BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Gambaran Umum Bambu Bambu adalah kumpulan rumput-rumputan berbentuk pohon atau perdu yang melempeng dengan batang-batangnya yang biasa tegak, kadang-kadang memanjat, mengayun dan bercabang-cabang dapat mencapai umur panjang dan pada umumnya mati tanpa berbunga (Heyne 1987) . Menurut Yap (1967) bambu adalah suatu rumput perenial dengan batang-batang yang berkayu (wood steems, culms). Adapun taksonomi bambu menurut Lembaga Biologi Nasional (1997) masuk kedalam Divisi Spermatophyta, Monocotyledones, Ordo Graminaseae, Subdivisi Angiospermae, Klas Family Graminae, Sub Family Bambusideae. Bambu dapat tumbuh di daerah tropis, subtropis, dan daerah beriklim sedang di seluruh benua kecuali Eropa dan Asia Barat, dari dataran rendah sampai ketinggian 4000 mdpl. Bambu merupakan tumbuhan yang banyak terdapat di hutan atau lahan yang ada di tepi sungai. Bambu merupakan tanaman tahunan dan dibedakan atas dua kelompok berdasarkan cara tumbuhnya, pertama jenis yang tumbuhnya berumpun (simpodial), dan yang kedua merupakan jenis yang tidak berumpun (monopodial), Tipe rumpun bambu di Indonesia pada umumnya adalah simpodial (Lembaga Biologi Nasional 1997). Di Indonesia, bambu paling banyak dibudidayakan di pulau Jawa, Bali dan Sulawesi. Oleh karena itu bambu telah lama dikenal dengan baik oleh masyarakat Indonesia karena memegang peranan yang sangat penting dengan fungsi yang serba guna (Sastrapraja et al. 1980). Di Indonesia diketahui terdapat 143 jenis bambu. Di Jawa di perkirakan ada 60 jenis, diantaranya 16 jenis diperkirakan tumbuh juga di pulau-pulau lainnya, 26 jenis merupakan jenis introduksi, namun 14 jenis diantaranya hanya tumbuh di Kebun Raya Bogor dan Cibodas. Dengan demikian jenis asli yang hanya tumbuh di Jawa ada 9 jenis, yang merupakan jenis endemik (Widjaja 2001). 4 2.2. Sifat Anatomi Bambu Bambu merupakan batang berkayu yang mempunyai sifat anatomi sangat berbeda dengan kayu. Jaringan bambu terbangun dari sel-sel parenkim dan gugusgugus vaskuler yang kaya akan buluh-buluh. Gugus-gugus ini terdiri dari buluh – buluh, serat-serat berdinding tebal dan pipa-pipa ayakan. Pergerakan air melalui buluh-buluh sedangkan elemen serat-serat memberikan kekuatan bambu. Pada bambu tidak terdapat elemen-elemen sel yang radial seperti jari-jari dalam kayu, sedangkan diluar dan di dalam bambu ditutupi oleh suatu kutikula (Yap 1967). Buluh bambu tersusun atas bagian ruas dan buku. Pada bagian ruas orientasi sel-selnya adalah aksial, sedangkan pada bagian buku dilengkapi dengan sel-sel yang bersambungan transversal. Bagian terluar buluh bambu terbentuk oleh lapisan tunggal sel epidermis dan bagian dalam dilapisi oleh sel skerenkim. Struktur anatomi dari sisi transversal ditunjukkan dengan adanya ikatan pembuluh dengan ukuran , bentuk, penyebaran dan jumlah yang bervariasi. Ikatan pembuluh berbeda dengan jaringan dasar parenkim yang mempunyai warna yang lebih terang (Liese 1980). 2.3. Sifat Fisis Bambu Bambu bersifat higroskopis seperti halnya kayu, yakni kandungan air di dalam sel-selnya tergantung pada suhu dan kelembaban udara di sekitarnya. Bagian buku bambu mangandung kadar air lebih kecil 10% dibandingkan bagian ruas. Pada bambu tua, kadar air pangkal batang lebih besar daripada bagian ujung dengan perbedaan berkisar antara 50% atau lebih (Yap 1967). Berat jenis bambu bervariasi (0,5-0,8) juga bergantung pada ukuran sel, ketebalan dinding sel dan hubungan antara jumlah sel berbagai bentuk (Yap 1967). 