Dampak Kebijakan Pemerintah terhadap Keuntungan dan Daya

advertisement
93
VII. DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP
VI
KEUNTUNGAN DAN DAYA SAING LADA PUTIH
7.1.
7.1
Justifikasi Harga Bayangan
Penelitian ini, untuk setiap input dan output ditetapkan dua tingkat harga,
yaai harga pasar (harga privat atau harga aktual) dan harga bayangan (harga
yyaitu
soos atau harga ekonomi). Harga pasar adalah tingkat harga pasar yang diterima
ssosial
dal
da
dalam
penjualan hasil produksinya atau tingkat harga yang dibayar dalam
peem
ppembelian
faktor-faktor produksi.
Menurut Gitinger (1986) harga bayangan
merupakan
me
m
e
harga sebenarnya yang akan terjadi dalam suatu perekonomian jika
pasar
pas dalam keadaan persaingan sempurna dan pada kondisi keseimbangan.
pa
Perhitungan harga bayangan dapat dilakukan dengan mengeluarkan
diis
ddistorsi
akibat adanya kebijakan pemerintah seperti subsidi, pajak, penentuan
up
uupah
pa minimum dan lain - lain. Harga bayangan dalam penelitian ini adalah output
(bij
(biji lada putih), pupuk urea, TSP/SP36, Kcl, tenaga kerja, lahan dan sarana
pro
produksi pertanian.
Berikut ini akan dijelaskan penentuan harga bayangan
ter
tersebut.
7.1
7.1.1.
Harga Bayangan Output
Harga bayangan dalam hal ini lada putih ditingkat petani digunakan harga
FO
F
O (Free on Board). Hal ini didasarkan bahwa eksportir lada putihdi Bangka
FOB
Be
B
e
Belitung
tidak menanggung risiko.
Kemudian dari harga border tersebut
ddi
il
dilakukan
penyesuaian dengan pengurangan biaya penanganan dan pengangkutan.
Ha
H
a
Harga
output lada putih disesuaikan dengan nilai tukar rupiah bayangan (Shadow
Exx
E
Exchange
Rate). Harga bayangan lada putih dalam penelitian ini ditetapkan rata -
94
rata sebesar Rp. 55 957 per kilogram. Harga ini diperoleh dari harga fob lada
rat
putih yaitu US $ 6 per kilogram, dikurangi dengan biaya tataniaga sebesar Rp.
put
785 per kg, yang terdiri dari biaya pengepakan sebesar Rp. 140 per kg dan biaya
78
transportasi sebesar Rp. 645 per kg. Kemudian dikalikan dengan SER Rp. 9457.
tra
7..1
77.1.2.
Harga Bayangan Lahan
Harga sosial didekati dengan nilai sewa lahan di daerah penelitian, hal ini
oleh mekanisme pasar lahan di pedesaan berjalan dengan baik, dan
diil
ddilandasi
mencari oppourtunity cost of land.
suul
ssulitnya
Berdasarkan hal tersebut, harga
bayang
sewa lahan mengacu pada harga sewa lahan yang berlaku didaerah
bay
ba
yaitu Rp. 1 000 000 per hektar.
peen
ppenelitian
7..1
77.1.3.
Harga Bayangan Tenaga Kerja
Harga bayangan tenaga kerja dihitung dengan mempertimbangkan tingkat
pen
pe
pengangguran
pada daerah penelitian. Harga bayangan tenaga kerja jika tidak ada
pengangguran berarti harganya sama dengan harga aktual upah, sedangkan
pen
ber
berdasarkan Badan Pusat Statistik Provinsi Bangka Belitung (2010) dengan
ada
adanya pengangguran sebesar 6 persen, maka harga bayangan sosial adalah 94
per
persen dari tingkat upah yang berlaku didaerah penelitian. Tingkat upah aktual
yan berlaku adalah Rp. 70 000 per HOK untuk pria, danRp. 50 000 per HOK
ya
yang
unt wanita. Dengan demikian harga bayangan tenaga kerja adalah Rp. 65 800
un
untuk
peer HOK untuk pria dan Rp. 47 000 per HOK untuk wanita.
pper
77..1
7.1
7.1.4.
Harga Bayangan Sarana Produksi dan Peralatan
Penentuan harga bayangan sarana produksi dan peralatan didasarkan pada
har border price, untuk yang termasuk komoditas tradable dan harga domestik
ha
harga
95
untuk input non tradable. Dalam penelitian ini yang termasuk input tradable
unt
adalah pupuk urea, NPK/TSP, KCL, sedangkan bibit, ajir/tajar, pupuk kandang
ada
dan penyusutan peralatan termasuk kedalam input non tradable.
Untuk harga pupuk urea, SP36/TSP dan KCL sampai saat ini masih
disubsidi
oleh pemerintah yaitu berdasarkan peraturan menteri pertanian nomor
ddiis
32 tahun 2010 yaitu tentang kebutuhan dan harga eceran tertinggi (HET) pupuk
32
bersubsidi
untuk sektor pertanian. Harga subsidi pupuk urea Rp. 1 600 per kg,
bbeer
e
Superphos
(SP-18)/TSP Rp. 2 000 per kg, untuk pupuk KCL tidak disubsidi
Suu
S
pemerintah.
ppeem
Jadi untuk harga bayangan pupuk urea, TSP/SP36, dan Kcl
berdasarkan
harga pupuk non subsidi diwilayah penelitian yaitu urea Rp. 4 800
bbeer
e
per
per kg, TSP/SP36 sebesar Rp. 6 800 per kg dan Kcl sebesar Rp. 5 800 per kg.
pe
Harga bayangan untuk peralatan digunakan harga pasar dengan
ppeer
pertimbangan
tidak ada kebijakan pemerintah yang mengatur secara langsung,
seeh
se
sehingga
distorsi pasar yang terjadi amat kecil atau pasar mendekati pasar
persaingan
sempurna.
per
Sementara dalam perhitungan analisis ekonomi dan
fin
finansial,
nilai harga yang dimasukan adalah nilai penyusutan dari masing-masing
per
peralatan
berdasarkan umur ekonomisnya yaitu untuk hand sprayer 5 tahun dan
unt alat pertanian kecil 1 tahun (Ditjen Perkebunan, 2001).
untuk
77..1
7.1.5.
Harga Bayangan Nilai Tukar
Harga bayangan nilai tukar rupiah dihitung menggunakan standar
con
co
conversion
faktor (SCF) sebagai koreksi terhadap nilai tukar resmi yang berlaku.
Haa
H
Harga
bayangan merupakan hasil bagi dari harga nilai tukar resmi pemerintah
ddeen
dengan
SCF. Untuk harga bayangan nilai tukar ini sudah dibahas dibab 4, pada
akkh
akhirnya
diperoleh nilai SER sebesar Rp. 9457.
96
7.2.
7.2
Karakteristik Petani Responden
Pada penelitian ini yang menjadi kriteria untuk identifikasi petani
responden terdiri atas beberapa aspek diantaranya yaitu; umur, tingkat pendidikan
res
pengalaman berusahatani, luas areal tanaman lada putih dan umur tanaman lada
pen
pu
pputih
ut yang menggunakan tiang panjat hidup. Untuk lebih jelasnya, karakteristik
dar petani responden dapat dilihat pada Tabel 7.
da
dari
Tabel
Ta
T
a 7. Karakteristik Petani Responden Lada Putih di Provinsi Bangka Belitung,
Tahun 2011
No
N
1
1.
22..
33..
44..
55..
