makalah medula spinalis

advertisement
makalah medula spinalis
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Cidera medulla spinalis adalah suatu kerusakan fungsi neurologis yang disebabkan
seringkali oleh kecelakaan lalu lintas. Apabila cedera itu mengenai daerah L1-2 dan/atau
di bawahnya maka dapat mengakibatkan hilangnya fungsi motorik dan sensorik serta
kehilangan fungsi defekasi dan berkemih.
Cidera medulla spinalis diklasifikasikan sebagai komplet : kehilangan sensasi fungsi
motorik volunter total dan tidak komplet : campuran kehilangan sensasi dan fungsi
motorik volunter (Marilynn E. Doenges,1999;338).
Cidera medulla spinalis adalah masalah kesehatan mayor yang mempengaruhi 150.000
orang di Amerika Serikat, dengan perkiraan10.000 cedera baru yang terjadi setiap tahun.
Kejadian ini lebih dominan pada pria usia muda sekitar lebih dari 75% dari seluruh
cedera (Suzanne C. Smeltzer,2001;2220). Data dari bagian rekam medik Rumah Sakit
Umum Pusat Fatmawati didapatkan dalam 5 bulan terakhir terhitung dari Januari sampai
Juni 2003 angka kejadian angka kejadian untuk fraktur adalah berjumlah 165 orang yang
di dalamnya termasuk angka kejadian untuk cidera medulla spinalis yang berjumlah 20
orang (12,5%).
Pada usia 45-an fraktur banyak terjadi pada pria di bandingkan pada wanita karena
olahraga, pekerjaan, dan kecelakaan bermotor. Tetapi belakangan ini wanita lebih banyak
dibandingkan pria karena faktor osteoporosis yang di asosiasikan dengan perubahan
hormonal (menopause) (di kutip dari Medical Surgical Nursing, Charlene J.
Reeves,1999).
Klien yang mengalami cidera medulla spinalis khususnya bone loss pada L2-3
membutuhkan perhatian lebih diantaranya dalam pemenuhan kebutuhan ADL dan dalam
pemenuhan kebutuhan untuk mobilisasi. Selain itu klien juga beresiko mengalami
komplikasi cedera spinal seperti syok spinal, trombosis vena profunda, gagal napas;
pneumonia dan hiperfleksia autonomic. Maka dari itu sebagai perawat merasa perlu
untuk dapat membantu dalam memberikan asuhan keperawatan pada klien dengan cidera
medulla spinalis dengan cara promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif sehingga
masalahnya dapat teratasi dan klien dapat terhindar dari masalah yang paling buruk.
Berdasarkan uraian diatas di harapkan dengan adanya laporan inti ini yang berjudul “
Asuhan Keperawatan Pada Ny. NS Dengan Cidera Medulla Spinalis Bone Loss L2-3 di
Ruang Orthopaedi Rumah Sakit Umum Pusat Fatmawati Jakarta” dapat bermanfaat bagi
para pembaca untuk dapat meningkatkan mutu asuhan keperawatan.
B. Tujuan Penulisan
1. Tujuan Umum
Untuk memberikan pengalaman nyata tentang asuhan keperawatan dengan kasus cidera
medulla spinalis bone loss L2-3.
2. Tujuan Khusus
a. Mampu mengidentifikasi data yang menunjang
b. Mampu menentukan diagnosa keperawatan
c. Mampu menulis definisi diagnosa keperawatan
d. Mampu menjelaskan rasional diagnosa keperawatan
e. Mampu memprioritaskan diagnosa keperawatan
f. Mampu menyusun rencana keperawatan untuk masing-masing diagnosa keperawatan
g. Mampu melaksanakan tindakan keperawatan pada klien
h. Mampu melaksanakan evaluasi
i. Mampu mengidentifikasi faktor penghambat dan penunjang dalam melaksanakan
asuhan keperawatan
j. Mampu mengidentifikasi dalam pemberian penyelesaian masalah (solusi).
