bijih Besi Laterit dengan Benefisiasi......................... 7
Pengaruh Suhu Pada Persen Reduksi Bijih Besi Laterit.................................... 8
Pengaruh Suhu Pada Persen Metalisasi Bijih Besi Laterit................................. 9
Perbandingan Penambahan Kapur dan Bentonit................................................ 10
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan ............................................................................................................11
Saran................................................................................................................... 11
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................... 11
LAMPIRAN..............................................................................................................13
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1 Diagram kesetimbangan gas CO dan CO2 untuk reduksi bijih besi…………….. 4
2 Pengaruh suhu pada persen reduksi bijih besi laterit dari Bayah.......................... 8
3 Pengaruh suhu pada persen karbon setelah proses reduksi
bijih besi laterit dari Bayah.................................................................................... 9
4 Pengaruh suhu pada persen metalisasi bijih besi laterit dari Bayah...................... 10
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1 Bahan baku dan hasil percobaan............................................................................ 14
2 Alat yang digunakan dalam percobaan …………………………………………. 15
3 Diagram alir reduksi bijih besi …………………………………………………..16
4 Diagram alir benefisiasi......................................................................................... 17
5 Rumus-rumus perhitungan pada metode analisis……………………………….. 18
6 Data hasil pengujian …………................................................……......................19
7 Contoh perhitungan................................................................................................21
viii
2
PENDAHULUAN
Bijih besi merupakan komoditi tambang
yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku
baja. Bijih besi banyak ditemukan di
Indonesia, namun bahan baku baja masih
didatangkan dari luar negeri. Berdasarkan BEI
News (2005), Cina menggunakan bahan baku
baja tertinggi di dunia, yaitu 16.7% pada
tahun 2000. Bahan baku baja yang digunakan
sebanyak 141.2 juta ton akan tetapi dua tahun
kemudian langsung melonjak menjadi 211.2
juta ton. Produksi baja di Cina meningkat
setiap tahunnya. Tahun 2003 sampai 2005,
produksi baja di Cina berturut-tutut adalah
220, 300, dan 350 juta ton. Konsumsi baja di
Indonesia menurut harian umum pelita (2009),
tahun 1997 sampai 2000 adalah 36, 13, 14 ,
dan 26 kilogram per kapita yang mengalami
penurunan pada tahun 1998 akibat krisis
ekonomi. Negara lain seperti Filipina,
Thailand, Malaysia, Jepang, AS, dan Korea
Selatan berturut-turut adalah 44, 111, 274,
635, 472, dan 846 kilogram per kapita pada
tahun 2000. Berdasarkan analisis internal
yang dikeluarkan PT Krakatau Steel (KS),
konsumsi baja canai panas pada tahun 2007
mencapai sekitar 2,91 juta ton dengan asumsi
peningkatan 10%, pada tahun 2008 konsumsi
baja domestik akan menyentuh 3.25 juta ton.
Kenaikan harga bahan baku baja di pasar
internasional, memicu pemerintah dan para
kuasa pertambangan (KP) untuk mulai
memanfaatkan bahan baku lokal. Menurut
Sutisna (2007), ada empat jenis cebakan bijih
besi di Indonesia, yaitu skarn, placer, laterit,
dan sedimen. Cebakan laterit jumlahnya
paling melimpah, yaitu mencapai 1 miliar ton,
sedangkan cebakan bijih besi skarn, placer,
dan sedimen berturut-turut hanya mencapai
15, 159, dan 1 juta ton. Cebakan ini juga
mengandung karbonat, silikat, besi, hematit,
dan magnetit sehingga kadar besinya rendah,
yaitu hanya 40-60%. Bahan baku lokal berupa
bijih besi laterit dapat dijadikan pelet yang
akan direduksi menjadi besi spons.
Pemanfaatan bijih besi lokal ini dapat
mengurangi biaya produksi sehingga harga
jual bajanya dapat bersaing.
Kenaikan harga tersebut diakibatkan
naiknya harga iron ore pellet dan minyak
mentah yang terus meningkat membuat harga
bahan baku dan biaya produksi baja menjadi
tinggi. Salah satu penyebab kenaikan biaya
produksi baja adalah tingginya harga impor
bahan baku pelet. Selain itu teknologi berbasis
gas yang digunakan saat ini seperti Hojalata Y
Lamina (HYL) I dan HYL III (dengan
kapasitas kurang lebih 2 juta ton besi spons
per tahun) semakin tidak kompetitif untuk
dioperasikan. Permasalahan energi yang
dihadapi industri baja nasional dapat diatasi
dengan menggunakan reduktor batu bara.
Menurut
Raharjo
(2006),
Indonesia
merupakan salah satu negara yang memiliki
cadangan batu bara sekitar 38.8 miliar ton
dengan 70% batu bara muda dan 30% batu
bara kualitas tinggi.
Penelitian ini bertujuan melakukan
pengkayaan kandungan bijih besi laterit dalam
batuan besi dengan benefisiasi, memperoleh
suhu optimum dalam reduksi bijih besi laterit,
dan membandingkan hasil reduksi antara
penambahan kapur dan penambahan bentonit.
TINJAUAN PUSTAKA
Bijih Besi dan Besi Laterit
Mineral
merupakan
bahan-bahan
anorganik alam yang ditemukan dalam kerak
bumi sedangkan mineral yang digunakan
sebagai sumber untuk produksi bahan-bahan
secara komersial disebut bijih besi (Keenan et
al. 1992). Bijih besi dapat berupa karang keras
sekali, butiran kecil, dan tanah yang gembur
dengan warna yang beragam dari hitam
hingga merah bata. Besi adalah suatu logam
yang sangat kuat dan keras. Namun,
kekerasannya tidak melebihi nikel dan kobalt
sehingga perlu diberi zat aditif atau dibentuk
paduan logam dengan nikel, kobalt, atau
logam lain (Meyer 1980).
Besi laterit merupakan jenis cebakan
endapan residu yang dihasilkan dari proses
pelapukan
batuan
dengan
melibatkan
dekomposisi, pengendapan kembali, dan
pengumpulan secara kimiawi. Bijih besi tipe
laterit umumnya terdapat di daerah puncak
perbukitan dengan kemiringan <10%.
Kemiringan tersebut menjadi salah satu faktor
utama proses pelapukan secara kimiawi yang
perannya lebih besar daripada proses
mekanik. Sementara struktur dan karakteristik
tanah dipengaruhi oleh daya larut mineral dan
kondisi aliran air tanah (Sani 2008).
Sutisna (2007) menyatakan bahwa sifatsifat dari cebakan laterit adalah tekstur dapat
terlihat jelas, lapisan yang kompak, komposisi
mineral besi beragam, kadar Fe berkisar
antara 40.00 dan 60.00%, mengandung kadar
Ni dan Cr yang lebih rendah daripada jenis
laterit, yaitu rata-rata 0.41% Ni dan 2.10%
Cr203, khususnya yang berasal dari bijih besi
laterit, dapat mengandung bijih besi bog iron,
dengan kandungan belerang dan mangan yang
tinggi, sedangkan yang berasal sumber air
2
panas dapat mengandung belerang yang
relatif lebih tinggi, dan kadar Al lebih rendah
dari tipe lateritik, yaitu sekitar 7.00%.
Benefisiasi dan Pembuatan Pelet
Bahan baku utama baja berupa bijih besi
yang diolah dalam tanur pada suhu tinggi.
Bijih besi yang masih tercampur dengan
kotoran dapat dimurnikan dengan dicuci
terlebih dahulu.
Menurut Novyanto (2007),
proses
pembuangan kotoran, gas, tanah liat, dan pasir
adalah pencucian, pemecahan: batuan yang
mengandung bijih besi dipecah dengan
menggunakan mesin sehingga dihasilkan bijih
besi dengan ukuran yang sama, sortir
merupakan proses bijih besi melewati roda
magnet yang mempunyai sifat kemagnetan
kuat sehingga bijih besi terpisah antara
kandungan Fe rendah dan kandungan Fe
tinggi, dan pemanasan untuk menghilangkan
kandungan air dan udara (gas) yang masih
menempel di bijih besi.
Menurut Meyer (1980 ), pelet merupakan
bulatan seperti kelereng yang dihasilkan dari
bijih besi alam dengan ciri sebagai berikut:
kandungan besi lebih dari 63%, daya serap air
berkisar antara 25 dan 30%, ukuran distribusi
antara diameter 9-15 mm, daya tahan pada
tekan yang tinggi, kecenderungan untuk abrasi
rendah, partikel tidak hilang saat pembakaran
(tidak terjadi pengecilan dan komposisi
mineralnya masih sama), mempunyai tekanan
mekanik yang rata-rata pada tekanan panas
selama reduksi di udara.
Secara garis besar proses pembuatan pelet
melalui tiga tahap, yaitu 1) proses penyiapan
bahan baku sebelum pembuatan pelet, 2)
mencampur bahan campuran dalam tahapan
ke-1 dengan air dan membentuknya menjadi
bulatan-bulatan kecil dengan diameter 10-20
mm, 3) pembakaran, yaitu membakar pelet
hasil tahapan ke-2 setelah dikeringkan untuk
meningkatkan kekuatan.