2.4. Bambu Tali (Gigantochloa apus (J.A. dan J.H. Schultes) Kurz) Jenis bambu ini ditanam di seluruh Jawa, tetapi juga tumbuh liar di Taman Nasional Alas Purwo dan Meru Betiri. Bambu ini mempunyai rumpun yang simpodial, rapat dan tegak. Buluhnya mencapai ketinggian 22 cm, lurus, dan berwarna hijau. Percabangannya mencapai 1,5 m di permukaan tanah, terdiri atas 5-11 cabang, satu lateral lebih besar daripada cabang lainnya, ujung buluh melengkung. Buluh muda tertutup bulu coklat tersebar, tetapi luruh ketika sudah 5 tua dan berwarna hijau. Ruas panjangnya 20-60 cm, dengan diameter 4-15 cm, dinding tebalnya mencapai 15 mm. Pelepah buluh bambu ini tidak mudah luluh, tertutup bulu hitam atau coklat, kuping pelepah buluh seperti bingkai, tinggi 1-3 mm dengan bulu kejur panjangnya mencapai 7 mm menggerigi, tinggi 2-4 mm, gundul. Daun pelepah buluh tertekuk balik, membentuk segitiga dengan pangkal sempit. Daunnya berukuran 13-49 cm x 2-9 cm, dimana bagian bawah daun agak berbulu. Kuping pelepah daun kecil dan membulat, tinggi 1-2 mm, gundul, ligula rata dengan tinggi 2 mm (Widjaja 2001). Bambu tali mempunyai berat jenis sekitar antara 0,47-0,69 dengan ratarata 0,60. Penyusutan volume dari keadaan basah sampai kering udara 9,5616,28%, sedangkan penyusutan volume dari kering udara sampai kering tanur 2,56-6,59%. Bambu tali mempunyai MOE 108557,74 kg/cm2, MOR 1330,44 kg/ cm2, tekan sejajar serat 455,57 kg/cm2, sedangkan tarik sejajar serat 2059 kg/cm2 (Ardianto 1995). Jenis bambu tali banyak diusahakan oleh penduduk setempat karena kegunaannya yang bermacam-macam, antara lain buluhnya untuk bahan bangunan (dinding, lantai, langit-langit dan atap) dan sebagai bahan baku dalam pembuatan kerajinan. Di Jawa Barat, bambu tali telah dimanfaatkan sebagai bahan baku industri papan serat bambu yang diproduksi oleh sebuah pabrik di Karawang (Widjaja 2001). Perbanyakan yang umum dilakukan pada bambu tali yaitu dengan rimpang atau potongan buluh. Perbanyakan dengan biji belum pernah dilakukan karena biji-biji jarang ditemukan (Sastrapraja et al. 1980). 2.5. Kayu Sengon (Paraserianthes falcataria L. Nielsen) Kayu sengon mempunyai ciri umum kayu teras berwarna putih atau coklat muda, sedangkan kayu gubal umumnya tidak berbeda dengan kayu teras. Tekstur kayu agak kasar dan merata. Arah serat lurus, bergelombang lebar atau terpadu, serta permukaan kayu agak licin atau licin. Kayu sengon termasuk kedalan kelas awet IV-V dan keterawetan termasuk kelas sedang (Martawijaya et al, 1989). Dalam hal pengerjaan, kayu sengon merupakan jenis kayu yang mudah digergaji serta dalam hal pengujian sifat pemesinan menunjukkan bahwa kayu sengon dapat diserut, diamplas, dan dibentuk dengan baik. 6 Kayu sengon banyak digunakan oleh penduduk Jawa Barat untuk bahan perumahan antara lain sebagai papan, tiang, kaso, dan balok. Selain itu, kayu sengon dapat juga digunakan sebagai bahan baku kayu lapis, pulp, papan partikel dan kayu bakar. 2.6. Kayu Gmelina (Gmelina arborea Roxb) Gmelina memilki ciri umum kayu teras berwarna putih atau putih kekuningan, gubal putih, kadang-kadang kehijauan, tidak tegas batas teras dan gubal. Memiliki corak polos, tekstur agak kasar sampai kasar, arah serat lurus sampai berpadu mempunyai permukaan yang sedikit mengkilap. Memiliki berat jenis rata-rata terendah 0,42 dan tertinggi 0,61. Termasuk kedalam kelas awet IV-V, kelas kuat III (II-IV). Kayu gmelina banyak digunakan sebagai bahan konstruksi ringan, kayu pertukangan, pembungkus, kerajinan, perabot rumah tangga, vinir hias, flooring, korek api, dan pulp (Mandang dan Pandit 2002). Pohon gmelina dapat tumbuh hingga ketinggian 1300 mdpl tetapi biasanya menjadi kerdil, tumbuh subur pada iklim dengan suhu rata-rata 21-280C, dengan curah hujan tahunan bervariasi dari 1800-2300 mm dengan 3-5 bulan kering dan kelembaban nisbi sekurang-kurangnya 40%. Pohon ini menyukai tanah dalam yang lembab dan kaya hara. Jika ditanam di tanah miskin hara, pertumbuhannya jelek dan hampir tidak dapat bersaing dengan gulma. Di hutan hujan, jenis ini merupakan tumbuhan pionir (Purnadjaja et al. 1998). 