PENERAPAN SEMANGAT ASMAUL HUSNA “AL

advertisement
PENERAPAN SEMANGAT ASMAUL HUSNA “AL-MU’IZZ DAN
AL-MUZILL” DALAM POLA KEPEMIMPINAN
Damhuri
Abstrak
Allah swt. memiliki sejumlah nama yang merupakan representasi dari
eksistensinya. Sifat-sifat yang terdapat dalam nama-nama Allah (asmaul
husna) adalah unik, sehingga tidak ada seseorang yang dapat menyamai
Allah dalam sifat-sifatnya. Meskipun hakikat dari Asmaul Husna tidak ditiru
oleh manusia, namun semangat-semangat dan prinsip-prinsip dasar yang
terkandung dalam Asmaul Husna dapat diterjemahkan secara impelemntatif
dalam kehidupan nyata umat manusia, dalam batas-batas kemanusiaannya.
Asmaul husna merupakan simbol kemahakuasaan dan kemahadirajaan
Allah. Kajian intensif terhadap asmaul husna diharapkan dapat membangun
kesadaran manusia bahwa segala daya dan kekuasaan yang dimilikinya
sangat relatif sifatnya. Lahirnya kesadaran seperti itu, diharapkan akan
meruntuhkan tembok-tembok keangkuhan yang berdiri kokoh dalam hati
manusia. Dengan terkikisnya sifat-sifat keangkuhan, manusia dapat dengan
mudah untuk senantiasa melakukan pendekatan diri kepada Sang Penguasa
mutlak. Kesadaran akan kekuasaan Allah swt. sebagaimana tercermin
dalam asma-Nya akan membentuk kepribadian seorang muslim menjadi
orang yang berjiwa tawadlu, tawakkal, dan menjadikan sifat-sifat Allah
sebagai sumber inspirasi dalam segala aktivitas dan keputusannya.
Kata Kunci: Asmâul Husna, al-Mu’izz, al-Muzill, Kepemipinan
A. Pendahuluan
Dalam kehidupan sehari-hari, umat Islam menyikapi dan
memperlakukan Alqur’an dengan sangat variatif. Ada yang menjadikannya
sebagai penawar berbagai macam penyakit, ada yang menjadikannya sebagai
bacaan untuk menangkal bala, ada yang menjadikannya ada yang
membacanya untuk dikirimkan pahalanya kepada orang yang sudah
meninggal dunia, bahkan ada sementara orang yang menjadikannya pengikat
akad dalam proses pernikahan (baca: mahar). Dari sekian banyak fenomena
dalam menyikapi fungsi Alqur’an, namun tidak diragunakan bahwa fungsi
utama Alqur’an adalah sebagai petunjuk (hudan) bagi segenap umat
manusia, baik dalam hubungannya dengan Allah dan sesama manusia,
maupun dalam hubungannya dengan alam sekitar. Isyarat-isyarat yang
menunjukkan fungsi Alquran tersebut ditemukan dalam sejumlah ayat
112
Penerapan Semangat Asmaul Husna “Al-Mu’izz dan Al-Muzill” dalam Pola Kepemimpinan
Alquran.1
Dalam fungsi utamanya sebagai petunjuk bagi manusia, maka tidak
disangsikan bahwa secara keseluruhan kandungan Alqur’an membawa
informasi-informasi yang bertujuan untuk mengarahkan segenap aktivitas
umat manusia. Oleh sebab itu, ayat-ayat Alqur’an pada hakikatnya
merupakan media yang menyajikan kehendak Tuhan.2 Ibarat rambu-rambu
lalu lintas, tidaklah dimaksudkan untuk membuat orang terpaku dengan
keindahannya, tetapi bertujuan untuk menuntun pengguna jalan agar selamat
sampai ke tujuan.
Asmâul al-Husnâ merupakan salah satu cara Tuhan untuk
memperkenalkan keesaan, kemahakuasaan, kesucian dan keagungan-Nya.
Nama-nama yang diatributkan kepada Allah tersebut, sarat dengan makna
yang dapat dijadikan petunjuk bagi manusia. Asmâul Husnâ kaya dengan
konsep-konsep dan nilai-nilai moral yang dapat diteladani, direduksi atau
dipetik hikmahnya dalam upaya menata diri ke arah yang lebih sempurna.3
Di antara Asmâul Husnâ adalah al-Mu’izz (nªŸD) dan al-Muzill
(ÀjŸD) yang berarti “Yang Maha Memiliki Kekuasaan untuk memuliakan dan
menghinakan manusia. Kedua asma Allah tersebut mengisyaratkan
kemahadirajaan Tuhan, yang memiliki otoritas mutlak di atas otoritas relatif
manusia. Kesadaran akan hal itu berimplikasi terhadap lahirnya pola hidup
yang semakin terkontrol dalam mengaktualisasikan diri dalam segala aspek
kehidupan.
B.
Konsep Makna Asmâul Husnâ “al-Mu’izz dan al-Muzill
Al-Mu’izz dan al-Muzill adalah dua nama yang diatributkan kepada
Allah sebagai rangkaian dari asmâul husnâ. Al-Mu’izz berarti “Yang
menjadikan mulia”. Kata al-Mu’izz mempunyai akar kata m# 0
# #m# 0#¬ yang
secara leksikal mempunyai pengertian keras, kuat4, sulit5, tangguh sehingga
1
Ayat-ayat yang mengisyaratkan fungsi Alqur’an sebagai petunjuk,
dijumpai dalam sejumlah ayat Alqur’an, antara lain: Qs. Al-Baqarah (2): 2, 185, Qs.
Ali ‘Imrân (3): 138, Qs. Yûnus (10): 5, Qs. An-Nahl (16): 64, al-Isrâ (17): 9.
2Toshihiko Izutsu, God and Man in The Koran: Semantics of The Koranic
Weltanschaung, diterjemahkan oleh Agus Fahri et.al. dengan judul Relasi Tuhan dan
Manusia: Pendekatan Semantik Terhadap al-Qur'an, (Cet. 1; Yogyakarta: Tiara
Wacana, 1997), h. 148.
3M. Quraish Shihab, Menyingkap Tabir Ilahi: Asmâ al-Husnâ dalam
Perspektif al-Qur'an, (Cet. 2; Jakarta: Lentera, 1999), h. xxxviii.