Uraian
Umur (tahun)
Pendidikan Formal
Pengalaman berusahatani lada putih (tahun)
Luas areal (hektar)
Umur tanaman lada putih (tahun)
Rendah
28
SD
5
0.25
3
Tinggi
63
SMA/SMK
35
1
10
Berdasarkan Tabel 7, memperlihatkan bahwa umur petani responden
berkisar
antara 28 tahun untuk yang terendah dan tertinggi berumur 63 tahun.
ber
Da segi pendidikan formal, petani responden mempunyai tingkat pendidikan
Dari
ber
beragam
mulai dari tamatan SD sebesar 22.2 persen, tamatan SMP sebesar 22.2
per
persen
dan tamatan SMA/SMK sebesar 55.6 persen. Pengalaman usahatani
res
responden
beragam mulai dari 5 tahun sampai dengan 35 tahun, pengalaman ini
did
di
didapat
dari pengalaman orang tua terdahulu yang masih menggunakan tiang
panjat
mati untuk lada putihnya.Luas tanaman lada putih responden mulai dari
pan
a
00..2 hektar atau 22.2 persen, 0.5 hektar atau 22.2 persen dan seluas 1 hektar (55.6
0.25
ppeer
e
persen).
Jarak tanam lada putih yaitu 2.5m x 2.5m, kalau dikonversikan dengan
jum
ju
jumlah
tanaman sebanyak 2 000 batang per hektar tanaman lada putih.
Sed
Se
Sedangkan
sebaran umur tanaman lada putih petani responden bervariasi, mulai
97
terendah berumur 3 tahun atau 33.3 persen, kemudian umur tanaman 4, 5, 6 dan 8
ter
tahun atau masing - masing sebesar 11.1 persen dan umur tanaman lada putih
tah
tertinggi yaitu 10 tahun atau 22.2 persen dari total petani responden.
ter
7.3.
7.3
Struktur Biaya, Penerimaan Privat dan Penerimaan Sosial
Tingkat efisiensi dan kemampuan daya saing lada putih di Provinsi
Baa
B
Bangka
Belitung dapat dijelaskan dengan menggunakan matrik analisis kebijakan
Matrik ini disusun berdasarkan data biaya input dari suatu komoditas,
(P
((PAM).
PA
biaya dipisahkan ke dalam komponen tradable dan domestik. Menurut
keem
kkemudian
Mubyarto
(1986), didalam mengelola usahataninya seorang petani memerlukan
Mu
sejumlah
input yang berupa biaya produksi.
sseej
Besar kecilnya biaya yang dikeluarkan dalam melakukan aktivitas
bud
bu
u
budidaya
tanaman lada putih sangat ditentukan oleh skala pengelolaannya.
Koo
K
Komponen
biaya yang digunakan pada pengusahaan tanaman ini cukup beragam
mulai
mu dari biaya pembukaan kebun, pengadaan bibit, pupuk, tenaga kerja, tiang
pan atau tajar dan lainnya. Berdasarkan (Tabel 8), untuk setiap tahunya (siklus
panjat
tan
tanaman
lada putih yaitu 10 tahun) rata - rata biaya yang dikeluarkan petani
ter
terbesar
dialokasikan untuk tenaga kerja baik secara finansial maupun ekonomi.
Haa ini lebih disebabkan oleh mahalnya upah tenaga kerja di provinsi Bangka
Hal
Be
Be
Belitung.
Rata-rata upah tenaga kerja pria Rp. 70 000 per hok (7 jam kerja),
seed
sedangkan
untuk wanita Rp. 50 000 per hok (7 jam kerja), biasanya tenaga kerja
waa
w
wanita
digunakan pada saat panen. Proporsi terbesar penggunaan tenaga kerja
ppaad saat tahun pertama yaitu pembukaan lahan yang terdiri dari tebas tebang,
pada
ppeem
pembakaran,
manduk, membuat lobang tanam dan lain-lain, untuk lebih jelasnya
ddaap dilihat pada Tabel 8, yang dirujuk dari Lampiran 7 dan Lampiran 8.
dapat
98
Tabel 8. Rata-rata Penerimaan dan Komponen Biaya Finansial dan Ekonomi Lada
Ta
Putih per Hektar/Thn di Provinsi Bangka Belitung, Tahun 2011
No
N
Uraian
A
A.
B.
B
11.
Penerimaan
Biaya Input
Bibit Lada (Btg)
Tiang panjat hidup
(Btg)
Pupuk (Kg)
Organik
Urea
SP36/TSP
KCL
Dolomit
Tenaga Kerja (Hok)
Penyusutan Peralatan
Sewa Lahan
Pajak
Total Biaya
22.
33.
4
4.
5
66.
77.
C.
C
Jmlh
Finansial
Nilai
(Rp)
33 017 722
(%)
Jmlh
Ekonomi
Nilai
(Rp)
38 094 282
(%)
200
1 000 000
4.3
200
1000000
3.7
200
400 000
1.7
200
400000
1.5
1000
490
583
614
36
158
1.6
1
1
5 000 000
784 000
1 166 000
3 561 200
36 000
10 142 444
106 000
1 000 000
50 000
23 245 644
21.3
3.3
5
15.2
0.15
44
0.46
4.3
0.2
100
1000
490
583
614
36
158
1.6
1
1
5 000000
2254000
3964400
3656370
36000
9 502 460
106 000
1000000
50000
26 969 230
18.5
8.4
14.7
13.6
0.1
35.2
0.4
3.71
0.19
100
Proporsi biaya berikutnya adalah biaya pupuk organik rata-rata sebesar
Rpp 5 000 000 per tahun. Penggunaan pupuk organik lebih diutamakan
R
Rp.
ddiib
dibandingkan
dengan pupuk anorganik, hal ini disebabkan bahwa kondisi tanah di
Pro
Provinsi
Bangka Belitung didominasi podsolik yang merupakan tanah dengan pH
(tin
(tingkat
kemasaman) yang rendah dan kandungan Al yang tinggi.
pH yang
ren
rendah
menyebabkan ketersediaan hara menurun, sedangkan Al yang tinggi dapat
me
meracuni
tanaman (Sasmita dan Rusli, 2009). Selain itu juga untuk mengurangi
pen
pe
penggunaan
pupuk kimia, dikarenakan harganya lebih mahal dan ketersediaanya
ter
te
terbatas.
Harga pupuk organik di Provinsi Bangka Belitung masih tergolong
ttiin
tinggi
dan jumlahnya sangat terbatas. Untuk itu usaha lada putih lebih intensif
jjiik diintegrasikan dengan ternak, disamping tersedianya pakan ternak, sehingga
jika
dap menurunkan biaya pembelian pupuk organik.
da
dapat
99
Selanjutnya proporsi terbesar berikutnya adalah penggunaan pupuk kimia,
selain
penggunaan pupuk organik tanaman lada putih juga dibantu pemupukan
sel
dengan
pupuk anorganik, penggunaan pupuk anorganik sebaik mungkin untuk
den
diminimalisirkan,
penggunaan pupuk anorganik untuk lebih cepat memacu
dim
pertumbuhan
tanaman lada putih. Seiring dengan penelitian Marwoto (2003),
ppeer
me
me
mengatakan
bahwa tingginya biaya operasional lada putih lebih disebabkan
karena
tingginya biaya pemupukan, pada umumnya kesuburan tanah sangat
kkaar
rendah
sehingga pemupukan yang sesuai mutlak dilakukan. Karakteristik petani
rreen
di
di Bangka Belitung dalam hal pemupukan anorganik tergantung pada harga lada
putih,
ppu
ut semakin tinggi harga lada maka semakin tinggi pemberian pupuknya.
Tanaman lada awal berproduksi pada tahun ke-3, namun penerimaan
tah
ta
tahun
ke-3 belum mampu menutupi biaya investasi yang dikeluarkan petani
sel
se
selama
tahun ke-1 dan ke-2. Tingkat penerimaan tertinggi pada pengusahaan
kko
om
komoditas
lada putih dicapai pada produksi tahun ke-6 dengan penerimaan
sebesar
Rp. 58 200 000 per hektar (analisis finansial) dan Rp. 67 148 400 per
seb
hek
hektar
(analisis ekonomi). Sedangkan penerimaan terendah pada tahun ke 10
seb
sebesar
Rp. 22 310 000 per hektar (Finansial) dan sebesar Rp. 25 740 220
(ek
(ekonomi)
untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Lampiran 7 dan Lampiran 8.
