8 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Definisi Epilepsi Epilepsi adalah

advertisement
8
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Definisi Epilepsi
Epilepsi adalah kejang tanpa provokasi yang terjadi dua kali atau lebih dengan
interval waktu lebih dari 24 jam. Epilepsi dapat disebabkan oleh berbagai
penyakit dan gangguan yang berat misalnya malformasi kongenital, pasca infeksi,
tumor, penyakit vaskuler, penyakit degeneratif dan pasca trauma otak
( Soetomenggolo, 1999; Panayiotopoulos, 2005 ).
2.2 Klasifikasi Epilepsi
Klasifikasi dari epilepsi yang seragam dan diterima secara universal
merupakan sarana komunikasi untuk membandingkan dan mengevaluasi
penelitian ilmiah serta untuk pengobatan. Saat ini dikenal dua jenis klasifikasi
yang dipakai oleh ILAE ( International League Against Epilepsy ) tahun 1981
yaitu klasifikasi bangkitan atau serangan kejang dan klasifikasi sindrom epilepsi.
Klasifikasi serangan kejang merupakan klasifikasi kejang yang dibuat berdasarkan
manifestasi secara klinis dan EEG. Sebaliknya klasifikasi sindrom epilepsi adalah
klasifikasi epilepsi yang dibuat untuk mendiskripsikan kelompok yang
menunjukkan aspek sama dalam berbagai hal, baik manifestasi klinis, umur, dan
prognosis. Satu sindrom epilepsi dapat menunjukkan serangan kejang yang
bervariasi ( Sankar dkk., 2005; Panayiotopoulos, 2005 ).
Berdasarkan serangan kejang epilepsi dibagi menjadi tiga kelompok yaitu
kejang fokal ( penyebabnya terbatas pada satu bagian otak di salah satu hemisfer )
9
dan kejang umum ( adanya keterlibatan kedua hemisfer sebagai penyebab
kejang ), kejang unclassified ( kurangnya informasi terhadap kategori kejang ).
Kejang fokal dapat disertai atau tanpa penurunan kesadaran diklasifikasikan
menjadi kejang parsial sederhana, kejang parsial komplek, dan kejang parsial
sekunder menjadi umum. Kejang umum selalu disertai dengan penurunan
kesadaran diklasifikasikan menjadi kejang absanse, kejang absanse atipikal,
kejang mioklonik, kejang klonik kejang tonik, kejang tonik-klonik, dan kejang
atonik. Kejang unclassified didapatkan adanya gejala prodromal epilepsi, dimana
terjadi perubahan mood dan lekas marah beberapa jam sampai hari sebelum
terjadinya kejang ( Gurnett dan Dodson, 2009; Camfield dan Camfield, 2012 ).
2.3 Patofisiologi Epilepsi
Epilepsi adalah pelepasan muatan yang berlebihan dan tidak teratur di pusat
tertinggi otak. Sel saraf otak mengadakan hubungan dengan perantaraan pesan
listrik dan kimiawi. Terdapat keseimbangan antara faktor yang menyebabkan
eksitasi dan inhibisi dari aktivitas listrik ( Sankar dkk., 2005; Rho dan Stafstron,
2012 ).
Pada saat serangan epilepsi yang memegang peranan penting adalah adanya
eksitabilitas pada sejumlah neuron atau sekelompok neuron, yang kemudian
terjadi lepas muatan listrik secara serentak pada sejumlah neuron atau sekelompok
neuron dalam waktu bersamaan, yang disebut sinkronisasi. Terjadinya lepas
muatan listrik pada sejumlah neuron harus terorganisir dengan baik dalam
sekelompok neuron serta memerlukan sinkronisasi. Epilepsi dapat timbul karena
10
ketidakseimbangan antara eksitasi dan inhibisi serta sinkronisasi dari pelepasan
neural ( Christensen dkk., 2007; Kleigman, 2005 ).
Terdapat berbagai teori patofisiologi epilepsi, di antaranya adalah sebagai
berikut:
a. Ketidakseimbangan antara eksitasi dan inhibisi
Kejang parsial dan kejang parsial menjadi umum disebabkan oleh
karena ketidakseimbangan antara eksitasi dan inhibisi di otak. Eksitasi
berlebihan mengakibatkan letupan neuronal yang cepat saat kejang.
Luaran sinyal yang dikeluarkan dari neuron yang meletup cepat
merekrut sistem neuronal yang berhubungan melalui sinap, sehingga
terjadi pelepasan yang berlebihan. Sistem inhibisi juga diaktifkan saat
kejang, akan tetapi tidak cukup untuk mengontrol eksitasi yang
berlebihan, sehingga timbul kejang ( Rho dan Stafstron, 2012; Widjaja,
2004 ).
Excitatory Postsynaptic Potentials ( EPSPs ) dihasilkan oleh ikatan
molekul-molekul pada reseptor-reseptor yang menyebabkan terbukanya
saluran ion Na atau ion Ca dan tertutupnya saluran ion K yang
mengakibatkan terjadinya depolarisasi. Berlawanan dengan Inhibitory
Postsynaptic Potentials ( IPSs ) disebabkan karena meningkatnya
permeabilitas
membran
terhadap
Cl
dan
K,
yang
akhirnya
menyebabkan hiperpolarisasi membran. Keseimbangan antar eksitasi
dan inhibisi dipengaruhi oleh beberapa aspek seperti tercantum dalam
Tabel 2.3
11
Tabel 2.3 Keseimbangan antar eksitasi dan inhibisi.