4Abu al-Husain Ahmad ibnu Fâris ibnu Zakariya, Mu’jamu Maqâyis alLughah, jilid IV, (Cet. 2; Mishr: Syarikah wa Maktabah Mushthafa al-Bâb al-Halabî
wa Awlâduh, 1971), h. 38.
http://journal.iaingorontalo.ac.id/indek.php/ma
113
Damhuri
tidak dapat diusik6. Apabila al-Mu’izz dinisbatkan kepada Allah, maka ia
mengandung pengertian bahwa Allah memiliki kekuatan yang tangguh,
sehingga mustahil dapat ditandingi oleh manusia yang mempunyai batas
kemampuan. Makna tersebut menunjukkan kemahamuliaan dan
kemahaagungan Allah.
Adapun al-Muzill merujuk kepada akar kata # À–À–i yang antara
lain berarti ketundukan, kerendahan, lemah, mudah diraih oleh semua orang,
hina,7 tidak mengandung pemaksaan.8 Ciri-ciri seperti kelemahan, dapat
diraih dan dijangkau oleh semua orang dengan mudah dan berbagai macam
indikasi makna yang senada, merupakan karakter yang menunjukkan rendah
dan rapuhnya nilai sesuatu di hadapan kemahakuasaan Allah swt.
C. Konsep-konsep yang terdapat dalam al-Asmâul Husnâ “al-Mu’izz
dan al-Muzill”
Ayat-ayat Alqur’an yang memberikan isyarat bahwa Allah adalah alMu’izz (Yang Maha Memuliakan) dan al-Muzill (Maha Kuasa untuk
Menghinakan), sangat banyak. Salah satu ayat yang dengan tegas menunjuk
kepada pengertian tersebut, dijumpai dalam Qs. Ali ‘Imran (3): 26:
#ç×EætPæ #èÇÁæ #ïnªì çPÍæ #ç×EætPæ #èÇÂî Áì #ô»¾ö ç½ö D#ç¬nú Æè Pæ Íæ #ç×EætPæ #èÇÁæ #ô»¾ö ç½ö D#ÑìPÝè Pç #컾ö ç½ö D#ô»½ì EæÁ#îÃçÊü¾½D#迵õ
êlÏìhôµ#í×èÑs
æ #ò¿õ¹#Õô¾æ©#ô»îÅJú#çlèÐædö½D#ô¼ìhæÐìL#ç×EætæP#èÇÁæ #ïÀjì çPÍæ
Terjemahnya:
‘Katakanlah: “Wahai Tuhan yang mempunyai kerajaan, Engkau
berikan kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki dan Engkau
cabut kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan
orang yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang yang Engkau
kehendaki. Di tangan Engkaulah segala kebajikan. Sesungguhnya
Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu.’9
5Ibrahim Anîs et.al., al-Mu’jam al-Wasîth, jilid II, (Cet. 2; Istambul: alMaktab al-Islâmî, 1972), h. 598.
6Abu Hilâl al-‘Askarî, al-Furûqu fî al-Lughah, (Cet. 1; Beirut: Dâr al-Afâq
al-Jadîdah, 1973), h. 103; bandingkan dengan Al-Râghib al-Ashfahânî, Mufradât
Alfâzh al-Qur'an, (Cet. 1; Dimasyq: Dâr al-Qalam, 1992), h. 563.
7Ibrahim Anîs, op.cit., jilid I, h. 314-315.
8Al-Raghib al-Ashfahani, op. cit., h. 330. Di antara ayat yang membawa
indikasi makna tersebut dapat dilihat dalam Qs. Al-Isra (17): 24.
9Yayasan Penyelenggara Penterjemah al-Qur'an, Al-Qur'an dan
Terjemahnya, (Madinah al-Munawwarah: Mujamma’ Khadim al-Haramain alSyarifain li Thiba’at al-Mushaf al-Syarif, t.th.), h. 79.
114
Jurnal Madani, Vol 4. No 1. Juni 2014( ISSN: 2087-8761)
Penerapan Semangat Asmaul Husna “Al-Mu’izz dan Al-Muzill” dalam Pola Kepemimpinan
Ayat di atas dimulai dengan
¿µ
(katakanlah) yang mengandung
perintah dan memuat pengajaran langsung dari Allah agar manusia
senantiasa menyadari kelemahannya dan mengakui bahwa kemahakuasaan
Allah mengungguli kekuasaan semu manusia. Dalam pengajaran langsung
dari Allah tersebut, pada dasarnya tersirat suatu tuntunan agar manusia
senantiasa membangun kerangka pikir atas dasar pengesaan dan pengakuan
atas kemahaesaan Allah. Berbagai riwayat ditemukan sehubungan dengan
latar belakang historis turunnya ayat di atas. Namun dari sejumlah riwayat
yang ada, ditemukan bahwa ayat tersebut bertujuan untuk meluruskan
persepsi keliru orang–orang Yahudi dan orang–orang munafik yang
memandang kekuatan fisik sebagai kunci kelanggengan suatu kekuasaan
manusia, dan mengabaikan adanya kekuatan supranatural yang sering
menampakkan sesuatu yang sulit dicerna akal murni manusia.10 Pengakuan
tersebut menyiratkan pengakuan atas keesaan Allah.
Memperhatikan ayat di atas, Allah merangkaikan anugerah
kemuliaan dan kehinaan dengan anugerah kekuasaan. Disamping itu, secara
tersirat memberikan isyarat bahwa dalam kekuasaan terdapat unsur
kemuliaan, dan kemuliaan itu sendiri merupakan perwujudan dari adanya
kekuasaan. Kekuasaan itu sendiri baru dapat terwujud jika ditopang dengan
kekuatan, dalam arti bahwa kekuasaan selalu paralel dengan kekuatan. Hal
tersebut mendapat verifikasi dari sejumlah ayat al-Qur'an.11
Said Hawwa’ dalam menafsirkan ayat tersebut mengatakan bahwa
bentuk al-Izzah (kemuliaan) yang dimaksud adalah dengan memberikan
kekuasaan dan kedudukan, sedangkan al-zull (kehinaan) adalah dengan
mencabut kekuasaan dan kedudukan tersebut.12 Dalam hubungan tersebut,
ditemukan konsep kekuatan dan kemandirian Allah dalam menjalankan
kekuasaan-Nya.13
Otoritas mutlak Tuhan sebagai al-Mu’izz dan al-Muzill sangat erat
kaitannya dengan kedudukan Tuhan sebagai Malik al-Mulk (pemilik
kekuasaan). Tuhan sebagai Malik al-Mulk memberikan indikasi makna
bahwa Tuhan memiliki kemerdekaan dan kebebasan untuk bertindak dan
10Lihat Muhammad Husain al-Thabathabaiy, Al-Mizân Fi Tafsîr alQur’ân, juz III, (Cet. 5; Beirut: Muassasah al-A’lamiy li al-Mathbu’at, 1972). h. 128.
