II. KERJA BAHAN TOKSIK DALAM TUBUH

advertisement
II. KERJA BAHAN TOKSIK DALAM TUBUH ORGANISMS
A. Interaksi Senyawa Kimia dengan Organisme
Ilmu yang mempelajari tentang interaksi senyawa kimia dengan organisme hidup
disebut farmakologi, dengan demikian toksikologi sebetulnya merupakan cabang
farmakologi. Farmakologi tidak hanya mempelajari senyawa kimia yang mempunyai
manfaat dalam bidang pengobatan dan terapi medik tetapi juga mencakup semua
senyawa kimia yang aktif secara biologi, termasuk yang bersifat racun. Pengertian
racun adalah zat yang berpengaruh merugikan pada organisme yang terpapar.
Kehadiran suatu zat atau senyawa kimia yang potensial toksik di dalam tubuh
organisme belum tentu menimbulkan gejala keracunan (sola dosis facit venenum),
sebagai contoh: timbal (Pb), merkuri (Hg) dan DDT tidak menimbulkan gejala
keracunan apabila jumlah yang diabsorbsi berada di bawah dosis toksik tetapi akan
menjadi racun apabila jumlah yang diabsorbsi berada pada dosis toksik.
Setiap bahan kimia apabila diabsorbsi dalam jumlah sangat besar, termasuk air
bersih, ternyata dapat menimbulkan efek racun. Ada juga bahan kimia yang pada dosis
sangat rendah sudah beracun, misalnya toksin Clostridium botulinum. Dalam
mempelajari interaksi antara senyawa kimia aktif dengan organisme hidup, terdapat
dua hal penting yang perlu diperhatikan:
1.
farmakodinamik atau toksodinamik, yaitu kerja senyawa kimia yang aktif secara
biologik;
2.
farmakokinetik atau toksokinetik, yaitu pengaruh organisme terhadap senyawa
kimia aktif.
B. Kerja Bahan Toksik
Kerja atau aktivitas bahan toksik umumnya berupa serangkaian proses yang
sebagian diantaranya bahkan sangat kompleks. Pada berbagai kerja toksik dan
mekanisme kerjanya, dapat dibedakan dua hal berikut:
Universitas Gadjah Mada
1.
Kerja toksik: suatu proses yang dilandasi oleh interaksi kimia antara zat kimia
atau metabolitnya dengan substrat biologik membentuk ikatan kimia kovalen yang
bersifat tidak bolak-balik (ireversible).
2.
Pengaruh toksik: perubahan fungsional yang disebabkan interaksi bolak-balik
(reversible) antara zat asing (xenobiotik) dengan substrat biologi. Pengaruh toksik
dapat hilang jika zat asing tersebut dikeluarkan dari dalam plasma.
Kerja toksik pada umumnya dapat dibagi menjadi tiga fase yaitu: (1) fase
eksposisi, (2) fase toksokinetik dan (3) fase toksodinamik.
1.
Fase eksposisi
Apabila obyek biologik mengalami kontak dengan suatu zat kimia, maka efek
biologik atau efek toksik hanya akan terjadi setelah zat tersebut terabsorbsi. Zat kimia
yang dapat terabsorbsi umumnya bagian zat yang berada dalam bentuk terlarut dan
molekulnya terdispersi. Absorbsi zat sangat tergantung pada konsentrasi dan jangka
waktu kontak zat dengan permukaan organisme yang mampu mengabsorbsi zat.
Apabila organisme air mengalami kontak dengan zat kimia toksik, maka jenis zat toksik
tersebut berpengaruh terhadap daya absorbsi dan toksisitasnya. Selama fase
eksposisi, zat kimia toksik dapat berubah menjadi senyawa yang lebih toksik atau
kurang toksik melalui reaksi kimia tertentu.
2.
Fase toksokinetik
Terdapat dua proses yang berperanan penting pada fase toksokinetik atau
farmakokinetik:
1. Proses transpor (meliputi absorbsi, distribusi dan ekskresi)
Proses transpor zat kimia dalam tubuh organisme dapat berlangsung melalui:
a. Tranpor pasif yaitu pengangkutan zat kimia melalui difusi pasif zat kimia terlarut
melintasi membran sel. Laju difusi dipengaruhi oleh gradien konsentrasi di kedua
sisi membran sel dan juga dipengaruhi oleh tetapan difusi zat.
Universitas Gadjah Mada
b. Transpor aktif yaitu pengangkutan melalui sistem transpor khusus dengan
bantuan molekul pengemban atau molekul pembawa. Jumlah molekul yang
dapat ditransportasi per satuan waktu tergantung pada kapasitas sistem yaitu
jumlah tempat ikatan dan angka pertukaran tiaptiap tempat ikatan tersebut.
Apabila konsentrasi zat kimia dalam sistem transpor terus menerus meningkat,
maka akhirnya akan tercapai suatu titik jenuh sehingga laju transpor tidak
meningkat terus menerus tetapi akan mencapai titik maksimum.
2.
Perubahan metabolik atau biotransformasi
Biotransformasi dapat dibedakan menjadi dua fase reaksi yaitu reaksi fase I
(reaksi penguraian) dan reaksi fase II (reaksi konjugasi). Reaksi penguraian meliputi
pemutusan hidrolitik, oksidasi dan reduksi. Reaksi penguraian akan menghasilkan atau
membentuk zat kimia dengan gugus polar yaitu gugus —OH, -NH2 atau —COON.
