93 VII. DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP VI KEUNTUNGAN DAN DAYA SAING LADA PUTIH 7.1. 7.1 Justifikasi Harga Bayangan Penelitian ini, untuk setiap input dan output ditetapkan dua tingkat harga, yaai harga pasar (harga privat atau harga aktual) dan harga bayangan (harga yyaitu soos atau harga ekonomi). Harga pasar adalah tingkat harga pasar yang diterima ssosial dal da dalam penjualan hasil produksinya atau tingkat harga yang dibayar dalam peem ppembelian faktor-faktor produksi. Menurut Gitinger (1986) harga bayangan merupakan me m e harga sebenarnya yang akan terjadi dalam suatu perekonomian jika pasar pas dalam keadaan persaingan sempurna dan pada kondisi keseimbangan. pa Perhitungan harga bayangan dapat dilakukan dengan mengeluarkan diis ddistorsi akibat adanya kebijakan pemerintah seperti subsidi, pajak, penentuan up uupah pa minimum dan lain - lain. Harga bayangan dalam penelitian ini adalah output (bij (biji lada putih), pupuk urea, TSP/SP36, Kcl, tenaga kerja, lahan dan sarana pro produksi pertanian. Berikut ini akan dijelaskan penentuan harga bayangan ter tersebut. 7.1 7.1.1. Harga Bayangan Output Harga bayangan dalam hal ini lada putih ditingkat petani digunakan harga FO F O (Free on Board). Hal ini didasarkan bahwa eksportir lada putihdi Bangka FOB Be B e Belitung tidak menanggung risiko. Kemudian dari harga border tersebut ddi il dilakukan penyesuaian dengan pengurangan biaya penanganan dan pengangkutan. Ha H a Harga output lada putih disesuaikan dengan nilai tukar rupiah bayangan (Shadow Exx E Exchange Rate). Harga bayangan lada putih dalam penelitian ini ditetapkan rata - 94 rata sebesar Rp. 55 957 per kilogram. Harga ini diperoleh dari harga fob lada rat putih yaitu US $ 6 per kilogram, dikurangi dengan biaya tataniaga sebesar Rp. put 785 per kg, yang terdiri dari biaya pengepakan sebesar Rp. 140 per kg dan biaya 78 transportasi sebesar Rp. 645 per kg. Kemudian dikalikan dengan SER Rp. 9457. tra 7..1 77.1.2. Harga Bayangan Lahan Harga sosial didekati dengan nilai sewa lahan di daerah penelitian, hal ini oleh mekanisme pasar lahan di pedesaan berjalan dengan baik, dan diil ddilandasi mencari oppourtunity cost of land. suul ssulitnya Berdasarkan hal tersebut, harga bayang sewa lahan mengacu pada harga sewa lahan yang berlaku didaerah bay ba yaitu Rp. 1 000 000 per hektar. peen ppenelitian 7..1 77.1.3. Harga Bayangan Tenaga Kerja Harga bayangan tenaga kerja dihitung dengan mempertimbangkan tingkat pen pe pengangguran pada daerah penelitian. Harga bayangan tenaga kerja jika tidak ada pengangguran berarti harganya sama dengan harga aktual upah, sedangkan pen ber berdasarkan Badan Pusat Statistik Provinsi Bangka Belitung (2010) dengan ada adanya pengangguran sebesar 6 persen, maka harga bayangan sosial adalah 94 per persen dari tingkat upah yang berlaku didaerah penelitian. Tingkat upah aktual yan berlaku adalah Rp. 70 000 per HOK untuk pria, danRp. 50 000 per HOK ya yang unt wanita. Dengan demikian harga bayangan tenaga kerja adalah Rp. 65 800 un untuk peer HOK untuk pria dan Rp. 47 000 per HOK untuk wanita. pper 77..1 7.1 7.1.4. Harga Bayangan Sarana Produksi dan Peralatan Penentuan harga bayangan sarana produksi dan peralatan didasarkan pada har border price, untuk yang termasuk komoditas tradable dan harga domestik ha harga 95 untuk input non tradable. Dalam penelitian ini yang termasuk input tradable unt adalah pupuk urea, NPK/TSP, KCL, sedangkan bibit, ajir/tajar, pupuk kandang ada dan penyusutan peralatan termasuk kedalam input non tradable. Untuk harga pupuk urea, SP36/TSP dan KCL sampai saat ini masih disubsidi oleh pemerintah yaitu berdasarkan peraturan menteri pertanian nomor ddiis 32 tahun 2010 yaitu tentang kebutuhan dan harga eceran tertinggi (HET) pupuk 32 bersubsidi untuk sektor pertanian. Harga subsidi pupuk urea Rp. 1 600 per kg, bbeer e Superphos (SP-18)/TSP Rp. 2 000 per kg, untuk pupuk KCL tidak disubsidi Suu S pemerintah. ppeem Jadi untuk harga bayangan pupuk urea, TSP/SP36, dan Kcl berdasarkan harga pupuk non subsidi diwilayah penelitian yaitu urea Rp. 4 800 bbeer e per per kg, TSP/SP36 sebesar Rp. 6 800 per kg dan Kcl sebesar Rp. 5 800 per kg. pe Harga bayangan untuk peralatan digunakan harga pasar dengan ppeer pertimbangan tidak ada kebijakan pemerintah yang mengatur secara langsung, seeh se sehingga distorsi pasar yang terjadi amat kecil atau pasar mendekati pasar persaingan sempurna. per Sementara dalam perhitungan analisis ekonomi dan fin finansial, nilai harga yang dimasukan adalah nilai penyusutan dari masing-masing per peralatan berdasarkan umur ekonomisnya yaitu untuk hand sprayer 5 tahun dan unt alat pertanian kecil 1 tahun (Ditjen Perkebunan, 2001). untuk 77..1 7.1.5. Harga Bayangan Nilai Tukar Harga bayangan nilai tukar rupiah dihitung menggunakan standar con co conversion faktor (SCF) sebagai koreksi terhadap nilai tukar resmi yang berlaku. Haa H Harga bayangan merupakan hasil bagi dari harga nilai tukar resmi pemerintah ddeen dengan SCF. Untuk harga bayangan nilai tukar ini sudah dibahas dibab 4, pada akkh akhirnya diperoleh nilai SER sebesar Rp. 9457. 96 7.2. 7.2 Karakteristik Petani Responden Pada penelitian ini yang menjadi kriteria untuk identifikasi petani responden terdiri atas beberapa aspek diantaranya yaitu; umur, tingkat pendidikan res pengalaman berusahatani, luas areal tanaman lada putih dan umur tanaman lada pen pu pputih ut yang menggunakan tiang panjat hidup. Untuk lebih jelasnya, karakteristik dar petani responden dapat dilihat pada Tabel 7. da dari Tabel Ta T a 7. Karakteristik Petani Responden Lada Putih di Provinsi Bangka Belitung, Tahun 2011 No N 1 1. 22.. 33.. 44.. 