( Sumber: Dikutip dari Kumpulam Makalah Epilepsi Pertemuan
Nasional-1 )
Excitation
Neuronal Depolarization
EPSP
Actions Potentials
Inward Ionic Current
Long term excitatory plastic changes
Inhibition
Neuronal hyperpolarization
IPSP
Calcium-activated potassium potentials
Outward currents
Metabolic pump potentials
Spike frequency accommodation
Eksitasi
terjadi
melalui
beberapa
neurotransmitter
dan
neuromodulator, akan tetapi reseptor glutamat yang paling penting dan
paling banyak diselidiki untuk eksitasi pada epilepsi. Sedangkan
inhibitor utama neurotransmitter pada susunan saraf pusat adalah
Gamma Amino Butiric Acid ( GABA ). Semua struktur otak depan
menggunakan aksi inhibitor dan memegang peranan fisiopatogenesis
pada kondisi neurologis tertentu, termasuk epilepsi, kegagalan fungsi
GABA dapat mengakibatkan serangan kejang ( Rho dan Stafstron,
2012; Christensen dkk., 2007; Kleigman, 2005 ).
Terdapat tiga reseptor, yaitu GABA-A, GABA-B, dan GABA-C. Secara
tradisional yang berperan paling penting adalah inhibisi potensi
postsinaptik ( IPSPs ) cepat yang disalurkan oleh reseptor GABA-A.
Pengikatan GABA pada reseptor GABA-A membuka saluran klorida.
Masuknya ion klorida mengadakan hiperpolarisasi neuron, dan
selanjutnya mengadakan hambatan dengan cara menurunkan hambatan
( resistensi ) membran. Sedangkan reseptor GABA-B menghasilkan
12
hiperpolarisasi yang lebih dalam dan lebih lama, dinamakan IPSP
lambat atau potensial hiperpolarisasi lambat. Pada tahap inhibisi ini
adalah potensial non sinaptik dinamakan calcium-activated potassium.
Arus yang mendasari potensial ini terjadi oleh masuknya kalsium ke
dalam neuron, mengakibatkan aktivasi dari aliran kalium ke luar.
Penambahan respon terhadap reseptor GABA-B berguna untuk strategi
menghambat bangkitan yang berlangsung lama ( Sankar dkk., 2006;
Rho dan Stafstron, 2012 ).
b. Mekanisme sinkronisasi
Bertambahnya sinkronisasi adalah ciri khas pelepasan epileptik. Tunas
serat-serat aksonal dari neuron eksitatorik dari pembentukan hubungan
sinaptik eksitatorik yang berulang-ulang serta timbal balik positif dan
bertambahnya hubungan dengan sirkuit ini mengakibatkan eksitasi
sinaps yang berulang dan perubahan konsentrasi ion ekstraseluler. Hal
ini menyokong pelepasan sinkronisasi. Ciri khas dari semua tipe
aktivitas epilepsi adalah bertambahnya sinkronisasi neuronal. Pada saat
kejang, sel otak meletup dalam pola hubungan bersamaan. Pada
umumnya, saluran natrium dan kalsium menengahi eksitasi neuronal,
sedangkan saluran kalium dan klorida menstabilkan letupan neuronal
( Clark dan Wilson, 1997; Rho dan Stafstron, 2012 ).
c. Epileptogenesis
Trauma otak dapat mengakibatkan epilepsi setelah interval latensi
bebas dari kejang. Anoksia-iskemia, trauma, neurotoksin, dan trauma
13
lain secara selektif dapat mengenai subpopulasi sel tertentu. Bila sel ini
mati, akson-akson dari neuron yang hidup mengadakan tunas untuk
berhubungan dengan neuron diferensiasi parsial. Sirkuit yang sembuh
cenderung untuk mudah terangsang ( hiperexcitable ) karena mudah
rusaknya
dari
interneuron
penghambat
(
Widjaja,
2004;
Rho dan Stafstron, 2012 ).
Penyebab spesifik dan faktor-faktor komorbiditas terjadinya epilepsi
sebagai berikut: ( Kleigman, 2005; Christensen dkk., 2007 ).
a.
Kelainan yang terjadi selama perkembangan janin atau kehamilan
ibu, seperti ibu meminum obat-obat tertentu yang dapat merusak
otak janin, mengalami infeksi, minum alkohol, atau mengalami
cidera.
b.
Kelainan yang terjadi pada saat kelahiran, seperti kurangnya
oksigen ke otak ( hipoksia ), kerusakan karena tindakan saat
kelahiran ( vakum dan forcep ).
c.
Cidera kepala yang dapat mengakibatkan kerusakan pada otak.
d.
Tumor otak merupakan penyebab epilepsi yang tidak umum
terutama pada anak-anak.
e.
Penyumbatan pembuluh darah otak atau kelainan pembuluh darah
otak.
f.
Radang atau infeksi pada otak atau selaput otak.
14
g.
Penyakit keturunan seperti fenilketonuria ( FKU ), tuberosklerosis
dan neurofibromatosis dapat menyebabkan kejang-kejang yang
berulang.
h.
Kecendrungan timbulnya epilepsi yang diturunkan. Hal ini
disebabkan karena ambang rangsang serangan yang lebih rendah
dari nornal diturunkan pada anak.