C. Metode Penulisan
Dalam mengumpulkan data penulis menggunakan metode studi kasus dengan teknik
pengumpulan data sebagai berikut : teknik wawancara, teknik observasi, pemeriksaan
fisik, studi kepustakaan dengan mengambil literature yang berhubungan dengan kasus
cidera medulla spinalis.
D. Sistematika Penulisan
BAB I : Pendahuluan, yang terdiri dari latar belakang, tujuan penulisan, metode
penulisan, dan sistematika penulisan.
BAB II : Tinjauan teoritis, yang terdiri dari pengertian, anatomi, etiologi, tanda dan
gejala, patofisiologi, pemeriksaan penunjang, penatalaksanaan medis, komplikasi dan
asuhan keperawatan yang terkait dengan kasus tersebut.
BAB III : Tinjauan kasus, yang terdiri dari gambaran kasus dan laporan asuhan
keperawatan dari pengkajian hingga evaluasi keperawatan.
BAB IV : Pembahasan.
BAB V : Penutup, yang terdiri dari kesimpulan dan saran.
Daftar Pustaka
Lampiran
LAPORAN PENDAHULUAN DENGAN CEDERA MEDULLA SPINALIS
A. KONSEP DASAR
I. ANATOMI FISIOLOGI
Columna Vertebralis adalah pilar utama tubuh yang berfungsi melindungi medula
spinalis dan menunjang berat kepala serta batang tubuh, yang diteruskannya ke lubanglubang paha dan tungkai bawah. Masing-masing tulang dipisahkan oleh disitus
intervertebralis.
Vertebralis dikelompokkan sebagai berikut :
a. Vetebrata Thoracalis (atlas)
Vetebrata Thoracalis mempunyai ciri yaitu tidak memiliki corpus tetapi hanya berupa
cincin tulang. Vertebrata cervikalis kedua (axis) ini memiliki dens, yang mirip dengan
pasak. Veterbrata cervitalis ketujuh disebut prominan karena mempunyai prosesus
spinasus paling panjang.
b. Vertebrata Thoracalis
Ukurannya semakin besar mulai dari atas kebawah. Corpus berbentuk jantung, berjumlah
12 buah yang membentuk bagian belakang thorax.
c. Vertebrata Lumbalis
Corpus setiap vertebra lumbalis bersifat masif dan berbentuk ginjal, berjumlah 5 buah
yang membentuk daerah pinggang, memiliki corpus vertebra yang besar ukurnanya
sehingga pergerakannya lebih luas kearah fleksi.
d. Os. Sacrum
Terdiri dari 5 sacrum yang membentuk sakrum atau tulang kengkang dimana ke 5
vertebral ini rudimenter yang bergabung yang membentuk tulang bayi.
e. Os. Coccygis
Terdiri dari 4 tulang yang juga disebut ekor pada manusia, mengalami rudimenter.
Lengkung koluma vertebralis.kalau dilihat dari samping maka kolumna vertebralis
memperlihatkan empat kurva atau lengkung antero-pesterior : lengkung vertikal pada
daerah leher melengkung kedepan daerah torakal melengkung kebelakang, daerah lumbal
kedepan dan daerah pelvis melengkung kebelakang. Kedua lengkung yang menghadap
pasterior, yaitu torakal dan pelvis, disebut promer karena mereka mempertahankan
lengkung aslinya kebelakang dari hidung tulang belakang, yaitu bentuk (sewaktu janin
dengna kepala membengkak ke bawah sampai batas dada dan gelang panggul
dimiringkan keatas kearah depan badan. Kedua lengkung yang menghadap ke anterior
adalah sekunder → lengkung servikal berkembang ketika kanak-kanak mengangkat
kepalanya untuk melihat sekelilingnya sambil menyelidiki, dan lengkung lumbal di
bentuk ketika ia merangkak, berdiri dan berjalan serta mempertahankan tegak. (lihat
gambar A1)
Fungsi dari kolumna vertebralis. Sebagai pendukung badan yang kokoh dan sekaligus
bekerja sebagai penyangga kedengan prantaraan tulang rawan cakram intervertebralis
yang lengkungnya memberikan fleksibilitas dan memungkinkan membonkok tanpa
patah. Cakramnya juga berguna untuk menyerap goncangan yang terjadi bila
menggerakkan berat badan seperti waktu berlari dan meloncat, dan dengan demikian otak
dan sumsum belkang terlindung terhadap goncangan. Disamping itu juga untuk memikul
berat badan, menyediakan permukaan untuk kartan otot dan membentuk tapal batas
pasterior yang kukuh untuk rongga-rongga badan dan memberi kaitan pada iga.