2.7. Kayu Afrika (Maesopsis eminii Engl) Kayu afrika tumbuh alami di Afrika mulai dari Kenya sampai Liberia antara 8o LU dan 6o LS. Pohon ini kebanyakan ditemukan di hutan tinggi dalam ekozone antara hutan dan sabana. Pada sebaran alami, jenis ini tumbuh di dataran rendah sampai hutan sub pegunungan sampai ketinggian 1800 mdpl. Jenis ini tumbuh dengan baik di daerah dengan curah hujan 1200-3600 mm/th. Dengan musim kering sampai 4 bulan (Joker 2002). Wahyudi et al (1990) diacu dalam Nurmeryteni (2007) menyebutkan bahwa kayu afrika termasuk family Rhamnaceae. Ciri umum kayu ini antara lain, bagian gubal berwarna putih, sedangkan bagian terasnya kuning gelap sampai kecoklatan, tekstur kayu sedang sampai kasar dan berserat lurus berpadu. Kayunya berbau 7 masam, dan rasanya pahit. Jenis pohon ini termasuk cepat tumbuh dan berkekuatan sedang – kuat. Kayu ini banyak dimanfaatkan untuk konstruksi, kotak, dan tiang. Menurut klasifikasi kelas kuat kayu di Indonesia, kayu afrika termasuk kelas kuat III-IV dengan BJ rata-rata 0,39-0,44. Kayu afrika banyak ditanam untuk sumber kayu bakar, daunnya digunakan untuk pakan ternak karena kandungan bahan keringnya mencapai 35% dan dapat dicerna dengan baik oleh ternak. Pulp dari jenis ini sebanding dengan pulp sebagai jenis kayu keras umumnya. Kayu afrika selalu hijau atau luruh, tinggi mencapai (15-25) m. Batang lurus dengan garis tengah (50-180) cm, akar papan kecil atau bahkan tidak ada kulit batang halus atau beralur dalam dan vertikal. Umumnya daun hampir berhadapan bersilang, tunggal. Daun berbentuk bulat telur-jorong sampai bulat telur memanjang, pangkal daun membulat sampai menjantung, ujung daun meruncing, tepi daun beringgit. Perbungaan majemuk, aksiler tak berbatas berukuran 1-5 cm, tangkai bunga 4-25 mm, bunga banci, terdiri dari 5 daun mahkota, berwarna kuning kehijauan. Buah keras berbentuk bulat telur sungsang, secara berangsurangsur warna buah berubah, semakin tua warnanya berubah dari hijau menjadi kuning hingga ungu kehitaman (Nurmeryteni 2007). Kayu afrika umumnya ditanam di pekarangan rumah sebagai pohon peneduh, sebagai sumber kayu bakar dan bahan bangunan (ringan atau berat), pulp, papan partikel, tiang lantai dan bangunan kapal. Sedangkan daunnya dimanfaatkan sebagai pakan ternak. Dikarenakan pertumbuhannya yang cepat, pohon ini ditanam luas utamanya sebagai kayu bakar. Di Jawa, pohon ini biasanya ditanam di sepanjang tepi jalan atau sebagai pohon pembatas. Jenis ini juga dimanfaatkan untuk merehabilitasi lahan dan perhutanan sosial. (Nurmeryteni 2007) 2.8. Produk Struktural Bambu Komposit Belakangan ini bambu mulai dipakai untuk membuat bambu lapis yang cukup menarik. Ternyata bambu cukup kuat sebagai bahan penyusun kayu lapis. Kliwon dan Iskandar (1994) menunjukan keteguhan rekat bambu lapis tripleks dan multipleks telah memenuhi standard Indonesia dan Jepang. Keteguhan tarik 8 bambu lapis lebih tinggi daripada kayu lapis murni baik untuk arah sejajar maupun tegak lurus serat. Produk bambu komposit tidak hanya digunakan sebagai bahan konstruksi sebagai lantai dan