2.4 Diagnosis Epilepsi
Epilepsi adalah diagnosis klinis, ditegakkan berdasarkan anamnesis dan
pemeriksaan fisik. Pemeriksaan penunjang EEG hanya untuk konfirmasi
diagnosis, melihat sindroma epilepsi tertentu dan pencitraan kepala yaitu ( CT
scan ) atau magnetic resonance imaging ( MRI ) ( Kuzniecky, 2005 ).
2.4.1 Anamnesis
Kunci penting dari penegakkan diagnosis epilepsi adalah anamnesis yang
cermat dan rinci. Penderita epilepsi sebagian besar datang tidak saat serangan
kejang sehingga pemeriksa tidak dapat menilai langsung kejang yang terjadi.
Anamnesis mendalam dan rinci tentang kejang penderita yang meliputi : tipe
kejang, lama kejang, gejala sebelum dan sesudah kejang, frekuensi kejang, adanya
penyakit penyerta, umur saat pertamakali kejang, riwayat penyakit dan
pengobatan sebelumnya, riwayat kehamilan dan persalinan, riwayat tumbuh
kembang, dan riwayat penyakit epilepsi dalam keluarga ( Camfield dan Camfield,
2012; Maria, 2009 ).
Anamnesis yang akurat dapat membantu pemeriksa untuk memastikan kejang
atau bukan kejang. Kejang harus berlangsung ≥ 2 kali dengan interval waktu > 24
15
jam untuk menegakkan diagnosis epilepsi. Kejang yang berulang serial dalam
rentang waktu 24 jam dianggap kejang episode tunggal dan diagnosis epilepsi
belum bisa ditegakkan ( Berg dkk., 2012 ).
2.4.2 Pemeriksaan fisik umum dan neurologis
Melihat adanya tanda-tanda gangguan yang berhubungan dengan epilepsi,
seperti trauma kepala, kelainan kongenital, dan gangguan neurologi. pemeriksa
harus memastikan bahwa kejang tidak ada pencetus yang jelas, seperti demam,
gangguan elektrolit, dan gangguan metabolik lainnya. Adanya keterlambatan
perkembangan, organomegali, asimetri ukuran anggota tubuh dapat menunjukkan
awal gangguan pertumbuhan otak. gambaran dismorfik pada muka, tanda-tanda
tertentu pada bagian tubuh seperti hemangioma, nodul, makula, warna pucat dan
sebagainya untuk melihat sindroma epilepsi tertentu ( Hauser dan Nelson, 2013 ).
2.4.3 Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang yang rutin dilakukan pada penderita epilepsi, jika
fasilitas tersedia yaitu EEG dan neuroimaging ( CT scan kepala tanpa atau dengan
kontras atau MRI ).
2.4.3.1 Pemeriksaan EEG
Pemeriksaan EEG digunakan untuk membantu membedakan tipe kejang dan
sindrom epilepsi. Pemeriksaan EEG dapat membantu menentukan OAE dan
prognosis penderita ( Smith, 2005 ). Gelombang yang normal ditemukan adalah
gelombang irama dasar sesuai dengan usia anak. Perkembangan normal otak
ditunjukkan dengan perubahan gelombang irama dasar mulai dari 3-4 siklus/detik
pada usia 4 bulan, 5 siklus/detik pada usia 6 bulan, 6-7 siklus/detik pada usia 9-18
16
bulan, 7-8 siklus/detik pada usia 2 tahun, 9 siklus/detik pada usia 7 tahun, dan 1011 siklus/detik pada 10-15 tahun ( Chabolla dan Cascino, 2005 ). Gelombang
yang dapat ditemukan pada penderita epilepsi umum idiopatik spike atau
polyspike dan bangkitan gelombang lambat 3-5 detik/siklus dengan aktivitas otak
normal dan sering dengan fotosensitivitas. Penderita dengan epilepsi tipe absanse
memberikan gambaran EEG gelombang spike yang sinkron 3 siklus/detik.
Epilepsi mioklonus memberikan gambaran EEG polyspike dan interiktal EEG
biasanya normal atau pada 15-40% kasus menunjukkan gelombang ritmik delta di
occipital. Pasien epilepsi absanse juvenil menunjukkan gelombang polyspike dan
spike dengan frekuensi diatas 3 siklus/detik dan tidak didapatkan gelombang
ritmik delta di occipital. Epilepsi mioklonik juvenil menunjukkan gambaran
letupan singkat gelombang polyspike pada iktal dan interiktal ( Smith, 2005 ).
2.4.3.2 Pencitraan ( neuroimaging )
Pemeriksaan MRI kepala merupakan pencitraan pilihan terbaik pada epilepsi.
MRI kepala dengan atau tanpa kontras dapat menemukan etiologi epilepsi seperti
neoplasma otak, ensefalitis autoimun, leukomalasia serebral dan sebagainya. pada
keadaan fasilitas MRI tidak tersedia, pemeriksaan CT scan kepala tanpa atau
dengan kontras dapat dilakukan, meskipun memberikan hasil yang tidak sebaik
MRI kepala ( Kuzniecky, 2005 ).
2.5 Pengobatan Epilepsi
Pengobatan penderita dengan epilepsi dibagi menjadi pemberian obat anti
epilepsi, pembedahan, dan diit ketogenik.