Pada reaksi konjugasi, zat kimia yang memiliki gugus polar akan dikonjugasi dengan
pasangan reaksi yang terdapat dalam tubuh organisme sehingga berubah menjadi
bentuk terlarut dalam air dan dapat diekskresikan oleh ginjal.
Reaksi konjugasi umumnya bersifat reaksi detoksifikasi sehingga produk konjugasi
hampir selalu tidak aktif secara biologi. Walaupun reaksi biotransformasi, khususnya
konjugasi, pada umumnya menyebabkan inaktivasi zat tetapi metabolit aktif dapat
terbentuk karena adanya perubahan kimia, terutama oksidasi. Apabila metabolit aktif
bersifat toksik, maka dikatakan telah terjadi toksifikasi.
3.
Fase toksodinamik
Ease toksodinamik atau farmakodinamik meliputi interaksi antara molekul zat
kimia toksik dengan tempat kerja spesifik yaitu reseptor. Organ target dan tempat kerja
tidak selalu sama, sebagai contoh: suatu zat kimia toksik yang bekerja pada sel
ganglion pada sistem saraf pusat juga dapat menimbulkan efek kejang pada otot seran
lintang. Konsentrasi zat toksik menentukan kekuatan efek biologi yang ditimbulkan.
Pada umumnya dapat ditemukan konsentrasi zat kimia
Universitas Gadjah Mada
toksik yang cukup inggi dalam hepar (hati) dan ren (ginjal) karena pada kedua organ
tersebut zat toksik dimetabolisme dan diekskresi.
Kerja kebanyakan zat aktif biologik, terutama zat toksik umumnya disebabkan
oleh interaksi zat tersebut dengan enzim. Kerja terhadap enzim yang berperanan pada
proses biotransformasi xenobiotik dan termasuk fase toksokinetik tidak termasuk
interaksi, sedangkan kerja terhadap enzim yang berpengaruh langsung pada timbulnya
efek toksik termasuk interaksi. Interaksi antara zat toksik dengan sistem enzim antara
lain berupa: inhibisi enzim secara tidak bolakbalik, inhibisi enzim secara bolak-balik,
pemutusan reaksi biokimia, inhibisi fotosintetik pada tumbuhan air, sintesis zat
mematikan, pengambilan ion logam yang penting bagi kerja enzim dan inhibisi
penghantaran elektron dalam rantai pernafasan.
Pada kasus-kasus peracunan tertentu terjadi inhibisi transpor oksigen karena
adanya gangguan kerja pada hemoglobin (Hb). Terjadinya inhibisi pada transpor
oksigen antara lain dapat disebabkan oleh:
(1) Keracunan karbon monoksida
Karbon monoksida (CO) mengandung tempat ikatan yang sama pada hemoglobin
seperti oksigen sehingga dapat menghilangkan kemampuan Hb mengikat oksigen
(O2). Kompleks ikatan Hb dengan CO disebut karboksi hemoglobin yang
cenderung lebih kuat daripada ikatan Hb dengan O2.
(2) Pembentukan methemoglobin
Methemoglobin merupakan hasil oksidasi Hb yang sudah tidak memiliki
kemampuan lagi mengangkut O2. Jika methemoglobin hanya terbentuk dalam
jumlah kecil, maka dapat direduksi kembali menjadi Hb dengan bantuan enzim
methemoglobinreduktase.
(3) Proses hemolitik
Hemolitik merupakan proses pembebasan Hb dari dalam eritrosit akibat
kerusakan membran eritrosit. Hemoglobin yang dibebaskan akan kehilangan
kemampuan mengikat O2.
Universitas Gadjah Mada
Beberapa jenis zat kimia setelah masuk ke dalam tubuh organisme dapat
berinteraksi dengan fungsi umum sel. Interaksi zat kimia dengan fungsi umum sel
tersebut antara lain dapat diwujudkan dalam bentuk efek narkose. Disamping itu,
interaksi zat kimia tertentu dengan fungsi sel umum dapat diwujudkan dalam bentuk
gangguan pada penghantaran rangsang neurohumoral. Mekanisme gangguan
penghantaran rangsang tersebut disebabkan zat kimia mempengaruhi sinapsis antara
sel saraf satu dengan sel saraf lainnya atau mempengaruhi ujung sel saraf efektor.
Zat-zat toksik tertentu juga dapat menyebabkan gangguan pada sintesis ADN
(asam deoksiribonukleat) dan ARN (asam ribonukleat). Gangguan tersebut dapat tejadi
pada: penggandaan ADN selama pembelahan sel, transkripsi informasi ADN kepada
ARN, penyampaian informasi melalui ARN pada sintesis protein, penghambatan
sintesis enzim yang berperan serta, dan proses pengaturan yang menentukan pola
aktivitas sel.
Disamping dapat menyebabkan gangguan pada sintesis ADN dan ARN,
beberapa zat toksik tertentu juga dapat berpengaruh terhadap organisme melalui
mekanisme kerja sitostatika (penghambatan pembelahan sel), kerja imunsupresiva
(penekanan pertahanan imunologi melalui penekanan proliferasi sel tertentu, terutama
limfosit), kerja mutagenik (mengubah sifat genetik sel), kerja karsinogenik (pemicu
timbulnya tumor), kerja teratogenik (penyebab organisme lahir cacat), reaksi
hipersensitif atau reaksi alergi, iritasi pada jaringan, toksisitas pada jaringan dan
penimbunan zat asing.
Universitas Gadjah Mada
Download