Naa
N
Namun,
secara rata-rata (siklus 10 tahun) penerimaan usahatani lada secara
fin
fi
finansial
sebesar Rp. 33 017 722 per tahun, sedangkan penerimaan usahatani lada
sec ekonomi sebesar Rp. 38 094 282 per tahun. Adanya perbedaan penerimaan
se
secara
pet
pe
petani
yang cukup tinggi antara penerimaan secara ekonomi bila dibandingkan
den
de
dengan
penerimaan secara finansial, hal ini lebih dikarenakan adanya perbedaan
har output lada baik secara ekonomi dan finansial.
ha
harga
100
7.4.
7.4
Analisis Keuntungan Privat dan Sosial
Model PAM dipakai sebagai alat analisis dari penelitian ini, mempunyai
beberapa bentuk indikator keluaran, diantaranya adalah nilai keuntungan privat
beb
dan keuntungan sosial, efisiensi finansial dan efisiensi ekonomi serta dampak
kebijakan
pemerintah. Keuntungan privat adalah selisih penerimaan dan biaya
keb
ke
toot yang dihitung berdasarkan harga privat, harga yang sesungguhnya diterima
ttotal
dan
dda
an dibayarkan oleh petani lada. Total biaya termasuk juga nilai sewa lahan dan
uupah
up
pa tenaga kerja dalam keluarga. Harga tersebut sudah dipengaruhi oleh
pemerintah, baik berupa subsidi, proteksi, pemberlakuan tarif masuk,
keeb
kkebijakan
maupun kebijakan lainnya. Keuntungan privat merupakan indikator
paaj
ppajak
kompetitif dari sistem komoditas berdasarkan teknologi, nilai output,
keeu
kkeunggulan
e
biia input dan transfer kebijakan yang ada.
bbiaya
Suatu usahatani memperoleh laba diatas biaya normal apabila keuntungan
yan
yang didapat lebih besar dari nol (D>0), sehingga implikasinya bahwa usahatani
lad
lada tersebut mampu berekspansi. Hasil analisis secara finansialpada Tabel 9
dib
dibawah, menunjukkan bahwa keuntungan privat lebih besar dari nol, yaitu
seb
sebesar Rp. 25 454 038 per hektar. Hal ini memberikan arti bahwa sistem
pro
produksi lada putih di Bangka Belitung memperoleh keuntungan diatas
kkeeu
keu
keuntungan
normal, yang berarti usaha lada putih layak untuk diteruskan, baik
un
uuntuk
nt jangka pendek maupun untuk jangka panjang.
Keuntungan
sosial
merupakan
indikator
keunggulan
komparatif
((comparative
co
advantage) suatu komoditas dalam pemanfaatan sumberdaya yang
llaan
langka
di dalam negeri. Pada kondisi ini harga input dan output diperhitungkan
dal
dal
da
dalam
kondisi persaingan sempurna, dimana segala bentuk subsidi dan proteksi
101
yang bersifat mendistorsi pasar telah dihilangkan.
yan
Sistem komoditas dengan
tingkat keuntungan sosial yang makin tinggi, maka menunjukkan tingkat
tin
keunggulan komparatif yang semakin besar.
keu
Dari hasil yang diperoleh, menunjukkan bahwa usahatani lada putih di
Bangka
Belitung memiliki keuntungan sosial yang positif (H>0), yaitu sebesar
Baa
B
Rpp 29 728 670 per hektar. Hal ini menunjukkan bahwa usahatani lada putih di
R
Rp.
Bangka
Belitung mempunyai keunggulan komparatif atau efisien secara ekonomi.
Baa
B
Untuk
lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 9.
Unn
U
Senada dengan penelitian Sudarlin (2008), tentang daya saing lada putih
ddii kecamatan Air Gegas, Kabupaten Bangka Selatan, menyatakan bahwa
privat dan keuntungan sosial untuk setiap siklus produksi (7 tahun)
keeu
kkeuntungan
leb besar dari nol artinya usahatani lada putih dengan tiang panjat mati layak
le
lebih
un
uuntuk
nt
diusahakan dan mempunyai keunggulan komparatif atau efisien secara
ekko
eekonomi.
Tabel 9. Keuntungan Privat dan Keuntungan Sosial Pada Usahatani Lada Putih di
Ta
Provinsi Bangka Belitung, Tahun 2011
Uraian
Penerimaan
Harga Privat
144 294 290
Biaya (Rp/ha)
Input
Faktor
Tradable
domestik
7727646
111112606
Harga Sosial
166 479 909
13 787 867
123269945
Keuntungan
(Rp/ha)
25 454 038
29 728 670
Tabel 9 diatas menunjukkan adanya perbedaan antara keuntungan privat
dan
dan
da
a keuntungan sosial, perbedaan keuntungan sosial lebih disebabkan karena
ppeer
perbedaaan
penerimaan ekonomi, dibandingkan karena perbedaan total biaya
pprro
produksi
ekonominya. Harga bayangan lada putih ini diperoleh dari harga
ppeer
perbatasan
(border price) dikurangi dengan biaya pengepakkan dan transportasi.
102
Harga bayangan ini menunjukkan bahwa tidak terjadinya distorsi pasar atau
Ha
intervensi pemerintah sehingga harga ini didasarkan pada kondisi pasar
int
persaingan sempurna.
per
Berdasarkan hasil analisis perbandingan antara keuntungan yang
petani lada putih secara privat dengan keuntungan sosial, ternyata
diip
ddiperoleh
keeu
kkeuntungan
sosial lebih besar dibandingkan keuntungan privat (KS>KP). Hal ini
menginformasikan
bahwa secara sosial atau pada kondisi dimana harga input dan
mee
m
dihitung berdasarkan harga opportunity cost (biaya imbangan) dan tidak
ouut
ooutput
kegaggalan pasar atau intervensi pemerintah, maka pengusahaan
adda
aadanya
lada putih sangat menguntungkan untuk terus diusahakan.
ko
kkomoditas
o
om
Usahatani lada putih di Bangka Belitung memiliki keuntungan privat dan
keeu
kkeuntungan
sosial diatas keuntungan normal sehingga layak untuk diusahakan.
Koo
K
Kondisi
ini didukung oleh adanya kebijakan pemerintah melalui revitalisasi
peer
pperkebunan
lada dan gerakan pengembangan lada putih, yang dilaksanakan oleh
pemerintah daerah provinsi Bangka Belitung melalui perbaikan sistem budidaya,
pem
yan
yang selama ini dilakukan petani secara tradisional menuju teknologi budidaya
ses
sesuai anjuran dengan penggunaan tiang panjat hidup. Penggunaan tiang panjat
hid
hidup ini memberikan keuntungan yang positif bagi petani, sehingga usahatani
lad putih terus dapat dikembangkan di provinsi Bangka Belitung.
la
lada
7..5
77.5.
AnalisisDaya Saing
Analisis daya saing terdiri dari kompetitif (efisiensi finansial) dan
kom
ko
komparatif
(efisiensi ekonomi). Penilaian daya saing kompetitif dilihat dari rasio
biia domestik terhadap nilai tambah dalam harga privat (Private Cost Ratio).
bbiaya
Ha
Ha
Harga
yang digunakan dalam analisis ini adalah harga aktual yang terjadi dipasar,
103
dimana harga tersebut telah dipengaruhi oleh intervensi pemerintah. Nilai PCR
dim
menunjukkan ukuran efisiensi secara finansial, yaitu indikator keuntungan yang
me
menunjukkan kemampuan usahatani membayar biaya domestik. Efisiensi
me
finansial dicapai apabila nilai PCR lebih kecil dari satu.
fin
Berdasarkan Tabel 10, menunjukkan bahwa usahatani lada putih di
Prro
P
Provinsi
Bangka Belitung mempunyai efisiensi secara finansial, yang ditunjukkan
niil
nnilai
i PCR lebih kecil dari satu. Berdasarkan nilai PCR dapat dikatakan bahwa
lada putih efisien secara finansial dan mempunyai keunggulan
ko
kkomoditas
om
karena untuk menghasilkan satu unit nilai tambah pada harga-harga
ko
kkompetitif,
om
hanya memerlukan kurang dari satu unit input domestik. Semakin kecil
prri
pprivat
niil PCR yang diperoleh, maka semakin tinggi tingkat efisiensi dan keunggulan
nnilai
ko
kkompetitif
om
yang dimiliki.
