Penyakit lupus merupakan penyakit sistem daya tahan

advertisement
Apa itu Lupus ?
Penyakit lupus merupakan penyakit sistem daya tahan, atau penyakit auto
imun, dimana terjadi pembentukan antibodi pada tubuh seseorang terhadap jaringan
nya sendiri karena terganggunnya fungsi sistem imun, maksudnya adalah sistem imun
tubuh yang seharus berfungsi melawan kuman dan benda asing, mengalami kelainan
hiperaktif sehingga justru menyerang sel, jaringan dan organ tubuh sendiri yang sehat. Jadi
semacam senjata makan tuan.
Organ tubuh yang sering dirusak adalah ginjal, sendi, kulit, jantung, paru, otak,
dan sistem pembuluh darah. Semakin lama proses perusakan terjadi, semakin berat
kerusakan tubuh. Jika penyakit lupus melibatkan ginjal, dalam waktu lama fungsi
ginjal akan menurun dan pada keadaan tertentu memang diperlukan cuci darah.
Penyebab penyakit lupus belum diketahui secara pasti, agaknya disebabkan kombinasi
berbagai faktor seperti genetik, hormon, infeksi, dan lingkungan. Terjadi
penyimpangan pada sistem kekebalan yang pada mulanya sistem kekebalan tidak bisa
membedakan teman dan musuh, kemudian “teman-teman” sendiri (sel-sel tubuh/organ
sendiri) dianggap sebagai musuh, sehingga dibuat zat anti terhadap sel-sel tersebut,
kemudian zat anti ini menyerang sel-sel tubuh.organ sendiri tersebut. Akibatnya
serangan ini menimbulkan kerusakan-kerusakan pada organ tersebut. Secara garis
besar Jenis Penyakit Lupus dibagi menjadi 2 :
1. Lupus eritematosus sistemik
2. Lupus eritematosus discoid
Dalam makalah ini kami akan membahas macam-macam lupus eritematosus secara
rinci dan memperdalam pembahasan meliputi : Definisi, Etiologi (Penyebab), Gejala,
Mekanisme penyakit dari gangguan sistem imun dan Pengobatan.
1. Lupus eritematosus sistemik
A. Definisi
Systemic Lupus Erythematosus (SLE) merupakan penyakit autoimun
yang mengakibatkan berbagai peradangan dan dapat mempengaruhi
berbagai organ tubuh manusia termasuk kulit, sendi dan organ internal
(sistemik). Penyakit lupus dapat menyerang semua usia termasuk bayi
baru lahir (neonatal lupus) dan lebih sering ditemukan pada
perempuan berusia 15 – 45 tahun.
B. Penyebab
Penyebab lupus secara pasti masih belum jelas. Menurut anggapan sekarang penyakit LES
dapat ditimbulkan karena gangguan sistem imun pada sel B dan sel T, atau pada interaksi antara
kedua sel tersebut. Hal tersebut akan menyebabkan aktivasi sel-sel B poliklonal, akibatnya terjadi
pembentukan autoantibodi secara berlebihan. Autoantibodi adalah antibodi patologik yang
terbentuk akibat sistem imun tubuh tidak dapat membedakan antara “self ” dan “nonself ”. Selain
itu banyak faktor lain yang berperan terhadap timbulnya penyakit LES, antara lain :
1. Genetik
Beberapa peneliti menemukan adanya hubungan antara penyakit LES dengan gen Human
Leukocyte Antigen (HLA) seperti DR2, DR3 dari Major Histocompatibility Complex (MHC)
kelas II. Individu dengan gen HLA DR2 dan DR3 mempunyai risiko relatif menderita
penyakit LES 2-3 kali lebih besar daripada yang mempunyai gen HLA DR4 dan HLA DR5.
Peneliti lain menemukan bahwa penderita penyakit LES yang mempunyai epitop antigen
HLA-DR2 cenderung membentuk autoantibodi anti-dsDNA, sedangkan penderita yang
mempunyai epitop HLA-DR3 cenderung membentuk autoantibodi anti-Ro/SS-A dan antiLa/SS-B. Penderita penyakit LES dengan epitop-epitop HLA-DR4 dan HLA-DR5
memproduksi autoantibodi anti-Sm dan anti-RNP.
2. Faktor psikologis (stress)
Stres mempengaruhi respon imun dan sistem saraf pusat. Sistem imun seperti halnya
sistem yang mempertahankan homeostasis tubuh lainnya, terintegrasi dalam prosesproses fisiologis lain dan dimodifikasi oleh otak. Faktor-faktor lain seperti usia, neoplasia,
gizi dapat berpengaruh terhadap penyakit autoimun. Diduga faktor-faktor tersebut dapat
menimbulkan aktivasi poliklonal sel B.
.
3. Lingkungan
Pengaruh fisik (sinar matahari), infeksi (bakteri, virus, protozoa), dan obat-obatan dapat
mencetuskan atau memperberat penyakit autoimun. Mekanismenya dapat melalui aktivasi
sel B poliklonal atau dengan meningkatkan ekspresi MHC kelas I atau II.