(Eveltan. C. Pearah, 1997 ; 56 – 62)
Medulla spinalis atau sumsum tulang belakang bermula ada medula ablonata, menjulur
kearah kaudal melalu foramen magnum dan berakhir diantara vertebra-lumbalis pertama
dan kedua. Disini medula spinalis meruncing sebagai konus medularis, dna kemudian
sebuah sambungan tipis dasri pia meter yang disebut filum terminale, yang menembus
kantong durameter, bergerak menuju koksigis. Sumsum tulang belakang yang berukuran
panjang sekitar 45 cm ini, pada bagian depannya dibelah oleh figura anterior yang dalam,
sementara bagian belakang dibelah oleh sebuah figura sempit.
Pada sumsum tulang belakang terdapat dua penebalan, servikal dan lumbal. Dari
penebalan ini, plexus-plexus saraf bergerak guna melayani anggota badan atas dan bawah
: dan plexus dari daerah thorax membentuk saraf-saraf interkostalis. Fungsi sumsum
tulang belakang : a. Mengadakan komunikasi antara otak dan semua bagian tubuh dan
bergerak refleks.
Untuk terjadinya geraka refleks, dibutuhkan struktur sebagai berikut :
1. Organ sensorik : menerima impuls, misalnya kulit
2. Serabut saraf sensorik ; mengantarkan impuls-impuls tersebut menuju sel-sel dalam
ganglion radix pasterior dan selanjutnya menuju substansi kelabu pada karnu pasterior
mendula spinalis.
3. Sumsum tulang belakang, dimana serabut-serabut saraf penghubung menghantarkan
impuls-impuls menuju karnu anterior medula spinalis.
4. sel saraf motorik ; dalam karnu anterior medula spinalis yang menerima dan
mengalihkan impuls tersebut melalui serabut sarag motorik.
5. Organ motorik yang melaksanakan gerakan karena dirangsang oleh impuls saraf
motorik.
6. Kerusakan pada sumsum tulang belakang khususnya apabila terputus pada daerah
torakal dan lumbal mengakibatkan (pada daerah torakal) paralisis beberapa otot
interkostal, paralisis pada otot abdomen dan otot-otot pada kedua anggota gerak bawah,
serta paralisis sfinker pada uretra dan rektum.
II. PENGERTIAN
Cidera medula spinalis adalah suatu kerusakan fungsi neurologis yang disebabkan oleh
benturan pada daerah medulla spinalis (Brunner & Suddarth, 2001)
Cidera medulla spinalis adalah buatan kerusakan tulang dan sumsum yang
mengakibatkan gangguan sistem persyarafan didalam tubuh manusia yang
diklasifikasikan sebagai :
- komplet (kehilangan sensasi dan fungsi motorik total)
- tidak komplet (campuran kehilagan sensori dan fungsi motorik)
Cidera medullan spinalis adalah suatu kerusakan fungsi neurologis yang disebabkan
sering kali oleh kecelakaan lalu lintas. Apabila cedera itu mengenai daerah servikal pada
lengan, badan dan tungkai mata penderita itu tidak tertolong. Dan apabila saraf frenitus
itu terserang maka dibutuhkan pernafasan buatan, sebelum alat pernafasan mekanik dapat
digunakan.
III. ETIOLOGI
Penyebab dari cidera medulla spinalis yaitu :
- kecelakaan otomobil, industri
- terjatuh, olah-raga, menyelam
- luka tusuk, tembak
- tumor.