Nilai PCR yang diperoleh pada usahatani lada putih di provinsi Bangka
Be
Belitung adalah 0.813, hal ini berarti untuk mendapatkan nilai tambah output
seb
sebesar satu-satuan pada harga privat diperlukan tambahan biaya faktor domestik
seb
sebesar 0.813. Keunggulan kompetitif akan meningkat jika biaya faktor domestik
dap
dapat diminimumkan dan atau memaksimumkan nilai tambahnya. Peningkatan
nil
nilai tambah dapat ditingkatkan dengan peningkatan penggunaan teknologi yang
daap menurunkan biaya per unit output.
ddapat
Hal ini seiring dengan kebijakan revitalisasi perkebunan melalui gerakan
pen
pe
pengembangan
lada putih di provinsi Bangka Belitungbahwa sistem budidaya
yan selama ini dilakukan petani secara tradisional berdampak pada inefisiensi
ya
yang
bia
bi
biaya
produksi, untuk itu dianjurkan dengan pola budidaya anjuran dengan
104
menggunakan tiang panjat hidup dengan penerapan konsep Good Agriculture
me
Praktice (GAP) menuju pola budidaya ramah lingkungan.
Pra
Tabel 10. Nilai Indikator PCR dan DRCR Lada Putih di Provinsi Bangka
Ta
Belitung, Tahun 2011
No
Indikator
Nilai
1
Private Cost Rasio (PCR)
0.813
2
Domestic Resource Cost Ratio (DRCR)
0.805
Keunggulan komparatif dan tingkat efisiensi ekonomi usahatani lada
putih
ppu
ut ditunjukkan oleh nilai DRCR (Domestic Resource Cost Ratio) yaitu rasio
antara
biaya domestik terhadap nilai tambahpada harga sosialnya. Nilai DRCR
aannt
menunjukkan
kemampuan sistem produksi usahatani lada putih dalam membiayai
m
me
ffaak domestiknya pada harga sosial atau dengan kata lain menunjukkan jumlah
faktor
ssu
um
sumberdaya
domestik yang dapat dihemat untuk menghasilkan satu unit devisa.
Dik
Dikatakan
efisiensi secara ekonomi apabila DRCR lebih kecil dari satu dan
me
mempunyai
keunggulan komparatif makin tinggi jika nilai DRCR semakin
me
mendekati
nol.
Hasil analisis DRCR menunjukkan bahwa Provinsi Bangka Belitung
me
mempunyai
keunggulan komparatif untuk memproduksi lada putih yang
ddiit
ditunjukkan
nilai DRCR < 1, yaitu 0.805. Artinya setiap US $ yang dibutuhkan
uun
nt impor lada putih jika diproduksi di Bangka Belitung hanya membutuhkan
untuk
bbiia sebesar US $ 0.805, sehingga terjadi penghematan devisa negara sekitar
biaya
US $ 0.195. Hal ini senada dengan penelitian Marwoto (2003); Sudarlin (2008),
US
mee
m
menyatakan
bahwa usahatani lada putih memiliki keunggulan kompetitif dan
kom
ko
komparatif
pada yang dilihat dari nilai PCR dan DRCR lebih kecil dari satu.
105
Secara keseluruhan bahwa pengusahaan lada putih di provinsi Bangka
Belitung,
baik dilihat dari nilai PCR dan DRCR memiliki keunggulan, baik secara
Be
kompetitif
dan komparatif. Berarti petani di provinsi Bangka Belitung mempunyai
kom
kemampuan
secara ekonomi dalam membiayai dan memproduksi lada putih dan
kem
secara
finansial lada putih yang dihasilkannya dapat bersaing di pasar domestik
sec
se
ma
ma
maupun
internasional. Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa dalam kondisi
pasar
ppaas aktual dimana terdapat intervensi atau kebijakan pemerintah dan distorsi
pasar,
ppaas komoditas lada putih mempunyai daya saing sehingga mampu bersaing di
pasar
ppaas internasional dibawah kondisi kebijakan perekonomian yang ada.
Kebijakan pemerintah yang mendorong peningkatan daya saing lada putih
di
di provinsi Bangka Belitung yaitu melalui gerakan pengembangan lada putih
((G
G
(Gerbang
Latih) yang dicanangkan pemerintah daerah dalam meningkatkan
kkeem
kembali
minat masyarakat untuk membudidayakan lagi lada putih, langkah
oopp
operasional
antara lain: rehabilitasi tanaman lada yang telah rusak dan terserang
hama
ham penyakit tanaman, subsidi bibit tanaman lada, subsidi pupuk serta
pen
pengembangan
kebun induk tanaman lada. Selain itu juga perbaikan teknologi
bud
budidaya
tradisional menuju budidaya ramah lingkungan sehingga dapat
me
meningkatkan
efisiensi biaya produksi sehingga dapat bersaing.
77..6
7.6.
Dampak Kebijakan Pemerintah
Insentif kebijakan atau intervensi pemerintah dalam produksi maupun
ppeem
pemasaran
lada putih memberikan dampak pada produsen maupun konsumen.
Daa
D
Dampak
yang diberikan bisa saja berpengaruh positif maupun negatif terhadap
ma
ma
masing
- masing pelaku ekonomi tersebut. Pengaruh kebijakan juga dapat
mee
meningkatkan
atau menurunkan produksi dan produktivitas usahatani. Analisis
106
dampak kebijakan ini terdiri dari kebijakan input, kebijakan output dan kebijakan
dam
input-output.
inp
Sedangkan untuk melihat besarnya dampak kebijakan tersebut,
digunakan beberapa indikator yaitu dari Transfer Output, NPCO, Transfer Input,
dig
Transfer Factor dan NPCI, sementara secara simultan pada indikator Net Transfer,
Tra
Profitability
Coeficient (PC), Effective Protection Coeficient (EPC) dan Subsidy
Prro
P
Raa to Producer (SRP).
R
Ratio
7..6
77.6.1.
Dampak Kebijakan Output Lada Putih
Adanya intervensi pemerintah mengakibatkan harga output berbeda
harga yang diterima petani dengan harga dipasar International. Kebijakan
annt
aantara
dalam komoditas output, biasanya terdiri dari kebijakan subsidi, pajak
peem
ppemerintah
daan kebijakan perdagangan, seperti penerapan tarif ekspor atau impor dalam
ddan
raan
rrangka
melindungi kebutuhan dalam negeri. Untuk komoditas lada, tidak ada
keeb
kkebijakan
subsidi, pajak atau tarif ekspor maupun tarif impor lada putih.
Seh
Sehingga kebijakan perdagangan lada yang berlaku disesuaikan dengan
per
perkembangan harga dunia berdasarkan mekanisme permintaan dan penawaran.
Salah satu pendekatan untuk melihat dampak kebijakan output adalah
kri
kriteria transfer output (TO), yang merupakan selisih antara penerimaan finansial
den
dengan penerimaan ekonomi. Transfer outputmenunjukkan terdapat kebijakan
peem
ppemerintah
pada output sehingga ada perbedaan antara harga output privat dan
sos
so
sosial.