55.. Uraian Umur (tahun) Pendidikan Formal Pengalaman berusahatani lada putih (tahun) Luas areal (hektar) Umur tanaman lada putih (tahun) Rendah 28 SD 5 0.25 3 Tinggi 63 SMA/SMK 35 1 10 Berdasarkan Tabel 7, memperlihatkan bahwa umur petani responden berkisar antara 28 tahun untuk yang terendah dan tertinggi berumur 63 tahun. ber Da segi pendidikan formal, petani responden mempunyai tingkat pendidikan Dari ber beragam mulai dari tamatan SD sebesar 22.2 persen, tamatan SMP sebesar 22.2 per persen dan tamatan SMA/SMK sebesar 55.6 persen. Pengalaman usahatani res responden beragam mulai dari 5 tahun sampai dengan 35 tahun, pengalaman ini did di didapat dari pengalaman orang tua terdahulu yang masih menggunakan tiang panjat mati untuk lada putihnya.Luas tanaman lada putih responden mulai dari pan a 00..2 hektar atau 22.2 persen, 0.5 hektar atau 22.2 persen dan seluas 1 hektar (55.6 0.25 ppeer e persen). Jarak tanam lada putih yaitu 2.5m x 2.5m, kalau dikonversikan dengan jum ju jumlah tanaman sebanyak 2 000 batang per hektar tanaman lada putih. Sed Se Sedangkan sebaran umur tanaman lada putih petani responden bervariasi, mulai 97 terendah berumur 3 tahun atau 33.3 persen, kemudian umur tanaman 4, 5, 6 dan 8 ter tahun atau masing - masing sebesar 11.1 persen dan umur tanaman lada putih tah tertinggi yaitu 10 tahun atau 22.2 persen dari total petani responden. ter 7.3. 7.3 Struktur Biaya, Penerimaan Privat dan Penerimaan Sosial Tingkat efisiensi dan kemampuan daya saing lada putih di Provinsi Baa B Bangka Belitung dapat dijelaskan dengan menggunakan matrik analisis kebijakan Matrik ini disusun berdasarkan data biaya input dari suatu komoditas, (P ((PAM). PA biaya dipisahkan ke dalam komponen tradable dan domestik. Menurut keem kkemudian Mubyarto (1986), didalam mengelola usahataninya seorang petani memerlukan Mu sejumlah input yang berupa biaya produksi. sseej Besar kecilnya biaya yang dikeluarkan dalam melakukan aktivitas bud bu u budidaya tanaman lada putih sangat ditentukan oleh skala pengelolaannya. Koo K Komponen biaya yang digunakan pada pengusahaan tanaman ini cukup beragam mulai mu dari biaya pembukaan kebun, pengadaan bibit, pupuk, tenaga kerja, tiang pan atau tajar dan lainnya. Berdasarkan (Tabel 8), untuk setiap tahunya (siklus panjat tan tanaman lada putih yaitu 10 tahun) rata - rata biaya yang dikeluarkan petani ter terbesar dialokasikan untuk tenaga kerja baik secara finansial maupun ekonomi. Haa ini lebih disebabkan oleh mahalnya upah tenaga kerja di provinsi Bangka Hal Be Be Belitung. Rata-rata upah tenaga kerja pria Rp. 70 000 per hok (7 jam kerja), seed sedangkan untuk wanita Rp. 50 000 per hok (7 jam kerja), biasanya tenaga kerja waa w wanita digunakan pada saat panen. Proporsi terbesar penggunaan tenaga kerja ppaad saat tahun pertama yaitu pembukaan lahan yang terdiri dari tebas tebang, pada ppeem pembakaran, manduk, membuat lobang tanam dan lain-lain, untuk lebih jelasnya ddaap dilihat pada Tabel 8, yang dirujuk dari Lampiran 7 dan Lampiran 8. dapat 98 Tabel 8. Rata-rata Penerimaan dan Komponen Biaya Finansial dan Ekonomi Lada Ta Putih per Hektar/Thn di Provinsi Bangka Belitung, Tahun 2011 No N Uraian A A. B. B 11. Penerimaan Biaya Input Bibit Lada (Btg) Tiang panjat hidup (Btg) Pupuk (Kg) Organik Urea SP36/TSP KCL Dolomit Tenaga Kerja (Hok) Penyusutan Peralatan Sewa Lahan Pajak Total Biaya 22. 33. 4 4. 5 66. 77. C. C Jmlh Finansial Nilai (Rp) 33 017 722 (%) Jmlh Ekonomi Nilai (Rp) 38 094 282 (%) 200 1 000 000 4.3 200 1000000 3.7 200 400 000 1.7 200 400000 1.5 1000 490 583 614 36 158 1.6 1 1 5 000 000 784 000 1 166 000 3 561 200 36 000 10 142 444 106 000 1 000 000 50 000 23 245 644 21.3 3.3 5 15.2 0.15 44 0.46 4.3 0.2 100 1000 490 583 614 36 158 1.6 1 1 5 000000 2254000 3964400 3656370 36000 9 502 460 106 000 1000000 50000 26 969 230 18.5 8.4 14.7 13.6 0.1 35.2 0.4 3.71 0.19 100 Proporsi biaya berikutnya adalah biaya pupuk organik rata-rata sebesar Rpp 5 000 000 per tahun. Penggunaan pupuk organik lebih diutamakan R Rp. ddiib dibandingkan dengan pupuk anorganik, hal ini disebabkan bahwa kondisi tanah di Pro Provinsi Bangka Belitung didominasi podsolik yang merupakan tanah dengan pH (tin (tingkat kemasaman) yang rendah dan kandungan Al yang tinggi. pH yang ren rendah menyebabkan ketersediaan hara menurun, sedangkan Al yang tinggi dapat me meracuni tanaman (Sasmita dan Rusli, 2009). Selain itu juga untuk mengurangi pen pe penggunaan pupuk kimia, dikarenakan harganya lebih mahal dan ketersediaanya ter te terbatas. Harga pupuk organik di Provinsi Bangka Belitung masih tergolong ttiin tinggi dan jumlahnya sangat terbatas. Untuk itu usaha lada putih lebih intensif jjiik diintegrasikan dengan ternak, disamping tersedianya pakan ternak, sehingga jika dap menurunkan biaya pembelian pupuk organik. da dapat 99 Selanjutnya proporsi terbesar berikutnya adalah penggunaan pupuk kimia, selain penggunaan pupuk organik tanaman lada putih juga dibantu pemupukan sel dengan pupuk anorganik, penggunaan pupuk anorganik sebaik mungkin untuk den diminimalisirkan, penggunaan pupuk anorganik untuk lebih cepat memacu dim pertumbuhan tanaman lada putih. Seiring dengan penelitian Marwoto (2003), ppeer me me mengatakan bahwa tingginya biaya operasional lada putih lebih disebabkan karena tingginya biaya pemupukan, pada umumnya kesuburan tanah sangat kkaar rendah sehingga pemupukan yang sesuai mutlak dilakukan. Karakteristik petani rreen di di Bangka Belitung dalam hal pemupukan anorganik tergantung pada harga lada putih, ppu ut semakin tinggi harga lada maka semakin tinggi pemberian pupuknya. Tanaman lada awal berproduksi pada tahun ke-3, namun penerimaan tah ta tahun ke-3 belum mampu menutupi biaya investasi yang dikeluarkan petani sel se selama tahun ke-1 dan ke-2. Tingkat penerimaan tertinggi pada pengusahaan kko om komoditas lada putih dicapai pada produksi tahun ke-6 dengan penerimaan sebesar Rp. 58 200 000 per hektar (analisis finansial) dan Rp. 67 148 400 per seb hek hektar (analisis ekonomi). Sedangkan penerimaan terendah pada tahun ke 10 seb sebesar Rp. 22 310 000 per hektar (Finansial) dan sebesar Rp. 25 740 220 (ek (ekonomi) untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Lampiran 7 dan Lampiran 8. Naa N Namun, secara rata-rata (siklus 10 tahun) penerimaan usahatani lada secara fin fi finansial sebesar Rp. 33 017 722 per tahun, sedangkan penerimaan usahatani lada sec ekonomi sebesar Rp. 38 094 282 per tahun. Adanya perbedaan penerimaan se secara pet pe petani yang cukup tinggi antara penerimaan secara ekonomi bila dibandingkan den de dengan penerimaan secara finansial, hal ini lebih dikarenakan adanya perbedaan har output lada baik secara ekonomi dan finansial. ha harga 100 7.4. 