Bab 2 Landasan Teori 2.1. Makna Gambare Bagi Masyarakat Jepang Gambare adalah sebuah kata yang digunakan oleh masyarakat Jepang dalam berbagai bidang kehidupan. Gambare merupakan sebuah kata yang dapat memberikan semangat atau motivasi bagi seseorang untuk berusaha dengan keras, penuh ketekunan, ketahanan serta dapat menjadi yang terbaik di berbagai kegiatan dan usaha. Hal tersebut dijelaskan oleh Rice ( 1995 : 46 ) bahwa kata yang paling sering digunakan di Jepang adalah gambare, dimana biasanya banyak diartikan sebagai ‘Pantang menyerah’ atau ‘Lakukan yang terbaik’. Ini merupakan ucapan standar atas keberanian seseorang yang terdengar di sekolah, pertandingan olahraga, dan di perusahaan ruang rapat.” Hal ini juga dijelaskan oleh Amanuma ( 1999 ), yang mengatakan : 日本語の「我慢する」とは、困難にめげず忍耐力をもって続けること、耐 え難きを耐えることを意味する。「頑張る」の意味あいは、今のことばで いうと、へこたれるな、に近い。 Terjemahan : Dalam bahasa Jepang, terdapat kata ( gaman ) yang mengartikan ketahanan dalam diri seseorang untuk menghadapi kesulitan/kesukaran. Sedangkan kata ( gambaru), mempunyai makna pantang atau tidak akan menyerah. Cowie ( 2001 ), menjelaskan bahwa istilah gambaru dapat didengar dalam banyak bentuk dan konteks pada kehidupan sehari-hari. Anak-anak sekolah dalam kelas menulis, menerjemahkannya sebagai ’kerja keras’, ’lakukan yang terbaik’, ’bertarung’, atau ’keberanian’. Sarjana sosiologi mengatakan bahwa definisi yang sedikit formal 11 mengenai gambaru adalah kepercayaan bahwa seseorang dapat mencapai status yang tinggi dengan usaha yang terus-menerus. Kazutoshi ( 1991 : 5-7 ), mengatakan bahwa watak bangsa Jepang yang suka bekerja, tidak mudah menyerah dan merasa putus asa pada hakikatnya ditempa dan dibentuk oleh sempitnya tanah dan adanya empat musim. Terutama pada saat musim panas dan musim dingin memberi banyak pelajaran kepada bangsa Jepang. Mereka harus bekerja giat, jika tidak mereka tidak dapat hidup. Suasana empat musim yang silih berganti mengajarkan kepada mereka untuk dapat bertahan, mengatasi kesulian, dan melakukan persiapan untuk musim berikutnya. Hal-hal seperti inilah yang membuat mereka menjadi bangsa yang rajin dan gigih. Dikatakan oleh Dweck ( 2007 : 365 ), jika seseorang kuat dan punya tekad, pasti dapat melakukannya. Carnegie ( 2008 : 339 ), mengatakan cara untuk menangani kritikkritik adalah tidak menanggapinya dan Anda tetap berusaha melakukan semampunya. Dan akan terus berusaha sampai akhirnya ada hasil. Denny ( 2007 : 154 & 155 ) memaparkan salah satu unsur keberhasilan yang paling kuat adalah kegigihan. Lawan kegigihan adalah menyerah. Berdasarkan beberapa teori tersebut, pantang menyerah mencakup sikap yang mempunyai tekad bulat melakukan sesuatu, terus berusaha, dan gigih. Singleton dalam Finkelstein ( 1991 : 79 ) menjelaskan dalam kutipannya bahwa gambare adalah tempat perkumpulan tangisan, sebuah seruan untuk keberanian, dan sebagai perangsang untuk usaha terbaik. Gambare menunjukkan perasaan dari sifat yang mendengarkan kata hati dan perasaan timbal balik atas tanggung jawab terhadap sebuah kelompok. Semangat gambaru mempunyai pengaruh yang hebat sekali dan kadang- 12 kadang meledakkan semangat atas tanggung jawab yang kuat dimana meliputi kebudayaan di lingkungan rumah, sekolah, dan kerja. Sugimoto ( 1997 : 4 ), menjelaskan bahwa kesuksesan seseorang dalam hidup semata-mata tergantung pada tingkat dimana seseorang mengerahkan semangat ganbari ( kebulatan tekad ), dimana semua orang rata-rata pada hakikatnya memilikinya. Amanuma ( 1999 ), menjelaskan : 英語やフランスごでは、「頑張る」の包含する意味のうち的なニュアンス を表す語彙なら‘persist in’, ‘insist on’, ‘insister,’ ‘persister’ が近いという 意見 が出た。