17
2.5.1 Obat anti epilepsi
Obat anti epilepsi ( OAE ) merupakan salah satu aspek yang diperlukan bagi
penderita epilepsi yang bertujuan untuk mengatasi serangan kejang, walaupun
tidak dapat mengatasi masalah kelainan neurologinya atau masalah kognitif dan
psikososialnya. Keputusan untuk memulai terapi OAE didasarkan pada
pertimbangan kemungkinan terjadinya serangan epilepsi yang berulang dan risiko
terjadinya efek buruk akibat terapi obat antiepilepsi. Obat anti epilepsi
dikategorikan menjadi dua lini yaitu lini pertama dan lini kedua. obat lini I yang
direkomendasikan digunakan untuk bayi dan anak-anak
secara rutin yaitu
fenobarbital, asam valproat, karbamazepin, dan fenitoin, OAE lini kedua
topiramat,
lamotrigin,
levetiracetam,
clobazam,
clonazepam,
nitrazepam,
Adrenocorticotropic hormone ( ACTH ), steroid. ( Berg dkk., 2012 ). Prinsip
pengobatan epilepsi adalah dimulai dengan monoterapi, bila kejang tidak dapat
dihentikan dengan dosis maksimal, mulai pemberian monoterapi kedua, apabila
monoterapi kedua berhasil menghentikan kejang, segera hentikan monoterapi
pertama dan lanjutkanpemberian monoterapi kedua. Apabila kejang tidak dapat
dihentikan dengan monoterapi kedua pertimbangkan untuk pemberian politerapi
( kombinasi 2-3 OAE lini pertama ).
Politerapi seharusnya dihindari sebisa
mungkin. Namun demikian, kurang lebih 30-50% pasien tidak berespon terhadap
monoterapi. Tujuan pemberian OAE dalam epilepsi adalah menghilangkan kejang
dengan efek samping obat yang minimal ( Wibowo dan Gofir, 2008 ).
18
2.5.2 Pembedahan
Sebagian kecil kasus epilepsi tidak dapat dikontrol kejangnya dengan obatobat antiepilepsi yang biasa digunakan. Saat ini terapi dengan pembedahan
merupakan bagian penting dalam tatalaksana pasien epilepsi. Pemilihan pasien
untuk tindakan operasi memerlukan pertimbangan yang sangat ketat. Tindakan
pembedahan hanya tepat untuk epilepsi fokal yang berasal dari satu fokus yang
jelas pada otak, seperti epilepsi lobus temporalis dengan tingkat keberhasilan yang
beragam ( Kelly dan Chung, 2011 ).
2.5.3 Diet ketogenik
Diet ketogenik merupakan salah satu pilihan untuk epilepsi yang sulit
dikontrol kejangnya dengan obat antiepilepsi. Diet ketogenik ini merupakan upaya
lain disamping obat dan pembedahan. Widler adalah orang pertama yang
memperkenalkan diet ini pada tahun 1920. Diet ketogenik adalah pemberian diet
tinggi lemak, rendah protein dan karbohidrat. Dengan diet ini 40-67% anak
mengalami perbaikan dalam frekuensi serangan ( Sirven dkk., 1999 ).
2.6 Patofisiologi Gangguan Kognitif dan Perilaku pada Epilepsi.
Kemampuan plastisitas neuron otak memungkinkan sistem saraf pusat untuk
belajar berbagai keahlian dan mengingat informasi, untuk mengorganisasi
jaringan otak sebagai respon stimulasi lingkungan, dan menyembuhkan diri dari
cedera otak dan tulang belakang ( Johnston, 2009 ). Plastisitas neuron dapat
meningkatkan perkembangan otak dan biasanya dapat beradaptasi, tetapi kadangkadang dapat juga maladapsi dan menyebabkan gangguan neurologis pada
beberapa situasi. Mekanisme dasar pada plastisitas neuron adalah neurogenesis,
19
programmed
cell
death,
dan
activity-dependent
synaptic
plasticity
( Rakic, 2000 ). Stimulasi berulang dari sinap saraf dapat menyebabkan long-term
potentiation ( LTP ) dan long-term depression ( LTD ) dari neurotransmitter.
Perubahan ini berhubungan dengan perubahan fisik dari sirkuit dendrit spinal dan
neuronal. produksi berlebihan sinap pada
perkembangan
setelah kelahiran
memberikan kontribusi peningkatan plastisitas otak dan kelebihan sinapsis akan
dikontrol saat masuk usia remaja muda ( Citri dan Malenka, 2008 ). Plastisitas
juga sangat besar dipengaruhi oleh faktor genetik termasuk mutasi pada brainderived neuronal growth factor ( Johnston, 2009 ).
Proses berkembangnya epilepsi ( epileptogenesis ) diperkirakan kemungkinan
hasil dari plastisitas sinap yang maladapsi yang menghasilkan ketidakseimbangan
eksitasi dan inhibisi memberikan kontribusi pada gangguan belajar dan perilaku.
Abnormalitas pada plastisitas sinap menyebabkan perubahan pada reseptor, sinyal
molekul, atau neurotropin, kebanyakan terjadinya perubahan tersebut pada kejang
yang mulai pada awal kehidupan dan pada kondisi genetik yang berhubungan
dengan autistic spectrum disorders ( ASDs ) dan epilepsi seperti tampak pada
Gambar 2.6. Plastisitas sinap menggambarkan proses dimana sinap diaktifkan
melalu depolarisasi yang dimediasi oleh reseptor α-amino-3-hydroxy-5-methyl-4isoxazole propionic acid ( AMPA ) memungkinkan penghambatan pengeluaran
magnesium dan masuknya calcium melalui
reseptor N-methyl-D-aspartate
( NMDA ). Hal ini memicu aktivasi calcium-dependent kinase dan jalur sinyal
yang lainnya menghasilkan peningkatan transkripsi gen dan trafficking reseptor
yang menghasilkan koneksi sinap yang cepat dan kuat. Hal ini dikenal sebagai
20
long-term potentiation ( LTP ) dan menjadi dasar selular dari proses belajar.