11Lihat umpamanya Q.s. al-Munafiqun (63):8, Qs. Annaml (27): 34.
12Said Hawwa’, al-Asâs fi al-Tafsîr, juz II, ( Cet. 2; t.tp.: Dar al-Salam,
1989), h. 730.
13Sejumlah ayat al-Qura'n memberikan isyarat bahwa untuk menjalankan
kekuasaan harus ditopang dengan kekuatan dan kemandirian. Diantara ayat yang
memberikan isyarat tersebut antara lain Qs. Fathir (35): 2. Ayat tersebut mengaitkan
al-izzah dengan kemandirian untuk menjalankan kehendak.
http://journal.iaingorontalo.ac.id/indek.php/ma
115
Damhuri
mengatur makhluk-Nya tanpa ada tekanan dari luar. Kebebasan dan
kemerdekaan Tuhan tersebut adalah konsekuensi dari kepemilikan Allah
yang tak terbatas, sebab Dia memiliki segala yang mempunyai
kepemilikan.14 Oleh sebab itu, Allah bebas memperlakukannya sesuai
dengan kehendak-Nya.15
Pada sisi lain ditemukan bahwa al-izzah (kemuliaan) yang
karuniakan Allah kepada hamba-Nya dikaitkan dengan masyî’ah (kehendak)
Allah. Secara sepintas dengan mempergunakan parameter manusia, seorang
penguasa yang menganugerahkan dan mencabut hak seseorang berdasarkan
kehendaknya, mengandung konotasi yang kurang baik. Namun ketika hal itu
dilakukan oleh pemiliknya sendiri, maka hal itu adalah wajar. Namun
demikian, jika dianalisa ayat tersebut secara seksama, ditemukan bahwa
tindakan-tindakan Allah - baik berupa penganugerahan sesuatu atau
mencabut suatu anugerah yang pernah diberikan kepada manusia - semua
berorientasi kemaslahatan.
Klausa # ŠD# ¼hÐL (di tangan Allah segala kebaikan) yang
disebutkan # setelah menjelaskan kebebasan mutlak Tuhan untuk berbuat,
membawa pengertian bahwa meskipun Tuhan bebas berbuat, tetapi segala
tindakan Tuhan selalu mengandung nilai-nilai kebaikan dan kemaslahatan,
dan tidak ada konotasi kesewenang-wenangan di dalamnya. Oleh sebab itu,
dalam sejumlah ayat Alqur’an ditemukan bahwa Allah sering mengaitkan
sifat al-‘izzah (kemuliaan) yang dimiliki-Nya dengan sifat Rahman-Nya.16
Disamping itu, ditemukan penggunaan sifat al-‘izzah Tuhan yang dikaitkan
dengan sifat al-Hamîd (Maha Terpuji) terulang sebanyak dua kali (Qs.
Ibrahim [14]: 1 dan Qs. al-Buruj [85]: 8. Ayat-ayat tersebut menunjukkan
bahwa sifat al-izzah yang menunjukkan bahwa meskipun Tuhan merdeka
dalam bertindak, namun bukan tanpa pertimbangan kemaslahatan. Hal
tersebut sekaligus menunjukkan kemahabijaksanaan Allah atas segala
keputusan-Nya.
Fakruddin al-Razi ketika mengomentari ayat yang dikemukakan
sebelumnya mengatakan bahwa al-‘izzah yang diberikan Allah atas dasar
kehendak (masyiah)Nya, bukanlah tanpa syarat. Tetapi masyiah (kehendak)
14Fakhruddin al-Razi, Al-Tafsir al-Kabir Mafatih al-Gaib, juz XVIII,
(Cet. I; Beirut: Dar a-Kutub al-‘Ilmiyah, 1990), h. 5.
15Sinyalemen seperti itu, dapat dilihat umpamanya Q.s. ‘Ali ‘Imran (3):
40, Ibrahim (14): 27, al-Hajj (22): 14, 18 dan lain-lain.
16Sifat al-izzah Tuhan yang dikaitkan dengan sifat Rahman-Nya terulang
sebanyak 15 kali dalam al-Qura'n yaitu Qs. Asy-Syu’ara (26): 9, 68, 104, 122, 140,
159, 175, 191, 217, Q.s. An-Naml ( 27): 9, 78, Qs. Ar-Rum (30): 5, As-Sajdah (32):
6, Yasin (36): 5, Ad-Dukhan (44): 42.
116
Jurnal Madani, Vol 4. No 1. Juni 2014( ISSN: 2087-8761)
Penerapan Semangat Asmaul Husna “Al-Mu’izz dan Al-Muzill” dalam Pola Kepemimpinan
Allah dalam hal ini terpaut dengan persyaratan iman.17 Hal tersebut
dipertegas dengan firman Allah dalam Qs. al-Munafiqun (63): 8: yang
menyatakan bahwa milik Allah-lah al-‘izzah (kemuliaan yang hakiki) dan
milik rasul-Nya serta orang-orang mukmin. Sebaliknya, dipahami secara
mafhum mukhâlafah dari ayat tersebut bahwa al-zillah (kehinaan)
merupakan konsekuensi dari kekafiran. Adapun bentuk-bentuk kemuliaan
(al-‘izzah) sebagaimana yang disinyalir oleh al-Razi, dapat diklasifikasikan
menjadi dua, yaitu berdasarkan ukuran agama dan ukuran duniawi.