しかし精神的な意味合いをもって「忍耐してやり抜く」というニ ュアンスの「頑張る」となると該当する語はなく、説明的な言い回しをす るほかないとアメリカ人、フランス人の参会者たちは主張し、ドイツひと らもそれに同意した。 Terjemahan : Dalam bahasa Inggris dan Perancis, makna ( gambaru ) adalah ‘persist in ( terusmenerus ),’ ‘insist on ( bersikeras ) ,’ ‘insister ( pertahanan ) ’ ‘persister’( bertahan ). Kosakata ini menunjukkan nuansa yang serupa dengan gambaru. Dalam ruang lingkup psikologi, ( gambaru ) menjadi kosakata yang mempunyai nuansa yang bertahan, tidak hanya pada sekitar orang amerika namun orang Perancis serta orang Eropa juga telah setuju makna gambaru yang berarti pertahanan. Amanuma dalam Sugimoto ( 1997 : 4 ), mengatakan kepribadian inti masyarakat Jepang berdasar pada perangsang dari ganbari ( ketahanan dan ketekunan ), dimana terdapat dalam setiap aspek dari kebiasaan masyarakat Jepang. Dikatakan oleh Cooper ( 2007 : 283 ) bahwa orang yang tegar dan tabah secara mental, fisik, dan emosi akan semakin berkembang dari berbagai ujian berat dalam hidup. Carnegie ( 2008 : 80 ) mengungkapkan syarat untuk hidup tentram dan bahagia adalah gairah dan keinginan yang sungguh-sungguh untuk belajar, ketetapan hati yang kuat untuk menghentikan rasa sedih dan memulai hidup baru. Dari dua teori yang 13 diungkapkan di atas bertahan mencakup sikap orang yang tegar dan tabah secara mental, fisik, dan emosi, dan mempunyai ketetapan hati yang kuat untuk menghentikan rasa sedih. Davies dan Ikeno ( 2002 : 83 ), mengemukakan bahwa gambari menunjukkan komponen karakter sifat dasar orang Jepang modern yang telah berkembang sejak dahulu. Pada kehidupan sehari-hari, banyak orang Jepang sering menggunakan bentuk gambari ini, sehingga penggunaan yang berlebihan ini menunjukkan sebuah karakter orang Jepang. Hal tersebut diperkuat dengan ungkapan Kaoru ( 2001 ) dalam kutipannya: 日本で生活するなかで、よほど多くの自分が接する人びとの「頑張り」に 接し、また頻繁にその語が発されるのを耳にしたのであろう。その事実だ けでも『頑張る』日本人の観察者として貴重な存在だ。 Terjemahan : Dalam kehidupan di Jepang, banyak menemui kata ganbari yang berhubungan dengan orang-orang , dan kata tersebut sering terdengar. Telah diamati, tidak hanya dalam kenyataan, keberadaan kata gambaru bagi orang jepang memang berharga. Dijelaskan oleh Davies dan Ikeno ( 2002 : 83-84 ) bahwa gambaru berperan penting dan mempunyai berbagai makna dalam situasi yang berbeda-beda bagi masyarakat Jepang : Gambaru is a frequently used word in Japan, with the meaning of doing one’s best and hanging on. For example, students gambaru ( study hard ) in order to pass entrance examination. Athletes also gambaru ( practice hard) to win games or medals. Moreover, company workers gambaru ( work hard ) to raise their company’s sales. Also, when the Japanese make up their minds to begin something, they tend to think “gambaru” in the initial stages of project. When a young woman