Reduksi Bijih Besi
Proses penghilangan oksigen dan
pengotor bijih besi disebut reduksi. Proses
reduksi secara umum terbagi atas dua metode,
yaitu reduksi langsung dan reduksi tidak
langsung. Proses reduksi bijih besi secara
tidak langsung dilakukan dalam tanur tinggi
dengan reduktor berupa kokas batu bara dan
suhu di atas titik lebur besi. Produk berupa
lelehan logam Fe yang selanjutnya
diumpankan ke dalam BOF (Basic Oxygen
Furnace) dan sebagian kecil akan dicetak
menjadi pig iron. Sementara Proses reduksi
langsung merupakan proses pemisahan Fe dari
oksigen dengan reduktor berupa padatan
seperti batu bara atau gas seperti metana
(CH4). Proses reduksi ini dilakukan di bawah
titik lebur sehingga produk yang dihasilkan
dalam bentuk padatan (Sun 1997).
Nomura et al. (2007) menyatakan
kebanyakan besi oksida direduksi menjadi
logam besi oleh CO yang dihasilkan selama
oksidasi karbon. Pada suhu 1200 oC,
komponen berupa SiO2 dan FeO di dalam
serbuk bijih besi dapat bereaksi menghasilkan
suatu campuran FeO dan SiO2, yaitu fayalite
(2FeO.SiO2) yang dapat mengisi pori-pori
batu bara.
Reduksi Langsung dengan Reduktor
Padatan dan Gas
Proses ini menggunakan reduktor padatan
berupa batu bara atau batu arang untuk
mereduksi bijih besi. Keseluruhan reaksi yang
terjadi dapat dituliskan sebagai berikut (Pelton
& Christopher 2000)
3Fe2O3 + C → 2Fe3O4 + CO,
Fe3O4 + C → 3FeO + CO,
FeO + C → Fe + CO,
Reaksi ini berjalan secara endotermik atau
memerlukan panas. Panas yang diperlukan
berasal dari udara dan pembakar. Bijih besi
yang digunakan dalam proses reduksi
langsung dengan reduktor karbon relatif
berkadar Fe rendah (53%≤ Fe) serta tidak
memerlukan energi panas untuk mereformasi
gas alam sehingga penggunaan energi lebih
efisien.
Persamaan reaksi reduksi bijih besi oleh
gas CO dan H2 ditunjukkan oleh persamaan
reaksi (Rosenqvist 1983),
3Fe2O3 + CO → 2Fe3O4 + CO2,
Fe3O4 + CO → 3FeO + CO2,
FeO + CO → Fe + CO2,
atau
3Fe2O3 + H2 → 2Fe3O4 + H2O,
Fe3O4 + H2 → 3FeO + H2O,
FeO + H2 → Fe + H2O,
Reduksi langsung dengan reduktor gas
memerlukan bahan baku bijih besi dengan
kadar Fe yang relatif tinggi (60-67%) dan
pengotor serendah mungkin (P ≤ 0.017%, S ≤
0.011%) baik dalam bentuk pelet ataupun
batuan bisa.
Batu bara
World Coal Institute (2004) menyatakan
bahwa batu bara adalah sisa tumbuhan dari
jaman prasejarah yang berubah bentuk,
awalnya berakumulasi di rawa dan lahan
gambut. Batu bara merupakan batuan organik
3
yang terdiri atas karbon, hidrogen, dan
oksigen. Karakteristik batu bara tipe
bituminus (A, B, C, dan D) dapat dilihat pada
Tabel 1,
Tabel 1 Karakteristik batu bara (Grigore
et al. 2007)
Batu bara
A
Analisis Proksimat (%)
B
C
D
Kadar air
2.5
1.4
1.1
2.4
Kadar abu
5.6
7.7
7
9.8
Zat terbang
28.9
26.2
21.3
20.2
Karbon tetap
65.5
66.1
71.7
70
SiO2
61.4
53.6
56.9
48.3
Al2O3
28.3
28.4
18.3
37.9
Fe2O3
4.3
7.6
12.8
5.3
CaO
1.3
3
3.7
2.5
MgO
0.34
0.95
1.6
0.58
TiO2
1.5
1.4
1.1
1.4
Na2O
0.3
0.57
0.45
0.65
K2O
0.48
1
0.92
0.54
P2O5
0.79
1.7
1.3
1.9
Mn3O4
<0.02
0.05
0.06
0.03
Analisis Abu (%)
SO3
0.26
0.76
2
0.32
Cr2O3
<0.02
<0.02
<0.02
<0.02
CuO
<0.02
<0.02
<0.02
<0.02
V2O5
0.05
0.05
0.04
0.02
ZnO
<0.02
<0.02
<0.02
<0.02
NiO
<0.02
<0.02
<0.02
<0.02
BaO
0.03
0.15
0.09
0.22
SrO
0.04
0.08
0.05
0.13
Total
99.19
99.39
99.39
99.87
Menurut Raharjo (2008), berdasarkan
proses pembentukannya di alam yang
dikontrol oleh tekanan, panas, dan waktu
umumnya dibagi dalam 5 kelas, yaitu 1)
Antrasit: kelas batu bara tertinggi, dengan
warna hitam berkilauan metalik, mengandung
86.00-98.00% karbon dengan kadar air kurang
dari 8.00%. 2) Bituminus mengandung 68.0086.00% karbon dan berkadar air 8.00-10.00%
dari bobotnya. Kelas batu bara ini paling
banyak ditambang di Australia dan Amerika
Serikat. Bituminus umumnya digunakan untuk
pembangkit tenaga listrik. 3) Sub-bituminus:
batu bara yang memiliki sifat di antara lignit
dan
bituminus.
Permukaannya
tidak
mengkilap, warnanya cokelat gelap sampai
kehitam-hitaman, serta bersifat lunak dan
rapuh pada rentang menengah ke bawah.
Akan tetapi, pada rentang menengah ke atas
batu bara sub-bituminus mengkilap, sangat
hitam, keras, dan relatif kuat. Batu bara subbituminus memiliki sedikit karbon 37.70%
dan banyak air (20.00-30.00% dari bobotnya),
dan oleh karenanya menjadi sumber panas
yang kurang efisien dibandingkan dengan
bituminus. 4) Lignit: jenis batu bara muda
terdapat pada lapisan geologi atas. Batu bara
lignit sangat lunak dan mengandung air 35.0075.00% sedangkan kadar karbonnya rendah,
kurang lebih 25.00-35.00%. 5) Gambut:
berpori dan memiliki kadar air di atas 75.00%
serta nilai kalori yang paling rendah.
Batu Kapur dan Bentonit
Batu kapur dapat terjadi dengan beberapa
cara, yaitu secara organik, mekanik, atau
kimia. Sebagian besar batu kapur yang
terdapat di alam terjadi secara organik, yaitu
berasal dari pengendapan cangkang kerang
dan siput, atau ganggang. Batu kapur dapat
berwarna putih susu, abu-abu, cokelat, bahkan
hitam, bergantung pada keberadaan mineral
pengotornya (Tekmira 2005). El-Geassy et al.
(2007) menjelaskan bahwa bahan tambahan
seperti CaO, MgO, dan SiO2 berperan penting
dalam mengurangi
indeks
pemekaran
maksimum disekitar suhu 1250 oC karena
pemutusan CaO dari FeO pada lokasi-lokasi
pengintian. Liu (2003) menjelaskan bahwa
selain devolatilisasi batu bara dengan gas CO2
juga dihasilkan proses dekomposisi oleh batu
kapur, reaksi dekomposisi batu kapur terjadi
pada suhu ± 900 oC.
Mineral bentonit berdiameter kurang dari
2 µm dan terdiri atas berbagai macam mineral
seperti silika, aluminium oksida, dan
hidroksida yang dapat mengikat air. Bentonit
diklasifikasikan dalam 2 kelompok, yaitu
natrium dan kalsium bentonit. Natrium
bentonit mengandung lebih banyak Na +
dibandingkan dengan Ca2+ dan Mg2+. Bentonit
ini dapat mengembang hingga 8-15 kali
apabila dicelupkan ke dalam air dan tetap
terdispersi beberapa waktu di dalam air.
Sementara kalsium bentonit memiliki lebih
banyak Ca2+ dan Mg2+ daripada Na+. Kalsium
bentonit kurang menyerap air, tetapi
diaktifkan dengan asam agar kemampuan
menyerap airnya baik dan tetap terdispersi
dalam air (Syuhada et al. 2009). Saidi et al.
(2004) menyatakan bahwa penggunaan
bentonit dalam reduksi bijih besi dapat
meningkatkan besi total dalam bentuk oksida.
Selain itu, bentonit memiliki permukaan ion
sehingga bermanfaat dalam pembuatan suatu
salutan yang lengket pada butir-butir bijih
besi. Kelengketan dari bentonit dapat
4
menghasilkan kekerasan sehingga melindungi
pelet dari tekanan tinggi.
Tinjauan Kinetika Reduksi
Kinetika reaksi reduksi bijih besi adalah
kecepatan besi oksida untuk bertransformasi
menjadi logam besi dengan melepaskan
oksigen. Kecepatan reaksi reduksi bijih besi
ditentukan oleh tinggi rendahnya kemampuan
bijih besi tersebut untuk direduksi yang
dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu
ukuran partikel, bentuk dan distribusi ukuran
partikel, bobot jenis, porosity, struktur kristal,
serta komposisi kimia (Ross 1980). Kinetika
reduksi langsung menggunakan reduktor batu
bara dipengaruhi oleh kombinasi beberapa
mekanisme, yaitu perpindahan panas,
perpindahan massa oleh konveksi, difusi fase
gas, serta reaksi kimia dengan gasifikasi
karbon. El-Geassy et al. (2007) menjelaskan
bahwa ada banyak faktor yang memengaruhi
reduksi besi oksida seperti komposisi bahan
baku, basisitas, komposisi gas, dan suhu
reduksi. Pengaruh komposisi gas terjadi pada
perubahan volume dari besi oksida pada suhu
800-1100 oC.
Reaksi batu bara dan bijih besi
merupakan suatu sistem yang kompleks.