dinding saja, tetapi dapat juga digunakan sebagai tujuan khusus seperti mebel, peti kemas, bak truk dan keperluan khusus lainnya. Tujuan pengembangan papan bambu komposit adalah untuk memanfaatkan bambu sebagai bahan bangunan. Untuk itu telah dikembangkan produk-produk panel sebagai bahan bangunan dengan bahan dasar bambu. Produk tersebut mempunyai sifat-sifat khusus yang dapat digunakan pada sektor perumahan rumah sangat sederhana (RSS), mempunyai keunggulan tertentu untuk pemakaian khusus dan untuk di ekspor (Subiyanto et al. 1994). Tujuan awal pengembangan bambu laminasi adalah untuk konstruksi, namun setelah jadi, ternyata bambu laminasi bisa diperlakukan selayaknya solid wood lainnya. Selain itu, bambu bisa diiris, dibentuk, bahkan juga diukir. Proses pembuatan bambu laminasi, sebenarnya hampir sama dengan pembuatan kayu lapis. Nugroho (2000) telah melakukan penelitian tentang pengembangan beberapa metoda dalam memproses bahan komposit dari bambu serta kajian strukturnya dalam beberapa produk komposit yang dikenal sebagai Bamboo Zephyr Board (BZB), Bamboo Binderless Board (BBB), Laminated Bamboo Lumber (LBL) dan Bamboo Reinforced Composite Beam (BRCB). Nugroho (2000) menyebutkan bahwa MOE dan MOR kayu solid, OSB dan papan partikel dengan pembebanan secara horizontal meningkat secara nyata bila diberikan perkuatan dengan lembaran bambu. Hindrawan (2005) mengatakan bahwa papan laminasi dengan jarak inti 0 cm memiliki nilai MOE yang paling tinggi, karena memiliki inti bambu yang lebih rapat daripada papan laminasi dengan jarak inti yang lain. Begitu pula dengan nilai MOR nya, semakin rapat jarak bambu inti, maka nilai MOR semakin tinggi dan sebaliknya. 2.9. Perekat Epoxy Perekat ini merupakan produk sintetik termoset dari reaksi resin polyepoxy dengan zat curing/ pengeras (asam/basa). Dapat diperoleh dalam bentuk sistem satu atau dua komponen. Sistem satu komponen meliputi resin cair bebas pelarut, 9 larutan, pasta resin cair, bubuk, pellet dan pasta. Sedangkan sistem dua komponen terdiri atas resin dan zat curing yang dicampur saat akan digunakan. Sistem ini juga mengandung plesmatik, pengencer reaktif, filler, pigmen dan zat resin lainnya (Hartomo et al. 1992). Waktu simpan 3 bulan sampai satu tahun, tergantung dari sistemnya. Pendinginan memperlama waktu simpan. Menurut Frick (1999), perekat epoxy merupakan perekat khusus yag digunakan untuk menghubungkan logam dengan kayu atau logam dengan logam. Pemakaian perekat epoxy amat luas, karena daya rekatnya yang sangat tinggi, dapat merekatkan berbagai macam benda seperti bahan-bahan logam, kayu, gelas, keramik, beton, plastik thermoset (polyester, phenolic). Perekat epoxy dapat disebut dengan lem serba guna, karena penggunaannya begitu luas. Pemakaian epoxy relatif mudah yaitu dengan mencampurkan komponen A dengan komponen B dengan perbandingan 1:1 (untuk sistem 2 komponen) kemudian diaduk sampai rata, maka perekat ini siap dipakai. Perekat epoxy tidak berubah kekuatannya meskipun telah bertahun-tahun dan tahan minyak, gemuk, BBM, alkali, pelarut aromatik, asam, alkohol juga panas atau cuaca dingin. Pemakaian perekat epoxy amat luas terutama pada bahan-bahan logam, gelas, keramik, kayu, beton dan plastik termoset. Hal yang harus diperhatikan dalam penggunaan perekat ini meliputi : a. Sebelum direkatkan, permukaan kedua benda yang direkatkan, harus dalam keadaan bersih dari debu, minyak, dan kotoran lainnya, permukaan yang kotor dan tidak seragam akan mengganggu daya rekatnya b. Pot life (umur campuran) lem jenis ini sangat pendek, hanya 1 jam