from a small town, on leaving for a new job in the city, promises his friends, parents, and teachers that she will gambaru, the implication is that she will not disspoint them. The word is also used by friends as a kind of greeting, often in the 14 imperative form gambare or gambatte. In this situation the meaning is rather ambiguous. Terjemahan : Gambaru merupakan sebuah kata yang sering digunakan di Jepang, dengan arti berbuat yang terbaik dan terus bertahan. Seperti contoh, para murid gambaru (belajar sungguh-sungguh) untuk dapat lulus ujian. Atlit juga gambaru (berlatih keras) untuk memenangkan pertandingan dan mendapat medali. Selain itu, pegawai perusahaan gambaru (bekerja keras) untuk menaikkan penjualan perusahaan mereka. Dan juga, saat orang Jepang telah menetapkan untuk memulai sesuatu, mereka cenderung berpikir “gambaru” saat awal pelaksaan proyek. Saat wanita muda dari kota kecil, pergi ke luar negeri untuk bekerja, berjanji pada teman, orang-tua, dan guru bahwa ia akan gambaru, dengan maksud untuk tidak mengecewakan mereka. Kata ini juga digunakan untuk teman sebagai semacam salam, biasanya dalam bentuk perintah gambare atau gambatte. Dalam situasi ini mempunyai makna yang ambigu. Orang Jepang menggunakan eksperesi ini setidaknya sehari sekali dengan selamat tinggal dan juga menulisnya di akhir surat. Dengan penggunaan ini, mereka mendorong satu sama lain dengan maksud “ Terus pertahankan kerja kerasmu sampai tujuanmu tercapai”. Menurut Wagatsuma dalam Davies dan Ikeno ( 2002 : 84 ), mengatakan bahwa kalimat tersebut mengandung arti prestasi tinggi, motivasi, dan orientasi untuk keharmonisan kelompok. Kata ini juga digunakan diantara anggota kelompok untuk mendorong satu sama lain dalam bekerja sama. Hal ini juga dikemukakan oleh De Mente ( 1997 : 94 ) , bahwa saat pemain kasti, pemain golf, penyanyi, gulat sumo, politikus yang baru terpilih, dan saat wawancara, mereka selalu berjanji untuk gambaru. Pemberi selamat melihat temannya pergi bertugas di luar negeri meneriakkan gambatte! Karyawan yang baru bekerja berjanji bahwa mereka akan gambaru. Orang tua terus mendorong anak mereka untuk gambaru di pekerjaan sekolah mereka. Masyarakat Jepang sering mengucapkan kata ini dalam berbagai situasi dan berbagai manfaat, seperti untuk sebagai keberanian, sebagai janji, sebagai persembahan, hampir 15 sebagai doa, dan sebagai perjuangan / perlawanan. Hal ini masih dijelaskan oleh De Mente ( 1997 : 94 ), bahwa “the term is used as an encouragement, as a promise, as a dedication, almost as a prayer, and as a battle cry”. De Mente ( 1997 : 94 ), memaparkan bahwa kata lain yang sering didengar dari orang Jepang berulang-ulang kali adalah gambatte dari kata gambaru, yang berarti “tekun, pantang menyerah, tidak pernah berkata gagal, berbuat sebaik mungkin.” Ada yang berkata bahwa sikap gambaru adalah filosofi utama dari masyarakat Jepang. Kaoru ( 2001 ) menjelaskan : 『頑張れ』は、最後まであきらめるな、手を抜くな、と励まして、思いや る言葉」である。『頑張れ』という言葉にはいい意味のまま生き残って もらいたい。 