Perubahan dalam reaksi sangat dipengaruhi
oleh parameter perpindahan panas yang
meliputi ukuran, bentuk, bobot jenis partikel
dan kecepatan aliran panas. Perpindahan
panas yang terjadi dalam proses reduksi
adalah perpindahan panas secara konduksi.
Proses konduksi adalah perpindahan panas
melalui zat padat. Dalam sistem reduksi
langsung
dengan
karbon,
mekanisme
perpindahan panas yang paling berpengaruh
adalah adalah konduksi dan konveksi (Sun
1998). Proses konduksi sangat bergantung
pada suhu proses, sifat padatan dan fase gas
yang terjadi sehingga nilai konduktifitas panas
padatan merupakan salah satu hal penting
dalam proses reduksi Konduktivitas panas
yang tinggi akan meningkatkan kecepatan laju
reaksi (Milandia 2005).
Perpindahan massa terjadi karena adanya
gas CO dari batu bara yang bereaksi dengan
bijih besi membentuk logam besi (Fe),
sehingga oksigen dilepaskan dari bijih besi
tersebut dan karbon (C) akan bereaksi dengan
karbon dioksida (CO2) untuk membentuk CO.
Aliran gas CO yang menyebabkan proses
konveksi dan difusi dipengaruhi oleh
perbedaan tekanan dan konsentrasi gas dalam
sistem sehingga perpindahan massa dapat
berjalan baik (Milandia 2005).
Seki dan Nagata (2006) menjelaskan
bahwa besi oksida yang berisi karbon dapat
direduksi pada suhu lebih rendah. Penurunan
suhu ketika reduksi bijih besi dengan karbon
terjadi saat peningkatan efisiensi energi dan
karbon sebagai CO2. Reaksi kimia yang
terjadi pada proses reduksi langsung bijih besi
dengan reduktor batu bara meliputi
devolatilisasi batu bara, reduksi bijih besi
dengan gas, dan gasifikasi arang batu bara
(char). Devolatilisasi batu bara mulai terjadi
lebih awal pada suhu rendah dengan laju
reaksi lebih cepat dari reaksi reduksi bijih besi
maupun gasifikasi arang batu bara.
Kesetimbangan reaksi dapat dilihat pada
gambar 1.
Gambar 1 Diagram kesetimbangan gas CO
dan CO2 untuk reduksi bijih besi
(Ross 1980).
X-Ray Fluorescence Spectrofotometer
dan Carbon/Sulfur Determinator
Fluoresensi dan absorpsi sinar-X telah
digunakan untuk analisis kualitatif dan
kuantitatif penentuan unsur-unsur. Sumber
sinar-X untuk keperluan analisis dapat berasal
dari tabung sinar-X, radioisotop, dan sinar-X
sekunder. Serapan sinar-X menimbulkan ion
tereksitasi tingkat elektronik, saat kembali ke
keadaan dasar akan melibatkan transisi tingkat
energi yang lebih tinggi. Setelah beberapa
saat, ion kembali ke keadaan dasar melalui
serangkaian transisi elektronik yang khas
dengan memancarkan radiasi pada panjang
gelombang yang sama dengan sinar yang
menyebabkan eksitasi. Komponen alatnya
adalah sumber sinar, pemilih panjang
gelombang (filter), sel (tempat sampel),
detektor atau tranduser, dan pemprosesan
sinar dan luaran (Skoog et al. 1998).
5
Carbon/sulfur determinator merupakan
alat untuk analisis bahan-bahan seperti batu
bara, semen, dan bijih-bijih mineral. Carbon
determinator menggunakan suatu carbon
infrared cell untuk menentukan persen karbon
pada setiap sampel. Elemental Determinators
itu dapat diatur dengan pilihan berikut:
karbon, belerang rendah, belerang tinggi,
belerang dan karbon rendah, belerang dan
karbon tinggi, belerang rendah dan belerang
tinggi, dan cakupan rangkap (karbon dan
belerang rendah dan belerang tinggi) (Labfit
2008).
Carbon/sulfur
determinator
menggunakan cawan khusus untuk analisisnya
sehingga dipanaskan dahulu di dalam tungku
perapian pada suhu yang tinggi antara 1250°C
dan 1350°C (Eltra 2005).
Preparasi Sampel
Batuan besi yang mengandung bijih besi
laterit dikeringkan dalam oven, didinginkan,
digiling halus, dan diayak dengan ayakan
ukuran 150 mesh. Bijih besi hasil pengayakan
dikocok agar homogen. Selanjutnya dilakukan
analisis komposisi kimia menggunakan x-ray
fluoresence (XRF) spektrofotometer dan
metode basah sehingga didapatkan data
komposisi kimia yang terkandung dalam
sampel
sebelum
dilakukan
benefiasi.
Benefiasi dilakukan pada sampel melalui
pencucian berulang menggunakan air dan
deterjen dengan bantuan magnet, lalu
dilakukan analisis komposisi kimia kembali
menggunakan XRF spektrofotometer dan
metode basah. Diagram alir proses benefisiasi
dapat dilihat pada Lampiran 4.
BAHAN DAN METODE
Bahan dan Alat
Bahan-bahan yang digunakan dalam
penelitian ini adalah bijih besi dari Bayah,
H2O2 30%, HF 38-40%, K2S2O7, SnCl2 10%,
HgCl2 10%, larutan standar EDTA 0.1 M,
indikator Fe (difenilamina sulfonat) 0.1%,
larutan standar K2Cr2O7 0.1 N, indikator
murexide, kapur, bentonit, Br2, TEA
(trietanolamin), FeCl3 15%, dan batu bara.
Gambar bahan baku dapat dilihat pada
Lampiran 1.
Alat-alat
yang
digunakan
dalam
penelitian ini adalah alat-alat gelas, magnet,
hot plate, mesin penggiling (labotary disk
mill), mesin pengepresan briket (briquetting
press machine), spektrofotometer sinar-X
fluoresensi, tanur (furnace), cawan platina,
kertas saring Whatman no. 41, cawan
porselen, ayakan 150 mesh, neraca analitik,
neraca kasar, sudip, bulp, oven, geockel glass,
dan carbon/sulfur determinator. Gambar
peralatan dapat dilihat pada Lampiran 2.
Lingkup Penelitian
Penelitian ini meliputi beberapa tahap,
yaitu preparasi sampel, analisis bijih besi
(meliputi silikat, Fe total, dan Fe2+),
pembuatan besi spons (reduksi bijih besi),
analisis besi spons (meliputi Fe total dan Fe
metal), analisis komposisi kimia dari kapur
dan bentonit (meliputi CaO, MgO, silikat),
dan analisis batu bara (meliputi kadar air,
volatile matter (VM), kadar fixed carbon
(FC), dan kadar abu). Metode analisis
mengacu pada American Society for Testing
and Materials (ASTM) tahun 2003 sedangkan
diagram alir penelitian dapat dilihat pada
Lampiran 3.
Reduksi Bijih Besi
Bijih besi yang telah digiling lalu diayak
ukuran yang lolos 150 mesh. Campuran hasil
gilingan (yang lolos dari ayakan 150 mesh)
dengan batu bara dan kapur yang halus lalu
diaduk hingga homogen. Campuran tersebut
ditambahkan air sehingga dapat dilakukan
pembuatan pelet secara manual lalu
dikeringkan. Masukkan pelet yang sudah
kering dalam tanur pada suhu 800, 900, 1000,
1100 dan 1200 oC selama 60 menit. Besi
spons didinginkan pada suhu kamar, digiling
sampai 150 mesh, lalu dilakukan uji Fe metal
dan Fe total.
Standardisasi Kalium Dikromat
Sebanyak 0.3 gram Fe standar (61.09%)
ditambah HCl pekat hingga larut sempurna
kemudian ditambahkan akuades 200 ml lalu
dipanaskan hingga mendidih ldan reduksi
dengan SnCl2 10% hingga jernih. Sebanyak
15 ml HgCl2 10% dan 10 ml H3PO4 85%
ditambahkan
pada
larutan
kemudian
ditambahkan indikator Fe 0.1%, lalu titrasi
dengan larutan standar K2Cr2O7 hingga
berwarna ungu. Catat volume K2Cr2O7 yang
digunakan.
Rumus
perhitungan
pada
Lampiran 5.
Analisis Fe Total
Sebanyak 0.3 sampel ditimbang dengan
neraca analitik lalu dimasukkan dalam
erlenmeyer. Sampel dilarutkan dengan 25 ml
larutan HCl pekat. Setelah sampel larut,
kemudian encerkan dengan akuades sebanyak
200 ml dan dididihkan hingga menimbulkan
gelembung. Reduksi dengan beberapa tetes
SnCl2 10% hingga tidak berwarna lalu
didinginkan pada suhu kamar. Sebanyak 15
6
ml HgCl2 10% dan 10 ml H3PO4 85%
ditambahkan pada sampel, indikator Fe
ditambahkan lalu dititrasi dengan larutan
standar K2Cr2O7 hingga berwarna ungu.
Volume K2Cr2O7 yang digunakan dicatat.
Rumus perhitungan pada Lampiran 5.
Analisis Fe2+
Ditimbang dengan teliti 0.5 sampel lalu
dimasukkan dalam erlenmeyer 250 ml, 10 ml
NaHCO3 10%, dan 25 ml HCl pekat
ditambahkan. Erlenmeyer ditutup dengan
geockel glass yang berisi NaHCO3 10%,
kemudian sampel dipanaskan sampai larut
sempurna, lalu didinginkan perlahan dan
geockel glass dibiarkan berada pada
tempatnya hingga dingin. Geockel glass
dibuka, ditambahkan 10 ml H3PO4, dan 5 tetes
indikator Fe 0.1%. Titrasi dilakukan dengan
larutan standar K2Cr2O7 0.1 N sampai terjadi
perubahan warna dari hijau menjadi ungu.