7.4 Analisis Keuntungan Privat dan Sosial Model PAM dipakai sebagai alat analisis dari penelitian ini, mempunyai beberapa bentuk indikator keluaran, diantaranya adalah nilai keuntungan privat beb dan keuntungan sosial, efisiensi finansial dan efisiensi ekonomi serta dampak kebijakan pemerintah. Keuntungan privat adalah selisih penerimaan dan biaya keb ke toot yang dihitung berdasarkan harga privat, harga yang sesungguhnya diterima ttotal dan dda an dibayarkan oleh petani lada. Total biaya termasuk juga nilai sewa lahan dan uupah up pa tenaga kerja dalam keluarga. Harga tersebut sudah dipengaruhi oleh pemerintah, baik berupa subsidi, proteksi, pemberlakuan tarif masuk, keeb kkebijakan maupun kebijakan lainnya. Keuntungan privat merupakan indikator paaj ppajak kompetitif dari sistem komoditas berdasarkan teknologi, nilai output, keeu kkeunggulan e biia input dan transfer kebijakan yang ada. bbiaya Suatu usahatani memperoleh laba diatas biaya normal apabila keuntungan yan yang didapat lebih besar dari nol (D>0), sehingga implikasinya bahwa usahatani lad lada tersebut mampu berekspansi. Hasil analisis secara finansialpada Tabel 9 dib dibawah, menunjukkan bahwa keuntungan privat lebih besar dari nol, yaitu seb sebesar Rp. 25 454 038 per hektar. Hal ini memberikan arti bahwa sistem pro produksi lada putih di Bangka Belitung memperoleh keuntungan diatas kkeeu keu keuntungan normal, yang berarti usaha lada putih layak untuk diteruskan, baik un uuntuk nt jangka pendek maupun untuk jangka panjang. Keuntungan sosial merupakan indikator keunggulan komparatif ((comparative co advantage) suatu komoditas dalam pemanfaatan sumberdaya yang llaan langka di dalam negeri. Pada kondisi ini harga input dan output diperhitungkan dal dal da dalam kondisi persaingan sempurna, dimana segala bentuk subsidi dan proteksi 101 yang bersifat mendistorsi pasar telah dihilangkan. yan Sistem komoditas dengan tingkat keuntungan sosial yang makin tinggi, maka menunjukkan tingkat tin keunggulan komparatif yang semakin besar. keu Dari hasil yang diperoleh, menunjukkan bahwa usahatani lada putih di Bangka Belitung memiliki keuntungan sosial yang positif (H>0), yaitu sebesar Baa B Rpp 29 728 670 per hektar. Hal ini menunjukkan bahwa usahatani lada putih di R Rp. Bangka Belitung mempunyai keunggulan komparatif atau efisien secara ekonomi. Baa B Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 9. Unn U Senada dengan penelitian Sudarlin (2008), tentang daya saing lada putih ddii kecamatan Air Gegas, Kabupaten Bangka Selatan, menyatakan bahwa privat dan keuntungan sosial untuk setiap siklus produksi (7 tahun) keeu kkeuntungan leb besar dari nol artinya usahatani lada putih dengan tiang panjat mati layak le lebih un uuntuk nt diusahakan dan mempunyai keunggulan komparatif atau efisien secara ekko eekonomi. Tabel 9. Keuntungan Privat dan Keuntungan Sosial Pada Usahatani Lada Putih di Ta Provinsi Bangka Belitung, Tahun 2011 Uraian Penerimaan Harga Privat 144 294 290 Biaya (Rp/ha) Input Faktor Tradable domestik 7727646 111112606 Harga Sosial 166 479 909 13 787 867 123269945 Keuntungan (Rp/ha) 25 454 038 29 728 670 Tabel 9 diatas menunjukkan adanya perbedaan antara keuntungan privat dan dan da a keuntungan sosial, perbedaan keuntungan sosial lebih disebabkan karena ppeer perbedaaan penerimaan ekonomi, dibandingkan karena perbedaan total biaya pprro produksi ekonominya. Harga bayangan lada putih ini diperoleh dari harga ppeer perbatasan (border price) dikurangi dengan biaya pengepakkan dan transportasi. 102 Harga bayangan ini menunjukkan bahwa tidak terjadinya distorsi pasar atau Ha intervensi pemerintah sehingga harga ini didasarkan pada kondisi pasar int persaingan sempurna. per Berdasarkan hasil analisis perbandingan antara keuntungan yang petani lada putih secara privat dengan keuntungan sosial, ternyata diip ddiperoleh keeu kkeuntungan sosial lebih besar dibandingkan keuntungan privat (KS>KP). Hal ini menginformasikan bahwa secara sosial atau pada kondisi dimana harga input dan mee m dihitung berdasarkan harga opportunity cost (biaya imbangan) dan tidak ouut ooutput kegaggalan pasar atau intervensi pemerintah, maka pengusahaan adda aadanya lada putih sangat menguntungkan untuk terus diusahakan. ko kkomoditas o om Usahatani lada putih di Bangka Belitung memiliki keuntungan privat dan keeu kkeuntungan sosial diatas keuntungan normal sehingga layak untuk diusahakan. Koo K Kondisi ini didukung oleh adanya kebijakan pemerintah melalui revitalisasi peer pperkebunan lada dan gerakan pengembangan lada putih, yang dilaksanakan oleh pemerintah daerah provinsi Bangka Belitung melalui perbaikan sistem budidaya, pem yan yang selama ini dilakukan petani secara tradisional menuju teknologi budidaya ses sesuai anjuran dengan penggunaan tiang panjat hidup. Penggunaan tiang panjat hid hidup ini memberikan keuntungan yang positif bagi petani, sehingga usahatani lad putih terus dapat dikembangkan di provinsi Bangka Belitung. la lada 7..5 77.5. AnalisisDaya Saing Analisis daya saing terdiri dari kompetitif (efisiensi finansial) dan kom ko komparatif (efisiensi ekonomi). Penilaian daya saing kompetitif dilihat dari rasio biia domestik terhadap nilai tambah dalam harga privat (Private Cost Ratio). bbiaya Ha Ha Harga yang digunakan dalam analisis ini adalah harga aktual yang terjadi dipasar, 103 dimana harga tersebut telah dipengaruhi oleh intervensi pemerintah. Nilai PCR dim menunjukkan ukuran efisiensi secara finansial, yaitu indikator keuntungan yang me menunjukkan kemampuan usahatani membayar biaya domestik. Efisiensi me finansial dicapai apabila nilai PCR lebih kecil dari satu. fin Berdasarkan Tabel 10, menunjukkan bahwa usahatani lada putih di Prro P Provinsi Bangka Belitung mempunyai efisiensi secara finansial, yang ditunjukkan niil nnilai i PCR lebih kecil dari satu. Berdasarkan nilai PCR dapat dikatakan bahwa lada putih efisien secara finansial dan mempunyai keunggulan ko kkomoditas om karena untuk menghasilkan satu unit nilai tambah pada harga-harga ko kkompetitif, om hanya memerlukan kurang dari satu unit input domestik. Semakin kecil prri pprivat niil PCR yang diperoleh, maka semakin tinggi tingkat efisiensi dan keunggulan nnilai ko kkompetitif om yang dimiliki. Nilai PCR yang diperoleh pada usahatani lada putih di provinsi Bangka Be Belitung adalah 0.813, hal ini berarti untuk mendapatkan nilai