bio.unsoed.ac.id

advertisement
II. TELAAH PUSTAKA
Tanaman teh merupakan tanaman yang tidak tahan terhadap kekeringan, oleh
karena itu menghendaki daerah dengan curah hujan yang cukup tinggi dan merata. Di
Indonesia secara umum dapat dikatakan bahwa makin tinggi letak kebun teh dari
permukaan laut maka makin tinggi pula kualitas teh yang dihasilkan. Di daerah-daerah
dengan ketinggian tempat antara 700-1000 m dpl, kebun selalu menghasilkan hasil yang
baik sekali kualitasnya. Selain itu tanaman teh dapat tumbuh sampai ketinggian sekitar
6-9 m. Perkebunan tanaman teh dipertahankan hanya sampai sekitar 1 m tingginya
dengan pemangkasan secara berkala (Adisewojo, 1982).
Setiap klon teh mempunyai sudut duduk daun, luas daun, kerapatan trikoma
daun, dan panjang trikoma daun yang berbeda dengan klon lain (Sodiq, 2009). Klon
tanaman teh diduga akan menjadi salah satu faktor yang sangat berpengaruh terhadap
kepadatan populasi tungau predator Phytoseius sp. hal ini berkaitan dengan morfologi
tanaman terutama morfologi daun, mutu daun, bentuk permukaan daun dan umur daun
(van de Vrie et al., 1972). Selain jenis klon, faktor abiotik sangat berpengaruh,
diantaranya temperatur udara, kelembaban udara, dan curah hujan (Praslicka et al.,
2000).
Adanya perbedaan sifat klon tanaman teh akan mempengaruhi penyebaran
tungau hama pada tanaman teh. Menurut Sudoi et al., (1991) bahwa survivalitas tungau
berbeda-beda pada klon yang berbeda. Perbedaan sifat-sifat klon tanaman teh juga akan
mempengaruhi penyebaran tungau predator. Menurut Pemberton & Turner (1989)
tungau predator menggunakan daun untuk tempat beristirahat dan meletakkan telur,
juga tempat mencari makan (mangsa).
Salah satu tungau predator yaitu Phytoseius sp. adalah kosmopolitan dan
menyebar dalam area yang sangat luas sehingga dapat ditemukan pula pada berbagai
tanaman perkebunan antara lain teh, mangga, jeruk dan apel. Phytoseius sp. merupakan
bio.unsoed.ac.id
tungau predator dengan jelajah yang sangat luas. Kemampuan menyebar yang tinggi ini
menjelaskan kemampuan tungau predator mencari iklim mikro untuk bertahan hidup
dan melestarikan keturunannya (Budianto, 2001).
Crooker (1985) & Zundel et al., (2009) mengemukakan bahwa kondisi
lingkungan seperti kelembaban udara yang rendah dan suhu yang tinggi akan
menyebabkan terjadinya peningkatan populasi tungau hama dan menurunkan
biodiversitas tungau predator. Budianto (2001) mengemukakan bahwa kelangkaan
4
mangsa dapat mengurangi lama waktu perkembangan, kelulushidupan dan fekunditas
tungau predator. Menurut Jatala (1986) kelimpahan tungau predator dipengaruhi oleh
ketinggian tempat, karena ketinggian mempengaruhi keadaan mikroklimat yang
meliputi suhu dan kelembaban yang pada gilirannya akan mempengaruhi kemampuan
predasi tungau predator terhadap tungau hama, dimana kemampuan predasi tungau
predator optimal pada suhu berkisar 20°C-25°C, dan akan menurun pada suhu 28°C30°C.
Salah satu kondisi lingkungan yang berpengaruh terhadap kemampuan predasi
diantaranya fotoperiodisitas. Fotoperiodisitas adalah respon organisme terhadap lama
penyinaran yang dapat mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan organisme
tersebut (Hanan et al., 1978). Beck (1968) dalam Evan et al., (1996) mengemukakan
bahwa pengaruh fotoperiodisitas terhadap pertumbuhan dan perkembangan pada
tungau, seringkali berupa terjadinya diapause. Diapause adalah penurunan aktivitas
yang dimediasi neurohormonal, dapat berupa pelambatan morfogenesis, meningkatnya
ketahanan terhadap kondisi lingkungan ekstrim dan perubahan atau penurunan aktivitas
perilaku. Salah satu dari perubahan atau penurunan aktivitas berupa menurunnya
kemampuan predasi tungau predator.
