BAB II KAJIAN PUSTAKA 1.1 Landasan Teori dan Konsep 2.1.1 Teori Tenaga Kerja Tenaga kerja merupakan penduduk yang telah masuk dalam usia kerja. Undang – Undang No. 13 tahun 2003 Bab 1 passal 1 ayat 2 mendefinisikan tenaga kerja adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang atau jasa baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk masyarakat. Analisis ketenagakerjaan, secara garis besar penduduk di suatu negara terlebih dahulu dibedakan menjadi dua golongan yaitu golongan tenaga kerja dan golongan bukan tenaga kerja, yang tergolong sebagai tenaga kerja adalah penduduk yang berada pada usia kerja, sebaliknya yang tidak tergolong tenaga kerja adalah penduduk yang belum berada pada usia kerja. Penentuan usia kerja berbeda-beda di masing-masing negara, seperti contohnya Indonesia yang menetapkan batasan usia kerja minimum adalah 10 tahun tanpa ada umur maksimum, yang artinya penduduk yang telah berusia 10 tahun otomatis masuk sebagai golongan usia kerja. Lain halnya bank dunia yang menetapkan batas usia kerja yaitu antara 15 hingga 64 tahun (Dumairy, 1996:74). Masih menurut Dumairy, tenaga kerja di pilah kembali kedalam dua kelompok yaitu kelompok angkatan kerja dan kelompok bukan angkatan kerja. Kelompok angkatan kerja adalah penduduk yang telah menginjak usia kerja yang bekerja atau memiliki pekerjaan tetapi untuk sementara waktu sedang tidak bekerja dan yang yang sedang mencari pekerjaan, sedangkan kelompok bukan 1 angkatan kerja adalah penduduk yang telah menginjak usia kerja yang tidak bekerja, tidak mempunyai pekerjaan dan tidak sedang mencari pekerjaan. Menurut BPS (2001) yang masuk dalam kelompok angkatan kerja adalah penduduk usia kerja yang selama seminggu yang lalu mempunyai pekerjaan, baik yang bekerja maupun sementara tidak bekerja karena suatu sebab, seperti pegawai sedang cuti atau petani yang sedang menunggu musim panen. Disamping itu mereka yang tidak mempunyai pekerjaan tetapi sedang mencari, berusaha atau mengharap pekerjaan juga termasuk dalam kelompok angkatan kerja, sedangkan yang dimaksud bukan kelompok angkatan kerja adalah kelompok penduduk yang selama seminggu yang lalu mempunyai kegiatan yang tidak termasuk dalam angkatan kerja, seperti pelajar yang sedang sekolah dan ibu rumah tangga. Haryo Kuncoro (2002) menjelaskan, penyerapan tenaga kerja adalah banyaknya lapangan kerja yang sudah terisi yang tercermin dari banyaknya jumlah penduduk bekerja. Penduduk yang bekerja terserap dan tersebar di berbagai sektor perekonomian. Terserapnya penduduk bekerja disebabkan oleh adanya permintaan akan tenaga kerja. Indonesia dengan jumlah penduduk yang besar berarti memiliki sumber daya yang besar pula (Barthos, 2001:15). Oleh karena itu, sumber daya manusia yang berupa tenaga kerja harus dimanfaatkan semaksimal mungkin. Tenaga kerja yang ada harus mampu diserap oleh semua kegiatan dan sektor ekonomi. Penyerapan tenaga kerja bisa di kaitkan dengan keseimbangan interaksi antara permintaan tenaga kerja dan penawaran tenaga kerja, yang di mana permintaan tenaga kerja pasar dan penawaran tenaga kerja pasar secara bersama menentukan suatu penggunaan tenaga kerja keseimbangan 2 (Fuad Kadafi, 2013). Dalam dunia kerja atau dalam hal penyerapan tenaga kerja setiap sektornya berbeda-beda untuk penyerapan tenaga kerjanya, misalnya saja tenaga kerja di sektor formal. Penyeleksian tenaga kerjanya di butuhkan suatu keahlian khusus, pendidikan, keahlian dan pengalaman untuk bisa bekerja pada sektor formal (Don Bellante and Mark Janson : 2006). Usaha perluasan lapangan pekerjaan yang dapat dilakukan untuk menyerap tenaga kerja dapat dilakukan dengan dua cara : 1) Pengembangan industri yaitu jenis industri yang bersifat padat karya yang dapat menyerap relatif banyak tenaga kerja dalam industri termasuk industri rumah tangga. 2) Melalui berbagai proyek pekerjaan umum, misalnya pembuatan jembatan, jalan raya atau bendungan. 2.1.2 Teori Inflasi Inflasi dapat didefinisikan sebagai suatu proses dimana terjadi kenaikan harga-harga yang berlaku dalam suatu perekonomian. Inflasi memiliki tingkat yang berbeda dari satu periode ke periode lainnya dan berbeda pula dari satu negara ke negara lainnya (Sadono Sukirno, 2001:15). Boediono (2008:155) juga mendefinisikan inflasi merupakan kecendrungan dari harga-harga untuk naik secara umum dan terus menerus, akan tetapi kenaikan harga dari satu atau dua barang saja tidak dapat disebut sebagai inflasi, kecuali bila kenaikan tersebut meluas atau mengakibatkan kenaikan kepada sebagian besar dari harga-harga barang lainnya. 3 Dilihat dari intensitasnya, Boediono (2005:162) menggolongkan inflasi yang terjadi dalam suatu periode menjadi empat, yaitu : 1) Inflasi ringan, yaitu apabila tingkat inflasi atau kenaikan harga besarnya kurang dari 10% per tahun. 2) Inflasi sedang, yaitu apabila tingkat inflasi atau kenaikan harga besarnya antara 10% sampai 30% per tahun. 3) Inflasi berat, yaitu apabila tingkat inflasi atau kenaikan harga besarnya antara 30% sampai 100% per tahun. 