tambah output seb sebesar satu-satuan pada harga privat diperlukan tambahan biaya faktor domestik seb sebesar 0.813. Keunggulan kompetitif akan meningkat jika biaya faktor domestik dap dapat diminimumkan dan atau memaksimumkan nilai tambahnya. Peningkatan nil nilai tambah dapat ditingkatkan dengan peningkatan penggunaan teknologi yang daap menurunkan biaya per unit output. ddapat Hal ini seiring dengan kebijakan revitalisasi perkebunan melalui gerakan pen pe pengembangan lada putih di provinsi Bangka Belitungbahwa sistem budidaya yan selama ini dilakukan petani secara tradisional berdampak pada inefisiensi ya yang bia bi biaya produksi, untuk itu dianjurkan dengan pola budidaya anjuran dengan 104 menggunakan tiang panjat hidup dengan penerapan konsep Good Agriculture me Praktice (GAP) menuju pola budidaya ramah lingkungan. Pra Tabel 10. Nilai Indikator PCR dan DRCR Lada Putih di Provinsi Bangka Ta Belitung, Tahun 2011 No Indikator Nilai 1 Private Cost Rasio (PCR) 0.813 2 Domestic Resource Cost Ratio (DRCR) 0.805 Keunggulan komparatif dan tingkat efisiensi ekonomi usahatani lada putih ppu ut ditunjukkan oleh nilai DRCR (Domestic Resource Cost Ratio) yaitu rasio antara biaya domestik terhadap nilai tambahpada harga sosialnya. Nilai DRCR aannt menunjukkan kemampuan sistem produksi usahatani lada putih dalam membiayai m me ffaak domestiknya pada harga sosial atau dengan kata lain menunjukkan jumlah faktor ssu um sumberdaya domestik yang dapat dihemat untuk menghasilkan satu unit devisa. Dik Dikatakan efisiensi secara ekonomi apabila DRCR lebih kecil dari satu dan me mempunyai keunggulan komparatif makin tinggi jika nilai DRCR semakin me mendekati nol. Hasil analisis DRCR menunjukkan bahwa Provinsi Bangka Belitung me mempunyai keunggulan komparatif untuk memproduksi lada putih yang ddiit ditunjukkan nilai DRCR < 1, yaitu 0.805. Artinya setiap US $ yang dibutuhkan uun nt impor lada putih jika diproduksi di Bangka Belitung hanya membutuhkan untuk bbiia sebesar US $ 0.805, sehingga terjadi penghematan devisa negara sekitar biaya US $ 0.195. Hal ini senada dengan penelitian Marwoto (2003); Sudarlin (2008), US mee m menyatakan bahwa usahatani lada putih memiliki keunggulan kompetitif dan kom ko komparatif pada yang dilihat dari nilai PCR dan DRCR lebih kecil dari satu. 105 Secara keseluruhan bahwa pengusahaan lada putih di provinsi Bangka Belitung, baik dilihat dari nilai PCR dan DRCR memiliki keunggulan, baik secara Be kompetitif dan komparatif. Berarti petani di provinsi Bangka Belitung mempunyai kom kemampuan secara ekonomi dalam membiayai dan memproduksi lada putih dan kem secara finansial lada putih yang dihasilkannya dapat bersaing di pasar domestik sec se ma ma maupun internasional. Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa dalam kondisi pasar ppaas aktual dimana terdapat intervensi atau kebijakan pemerintah dan distorsi pasar, ppaas komoditas lada putih mempunyai daya saing sehingga mampu bersaing di pasar ppaas internasional dibawah kondisi kebijakan perekonomian yang ada. Kebijakan pemerintah yang mendorong peningkatan daya saing lada putih di di provinsi Bangka Belitung yaitu melalui gerakan pengembangan lada putih ((G G (Gerbang Latih) yang dicanangkan pemerintah daerah dalam meningkatkan kkeem kembali minat masyarakat untuk membudidayakan lagi lada putih, langkah oopp operasional antara lain: rehabilitasi tanaman lada yang telah rusak dan terserang hama ham penyakit tanaman, subsidi bibit tanaman lada, subsidi pupuk serta pen pengembangan kebun induk tanaman lada. Selain itu juga perbaikan teknologi bud budidaya tradisional menuju budidaya ramah lingkungan sehingga dapat me meningkatkan efisiensi biaya produksi sehingga dapat bersaing. 77..6 7.6. Dampak Kebijakan Pemerintah Insentif kebijakan atau intervensi pemerintah dalam produksi maupun ppeem pemasaran lada putih memberikan dampak pada produsen maupun konsumen. Daa D Dampak yang diberikan bisa saja berpengaruh positif maupun negatif terhadap ma ma masing - masing pelaku ekonomi tersebut. Pengaruh kebijakan juga dapat mee meningkatkan atau menurunkan produksi dan produktivitas usahatani. Analisis 106 dampak kebijakan ini terdiri dari kebijakan input, kebijakan output dan kebijakan dam input-output. inp Sedangkan untuk melihat besarnya dampak kebijakan tersebut, digunakan beberapa indikator yaitu dari Transfer Output, NPCO, Transfer Input, dig Transfer Factor dan NPCI, sementara secara simultan pada indikator Net Transfer, Tra Profitability Coeficient (PC), Effective Protection Coeficient (EPC) dan Subsidy Prro P Raa to Producer (SRP). R Ratio 7..6 77.6.1. Dampak Kebijakan Output Lada Putih Adanya intervensi pemerintah mengakibatkan harga output berbeda harga yang diterima petani dengan harga dipasar International. Kebijakan annt aantara dalam komoditas output, biasanya terdiri dari kebijakan subsidi, pajak peem ppemerintah daan kebijakan perdagangan, seperti penerapan tarif ekspor atau impor dalam ddan raan rrangka melindungi kebutuhan dalam negeri. Untuk komoditas lada, tidak ada keeb kkebijakan subsidi, pajak atau tarif ekspor maupun tarif impor lada putih. Seh Sehingga kebijakan perdagangan lada yang berlaku disesuaikan dengan per perkembangan harga dunia berdasarkan mekanisme permintaan dan penawaran. Salah satu pendekatan untuk melihat dampak kebijakan output adalah kri kriteria transfer output (TO), yang merupakan selisih antara penerimaan finansial den dengan penerimaan ekonomi. Transfer outputmenunjukkan terdapat kebijakan peem ppemerintah pada output sehingga ada perbedaan antara harga output privat dan sos so sosial. Jika TO lebih besar dari nol (TO> 0) atau positif menunjukkan bahwa ada in iinsentif ns masyarakat terhadap produsen artinya harga yang dibayarkan oleh kon ko konsumen pada produsen lebih tinggi dari seharusnya atau ada kebijakan pem pe pemerintah berupa subsidi output yang menyebabkan harga privat output yang dit dit di diterima produsen lebih tinggi dari harga sosialnya. Dan apabila nilai TO negatif, 107 tidak ada kebijakan pemerintah berupa subsidi output yang menyebabkan harga tid output sosial yang diterima produsen lebih tinggi dari harga privatnya atau harga out internasional lebih tinggi dari harga domestik, sehingga masyarakat