Terjemahan : Kata “gambare” didefinisikan dengan ungkapan tidak menyerah sampai akhir, tidak lepas tangan, dan semangat. Dalam kata ”gambare” mengandung makna sebenar yang positif yaitu ingin bertahan hidup Rice ( 1995 : 46 ), mengatakan bahwa never give up, have patience, persistence, and do your best : all these ideas are encapsulated in the one word gambare. Yang artinya adalah pantang menyerah, memiliki kesabaran, bertahan, dan lakukan yang terbaik : semua makna ini dikapsulkan dalam satu kata yaitu gambare. Carnegie ( 2008 : 6 ) menegaskan bahwa cara paling baik untuk menyiapkan masa depan ialah dengan melaksanakan tugas pekerjaan hari ini sebaik mungkin dengan senang hati serta menggunakan seluruh kemampuan yang dimiliki. Melakukan yang terbaik berarti melaksanakan sesuatu sebaik mungkin dengan menggunakan seluruh kemampuan yang dimiliki. 16 Gambare digambarkan oleh orang-orang Jepang dengan memiliki perasaan kesadaran yang mendalam saat melaksanakan tugas-tugasnya yang direalisasikan dalam bentuk pertanggungjawaban oleh setiap individu terhadap kelompoknya. Unsur lain yang terlibat dalam proses gambare adalah keyakinan bahwa suksesnya seseorang harus melewati suatu pengorbanan pribadi dan unsure gambare ada di dalamnya. Salah satu karakter yang paling dikagumi dari individu Jepang adalah adanya pengorbanan pribadi. Itu sebagai tanda bahwa seseorang telah bersikap gambare, hal itu adalah suatu bayaran harga dari kesuksesannya. 2.1.1. Makna Gambare di Lingkungan Pendidikan Finkelstein ( 1991 : 144 ) mengatakan bahwa masyarakat Jepang percaya bahwa kerja keras, kerajinan, dan ketekunan menghasilkan kesuksesan dalam pendidikan begitu juga dengan aspek lain dalam kehidupan. Beberapa jumlah kesulitan dan penderitaan dipercaya untuk menguatkan karakter para murid dan ketetapan hati mereka untuk melakukan yang terbaik dalam belajar dan usaha penting lainnya. Penggunaan gambare tidak hanya dalam persiapan ujian sekolah namun juga dalam pertandingan olahraga di sekolah, seperti yang dijelaskan oleh Ben Ari ( 1997 : 56 ) bahwa pada saat pertandingan renang, anak-anak mulai berenang dengan teriakan ‘gambare’ dari para anggota yang tidak berpartisipasi ( terus, bertahan ). Dalam pertandingan ini dan setiap aktivitas lainnya, para guru ikut berpartisipasi dan samasama berteriak gambare bersamaan dengan anak-anak. Singleton dalam Finkelstein ( 1991 : 121 ), menjelaskan bahwa yang mendasari semua pengertian dan pengharapan dari sekolah, pelajaran tambahan yang bersangkutan, dan bahkan dari sekolah seni dan keterampilan merupakan prinsip dari gambaru. 17 Finkelstein ( 1991 : 145 ), menambahkan bahwa : Japanese teacher believe that desire to learn is something which can be shaped by teachers and influenced through the school environment. Student are unceasingly taught and urged to ‘do their best’, in groups and as individuals. Terjemahan : Guru-guru di Jepang mempercayai bahwa hasrat untuk belajar adalah sesuatu yang dapat dibentuk oleh guru dan dipengaruhi melalui lingkungan sekolah. Para murid terus-menerus diajar dan didorong untuk selalu ‘melakukan yang terbaik’ dalam suatu kelompok maupun individu. Holloway ( 2000 : 106 ), mengungkapkan bahwa salah satu yang paling penting adalah pemikiran bahwa anak-anak seharusnya tidak menyerah dengan mudah, tetapi seharusnya belajar untuk bertahan dan bersaha sekuat-kuatnya walaupun tugas menjadi sulit dan tidak menyenangkan. Pentingnya kebudayaan menempatkan pada usaha dan ketekunan, diungkapkan dalam bentuk gambaru, telah dikemukakan oleh banyak pengamat dari lingkungan pendidikan masyarakat Jepang. 