IV. PATOFISIOLOGI
Kerusakan medulla spinalis berkisar dari kamosio sementara (pasien sembuh sempurna)
sampai kontusio, laserasi dan kompresi substansi medulla, (lebih salah satu atau dalam
kombinasi) sampai transaksi lengkap medulla (membuat pasien paralisis).
Bila hemoragi terjadi pada daerah medulla spinalis, darah dapat merembes ke ekstradul
subdural atau daerah suaranoid pada kanal spinal, segera sebelum terjadi kontusio atau
robekan pada cedera, serabut-serabut saraf mulai membengkak dan hancur. Sirkulasi
darah ke medulla spinalis menjadi terganggu, tidak hanya ini saja tetapi proses patogenik
menyebabkan kerusakan yang terjadi pada cidera medulla spinalis akut.
Suatu rantai sekunder kejadian-kejadian yang menimbulakn iskemia, hipoksia, edema,
lesi, hemorargi.
Cidera medulla spinalis dapat terjadi pada lumbal 1-5
- Lesi 11 – 15 : kehilangan sensorik yaitu sama menyebar sampai lipat paha dan bagian
dari bokong.
- Lesi L2 : ekstremitas bagian bawah kecuali 1/3 atas dari anterior paha.
- Lesi L3 : Ekstremitas bagian bawah.
- Lesi L4 : Ekstremitas bagian bawah kecuali anterior paha.
- Lesi L5 : Bagian luar kaki dan pergelangan kaki.
MANIFESTASI KLINIS
- nyeri akut pada belakang leher, yang menyebar sepanjang saraf yang terkena
- paraplegia
- tingkat neurologik
- paralisis sensorik motorik total
- kehilangan kontrol kandung kemih (refensi urine, distensi kandung kemih)
- penurunan keringat dan tonus vasomoto
- penurunan fungsi pernafasan
- gagal nafas
(Diane C. Baughman, 200 : 87)
PEMERIKSAN DIAGNOSTIK
- Sinar X spinal
Menentukan lokasi dan jenis cedera tulan (fraktur, dislokasi), unutk kesejajaran, reduksi
setelah dilakukan traksi atau operasi
- Skan ct
Menentukan tempat luka / jejas, mengevaluasi ganggaun struktural
- MRI
Mengidentifikasi adanya kerusakan saraf spinal, edema dan kompresi
- Mielografi.
Untuk memperlihatkan kolumna spinalis (kanal vertebral) jika faktor putologisnya tidak
jelas atau dicurigai adannya dilusi pada ruang sub anakhnoid medulla spinalis (biasanya
tidak akan dilakukan setelah mengalami luka penetrasi).
- Foto ronsen torak, memperlihatkan keadan paru (contoh : perubahan pada diafragma,
atelektasis)
- Pemeriksaan fungsi paru (kapasitas vita, volume tidal) : mengukur volume inspirasi
maksimal khususnya pada pasien dengan trauma servikat bagian bawah atau pada trauma
torakal dengan gangguan pada saraf frenikus /otot interkostal).
- GDA : Menunjukan kefektifan penukaran gas atau upaya ventilasi
(Marilyn E. Doengoes, 1999 ; 339 – 340)
KOMPLIKASI
- Neurogenik shock.
- Hipoksia.
- Gangguan paru-paru
- Instabilitas spinal
- Orthostatic Hipotensi
- Ileus Paralitik
- Infeksi saluran kemih
- Kontraktur
- Dekubitus
- Inkontinensia blader
- Konstipasi
PENATALAKSANAAN CEDERA MEDULA SPINALIS (FASE AKUT)
Tujuan penatalaksanaan adalah untuk mencegah cedera medula spinalis lebih lanjut dan
untuk mengobservasi gejala perkembangan defisit neurologis. Lakukan resusitasi sesuai
kebutuhan dan pertahankan oksigenasi dan kestabilan kardiovaskuler.
Farmakoterapi
Berikan steroid dosis tinggi (metilpredisolon) untuk melawan edema medela.