Jika TO lebih besar dari nol (TO> 0) atau positif menunjukkan bahwa ada
in
iinsentif
ns
masyarakat terhadap produsen artinya harga yang dibayarkan oleh
kon
ko
konsumen
pada produsen lebih tinggi dari seharusnya atau ada kebijakan
pem
pe
pemerintah
berupa subsidi output yang menyebabkan harga privat output yang
dit
dit
di
diterima
produsen lebih tinggi dari harga sosialnya. Dan apabila nilai TO negatif,
107
tidak ada kebijakan pemerintah berupa subsidi output yang menyebabkan harga
tid
output sosial yang diterima produsen lebih tinggi dari harga privatnya atau harga
out
internasional lebih tinggi dari harga domestik, sehingga masyarakat atau
int
konsumen membeli harga lada putih lebih rendah dari yang seharusnya.
kon
Tabel 11, tampak bahwa dampak kebijakan pemerintah dan kegagalan
paas bekerja pada kondisi pasar persaingan sempurna menyebabkan terjadinya
ppasar
pendapatan dari petani lada putih ke konsumen lada maupun produsen
trra
ttransfer
Kondisi ini menyebabkan petani sebagai penerima harga (price taker)
innp
iinput.
sedangkan
pembeli menguasai harga di pasar, baik tingkat domestik maupun
sed
se
dunia.
Mengingat pada pasar lada putih belum ada kebijakan pemerintah, maka
dun
du
u
transfer
pendapatan diduga lebih banyak ditentukan oleh kegagalan pasar bekerja
t ra
tr
ppaad kondisi pasar persaingan sempurna.
pada
Nampak bahwa terjadi transfer
ppeen
pendapatan
dari petani lada putih ke konsumen sebesar Rp. 22 185 619 per hektar.
Haa ini seiring dengan penelitian Marwoto (2003), nilai TO negatif dapat
H
Hal
diinterprestasikan
bahwa harga lada ditingkat petani atau domestik lebih rendah
diin
dar harga di pasar internasional, terjadi aliran surplus dari petani ke eksportir atau
dari
kon
konsumen
akhir di negara importir.
Salvatore (1997) mengatakan bahwa harga terbentuk karena adanya
ppeer
perpotongan
antara kurva tawar-menawar antara kedua negara yang terlibat dalam
per
pe
perdagangan,
sehingga harga relatif menggambarkan kuantitas impor yang
diin
di
i
diinginkan
sama dengan kuantitas ekspor yang ditawarkan. Dengan demikian
hhaar dunia sangat dipengaruhi oleh kekuatan - kekuatan yang mempengaruhi
harga
ppeer
perubahan
permintaan impor, perubahan penawaran ekspor atau karena keduaddu
ua
duanya
secara
bersama-sama.
Selanjutnya
Pitaningrum
(2005)
dalam
108
Soebtrianasari (2008), kekuatan mekanisme harga dipasar internasional dapat
So
mempengaruhi mekanisme pasar domestik dan sebaliknya.
me
Tabel 11. Nilai Indikator Analisis Kebijakan Output Lada Putih, Tahun 2011
Ta
No
Indikator
1
Transfer Output (TO) Rp/ha
2
Koefisien Proteksi Output Nominal (NPCO)
Nilai
- 22 185 619
0.87
Hasil Transfer Output (TO) berhubungan erat dengan koefisien proteksi
output
oouut
u
nominal (NPCO), merupakan rasio penerimaan yang dihitung berdasarkan
harga
hhaar privat dengan penerimaan berdasarkan harga sosial. Dalam kaitan itulah
nilai
nil NPCO menunjukkan dampak kebijakan akibat kegagalan pasar yang tidak
ni
dikoreksi
dengan kebijakan efisiensi yang mengakibatkan terjadinya divergensi
ddiik
hhaar
harga
privat terhadap harga sosial. Nilai NPCO yang lebih besar dari satu
me
me
merupakan
petunjuk bahwa pemerintah menaikkan harga output di pasar domestik
dia
diatas
harga efisiensinya atau dunia, sehingga terjadi penambahan penerimaan
pet akibat adanya kebijakan yang mempengaruhi harga output.Nilai NPCO < 1,
petani
ber
berarti
konsumen dan produsen dalam negeri menerima harga lebih murah dari
har
harga
seharusnya, sehingga terjadi pengurangan penerimaan petani.
Namun
mee
mengingat
sampai saat ini belum ada kebijakan pemerintah untuk perdagangan
lad putih, maka output lada putih ini diduga kegagalan pasar menyebabkan harga
la
lada
yyaan diterima petani lebih rendah dari seharusnya. Hasil analisis menunjukkan
yang
bah
ba
bahwa
nilai NPCO untuk pengusahaan komoditas lada putih di provinsi Bangka
Bee
B
Belitung
kurang dari satu(NPCO < 1) sebesar 0.87. Seperti yang terlihat pada
Taa
T
Tabel
11, artinya bahwa petani menerima harga lebih murah dari harga dunia,
dim
di
dimana
harga jual lada putih di tingkat petani 13 persen lebih murah dari harga
109
output yang seharusnya diterima.
out
Dengan kata lain, telah terjadi pengalihan
pendapatan dari petani lada ke konsumen lada yaitu industri makanan, industri
pen
farmasi dan industri yang berbahan baku lada putih.
far
Lebih rendahnya harga lada putih di tingkat petani dibandingkan dengan
haar sosialnya yang seharusnya diterima adalah berkaitan dengan tiga faktor
hharga
klla
kklasik,
yaitu (1) lembaga pemasaran output belum berfungsi efektif dan tidak
sehingga rantai pemasaran panjang, (2) posisi tawar petani lemah
trra
ttransparan,
sehingga
petani menjadi penerima harga yang pasif, dan (3) mental usahatani
seh
se
masih
bermental subsidi sehingga menjadi kendala untuk mandiri, maju dan
maa
m
dengan pasar global (Novianti, 2002).
beer
bbersaing
e
Dengan adanya revitalisasi lada putih maka kebijakan pemerintah dalam
m
me
mendorong
perbaikan harga lada putih dapat ditempuh melalui
kebijakan
peen
ppengolahan
dan pemasaran hasil yaitu : (1) mempercepat adopsi teknologi
peen
ppengolahan
hasil yang higienis (mutu tinggi), (2) fasilitasi penyediaan sarana
pengolahan hasil di daerah sentra produksi lada, (3) pemanfaatan limbah
pen
pen
pengolahan (kulit buah) lada putih sebagai bahan minyak lada, (4) promosi
pro
produk - produk lada Indonesia dengan memfokuskan pada keunggulannya seperti
ras
rasa dan aroma yang prima, dan (5) pengembangan jaringan pemasaran dalam
neeg dan ekspor.
nnegeri
7..6
77.6.2.
Dampak Kebijakan Input Lada Putih
Kebijakan input tradable dan nontradable dapat berupa kebijakan subsidi
ata pajak dan kebijakan hambatan perdagangan. Pengaruh pajak pada input
at
atau
trra
ttradable
menyebabkan harga input lebih tinggi dan biaya produksi meningkat
se
eh
sehingga
mengurangi pendapatan petani. Dampak subsidi menyebabkan harga
110
input lebih rendah dan biaya produksi lebih rendah sehingga meningkatkan
inp
pendapatan petani.
pen
Dalam penelitian ini, untuk melihat adanya kebijakan
pemerintah yang mempengaruhi harga input asing di pasar, digunakan kriteria
pem
Transfer Input (TI).
Tra
Adapun jenis input asing yang digunakan dalam perkebunan lada adalah
pu
ppupuk
up anorganik (urea, SP36/TSP dan KCl). Jika nilai TI lebih besar dari nol
artinya terdapat pajak atau tarif impor atas input asing tersebut, sehingga
(p
((positif)
p
po
harus membeli input tersebut dengan harga yang lebih mahal dari yang
peet
ppetani
seharusnya.Sedangkan
TI kurang dari nol, hal ini menunjukkan adanya subsidi
seh
se
terhadap input asing, sehingga petani tidak membayar penuh korbanan
peem
ppemerintah
sosial
sos yang seharusnya dibayarkan
so
Berdasarkan Tabel 12, kebijakan input yang tidak efektif juga
mee
m
menyebabkan
terjadi transfer input produksi dari pedagang input ke petani lada
yaai bernilai negatif sebesar Rp. 6 060 221 per hektar, artinya terdapat subsidi
yyaitu
pemerintah terhadap input asing. Bentuk subsidi dapat berupa insentif yang
pem
me
memberikan kemudahan dalam pengadaan saran dan prasarana pertanian.