2.1.2. Makna Gambare di Lingkungan Rumah Singleton dalam Shields ( 1993 : 10 ), mengungkapkan bahwa, guru dan salah seorang atau kedua orang tuanya biasanya berdiskusi tentang anak di rumah. Mereka biasanya membicarakan tentang prestasi pendidikan anak dan kesempatan untuk dapat masuk ke sekolah yang diinginkan juga hal-hal apa saja yang dapat membantu anak agar dapat berhasil. Dalam pembicaraan orang tua murid dan guru tersebut, muncul harapan dari guru agar anak lebih tekun dalam belajar sehingga dapat mencapai hasil yang terbaik dalam ujian masuk. Kata-kata yang sering diucapkan para guru dalam pembicaraannya dengan para orang tua murid agar anak lebih tekun dalam belajar sehingga akan mendapatkan hasil yang baik, seperti yang diungkapkan berikut ini : Mou sukoshi gambaru hoo ga ii to omoimasu. 18 Saya pikir dengan sedikit lebih banyak ketekunan akan lebih baik. Finkelstein ( 1991 : 145 ) mengatakan Para murid mengetahui bahwa nilai SMA dan nilai ujian masuk ke universitas akan berpengaruh kuat dalam garis kehidupan masa depan mereka. Para orang tua memeperkuat konsep ini dengan mendorong anak mereka untuk belajar giat, dengan menyediakan dan menciptakan linkungan rumah untuk belajar dan dengan membiayai pelajaran tambahan dan bantuan dari guru les pelajaran tambahan. 2.2. Teori Penokohan Penokohan merupakan satu bagian penting dalam membangun sebuah cerita. Tokohtokoh tersebut tidak saja berfungsi untuk memainkan cerita, tetapi juga berperan untuk menyampaikan ide, motif, plot, dan tema ( Fananie, 2000 : 86 ). Istilah “penokohan” lebih luas pengertiannya daripada “tokoh” dan “perwatakan” sebab ia sekaligus mencakup masalah siapa tokoh cerita, bagaimana perwatakan, dan bagaimana penempatan dan pelukisnya dalam sebuah cerita sehingga sanggup memberikan gambaran yang jelas kepada pembaca. Menurut Nurgiyantoro ( 2002 : 166 ), mengatakan bahwa : Penokohan dan karakteristik, sering juga disamakan artinya yaitu menunjuk pada penempatan tokoh-tokoh tertentu dengan watak-watak tertentu dalam sebuah cerita; pelukisan gambaran yang jelas teknik perwujudan dan pengembangan tentang tokoh yang ditampilkan dalam sebuah cerita. Sedangkan istilah tokoh menurut Nurgiyantoro ( 2002 : 165 ), menjelaskan bahwa : Istilah “tokoh” adalah menunjuk pada orangnya atau perilaku ceritanya dan istilah tokoh cerita. Dapat juga dikatakan sebagai orang-orang yang ditampilkan dalam suatu karya naratif atau drama, yang oleh pembaca ditafsirkan memiliki kualitas moral dan kecenderungan tertentu seperti yang diekspresikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan dalam tindakan. 