Menurut Syafrina et al., (2013) seleksi mangsa oleh predator dapat dikaitkan
dengan salah satu dari dua mekanisme yang berbeda, yaitu pilihan predator aktif
atau predator pasif. Pilihan aktif terjadi ketika predator aktif memilih mangsa sesuai
dengan nilai gizi, sementara karakteristik fisik (ukuran) atau perilaku (mobilitas)
mangsanya tidak mempengaruhi pemilihan. Seleksi pasif adalah hasil dari peluang
predasi berdasarkan karakteristik fisik atau perilaku mangsa (kerentanan), bukan pilihan
yang aktif. Misalnya, mobilitas spesies mangsa yang berbeda dapat mempengaruhi
pertemuan mereka dengan tingkat predator dan dengan demikian mempengaruhi
mereka kerentanan terhadap predasi.
Siklus hidup tungau predator terdiri dari telur, larva, protonimfa, deutonimfa,
bio.unsoed.ac.id
dan imago. Telur memiliki bentuk oval memanjang dan berwarna bening. Kelembaban
yang tinggi yaitu berkisar 90-100%, dibutuhkan untuk penetasan telur. Perilaku makan
larva berbeda untuk beberapa spesies. Beberapa spesies tungau predator memiliki
stadium larva yang tidak makan, sementara larva beberapa spesies membutuhkan
makanan untuk perkembangannya. Pada umumnya perkembangan tungau predator lebih
cepat dibandingkan dengan tungau Tetranychus sp. Sebagian besar tungau predator
membutuhkan
waktu
sekitar
satu
minggu
5
untuk
perkembangannya. Beberapa
spesies Phytoseiulus bahkan dapat menyelesaikan siklus hidupnya dalam waktu 4 hari.
Famili Phytoseiidae bersifat pseudo-arrhenotokous, yaitu menghasilkan keturunan
jantan haploid dari telur yang dibuahi yang akan kehilangan genom induk pada awal
perkembangan (Walter & Proctor, 1999).
Secara alamiah, pengendalian berbagai jenis tungau sebagaimana telah
dijelaskan dilakukan oleh berbagai jenis agen pengendali alamiah yang tergolong ke
dalam tungau juga. Pemanfaatan tungau predator yaitu pemangsa secara langsung
tungau hama dari berbagai jenis tungau (tungau yang bersifat predator) sebagai
pengendali alamiah, merupakan salah satu teknik pengendalian yang disarankan oleh
para ekologis (Affandi, 2008). Price (1997) menyatakan bahwa keragaman spesies yang
tinggi mengindikasikan keseimbangan ekologi dan stabilitas dalam komunitas di mana
populasi setiap spesies relatif konstan sepanjang waktu.
Populasi cenderung diatur oleh komponen-komponen fisik seperti cuaca, faktor
kimia yang membatasi pencemaran dalam ekosistem yang mempunyai keanekaragaman
rendah atau dalam ekosistem yang menjadi sasaran gangguan-gangguan luar yang tidak
dapat diduga, sedangkan dalam ekosistem yang mempunyai keanekaragaman tinggi,
populasi cenderung dikendalikan secara biologi dan seleksi alam. Faktor negatif
ataupun positif bagi populasi adalah, ketidaktergantungan pada kepadatan (density
independent), apabila pengaruhnya tidak tergantung dari besarnya populasi, contohnya
iklim. Ketergantungan pada kepadatan (density dependent), apabila pengaruhnya pada
populasi merupakan fungsi dari kepadatan, contohnya faktor biotik (persaingan) (Odum,
1993).
Relung (niche) merupakan gabungan khusus antara faktor fisik dan kaitan biotik
yang diperlukan oleh suatu jenis untuk aktivitas hidup dan eksistensi yang
berkesinambungan dalam komunitas (Soetjipto, 1992), dijelaskan lagi oleh (Novarino,
2008) bahwa relung (niche) juga mencakup ruang fisik yang diduduki organisme, dan
peran lingkungan tempat tinggalnya, sehingga relung ekologi dapat dikatakan sebagai
bio.unsoed.ac.id
relung atau ruangan habitat.
Relung ekologi dikenal istilah lebih inklusif yang meliputi tidak saja ruang secara
fisik yang didiami oleh suatu makhluk, tetapi juga peran fungsional dalam komunitas
serta kedudukan makhluk itu di dalam kondisi lingkungan yang berbeda (Odum, 1993).
Relung (niche) menunjukkan peranan fungsional dan posisi suatu organisme dalam
suatu komunitas atau ekosistem tertentu (Indriyanto, 2006).
6
Download