Kemuliaan dalam ukuran agama antara lain berupa penyempurnaan balasan,
penghargaan, kemuliaan dan pemenangan dari musuh sesuai dengan ukuran
kemaslahatan. Sedangkan kemuliaan (al-‘Izzah) dalam parameter keduniaan,
meliputi pemberian harta yang melimpah (baik yang bergerak maupun
diam), memudahkan jalan-jalan rezki serta menanamkan rasa simpati dan
hormat semua makhluk terhadapnya.18
Menurut imam al-Gazali, bentuk-bentuk kemuliaan yang diberikan
Allah kepada hamba-Nya ialah dengan memberinya rasa cukup (kepuasan
setelah usaha maksimal) dan bebas dari sifat ketamakan, sehingga orang
tersebut mampu menata kepribadiannya. Sedangkan bentuk kehinaan (alzillah) ialah apabila seseorang memiliki ambisi ketamakan terhadap hal-hal
yang bersifat material dan tidak pernah merasa cukup dengan apa yang
diperolehnya. Orang seperti itulah menurut al-Gazali yang menyandang
pakaian kehinaan dan kekuasaan (al-mulk) akan dicabut daripadanya.19
Menurut Muhammad al-Thabathabaiy, kalaupun dalam kenyataan
ada orang yang secara lahiriyah dan dalam ukuran keduniaan mendapatkan
kemuliaan tanpa memiliki kriteria keimanan, maka hal tersebut pada
hakekatnya adalah al-zull (kehinaan) di balik bayang-bayang al-‘izzah
(kemuliaan).20 Penyataan tersebut dipertegas oleh firman Allah dalam Qs.
Shad#(38): 2-3:
#DèÍgæ EæƱô #ûÈlè µô #èÇÁì #èÃÊú ¾ìMè µô #èÇÁì #Eæƺ
ö ¾ôÉè Fô #èù
ô # # +2,#û¸Eô¶s
ì Íæ #íÓînì©#Ñì±#DÍçl²ô ¹
ô #æÇÏìjü½D#è¿Læ
+3,#ûzEæÆÁæ #æ–\
ì #æSÞæÍ
“Bahkan orang – orang kafir itu tampil dengan al-izzah dan
permusuhan. Betapa banyak umat sebelum mereka yang Kami telah
binasakan lalu mereka meminta tolong padahal (waktu itu) bukanlah
17Fakhruddin al-Razi, op.cit., h. 7.
18Ibid.
19Abu Hamid al-Gazaliy, Al- Maqshad al-Asnâ fi Syarhi Asmâ Allâh alHusnâ, diterjemahkan oleh Ilyas Hasan dengan judul Al-Asma al-Husna: Rahasia
Nama-Nama Indah Allah, (Cet. 7; Bandung: Mizan, 2000), h. 108.
20Muhammad Husain al-Thabathabaiy, op. cit., h. 132.
http://journal.iaingorontalo.ac.id/indek.php/ma
117
Damhuri
saatnya untuk lari melepaskan diri”.
Ayat di atas menggambarkan bahwa kemuliaan yang tampak pada
orang–orang kafir, pada hakikatnya adalah kehinaan. Konotasi seperti itu
dipahami dari ayat berikutnya yang menegaskan bahwa sudah sekian banyak
umat yang serupa telah dibinasakan oleh Allah.
Kesadaran bahwa Allah adalah al-mu’izz dan al-muzil akan
membentuk pola interaksi dengan sesama manusia. Keyakinan tersebut
membawa kepada kesadaran bahwa Allah selalu memantau, sehingga setiap
saat ada kontrol diri (self control) dalam segala aktivitas. Kesadaran seperti
itu, akan melahirkan tindakan-tindakan selektif dan proporsional. Bertindak
bukan tanpa pertimbangan dan menimbang bukan tanpa syarat.
D. Penerapan Semangat Asmâul Husnâ “al-Muizz dan al-Muzill”
dalam Pola Hidup Sehari-hari
Sebagaimana telah dikemukakan terdahulu bahwa semua kandungan
Alqur’an mengandung petunjuk untuk manusia. Berdasarkan pembahasan
terdahulu, ditemukan bahwa terdapat sejumlah konsep yang dapat diteladani,
direduksi atau dipetik hikmahnya dari nama Allah al-Mu’izz dan al-Muzill.
Nilai-nilai tersebut dapat dijadikan sebagai prinsip dalam pola interaksi
sehari-hari.
Tuhan sebagai penguasa mutlak dan mempunyai otoritas penuh
dalam kekuasaan-Nya, tentu tidak semua sifat-sifat-Nya dapat sepenuhnya
diteladani. Tetapi nilai dan hikmah yang terdapat dibalik sifat-sifat tersebut,
ada yang dapat dijadikan sebagai pola aksi, adapula yang dapat direduksi
serta ada yang dapat dimaknai hikmahnya dan selanjunya dijadikan pola aksi
dalam kehidupan nyata.
Berdasarkan analisa-analisa terdahulu, ditemukan bahwa dibalik
nama Allah (al-Mu’izz dan al-Muzill) ditemukan sejumlah prinsip yang
dapat diaplikasikan dalam pola kehidupan sehari-hari. Prinsip-prinsip
tersebut antara lain sebagai berikut:
1. Kepemimpinan atas dasar keesaan Tuhan
Sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa dalam pembuka ayat
tersebut tersirat sinyalemen yang mengandung perintah agar manusia
senantiasa membangun pola pikir atas dasar keesaan Allah. Kerangka pikir
atas dasar keesaan Tuhan berarti pengakuan dan keyakinan kepada Allah
yang disertai dengan pengabdian dan penyembahan kepada-Nya untuk
mencapai keridlaan-Nya. Sebagai konsekwensi logis dari pengakuan dan
keimanan kepada Allah tersebut, maka ketentuan dan hukum-hukum yang
telah diwahyukan kepada rasul-Nya juga mutlak merupakan sumber segala
hukum yang memimpin masyarakat dalam bermu’amalah.