19 Menurut Waluyo ( 2002 : 9 ), menjelaskan bahwa sebagai tokoh yang mungkin dijumpai dalam kenyataan, tokoh yang digambarkan adlah tokoh yang bersifat total, lengkap dengan tingkah laku, dialog, kebiasaan, karakter yang spesifik, emosi, perkembangan psikisnya, dan sebagainya. Setidak-tidaknya ada hal-hal dalam diri tokoh itu yang juga ada dalam diri pembaca. Tokoh yang luar biasa dan aneh pun sebaiknya relevan dengan pembaca, sehingga tokoh itu dapat mendukung keutuhan artistik cerita rekaan tersebut. Tokoh cerita menempati posisi strategis sebagai pembawa dan penyampai pesan, amanat, dan moral atau sesuatu yang sengaja ingin disampaikan kepada pembaca. ( Nurgiyantoro, 2002 : 167 ). Masih menurut Nurgiyantoro ( 2002 : 176 ), menjelaskan bahwa, seorang tokoh dapat dibagi dalam beberapa kategori yakni : 1. Dilihat dari segi peranan dan tingkat pentingnya tokoh dalam sebuah cerita, ada yang disebut tokoh utama dan tokoh tamnbahan. Tokoh utama tergolong penting karena dimunculkan secara terus-menerus sehingga terasa mendominasi seluruh rangkaian cerita. Adapun tokoh yang dimunculkan sekali atau beberapa kali dalam cerita dan itupun dalam porsi yang relative singkat, maka ia disebut sebagaia tokoh tambahan. 2. Berdasarkan fungsi tokoh di dalam cerita dapat dibedakan tokoh sentral dan tokoh bawahan. Tokoh sentral disebut juga sebagai tokoh protagonis karena ia memegang pimpinan dalam sebuah cerita. Sedangkan yang disebut dengan tokoh bawahan adalah tokoh yang tidak sentral kedudukannya dalam cerita, tetapi kehadirannya sangat menunjang atau mendukung tokoh utama. Untuk kasus kepribadian seorang tokoh, pemaknaan itu dilakukan berdasarkan katakata (verbal) dan tingkah laku lain (non verbal). 20 1. Metode verbal ( melalui dialog atau percakapan ) Menurut Mido ( 1994 : 27 ) mengatakan bahwa karakter tokoh dapat ditampilkan melalui percakapan-percakapan antara tokoh satu dengan tokoh lainnya dan apa yang dikatakan seseorang dapat menunjukkan siapa dia sebenarnya. Menurut Nurgiyantoro ( 2002 : 201 ), percakapan yang dilakukan oleh tokoh cerita dimaksudkan untuk menggambarkan sifat tokoh yang bersangkutan. Tidak semua percakapan menunjukkan sikap tokoh. Namun percakapan yang efektif dan baik adalah yang menunjukkan sifat atau watak dari tokoh pelakunya. Dalam keadaan yang wajar, dialog atau percakapan harus belangsung dengan baik, tidak dibuat-buat dan tanpa menyembunyikan maksud atau tujuan yang sebenarnya agar dapat menetapkan watak seseorang ( Mido, 1994 : 30 ). Dengan adanya dialog-dialog yang dikemukakan pengarang, pembaca dapat mengetahui sejauh mana moralitas, mentalitas, pemikiran, dan watak tokohnya. ( Fananie, 2000 : 90 ). 2. Metode non verbal ( Melalui deskripsi perbuatan ) Menurut Mido ( 1994 : 28 ), metode non verbal adalah menggambarkan watak atau karakter tokoh cerita dengan cara mendeskripsi tindak-tanduk atau perbuatan yang dilakukan oleh seorang tokoh cerita. Non verbal juga merupakan cara penyampaian info tanpa menggunakan bahasa. Cara penyampaian ini sampai kepada kita melalui saluran yang terlihat, yang termasuk perilaku ekspresif, seperti ekspesi wajah, isyarat, postur, dan penampilan. Selain itu, untuk menunjukkan unsur-unsur karakter seorang tokoh, metode ini adalah metode yang paling efektif. Menurut Soegiyoharto ( 2007 ), senyum merupakan 21 salah satu isyarat nonverbal atau gesture manusia dalam berkomunikasi. Penelitian yang dilakukan Leonard, Voeller, dan Kaldau (1991) menunjukkan di dalam setiap senyuman terjadi peningkatan pesan positif yang komunikatif. 22