4) Hiper inflasi, yaitu apabila tingkat inflasi besarnya diatas 100% per tahun. Muana Nanga (2005:238) mengemukakan bahwa terdapat beberapa teori yang berkembang, yang berkaitan dengan faktor-faktor penyebab timbulnya inflasi, diantaranya adalah : 1) Pandangan Kaum Klasik dan Monetaris Kaum klasik menyebutkan bahwa penyebab utama timbulnya inflasi atau kenaikan harga adalah karena kenaikan atau pertumbuhan jumlah uang beredar yang nantinya akan berpengaruh terhadap perubahan tingkat harga. Hal yang senada juga dikemukakan kaum monetaris yang mengklaim inflasi itu merupakan fenomena moneter, sedikit berbeda dimana mereka mengatakan, pertumbuhan jumlah uang beredar nantinya juga akan berpengaruh terhadap output dan kesempatan kerja. 2) Pandangan Keynes Di dalam model keynesian, jumlah uang beredar hanyalah salah satu faktor dan bukan satu-satunya faktor penentu tingkat harga. Namun di 4 dalam jangka pendek, ada banyak faktor lain menurut keynesian yang mempengaruhi tingkat harga, seperti pengeluaran konsumsi rumah tangga (C), pengeluaran investasi (I), pengeluaran pemerintah (G) dan pajak (T). 3) Pandangan Aliran Ekspektasi Rasional dan Ekonomi Sisi Penawaran Para teoritisi dari aliran ekspektsasi rasional (rational expectation atau Ratex) percaya bahwa perubahan yang bersifat antisipatif di dalam jumlah uang yang beredar (money supply) hanya akan membawa dampak pada tingkat harga (P) dan tidak mempunyai pengaruh terhadap output (Y) dan kesempatan kerja. 4) Pandangan Kaum Strukturalis Kaum strukturalis mengindentifikasi beberapa kendala atau hambatan yang menjadi penyebab kenaikan harga atau inflasi di negara-negara sedang berkembang, yaitu : (1) kendala penawaran bahan pangan yang bersifat inelastis, (2) kendala devisa yang timbul karena nilai penerimaan devisa tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan akan barang impor, (3) kendala fiskal yang timbul karena tidak mencukupinya sumberdaya keuangan dalam negeri. Hasil penelitian yang dilakukan penelitian yang dilakukan Lutfi dan Hidayat (2003) yang menganalisis prilaku inflasi menyimpulkan bahwa variabel jumlah uang beredar berpengaruh secara positif dan signifikan terhadap inflasi di Indonesia. Wahjuanto (2010) juga menyimpulkan bahwa variabel jumlah uang beredar dan suku bunga (SBI) berpengaruh signifikan terhadap laju inflasi di Indonesia. 5 Samuelson dan Nordhaus (1997:324) menjelaskan, penyebab inflasi dibedakan menjadi dua, yaitu : 1) Inflasi tarikan permintaan (Demand-Pull Inflation) terjadi akibat permintaan agregat meningkat lebih cepat dibandingkan dengan potensi produktif perekonomian dan memicu perubahan pada tingkat harga. Permintaan agregat biasanya dipicu oleh membanjirnya jumlah uang beredar di pasar. 2) Inflasi dorongan-biaya (Cost-push inflation) terjadi akibat adanya peningkatan biaya selama periode pengangguran tinggi dan penggunan sumber daya yang kurang aktif. Hal ini, akan menyebabkan kelangkaan produksi dan kelangkaan distribusi meskipun secara umum tidak ada peningkatan permintaan secara signifikan. Berdasarkan asalnya, inflasi di golongkan menjadi dua (Djinar Setiawina, 2004:152), yaitu : 1) Inflasi yang berasal dari dalam negeri (domestic inflation), timbul karena terjadi defisit anggaran belanja yang dibiayai pemerintah dengan cara mencetak uang baru, karena panen gagal, dan karena gagalnya pasar serta akibat-akibat lainnya yang nantinya berakibat pada mahalnya harga bahan makanan. 2) Inflasi yang berasal dari luar negeri (imported inflation), timbul karena kenaikan harga-harga diluar negeri atau di negara-negara langganan berdagang kita dan atau karena adanya kenaikan tarif import barang. 6 Nopirin (2000:32) efek dari adanya inflasi diantaranya, dapat mempengaruhi distribusi pendapatan, alokasi faktor produksi serta produk nasional. Berikut dijelaskan beberapa efek dari inflasi, yaitu: 1) Efek terhadap pendapatan (equity effect), bersifat tidak merata dimana disatu sisi ada yang dirugikan tetapi disisi lainnya ada yang diuntungkan dengan adanya inflasi. Seseorang yang memperoleh pendapatan tetap, orang yang menumpuk kekayaannya dalam bentuk uang kas dan orang/pihak yang memberikan pinjaman uang dengan bunga lebih rendah dari laju inflasi akan menderita kerugian karena adanya inflasi. Sebaliknya, mereka yang memperoleh kenaikan pendapatan dengan prosentase lebih besar dari laju inflasi atau mereka yang memiliki kekayaan bukan dalam bentuk uang dimana nilainya akan naik dan meningkat dengan prosentase lebih besar dari laju inflasi justru akan mendapatkan keuntungan dari adanya inflasi 2) Efek terhadap efisiensi (efficiency effects), inflasi dapat pula mengubah pola alokasi faktor-faktor produksi. Ini dapat terjadi karena adanya kenaikan permintaan akan berbagai macam barang, yang kemudian kenaikan permintaan tersebut mendorong terjadinya perubahan produksi barang tertentu. 