118
Jurnal Madani, Vol 4. No 1. Juni 2014( ISSN: 2087-8761)
Penerapan Semangat Asmaul Husna “Al-Mu’izz dan Al-Muzill” dalam Pola Kepemimpinan
Menurut Maulana Muhamad Ali dalam bukunya “Early Caliphate”
seperti dikutip oleh H. Minhajuddin, bahwa prinsip keesaan Tuhan dalam
sistim kepemimpinan Islam merupakan prinsip yang sangat fundamental
dalam menentukan arah kepemimpinan, sebab dari sanalah sumber segala
kebenaran dan sistem interaksi, baik dalam hubungannya dengan Tuhan
maupun dengan sesama manusia.21 Dengan sistim interaksi tersebut, pada
gilirannya akan melahirkan nilai-nilai interaksional antara manusia dengan
Tuhan (hablumminallâh) dan manusia dengan sesama manusia
(hablumminannâs) bahkan manusia dengan alam semesta.
Hubungan antara manusia dengan Tuhan melahirkan nilai-nilai
peribadatan dan pendelegasian (kekhalifahan). Hubungan antara manusia
dengan sesama manusia melahirkan nilai-nilai persamaan, permusyawaratan
dan saling menghormati dalam berbagai aspek kehidupan umat manusia
lainnya. Hubungan dengan alam semesta, melahirkan nilai pemanfaatan,
pelestarian dan kontemplatif.
Abd. Muin Salim dalam melacak fungsi kekuasaan politik dalam
Alqur’an mengatakan bahwa konsep tersebut dapat ditemukan dalam Qs. AlSuy’ara (42): 13. Ayat tersebut secara tegas mengisyaratkan tugas para Nabi
adalah menegakkan agama sehingga ajarannya tidak hanya diketahui belaka,
tetapi dapat diamalkan oleh umat manusia. Selanjutnya, berdasarkan isyarat
ayat tersebut dalam hubungannya dengan kekuasaan politik, maka sebagai
penjabaran dari konsep tersebut, seorang pemimpin (pemerintah) harus
menyelenggarakan pembangunan spiritual.22
Dalam Melacak akar pola kepemimpinan dalam Islam, dapat
ditemukan pada diri Rasulullah saw. Sejak beliau menjadi rasul, misi
pertama dan utama yang dijalankannya adalah proses penyadaran manusia
tentang idealitas-idealitas, nilai-nilai dan tauhid.23 Penekanan-penekanan
kesadaran yang menandai fase pertama dalam mengemban tugas
kerasulannya, secara dini berarti mengingatkan manusia akan fitrahnya.24
Dalam perspektif fenomenologis, dapat dijelaskan bahwa
tertanamnya tauhid sebagai nilai dasar dan terinternalisasikannya nilai
tersebut ke dalam diri manusia, secara otomatis akan membangun pola
kesadaran, berfikir, beretika dan berprilaku.25 Tauhid bukanlah sekedar fakta
21H. Minhajuddin, Sistem Pemerintahan dalam Islam, dalam Warta
Alauddin, edisi 64 Tahun ke XI, (IAIN Alauddin, 1992), h. 137-138.
22Abd. Muin Salim, Konsepsi Kekuasaan Politik dalam al-Qura'n, edisi I,
(Cet. 2; Jakarta: Raja Garfindo Persada, 1995), h. 205-206.
23Umpamanya Qs. al-Mudatstsir (74): 1-7.
24Suharsono, Gerakan intelektual: Jihad Untuk Masa Depan Umat Islam,
(Cet. 1; Yogyakarta: Yayasan al-‘Arsy al-Islamiyah, 1992), h. 65-66.
25Suharsono et. al., Pola Transformasi Islam: Refleksi atas Sistematika
http://journal.iaingorontalo.ac.id/indek.php/ma
119
Damhuri
adanya Tuhan Yang Maha Tunggal, tetapi keterlibatan dan sebuah prinsip
tindakan yang memberi inspirasi kepada seluruh kehidupan. Orang yang
terpatri nilai-nilai tauhid dalam jiwanya, semua tindakan yang dilakukannya
betapapun kecil dan sederhananya, mempunyai misi untuk merealisasikan
rencana Tuhan di atas bumi menjadi suatu realitas yang hidup.
2. Kekuatan
Sebagaimana telah dijelaskan terdahulu bahwa Allah merangkaikan
anugerah kemuliaan (al-izzah) dan kehinaan (al-zillah) dengan anugerah
kekuasaan (al-mulk). Dalam hubungan tersebut ditemukan konsep kekuatan
dalam menjalankan kekuasaan-Nya. Salah satu pengertian al-izzah seperti
telah disebutkan adalah sulit untuk diraih, dalam arti bahwa karakter al-izzah
yang dimiliki Tuhan, mustahil dapat diusik oleh siapapun dan apapun.
Dalam tataran manusia, sifat tersebut dapat direduksi dalam proses
menjalankan roda kepemimpinan. Sebuah kekuasaan yang dibangun oleh
manusia akan rapuh dan tidak akan langgeng tanpa ditopang oleh dukungan
kekuatan.26 Manusia sebagai makhluk yang mempunyai keterbatasan dalam
berbagai hal termasuk keterbatasan dalam kekuatan, sehingga tidak mungkin
dapat menjalankan kekuasaannya secara mandiri. Hal tersebut sangat
disadari oleh khulafa al-rasyidin, khususnya Abu Bakar dan Umar.
Kesadaran akan hal itu mengantarnya untuk mengakui di depan khalayak
ramai pasca pelantikan beliau, bahwa kekuatan khalifah berada di tangan
rakyat.27 Tanpa ada dukungan rakyat, tugas-tugas kekhalifahan tidak
mungkin akan berjalan.
Pernyataan khalifah tersebut di atas menyiratkan urgensi sistim
manajemen kepemimpinan terbuka dan perlunya asas musyawarah dalam
kepemimpinan.28 Pemimpin dalam Islam serba terikat dan tidak bebas. Di
sana ada syariat yang memberikan ketentuan hukum, ada nilai-nilai yang
mengarahkannya dan ada hukum yang mengikatnya. Oleh sebab itu, tidak
ada kewajiban bawahan untuk taat kepada atasan selama atasan tersebut
Nuzulnya Wahyu, (Cet. I; Jakarta: Inisiasi Press, 1999), h. 90.
26Pentingnya unsur kekuatan dalam menjalankan missi kepemimpinan
mendapat klarifikasi sejumlah ayat al-Qura'n, antara lain Qs. al-Qashash (28): 34-35.