Obat-obatan
Beberapa macam obat telah diketahui menyebabkan timbulnya gejala klinik yang
menyerupai penyakit LES ini. Obat-obatan yang telah disepakati berhubungan erat
dengan
kejadian
lupus
ini
diantaranya
:
Carbamazepine,
Chlorpromazine,
Diphenylhydantoin, Ethosuximide, Hydralazine, Isoniazid, Methyldopa, Penicillamine,
Procainamide, Quinidine, dan Sulfasalazine. Obat-obat tersebut diduga dapat bereaksi
dengan antigen DNA atau histon dan menyebabkan antigen-antigen tersebut menjadi lebih
imunogenik.
4. Hormon
Pada individu normal, testosteron berfungsi mensupresi sistem imuns sedangkan estrogen
memperkuat sistem imun. Predominan lupus pada wanita dibandingkan pria memperlihatkan
adanya pengaruh hormon seks dalam patogenesis lupus. Pada percobaan di tikus dengan
pemberian testosteron mengurangi lupus-like syndrome dan pemberian estrogen memperberat
penyakit.
5.
Defisiensi komplemen
Pada penderita penyakit LES sering ditemukan defisiensi komplemen C3 dan atau C4, yaitu
pada penderita penyakit LES dengan manifestasi ginjal. Defisiensi komplemen C3 dan atau C4
jarang ditemukan pada penderita penyakit LES dengan manifestasi pada kulit dan susunan saraf
pusat. Individu yang mengalami defek pada komponen-komponen komplemennya, seperti Clq, Clr,
Cls mempunyai predisposisi menderita penyakit LES dan nefritis lupus. Defisiensi komplemen C3
akan menyebabkan kepekaan terhadap infeksi meningkat, keadaan ini merupakan predisposisi
untuk timbulnya penyakit kompleks imun. Penyakit kompleks imun selain disebabkan karena
defisiensi C3, juga dapat disebabkan karena defisiensi komplemen C2 dan C4 yang terletak pada
MHC kelas II yang bertugas mengawasi interaksi sel-sel imunokompeten yaitu sel Th dan sel B.
Komplemen berperan dalam sistem pertahanan tubuh, antara lain melalui proses opsonisasi, untuk
memudahkan eliminasi kompleks imun oleh sel karier atau makrofag. Kompleks imun akan diikat
oleh reseptor komplemen (Complement receptor = C-R) yang terdapat pada permukaan sel karier
atau sel makrofag. Pada defisiensi komplemen, eliminasi kompleks imun terhambat, sehingga
jumlah kompleks imun menjadi berlebihan dan berada dalam sirkulasi lebih lama.
C. Gejala
Berikut adalah gejala penyakit lupus (SLE):
1) Kelelahan secara fisik yang berkesinambungan. Kelelahan juga dapat berlanjut
ketika penderita lupus menggunakan obat lupus tipe steroid atau antimalaria.
2) Rasa nyeri pada bagian persendian dengan diikuti pembengkakan dan radang.
3) Menurunnya berat badan sekaligus bertambahnya berat tubuh yang berbeda – beda
pada setiap orang tergantung metabolisme dan respon tubuh si penderita terhadap
akibat yang dihasilkan dari penyakit lupus juga metode pengobatan yang dijalaninya.
4) Meningkatnya suhu tubuh / panas dingin. Gejala demam ini kerap dialami oleh
penderita lupus jenis SLE. Pada umumnya si penderita akan diberikan obat jenis
NSAIDS, acetaminophen atau antimalaria.
5) Timbulnya bercak – bercak merah (ruam). Kondisi kulit menjadi lebih sensitif dari
biasanya, terutama terhadap sengatan sinar matahari secara langsung. Bercak tersebut
dapat merusak kulit yang kemudian membentuk sel kulit mati yang membekas seperti
halnya terbakar oleh sinar matahari.
6) Melambatnya aliran darah pada saat penderita berada dalam udara / kondisi dingin.
Fenomena ini disebut juga dengan istilah Raynaud. Menurunnya jalan aliran darah ini
juga bisa terjadi ketika si penderita lupus merokok, minum alkohol, kopi dsj.
Terganggunya aliran darah ini dapat menyebabkan warna kulit, jari, bibir nampak
membiru atau pucat. Fenomena Raynard ini bisa juga terkait dengan penyakit pada
organ lainnya.
7) Mengalami kerontokan rambut secara perlahan. Kerontokan ini bisa berakibat
serius bila didiamkan karena dapat menyebabkan kebotakan secara permanen
(alopecia areata). Hal ini dapat terjadi karena autoimun pada penyakit lupus
menyerang sel – sel yang berfungsi sebagai hormon penumbuh rambut (folikel).
Adapun akibat ini menyebabkan rongga folikel mengecil sehingga penumbuhan
rambut menjadi terhambat hingga dapat terhenti.