3) Efek terhadap output (output effects), dimana disini dipertanyakan apakah inflasi akan menyebabkan kenaikan atau penurunan output. Inflasi memang mungkin dapat menyebabkan terjadi kenaikan produksi dengan alasan, dalam keadaan inflasi biasanya kenaikan harga barang 7 mendahului kenaikan upah sehingga pengusaha diuntungkan dengan keadaan ini. Keuntungan pengusaha akan meningkat, dengan keuntungan ini juga akan mendorong kenaikan produksi dan kenaikan produksi juga mampu mendorong kenaikan permintaan akan tenaga kerja. Namun sebaliknya, apabila laju inflasi cukup tinggi (hyper inflation) justru akan menyebabkan penurunan ouput. Masing-masing Negara memiliki cara tersendiri untuk mengatasi masalah inflasi yang terjadi dinegaranya. Pada umumnya masalah inflasi dapat diatasi dengan dua cara, yaitu : 1) Kebijakan Moneter Ketut Nehen (2012:333) menjelaskan, kebijakan moneter adalah setiap kebijakan yang diambil oleh pemerintah atau oleh Bank Indonesia ataupun secara bersama-sama di dalam bidang keuangan atau bidang moneter. Kebijakan moneter dapat dilakukan melalui instrument-instrumen berikut, yaitu : a) Politik diskonto (Politik uang ketat): Bank Indonesia menerapkan kebijakan melalui pengendalian suku bunga. Suku bunga yang dikenal dengan istilah BI Rate pada umumnya akan dinaikkan oleh Bank Indonesia dengan maksud mengurangi jumlah uang yang beredar. b) Operasi Pasar Terbuka (OPT): Bank Indonesia bertindak sebagai pembeli dan penjual di pasar surat berharga atau di pasar devisa. Apabila inflasi yang terjadi telah melampaui sasaran yang telah ditetapkan maka Bank Indonesia akan menjual obligasi atau surat 8 berharga ke pasar modal untuk menyerap dan menekan perkembangan uang yang beredar di masyarakat. c) Penetapan cadangan wajib minimum: laju inflasi yang terjadi dapat dikurangi melalui penetapan cadangan wajib minimum dalam bentuk giro yang tidak lain adalah simpanan minimum yang harus dipelihara oleh bank yang besarnya ditetapkan oleh Bank Indonesia. 2) Kebijakan Fiskal Nopirin (2008:185) menjelaskan, kebijaksanaan fiskal menyangkut pengaturan pengeluaran pemerintah dan perpajakan, dimana hal ini secara langsung dapat mempengaruhi permintaan total dan nantinya juga akan mempengaruhi harga. Inflasi dapat dicegah melalui penurunan permintaan total. Kebijaksanaan fiskal berupa pengurangan pengeluaran pemerintah dan kenaikan pajak akan mampu mengurangi permintaan total, sehingga inflasi dapat ditekan. 2.1.3 Hubungan Inflasi dengan Penyerapan Tenaga Kerja Teori-teori yang telah berkembang seperti pandangan-pandangan yang dikemukakan kaum monetaris mengenai inflasi mengatakan, inflasi merupakan fenomena ekonomi mengenai pertumbuhan uang yang beredar yang dapat mempengaruhi kesempaatan kerja. Menurut Nanga (2005:248) inflasi yang terjadi pada perekonomian di suatu daerah memiliki beberapa dampak dan akibat yang diantaranya adalah inflasi dapat menyebabkan perubahan-perubahan output dan tenaga kerja, dengan cara memotivasi perusahaan untuk memproduksi lebih atau kurang dari yang telah dilakukannya tergantung intensitasi inflasi yang terjadi. Apabila inflasi yang terjadi dalam perekonomian masih tergolong ringan, 9 perusahaaan berusaha akan menambah jumlah output atau produksi karena inflasi yang ringan dapat mendorong semangat kerja produsen dari naiknya harga yang mana masih dapat dijangkau oleh produsen. Keinginan perusahaan untuk menambah output tentu juga dibarengi oleh pertambahan faktor-faktor produksi seperti tenaga kerja. Pada kondisi tersebut permintaan tenaga kerja akan meningkat, yang selanjutnya meningkatkan penyerapan tenaga kerja yang ada dan pada akhirnya mendorong laju perekonomian melalui peningkatan pendapatan nasional. Sebaliknya, apabila inflasi yang terjadi tergolong berat (hyper inflation) maka perusahaan akan mengurangi jumlah ouput akibat tidak terbelinya faktorfaktor produksi dan perusahaan juga akan mengurangi jumlah penggunaan tenaga kerja sehingga penyerapan tenaga kerja semakin berkurang dan pengangguran bertambah. Amri Amir (2007), menjelaskan mengenai kurva philips bahwa teori A.W. Phillips muncul karena pada saat tahun 1929, terjadi depresi ekonomi di Amerika Serikat, hal ini berdampak pada kenaikan inflasi yang tinggi dan diikuti dengan pengangguran yang tinggi pula dengan berdasarkan pada fakta itulah A.W. Phillips mengamati hubungan antara tingkat inflasi dengan tingkat pengangguran. Hasil pengamatannya, ternyata ada hubungan yang erat antara Inflasi dengan tingkat pengangguran. Hasil pengamatan Phillips ini dikenal dengan kurva Phillips. 