Tindakan Respiratori
1. Berikan oksigen untuk mempertahankan PO2 arterial yang tinggi.
2. Terapkan perawatan yang sangat berhati-hati untuk menghindari fleksi atau eksistensi
leher bila diperlukan inkubasi endrotakeal.
3. Pertimbangan alat pacu diafragma (stimulasi listrik saraf frenikus) untuk pasien dengan
lesi servikal yang tinggi.
Reduksi dan Fraksi skeletal
1. Cedera medulla spinalis membutuhkan immobilisasi, reduksi, dislokasi, dan stabilisasi
koluma vertebrata.
2. Kurangi fraktur servikal dan luruskan spinal servikal dengan suatu bentuk traksi
skeletal, yaitu teknik tong /capiller skeletal atau halo vest.
3. Gantung pemberat dengan batas sehinga tidak menggangu traksi
Intervensi bedah = Laminektomi
Dilakukan Bila :
1. Deformitas tidak dapat dikurangi dengan fraksi
2. Terdapat ketidakstabilan signifikan dari spinal servikal
3. Cedera terjadi pada region lumbar atau torakal
4. Status Neurologis mengalami penyimpanan untuk mengurangi fraktur spinal atau
dislokasi atau dekompres medulla.
(Diane C. Braughman, 2000 ; 88-89)
B. Konsep Dasar Asuhan Keperawatan dengan Cedera Medulla Spinalis
1. Pengkajian
a. Aktifitas /Istirahat
Kelumpuhan otot (terjadi kelemahan selama syok pada bawah lesi. Kelemahan umum
/kelemahan otot (trauma dan adanya kompresi saraf).
b. Sirkulasi
Hipotensi, Hipotensi posturak, bradikardi, ekstremitas dingin dan pucat.
c. Eliminasi
Retensi urine, distensi abdomen, peristaltik usus hilang, melena, emisis berwarna seperti
kopi tanah /hematemesis.
d. Integritas Ego
e. Takut, cemas, gelisah, menarik diri.
f. Makanan /cairan
Mengalami distensi abdomen, peristaltik usus hilang (ileus paralitik)
g. Higiene
Sangat ketergantungan dalam melakukan aktifitas sehari-hari (bervariasi)
h. Neurosensori
Kelumpuhan, kelemahan (kejang dapat berkembang saat terjadi perubahan pada syok
spinal).
Kehilangan sensasi (derajat bervariasi dapat kembaki normak setelah syok spinal
sembuh).
Kehilangan tonus otot /vasomotor, kehilangan refleks /refleks asimetris termasuk tendon
dalam. Perubahan reaksi pupil, ptosis, hilangnya keringat bagian tubuh yang terkena
karena pengaruh trauma spinal.
i. Nyeri /kenyamanan
Mengalami deformitas, postur, nyeri tekan vertebral.
j. Pernapasan
Pernapasan dangkal /labored, periode apnea, penurunan bunyi napas, ronki, pucat,
sianosis.
k. Keamanan
Suhu yang berfluktasi *(suhu tubuh ini diambil dalam suhu kamar).
l. Seksualitas
Ereksi tidak terkendali (priapisme), menstruasi tidak teratur.
(Marikyn E. Doengoes, 1999 ; 338-339)
DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Ketidak efektifan pola pernapasan yang berhubungan dengan kelemahan /paralisis
otot-otot abdomen dan intertiostal dan ketidakmampuan untuk membersihkan sekresi.
2. Kerusakan mobilitas fisik yang berhubungan dengan kerusakan fungsi motorik dan
sesorik.
3. Resiko terhadap kerusakan integritas kulit yang berhubungan dengan penurunan
immobilitas, penurunan sensorik.
4. Retensi urine yang berhubungan dengan ketidakmampuan untuk berkemih secara
spontan.
5. Konstipasi berhubungan dengan adanya atoni usus sebagai akibat gangguan
autonomik.