Rumus perhitungan pada Lampiran 5.
Analisis Fe metal
Sebanyak 0.2 sampel ditimbang dengan
neraca analitik, sampel dimasukkan dalam
labu takar 200 ml. Larutan FeCl3 sebanyak 50
ml ditambahkan dan gas argon dialirkan
dalam labu takar. Labu takar langsung ditutup
lalu diaduk dengan pengaduk magnetik
selama 55 menit. Setelah itu, ditambahkan
larutan NH4Cl sedikit melewati tanda tera,
kocok hingga homogen. Larutan diambil 100
ml dan dimasukkan kedalam erlenmeyer 250
ml. Sebanyak 20 ml campuran asam
fosfat:sulfat dan indikator Fe ditambahkan
pada larutan. Titrasi dilakukan dengan larutan
standar K2Cr2O7 sampai terjadi perubahan
warna dari tak berwarna menjadi ungu.
Rumus perhitungan pada Lampiran 5.
Analisis Silikat
Sebanyak 1.0 sampel (G) ditimbang lalu
dimasukkan dalam gelas piala 400 ml, sampel
dilarutkan dengan HCl pekat dan ditutup
dengan kaca arloji. Sampel dipanaskan hingga
larut kemudian ditambahkan beberapa tetes
H2O2 lalu dipanaskan sampai kering, dan
didinginkan. Sebanyak 50 ml larutan HCl
ditambahkan dan dipanaskan sampai larut lalu
diencerkan dengan akuades kemudian larutan
dididihkan. Endapan disaring dengan kertas
Whatman no. 41 dalam 500 ml labu takar,
endapan dicuci dengan akuades lalu
dimasukkan endapan dan kertas saring dalam
cawan platina. kertas saring dipijarkan dalam
tanur pada suhu 1000 oC kemudian ditimbang
(A). Endapan diberi sedikit akuades lalu
ditambahkan HF dua kali dan dipijarkan pada
suhu 1000 oC, didinginkan, dan ditimbang
(B). Sisa residu dalam cawan platina
dilarutkan dengan HCl pekat dan ditambahkan
sedikit akuades, dipanaskan hingga larut, lalu
dimasukkan dalam labu takar. Larutan
diencerkan dengan akuades hingga tanda tera,
residu pada labu takar digunakan untuk
analisis Fe total, CaO, dan MgO. Rumus
perhitungan pada Lampiran 5.
Analisis CaO
Filtrat yang diperoleh pada penentuan
SiO2 diencerkan dengan akuades sampai tanda
tera dan dikocok sampai homogen, kemudian
diambil sebanyak 100 ml menggunakan pipet
volumetrik, lalu dimasukkan kedalam gelas
piala. Filtrat ditambahkan 5 ml TEA
(trietanolamin), dan 1 ml KCN. KOH
ditambahkan
hingga pH 13, kemudian
ditambahkan indikator murexide, dititrasi
dengan EDTA 0.1 M hingga berwarna violet.
Rumus perhitungan pada Lampiran 5.
Analisis MgO
Larutan yang sama (filtrat CaO di atas),
ditambahkan HCl pekat hingga jernih,
ditambahkan amonia pekat hingga pH 10,
ditambahkan indikator EBT (eriochrome
black-T) dan dititrasi dengan EDTA 0.1 M
terjadi perubahan warna dari merah menjadi
biru. Rumus perhitungan pada Lampiran 5.
Analisis kadar Air
Wadah yang konstan ditimbang (A),
kemudian wadah dan sampel ditimbang (B),
lalu dipanaskan dalam oven pada suhu 100 ºC
sampai bobot konstan. Sampel didinginkan,
kemudian ditimbang (C). Rumus perhitungan
pada Lampiran 5.
Analisis Hilang Pijar
Cawan kosong yang telah konstan
ditimbang (A), kemudian cawan kosong dan
sampel (1-4) ditimbang (B), lalu dipijarkan
dalam tanur pada suhu 1000 ºC selama ± 24
jam (semalam) atau sampai bobot konstan.
Sampel
didinginkan
dalam
eksikator,
kemudian ditimbang (C). Rumus perhitungan
pada Lampiran 5.
Analisis Volatile Matter
Cawan kosong dan koach yang telah
konstan ditimbang (A). Cawan kosong, koach,
dan sampel (1-3) ditimbang (B). Sampel
dipijarkan dalam tanur pada suhu 1000 ºC
selama ± 8 menit, lalu didinginkan dalam
eksikator, kemudian ditimbang (C).
7
Penentuan Fixed Carbon
Penentuan fixed carbon dari batu bara
berdasarkan selisih antara hasil perhitungan
hilang pijar dan volatile matter.
Penentuan Kadar Abu
Penentuan kadar abu dari batu bara
berdasarkan selisih antara total persentase
(100%) dan hasil perhitungan hilang pijar.
Analisis dengan Alat X-Ray Flouresence
Spectrofotometer
Sampel dalam wadah pipa paralon dipress
dengan mesin pengepresan briket pada
tekanan 35 ton. Sampel ditempatkan pada
wadah analisis lalu ditutup rapat. Nama dan
kode sampel dimasukkan, tombol F1 ditekan
sehingga diperoleh hasil analisis tentang
komposisi kimia dalam bentuk persen pada
layar.
Analisis dengan Alat Carbon/Sulfur
Determinator
cawan yang kosong pada ditimbang
dengan timbangan dalam alat, kemudian
sampel dimasukkan sebanyak 0.3, lalu
ditambahkan katalisator secukupnya. Cawan
dan sampel dimasukkan dalam tempat
pembakaran sehingga data mengenai kadar
karbon dan sulfur terlihat pada layar.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pengkayaan Kandungan Bijih Besi
Laterit dengan Benefisiasi
Bijih besi yang berbentuk batuan harus
dihilangkan jumlah air dari sampel supaya
bobot yang diperoleh konstan. Kadar air yang
diperoleh kecil, yaitu 1.03% karena air hanya
terdapat pada bagian lapisan luar batuan besi.
Menurut Harjadi (1986), air yang terikat
secara
fisik
untuk
menghilangkannya
diperlukan panas rendah sekadar untuk
menguapkannya, umumnya suhu 100-105 ºC.
Hasil analisis awal terdapat pada Lampiran 6
baik dengan analisis metode XRF maupun
analisis metode konvensional. Mulyaningsih
(2005) menyatakan bahwa metode XRF lebih
cepat dibandingkan metode konvensional,
metode konvensional memerlukan beberapa
tahapan analisis, sedangkan metode XRF
hanya satu tahap analisis dan langsung
dihasilkan analisisnya. Selain itu, metode
konvensional memiliki tingkat keakuratan
hasilnya yang lebih tinggi dibandingkan
dengan metode XRF. Hal ini disebabkan
metode XRF mempunyai kendala dalam
karakteristik matrik sampel dan matrik
standar. Standar yang digunakan dalam
metode XRF maupun metode basah adalah
iron ore yang sudah diketahui kadar Fe total
maupun Fe metal dengan pasti (kode material
standarnya euro MRC 685-1).
Pada metode fluoresensi sinar-X, sampel
logam atau spesimen batuan disinari oleh
berkas sinar-X gelombang pendek. Berkas ini
dapat mementalkan sebuah elektron dari kulit
elektron terdalam dari sebuah atom, dan untuk
menggantikan elektron yang hilang ini,
sebuah elektron lain dapat melompat dari
salah satu kulit luar dan dengan demikian
terbebas energi dalam bentuk sinar-X. Radiasi
sinar-X
„sekunder‟
atau
„pendaran‟
(fluorescence) yang dihasilkan ini akan
dipancarkan dengan panjang gelombang yang
karakteristik dari atom yang bersangkutan,
dan intensitas radiasi itu dapat digunakan
untuk memperkirakan banyaknya unsur di
dalam sampel yang menimbulkan radiasi itu.
Ini merupakan suatu contoh dari sejumlah
metode uji yang disebut non-destruktif (tak
merusak) (Basset et al. 1994).
Adanya unsur-unsur lain dalam jumlah
yang cukup besar setelah dilakukan analisis
metode XRF menandakan bahwa dalam bijih
besi laterit tersebut masih terdapat banyak
pengotor sehingga kadar Fe total kecil.
Apabila kadar Fe total dari bijih besi kurang
dari 63% maka perlu dilakukan proses
benefisiasi. Proses ini digunakan untuk
memisahkan antara mineral berharga dari
pengotornya berdasarkan perbedaan sifat
kemagnetan yang dimilki oleh mineralmineral pada bijih besi. Dengan mengurangi
pengotor-pengotor tersebut, maka diharapkan
akan didapatkan kadar Fe yang lebih tinggi.
Fraksi ukuran yang digunakan adalah 150
mesh karena mineral-mineral berharga yang
terdapat pada bijih besi terjebak antara
mineral-mineral pengotor yang lain.
Hasil dari proses benefisiasi dapat
dikelompokkan
sebagai
berikut:
hasil
benefisiasi yang banyak mengandung mineral
berharga, hasil benefisiasi bijih besi yang
banyak mengandung unsur pengotor dan hasil
benefisiasi bijih besi yang masih cukup
banyak mengandung mineral berharga
sehingga perlu dilakukan proses benefisiasi
ulang. Ketika proses benefisiasi berlangsung,
terdapat gaya yang bekerja antara lain: gaya
magnet atau medan magnet yang ditimbulkan
oleh pemisah magnet, gaya gravitasi, gaya
sentrifugal, gaya gesek, gaya tarik atau tolak
antar partikel.