Plastisitas sinaptik bergantung pada berbagai macam protein yang apabila
mengalami gangguan akan menyebabkan autisme dan epilepsi. seperti contohnya
CDKL5 pada west syndrome, methyl-CpG binding protein 2
( MeCP2 ) pada
rett syndrome, fragile X mental retardation protein ( FMRP ) pada retardasi
mental fragile X, mammalian target of rapamycin ( mTOR ) pada tuberosklerosis,
dan reelin pada lissencephaly ( Brooks-Kayal, 2011 ).
Eksitabilitas
abnormal pada
perkembangan otak
Gangguan pada
plastisitas sinaptik
Epilepsi
Penurunan kognitif
Epileptogenesis
Gangguan perilaku
Gambar 2.6 Epilepsi dan gangguan belajar dan perilaku dapat terjadi dari
eksitabilitas abnormal dan gangguan plastisitas pada otak yang sedang
berkembang ( Brooks-Kayal, 2011 ).
.
2.7 Efek Kejang dan Epileptogenesis pada Perkembangan Otak
Epileptogenesis merupakan proses yang berlangsung beberapa bulan sampai
beberapa tahun pada manusia setelah terjadinya pencetus awal seperti kejang
demam kompleks, atau trauma kepala, prosesnya berlangsung sangat cepat
termasuk aktivasi saluran ion, perubahan post-translational, dan immediate early
genes. Selanjutnya setelah beberapa hari sampai minggu terjadi peristiwa
transkripsi, kematian neuronal, dan imflamasi. setelah beberapa minggu, bulan,
dan tahun terjadi pertumbuhan , reorganisasi jaringan , neurogenesis, dan gliosis.
21
Proses ini mungkin menyebabkan berkembangnya kejang spontan yang pertama
dan dilanjutkan dengan kejang berikutnya menjadi epilepsi. Perubahan
berhubungan dengan epileptogenesis dan kejang terjadi secara simultan
yang
dan
mungkin mengganggu aktivitas perkembangan normal di otak meliputi
pemangkasan sinaptik, perbaikan dendritik, dan aksonal, dan maturasi reseptor
dan saluran ion. Efek ini mungkin terjadi independen atau bersamaan dengan
kerusakan genetik. Sampai saat ini belum ada biomarker yang spesifik yang dapat
memprediksi gangguan kognitif setelah kejang yang terjadi pada awal kehidupan.
Pada penelitian binatang menunjukkan kejang deman lama di awal kehidupan
menunjukkan pada sebagian hewan coba dengan gambaran MRI abnormalitas
sinyal T2 di hipokampus setelah kejang dan hasil tes belajar spasial dan memori
saat remaja muda berkaitan dengan abnormalitas sinyal T2 yang ditemukan
( Brooks-Kayal, 2011 ).
Kejang dan epileptogenesis memberikan banyak efek potensial pada plastisitas
sinaptik perkembangan otak. Pada proses ini terjadi perubahan seluler termasuk
perubahan neurogenesis dan penurunan fungsi sel, perubahan molekuler
mengakibatkan perubahan neurotransmitter eksitasi dan inhibisi dan perubahan
pada regulasi jalur neuromodulator. Neurogenesis sel granul dentate merupakan
hal penting pada proses belajar, keduanya peningkatan dan penurunan
neurogenesis pernah dilaporkan setelah kejang pada awal kehidupan tergantung
umur dan model. Pada penelitian binatang didapatkan lokasi ditandai dengan
aktivitas dari neuron piramidal yang dinamakan place-cells, subset dari CA1 sel
yang mana lokasi ini sangat penting untuk encoding memori spasial jangka
22
panjang. Pada tikus yang mengalami kejang demam lama saat awal kehidupan
menunjukkan kerusakan pada fungsi place-cell yang berkorelasi dengan defisit
memori spasial pada tes behavioral ( McCabe dkk., 2001; Porter dan BrooksKayal, 2004 ).
Kejang yang muncul saat awal kehidupan dapat mengubah fungsi sistem
neurotransmiter dan sifat neuronal yang penting untuk belajar dan memori.
GABA merupakan neurotransmitter inhibisi utama di otak
merupakan
dan GABA-A
reseptor inhibisi yang paling cepat. Perubahan neurotransmiter
inhibisi akan berefek pada fungsi belajar. Peningkatan fungsi reseptor GABA-A
dengan benzodiazepine merusak LTP dan formasi memori. dan GABA–A subunit
reseptor α memegang peranan kunci regulator periode kritis pada plastisitas
kortikal dan hipokampal-dependen memori spasial ( Brooks-Kayal, 2011 ).
Perubahan
pada neurotransmiter eksitasi mungkin memberikan kontribusi
pada gangguan belajar dan behavioral setelah kejang pada awal kehidupan.
Glutamat merupakan neurotransmiter primer di otak dan aktivitasnya dimediasi
oleh berbagai variasi subtipe reseptor termasuk NMDA dan non-NMDA ( AMPA
dan kainate ) , reseptor ionotropik, dan reseptor metabotropik. Kekurangan
subtipe reseptor AMPA dan NMDA setelah kejang lama menyebabkan gangguan
belajar ( Mongillo dkk., 2003; Riedel dkk., 2003; Yasuda dkk., 2003; Schmitt
dkk., 2005 ).