6. Nyeri yang berhubungan dengan pengobatan immobilitas lama, cedera psikis dan alt
traksi
(Diane C. Boughman, 2000 : 90)
PERENCANAAN DAN IMPLEMENTASI
Tujuan perencanaan dan implementasi dapat mencakup perbaikan pola pernapasan,
perbaikan mobilitas, pemeliharaan integritas kulit, menghilangkan retensi urine,
perbaikan fungsi usus, peningkatan rasa nyaman, dan tidak terdapatnya komplikasi.
INTERVENSI
1. Tujuan : Meningkatkan pernapasan yang adekuat
Kriteria hasil : Batuk efektif, pasien mampu mengeluarkan seket, bunyi napas normal,
jalan napas bersih, respirasi normal, irama dan jumlah pernapasan, pasien, mampu
melakukan reposisi, nilai AGD : PaO2 > 80 mmHg, PaCO2 = 35-45 mmHg, PH = 7,35 –
7,45
Rencana Tindakan
a. Kaji kemampuan batuk dan reproduksi sekret
R/ Hilangnya kemampuan motorik otot intercosta dan abdomen berpengaruh terhadap
kemampuan batuk.
b. Pertahankan jalan nafas (hindari fleksi leher, brsihkan sekret)
R/ Menutup jalan nafas.
c. Monitor warna, jumlah dan konsistensi sekret, lakukan kultur
R/ Hilangnya refleks batuk beresiko menimbulkan pnemonia.
d. Lakukan suction bila perlu
R/ Pengambilan secret dan menghindari aspirasi.
e. Auskultasi bunyi napas
R/ Mendeteksi adanya sekret dalam paru-paru.
f. Lakukan latihan nafas
R/ mengembangkan alveolu dan menurunkan prosuksi sekret.
g. Berikan minum hangat jika tidak kontraindikasi
R/ Mengencerkan sekret
h. Berikan oksigen dan monitor analisa gas darah
R/ Meninghkatkan suplai oksigen dan mengetahui kadar olsogen dalam darah.
i. Monitor tanda vital setiap 2 jam dan status neurologi
R/ Mendeteksi adanya infeksi dan status respirasi.
2. Tujuan : Memperbaiki mobilitas
Kriteria Hasil : Mempertahankan posisi fungsi dibuktikan oleh tak adanya kontraktur,
footdrop, meningkatkan kekuatan bagian tubuh yang sakit /kompensasi,
mendemonstrasikan teknik /perilaku yang memungkinkan melakukan kembali aktifitas.
Rencana Tindakan
a. Kaji fungsi-fungsi sensori dan motorik pasien setiap 4 jam.
R/ Menetapkan kemampuan dan keterbatasan pasien setiap 4 jam.
b. Ganti posisi pasien setiap 2 jam dengan memperhatikan kestabilan tubuh dan
kenyamanan pasien.
R/ Mencegah terjadinya dekubitus.
c. Beri papan penahan pada kaki
R/ Mencegah terjadinya foodrop
d. Gunakan otot orthopedhi, edar, handsplits
R/ Mencegah terjadinya kontraktur.
e. Lakukan ROM Pasif setelah 48-72 setelah cedera 4-5 kali /hari
R/ Meningkatkan stimulasi dan mencehag kontraktur.
f. Monitor adanya nyeri dan kelelahan pada pasien.
R/ Menunjukan adanya aktifitas yang berlebihan.
g. Konsultasikan kepada fisiotrepi untuk latihan dan penggunaan otot seperti splints
R/ Memberikan pancingan yang sesuai.
3. Tujuan : Mempertahankan Intergritas kulit
Kriteria Hasil : Keadaan kulit pasien utuh, bebas dari kemerahan, bebas dari infeksi pada
lokasi yang tertekan.