atau int konsumen membeli harga lada putih lebih rendah dari yang seharusnya. kon Tabel 11, tampak bahwa dampak kebijakan pemerintah dan kegagalan paas bekerja pada kondisi pasar persaingan sempurna menyebabkan terjadinya ppasar pendapatan dari petani lada putih ke konsumen lada maupun produsen trra ttransfer Kondisi ini menyebabkan petani sebagai penerima harga (price taker) innp iinput. sedangkan pembeli menguasai harga di pasar, baik tingkat domestik maupun sed se dunia. Mengingat pada pasar lada putih belum ada kebijakan pemerintah, maka dun du u transfer pendapatan diduga lebih banyak ditentukan oleh kegagalan pasar bekerja t ra tr ppaad kondisi pasar persaingan sempurna. pada Nampak bahwa terjadi transfer ppeen pendapatan dari petani lada putih ke konsumen sebesar Rp. 22 185 619 per hektar. Haa ini seiring dengan penelitian Marwoto (2003), nilai TO negatif dapat H Hal diinterprestasikan bahwa harga lada ditingkat petani atau domestik lebih rendah diin dar harga di pasar internasional, terjadi aliran surplus dari petani ke eksportir atau dari kon konsumen akhir di negara importir. Salvatore (1997) mengatakan bahwa harga terbentuk karena adanya ppeer perpotongan antara kurva tawar-menawar antara kedua negara yang terlibat dalam per pe perdagangan, sehingga harga relatif menggambarkan kuantitas impor yang diin di i diinginkan sama dengan kuantitas ekspor yang ditawarkan. Dengan demikian hhaar dunia sangat dipengaruhi oleh kekuatan - kekuatan yang mempengaruhi harga ppeer perubahan permintaan impor, perubahan penawaran ekspor atau karena keduaddu ua duanya secara bersama-sama. Selanjutnya Pitaningrum (2005) dalam 108 Soebtrianasari (2008), kekuatan mekanisme harga dipasar internasional dapat So mempengaruhi mekanisme pasar domestik dan sebaliknya. me Tabel 11. Nilai Indikator Analisis Kebijakan Output Lada Putih, Tahun 2011 Ta No Indikator 1 Transfer Output (TO) Rp/ha 2 Koefisien Proteksi Output Nominal (NPCO) Nilai - 22 185 619 0.87 Hasil Transfer Output (TO) berhubungan erat dengan koefisien proteksi output oouut u nominal (NPCO), merupakan rasio penerimaan yang dihitung berdasarkan harga hhaar privat dengan penerimaan berdasarkan harga sosial. Dalam kaitan itulah nilai nil NPCO menunjukkan dampak kebijakan akibat kegagalan pasar yang tidak ni dikoreksi dengan kebijakan efisiensi yang mengakibatkan terjadinya divergensi ddiik hhaar harga privat terhadap harga sosial. Nilai NPCO yang lebih besar dari satu me me merupakan petunjuk bahwa pemerintah menaikkan harga output di pasar domestik dia diatas harga efisiensinya atau dunia, sehingga terjadi penambahan penerimaan pet akibat adanya kebijakan yang mempengaruhi harga output.Nilai NPCO < 1, petani ber berarti konsumen dan produsen dalam negeri menerima harga lebih murah dari har harga seharusnya, sehingga terjadi pengurangan penerimaan petani. Namun mee mengingat sampai saat ini belum ada kebijakan pemerintah untuk perdagangan lad putih, maka output lada putih ini diduga kegagalan pasar menyebabkan harga la lada yyaan diterima petani lebih rendah dari seharusnya. Hasil analisis menunjukkan yang bah ba bahwa nilai NPCO untuk pengusahaan komoditas lada putih di provinsi Bangka Bee B Belitung kurang dari satu(NPCO < 1) sebesar 0.87. Seperti yang terlihat pada Taa T Tabel 11, artinya bahwa petani menerima harga lebih murah dari harga dunia, dim di dimana harga jual lada putih di tingkat petani 13 persen lebih murah dari harga 109 output yang seharusnya diterima. out Dengan kata lain, telah terjadi pengalihan pendapatan dari petani lada ke konsumen lada yaitu industri makanan, industri pen farmasi dan industri yang berbahan baku lada putih. far Lebih rendahnya harga lada putih di tingkat petani dibandingkan dengan haar sosialnya yang seharusnya diterima adalah berkaitan dengan tiga faktor hharga klla kklasik, yaitu (1) lembaga pemasaran output belum berfungsi efektif dan tidak sehingga rantai pemasaran panjang, (2) posisi tawar petani lemah trra ttransparan, sehingga petani menjadi penerima harga yang pasif, dan (3) mental usahatani seh se masih bermental subsidi sehingga menjadi kendala untuk mandiri, maju dan maa m dengan pasar global (Novianti, 2002). beer bbersaing e Dengan adanya revitalisasi lada putih maka kebijakan pemerintah dalam m me mendorong perbaikan harga lada putih dapat ditempuh melalui kebijakan peen ppengolahan dan pemasaran hasil yaitu : (1) mempercepat adopsi teknologi peen ppengolahan hasil yang higienis (mutu tinggi), (2) fasilitasi penyediaan sarana pengolahan hasil di daerah sentra produksi lada, (3) pemanfaatan limbah pen pen pengolahan (kulit buah) lada putih sebagai bahan minyak lada, (4) promosi pro produk - produk lada Indonesia dengan memfokuskan pada keunggulannya seperti ras rasa dan aroma yang prima, dan (5) pengembangan jaringan pemasaran dalam neeg dan ekspor. nnegeri 7..6 77.6.2. Dampak Kebijakan Input Lada Putih Kebijakan input tradable dan nontradable dapat berupa kebijakan subsidi ata pajak dan kebijakan hambatan perdagangan. Pengaruh pajak pada input at atau trra ttradable menyebabkan harga input lebih tinggi dan biaya produksi meningkat se eh sehingga mengurangi pendapatan petani. Dampak subsidi menyebabkan harga 110 input lebih rendah dan biaya produksi lebih rendah sehingga meningkatkan inp pendapatan petani. pen Dalam penelitian ini, untuk melihat adanya kebijakan pemerintah yang mempengaruhi harga input asing di pasar, digunakan kriteria pem Transfer Input (TI). Tra Adapun jenis input asing yang digunakan dalam perkebunan lada adalah pu ppupuk up anorganik (urea, SP36/TSP dan KCl). Jika nilai TI lebih besar dari nol artinya terdapat pajak atau tarif impor atas input asing tersebut, sehingga (p ((positif) p po harus membeli input tersebut dengan harga yang lebih mahal dari yang peet ppetani seharusnya.Sedangkan TI kurang dari nol, hal ini menunjukkan adanya subsidi seh se terhadap input asing, sehingga petani tidak membayar penuh korbanan peem ppemerintah sosial sos yang seharusnya dibayarkan so Berdasarkan Tabel 12, kebijakan input yang tidak efektif juga mee m menyebabkan terjadi transfer input produksi dari pedagang input ke petani lada yaai bernilai negatif sebesar Rp. 6 060 221 per hektar, artinya terdapat subsidi yyaitu pemerintah terhadap input asing. Bentuk subsidi dapat berupa insentif yang pem me memberikan kemudahan dalam pengadaan saran dan prasarana pertanian. Seb Sebagaimaan diatur dalam peraturan menteri pertanian, No. 32/ 32/Permentan/SR.130/4/2010, tentang tentang kebutuhan dan Harga Eceran Tee T Tertinggi (HET) pupuk bersubsidi untuk sektor pertanian. Hal ini berdampak pada biaya yang dikeluarkan oleh petani untuk mee m membeli input produksi pupuk (urea, TSP/SP36) menjadi rendah, karena harga inp yang diterima petani lada putih pada kondisi harga privat lebih rendah bila in input dib di dibandingkan dengan harga sosialnya terutama harga input pupuk. 