Ayat tersebut berkaitan dengan pengakuan Nabi Musa akan kelemahannya
menghadapi Fir’aun, sehingga ia minta kepada Allah agar diberikan sokongan
kekuatan dalam menjalankan missi dakwahnya.
27Yusuf al-Qardlawiy, Min Fiqh al-Daulah Fi al-Islam, diterjemahkan oleh
Kathur Suhardi dengan judul Fiqih Daulah dalam Pespektif al-Qura'n dan Sunnah,
(Cet. 3; Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 1998), h. 83.
28Perintah untuk menegakkan asas musyawawah dapat dilihat dalam Qs.
‘Ali ‘Imran (3): 159, Qs. Al-Syura (42) : 38.
120
Jurnal Madani, Vol 4. No 1. Juni 2014( ISSN: 2087-8761)
Penerapan Semangat Asmaul Husna “Al-Mu’izz dan Al-Muzill” dalam Pola Kepemimpinan
melenceng dari nilai-nilai dan hukum-hukum yang telah digariskan oleh
Sang penguasa mutlak. Jadi, kelebihan sistim syara’ karena memiliki
batasan-batasan yang tidak boleh dilanggar oleh pengambil kebijakan.
Teladan tersebut sangat bisa diaplikasikan dalam berbagai setting sosiologis
yang berbeda tetapi memiliki kesamaan dalam prinsip-prinsip dasarnya.
Karena prinsip yang terdapat dalam konsep kepemimpinan yang ditawarkan
oleh Khulafa al-Rasyidin mempunyai nilai yang bersifat universal.
3. Kemerdekaan (Kebebasan)
Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, bahwa Allah dalam
memberi dan mencabut al-‘izzah dari hamba-Nya, memiliki kebebasan
mutlak tanpa ada intervensi dari luar. Hal tersebut sekaligus menunjukkan
kemutlakan kekuasaan-Nya.
Manusia lahir ke persada bumi ini, sebagai khalifah dan wakil Allah
Swt. untuk mengatur dan memanfaatkan bumi ini, dalam rangka beribadah
kepada-Nya. Sebagai khalifah, manusia diberikan kebebasan dan
kemerdekaan untuk berbuat sesuai dengan kehendak-Nya. Hanya saja Allah
memberikan pengetahuan tentang jalan yang benar dan jalan yang salah.
Yang diutamakan dalam hal ini adalah bagaimana manusia dapat
mempertanggungjawabkan kebebasan dan kemerdekaan yang diberikan oelh
Allah Swt.
Kemerdekaan pada prinsipnya adalah kekuasaan untuk mengatur
dan menata diri dalam kehidupan tanpa tekanan dari luar. Suatu lembaga
kekuasaan dalam tataran apapun yang mendapatkan intervensi pihak luar,
tidak akan pernah mampu menjalankan segala rencana dengan baik. Olehnya
itu, Alqur’an sangat mencela segala bentuk penindasan dan kesewenangwenangan.29
Dalam lintasan sejarah ditemukan bahwa bentuk-bentuk kekuasaan
yang merubah wujud menjadi kekuatan-kekuatan penindas, eksplorasif
terhadap kelompok mustadl’afin tidak akan langgeng. Sebab dalam teori
politik dinyatakan bahwa apabila penindasan terhadap masyarakat sudah
menyentuh titik agregasi (melampaui titik toleransi), maka letupan-letupan
revolutif akan muncul ke permukaan untuk upaya pembebasan dan bahkan
jika mungkin balas dendam.30
Masyarakat Islam adalah masyarakat yang ditegakkan atas asas
kemerdekaan dalam pengertian yang luas dan seindah-indah
perwujudannya.31 Masalah kebebasan telah mendapat penggarisan dalam
29Misalnya Qs. al-Baqarah (2): 188, Qs. al-An’am (6): 151, al-Isra (17):
33 dan lain-lain.
30Suharsono, op. cit., h. 65.
31Abdul Qadir ‘Audah, al-Islâm wa Audlâunâ al-Qanûniyah, (Mishr: tp.p.,
http://journal.iaingorontalo.ac.id/indek.php/ma
121
Damhuri
Islam jauh sebelum lahirnya konstitusi Amerika dan Prancis yang
memberikan penggarisan tentang kebebasan. Kebebasan dalam Islam bukan
saja tertera secara tekstual dalam al-Qura'n dan al-Sunnah, melainkan juga
telah dilaksanakan sejak Zaman Nabi dan dilanjutkan oleh Khulafa alRasyidun.32 Diantara kebebasan yang sangat fundamental yang digariskan
dalam Alqur’an adalah kebebasan beragama.33
4. Kekuasaan atas dasar kemaslahatan
Meskipun Tuhan memiliki kekuasaan mutlak untuk berbuat, namun
bukanlah berarti bahwa terdapat indikasi-indikasi penganiayaan dan
kesewenang-wenangan.34 Berdasarkan analisa terdahulu ditemukan bahwa
statemen Allah pada penghujung ayat Surah ‘Ali Imran (3): 26,
membentengi terhadap lahirnya persepsi keliru bahwa Allah berbuat tanpa
pertimbangan kemaslahatan.
Orientasi kemaslahatan dalam kekuasaan Allah, dapat dijadikan
teladan dalam menciptakan model kekuasaan yang berwawasan
kemaslahatan. Meskipun penguasa memegang kunci kebijakan, namun tidak
berarti boleh membenarkan semua cara dan mengorbankan kebenaran dan
keadilan. Sebab, kekuasaan manusia pada hakikatnya dimaksudkan untuk
mewujudkan kehendak Allah di bumi. Oleh sebab itu, langkah-langkah
kebijakan dalam berbagai aspeknya, harus selalu konsisten dan berorientasi
‘imarah (pembangunan). Penguasa dalam Islam harus menjadi pengayom
masyarakat dan menjadi pelindung, serta mengupayakan pelestarian hak
asasi manusia (al-dlaruriyat al-khamsah).35 Di sisi lain, orientasi
kemaslahatan mengisyaratkan pentingnya praktek keadilan. Dalam
perspektif Alqur’an, konsep keadilan dalam menjalankan kekuasan
mendapat penekanan sangat serius, sehingga keadilan menjadi norma
universal yang tidak boleh dinodai oleh unsur kebencian atau kecintaan
terhadap seseorang,36 bahkan keadilan dijadikan prasyarat untuk mencapai
1951), h. 72-73.