8) Mengalami masalah / gangguan pada ginjal. Kompleks autoimun yang beredar
dalam darah akan terfilter oleh ginjal sehingga kerap kali penyakit ini menimbulkan
masalah pada ginjal terlebih ketika imun yang abnormal ini mengendap pada
membran basal glomerulus. Kompleks lainnya mengaktifkan komplemen dan
menarik granolosit, yang memicu respon inflamasi terhadap glomerulonefritis. Akibat
ini dapat merusak ginjal yang bahkan dapat menimbulkan pendarahan.
Terkadang gejala ini dapat terjadi berulang – ulang, terkadang berhenti
disebabkan oleh berubah – ubahnya intensitas penyakit lupus. Namun yang pasti,
akibat dari kelainan ginjal ini selain berbahaya juga dapat menimbulkan gatal-gatal,
nyeri dada, pelupa, mual dan muntah.
9) Terganggunya saluran pencernaan. Terlebih setelah mengkonsumsi obat lupus jenis
NSAIDs dan steroid.
10) Gangguan pada paru – paru berupa pleuritis (sakit saat menghirup nafas dalam),
nafas pendek akibat menumpuknya cairan pada paru, luka pada jaringan kantung
paru.
11) Gangguan pada jantung yang umumnya terjadi secara mendadak berupa gejala
nyeri pada dada secara mendadak juga nafas yang pendek dan berat diakibatkan oleh
penyempitan pada katup jantung. Gangguan pada fungsi jantung ini disebabkan oleh
serangan penyakit lupus pada lapisan ruang jantung serta permukaan katup halus
endocardium.
12) Gangguan pada sistem syaraf. Umumnya akan menimbulkan gejala – gejala seperti
stress, kebingungan, cemas, amnesia, sulit berpikir, dsb, adalah gangguan yang
disebabkan oleh serangan penyakit lupus pada jaringan syaraf di sumsum tulang dan
otak.
13) Gangguan pada mata. Penderita lupus akan merasa matanya menjadi sakit karena
kering. Hal ini dapat menyebabkan kerusakan pada retina mata karena penyakit lupus
menyerang kantung air mata sehingga penderita akan kekurangan air mata
(keratoconjuctivitis sicca).
14) Gangguan pada sel darah merah dan sel darah putih yang tidak stabil. Akibat
yang ditimbulkan adalah anemia, lesu, kelelahan, mudah terserang infeksi,
pendarahan, memar, dsb.
D. Mekanime SLE di lihat dari gangguan sistem imun
Mekanisme primerLupus eritematosus sistemikE adalah autoimunitas ,
suatu proses kompleks dimana sistem imun pasien menyerang selnya
sendiri. Pada SLE, sel-T menganggap sel tubuhnya sendiri sebagai antigen
asing dan berusaha mengeluarkannya dari tubuh. Diantara kejadian
tersebut terjadi stimulasi limfosit sel B untuk menghasilkan antibodi, suatu
molekul yang dibentuk untuk menyerang antigen spesifik. Ketika antibodi
tersebut menyerang sel tubuhnya sendiri, maka disebutautoantibodi. Sel B
menghasilkan sitokin. Sitokin tertentu disebut interleukin, seperti IL 10
dan IL 6, memegang peranan penting dalam SLE yaitu dengan mengatur
sekresi autoantibodi oleh sel B.
Pada sebagian besar pasie Lupus eritematosus sistemik E, antinuklear
antibodi (ANA) adalah antibodi spesifik yang menyerang nukleus dan DNA
sel yang sehat. Terdapat dua tipe ANA, yaitu anti-doule stranded
DNA (anti-ds DNA) yang memegang peranan penting pada proses
autoimun dan anti-Sm antibodies yang hanya spesifik untuk pasien
SLE. Dengan antigen yang spesifik, ANA membentuk kompleks imun
yang beredar dalam sirkulasi sehingga pengaturan sistem imun pada SLE
terganggu yaitu berupa gangguan klirens kompleks imun besar yang larut,
gangguan
pemrosesan
kompleks
imun
dalam
hati,
dan
penurunan uptake kompleks imun oleh ginjal. Sehingga menyebabkan
terbentuknya deposit kompleks imun di luar sistem fagosit mononuklear.
Kompleks ini akan mengendap pada berbagai macam organ dan
menyebabkan terjadinya fiksasi komplemen pada organ tersebut dan
aktivasinya menghasilkan substansi yang menyebabkan radang. Reaksi
radang inilah yang menyebabkan keluhan pada organ yang bersangkutan.
Sekitar setengah dari pasien SLE memiliki antibodi antifosfolipid. Antibodi
ini menyerang fosfolipid, suatu kumpulan lemak pada membran sel.
Antifosfolipid meningkatkan resiko menggumpalnya darah, dan mungkin
berperan dalam penyempitan pembuluh darah serta rendahnya jumlah
hitung darah.