111 Tabel 12. Nilai Indikator Analisis Kebijakan Input Lada Putih, Tahun 2011 Ta No Indikator Nilai - 6 060 221 1 Transfer Input (TI) (Rp/ha) 2 Koefisien Proteksi Input Nominal (NPCI) 3 Transfer Faktor (TF)(Rp/ha) 0.56 -11 850 766 Kriteria koefisien proteksi input nominal (NPCI) adalah indikator yang menunjukkan tingkat proteksi pemerintah terhadap harga input domestik. NPCI m me merupakan rasio biaya input tradable berdasarkan harga privat dan harga sosial. mee m Nilai Niil NPCI kurang dari satu (NPCI<1) maka kebijakan pemerintah bersifat N protektif terhadap input dan produsen menerima subsidi input asing tradable pprro sehingga produsen membeli dengan harga yang lebih rendah. Dari hasil analisis ssee seh ppaad Tabel 12, memperlihatkan bahwa nilai NPCI untuk pengusahaan lada putih pada kurang kku ur dari 1(NPCI < 1) yaitu 0.56. Hal ini berarti bahwa harga input yang dib dibayar petani lebih rendah 44 persen dari harga dunia, artinya pemerintah me melakukan kebijakan subsidi terhadap input produksi tradable dengan menetapkan har domestik lebih rendah dari harga dunia. Kondisi ini berpengaruh pada harga tin tingkat pengusahaan lada putih, karena harga input produksi tradable yang rendah aka membantu meningkatkan pendapatan petani di provinsi Bangka Belitung. akan Kebijakan pemerintah dapat dilihat dari subsidi pupuk kepada petani sseeb sebagaimaan diatur dalam peraturan menteri pertanian, Noo N No.32/Permentan/SR.130/4/2010 tentang tentang kebutuhan dan harga eceran ter te tertinggi (het) pupuk bersubsidi untuk sektor pertanian. Harga subsidi pupuk urea Rpp 1 600/kg, Superphos (SP-18)/TSP Rp. 2 000/Kg, untuk pupuk Kcl tidak R Rp. dis di disubsidi pemerintah. Darwis dan Nurmanaf (2004) mengemukakan bahwa 112 beberapa kebijakan strategis perlu dipertimbangkan pemerintah menyangkut beb masalah pupuk ditingkat usahatani, yaitu : (1) rasionalisasi penggunaan pupuk ma ditingkat petani, (2) rekomendasi pupuk berdasarkan analisis tanah spesifikasi dit lokasi, lok (3) peningkatan efektifitas penggunaan pupuk anorganik yang dengan pemanfaatan pupuk organik, dan (4) perbaikan standarisasi diik ddikomplemen daan sertifikasi pupuk, dan pelaksanaan kebijakan ekspor dan impor pupuk yang ddan bagi kontinuitas dan harga pupuk ditingkat petani. ko kkondusif on Indikator Transfer Factor (TF) diterapkan untuk menilai kebijakan pemerintah terhadap input domestik (non tradable) seperti tenaga kerja, lahan, ppe em pupuk organik, tiang panjat hidup. ppu up Transfer faktor merupakan nilai yang menunjukkan perbedaan harga privat dengan harga sosialnya yang diterima me m e ppr ro produsen untuk pembayaran faktor-faktor produksi yang tidak diperdagangkan. Ni N il TF menunjukkan adanya kebijakan pemerintah terhadap produsen dan Nilai kon konsumen yang berbeda dengan kebijakan input tradable. Intervensi pemerintah unt untuk input domestik dilakukan dalam bentuk kebijakan subsidi (positif dan neg negatif). Nilai transfer faktor positif menunjukkan bahwa terjadi subsidi negatif pad pada input non tradable, sedangkan TF negatif berarti terdapat subsidi positif pada inp input non tradable atau dengan kata lain kebijakan pemerintah lebih memihak ppa ad produsen atau petani lada putih. Berdasarkan Tabel 12, nilai Transfer Faktor pada ((TF) (T TF bernilai negatif. Artinya bahwa kebijakan pemerintah lebih memihak kepada ppr ro produsen atau petani. Hal ini terlihat dari beberapa kebijakan pemerintah yang m me memihak petani atau produsen seperti penyediaan subsidi bibit lada, pupuk oorganik or rg dan tiangpanjat hidup. Selain itu, upah tenaga kerja pada harga sosial se eb sebesar 0.6 persen lebih rendah dibandingkan upah tenaga kerja pada harga privat. 113 7.6.3. 7.6 Dampak Kebijakan Input - Output Lada Putih Untuk melihat dampak kebijakan input-output keseluruhan dapat digunakan beberapa indikator yaitu koefisien proteksi efektif (EPC), transfer dig bersih (net transfer), koefisien keuntungan (PC) dan rasio subsidi produsen (SRP). ber Hasil analisis dampak kebijakan pemerintah dalam input-output terhadap Haa H ussa uusahatani lada putih di provinsi Bangka Belitung dapat dilihat pada Tabel 13. Koefisien proteksi efektif merupakan indikator yang menunjukkan tingkat tti in in proteksi simultan terhadap input dan output tradable. EPC menggambarkan sejauh mana kebijakan pemerintah bersifat melindungi atau me me menghambat produksi pengusahaan lada putih domestik. EPC merupakan rasio mee m yaan membandingkan antara nilai tambah input tradable pada tingkat harga privat yyang deen ddengan nilai tambah input tradable pada tingkat harga sosial. Nilai EPC yang leeb besar dari satu (EPC > 1), menunjukkan bahwa kebijakan pemerintah llebih tterhadap er output dan input dapat memberikan insentif kepada petani lada putih unt untuk berproduksi. Hasil analisispada (Tabel 13) memperlihatkan bahwa nilai EPC pada pen pengusahaan komoditas lada putih di Provinsi Bangka Belitung kurang dari satu (EP (EPC < 1) yaitu 0.89, artinya dampak kebijakan input-output terhadap usahatani laad putih belum berjalan secara efektif. llada Nilai tersebut menunjukkan bahwa peet ppetani lada putih cenderung membayar harga input tradable dan menjual harga ouut ooutput tidak sesuai dengan harga seharusnya (harga sosial). Kondisi ini m e membuktikan bahwa secara simultan kebijakan pemerintah terhadap input ouut ooutput tidak memberikan perlindungan yang efektif bagi petani lada putih untuk bbeer ber berproduksi. 