32Juhaya S. Praja, Tafsir Hikmah: Seputar Ibadah, Muamalah, Jin dan
Manusia, (Cet. 1; Bandung: Remaja Rosdakarya, 2000), h. 119.
33Umpamanya Qs. al-Baqarah (2): 256, Qs. Asy-Syura (42): 48, alGasyiyah (88): 21, Qs. Yunus (10): 99, al-Kafirun (109) : 6.
34Sejumlah ayat menguatkan pernyataan di atas. Lihat antara lain Qs. Ali
‘Imran (3): 108, 117, An-Nahl (16): 33, 118, al-Anfal (8): 51, al-Hajj (22): 10,
Fushshilat (41): 46, Qaf (50): 29.
35Yang dimaksud dengan hak asasi manusia dalam terma al-dlaruriyat alkhamsah ialah agama, akal, jiwa, harta dan keturunan. Sa’id Hawwa, Al-Islam , juz
II, (Cet. 3 ;t.p, 1981), h. 211-218.
36Umpamanya Qs. al-Mumtahanah (60): 8-9.
122
Jurnal Madani, Vol 4. No 1. Juni 2014( ISSN: 2087-8761)
Penerapan Semangat Asmaul Husna “Al-Mu’izz dan Al-Muzill” dalam Pola Kepemimpinan
kriteria ketakwaan.37
Dalam hubungan antar manusia, Islam tidak mengenal perbedaan
warna kulit. Semua warga mempunyai hak dan kewajiban sesuai dengan
aturan yang disepakati. Dalam masalah kemanusiaan, tidak seorang pun
menganggap dirinya paling benar dan tidak menghendaki terjadinya sikap
otoriter.38
5. Prinsip introspeksi diri (self control )
Analisa terhadap kandungan nama Allah (al-Mui’zz dan al-Muzill),
tersirat suatu pesan tentang pentingnya seseorang melakukan muhasabah
(introspeksi diri). Kesadaran bahwa Allah Maha Kuasa mewujudkan
kehendak-Nya, memotivasi seseorang untuk selalu mawas diri sekaligus
mengakui rapuhnya kekuasaan yang dimiliki manusia.
Muhasabah adalah auto critique yang menelusuri berbagai
kelemahan diri sendiri, mengetahui sebab-sebab serta cara-cara
memperbaikinya. Dalam teori Islam, prinsip ini harus dilaksanakan oleh
siapapun termasuk para penguasa. Diabaikannya muhasabah oleh penguasa,
akan melahirkan sosok-sosok penguasa yang sewenang-wenang. Dalam
lintasan sejarah, telah terbukti bahwa kemunduran dan kehancuran institusiinstitusi khilafah di dunia Islam, diakibatkan oleh terkikisnya prinsip-prinsip
kepemimpinan tersebut di atas. Hal tersebut karena khalifah menjadi
maharaja yang kekuasaannya absolut.39
Penguasa yang mempraktekkan prinsip muhasabah, akan terbuka
terhadap prinsip pengawasan rakyat. Prinsip pengawasan rakyat merupakan
kelanjutan dari prinsip kebebasan yang telah dikemukakan terdahulu. Sistim
pengawasan rakyat tidak mungkin berjalan tanpa ada jaminan kebebasan
dalam berpendapat. Prinsip pengawasan rakyat adalah manifestasi dari
prinsip umum hukum Islam (amar makruf nahi mungkar) yang menjadikan
Qs. Ali Imran (3): 10440 sebagai asas legalitas. Prinsip pengawasan rakyat
merupakan kelanjutan dari pesan rasulullah “ Ô]ÐxƽD# ÇÏh½D“ yang
mengandung pengertian bahwa agama dalam konteks kekuasaan adalah
nasihat atau kritik konstruktif.
37Qs. al-Maidah (5): 8.
38Muhammad Taqiy al-Aminiy, Al-Usus al-Fikriyah al-Imaniyah li alDustur al-Qur’aniy, (al- Qahirah: Dar al-Shahwah, t.th.), h. 49; bandingkan dengan
Yusuf Hidayat, Toleransi dalam Hukum Islam Perspektif Keadilan, dalam Universal,
edisi II, (Jakarta: KORNAS LAPMI, 1995), h. 36.
39Juhaya S. Praja, op. cit., h. 128-130.
40Ayat tersebut berbunyi “ ”
.
http://journal.iaingorontalo.ac.id/indek.php/ma
123
Damhuri
E. Penutup
Al-Mu’izz dan al-Muzill adalah dua nama Allah yang secara
mempunyai pengertian berbeda tetapi mengandung satu isyarat makna.
Kedua nama tersebut mengisyaratkan secara tegas keesaan dan
kemahakuasaan Allah. Tuhan sebagai Al-Mu’izz dan al-Muzill secara
langsung menegasikan kemutlakan kekuasaan yang dibangun manusia.
Tuhan dapat menjatuhkan penguasa yang terlena di puncak kejayaannya,
sekaligus dapat mengangkat manusia yang terlupakan karena kekerdilannya
ke puncak kemuliaan, sesuai dengan ukuran-ukuran yang telah ditetapkanNya.
Meskipun disadari sebagai suatu keyakinan, bahwa sifat-sifat Allah
yang tercermin dalam al-Asma al-Husna tidak akan mungkin dimiliki
manusia dalam kapasitas yang sama, namun konsep-konsep yang terdapat
dalam nama-nama tersebut, dapat direduksi atau dipetik hikmahnya.
Sehingga dengan demikian, konsep-konsep ilahiyah dapat dibumikan.
Berdasarkan telaah anasis terhadap nama Allah “al-Mu’izz dan alMuzill, ditemukan sejumlah konsep yang dapat diaplikasikan dalam pola
kepemimpinan. Konsep-konsep tersebut antara lain, bahwa 1) kekuasaan
(kepemimpinan) haruslah dibangun atas dasar pengesaan Allah, 2)
kekuasaan yang lestari adalah yang ditopang dengan kekuatan, 3) Kekuasaan
baru dapat berjalan sepenuhnya, jika di dalamnya terdapat kemerdekaan
untuk menjalankan konsep yang telah dirumuskan, 4) kekuasaan hendaknya
selalu berorientasi maslahat, dan 5) pemimpin yang ideal ialah yang selalu
melakukan introspeksi, baik bersumber dari dirinya sendiri ataupun
membuka peluang kritik yang bersumber dari luar.