Proses benefisiasi (pengkayaan) dengan
melakukan
pencucian
bijih
besi
8
menggunakaan air dan deterjen serta
pemisahan dengan magnet. Pencucian
terutama digunakan untuk mengurangi jumlah
unsur-unsur pengganggu yang terdapat pada
bijih besi seperti silika. Setelah dilakukan
proses benefisiasi, diperoleh kadar silika
menurun dari 5.90 menjadi 2.69%. Alasan
digunakannya deterjen adalah sebagai zat
yang
mampu
memperkecil
tegangan
permukaan dimana unsur-unsur pengganggu
akan terikat pada deterjen dan menjaga tetap
teremulsinya kotoran suatu pelarut. Proses
benefiasi ini dilakukan berulang-ulang agar
kotoran-kotoran
pengganggu
berkurang
sehingga kadar Fe total dapat meningkat, yaitu
56.70 menjadi 64.51%. Perhitungan kadar Fe
total dapat dilihat pada Lampiran 7.
Penentuan Fe total dengan metode basah
menggunakan HCl pekat untuk melarutkan
besi oksida yang terkandung dalam bijih besi
laterit. Ketika besi oksida larut sempurna
terjadi perubahan warna dari kuning menjadi
coklat kemerahan. Air akuades untuk
mengencerkan larutan besi oksida. Pada saat
larutan mendidih, Fe3+ akan direduksi menjadi
Fe2+ oleh larutan SnCl2 sehingga warna
berubah menjadi tak berwarna. Penambahan
larutan HgCl2 setelah larutan dingin untuk
menangkap kelebihan Sn2+ yang berubah
menjadi Sn4+ berdasarkan reaksi berikut,
(Arthur 1979)
2Fe3+ + Sn2+ → 2Fe2+ + Sn4+
Penambahan
H3PO4
berfungsi
mengaktifkan indikator Fe (difenilamina
sulfonat) karena asam fosfat akan membentuk
kompleks Fe3+ sehingga berada dalam trayek
perubahan indikator. Selanjutnya dititrasi
menggunakan larutan kalium dikromat yang
sudah distandardisasi. Pada titrasi tersebut
akan terjadi proses oksidasi Fe2+ menjadi Fe3+.
Perubahan warna yang terjadi dari putih
menjadi kehijauan kemudian ungu.
Penentuan Fe2+ didasarkan pada pelarutan
dengan HCl pada kondisi ruang yang ditutup
geockel glass untuk mencegah masuknya
oksigen sehingga tidak terjadi oksidasi Fe2+
menjadi Fe3+. Penambahan H3PO4 berfungsi
mengaktifkan indikator Fe karena asam fosfat
akan membentuk kompleks Fe3+. Selanjutnya
pada titrasi dengan larutan kalium dikromat
akan terjadi proses oksidasi Fe2+ menjadi Fe3+.
Pengaruh Suhu Pada Persen Reduksi
Bijih Besi Laterit
Persen reduksi besi spons adalah
banyaknya oksigen yang diambil atau hilang
dari besi oksida oleh reduktor pada saat proses
reduksi.
Persen
reduksi
besi
spons
menunjukkan seberapa besar keberhasilan dari
proses reduksi bijih besi melalui proses
reduksi langsung. Selain persen reduksi, untuk
melihat kualitas besi spons digunakan juga
persen metalisasi.
Berdasarkan
ilmu
termodinamika,
kenaikan suhu menyebabkan reaksi reduksi
bijih besi akan cenderung berjalan ke arah
kanan (membentuk produk [logam Fe]) atau
berjalan lebih spontan. Sehingga reaksi
reduksi bijih besi akan berjalan semakin baik
pada setiap kenaikan suhu namun persen
reduksi akan menurun yang ditunjukkan
gambar 2 akibat perubahan gas langsung
menjadi CO2.
Gambar 2 Pengaruh suhu pada persen reduksi
bijih besi laterit dari Bayah
Perpindahan massa yang terjadi dalam
sistem reduksi langsung terdiri atas proses
difusi dan konveksi. Proses konveksi yang
disebabkan oleh aliran gas dalam sistem
merupakan mekanisme perpindahan massa
yang paling dominan dalam reduksi langsung
(Sun 1999). Sebagian besar reaksi kimia yang
terjadi selama reduksi bijih besi adalah reaksi
endotermik. Suhu proses yang digunakan
menentukan keberhasilan proses reduksi bijih
besi karena akan memengaruhi tingkat
metalisasi dan persen reduksi dari besi spons
yang dihasilkan (Sun 1999).
Kenaikan suhu menyebabkan laju
perpindahan panas antar partikel padatan
makin tinggi, karena konduktifitas panas
padatan dan radiasi yang meningkat. Panas
harus selalu tersedia untuk menjaga
kelangsungan reduksi bijih besi. panas yang
masuk digunakan pada proses gasifikasi
karbon untuk menghasilkan gas CO yang
berperan sebagai reduktor. Hal ini disebabkan
karena gasifikasi karbon memiliki nilai energi
9
aktifasi yang tinggi karena reaksinya berjalan
endotermik. Pelepasan oksigen dari besi
oksida dilakukan oleh gas CO yang dihasilkan
dari reaksi gasifikasi karbon dengan gas CO2
yang berjalan secara endotermik dengan
persamaan (Perry 1984),
C + O2 →CO2
C + CO2 → 2CO
Laju gasifikasi karbon juga dipengaruhi
oleh laju perpindahan massa gas oksida (CO2
dan O2) untuk mengoksidasi karbon. Semakin
tinggi suhu maka laju difusi dan konveksi gas
oksida makin tinggi sehingga laju gasifikasi
karbon juga meningkat. Peningkatan laju
gasifikasi
karbon
akan
meningkatkan
konsentrasi gas reduktor yang menyebabkan
konsumsi karbon sehingga jumlah karbon (%)
akan berkurang yang ditunjukkan pada
Gambar 3. Naiknya suhu maka padatan
karbón memiliki kecenderungan yang kuat
untuk menjadi CO, sehingga volume gas CO
semakin besar dengan bertambahnya suhu.
Pada suhu 800 oC dan 900 oC diperlukan
persen gas CO yang lebih tinggi untuk
mereduksi magnetit (Fe3O4) menjadi wustit
(FeO) jika dibandingkan dengan suhu 1000
o
C, hal ini disebabkan reaksi reduksi magnetit
menjadi wustit berjalan secara endotermik.
Gambar 3 Pengaruh suhu pada persen
karbon setelah proses reduksi
bijih besi laterit dari Bayah
Peningkatan konstanta laju gasifikasi
karbon akan meningkatkan konsumsi karbon
sehingga laju proses reduksi dan pembentukan
CO2 dan H2O untuk gasifikasi karbon
meningkat. Sehingga laju proses reaksi
reduksi secara keseluruhan akan meningkat
(Milandia 2005).
Komposisi kimia batu bara dapat
memengaruhi proses pembakaran dalam
mereduksi bijih besi. Kandungan volatile
matter (VM) memengaruhi kesempurnaan
pembakaran dan intensitas api. Penilaian
tersebut didasarkan pada rasio atau
perbandingan antara kandungan karbon (fixed
carbon) dengan zat terbang, yang disebut
dengan nisbah bahan bakar (fuel ratio).
Semakin tinggi nilai fuel ratio maka jumlah
karbon di dalam batu bara yang tidak terbakar
juga semakin tinggi. Jika perbandingan fuel
ratio nilainya lebih dari 1.2 pengapian akan
kurang baik karena kecepatan pembakaran
menurun.
Kadar
abu
tinggi
berarti
memengaruhi tingkat pengotoran tinggi.
Kadar abu dalam percobaan ini 7.93% yang
berarti pengotornya cukup tinggi. Kadar
karbon yang diperoleh 47.19% karenanya
dapat digolongkan ke dalam batu bara jenis
sub-bituminus.
Pada suhu 1000 oC tersedia panas yang
lebih tinggi untuk mereduksi magnetit
menjadi wustit jika dibandingkan pada suhu
900 oC, sehingga kebutuhan persen gas CO
lebih kecil. Pada suhu rendah (T<1000 oC)
dengan jumlah persen gas CO yang tidak
mencukupi maka hematit (Fe2O3) tidak dapat
tereduksi secara sempurna menjadi logam Fe
melainkan hanya sampai FeO. Diperlukan
suhu yang lebih tinggi agar konsentrasi gas
CO dapat mereduksi hematit dengan
sempurna. Reaksi maksimum terjadi pada
suhu 950-1100 oC. Hal ini disebabkan karena
karbon sangat mudah teroksidasi pada suhu ±
950 oC.
Dalam reaksi reduksi bijih besi,
peningkatan laju tidak terlalu memengaruhi
reaksi keseluruhan sedangkan peningkatan
laju reaksi pada reaksi gasifikasi karbon
sangat memengaruhi reaksi keseluruhan. Oleh
karena itu, reaksi gasifikasi karbon merupakan
faktor pengendali laju reaksi kimia dalam
sistem. Reaksi reduksi bijih besi melibatkan
suatu mekanisme yang siklus, di mana CO2
mengalami reduksi untuk menghasilkan CO
yang akan mereduksi besi oksida kemudian
menghasilkan CO2 kembali melalui reduksi
oksida. Reaksi-reaksi reduksi dan gasifikasi
seperti itu perlu digabungkan untuk
memperoleh persen reduksi yang tinggi.
Reaksi gasifikasi karbon sangat endotermik
dengan jumlah lebih besar dari energi
diperlukan. (Camci et al. 2002).