10 Gambar 2.1 Kurva Phillips Sumber : Amri Amir (2007) A.W Phillips menggambarkan hubungan antara tingkat inflasi dengan tingkat pengangguran didasarkan pada asumsi bahwa inflasi merupakan cerminan dari adanya kenaikan permintaan agregat. Naiknya permintaan agregat, berdasarkan teori permintaan, permintaan akan naik, yang kemudian menyebabkan harga akan naik pula, untuk memenuhi permintaan tersebut produsen meningkatkan kapasitas produksinya dengan menambah tenaga kerja (tenaga kerja merupakan satu-satunya input yang dapat meningkatkan output). Akibat dari peningkatan permintaan tenaga kerja, maka dengan naiknya hargaharga (inflasi) pengangguran akan berkurang. Kurva Philips ini hanya berlaku pada tingkat inflasi ringan dan dalam jangka pendek. Hal ini disebabkan karena adanya kenaikan harga yang membuat perusahaan meningkatkan jumlah produksinya dengan harapan memperoleh laba yang lebih tinggi namun, jika inflasi yang terjadi adalah hyper inflation, kurva Philips tidak berlaku lagi. Pada saat inflasi tinggi yang tidak dibarengi dengan kemampuan masyarakat, 11 perusahaan akan mengurangi jumlah penggunaan tenaga kerja sehingga jumlah pengangguran akan bertambah (Sucitrawati dan Sudarsana Arka, 2012). Penelitian yang dilakukan Novianti (2013) mengenai analisis faktor-faktor yang mempengaruhi penyerapan tenaga kerja sektor industri di Sumatera Utara dikatakan bahwa variabel inflasi memiliki pengaruh negatif terhadap permintaan tenaga kerja sektor industri di Sumatera Utara. Ini berarti semakin bertambahnya tingkat inflasi berarti semakin berkurang penyerapan tenaga kerjanya. Begitu juga sebaliknya, semakin berkurangnya tingkat inflasi maka semakin bertambah tenaga kerja yang mampu diserap. Haug dan King (2011) menjelaskan bahwa inflasi yang terjadi di Amerika Serikat periode 1952-2010 memiliki hubungan positif terhadap jumlah pengangguran. Penelitian lainnya yang dilakukan Beyer dan Farmer (2007) di Amerika Serikat periode 1970-1999 mengidentifikasikan bahwa ada hubungan yang positif antara inflasi terhadap pengangguran kemudian dilanjutkan oleh Berensten, Menzio dan Wright (2009) yang meneliti pada periode 1955-2005 yang juga mengatakan terdapat hubungan positif antara inflasi terhadap pengangguran. Kesimpulannya, teori dan penelitian-penelitian tersebut menunjukkan bahwa inflasi memiliki hubungan negatif terhadap jumlah penyerapan tenaga kerja. Apabila tingkat inflasi naik maka jumlah penyerapan tenaga kerja akan berkurang dan begitu juga sebaliknya. 2.1.4 Konsep Produk Domestik Regional Bruto Data Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) baik itu atas harga berlaku maupun atas dasar harga konstan merupakan indikator penting yang digunakan untuk mengetahui kondisi perekonomian suatu daerah dalam suatu periode. PDRB 12 merupakan jumlah nilai tambah yang dihasilkan oleh seluruh unit usaha pada suatu daerah tertentu dan dapat juga dikatakan sebagai jumlah dari nilai barang dan jasa akhir (neto) yang dihasilkan oleh seluruh unit ekonomi (BPS, 2013). Produk domestik daerah merupakan semua barang dan jasa yang dihasilkan dari kegiatan-kegiatan ekonomi yang berlangsung di wilayah domestik, tanpa memperdulikan asal dan kepemilikan faktor produksi dari penduduk daerah tersebut ataupun tidak. Penghitungan produk domestik lebih dikenal dengan istilah Produk Domestik Regional Bruto (PDRB), disebut domestik karena menyangkut batas wilayah dan dinamakan bruto karena telah memasukkan komponen penyusutan dalam perhitungannya. PDRB secara umum disebut juga agregat ekonomi, maksudnya angka besaran total yang menunjukkan prestasi ekonomi suatu wilayah. Agregat ekonomi ini selanjutnya dapat digunakan untuk mengukur pertumbuhan ekonomi. Untuk menghitung pertumbuhan ekonomi riil terlebih dahulu harus dihilangkan pengaruh perubahan harga yang melekat pada angka-angka agregat ekonomi menurut harga berlaku sehingga terbentuk harga agregat ekonomi menurut harga konstan. PDRB atas dasar harga berlaku menggambarkan nilai tambah barang dan jasa yang dihitung menggunakan harga berlaku pada setiap tahun, sedangkan PDRB atas dasar harga konstan menggambarkan nilai tambah barang dan jasa yang dihitung menggunakan harga barang berlaku pada satu tahun tertentu sebagai dasar (Noviyani, 2007). PDRB atas dasar harga berlaku digunakan untuk 13 melihat pergeseran dan struktur ekonomi sedangkan PDRB atas harga konstan digunakan untuk mengetahui pertumbuhan ekonomi dari tahun ketahun. PDRB digunakan untuk berbagai tujuan, salah satunya untuk mengukur kinerja keseluruhan. Jumlahnya akan sama dengan jumlah dari nilai nominal konsumsi, investasi, pengeluaran pemerintah untuk barang dan jasa serta ekspor netto. Tiga pendekatan yang dapat digunakan untuk menghitung angka-angka PDRB adalah: 1) Pendekatan produksi Melalui pendekatan produksi, produk nasional atau produk domestik bruto diperoleh dengan menjumlahkan nilai pasar dari seluruh barang dan jasa yang dihasilkan berbagai sektor perekonomian. Persamaan fungsi produksi pada pendekatan produksi adalah sebagai berikut: Y= f(K,L,t)………………………………………………..…………(2.1) Dimana: Y = Produksi K = modal L = tenaga kerja t = teknologi Unit-unit produksi tersebut dikelompokkan menjadi 9 sektor yaitu: (1) pertanian, peternakan, kehutanan dan perikanan, (2) pertambangan dan penggalian, (3) industri penggalian, (4) listrik, gas dan air bersih, (5) bangunan, (6) pedagangan, hotel dan restoran, (7) pengangkutan dan komunikasi, (8) keuangan, persewaan dan jasa perusahaan, dan (9) jasa-jasa termasuk jasa pelayanan pemerintah. 