Seb
Sebagaimaan
diatur
dalam
peraturan
menteri
pertanian,
No.
32/
32/Permentan/SR.130/4/2010, tentang tentang kebutuhan dan Harga Eceran
Tee
T
Tertinggi
(HET) pupuk bersubsidi untuk sektor pertanian.
Hal ini berdampak pada biaya yang dikeluarkan oleh petani untuk
mee
m
membeli
input produksi pupuk (urea, TSP/SP36) menjadi rendah, karena harga
inp yang diterima petani lada putih pada kondisi harga privat lebih rendah bila
in
input
dib
di
dibandingkan
dengan harga sosialnya terutama harga input pupuk.
111
Tabel 12. Nilai Indikator Analisis Kebijakan Input Lada Putih, Tahun 2011
Ta
No
Indikator
Nilai
- 6 060 221
1
Transfer Input (TI) (Rp/ha)
2
Koefisien Proteksi Input Nominal (NPCI)
3
Transfer Faktor (TF)(Rp/ha)
0.56
-11 850 766
Kriteria koefisien proteksi input nominal (NPCI) adalah indikator yang
menunjukkan
tingkat proteksi pemerintah terhadap harga input domestik. NPCI
m
me
merupakan
rasio biaya input tradable berdasarkan harga privat dan harga sosial.
mee
m
Nilai
Niil NPCI kurang dari satu (NPCI<1) maka kebijakan pemerintah bersifat
N
protektif
terhadap input dan produsen menerima subsidi input asing tradable
pprro
sehingga
produsen membeli dengan harga yang lebih rendah. Dari hasil analisis
ssee
seh
ppaad Tabel 12, memperlihatkan bahwa nilai NPCI untuk pengusahaan lada putih
pada
kurang
kku
ur
dari 1(NPCI < 1) yaitu 0.56. Hal ini berarti bahwa harga input yang
dib
dibayar
petani lebih rendah 44 persen dari harga dunia, artinya pemerintah
me
melakukan
kebijakan subsidi terhadap input produksi tradable dengan menetapkan
har domestik lebih rendah dari harga dunia. Kondisi ini berpengaruh pada
harga
tin
tingkat
pengusahaan lada putih, karena harga input produksi tradable yang rendah
aka membantu meningkatkan pendapatan petani di provinsi Bangka Belitung.
akan
Kebijakan pemerintah dapat dilihat dari subsidi pupuk kepada petani
sseeb
sebagaimaan
diatur
dalam
peraturan
menteri
pertanian,
Noo
N
No.32/Permentan/SR.130/4/2010
tentang tentang kebutuhan dan harga eceran
ter
te
tertinggi
(het) pupuk bersubsidi untuk sektor pertanian. Harga subsidi pupuk urea
Rpp 1 600/kg, Superphos (SP-18)/TSP Rp. 2 000/Kg, untuk pupuk Kcl tidak
R
Rp.
dis
di
disubsidi
pemerintah.
Darwis dan Nurmanaf (2004) mengemukakan bahwa
112
beberapa kebijakan strategis perlu dipertimbangkan pemerintah menyangkut
beb
masalah pupuk ditingkat usahatani, yaitu : (1) rasionalisasi penggunaan pupuk
ma
ditingkat petani, (2) rekomendasi pupuk berdasarkan analisis tanah spesifikasi
dit
lokasi,
lok
(3)
peningkatan efektifitas
penggunaan pupuk
anorganik
yang
dengan pemanfaatan pupuk organik, dan (4) perbaikan standarisasi
diik
ddikomplemen
daan sertifikasi pupuk, dan pelaksanaan kebijakan ekspor dan impor pupuk yang
ddan
bagi kontinuitas dan harga pupuk ditingkat petani.
ko
kkondusif
on
Indikator Transfer Factor (TF) diterapkan untuk menilai kebijakan
pemerintah
terhadap input domestik (non tradable) seperti tenaga kerja, lahan,
ppe
em
pupuk
organik, tiang panjat hidup.
ppu
up
Transfer faktor merupakan nilai yang
menunjukkan
perbedaan harga privat dengan harga sosialnya yang diterima
me
m
e
ppr
ro
produsen
untuk pembayaran faktor-faktor produksi yang tidak diperdagangkan.
Ni
N
il TF menunjukkan adanya kebijakan pemerintah terhadap produsen dan
Nilai
kon
konsumen yang berbeda dengan kebijakan input tradable. Intervensi pemerintah
unt
untuk input domestik dilakukan dalam bentuk kebijakan subsidi (positif dan
neg
negatif). Nilai transfer faktor positif menunjukkan bahwa terjadi subsidi negatif
pad
pada input non tradable, sedangkan TF negatif berarti terdapat subsidi positif pada
inp
input non tradable atau dengan kata lain kebijakan pemerintah lebih memihak
ppa
ad produsen atau petani lada putih. Berdasarkan Tabel 12, nilai Transfer Faktor
pada
((TF)
(T
TF bernilai negatif. Artinya bahwa kebijakan pemerintah lebih memihak kepada
ppr
ro
produsen
atau petani. Hal ini terlihat dari beberapa kebijakan pemerintah yang
m
me
memihak petani atau produsen seperti penyediaan subsidi bibit lada, pupuk
oorganik
or
rg
dan tiangpanjat hidup. Selain itu, upah tenaga kerja pada harga sosial
se
eb
sebesar
0.6 persen lebih rendah dibandingkan upah tenaga kerja pada harga privat.
113
7.6.3.
7.6
Dampak Kebijakan Input - Output Lada Putih
Untuk melihat dampak kebijakan input-output keseluruhan dapat
digunakan beberapa indikator yaitu koefisien proteksi efektif (EPC), transfer
dig
bersih (net transfer), koefisien keuntungan (PC) dan rasio subsidi produsen (SRP).
ber
Hasil
analisis dampak kebijakan pemerintah dalam input-output terhadap
Haa
H
ussa
uusahatani
lada putih di provinsi Bangka Belitung dapat dilihat pada Tabel 13.
Koefisien proteksi efektif
merupakan indikator yang menunjukkan
tingkat
tti
in
in
proteksi simultan terhadap input dan output tradable.
EPC
menggambarkan
sejauh mana kebijakan pemerintah bersifat melindungi atau
me
me
menghambat
produksi pengusahaan lada putih domestik. EPC merupakan rasio
mee
m
yaan membandingkan antara nilai tambah input tradable pada tingkat harga privat
yyang
deen
ddengan
nilai tambah input tradable pada tingkat harga sosial. Nilai EPC yang
leeb besar dari satu (EPC > 1), menunjukkan bahwa kebijakan pemerintah
llebih
tterhadap
er
output dan input dapat memberikan insentif kepada petani lada putih
unt
untuk berproduksi.
Hasil analisispada (Tabel 13) memperlihatkan bahwa nilai EPC pada
pen
pengusahaan komoditas lada putih di Provinsi Bangka Belitung kurang dari satu
(EP
(EPC < 1) yaitu 0.89, artinya dampak kebijakan input-output terhadap usahatani
laad putih belum berjalan secara efektif.
llada
Nilai tersebut menunjukkan bahwa
peet
ppetani
lada putih cenderung membayar harga input tradable dan menjual harga
ouut
ooutput
tidak sesuai dengan harga seharusnya (harga sosial).
Kondisi ini
m
e
membuktikan
bahwa secara simultan kebijakan pemerintah terhadap input ouut
ooutput
tidak memberikan perlindungan yang efektif bagi petani lada putih untuk
bbeer
ber
berproduksi.