Antibodi tersebut termasuk lupus antikoagulan (LAC) dan antibodi
antikardiolipin (ACAs). Mungkin berupa golongan IgG, IgM, IgA yang berdiri
sendiri-sendiri ataupun kombinasi. Sekalipun dapat ditemukan pada orang
normal, namun mereka juga dihubungkan dengan sindrom antibodi
antifosfolipid, dengan gambaran berupa trombosis arteri dan/atau vena
berulang, trombositopenia, kehilangan janin-terutama kelahiran mati, pada
pertengahan kedua kehamilan. Sindrom ini dapat terjadi sendirian atau
bersamaan dengan Lupus eritematosus sistemikE atau gangguan
autoimun lainnya. Oleh karena itu Faktor genetik memegang peranan
penting dalam kerentanan dan ekspresi penyakit. Sekitar 10-20% pasien
SLE memiliki kerabat dekat yang juga menderita SLE. Saudara kembar
identik sekitar 25-70% (setiap pasien memiliki manifestasi klinik yang
berbeda) sedangkan non-identik 2-9%. Jika seorang ibu menderita SLE
maka kemungkinan anak perempuannya untuk menderita penyakit yang
sama adalah 1:40 sedangkan anak laki-laki 1:25. Penelitian terakhir
menunjukkan adanya peran dari gen-gen yang mengkode unsur-unsur
sistem imun. Kaitan dengan haptolip MHC tertentu, terutama HLA-DR dan
HLA-DR serta komplemen (C1 C1 C1 C4 dan C2) telah terbukti. Suatu
penelitian menemukan adanya kelainan pada 4 gen yang mengatur
apoptosis, suatu proses alami pengrusakan sel. Penelitian lain
menyebutkan bahwa terdapat beberapa kelainan gen pada pasien SLE
yang mendorong dibentuknya kompleks imun dan menyebabkan
kerusakan ginjal.
3
2
3
q ,
r ,
s ,
E. Pengobatan
Terapi Imunomodulator
1. Siklofosfamid
Merupakan obat utama pada gangguan sistem organ yang berat, terutama nefropati lupus.
Pengobatan dengan kortikosterod dan siklofosfamid (bolus iv 0,5-1 gram/m 2) lebih efektif
dibanding hanya kortikosteroid saja, dalam pencegahan sequele ginjal, mempertahankan
fungsi ginjal dan menginduksi remisi ginjal. Manifestasi non renal yang efektif dengan
siklofosfamid adalah sitopenia, kelainan sistem saraf pusat, perdarahan paru dan vaskulitis.
Pemberian per oral dengan dosis 1-1,5 mg/kgBB dapat ditingkatkan sampai 2,5-3 mg/kgBB
dengan kondisi neutrofil > 1000/mm 3 dan leukosit > 3500/mm 3. Monitoring jumlah leukosit
dievaluasi tiap 2 minggu dan terapi intravena dengan dosis 0,5-1 gram/m 2 setiap 1-3 bulan.
Efek samping yang sering terjadi adalah mual, muntah, kadang dapat ditemukan rambut
rontok namun hilang bila obat dihentikan. Leukopenia dose-dependent biasanya timbul setelah
12 hari pengobatan sehingga diperlukan penyesuaian dosis dengan leukosit. Risiko terjadi
infeksi bakteri, jamur dan virus terutama Herpes zoster meningkat. Efek samping pada gonad
yaitu menyebabkan kegagalan fungsi ovarium dan azospermia. Pemberian hormon
Gonadotropin releasing hormone atau kontrasepsi oral belum terbukti efektif. Pada penderita
SLE dengan nefropati lupus yang mengalami kehamilan obat golongan ini sebaiknya
dihindarkan.
2. Mycophenolate mofetil (MMF)
MMF merupakan inhibitor reversibel inosine monophosphate dehydrogenase, yaitu suatu enzim
yang penting untuk sintesis purin. MMF akan mencegah proliferasi sel B dan T serta
mengurangi ekspresi molekul adhesi. MMF secara efektif mengurangi proteinuria dan
memperbaiki kreatinin serum pada penderita SLE dan nefritis yang resisten terhadap
siklofosfamid. Efek samping yang terjadi umumnya adalah leukopenia, nausea dan diare.
Kombinasi MMF dan Prednison sama efektifnya dengan pemberian siklosfosfamid oral dan
prednison yang dilanjutkan dengan azathioprine dan prednisone. MMF diberikan dengan dosis
500-1000 mg dua kali sehari sampai adanya respons terapi dan dosis obat disesuaikan dengan
respons tersebut. Pada penderita SLE dengan nefropati lupus yang mengalami kehamilan obat
golongan ini sebaiknya dihindarkan.
3. Azathioprine
Azathioprine adalah analog purin yang menghambat sintesis asam nukleat dan mempengaruhi
fungsi imun seluler dan humoral. Pada SLE obat ini digunakan sebagai alternatif siklofosfamid
untuk pengobatan lupus nefritis atau sebagai steroid sparing agent untuk manifestasi non
renal seperti miositis dan sinovitis yang refrakter. Pemberian mulai dengan dosis 1,5
mg/kgBB/hari, jika perlu dapat dinaikkan dengan interval waktu 8-12 minggu menjadi 2,5-3
mg/kgBB/hari dengan syarat jumlah leukosit > 3500/mm 3 dan metrofil > 1000. Jika diberikan
bersamaan dengan allopurinol maka dosisnya harus dikurangi menjadi 60-75%. Efek samping
yang terjadi lebih kuat dibanding siklofosfamid, yang biasanya terjadi yaitu supresi sumsum
tulang dan gangguan gastrointestinal. Azathioprine juga sering dihubungkan dengan
hipersensitifitas dengan manifestasi demam, ruam di kulit dan peningkatan serum
transaminase. Keluhan biasanya bersifat reversibel dan menghilang setelah obat dihentikan.