Rencana Tindakan
a. Kaji faktor resiko terjadinya gangguan integritas kulit
R/ Salah satunya yaitu immobilisasi, hilangnya sensasi, Inkontinensia bladder /bowel.
b. Kaji keadaan pasien setiap 8 jam
R/ Mencegah lebih dini terjadinya dekubitus.
c. Gunakan tempat tidur khusus (dengan busa)
R/ Mengurangi tekanan 1 tekanan sehingga mengurangi resiko dekubitas
d. Ganti posisi setiap 2 jam dengan sikap anatomis
R/ Daerah yang tertekan akan menimbulkan hipoksia, perubahan posisi meningkatkan
sirkulasi darah.
e. Pertahankan kebersihan dan kekeringan tempat tidur dan tubuh pasien.
R/ Lingkungan yang lembab dan kotor mempermudah terjadinya kerusakan kulit
f. Lakukan pemijatan khusus / lembut diatas daerah tulang yang menonjol setiap 2 jam
dengan gerakan memutar.
R/ Meningkatkan sirkulasi darah
g. Kaji status nutrisi pasien dan berikan makanan dengan tinggi protein
R/ Mempertahankan integritas kulit dan proses penyembuhan
h. Lakukan perawatan kulit pada daerah yang lecet / rusak setiap hari
R/ Mempercepat proses penyembuhan
4. Tujuan : Peningkatan eliminasi urine
Kriteria Hasil : Pasien dpat mempertahankan pengosongan blodder tanpa residu dan
distensi, keadaan urine jernih, kultur urine negatif, intake dan output cairan seimbang
Rencana tindakan
a. Kaji tanda-tanda infeksi saluran kemih
R/ Efek dari tidak efektifnya bladder adalah adanya infeksi saluran kemih
b. Kaji intake dan output cairan
R/ Mengetahui adekuatnya gunsi gnjal dan efektifnya blodder.
c. Lakukan pemasangan kateter sesuai program
R/ Efek trauma medulla spinalis adlah adanya gangguan refleks berkemih sehingga perlu
bantuan dalam pengeluaran urine
d. Anjurkan pasien untuk minum 2-3 liter setiap hari
R/ Mencegah urine lebih pekat yang berakibat timbulnya ........
e. Cek bladder pasien setiap 2 jam
R/ Mengetahui adanya residu sebagai akibat autonomic hyperrefleksia
f. Lakukan pemeriksaan urinalisa, kultur dan sensitibilitas
R/ Mengetahui adanya infeksi
g. Monitor temperatur tubuh setiap 8 jam
R/ Temperatur yang meningkat indikasi adanya infeksi.
5. Tujuan : Memperbaiki fungsi usus
Kriteria hasil : Pasien bebas konstipasi, keadaan feses yang lembek, berbentuk.
Rencana tindakan
a. kaji pola eliminasi bowel
R/ Menentukan adanya perubahan eliminasi
b. b. Berikan diet tinggi serat
R/ Serat meningkatkan konsistensi feses
c. Berikan minum 1800 – 2000 ml/hari jika tidak ada kontraindikasi
R/ Mencegah konstipasi
d. Auskultasi bising usus, kaji adanya distensi abdomen
R/ Bising usus menentukan pergerakan perstaltik
e. Hindari penggunaan laktasif oral
R/ Kebiasaan menggunakan laktasif akan tejadi ketergantungan
f. Lakukan mobilisasi jika memungkinkan
R/ Meningkatkan pergerakan peritaltik
g. Berikan suppositoria sesuai program
R/ Pelunak feses sehingga memudahkan eliminasi
h. Evaluasi dan catat adanya perdarah pada saat eliminasi
R/ Kemungkinan perdarahan akibat iritasi penggunaan suppositoria
6. Tujuan : Memberikan rasa nyaman
Kriteria hasil : Melaporkan penurunan rasa nyeri /ketidak nyaman, mengidentifikasikan
cara-cara untuk mengatasi nyeri, mendemonstrasikan penggunaan keterampilan relaksasi
dan aktifitas hiburan sesuai kebutuhan individu.