14 2) Pendekatan pendapatan Pendekatan pendapatan merupakan suatu pendekatan dimana pendapatan nasional diperoleh melalui menjumlahkan pendapatan dari berbagai faktor produksi yang menyumbang terhadap proses produksi. Pendapatan nasional yang dimaksud disini diperoleh melalui penjumlahan dari berbagai unsur dan jenis pendapatan. 1) Kompensasi untuk pekerja atau compensation for employees terdiri dari upah (wages) dan gaji (salaries) ditambah faktor lain terhadap upah dan gaji (misalnya, rencana dari pengusaha dalam hal pensiun dan dana jaminan sosial). 2) Keuntungan perusahaan atau corporate provit merupakan kompensasi kepada pemilik perusahaan yang mana digunakan untuk membayar pajak keuntungan perusahaan, dibagikan kepada para pemilik saham (stockholders) sebaga deviden dan ditabung perusahaan sebagai laba perusahaan yang tidak dibagikan. 3) Pendapatan usaha perorangan atau proprictors income merupakan kompensasi atas penggunaan tenaga kerja dan sumber-sumber dari self employeed person, self employeed professional dan lain-lain. 4) Pendapatan sewa atau rental income of person merupakan kompensasi yang untuk pemilik tanah, rental business dan recidential properties. 5) Bunga netto atau net interest terdiri dari Bungan yang dibayarkan perusahaan dikurangi bunga yang diterima oleh perusahaan ditambah 15 bunga netto yang diterima dari luar negeri. bunga yang dibayar pemerintah dan konsumen tidak termasuk didalamnya Pendapatan nasional berdasarkan pendekatan pendapatan dapat dirumuskan sebagai berikut: NI = Yw + Yi + Ynr + Ynd………………………………………..…....(2.2) Dimana: NI = Pendapatan nasional Yw = Pendapatan dari upah, gaji, dan pendapatan lainnya sebelum pajak. Yr = Pendapatan dari bunga. Ynr dan Ynd = Pendapatan dari keuntungan dari perusahaan dan pendapatan lainnya sebelum pengenaan pajak. PDRB merupakan jumlah balas jasa yang diterima oleh faktor-faktor produksi yang ikut serta dalam proses produksi pada suatu daerah dengan jangka waktu tertentu (biasanya dalam satu tahun). PDRB mencakup juga penyusutan dan pajak tidak langsung netto (pajak tak langsung dikurangi subsidi). 3) Pendekatan pengeluaran Pendekatan pengeluaran merupakan pendapatan nasional yang diperoleh dengan cara menjumlahkan nilai pasar dari seluruh permintaan akhir atas output yang dihasilkan perekonomian dan diukur pada harga paar yang berlaku. Dapat dikatakan bahwa produk nasional atau produk domestik regional bruto adalah penjumlahan nilai pasar dari permintaan di sektor rumah tangga untuk barang konsumsi dan jasa-jasa (C), permintaan di sektor bisnis seperti barang-barang investasi (I), pengeluaran pemerintah untuk barang-barang dan jasa-jasa (G), dan pengeluaran sektor luat negeri untuk kegiatan sektor ekspor dan impor (X-M). 16 Perhitungan yang digunakan untuk menghitung output pada perekonomian dengan pendekatan pengeluaran dapat dijelaskan dalam persamaan berikut: Y atau PDRB = C + I + G + NX………………………..………………(2.3) Dimana: Y atau PDRB = Produk Domestik Regional Bruto C = konsumsi I = investasi G = pengeluaran pemerintah NX = ekspor neto (ekspor dikurangi impor) PDRB adalah semua komponen dari permintaan akhir, yang terdiri dari: (1) pengeluaran konsumsi rumah tangga dan lembaga nirlaba swasta, (2) konsumsi pemerintah, (3) pembentukan modal tetap domestik bruto, (4) perubahan stok dan (5) ekspor netto. Pada dasarnya PDRB sama dengan PDB, hanya saja perbedaannya terletak pada ruang lingkupnya, yang mana PDB berlaku secara nasional sedangkan PDRB berlaku untuk daerah-daerah yang ada di negara tersebut. PDRB pada daerah-daerah yang dijumlahkan akan menghasilkan PDB secara nasional (Hasan, 2009). 2.1.5 Hubungan Produk Domestik Regional Bruto dengan Penyerapan Tenaga Kerja Mankiw (2006:248) menjelaskan, hukum okun adalah relasi negatif antara pengangguran dan GDP. Hukum okun merupakan pengingat bahwa faktor-faktor yang menentukan siklus bisnis pada jangka pendek sangat berbeda dengan faktorfaktor yang membentuk pertumbuhan ekonomi jangka panjang. Hukum Okun (Okun’s law) merupakan hubungan negatif antara pengangguran dan GDP Riil, 17 yang mengacu pada penurunan dalam pengangguran sebesar 1 persen dikaitkan dengan pertumbuhan tambahan dalam GDP Riil yang mendekati 2 persen. Dengan kata lain, PDRB yang pada akhirnya mempengaruhi GDP berpengaruh positif terhadap penyerapan tenaga kerja. Peningkatan jumlah PDRB akan berpengaruh pada peningkatan penyerapan tenaga kerja, begitu juga sebaliknya penurunan jumlah PDRB akan berpengaruh pada penurunan penyerapan tenaga kerja. Hal tersebut di dukung oleh hasil penelitian yang dilakukan oleh Dimas dan Nenik (2009) yang menyatakan bahwa PDRB memiliki pengaruh yang positif dan signifikan terhadap penyerapan tenaga kerja di DKI Jakarta, dimana apabila PDRB meningkat satu persen maka penyerapan tenaga kerja meningkat sebesar 1,23 persen. Rakhmasari (2006) juga mengatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruh penyerapan tenaga kerja salah satunya adalah PDRB dan memiliki hubungan positif yang selanjutnya diperkuat oleh hasil penelitian Ferdinan (2011) yang mengatakan bahwa besarnya PDRB merupakan faktor signifikan yang