Oleh karena dimetabolisme di hati dan dieksresikan di ginjal maka fungsi hati dan ginjal harus
diperiksa secara periodik. Obat ini merupakan pilihan imunomodulator pada penderita nefropati
lupus yang hamil, diberikan dengan dosis 1-1,5 mg/kgBB/hari karena relatif aman.
4.
Leflunomide (Arava)
Leflunomide merupakan suatu inhibitor de novo sintesis pyrimidin yang disetujui pada
pengobatan rheumatoid arthritis. Beberapa penelitian telah melaporkan keuntungan pada
pasien SLE yang pada mulanya diberikan karena ketergantungan steroid. Pemberian dimulai
dengan loading dosis 100 mg/hari untuk 3 hari kemudian diikuti dengan 20 mg/hari.
5.
Methotrexate
Methotrexate diberikan dengan dosis 15-20 mg peroral satu kali seminggu, dan terbukti efektif
terutama untuk keluhan kulit dan sendi. Efek samping yang biasa terjadi adalah peningkatan
serum transaminase, gangguan gastrointestinal, infeksi dan oral ulcer, sehingga perlu
dimonitor ketat fungsi hati dan ginjal. Pada penderita SLE dengan nefropati lupus yang
mengalami kehamilan obat golongan ini sebaiknya dihindarkan.
6.
Siklosporin
Pemberian siklosporin dosis 2,5-5 mg/kgBB/hari pada umumnya dapat ditoleransi dan
menimbulkan perbaikan yang nyata terhadap proteinuria, sitopenia, parameter imunologi (C3,
C4, anti-ds DNA) dan aktifitas penyakit. Jika kreatinin meningkat lebih dari 30% atau timbul
hipertensi maka dosisnya harus disesuaikan efek samping yang sering terjadi adalah
hipertensi, hiperplasia gusi, hipertrikhosis, dan peningkatan kreatinin serum. Siklosporin
terutama bermanfaat untuk nefritis membranosa dan untuk sindroma nefrotik yang refrakter,
sehingga monitoring tekanan darah dan fungsi ginjal harus dilakukan secara rutin. Siklosporin
A dapat diberikan pada penderita nefropati lupus yang hamil, diberikan dengan dosis 2
mg/kgBB/hari karena relatif aman
7
Anti malaria
Obat anti malaria yang digunakan pada SLE adalah hidroksiklorokuin, klorokuin, dan
quinakrin. Digunakan untuk keluhan konstitusional, manifestasi di kulit, musculoskeletal dan
serositis. Kombinasi obat antimalaria memiliki efek sinergis dan digunakan bila penggunaan
satu macam obat tidak efektif. Hidroksiklotokuin (200–400 mg/hari) dan Quinakrin (100
mg/hari) sebagai steroid sparing agent memiliki efek samping yang ringan dan reversibel,
yaitu perubahan warna kulit menjadi kekuningan.
Mekanisme bagaimana hidroksiklorokuin mencegah kerusakan organ belum jelas.
Hidroksiklorokuin menurunkan kadar lipid dan kemungkinan anti trombotik. Yang perlu
diperhatikan adalah efek samping pada mata meskipun relatif aman bila digunakan pada dois
rendah (< 6,5 mg/kgBB/hari). Namun demikian rekomendasi saat ini adalah melakukan
pemeriksaan mata sebelum mulai pengobatan dan setiap 6 – 12 bulan kemudian. Antimalaria
jarang sekali menyebabkan kelainan kongenital pada
janin.
Oleh karena itu
direkomendasaikan untuk diberikan juga pada penderita nefropati lupus yang hamil dan dapat
diberikan sampai masa menyusui. Kejadian IUGR juga berkurang dengan pemberian
hidroksiklorokuin.

Terapi gejala SLE
Kortikosteroid
Kortikosteroid efektif untuk menangani berbagai macam manifestasi klinis SLE. Sediaan topikal
atau intralesi digunakan untuk lesi kulit, sediaan intra artikular digunakan untuk artritis,
sedangkan sediaan oral atau parenteral untuk kelainan sistemik. Pemberian per oral dosisnya
bervariasi dari 5-30 mg prednison (metilprednisolon) per hari secara tunggal atau dosis terbagi,
efektif untuk mengobati keluhan konstitusional, kelainan kulit, arthritis dan serositis. Seringkali
kortikosteroid diberikan bersamaan dengan antimalaria atau imunomodulator dengan tujuan untuk
mendapatkan induksi yang cepat kemudian diturunkan dosisnya. Adanya keterlibatan organ
penting seperti nefritis, cerebritis, kelainan hematologi atau vaskulitis sistemik, umumnya
memerlukan prednison dosis tinggi (1-2 mg/kgBB/hari). Kortikosteroid parenteral juga dapat
digunakan pada keadaan yang sangat berat, mengancam jiwa, dengan dosis metilprednisolon
bolus 1000 mg selama 3 hari berturut-turut.