Pengaruh Suhu Pada Persen Metalisasi
Bijih Besi Laterit
Persen metalisasi, yaitu perbandingan
banyaknya logam Fe pada Fe total, dalam besi
spons. Semakin meningkat suhu maka persen
10
metalisasi akan naik namun turun pada suhu
1000oC akibat jumlah CO berkurang setelah
proses reduksi.
Reaksi lambat ini terjadi karena gas
reduktor (CO) yang dibutuhkan untuk reaksi
reduksi bijih besi dan gasifikasi batu bara
tidak cukup karena batu bara telah
terdevolatilisasi lebih awal sehingga gas CO
yang tersisa tidak mencukupi untuk reaksi
lainnya. Secara umum, perubahan dari hematit
menjadi magnetit, magnetit menjadi wustit
dan wustit menjadi logam besi dengan reduksi
langsung merupakan reduksi orde ke-1
(Donskoi et al. 2002).
Ishizaki, Nagata, dan Hayashi (2007)
menjelaskan bahwa penggabungan batu bara
dengan bijih besi terjadi saat kondisi butiran
dipanaskan mencapai suhu 800°C. Di atas
suhu ini, terjadi reduksi Fe3O4 menjadi FeO
pada rentang suhu 800-1000 °C kemudian
FeO menjadi Fe pada suhu 1000 °C-1250 °C.
Perubahan hematit menjadi logam besi (Fe)
terjadi dalam tiga tahap, yaitu hematit menjadi
magnetit, magnetit menjadi wustit dan wustit
menjadi Fe. Hematit mulai tereduksi pada
suhu 580 oC dan mulai berakhir pada 670 oC
menggunakan gas CO dan H2 hasil
devolatilisasi batu bara. Magnetit tereduksi
pada suhu 670-870 oC membentuk FeO
menggunakan gas CO dan H2 hasil
devolatilisasi dan CO yang berasal dari reaksi
gasifikasi batu bara. FeO tereduksi pada suhu
870-1200 oC dengan gas CO hasil gasifikasi
batu bara. Reaksi maksimum terjadi pada suhu
950-1100 oC. Hal ini disebabkan karena
karbon sangat mudah teroksidasi pada suhu ±
800 oC (Liu 2003).
Penambahan kapur suhu 800 oC dan 900
o
C tingkat metalisasi bijih besi Bayah (19.45%
dan 44.50%) dan penambahan bentonit
(17.97% dan 43.78%) lebih rendah jika
dibandingkan dengan tingkat metalisasi pada
suhu 1000 oC, yaitu 80.63% untuk
penambahan kapur dan 82.11% untuk
penambahan bentonit. Hal ini disebabkan oleh
laju gasifikasi karbon pada suhu 800 oC dan
900 oC berjalan lebih lambat karena masih
terdapat jelaga jika dibandingkan pada suhu
1000 oC. Nilai persen metalisasi dapat dilihat
pada gambar 4. Selain itu, belerang yang
terkandung dalam bijih besi dan batu bara
diikat oleh kapur bakar hasil kalsinasi batu
kapur. Reaksi yang terjadi ditunjukkan oleh
persamaan berikut:
CaO + S + C  CaS + CO
2S + 2CaO + Si  2CaS + SiO2
S + 2CaO + 2Si  2CaSi + SO2,
Nomura et al. (2007) menyatakan bahwa
ketika suhu 1200 oC, komponen utama dari
batu bara, SiO2, dan FeO di dalam serbuk
bijih besi dapat bereaksi menghasilkan suatu
campuran FeO dan SiO2, yaitu fayalite
(2FeO.SiO2). Akibat terbentuknya fayalite,
hasil reduksi yang diperoleh lebih rendah dari
1000 oC walaupun sisa karbonnya sedikit.
Gambar 4 Pengaruh suhu pada persen
metalisasi bijih besi laterit dari
Bayah
Perbandingan Penambahan Kapur dan
Bentonit
Proses pembentukan pelet untuk besi
spons dipengaruhi oleh penambahan air,
bahan perekat, dan ukuran butiran.
Penambahan air yang terlalu banyak akan
membuat pelet menjadi lebih lunak sehingga
sulit dibentuk bulatan. Penambahan air yang
terlalu sedikit akan membuat kekuatan bola
pelet berkurang. Pembentukan pelet dengan
penambahan kapur lebih rapuh dibandingkan
penambahan bentonit akibat kadar Al2O3 pada
bentonit yang lebih banyak sehingga lebih
mudah untuk merekatkan partikel bijih besi.
Penambahan binder atau perekat akan
membuat pelet semakin kuat setelah dilakukan
proses reduksi. Bentonit berperan sebagai
perekat karena Kandungan utama bentonit
adalah 80% mineral monmorilonit seperti
kristal aluminium, hidrosilikat dengan struktur
lapisan membentuk tanah liat. Struktur
monmorilonit terdiri atas 3 layer, yaitu lapisan
alumina (Al2O3) berbentuk oktahedral yang
diapit oleh 2 lapisan silika (SiO4) berbentuk
tetrahedral. Bentonit mengandung SiO2 lebih
tinggi dibandingkan CaO sehingga hasil besi
spons dapat dikatakan bersifat asam
sedangkan kapur mengandung kadar CaO
lebih banyak dibandingkan SiO2 sehingga besi
spons dapat dikatakan bersifat basa.
11
Adanya penambahan kapur menunjukkan
persen reduksi cukup stabil pada suhu 10001100 oC namun penambahan bentonit
menunjukkan persen reduksi tidak stabil suhu
1100 oC dan naik kembali pada suhu 1200 oC.
Hal tersebut akibat adanya SiO2 cukup banyak
sehingga terbentuk fayalite.
Basset J et al. 1994. Buku Ajar Vogel Kimia
Analisis Kuantitatif Anorganik. Hadyana,
A dan Setiono, L, Penerjemah; Jakarta :
EGC. Terjemahan dari: Vogel’s Textbook
Of Quantitative Inorganik Analysis
Including
Elementary
Instrumental
Analysis.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah
dilakukan maka diperoleh bahwa kadar silika
menurun setelah dilakukan benefisiasi, yaitu
5.90% menjadi 2.69% sehingga kadar Fe total
dapat meningkat dari 56.70 menjadi 64.51%.
Batu bara yang digunakan termasuk jenis subbituminus dengan kadar fixed carbon 47.19%
karenanya cukup efektif untuk proses reduksi.
Penambahan bentonit berfungsi sebagai
perekat sehingga pelet yang diperoleh lebih
baik (cukup keras) dan kadar metalisasi lebih
tinggi dibandingkan penambahan kapur
dengan persen metalisasi berturut-turut 82.11
dan 80.63%. Suhu optimum yang diperoleh
untuk mereduksi bijih besi laterit dari Bayah
berkisar antara 1000 dan 1100 oC.
Saran
Saat melakukan proses pembuatan pelet,
pencampuran harus dilakukan sedikit demi
sedikit agar homogen. Proses reduksi perlu
dilakukan pada rentang suhu antara 900 oC
dan 1100 oC dengan selisih selang 20 oC.
Batu bara yang digunakan memiliki kadar
sulfur rendah. Adanya pencampuran kapur
dan bentonit dengan perbandingan tertentu
untuk kesetimbangan basisitas. Hasil besi
spons yang keras perlu dilakukan uji fisik
seperti kekuatan besi spons.
DAFTAR PUSTAKA
[ASTM] American Society for Testing and
Materials International Standard Word
Wide. 2003. Annual Book Of ASTM
Standards Section Five Petroleum
Product, Lubricant, and Fossil Fuel.
American:
ASTM;(Volume
05.06
Gaseous Fuels, Coal, and Coke. Revision
Issued Annually).
[ASTM] American Society for Testing and
Materials International Standard Word
Wide. 2000. Metals Test Metods and
Analytical
Procedures.
American:
ASTM;(Volume 03.05 section three.
Revision Issued Annually).
BEI News. 2005. Kebutuhan Bahan Baku
Baja Masih Terus Meningkat. [terhubung
berkala] http://www. bexi.co.id (19 Maret
2009).
Camci L , Aydin S, dan Arslan C. 2002.
Reduction of Iron Oxides in Solid
Wastes Generated by Steelworks.
Turkish J. Eng. Env. Sci. 26:37-44.
Donskoi E, McElwain DLS, dan Wibberley
LJ. 2003. Sensitivity Analysis of A
Model for Direct Reduction In Swelling
Coal Char- Hematite Composite Pellets.
ANZIAM J. 44:C140–C159.
El-Geassy AHA et al. 2007. Reduction
Kinetics and Catastrophic Swelling of
MnO2-doped Fe2O3 Compacts with CO
at 1073–1373 K. ISIJ International
47(3):377–385.
Eltra Gmbh. 2005. CS-800 Carbon / Sulfur
Determinator
[terhubung
berkala]
http://www.eltragmbh.com. (9 April
2009).
Grigore M et al. 2007. Effect of Carbonisation
Conditions on Mineral Matter in Coke.
ISIJ International 47(1):62–66
Harjadi W. 1986. Ilmu Kimia Analitik Dasar.
Jakarta: Gramedia
Ishizaki K, Nagata K, dan Hayashi T. 2007.
Localized Heating and Reduction of
Magnetite Ore with Coal in Composite
Pellets Using Microwave Irradiation. ISIJ
International 47(6):817–822.
Keenan CW et al. 1992. Ilmu Kimia Untuk
Universitas.
Pudjaatmaka,
AH
penerjemah;
Jakarta:
Erlangga.
Terjemahan dari: General College
Chemistry.