mempengaruhi penyerapan tenaga kerja di Provinsi Sumatera Barat yang juga memiliki pengaruh positif. Budi Utami (2009) mengatakan bahwa Produk domestik regional bruto (PDRB) berpengaruhi positif secara signifikan terhadap kesempatan kerja di Kabupaten Jember tahun 1980 s./d. 2007. PDRB merupakan cerminan dari pertumbuhan ekonomi (penambahan output yang dihasilkan), apabila PDRB meningkat maka jumlah kesempatan kerja akan semakin besar. Junaidi (2013) menyebutkan perkembangan PDRB memberikan dampak yang positif dan signifikan terhadap penyerapan tenaga kerja di Provinsi Sulawesi Utara. Putro dan 18 Achma (2013) dalam penelitiannya menemukan bahwa PDRB berpengaruh negatif dan signifikan terhadap pengangguran, yang berarti peningkatan PDRB akan menurunkan jumlah pengangguran. Dengan kata lain, PDRB berpengaruh positif terhadap penyerapan tenaga kerja. Meningkatnya jumlah PDRB juga akan meningkatkan penyerapan tenaga kerja dan menurunkan jumlah pengangguran, dan begitu juga sebaliknya. Kesimpulannya, dari teori dan hasil penelitianpenelitian yang terdahulu PDRB memiliki pengaruh yang positif terhadap penyerapan tenaga kerja. Apabila jumlah PDRB meningkat maka jumlah penyerapan tenaga kerja juga akan meningkat, begitu juga sebaliknya. 2.1.6 Teori Upah Undang-Undang Republik Indonesia nomor 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan menyebutkan bahwa upah adalah hak pekerja/buruh yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang sebagai imbalan dari pengusaha atau pemberi kerja kepada pekerja/buruh yang ditetapkan dan dibayarkan menurut suatu perjanjian kerja, kesepakatan, atau peraturan perundang undangan, termasuk tunjangan bagi pekerja/buruh dan keluarga atas suatu pekerjaan dan/jasa yang telah atau akan dilakukan. Sadono Sukirno (2002:353) mendefiniskan upah yaitu pembayaran yang diperoleh berbagai bentuk jasa yang disediakan dan diberikan oleh pengusaha kepada tenaga kerja. Upah ditentukan dengan melibatkan evaluasi dari kontribusi karyawan sebagai bentuk penghargaan baik langsung maupun tidak langsung sesuai dengan kemampuan dari organisasi dan peraturan hukum yang berlaku (Fopuhunda, et al, 20011). 19 Disadari atau tidak tingkat kepuasan atau tingkat ketidakpuasan masingmasing pekerja terhadap suatu pekerjaan tidaklah sama, maka bisa difahami terjadinya kemungkinan perbedaan tingkat upah yang mencerminkan adanya perbedaan selera atau preferensi terhadap setiap jenis pekerjaan. Terkadang seseorang rela mengorbankan rasa tidak sukanya terhadap suatu pekerjaan demi memperoleh imbalan tinggi atau mungkin sebaliknya ada orang yang mau menerima pekerjaan yang memberi upah rendah, padahal dia bisa memperoleh pekerjaan yang menghasilkan upah lebih tinggi, hal tersebut dilakukan sematamata karena ia menyukai pekerjaan tersebut. Berbagai kabupaten dan provinsi penetapan upah khususnya penetapan upah minimum berbeda-beda, baik besarnya, presentase kenaikan setiap tahun, sistem penetapannya dan ruang lingkup yang ditetapkan. Menurut Case & Fair (2005:533) mengatakan upah minimum adalah upah terendah yang diizinkan untuk dibayarkan oleh perusahaan kepada para pekerjanya. Sementara itu menurut Sony Sumarsono (2002:141) upah minimum merupakan upah yang telah ditetapkan secara minimum regional, sektor regional dan sub sektor. Dalam hal ini upah minimum adalah upah pokok dan tunjangan. Tunjangan termasuk dalam upah minimum, karena hal ini merupakan kebijakan upah minimum di Indonesia yang tertuang dalam Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor: Per-01/Men/1999 dan UU Ketenagakerjaan No.13 tahun 2003. Penetapan upah minimum pada suatu daerah memiliki tujuan untuk mewujudkan penghasilan yang layak bagi pekerja (Prasetyo, 2010). Ketegasan terhadap perusahaan untuk mematuhi peraturan mengenai upah minimum penting 20 dilakukan. Menurut Yaniv (2006) mengatakan bahwa apabila perusahaanperusahaan tidak patuh terhadap peraturan penetapan upah minimum, maka akan mempengaruhi upah di pasar bebas dan upah minimum tidak akan berpengaruh terhadap permintaan tenaga kerja. Setiaji dan Sudarsono (2004) mengatakan terdapat dua sistem penetapan upah minimum di Indonesia. Beberapa provinsi atau daerah menetapkan upah minimum tunggal dan beberapa menetapkan upah minimum sektoral. Upah minimum tunggal bersifat kaku yang pada umumnya berdampak kepada perbaikan upah pekerja tetap pada industri marginal. Sedangkan, upah minimum sektoral mengurangi dampak kekakuan upah, karena harga (upah) terdeferensiasi sedemikian rupa sehingga dapat mewadahi berbagai industri yang berbeda dalam produktivitas, jaringan pasar, sumber modal ukuran perusahaan, penggunaan kapital dan akhirnya berbeda dalam Return on Investment (ROI). Diferensiasi harga tersebut sangat cocok dengan kondisi industri Indonesia yang sangat beragam. Hukum upah minimum mengatakan bahwa harga termurah untuk tenaga kerja adalah keadaan dimana sebagian besar pemilik usaha dapat membayarnya. Di Amerika Serikat kongres mengenai upah minimum pertama kali diadakan Fair Labor Standards Act pada tahun 1938 untuk memastikan standar minimal hidup yang layak bagi pekerja. Pada tahun 2009, upah minimum sesuai dengan hukum federal adalah $ 7,25 per jam. Sebagian besar negara-negara di dunia memiliki hukum yang mengatur upah minimum. 