Efek yang tidak dikehendaki pada pemberian glukokortikoid lama antara lain habitus
cushingoid, peningkatan berat badan, hipertensi, infeksi, fragilitas kapiler, akne, hirsutism,
percepatan osteoporosis, nekrosis iskemi tulang, katarak, glaucoma, diabetes mellitus, myopati,
hipokalemia, menstruasi yang tidak teratur, iritabilitas, insomnia, dan psikosa. Oleh karenanya
setelah aktifitas penyakit terkontrol, dosis kortikosteroid harus segera diturunkan atau kalau
mungkin dihentikan atau diberikan dalam dosis terkecil selang sehari.
Untuk meminimalisasi osteoporosis, dapat diberikan suplemen kalsium 1000 mg/ hari pada pasien
dengan eksresi kalsium urin 24 jam lebih dari 120 mg. Diberikan pula vitamin D 50.000 unit 1-3
kali seminggu (monitor hiperkalsemia). Dalam mencegah osteoporosis dapat pula diberikan
kalsitonin dan bifosfonat (alendronat, didronel atau actonel). Kortikosteroid pada umumnya dapat
ditoleransi dengan baik selama kehamilan meskipun dapat menimbulkan eksaserbasi diabetes dan
hipertensi. Tidak terdapat bukti bahwa kortikosteroid menyebabkan defek kongenital tetapi
mungkin dapat menyebabkan berat badan bayi lahir rendah dan ketuban pecah dini.
NSAID (Non Steroid Anti Inflammatory Drug)
NSAID digunakan untuk mengatasi keluhan nyeri muskuloskeletal, pleuritis, perikarditis
dan sakit kepala. Efek samping NSAID pada ginjal, hati, sistem saraf pusat harus dibedakan
dengan aktifitas lupus yang menghebat. Adanya proteinuria yang baru timbul atau perburukan
fungsi ginjal dapat disebabkan oleh aktifitas SLE atau efek NSAID. NSAID juga dapat
menyebabkan meningitis aseptik, sakit kepala, psikosis dan gangguan kognitif, meningkatkan
serum transaminase secara reversibel. Gangguan gastrointestinal merupakan efek samping paling
sering ditimbulkan oleh inhibitor COX non-selektif. Inhibitor COX-2 selektif lebih sedikit efek
sampingnya pada gastrointestinal. Pada penderita SLE dengan nefropati lupus yang mengalami
kehamilan obat golongan ini sebaiknya dihindarkan karena dapat mengakibatkan kelainan
kongenital dan dieksresikan dalam air susu.
Plasmaferesis
Peranan plasmaferesis pada nefropati lupus masih kontroversi. Indikasinya adalah kasus lupus
disertai krioglobulinemia, sindroma hiperviskositas dan TTP (Thrombotyc Thrombocytopenic
Purpura).
Immunoglobulin Intravena
Immunoglobulin intravena (IV Ig) adalah imunomodulator dengan mekanisme kerja yang luas,
meliputi blokade reseptor Fc, regulasi komplemen dan sel T. Tidak seperti immunosupresan, IV Ig
tidak mempunyai efek meningkatkan risiko terjadinya infeksi. Dosis 400 mg/kgBB/hari selama 5
hari berturut-turut memberikan perbaikan pada trombositopeni, artritis, nefritis, demam,
manifestasi kulit dan parameter immunologis. Efek samping yang terjadi adalah demam, mialgia,
sakit kepala dan artralgia, serta kadang meningitis aseptik. Kontraindikasi diberikan pada
penderita SLE dengan defisiensi IgA.
2. Lupus eritematosus discoid
B. Definisi
Lupus Eritematosus Diskoid adalah penyakit kulit yang
menyebabkan skuama dan lesi kemerahan pada kulit yang
diperparah oleh paparan sinar matahari. Bercak merah biasanya
berbentuk koin pada kulit. Tempat yang paling utama untuk lesi LED
biasanya terjadi pada muka, leher, dahi, telinga, dada, bahu dan
punggung atas. Lesi bagian tengah biasanya berwarna cerah
dibandingkan dengan bagian pinggir lesi yang berwarna lebih gelap
dari kulit normal.
C. Penyebab
Lupus Eritematosus Diskoid diperkirakan sebagai penyakit yang autoimun.
Kelainan autoimun terjadi ketika sel imun salah arah menyerang tubuh sendiri.