Leading
Laboratory
Equipment
Manufacturers. 2008. CS2000 Carbon
Determinator for analysis of Carbon in
12
Coal, Coke, Soils, Mineral Ores,
Catalysts and Plants [terhubung berkala]
http://www. labfit.com/ (9 April 2009).
Liu G. 2003. Thermal Investigations of Direct
iron Ore reductions With Coal.
[terhubung
berkala].
http://www.sciencedirect.com/. (14 Mei
2009)
Meyer K. 1980. Pelletizing Of Iron Ores.
Germany : Springer-Verlag Berlin.
Milandia A. 2005. Studi Pendahuluan
Pembuatan Besi Spons menggunakan
Bijih Besi Lokal Dengan Reduktor
Campuran
Batu
bara–Greencoke
[Skripsi]. Cilegon: Fakultas Teknik,
Universitas Sultan Ageng Tirtayasa.
Mulyaningsih R. 2005.
Perbandingan
Komposisi Kimia Bijih Besi Dengan
Metode Analisis Konvensional dan
Flouresensi Sinar-X Di PT Krakatau Steel
[Skripsi]. Surabaya:Fakultas Matematika
dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas
Jendral Achmad Yani
Nomura S et al. 2007. Some Fundamental
Aspects of Highly Reactive Iron Coke
Production. ISIJ International 47(6):823–
830.
Novyanto, O. 2007. Mengenal Fabrikasi Besi
Kasar.
[terhubung
berkala]
http://okasatria.blogspot.com
(18Maret
2009).
Harian Umum Pelita. 2009. Konsumsi Baja
Naik Tahun 2003. [terhubung berkala]
http://www.pelita.or.id (28 Juli 2009)
Pelton D dan Christopher W. 2000. Direct
Reduced Iron Technology and Economics
of Productions and Use. Warrendale :
The Iron and Steel Society
Perry RH. 1984. Perry’s Chemical
Engineering Hand Book. Ed ke-6.
International Student Edition. Tokyo:
MC-Graw-Hill Book Company.
Raharjo IB. 2006. Mengenal Batu bara.
[Terhubung
berkala] http://www.
indeni.org (19 Maret 2009).
Rosenqvist T. 1983. Principles of Exstractive
Metallurg second edition. Singapura :
McGraw- Hill Book Co.
Ross HU. 1980. Physical Chemistry: Part I
Thermodynamics. Direct Reduced Iron
Technology and Economics of Productions
and Use. Warrendale : The Iron and Steel
Society
Saidi A et al. 2004. Hyperactivation of
Bentonite
in
Pelletizing
Process.
International Journal of ISSI 1(1):38-41.
Sani H. 2008. Bijih Laterit. [terhubung
berkala] http://one.indoskripsi.com (19
Maret 2009).
Seki I dan Nagata K. 2006. Reduction
Kinetics
of
Hematite
Powder
Mechanically Milled with Graphite. ISIJ
International 46(1):1–7.
Skoog DA, Holler FJ, dan Nieman TA. 1998.
Principles Of Instrumental Analysis. Ed
ke-4. USA: Harcourt Brace and Company
Sutisna DT. 2007 Potensi dan Pemanfaatan
Cebakan Bijih Besi di Indonesia.
Departemen Energi dan Sumber Daya
Mineral Badan Geologi Pusat Sumber
Daya Geologi. Bandung.
Sun S. 1999. A Study of Kinetics and
Mechanism of Iron Ore Reduction in
Ore/Coal Composites. Kanada: McMaster
University.
Syuhada et al. 2009 Modifikasi Bentonit
(Clay) menjadi Organoclay dengan
Penambahan Surfaktan. Jurnal Nano sains
& Nanoteknologi ISSN 1979-0880.
2(1):1-5
[Tekmira] Teknologi dan Mineral. 2005. Batu
Kapur/Gamping. [terhubung berkala]
http:// www.tekmira.esdm.go.id/. (12 Mei
2009)
Arthur I. 1979. A Textbook of Macro and
Semi Micro Qualitative Inorganic
Analysis. Ed ke-4. London and New York
: Longman. Inc
Word Coal Institute. 2004. Pengertian Batu
bara.
[terhubung
berkala]
http://www.worldcoal.org.
(19Maret
2009)
13
LAMPIRAN
14
Lampiran 1 Bahan baku dan hasil percobaan
a
a. Sampel Bijih Besi Laterit dan b. Batu bara
b
a
b
a. Briket Bijih Besi Laterit dan b. Bentuk Pelet yang akan direduksi
Hasil Titrasi Analisis Fe Total dan Fe Metal
15
Lampiran 2 Alat yang digunakan dalam percobaan
a
b
a. Alat Laboratory Disk Mill dan b. Alat Auto Glass Bead
a
b
a. Alat Briqueting Press Machune dan b. Alat Carbon/Sulfur Determinator
a
b
a. Alat X-Ray Flouresence Spectrofotometer dan b. Tempat Sampel XRF
16
Lampiran 3 Diagram alir reduksi bijih besi
Bijih besi
Bayah
Batu bara
Preparasi sampel:
Grinding
Preparasi sampel:
Grinding
Screening
Screening
Benefisiasi
Analisis
komposisi kimia
(metode basah) dan
X-Ray Fluorosence
Analisis
komposisi kimia
Proximate analysis
Mixing
1. Bijih besi+Batu bara+ 1% kapur + akuades
2. Bijih besi+Batu bara+ 1% bentonit + akuades
Reduksi selama waktu
(60 menit) dan suhu
(800, 900, 1000, 1100, dan 1200 °C)
Analisis komposisi
kimia pada kapur
dan bentonit
Preparasi sampel:
Grinding dan Screening
-
Pengolahan data
-
Literatur
Pembahasan
Simpulan
Pengujian:
Analisis Fe metal
dan
Fe total
Analisis % karbon
dengan Carbon
Determinator
17
Lampiran 4 Diagram alir benefisiasi
Sampel
(Bijih Besi Laterit dari Bayah)
Pencucian dengan air dan deterjen
Pengadukan
Pemisahan dengan magnet
Konsentrat
Penghilangan pengotor pada
permukaan
Pengeringan
Pengulangan jika analisis
Fe total < 63 %
Tailing
18
Lampiran 5 Rumus-rumus perhitungan pada metode analisis
Perhitungan standardisasi kalium dikromat
N K2Cr2O7 = % Fe total × bobot Fe standar (mg)
V K2Cr2O7 × BA Fe × 100%
Perhitungan kadar Fe total
% Fe total = (VN) K2Cr2O7 × BA Fe × 100%
bobot contoh (mg)
Keterangan:
N = normalitas
V = volum (ml)
BA = bobot atom
Perhitungan kadar Fe 2+
% Fe 2+ = (VN) K2Cr2O7 × BA Fe × 100%
bobot contoh (mg)
Perhitungan kadar Fe metal
% Fe metal = (VN) K2Cr2O7 × BA Fe × FP × 100%
bobot contoh (mg) × 3
Perhitungan kadar SiO2
% SiO2 = A – B × 100%
G
Keterangan:
FP = faktor pengenceran
Keterangan : A= bobot silikat dan impuritis (gram)
B = bobot impuritis (gram)
G = bobot contoh (gram)
Perhitungan kadar MgO
% MgO = (VN) EDTA × BM MgO × FP ×100%
bobot contoh (mg)
Perhitungan kadar CaO
% CaO = (VN) EDTA × BM CaO × FP ×100%
bobot contoh (mg)
Keterangan:
BM = bobot molekul
Perhitungan kadar air
% H20 = B – C × 100%
B–A
Perhitungan hilang pijar
% HP = B – C × 100%
B–A
Keterangan:
A = bobot wadah konstan (gram)
B = bobot wadah dan sampel (gram)
C = bobot setelah pemanasan (gram)
Perhitungan volatile matter
% VM = B – C × 100%
B–A
Perhitungan karbon tetap dan kadar abu
fixed C = % HP - % VM
% ash = 100% - % HP
19
Lampiran 6 Data hasil pengujian
a) Perbandingan komposisi kimia bijih besi laterit antara sebelum benefisiasi dan
setelah benefisiasi
Komposisi Kimia
Sebelum Benefisiasi (%)
Setelah Benefisiasi(%)
Fe Total
56.7000
64.5100
2+
Fe
14.5300
19.3200
SiO2
5.9000
2.6900
CaO
0.4200
0.3500
MgO
0.2800
0.2600
MnO
0.9800
0.7400
Al2O3
1.2300
0.5300
TiO2
6.3200
4.7000
V2O5
0.5500
0.6200
Cr2O3
0.0500
0.0500
P2O5
0.0900
0.0600
S
0.0200
0.0100
Ni
0.0114
0.0098
Cu
0.0068
0.0058
Na2O
0.0010
0.0009
K2O
0.0008
0.0009
Zn
0.0001
0.0001
Sn
0.0001
0.0001
Pb
0.0001
0.0001
Hilang Pijar
1.0200
0.9600
CaO/SiO2
0.0852
0.1301