21 Gambar 2.2 Kurva permintaan dan penawaran tenaga kerja pada pasar tenaga kerja Sumber : Mankiw, 2011 Kurva (a) menunjukkan pasar tenaga kerja di mana upah disesuaikan untuk menyeimbangkan penawaran tenaga kerja dan permintaan tenaga kerja. Kurva (b) menunjukkan dampak dari upah minimum yang mengikat. Karena upah minimum adalah harga dasar, hal itu menyebabkan surplus: Jumlah tenaga kerja yang ditawarkan melebihi kuantitas yang diminta. Hasilnya adalah pengangguran. Untuk menguji efek dari upah minimum, kita harus mempertimbangkan pasar tenaga kerja. Kurva (a) dari Gambar 2.2 menunjukkan pasar tenaga kerja, seluruh pasar, adalah subjek untuk kekuatan penawaran dan permintaan. Pekerja menentukan pasokan tenaga kerja, dan perusahaan menentukan permintaan. Jika pemerintah tidak melakukan intervensi, biasanya upah menyesuaikan untuk menyeimbangkan penawaran tenaga kerja dan permintaan tenaga kerja. Kurva (b) dari Gambar 2.2 menunjukkan pasar tenaga kerja dengan upah minimum. Jika 22 upah minimum di atas tingkat ekuilibrium, seperti di sini, kuantitas tenaga kerja yang ditawarkan melebihi kuantitas yang diminta. Hasilnya adalah pengangguran. Dengan demikian, upah minimum menimbulkan pendapatan dari para pekerja yang memiliki pekerjaan, tetapi menurunkan pendapatan pekerja yang tidak dapat menemukan pekerjaan. Untuk memahami sepenuhnya mengenai upah minimum, perlu diingat bahwa didalam perekonomian terdapat bukan hanya pasar tenaga kerja tunggal tetapi banyak pasar tenaga kerja untuk berbagai jenis pekerja. Dampak upah minimum tergantung pada keterampilan dan pengalaman pekerja. Sebagian besar pekerja terampil dan berpengalaman tidak terpengaruh karena upah ekuilibrium mereka jauh di atas minimum. Untuk para pekerja ini, upah minimum tidak mengikat. Upah minimum memiliki dampak terbesar pada pasar tenaga kerja remaja. Upah ekuilibrium remaja yang rendah karena remaja adalah salah satu anggota paling terampil dan paling berpengalaman dari angkatan kerja. Selain itu, remaja seringkali bersedia menerima upah lebih rendah dalam pertukaran untuk pelatihan on-the-job. (Beberapa remaja bersedia untuk bekerja magang yang tidak dibayar sama sekali, upah minimum tidak berlaku untuk mereka) Akibatnya, upah minimum lebih sering mengikat untuk remaja daripada untuk anggota lain dari angkatan kerja. Banyak ekonom telah mempelajari bagaimana hukum upah minimum mempengaruhi pasar tenaga kerja remaja (Mankiw, 2011). Para peneliti membandingkan perubahan upah minimum dari waktu ke waktu dengan perubahan dalam pekerjaan remaja. Meskipun ada beberapa 23 perdebatan tentang seberapa banyak upah minimum mempengaruhi pekerjaan, pada penelitian-penelitain yang telah dilakukakan menemukan bahwa peningkatan 10 persen dalam upah minimum menekan kerja remaja antara 1 dan 3 persen. Dalam menafsirkan perkiraan ini, diketahui bahwa peningkatan 10 persen dalam upah minimum tidak menaikkan upah rata-rata remaja sebesar 10 persen. Sebuah perubahan dalam hukum tidak secara langsung mempengaruhi para remaja yang sudah dibayar jauh di atas minimum, dan penegakan hukum upah minimum tidak sempurna. Dengan demikian, penurunan yang diperkirakan dari 1 sampai 3 persen adalah signifikan. Selain mengubah kuantitas tenaga kerja yang diminta, upah minimum mengubah kuantitas yang ditawarkan, karena upah minimum dapat menimbulkan peningkatan jumlah remaja yang memilih untuk mencari pekerjaan. Banyak ekonom yang meneliti upah minimum mengakui bahwa upah minimum memiliki beberapa efek samping, termasuk pengangguran, tetapi mereka percaya bahwa efek ini kecil dan upah minimum yang lebih tinggi membuat orang miskin memiliki kehidupan yang lebih baik. Penentang upah minimum berpendapat bahwa itu bukan cara terbaik untuk memerangi kemiskinan. Mereka mencatat bahwa upah minimum yang tinggi menyebabkan pengangguran, mendorong para usia remaja putus sekolah, dan mencegah beberapa pekerja terampil mendapatkan pelatihan on-the-job yang mereka butuhkan. Selain itu, penentang dari upah minimum menunjukkan bahwa penentuan upah minimum yang tinggi adalah kebijakan yang salah sasaran. 24 2.1.7 Hubungan Upah Minimum dengan Penyerapan Tenaga Kerja Penyerapan tenaga kerja berkaitan dengan jumlah tenaga yang diminta perusahaan atau instansi tertentu. Menurut Sumarsono (2003: 106) perubahan tingkat upah akan mempengaruhi tinggi rendahnya biaya produksi perusahaan. Apabila digunakan asumsi tingkat upah naik, maka akan terjadi hal-hal sebagai berikut: 1) Naiknya tingkat upah akan meningkatkan biaya produksi pada perusahaaan, yang selanjutnya meningkatkan harga per unit barang yang diproduksi. Dengan terjadinya kenaikan harga barang, biasanya konsumen memberikan respon cepat yaitu dengan mengurangi konsumsi bahkan tidak lagi membeli barang yang bersangkutan. Akibatnya banyak barang yang tidak terjual dan produsen terpaksa menurunkan jumlah produksinya. Untuk mengurangi beban perusahaan akibat penurunan jumlah produksi tersebut perusahaan melakukan pengurangan penggunaan tenaga kerja, kondisi ini tentu akan menambah jumlah pengangguran dan mengurangi jumlah penyerapan tenaga kerja. 