114 Dengan kata lain pengaruh instrumen kebijakan pemerintah dalam pasar input inp - output yang diterapkan saat ini menimbulkan dampak disinsentif terhadap pengembangan usaha perkebunan lada, sebab nilai tambah yang diperoleh petani pen (privat) lebih rendah dari yang seharusnya diterima yaitu 89 persen. Rendahnya (pr nilai nniil tambah petani disebabkan mekanisme pasar yang distortif, yaitu disatu sisi ppeet menerima harga input yang tinggi, sedangkan disisi lain petani juga petani menrima harga output yang rendah dari yang seharusnya, atau sebalikanya petani mee m menerima input yang lebih rendah akan tetapi tidak diikuti dengan kenaikan harga mee m output. oouut u Tabel Taa 13. Dampak Kebijakan Harga Output dan Kinerja Pasar Pada Usahatani T Lada Putih di Provinsi Bangka Belitung, Tahun 2011 No 1 2 3 4 Indikator Koefisien Proteksi Efektif (EPC) Net Transfer (NT) (Rp/ha) Koefisien Profitabilitas (PC) Koefisien Rasio Subsidi Produsen (SRP) Nilai 0.89 - 4 274 632 0.87 - 0.026 Net Transfer (NT) atau transfer bersih mencerminkan dampak kebijakan pemerintah secara keseluruhan terhadap penerimaan petani, apakah merugikan pem atau ata menguntungkan petani. Nilai NT positif menunjukkan bahwa tambahan surplus produsen disebabkan oleh adanya kebijakan pemerintah terhadap input sur su dan ddaan output. Dalam siklus usaha sepuluh tahun, petani hanya menerima keuntungan privat Rp. 25 454 038 per hektar, jauh lebih rendah dari keuntungan keu ke sosial ssoos yang seharusnya diterima petani Rp. 29 728 670 per hektar, akibatnya petani ppeet harus menerima net transfer negatif sebesar Rp. 4 274 632 per hektar. Kondisi ini mencerminkan besarnya pengurangan surplus petani sebagai akibat Ko Ko kkeeb kebijakan pemerintah, sehingga dalam hal ini petani dirugikan, atau dengan kata 115 lain menunjukkan bahwa secara keseluruhan, usahatani lada putih mengalami inefisiensi dimana petani dirugikan oleh adanya kebijakan pemerintah atau ine distorsi pasar input (input tradable dan faktor domestik) dan output. dis Koefisien profitabilitas (PC) menunjukkan perbandingan antara bersih privat dengan keuntungan sosialnya. Koefisien keuntungan keeu kkeuntungan me me merupakan indikator yang menunjukkan dampak insentif dari semua kebijakan kebijakan input asing (tradable), dan input domestik (net policy transfer). ouut ooutput, u Jika JJi ik nilai PC lebih besar dari satu (PC>1), menunjukkan bahwa secara ik keseluruhan kebijakan pemerintah memberikan insentif kepada produsen. kke es Tabel 13 menunjukkan nilai rasio PC sebesar 0.86, artinya bahwa kebijakan Ta T a pemerintah membuat keuntungan yang diterima produsen (petani) lebih kecil ppe em ddi ib dibandingkan tanpa ada kebijakan. Keuntungan yang diterima petani lada bbe er berkurang sebesar 14 persen dari keuntungan yang seharusnya diterima tanpa aad da adanya kebijakan pemerintah. Koefisien Rasio Subsidi Produsen (SRP) menunjukkan rasio dari net tra transfer dengan penerimaan sosialnya. Nilai rasio subsidi bagi produsen me merupakan indikator yang menunjukkan tingkat penambahan dan pengurangan pen penerimaan atas pengusahaan suatu komoditas karena adanya kebijakan ppe em pemerintah. Tabel 13 menunjukkan SRP bernilai negatif yakni sebesar 0.026. Ha H a ini berarti terjadi arah transfer dari petani ke pemerintah atau konsumen. Hal De D e Dengan kata lain kebijakan pemerintah berpengaruh negatif terhadap struktur bbi ia produksi, karena biaya yang diinvestasikan lebih besar dari pada nilai biaya ttambah ta tam am keuntungan yang dapat diterimanya. Petani atau produsen lada putih 116 mengeluarkan biaya produksi lebih besar 2.6 persen dari opportunity cost untuk me produksi sehingga terjadi pengurangan penerimaan. pro Lebih rendahnya nilai tambah yang diterima produsen daripada harga sosialnya yang seharusnya diterima kemungkinan disebabkan karena faktor – sos faak : (1) tingkat permodalan petani yang terbatas berdampak pada pemenuhan ffaktor har input, (2) tingkat pendidikan masih rendah, berpengaruh terhadap adopsi ha harga (3) pemberdayaan kelembagaan petani belum maksimal, (4) masih teek ttekhnologi, rantai pemasaran, sehingga margin penjualan banyak dinikmati paan ppanjangnya dan (5) petani lebih menjual dalam produk primer, dan pengembangan peed ppedagang, produk belum berkembang. diiv ddiversifikasi iv 7..7 77.7. Perubahan terhadap Keuntungan dan Daya Saing Lada Putih Gittinger (1986) mengemukakan bahwa meneliti kembali suatu analisis deen ddengan tujuan untuk melihat pengaruh yang akan terjadi sebagai akibat keadaan yang berubah - ubah disebut dengan analisis kepekaan (sensitivity analysis). yan An Analisis sensitivitas diperlukan, karena analisis dalam metode PAM merupakan ana analisis yang bersifat statis. Analisis sensitivitas juga berguna untuk mengetahui kep kepekaan efisiensi dalam usahatani lada putih terhadap perubahan pada komponen - kompenen k yang sangat berpengaruh dalam usahatani lada putih, dalam hal ini yan berpengaruh nyata yaitu input (pupuk) dan perubahan output. ya yang Pada penelitian ini dilakukan analisis kepekaan untuk mengantisipasi adda aadanya da perubahan lingkungan strategis, kebijakan pemerintah, struktur biaya prro pproduksi dan produktivitas terhadap keuntungan dan daya saing lada putih sangat peen ppenting dilakukan, sehingga dapat diketahui jika terjadi perubahan pada aspek - 117 aspek tersebut, apakah memproduksi lada putih di Bangka Belitung masih lebih asp menguntungkan jika dibandingkan dengan impor. me Analisis kepekaan yang digunakan pada penelitian ini terdiri dari 3 skenario mencakup : (1) perubahan pada harga output sebesar 20 persen, ske (2 ((2) 2) perubahan harga input khususnya pupuk sebesar 20 persen, dan (3) perubahan paad produksi tanaman lada sebesar 20 persen. Setiap simulasi dilakukan dengan ppada harga input lainnya tetap (ceteris paribus). Secara keseluruhan, dari 3 assu aasumsi s skenario kebijakan, kondisi yang paling tidak menguntungkan petani di Provinsi ske sk Bangka Belitung adalah ketika produksi lada putih turun 20 persen dan harga Ba Ba turun 20 persen atau sensitif terhadap perubahan produksi dan harga ouput. ouut ooutput u Tabel 14. Nilai Keuntungan Berdasarkan Analisis Sensitivitas Lada Putih Taa T di Provinsi Bangka Belitung, Tahun 2011 No N 1 2 3 4 Skenario Kondisi normal Produksi turun 20 persen Harga output turun 20 persen Harga pupuk naik 20 persen Keuntungan (Rp/Ha) Privat Sosial 25 454 038 29 728 670 -3 410 123 -3 573 420 -3 404 820 -3 567 302 15 236 808 15 331 977 Berdasarkan Tabel 14, penurunan produksi lada putih 20 persen menyebabkan me keuntungan petani (keuntungan privat dan sosial) menjadi negatif atau aatta sensitif terhadap perubahan produksi. Hal ini juga terjadi pada penurunan harga har output sebesar 20 persen menyebabkan keuntungan petani menjadi negatif ha baik bbaai keuntungan privat maupun keuntungan sosial. Penurunan harga output se se seb sebesar 20 persen dari kondisi harga normal yaitu Rp. 48 500 menjadi Rp. 38 800 ppeer kilogram (harga privat) dan Rp. 55 957 menjadi Rp 44. 