Asmaul Husna sudah merupakan menu utama umat Islam dalam
mengantar doanya kehadirat Yang Maha Mengabulkan doa. Hal tersebut
menunjukkan bahwa betapa besar keyakinan umat manusia akan tingginya
nilai yang terkandung di balik asmaul husna. Tanpa menafikan keyakinan
seperti itu, asma husna tidak harus dipahami sebatas atribut ilahiyah. Lebih
dari itu, nilai-nilai yang terdapat dalam asmaul husna hendaknya dapat
dibumikan dalam menjalankan fungsi kekhalifahan.
Asmaul husna merupakan simbol kemahakuasaan dan
kemahadirajaan Allah. Kajian intensif terhadap asmaul husna diharapkan
dapat membangun kesadaran manusia bahwa segala daya dan kekuasaan
yang dimilikinya sangat relatif sifatnya. Lahirnya kesadaran seperti itu,
diharapkan akan meruntuhkan tembok-tembok keangkuhan yang berdiri
kokoh dalam hati manusia. Dengan terkikisnya sifat-sifat keangkuhan,
manusia dapat dengan mudah untuk senantiasa melakukan pendekatan diri
kepada Sang Penguasa mutlak.
124
Jurnal Madani, Vol 4. No 1. Juni 2014( ISSN: 2087-8761)
Penerapan Semangat Asmaul Husna “Al-Mu’izz dan Al-Muzill” dalam Pola Kepemimpinan
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad ibnu Fâris ibnu Zakariya, 1971. Abu al-Husain, Mu’jamu Maqâyis
al-Lughah, jilid IV. Cet. 2; Mishr: Syarikah wa Maktabah Mushthafa
al-Bâb al-Halabî wa Awlâduh.
al-Aminiy, Muhammad Taqiy. t.th. Al-Usus al-Fikriyah al-Imaniyah li alDustur al-Qur’aniy. al- Qahirah: Dar al-Shahwah.
Anîs, Ibrahim et.al., 1972. al-Mu’jam al-Wasîth, jilid II. Cet. 2; Istambul: alMaktab al-Islâmî.
al-Ashfahânî, al-Râghib. 1992. Mufradât Alfâzh al-Qur'an, Cet. 1; Dimasyq:
Dâr al-Qalam.
al-Askarî, Abu Hilâl. 1973. al-Furûqu fî al-Lughah. Cet. 1; Beirut: Dâr alAfâq al-Jadîdah.
Audah, Abdul Qadir. 1951. al-Islâm wa Audlâunâ al-Qanûniyah. Mishr: tp.p.
al-Gazaliy, Abu Hamid. 2000. Al- Maqshad al-Asnâ fi Syarhi Asmâ Allâh alHusnâ, diterjemahkan oleh Ilyas Hasan dengan judul Al-Asma alHusna: Rahasia Nama-Nama Indah Allah. Cet. 7; Bandung: Mizan.
H. Minhajuddin. 1992. Sistem Pemerintahan dalam Islam, dalam Warta
Alauddin, edisi 64 Tahun ke XI. IAIN Alauddin.
Hawwa’, Said. 1989. al-Asâs fi al-Tafsîr, juz II. Cet. 2; t.tp.: Dar al-Salam.
Hidayat, Yusuf. 1995. Toleransi dalam Hukum Islam Perspektif Keadilan,
dalam Universal, edisi II. Jakarta: KORNAS LAPMI.
Izutsu, Toshihiko, 1997. God and Man in The Koran: Semantics of The
Koranic Weltanschaung, diterjemahkan oleh Agus Fahri et.al.
dengan judul Relasi Tuhan dan Manusia: Pendekatan Semantik
Terhadap al-Qur'an. Cet. 1; Yogyakarta: Tiara Wacana.
Praja, Juhaya S. 2000. Tafsir Hikmah: Seputar Ibadah, Muamalah, Jin dan
Manusia. Cet.1; Bandung: Remaja Rosdakarya.
al-Qardlawiy, Yusuf. 1998. Min Fiqh al-Daulah Fi al-Islam, diterjemahkan
oleh Kathur Suhardi dengan judul Fiqih Daulah dalam Pespektif alQura'n dan Sunnah. Cet. 3; Jakarta: Pustaka al-Kautsar.
al-Razi, Fakhruddin. 1990. Al-Tafsir al-Kabir Mafatih al-Gaib, juz XVIII.
Cet. I; Beirut: Dar a-Kutub al-‘Ilmiyah.
Salim, Abd. Muin. 1995. Konsepsi Kekuasaan Politik dalam al-Qura'n, edisi
I. Cet. 2; Jakarta: Raja Garfindo Persada.
http://journal.iaingorontalo.ac.id/indek.php/ma
125
Damhuri
Shihab, M. Quraish, 1999. Menyingkap Tabir Ilahi: Asmâ al-Husnâ dalam
Perspektif al-Qur'an. Cet. 2; Jakarta: Lentera.
Suharsono et. al. 1999. Pola Transformasi Islam: Refleksi atas Sistematika
Nuzulnya Wahyu. Cet. I; Jakarta: Inisiasi Press.
Suharsono. 1992. Gerakan intelektual: Jihad Untuk Masa Depan Umat
Islam. Cet. 1; Yogyakarta: Yayasan al-‘Arsy al-Islamiyah.
Ath-Thabathabaiy, Muhammad Husain. 1972. Al-Mizân Fi Tafsîr al-Qur’ân,
juz III, Cet. 5; Beirut: Muassasah al-A’lamiy li al-Mathbu’at.
Yayasan Penyelenggara Penterjemah al-Qur'an. t.th. Al-Qur'an dan
Terjemahnya. Madinah al-Munawwarah: Mujamma’ Khadim alHaramain al-Syarifain li Thiba’at al-Mushaf al-Syarif.
126
Jurnal Madani, Vol 4. No 1. Juni 2014( ISSN: 2087-8761)
Download