114
Dengan kata lain pengaruh instrumen kebijakan pemerintah dalam pasar
input
inp - output yang diterapkan saat ini menimbulkan dampak disinsentif terhadap
pengembangan
usaha perkebunan lada, sebab nilai tambah yang diperoleh petani
pen
(privat)
lebih rendah dari yang seharusnya diterima yaitu 89 persen. Rendahnya
(pr
nilai
nniil tambah petani disebabkan mekanisme pasar yang distortif, yaitu disatu sisi
ppeet menerima harga input yang tinggi, sedangkan disisi lain petani juga
petani
menrima
harga output yang rendah dari yang seharusnya, atau sebalikanya petani
mee
m
menerima
input yang lebih rendah akan tetapi tidak diikuti dengan kenaikan harga
mee
m
output.
oouut
u
Tabel
Taa 13. Dampak Kebijakan Harga Output dan Kinerja Pasar Pada Usahatani
T
Lada Putih di Provinsi Bangka Belitung, Tahun 2011
No
1
2
3
4
Indikator
Koefisien Proteksi Efektif (EPC)
Net Transfer (NT) (Rp/ha)
Koefisien Profitabilitas (PC)
Koefisien Rasio Subsidi Produsen (SRP)
Nilai
0.89
- 4 274 632
0.87
- 0.026
Net Transfer (NT) atau transfer bersih mencerminkan dampak kebijakan
pemerintah
secara keseluruhan terhadap penerimaan petani, apakah merugikan
pem
atau
ata menguntungkan petani. Nilai NT positif menunjukkan bahwa tambahan
surplus
produsen disebabkan oleh adanya kebijakan pemerintah terhadap input
sur
su
dan
ddaan output. Dalam siklus usaha sepuluh tahun, petani hanya menerima
keuntungan
privat Rp. 25 454 038 per hektar, jauh lebih rendah dari keuntungan
keu
ke
sosial
ssoos yang seharusnya diterima petani Rp. 29 728 670 per hektar, akibatnya
petani
ppeet
harus menerima net transfer negatif sebesar Rp. 4 274 632 per hektar.
Kondisi
ini mencerminkan besarnya pengurangan surplus petani sebagai akibat
Ko
Ko
kkeeb
kebijakan
pemerintah, sehingga dalam hal ini petani dirugikan, atau dengan kata
115
lain menunjukkan bahwa secara keseluruhan, usahatani lada putih mengalami
inefisiensi dimana petani dirugikan oleh adanya kebijakan pemerintah atau
ine
distorsi pasar input (input tradable dan faktor domestik) dan output.
dis
Koefisien
profitabilitas
(PC)
menunjukkan
perbandingan
antara
bersih privat dengan keuntungan sosialnya. Koefisien keuntungan
keeu
kkeuntungan
me
me
merupakan
indikator yang menunjukkan dampak insentif dari semua kebijakan
kebijakan input asing (tradable), dan input domestik (net policy transfer).
ouut
ooutput,
u
Jika
JJi
ik nilai PC lebih besar dari satu (PC>1), menunjukkan bahwa secara
ik
keseluruhan
kebijakan pemerintah memberikan insentif kepada produsen.
kke
es
Tabel
13 menunjukkan nilai rasio PC sebesar 0.86, artinya bahwa kebijakan
Ta
T
a
pemerintah
membuat keuntungan yang diterima produsen (petani) lebih kecil
ppe
em
ddi
ib
dibandingkan
tanpa ada kebijakan.
Keuntungan yang diterima petani lada
bbe
er
berkurang
sebesar 14 persen dari keuntungan yang seharusnya diterima tanpa
aad
da
adanya
kebijakan pemerintah.
Koefisien Rasio Subsidi Produsen (SRP) menunjukkan rasio dari net
tra
transfer dengan penerimaan sosialnya.
Nilai rasio subsidi bagi produsen
me
merupakan indikator yang menunjukkan tingkat penambahan dan pengurangan
pen
penerimaan atas pengusahaan suatu komoditas karena adanya kebijakan
ppe
em
pemerintah.
Tabel 13 menunjukkan SRP bernilai negatif yakni sebesar 0.026.
Ha
H
a ini berarti terjadi arah transfer dari petani ke pemerintah atau konsumen.
Hal
De
D
e
Dengan
kata lain kebijakan pemerintah berpengaruh negatif terhadap struktur
bbi
ia produksi, karena biaya yang diinvestasikan lebih besar dari pada nilai
biaya
ttambah
ta
tam
am
keuntungan yang dapat diterimanya. Petani atau produsen lada putih
116
mengeluarkan biaya produksi lebih besar 2.6 persen dari opportunity cost untuk
me
produksi sehingga terjadi pengurangan penerimaan.
pro
Lebih rendahnya nilai tambah yang diterima produsen daripada harga
sosialnya yang seharusnya diterima kemungkinan disebabkan karena faktor –
sos
faak : (1) tingkat permodalan petani yang terbatas berdampak pada pemenuhan
ffaktor
har input, (2) tingkat pendidikan masih rendah, berpengaruh terhadap adopsi
ha
harga
(3) pemberdayaan kelembagaan petani belum maksimal, (4) masih
teek
ttekhnologi,
rantai pemasaran, sehingga margin penjualan banyak dinikmati
paan
ppanjangnya
dan (5) petani lebih menjual dalam produk primer, dan pengembangan
peed
ppedagang,
produk belum berkembang.
diiv
ddiversifikasi
iv
7..7
77.7.
Perubahan terhadap Keuntungan dan Daya Saing Lada Putih
Gittinger (1986) mengemukakan bahwa meneliti kembali suatu analisis
deen
ddengan
tujuan untuk melihat pengaruh yang akan terjadi sebagai akibat keadaan
yang berubah - ubah disebut dengan analisis kepekaan (sensitivity analysis).
yan
An
Analisis sensitivitas diperlukan, karena analisis dalam metode PAM merupakan
ana
analisis yang bersifat statis. Analisis sensitivitas juga berguna untuk mengetahui
kep
kepekaan efisiensi dalam usahatani lada putih terhadap perubahan pada komponen
- kompenen
k
yang sangat berpengaruh dalam usahatani lada putih, dalam hal ini
yan berpengaruh nyata yaitu input (pupuk) dan perubahan output.
ya
yang
Pada penelitian ini dilakukan analisis kepekaan untuk mengantisipasi
adda
aadanya
da
perubahan lingkungan strategis, kebijakan pemerintah, struktur biaya
prro
pproduksi
dan produktivitas terhadap keuntungan dan daya saing lada putih sangat
peen
ppenting
dilakukan, sehingga dapat diketahui jika terjadi perubahan pada aspek -
117
aspek tersebut, apakah memproduksi lada putih di Bangka Belitung masih lebih
asp
menguntungkan jika dibandingkan dengan impor.
me
Analisis kepekaan yang digunakan pada penelitian ini terdiri dari 3
skenario mencakup : (1) perubahan pada harga output sebesar 20 persen,
ske
(2
((2)
2) perubahan harga input khususnya pupuk sebesar 20 persen, dan (3) perubahan
paad produksi tanaman lada sebesar 20 persen. Setiap simulasi dilakukan dengan
ppada
harga input lainnya tetap (ceteris paribus). Secara keseluruhan, dari 3
assu
aasumsi
s
skenario
kebijakan, kondisi yang paling tidak menguntungkan petani di Provinsi
ske
sk
Bangka
Belitung adalah ketika produksi lada putih turun 20 persen dan harga
Ba
Ba
turun 20 persen atau sensitif terhadap perubahan produksi dan harga ouput.
ouut
ooutput
u
Tabel
14. Nilai Keuntungan Berdasarkan Analisis Sensitivitas Lada Putih
Taa
T
di Provinsi Bangka Belitung, Tahun 2011
No
N
1
2
3
4
Skenario
Kondisi normal
Produksi turun 20 persen
Harga output turun 20 persen
Harga pupuk naik 20 persen
Keuntungan (Rp/Ha)
Privat
Sosial
25 454 038
29 728 670
-3 410 123
-3 573 420
-3 404 820
-3 567 302
15 236 808
15 331 977
Berdasarkan Tabel 14, penurunan produksi lada putih 20 persen
menyebabkan
me
keuntungan petani (keuntungan privat dan sosial) menjadi negatif
atau
aatta sensitif terhadap perubahan produksi. Hal ini juga terjadi pada penurunan
harga
har output sebesar 20 persen menyebabkan keuntungan petani menjadi negatif
ha
baik
bbaai keuntungan privat maupun keuntungan sosial.