Normalnya sel imun bekerja mengenali dan menghancurkan invasi luar, seperti
bakteri, virus, dan jamur. Insiden bertambah tinggi pada mereka dengan kombinasi
HLA. Biasanya dipicu oleh sinar matahari. Penyebab yang pasti dari LED belum
diketahui. Para ahli mempercayai bahwa kombinasi genetik, lingkungan dan factor
hormonal terlibat dalam pembentukan LED. Karena tidak ada gen spesifik untuk LED
ditemukan, para peneliti talah menemukan beberapa gen yang berkontribusi pada
pembentukan penyakit ini. Dan beberapa orang yang mempunyai gen ini
meningkatkan resiko dalam pembentukan LED. Penyakit dapat pula diinduksi oleh
obat, misalnya prokainamid, hidantoin, griseufulvin, fenil butazone, penisilin,
streptomisin, tetrasiklin, dan sulfonamide dan disebut sebagai SLE like sindrom.
[8,16,
18, 20]
Paparan sinar matahari [radiasi ultraviolet] memerankan peran penting dalam
beberapa kasus LED. Kebanyakan rush LED terjadi pada daerah yang terpapar
langsung sinar matahari. Paparan sinar matahari dapat memicu pembentukan rush
yang baru. Pada beberapa orang, penyakit ini menghilang selama musim dingin,
dimana terdapat sedikit matahari. Stress psikologi dan infeksi virus atau bakteri pada
kulit juga dapa memicu timbulnya LED. LED tidal menular, penyakit ini tidak
menular dengan kontak kulit atau berganti-ganti barang pribadi seperti handuk, sisir
atau silet cukur.
D. Gejala
Pada Lupus Eritomatosus Diskoid, lesi kulit berbentuk bulat dan
timbul. Rush kemerahan ini berukuran 5-10 mm dengan bagian tengah
biasanra lebih cerah dari pada bagian tepinya. Permukaan lesi biasanya
‘warty’. Biasanya tidak terdapat gatal atau nyeri berhubungan dengan lesi.
Biasanya terjadi di wajah, telinga, leher, dahi, dada, punggung, dan lengan..
Karena lesi biasa bertambah besar, lesi tersebut dapat menjadi menipis dan
melebar. Tanpa pengobatan, batas-batas lesi secara bertahap tahap melebar
keluar dengan bagian tengah yang mongering [menjadi lebih cerah] dan
semakin tipis menyebabkan jaringan parut. Lesi jarang nyeri dan jarang gatal.
Ketika lesi LED sembuh, lesi tersebut meninggalkan lapisan tipis pada kulit
[8,14,18]
kadang LED akan tampil di wajah pada lesi berbentuk kupu-kupu
[butterfly erythema] yang menutup pipi dan hidung. Lesi ini menyebabkan
jaringan parut kecil tapi menyebar yang disebabkan kapiler yang menebal
yang biasa terjadi di wajah. Lesi dapat timbul di bibir dan di dalam mulut. Jika
lesi terjadi di dahi, maka dapat menyebabkan rontoknya folikel rambut dan
menghasilkan daerah botak secara permanen. Orang dengan LED biasanya
sensitive terhadap sinar matahari. Kulit mereka sering terlihat seperti terbakar
sinar matahari dan sinar matahari sering memperburuk keadaan mereka.
E. Mekanime LED di lihat dari gangguan sistem imun
Lupus eritematosus Diskoid dimulai dengan mutasi somatic pada sel asal
limfositik [lymphositic stem cell] pada orang yang mempunyai predisposisi. Faktor
genetik memang ada. Pada LED, sel imun yang menyerang dipercaya sebagai salah
satu tipe dari sel darah putih [leukosit] yaitu limfosit T. Lesi pada kulit dan jaringan
parut merupakan hasil dan proses inflamasi dan berkarakteristik berupa lesi diskiod.
Terjadi peningkatan HLA-B7, -B8, -DR2, -DR3 dan – DQA0102 dan
penurunan HLA-A2 telah dilaporkan pada pasien penderita Lupus Eritematoses
Diskoid. KOmbinasi dari HLA-DR3, HLA-DQA0102 dan HLA-B7 diperkirakan
memiliki resiko yang maksimum untuk LED. LED juga meningkat terjadi pada
wanita dengan karier X-linked penyakit granulomatous kronik. Pada pasien LED baik
laki-laki maupun perempuan usia 15 - 39 tahun terjadi peningkatan insiden HLA-B7,
dan perempuan lebih 40 tahun terjadi peningkatan insiden HLA-B8. [11]
Patogenesisnya juga diduga berhubungan dengan sistem imun yaitu terjadi
gangguan otoimun dan berhubungan dengan genetik tiap individu, dimana gangguan
otoimun ini terjadi ketika sel-sel imunitas salah mengenali antigen sehingga
rnenyerang tubuh sendiri. Normalnya, sel imunitas bekerja untuk mengenali dan
membantu menyerang benda asing misalnya bakteri, virus dan jamur yang masuk ke
dalam tubuh, namun dengan adanya gangguan sistem imun, sel imun tersebut salah
mengenali jaringan-jaringan tubuh dianggap sebagai benda asing dan kemudian akan
menyerang dan menghancurkan jaringan tubuh tersebut. Interleukin [IL]-1 reseptor
antagonis dan faktor nekrosis tumor [TNF-α] polimorfik gen telah disebut sebagai
faktor genetik dari LE. Ditemukan peningkatan prevalensi dari polimorfik promotor
dari TNF- α [308A] pada pasien LE.