Hipoksia pada awal kehidupan menginduksi kejang dan menghasilkan efek
cepat postranskripsional pada subunit reseptor AMPA ( GluR ) fosforilasi,
termasuk peningkatan fosforilasi pada kedua sisi GluR1 dan GluR2 yang
23
menghasilkan peningkatan eksitasi sinaptik dengan meningkatkan konduktan dan
insersi membran dari GluR1 permeabilitas kalsium terdiri dari reseptor yang
berhubungan dengan GluR1 fosforilasi dan menurunkan insersi membran dari
reseptor GluR2 impermeabilitas Ca ( Rakhade dkk., 2008 ). Peningkatkan eksitasi
sinaptik penahan protein PSD-95 yang menyebabkan gangguan memori spasial
dan gangguan CA1 LTP dan peningkatan LTD. Hal ini menyebabkan perubahan
plastisitas sinaptik yang berkaitan dengan penurunan reseptor NMDA ekspresi
NR2A dan reseptor AMPA subunit GluR1 surface expression ( Brooks-Kayal,
2011 ).
c-AMP response element binding protein ( CREB ) adalah mediator kunci
pada perubahan induksi stimulus pada ekspresi gen yang mendasari plastisitas
sistem saraf dan fosforilasi CREB yang dibutuhkan untuk LTP, proses belajar,
dan memori. Corticotropin-releasing hormone ( CRH ) adalah neuromodulator
peptide yang dikeluarkan dari interneuron hipokampal yang diinduksi stres. Stres
pada awal kehidupan menyebabkan penurunan panjang dendrit dan penurunan
progresif defisit kognitif ( Brooks-Kayal, 2011 ).
Pada saat kejang terjadi peningkatan aliran darah karena tingkat metabolisme
meningkat. Aliran darah yang meningkat di otak disebabkan oleh kadar CO2 yang
meningkat akibat penurunan pertukaran gas di paru selama kejang. Peningkatan
aliran darah di otak juga disebabkan oleh permintaan glukosa dan oksigen yang
berlebihan. Peningkatan aliran darah ke otak yang berlangsung lama dapat
menyebabkan edema serebri dan vasoparalisis sehingga otak kehilangan
24
autoregulasinya. Gangguan vaskularisasi di otak juga memberikan dampak besar
pada gangguan fungsi kognitif anak dengan kejang ( Boylan dkk., 1999 ).
2.8 Gangguan Perkembangan Kognitif Anak dengan Epilepsi
Gangguan perkembangan kognitif pada anak dengan epilepsi dipengaruhi
oleh interaksi banyak faktor seperti genetik, etiologi, letak kelainan di otak, jenis
epilepsi, frekuensi kejang, durasi kejang, usia awitan kejang, masalah psikososial,
penyakit yang menyertai, dan OAE yang digunakan. Interaksi
dari berbagai
faktor tersebut diatas memberikan kontribusi terhadap gangguan tingkat
perkembangan kognitif. Faktor prediktor yang menyebabkan penurunan fungsi
kognitif adalah overmedication, kontrol terhadap kejang yang buruk, onset
mulainya epilepsi yang semakin dini, dan penderita dengan kejang simtomatik
( Hermann dan Seidenberg, 2007; You, 2012 ). Sebagian besar anak dengan
epilepsi mempunyai masalah behavioral dan kognitif dan dapat berdampak pada
kehidupan sosial penderita dan keluarga. Pada satu penelitian dilaporkan 40%
anak dengan epilepsi mengalami gangguan behavioral sejak pertamakali
terdiagnosis epilepsi ( Camfield dan Camfield, 2012 ). Pada anak dengan epilepsi
biasanya mengalami gangguan yang luas pada behavioral, psikiatri, dan kognitif.
Gangguan ini biasanya berkaitan dengan efek dari lesi struktural yang dapat
mengganggu fungsi yang dilayani oleh daerah otak yang terlibat dalam lesi, efek
dari aktivitas kejang yang mungkin mulai baik sebelum kejang klinis terjadi dan
dapat bertahan lama setelah kejang klinis berakhir, kejang pada saat usia neonatus,
dan epilepsi yang bersamaan dengan penyakit lainnya yang memperberat
gangguan fungsi kognitif ( Berg dkk., 2011 ).
25
Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi pekembangan kognitif anak dengan
epilepsi:
1. Usia awitan epilepsi
Rantanen dkk. ( 2011 ) dalam penelitiannya menyebutkan bahwa usia
awitan epilepsi sangat mempengaruhi tingkat perkembangan kognitif anak,
semakin dini onset epilepsi maka semakin besar kemungkinan untuk
mengalami gangguan tingkat perkembangan.
Sekitar 10 persen epilepsi
terjadi pada tiga tahun pertama kehidupan. Semakin muda onset epilepsi
berhubungan secara signifikan terhadap gangguan kognitif dan behavioral.
Kejang
dapat
mengganggu
mekanisme
belajar
dan
memori
pada
perkembangan otak dengan mekanisme penghambatan terhadap akuisisi
fungsi maturitas selama periode kritis perkembangan, pada penelitian
sebelumnya didapatkan hasil, anak yang mengalami kejang dan mengalami
resitensi obat antiepilepsi saat umur 0-3 tahun menunjukkan adanya gangguan
fungsi kognitif. Penderita epilepsi yang dimulai sejak usia neonatus dan
terkontrol dengan obat anti epilepsi akan memberikan luaran kognitif yang
lebih baik dibandingkan yang tidak terkontrol dengan obat anti epilepsi. Pada
penelitian yang membandingkan usia awitan epilepsi di bawah 8 tahun dan di
atas sama dengan 8 tahun mendapatkan hasil skor IQ yang lebih rendah pada
anak dengan onset epilepsi di bawah 8 tahun ( Berg dkk., 2011; Berg dkk.,
2012; Berg dkk., 2014; Lodhi dan Agrawal, 2012 ).