Penurunan harga output
se
se
seb
sebesar
20 persen dari kondisi harga normal yaitu Rp. 48 500 menjadi Rp. 38 800
ppeer kilogram (harga privat) dan Rp. 55 957 menjadi Rp 44. 766 per kilogram
per
(ha
(h
(harga
sosial), membuat keuntungan petani menjadi negatif.
Kondisi ini
118
menyebabkan usahatani lada putih di Bangka Belitung tidak layak lagi untuk
me
diusahakan karena memberikan keuntungan yang negatif. Kita ketahui bahwa
diu
harga lada putih merupakan insentif bagi petani untuk berproduksi, ketika harga
har
lada putih turun menyebabkan kemampuan petani untuk membeli sarana produksi
lad
menjadi
menurun bahkan tidak mampu lagi, sehingga berdampak pada penurunan
mee
m
prro
pproduksi
dan intensitas pengelolaan kebun lada putih.
Kenaikan harga pupuk sebesar 20 persen tidak mempengaruhi pendapatan
artinya kenaikan harga pupuk tidak sensitif terhadap keuntungan petani
peet
ppetani,
(bba keuntungan privat maupun keuntungan sosial).
((baik
Kenaikan harga pupuk
20 persen menyebabkan keuntungan petani menurun sebesar Rp. 15 236
seeb
ssebesar
808
80 atau 59.8 persen (keuntungan privat) dan Rp. 15 331 977 atau 51.6 persen
80
(k
((keuntungan
ke
sosial) dari keuntungan normalnya.Walaupun harga pupuk naik
seb
se
sebesar
20 persen, usahatani lada putih di Bangka Belitung masih layak untuk
diiu
ddiusahakan.
Kenaikan harga pupuk dapat diantisipasi petani dengan mengurangi
penggunaan pupuk kimia dan meningkatkan penggunaan pupuk alternatif seperti
pen
pup
pupuk kandang. Hal ini seiring dengan gerakan pengembangan lada putih di
Pro
Provinsi Bangka Belitungbahwa budidaya secara tradisional yang selama ini
dil
dilakukan oleh petani lada putih dengan biaya produksi yang cukup tinggi
kkh
khu
hu
khususnya
penggunaan pupuk, maka harus mengubah pola budidaya lada putih
sees dengan anjuran menuju budidaya yang ramah lingkungan. Budidaya ramah
ssesuai
lin
li
lingkungan
ini dapat mengurangi penggunaan pupuk kimia digantikan dengan
pem
pe
pemanfaatan
pupuk organik dan biomasa hasil pangkasan tajar hidup.
Analisis sensitivitas juga dilakukan untuk melihat daya saing lada putih di
Pro
Pr
Provinsi
Bangka Belitung apabila terjadi perubahan faktor internal maupun
119
eksternal, apakah usahatani lada putih masih memiliki daya saing.
eks
Analisis
sensitivitas terhadap indikator daya saing lada putih dapat dilihat pada Tabel 15.
sen
Tabel 15. Indikator Daya Saing Berdasarkan Analisis Sensitivitas Lada Putih
Ta
di Provinsi Bangka Belitung, Tahun 2011
No
N
1
2
3
4
Skenario
Kondisi normal
Produksi turun 20 persen
Harga output turun 20 persen
Harga pupuk naik 20 persen
Nilai
PCR
0.813
1.032
1.031
0.89
DRCR
0.805
1.030
1.029
0.90
Hasil analisis menunjukkan bahwa kebijakan yang menjadikan petani
llaad putih berada pada kondisi paling tidak berdaya saing adalah ketika produksi
lada
lada
lad putih dan harga output turun sebesar 20 persen. Kondisi lain yang dapat
la
dit
di
ditunjukkan
oleh analisis sensitivitas adalah yang paling sensitif terhadap
ppeer
perubahan
daya saing yaitu jika terjadi perubahan produksi dan perubahan harga
lad putih, menyebabkan usahatani lada putih tidak memiliki keunggulan
lada
kom
komparatif
dan kompetitif. Penurunan produksi dan harga lada putih sebesar 20
per
persen
menyebabkan nilai PCR dan DRCR lebih besar dari satu, hal ini berarti
usa
usahatani
lada putih di Provinsi Bangka Belitung tidak efisien untuk diproduksi
baai secara finansial maupunekonomi, karena memboroskan sumberdaya.
baik
Kondisi ini harus diantisipasi pemerintah dengan mengembangkan paket
tek
te
teknologi
budidaya lada putih sesuai anjuran yakni; penggunaan varietas unggul,
ppeen
penggunaan
parit keliling dan saluran drainase, pemangkasan sulur yang teratur
ssaam
sampai
umur produktif, pemangkasan tajar diawal dan diakhir musim hujan,
pem
pe
pembuangan
sulur inferior dan cabang bawah, penanaman penutup tanah Arachis
Piin
P
Pin
Pintoi
dan pagar keliling rumput gajah, pemupukan yang berimbang dengan
120
pupuk anorganik dan organik, pengendalian hama penyakit yang ramah
pup
lingkungan, dan panen yang tepat.
lin
Sedangkan kenaikan harga pupuk sebesar 20 persen tidak sensitif terhadap
perubahan daya saing lada putih baik PCR maupun DRCR. Hal ini ditunjukkan
per
olle nilai PCR dan DRCR lada putih lebih kecil dari satu, menunjukkan bahwa
ooleh
ussa
uusahatani
lada putih masih memiliki keunggulan kompetitif maupun keunggulan
Walaupun terjadi kenaikan harga pupuk, usahatani lada putih masih
ko
kkomparatif.
om
memiliki
kemampuan membayar faktor domestik pada harga privat dan sosial.
mee
m
Dikarenakan harga output lada putih ditentukan berdasarkan mekanisme
dan penawaran lada putih di tingkat dunia dan terjadi pada pasar
peer
ppermintaan
persaingan
sempurna. Untuk mempertahankan agar harga lada putih pada kondisi
per
pe
sta
st
stabil
sehingga adanya insentif bagi petani lada putih, oleh karena itu perlu
mee
m
mekanisme
kebijakan yang harus dilakukan yaitu pertama, mendorong
peer
pperkembangan
pangsa pasar domestik, selama ini lada putih di ekspor ke negaranegara Eropa, Amerika Serikat, serta Asia. Untuk itu pentingnya memperluas
neg
pan
pangsa pasar domestik khususnya industri rumah makan serta peningkatan
kon
konsumsi rumah tangga. Kedua, mendorong industri pengolahan hasil lada putih
(ag
(agroindustri), selama ini ekspor lada putih ke negaraimportir dalam bentuk
ppr
ri
primer
(biji lada putih kering) sehingga nilai tambah industri lada dinikmati
nne
eg
negara
importir. Untuk itu perlu pengembangan diversifikasi lada putih pada
ttingkat
ti
in
industri,agar petani dapat memperoleh nilai tambah dari produksinya.
Ke
K
e
Ketiga,
mendorong perubahan pola budidaya lada putih konvensional menuju pola
bbudidaya
bu
ud
lada organik sesuai dengan permintaan pasar.
Sudah waktunya
m
e
mengembangkan
peluang pasar baru dengan pengembangan lada putih organik.
Download