766 per kilogram per (ha (h (harga sosial), membuat keuntungan petani menjadi negatif. Kondisi ini 118 menyebabkan usahatani lada putih di Bangka Belitung tidak layak lagi untuk me diusahakan karena memberikan keuntungan yang negatif. Kita ketahui bahwa diu harga lada putih merupakan insentif bagi petani untuk berproduksi, ketika harga har lada putih turun menyebabkan kemampuan petani untuk membeli sarana produksi lad menjadi menurun bahkan tidak mampu lagi, sehingga berdampak pada penurunan mee m prro pproduksi dan intensitas pengelolaan kebun lada putih. Kenaikan harga pupuk sebesar 20 persen tidak mempengaruhi pendapatan artinya kenaikan harga pupuk tidak sensitif terhadap keuntungan petani peet ppetani, (bba keuntungan privat maupun keuntungan sosial). ((baik Kenaikan harga pupuk 20 persen menyebabkan keuntungan petani menurun sebesar Rp. 15 236 seeb ssebesar 808 80 atau 59.8 persen (keuntungan privat) dan Rp. 15 331 977 atau 51.6 persen 80 (k ((keuntungan ke sosial) dari keuntungan normalnya.Walaupun harga pupuk naik seb se sebesar 20 persen, usahatani lada putih di Bangka Belitung masih layak untuk diiu ddiusahakan. Kenaikan harga pupuk dapat diantisipasi petani dengan mengurangi penggunaan pupuk kimia dan meningkatkan penggunaan pupuk alternatif seperti pen pup pupuk kandang. Hal ini seiring dengan gerakan pengembangan lada putih di Pro Provinsi Bangka Belitungbahwa budidaya secara tradisional yang selama ini dil dilakukan oleh petani lada putih dengan biaya produksi yang cukup tinggi kkh khu hu khususnya penggunaan pupuk, maka harus mengubah pola budidaya lada putih sees dengan anjuran menuju budidaya yang ramah lingkungan. Budidaya ramah ssesuai lin li lingkungan ini dapat mengurangi penggunaan pupuk kimia digantikan dengan pem pe pemanfaatan pupuk organik dan biomasa hasil pangkasan tajar hidup. Analisis sensitivitas juga dilakukan untuk melihat daya saing lada putih di Pro Pr Provinsi Bangka Belitung apabila terjadi perubahan faktor internal maupun 119 eksternal, apakah usahatani lada putih masih memiliki daya saing. eks Analisis sensitivitas terhadap indikator daya saing lada putih dapat dilihat pada Tabel 15. sen Tabel 15. Indikator Daya Saing Berdasarkan Analisis Sensitivitas Lada Putih Ta di Provinsi Bangka Belitung, Tahun 2011 No N 1 2 3 4 Skenario Kondisi normal Produksi turun 20 persen Harga output turun 20 persen Harga pupuk naik 20 persen Nilai PCR 0.813 1.032 1.031 0.89 DRCR 0.805 1.030 1.029 0.90 Hasil analisis menunjukkan bahwa kebijakan yang menjadikan petani llaad putih berada pada kondisi paling tidak berdaya saing adalah ketika produksi lada lada lad putih dan harga output turun sebesar 20 persen. Kondisi lain yang dapat la dit di ditunjukkan oleh analisis sensitivitas adalah yang paling sensitif terhadap ppeer perubahan daya saing yaitu jika terjadi perubahan produksi dan perubahan harga lad putih, menyebabkan usahatani lada putih tidak memiliki keunggulan lada kom komparatif dan kompetitif. Penurunan produksi dan harga lada putih sebesar 20 per persen menyebabkan nilai PCR dan DRCR lebih besar dari satu, hal ini berarti usa usahatani lada putih di Provinsi Bangka Belitung tidak efisien untuk diproduksi baai secara finansial maupunekonomi, karena memboroskan sumberdaya. baik Kondisi ini harus diantisipasi pemerintah dengan mengembangkan paket tek te teknologi budidaya lada putih sesuai anjuran yakni; penggunaan varietas unggul, ppeen penggunaan parit keliling dan saluran drainase, pemangkasan sulur yang teratur ssaam sampai umur produktif, pemangkasan tajar diawal dan diakhir musim hujan, pem pe pembuangan sulur inferior dan cabang bawah, penanaman penutup tanah Arachis Piin P Pin Pintoi dan pagar keliling rumput gajah, pemupukan yang berimbang dengan 120 pupuk anorganik dan organik, pengendalian hama penyakit yang ramah pup lingkungan, dan panen yang tepat. lin Sedangkan kenaikan harga pupuk sebesar 20 persen tidak sensitif terhadap perubahan daya saing lada putih baik PCR maupun DRCR. Hal ini ditunjukkan per olle nilai PCR dan DRCR lada putih lebih kecil dari satu, menunjukkan bahwa ooleh ussa uusahatani lada putih masih memiliki keunggulan kompetitif maupun keunggulan Walaupun terjadi kenaikan harga pupuk, usahatani lada putih masih ko kkomparatif. om memiliki kemampuan membayar faktor domestik pada harga privat dan sosial. mee m Dikarenakan harga output lada putih ditentukan berdasarkan mekanisme dan penawaran lada putih di tingkat dunia dan terjadi pada pasar peer ppermintaan persaingan sempurna. Untuk mempertahankan agar harga lada putih pada kondisi per pe sta st stabil sehingga adanya insentif bagi petani lada putih, oleh karena itu perlu mee m mekanisme kebijakan yang harus dilakukan yaitu pertama, mendorong peer pperkembangan pangsa pasar domestik, selama ini lada putih di ekspor ke negaranegara Eropa, Amerika Serikat, serta Asia. Untuk itu pentingnya memperluas neg pan pangsa pasar domestik khususnya industri rumah makan serta peningkatan kon konsumsi rumah tangga. Kedua, mendorong industri pengolahan hasil lada putih (ag (agroindustri), selama ini ekspor lada putih ke negaraimportir dalam bentuk ppr ri primer (biji lada putih kering) sehingga nilai tambah industri lada dinikmati nne eg negara importir. Untuk itu perlu pengembangan diversifikasi lada putih pada ttingkat ti in industri,agar petani dapat memperoleh nilai tambah dari produksinya. Ke K e Ketiga, mendorong perubahan pola budidaya lada putih konvensional menuju pola bbudidaya bu ud lada organik sesuai dengan permintaan pasar. Sudah waktunya m e mengembangkan peluang pasar baru dengan pengembangan lada putih organik.