26
2. Frekuensi dan lamanya serangan
Sebagian besar energi sel saraf digunakan untuk transportasi ion natrium
dan kalium, yang berhubungan erat dengan kelistrikan serta penjalarannya.
Diduga bahwa sel neuron mampu mengeluarkan ion natrium dari dalam sel.
Akibat dari keadaan ini didapatkan konsentrasi ion kalium yang tinggi yang
tinggi di ruang intraseluler dan konsentrasi ion natrium yang tinggi di ruang
ekstraseluler. Untuk memompa ion natrium keluar dibutuhkan banyak energi
yang didapatkan melalui senyawa
fosfat ( ATP ). Bila terjadi bangkitan
kejang, maka aktivitas pemompaan natrium bertambah. Dengan demikian
kebutuhan akan senyawa ATP bertambah. Dengan perkataan lain kebutuhan
akan oksigen dan glukosa meningkat. Bila kejang berlangsung singkat, maka
peningkatan kebutuhan
ini masih dapat dipenuhi. Namun, bila kejang
berlangsung lama, ada kemungkinan bahwa kebutuhan akan oksigen dan
glukosa tidak terpenuhi, sehingga sel neuron dapat rusak atau mati. Bangkitan
kejang yang berlangsung lebih dari setengah jam dapat menyebabkan
kerusakan pada sel neuron dan cacat yang menetap dan berdampak besar pada
penurunan fungsi kognitif anak ( Lumbantobing, 1999 ).
3. Terapi obat anti epilepsi
Obat anti epilepsi mempunyai efek negatif maupun positif terhadap
kemampuan kognitif pasien epilepsi. Obat anti epilepsi dapat meningkatkan
kemampuan kognitif dan tingkah laku pasien epilepsi dengan cara mengurangi
bangkitan kejang, efek modulasi terhadap neurotransmitter, dan efek
psikotropika ( Mustarsid, dkk., 2011 ). Obat anti epilepsi mengurangi
27
iritabilitas neuron dan meningkatkan inhibisi pasca sinaps atau mempengaruhi
sinkronisasi jaringan neuron untuk menurunkan eksitasi neuron yang
berlebihan sehingga dapat menurunkan bangkitan kejang dan dapat
menurunkan aktivitas epilepsi di sekeliling jaringan otak yang normal.
Pemberian OAE secara terus menerus dapat mengakibatkan penurunan
aktivitas motorik dan psikomotor, penurunan perhatian, dan gangguan
memori. penurunan daya ingat bersifat kumulatif, sehingga semakin lama
penderita mendapatkan terapi OAE maka semakin besar kemungkinan
mengalami gangguan memori ( Eddy, dkk., 2011; Mustarsid, dkk., 2011 ).
Anak dengan epilepsi biasanya membutuhkan pengobatan anti epilepsi
dalam jangka waktu yang yang cukup lama. Beberapa obat anti epilepsi yang
digunakan dalam jangka waktu yang lama dapat menyebabkan gangguan
perkembangan kognitif, di antaranya fenobarbital dan pirimidon pada
pemberian kronik adalah mengantuk, perubahan perilaku, perubahan perasaan,
gangguan intelektual, penyakit tulang metabolik, dan gangguan jaringan ikat.
Fenitoin pada pemberian kronik berupa hirsutisme, hipertrofi gingiva,
gangguan perilaku dan fungsi kognitif. Etosuksimid pada pemberian kronik
dapat menyebabkan sefalgia dan perubahan perilaku. Asam valproat pada
pemberian kronik dapat menyebabkan mengantuk, perubahan perilaku,
tremor, hiperamonia, bertambahnya berat badan, rambut rontok, penyakit
perdarahan dan gangguan lambung. Sedangkan obat epilepsi yang dapat
memperbaiki fungsi kognitif, menjadikan anak lebih sadar, dan lebih enak
adalah karbamazepin.
28
Pengobatan epilepsi dengan politerapi juga sangat berkaitan dengan
terjadinya gangguan perkembangan dibandingkan dengan monoterapi.
Diantaranya penggunaan fenitoin dikombinasikan dengan fenobarbital,
karbamazepin, asam valproat, Isoniazid ( INH ), dan kloramfenikol dapat
meningkatkan kadar bebas fenitoin sehingga meningkatkan efek samping
fenitoin. Klonazepam bila digunakan bersama dengan fenobarbital atau
golongan benzodiazepin lain dapat menyebabkan gangguan emosi ( Lazuardi,
1999 ).
Kegagalan pada penggunaan monoterapi akan menyebabkan penderita
jatuh pada epilepsi intraktabel yaitu kegagalan mengontrol kejang dengan
lebih dari dua OAE lini pertama dengan rata-rata serangan kejang lebih dari
satu kali perbulan selama 18 bulan dan interval bebas kejang tidak lebih dari
tiga bulan. Penderita yang mengalami epilepsi intraktabel mempunyai risiko
yang lebih besar untuk mengalami gangguan pertumbuhan dan perkembangan
( Camfield dan Camfield, 2012 ).