F. Pengobatan
pengobatan yang diberikan pada lupus tipe DLE adalah tergantung
kepada tingkat keparahan yang diderita dan kabar baiknya,
penyakit lupus tipe DLE ini tidak menyerang organ vital dalam
tubuh seperti ginjal, paru, otak, hati, darah, dsb, seperti halnya
lupus tipe SLE. Berkaitan dengan hal ini pula, penderita tidak harus
mengkonsumsi
beberapa
obat
lupus
yang
dikonsumsi
oleh
penderita lupus tipe SLE yang sebagian besar merupakan obat
berdosis tinggi yang memiliki efek samping. Informasi mengenai
efek samping obat lupus dapat membaca artikel sebelumnya
mengenai:
1. Biasanya obat yang direkomendasikan dokter adalah Kortison, atau
Antimalarial. Selain menjalani pengobatan yang harus dikonsumsi
secara rutin, penderita juga harus melindungi kulitnya dari terik
matahari secara langsung, juga menghindari stress, kelelahan, hindari
rokok dan alkohol, juga berolahraga teratur.
Bagi pasien yang menderita lupus tipe DLE, disarankan agar
memeriksakan dirinya ke dokter spesialis dibidang dermatologi dengan
dibawah pengawasan dokter lupus.
2. Lupus tipe DLE: Bisakah Menjadi Lupus tipe SLE?
Jawabannya adalah BISA! Namun kemungkinannya terbilang kecil.
Berdasarkan catatan penderita lupus hingga saat ini, hanya ditemukan
sekitar 5% penderita lupus DLE yang mengalami lupus flare dan
berkembang menjadi lupus tipe SLE yang lebih merepotkan. Pada
umumnya, penyakit lupus yang mulai berkembang menjadi lupus tipe
SLE akan mengalami gejala awal berupa sakit sendi, otot, merasa
demam, kelelahan, dan gejala lain lupus SLE lainnya yang disebutkan
pada artikel lainnya: Gejala Penyakit Lupus Tipe SLE
DAFTAR PUSTAKA
http://rony-wahyudi.blogspot.com/2012/10/lupus-eritematosus-sistemik.html
http://dokita.co/blog/penyakit-lupus-lupus-eritematosus-sistemik/
http://penyakit-lupus.com/jenis-penyakit-lupus-systemic-lupuserythematosus-sle/
http://internershs.com/home3/index.php?
option=com_content&task=view&id=78&Itemid=124
http://jayarasti.blogspot.com/2008/02/lupus-eritematosus-diskoid-led.html
Belmont
HM.
Lupus
Clinical
http://www.cerebl.com/lupus/nephritis.php
Overview.
2007.
Available
at:
Brent LH. Lupus Nephritis. 2007. Available at: http://www.eMedicine.com/med/tipe1957.htm
Kalunian KC. Definition, Classification, Activity and Damage Indices. In: Wallace DJ, Hahn BV.
Dubois’ Lupus Erythematosus. 5th ed. Williams & Wilkins; 1997. p.19-30.
4.
Hess EV and Mongey AB. The role of the Environment in Systemic Lupus Erythematosus and
Associated Disorders. In: Wallace DJ, Hahn BV. Dubois’ Lupus Erythematosus. 5 th ed. Williams
& Wilkins; 1997. p.31-48.
5.
Hochberg MC. The Epidemiology of Systemic Lupus Erythematosus. In: Wallace DJ, Hahn BV.
Dubois’ Lupus Erythematosus. 5th ed. Williams & Wilkins; 1997. p.49-68
6.
Hahn BV. An Overview of the Pathogenesis of Systemic Lupus Erythematosus. In: Wallace DJ,
Hahn BV. Dubois’ Lupus Erythematosus. 5th ed. Williams & Wilkins; 1997. p.69-76.
7.
Salmon JE. Abnormalities in Immune Complexe Clearance and FC∂-Receptor Function. In:
Wallace DJ, Hahn BV. Dubois’ Lupus Erythematosus. 5 th ed. Williams & Wilkins; 1997. p.221244.
8.
Schur PH. Complement and Systemic Lupus Erythematosus. In: Wallace DJ, Hahn BV. Dubois’
Lupus Erythematosus. 5th ed. Williams & Wilkins; 1997. p.245-262.
9.
Wallace DJ. The Clinical presentation of Systemic Lupus Erythematosus. In: Wallace DJ, Hahn
BV. Dubois’ Lupus Erythematosus. 5th ed. Williams & Wilkins; 1997. p.627-634.
10. Kashgarian M. Lupus Nephritis: Pathology, Pathogenesis, Clinical Correlations and Prognosis.
In: Wallace DJ, Hahn BV. Dubois’ Lupus Erythematosus. 5 th ed. Williams & Wilkins; 1997.
p.1037-1052.
11. Wallace DJ, Hahn BV, and Klippel JH. Lupus Nephritis. In: Wallace DJ, Hahn BV. Dubois’ Lupus
Erythematosus. 5th ed. Williams & Wilkins; 1997. p.1053-1066.
Download