b) Reduksi bijih besi laterit dari Bayah berdasarkan perbandingan mol dan
penambahan kapur pada waktu 60 menit
Fe total
Fe metal
metalisasi
karbon
reduksi
suhu
(%)
(%)
(%)
(%)
(%)
800
60.15
11.70
19.45
4.11
44.52
900
65.24
29.03
44.50
2.35
58.54
1000
72.68
58.60
80.63
0.21
83.88
1100
71.59
56.22
78.53
0.09
82.40
1200
65.06
34.40
52.87
0.05
64.89
20
c) Reduksi bijih besi laterit dari Bayah berdasarkan perbandingan mol dan
penambahan bentonit pada waktu 60 menit
Fe total
Fe metal
Metalisasi
Karbon
Reduksi
Suhu (oC)
(%)
(%)
(%)
(%)
(%)
800
58.5
10.51
17.97
5.15
45.05
900
64.66
28.31
43.78
3.09
58.38
1000
71.92
59.05
82.11
0.82
85.26
1100
68.77
45.16
65.67
0.24
72.96
1200
70.39
52.6
74.73
0.15
79.63
d) Analisis kimia kapur dan bentonit
Komponen Kimia
SiO2
CaO
MgO
Hilang Pijar
Impuritis
Kapur(%)
0.33
51.27
1.23
42.45
4.72
e) Analisis kimia batu bara
Analisis Batu bara
Hasil(%)
Volatile Matter
45.25
Kadar Abu
7.56
Fixed Karbon
47.19
Hilang Pijar
92.44
Sulfur
4.69
Kadar Air
8.96
Bentonit(%)
59.18
2.73
0.67
18.01
19.41
21
Lampiran 7. Contoh perhitungan
Analisis bijih besi dari Bayah setelah benefisiasi
Perhitungan kadar SiO2
A = bobot silikat dan impuritis (gram) = 20.8929 g
B = bobot impuritis (gram) = 20.8659 g
G = bobot sampel (gram) = 1.0013 g
% SiO2 = A-B × 100%
G
= (20.8929 - 20.8659)g × 100%
1.0013 g
= 2.69 %
Perhitungan Fe total dari filtrat SiO2
Bobot sampel = 1.0013 g = 1001.30 mg
Volume K2Cr2O7 = 21.60 ml
Normalitas K2Cr2O7 = 0.1068 N
% Fe total = (21.60 ml × 0.1068 N) × 56 g/mol × 500/100 ×100%
1001.30 mg
= 64.51 %
Perhitungan Fe2+
Bobot sampel = 0.5046 g = 504.60 mg
Volume K2Cr2O7 = 16.30 ml
Normalitas K2Cr2O7 = 0.1068 N
% Fe 2+ = (16.30 ml × 0.1068 N) × 56 g/mol × 100%
504.60 mg
= 19.32 %
Perhitungan basisitas
Diketahui hasil analisis XRF pada bijih besi
% CaO = 0.35 % dan % SiO2 = 0.26 %
Basisitas = % CaO = 0.35 % = 1.35
% SiO2
0.26 %
Analisis kapur
Perhitungan SiO2
A = bobot silikat dan impuritis (gram) = 20.8497 g
B = bobot impuritis (gram) = 20.8464 g
G = bobot sampel (gram) = 1.0034 g
% SiO2 = A-B × 100%
G
= (20.8497 - 20.8464)g × 100%
1.0034
= 0.33 %
22
Penentuan CaO
Bobot sampel = 1.0034 g = 1003.40 mg
Volume EDTA = 19.40 ml
Normalitas EDTA = 0.0947 N
% CaO = (19.40 ml × 0.0947 N) × 56 × 500/100 ×100%
1003.40mg
= 51.27 %
Penentuan MgO
Bobot sampel = 1.0034 g = 1003.40mg
Volume EDTA = 0.65 ml
Normalitas EDTA = 0.0947 N
% MgO = (0.65 ml × 0.0947 N) × 40 × 500/100
1003.40mg
= 1.23 %
Penentuan basisitas
% Basisitas = % CaO
% SiO2
=
×100%
51.27 % = 155.36
0.33 %
Analisis bentonit
Perhitungan SiO2
A = bobot silikat dan impuritis (gram) = 21.5684 g
B = bobot impuritis (gram) = 20.9751 g
G = bobot sampel (gram) = 1.0057 g
% SiO2 = A-B × 100%
G
= (21.5684 - 20.9751)g × 100%
1.0057
= 58.99 %
Penentuan CaO
Bobot sampel = 1.0057 g = 1005.70 mg
Volume EDTA = 1.02 ml
Normalitas EDTA = 0.0961 N
% CaO = (1.02 ml × 0.0961 N) × 56 × 500/100 ×100%
1005.70 mg
= 2.73 %
Penentuan MgO
Bobot sampel = 1.0057 g = 1005.70 mg
Volume EDTA = 0.35 ml
Normalitas EDTA = 0.0961N
% MgO = (0.35 ml × 0.0961 N) × 40 × 500/100
1005.70 mg
= 0.67 %
×100%
23
Penentuan basisitas
% Basisitas = % CaO = 2.73 % = 0.0463
% SiO2
58.99 %
Analisis sampel batu bara
Perhitungan kadar air (H2O)
A = Bobot wadah kosong yang telah konstan = 380.85 g
B = Bobot wadah + sampel = 1020.73 g
C = Bobot wadah + sampel setelah dioven = 963.38 g
B – C × 100%
B–A
= (1020.73 – 963.38) g
(1020.73 – 380.85) g
= 8.96 %
% H2O =
× 100%
Perhitungan hilang pijar (HP)
A = Bobot cawan kosong yang telah konstan = 18.9307 g
B = Bobot cawan + sampel = 22.7137 g
C = Bobot cawan + sampel setelah dipijarkan = 19.2207 g
% HP = B – C × 100%
B–A
= (22.7137 – 19.2207) g × 100%
(22.7137 – 18.9307) g
= 92.33 %
Rataan %HP = 92.33% + 92.55% = 92.44%
2
Perhitungan volatile matters (VM)
A = Bobot cawan kosong yang telah konstan = 31.2295 g
B = Bobot cawan + sampel = 33.0035 g
C = Bobot cawan + sampel setelah dipijarkan = 32.1995 g
% VM = B – C × 100%
B–A
= (33.0035 – 32.1995) g × 100%
(33.0035 – 31.2295) g
= 45.32 %
Rataan %VM = 45.32 % + 45.17% = 45.25 %
2
Perhitungan karbon tetap (fixed C)
% fixed C
= % HP - % VM = 92.44% - 45.25 % = 47.19 %
Perhitungan kadar abu (ash)
% ash = 100% - % HP = 100 % - 92.44 % = 7.56%
24
Perhitungan konsumsi batu bara
2Fe2O3 + 3C
> 4Fe + 3CO2
Diketahui: Basis sampel 100 gram
mol Fe2O3 = g/Mr
mol Fe2O3 = 100 g/160 g/mol
= 0.625 mol
Mol C = 3/2 × 0.625 mol
= 0.9375 mol
Bobot karbon yang dibutuhkan adalah:
Gram karbon = mol C × Ar C
= 0.9375 × 12 = 11.25 g (untuk 100% fixed carbon)
Diketahui persen fixed carbon sub-bituminus 47.19 %. maka jumlah
karbon yang diperlukan adalah:
11.25g 100%
C=
23.84g
47.19%
Analisis besi spons berdasarkan perbandingan mol dan penambahan kapur
pada suhu 1000 oC serta waktu 60 menit
Perhitungan Fe total
Bobot sampel = 0.3012 g = 301.20 mg
Volume K2Cr2O7 = 36.60 ml
Normalitas K2Cr2O7 = 0.1068 N
% Fe total = (36.60 ml × 0.1068 N) × 56 g/mol ×100%
301.20 mg
= 72.68 %
Perhitungan Fe metal
Bobot sampel = 0.2014 g = 201.40 mg
Volume K2Cr2O7 = 29.60 ml
Normalitas K2Cr2O7 = 0.1091 N
% Fe metal = (29.60 ml × 0.1068 N) × 56 g/mol × 200 ml/100 ml ×100%
201.40 mg × 3
= 58.60 %
Perhitungan metalisasi
% Metalisasi = % Fe metal
× 100 %
% Fe total
= 58.60 % × 100%
72.68 %
= 80.63 %
25
Analisis besi spons berdasarkan perbandingan mol dan penambahan
bentonit pada suhu 1000 oC serta waktu 60 menit
Perhitungan Fe total
Bobot sampel = 0.3002 g = 300.20 mg
Volume K2Cr2O7 = 36.10 ml
Normalitas K2Cr2O7 = 0.1068 N
% Fe total = (36.10 ml × 0.1068 N) × 56 g/mol ×100%
300.20 mg
= 71.92 %
Perhitungan Fe metal
Bobot sampel = 0.2012 g = 201.20 mg
Volume K2Cr2O7 = 29.80 ml
Normalitas K2Cr2O7 = 0.1068 N
% Fe metal = (29.80 ml × 0.1068 N) × 56 g/mol × 200 ml/100 ml ×100%
201.20 mg × 3
= 59.05 %
Perhitungan metalisasi
% Metalisasi = % Fe metal
× 100 %
% Fe total
= 59.05 % × 100%
71.92 %
= 82.11 %
Perhitungan persen reduksi bijih besi laterit berdasarkan perbandingan mol
dan penambahan bentonit pada suhu 1000oC serta waktu 60 menit
%Reduksi = % Oksigen awal - % Oksigen akhir
% Oksigen awal
2+
i
[ Fet –Fe × Mr O + Fe2+ ×Ar O] – [Fet – Fe m Ar O]
Mr Fe
Ar Fe
Ar Fe
=
[AFetotal –Fe2+ ×Ar O + Fe2+ ×Ar O]
Ar Fe
Ar Fe
= [64.51-19.32 ×48/112+19.32 × 16/56]–[71.92-59.05×16/56] × 100%
[64.51-19.32 ×48/112 + 19.32 × 16/56]
= 24.95-3.6770
24.95
= 85.26%
Keterangan
: Feti = Kadar Fe total sebelum direduksi
Fet = Kadar Fe total sesudah direduksi
Fem = Kadar Fe metal sesudah direduksi
Download