2) Apabila upah naik (asumsi harga dari barang-barang lainnya tidak berubah) maka pengusaha ada yang lebih suka menggunakan teknologi padat modal untuk proses produksi dan menggantikan kebutuhan akan tenaga kerja dengan kebutuhan akan barang-barang modal seperti mesin dan lainnya. Penurunan jumlah tenaga kerja yang dibutuhkan karena adanya penggantian atau penambahan penggunaan mesin-mesin tersebut 25 tentu juga akan berdampak pada berkurangnya jumlah penyerapan tenaga kerja. Salah satu model sederhana yang menjelaskan dampak upah minimum terhadap penyerapan tenaga kerja adalah model neo-klasikal standar yang menggunakan asumsi pasar tenaga kerja yang homogen, kompetitif dan lingkup pengaturan upah minimum yang berlaku menyeluruh pada semua kelompok pekerja (complete coverage). Jika upah minimum ditetapkan diatas nilai upah rata-rata pasar akan berdampak pada pengurangan jumlah permintaan terhadap tenaga kerja oleh perusahaan-perusahaan yang pada akhirnya akan menurunkan jumlah permintaan tenaga kerja, pengurangan ini biasa diartikan perusahaan melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK). Adanya pengurangan ini menyebabkan penyerapan tenaga kerja berkurang dan pengangguran menjadi bertambah. Gindling dan Terrell (2006) dalam penelitian yang dilakukannya mengatakan bahwa tingkat upah memiliki pengaruh terhadap penyerapan tenaga kerja, dimana setiap 10 persen kenaikan upah minimum terjadi penurunan pekerja di masing-masing sektor sebesar 1,09 persen. Menurut Kuncoro (2002), kenaikan upah akan mengakibatkan penurunan kuantitas tenaga kerja yang diminta. Apabila tingkat upah naik sedangkan harga input lain tetap, berarti harga tenaga kerja relatif mahal dari input lain. Situasi ini mendorong pengusaha untuk mengurangi penggunaan tenaga kerja yang relatif mahal dengan input input lain yang harga relatifnya lebih murah guna mempertahankan keuntungan yang maksimum. 26 Rini (2012) di dalam penelitiannya, kenaikan upah minimum akan mengakibatkan berkurangnya lapangan kerja yang juga akan berimbas pada berkurangnya jumlah penyerapan tenaga kerja. Magruder (2013) dan Kholifah Anggrainy (2013) juga mengatakan bahwa upah minimum memiliki hubungan negatif terhadap permintaan tenaga kerja, dengan kata lain temuan tersebut menjelaskan bahwa kenaikan upah minimum akan mengurangi jumlah permintaan tenaga kerja sehingga jumlah penyerapan tenaga kerja juga berkurang. Penelitian yang dilakukan Rizal Azaini (2014) menyatakan bahwa bertambahnya nilai upah bisa menyebabkan meningkatkan kehidupan layak seorang pekerja, tetapi jika peningkatan upah yang ditetapkan terlalu tinggi yang tidak disertai dengan peningkatan produksi kerja akan mendorong perusahaan untuk melakukan pengurangan terhadap penggunaan tenaga kerja dengan menurunkan produksi dan menggunakan teknologi padat modal. Hal ini dilakukan karena beban yang terlalu tinggi yang ditanggung perusahaan akibat bertambahnya nilai upah. Sumarsosno (2003, dalam Fadliilah dan Atmanti, 2012) menjelaskan bahwa tingkat upah akan mempengaruhi biaya produksi. Naiknya tingkat upah akan meningkatkan biaya produksi perusahaanyang selanjutnya berdampak pada meningkatnya harga per unit barang yang diproduksi. Dengan kondisi tersebut, konsumen akan memberikan respon apabila terjadi kenaikan harga barang, konsumen akan mengurangi konsumsi atau bahkan tidak mau membeli barang yang bersangkutan. Akibatnya banyak barang atau produk yang tidak terjual maka produsen harus menurunkan jumlah produksinya. Turunnya jumlah produksi 27 mengakibatkan berkurangnya tenaga kerja yang dibutuhkan, itu berarti jumlah penyerapan tenaga kerja juga akan berkurang. Upah minimum yang turun memiliki manfaat yang baik terhadap Negara karena dalam jangka panjang pengangguran dapat berkurang (Danziger, 2009). Kesimpulannya, teori dan hasil penelitian-penelitian terdahulu menunjukkan bahwa upah minimum memiliki hubungan yang negatif terhadap penyerapan tenaga kerja. Apabila upah minimum naik maka penyerapan tenaga kerja akan berkurang dan begitu juga sebaliknya. 2.2 Hipotesis Berdasarkan pokok permasalahan, tujuan penelitian dan tinjauan pustaka, maka diajukan hipotesis penelitian sebagai berikut. 1) Inflasi, produk domestik regional bruto dan upah minimum secara serempak berpengaruh signifikan terhadap penyerapan tenaga kerja di Provinsi Bali periode tahun 1994-2013. 2) Produk domestik regional bruto secara parsial berpengaruh positif dan signifikan terhadap penyerapan tenaga kerja di Provinsi Bali periode tahun 1994-2013 sedangkan inflasi dan upah minimum secara parsial berpengaruh negatif dan signifikan terhadap penyerapan tenaga kerja di Provinsi Bali periode tahun 1994-2013. 28