4. Gambaran EEG
Pada anak dengan epilepsi biasanya akan dilakukan pemeriksaan EEG,
dimana gambaran EEG sangat mempengaruhi perkembangan kognitif anak
pada pasien epilepsi. Di negara maju biasanya dilakukan pemeriksaan yang
disebut pemetaan aktivitas listrik otak (brain electrical activity mapping atau
BEAM). Beberapa penelitian menunjukkan abnormalitas EEG mempunyai
kemungkinan yang lebih besar untuk mengalami gangguan perkembangan
29
kognitif, walaupun sudah tidak ditemukan lagi kejang secara klinis ( Passat,
1999; Tuchman, 2012 ).
5. Abnormalitas struktur otak
Salah satu faktor yang mempengaruhi gangguan fungsi kognitif pada pada
penderita epilepsi adalah abnormalitas struktur otak. Quantitative MRI
volumetrics biasanya digunakan untuk mengetahui karakteristik dan bentuk
kelainan otak pada penderita epilepsi dewasa, khususnya pada epilepsi lobus
temporal. Pemeriksaan pada anak yang berhubungan dengan volume otak
pada penderita epilepsi masih sangat jarang. Penelitian pada anak dengan
epilepsi kronis menunjukkan adanya abnormalitas pada serebrum, serebelum,
dan hipokampus ( Hermann dan Seidenberg, 2007 ).
Pada penelitian Saute dkk. (2014) melaporkan anak dengan epilepsi dan
comorbid attention deficit hyperactivity disorder ( ADHD ) menunjukkan
penipisan difus pada lobus frontal, parietal, dan temporal, dengan penurunan
volume batang otak dan struktur subkortikal ( kaudatus bilateral, thalamus
kiri, dan hipokampus kanan ), abnormalitas anatomi ini nampak jelas pada
pasien
epilepsi
yang
sebelumnya
sudah
mengalami
gangguan
neurodevelopmental. Penelitian pada anak sekolah dengan epilepsi, sekitar
45% dengan hasil IQ di bawah 80 dan membutuhkan sekolah anak
berkebutuhan khusus, dan 16% anak dengan epilepsi tinggal kelas 1 tahun.
6. Komorbiditas pada epilepsi
Gangguan perkembangan kognitif sering terjadi lebih awal dibandingkan
dengan munculnya gejala epilepsi. Pada keadaan seperti ini biasanya terjadi
30
pada penderita epilepsi dengan penyakit yang dapat menyebabkan terjadinya
gangguan fungsi kognitif seperti kelainan yang terjadi selama perkembangan
otak janin, asfiksia saat lahir, cidera kepala, tumor otak, penyumbatan
pembuluh darah otak atau kelainan pembuluh darah otak , radang atau infeksi
pada otak atau selaput otak, fenilketonuria ( FKU ), tuberosklerosis,
neurofibromatosis ( Kleigman, 2005; Christensen, dkk., 2007 ).
2.9 Penilaian Perkembangan Kognitif Berdasarkan Skala Mullen
Penilaian perkembangan kognitif anak menggunakan Mullen tes ( The Mullen
Scales of Learning ) AGS edition, merupakan tes diagnostik perkembangan
kognitif anak usia 0-68 bulan yang dicetuskan oleh Eileen M Mullen. Skala
pengukuran ini didasarkan pada teori bahwa intelegensia anak terdiri dari lima
komponen penunjang yang harus dinilai secara terpisah yaitu motorik kasar
( gross motor ), motorik halus ( fine motor ), bahasa ekspresif ( expressive
language ), bahasa reseptif ( reseptive language ), dan visual reseptif ( visual
reseption ). Setelah anak digolongkan dalam kelompok umur yang akan dinilai
kemudian dihitung skor/nilai yang didapat dari masing-masing kategori kemudian
disesuaikan lagi menurut umur. Hasil akhir dikelompokkan menjadi lima kategori
yaitu very high ( composite standard score 49-70 ), above average ( composite
standard score 71-84 ), average ( composite standard score 85-115 ), below
average ( composite standard score 116-129 ), dan very low ( composite standard
score ≥ 130 ). Anak dikatakan mengalami gangguan perkembangan kognitif bila
terdapat skor 1,5 standar deviasi ( SD ) di bawah skor average ( rata-rata ).
31
Untuk skala motorik kasar pada tes ini akan dinilai pusat kontrol dan
mobilitas pada posisi terlentang, telungkup, duduk, dan posisi berdiri sesuai
dengan tahapan umur anak. Skala resepsi visual, akan dinilai kemampuan anak
dalam memproses pola visual, diskriminasi dan memori visual. Kemampuan
visual ini melibatkan organisasi visual, pengurutan visual dan kesadaran
pemisahan visual termasuk konsep posisi, bentuk dan ukuran. Motorik halus, yang
diukur adalah kemampuan memadukan kemampuan visual dengan motorik. Item
skala ini melibatkan diskriminasi visual dan kontrol terhadap gerakan motorik.
Pada sektor bahasa reseptif diukur kemampuan anak untuk memproses input
bahasa. Kemampuan primer yang tercakup dalam skala ini adalah komprehensi
audio dan memori audio. Kemampuan ini melibatkan organisasi auditorik,
pengurutan dan penggunaan konsep spasial. Sedangkan bahasa ekspresif akan
dinilai kemampuan anak untuk menggunakan bahasa secara produktif.
Kemampuan primernya terletak pada kemampuan berbicara dan formasi bahasa
termasuk kemampuan untuk memverbalisasi konsep ( Mullen, 1995 ).
Download