Rencana tindakan
a. Kaji terhadap adanya nyeri, bantu pasien mengidentifikasi dan menghitung nyeri,
misalnya lokasi, tipe nyeri, intensitas pada skala 0 – 1R/ Pasien biasanya melaporkan nyeri diatas tingkat cedera misalnya dada / punggung atau
kemungkinan sakit kepala dari alat stabilizer
b. Berikan tindakan kenyamanan, misalnya, perubahan posisi, masase, kompres hangat /
dingin sesuai indikasi.
R/ Tindakan alternatif mengontrol nyeri digunakan untuk keuntungan emosionlan, selain
menurunkan kebutuhan otot nyeri / efek tak diinginkan pada fungsi pernafasan.
c. Dorong penggunaan teknik relaksasi, misalnya, pedoman imajinasi visualisasi, latihan
nafas dalam.
R/ Memfokuskan kembali perhatian, meningkatkan rasa kontrol, dan dapat meningkatkan
kemampuan koping
d. kolaborasi pemberian obat sesuai indikasi, relaksasi otot, misalnya dontren (dantrium);
analgetik; antiansietis.misalnya diazepam (valium)
R/ Dibutuhkan untuk menghilangkan spasme /nyeri otot atau untuk menghilangkanansietas dan meningkatkan istrirahat.
Evalusi
1. Klien dapat meningkatkan pernafasan yang adekuat
2. Klien dapat memperbaiki mobilitas
3. Klien dapat mempertahankan integritas kulit
4. klien mengalami peningkatan eliminasi urine
5. Klien mengalami perbaikan usus / tidak mengalami konstipasi
6. Klien menyatakan rasa nyaman
(Marilyn E. Doenges 1999 ; 340 – 358, Diane C Baurghman, 2000 : 91 – 93)
DAFTAR PUSTAKA
Brunner & Suddarth, 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, Edisi 8 Vol. 3 .
Jakarta : EGC.
Carpenito, L. T, 1998. Buku Saku Diagnosa Keperawatan. Edisi 6. Jakarta ; EGC
Doengoes, M. E, 1999, Rencana Asuham Keperawatan Pedoman untuk Perencanaan dan
Pendokumentasian Perawatan Pasien. Edisi 3. Jakarta ; EGC
Luckman, J. and Sorensens R.C. 1993. Medical Surgical Nursing a Psychophysiologic
approach, Ed : 4. Philadelphia ; WB, Souders Company.
Mansjoer, A. 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Jilid 2. Edisi 3 Jakarta : FKUI
Pearce Evelyn C. 1997. Anatomi dan Fisiologi untuk Paramedis. Jakarta : PT. Gramedia
A. PENDAHULUAN
Akibat suatu trauma pada medulla spinalis dan kauda ekuina telah
dikenal oleh manusia purba, tetapi catatan pada manusia yang paling dini
tentang paraplegia dan kuadriplegia pada manusia ditemukan pada Papirus
Edwin _ Smith . Disini para ‘ dokter “ mesir menuliskan gejala , cara
pemeriksaan penderita dan mengemukakan prognosisnya yang jelek. Setelah
melalui perjalanan yang panjang , pengalaman, perhatian makin bertambah
selama dan sesudah perang dunia II, sumbangan yang berharga telah
diwujudkan terutama di inggris .George Ridoch memutuskan untuk mengobati
pendertita dikenal sebagai unit trauma spinal. Kecelakaan lalu lintas ,
terjatuh, olahraga (Misalnya menyelam) , kecelakaan industry, luka tembak
dan luka bacok, ledakan bom merupakan penyebab trauma medulla spinalis.
B. PATOGENESIS
a.
b.
c.
d.
Efek trauma terhadap tulang belakang bias berupa fraktur -dislokasi,
fraktur dan dislokasi. Frekuensi relatif ketiga jenis tersebut adalah ter 3:1:1
Fraktur tidak mempunyai tempat predileksi, tapi dislokasi cenderung lokasi
terjadi pada tempat- tempat antara bagian yang sangat mobil dan bagianyang
terfiksasi seperti vertebra C1-2, C5-6 dan T11-12
Dislokasi bias ringan dan bersifat sementara atau berat dan menetap.
Tanpa kerusakan yang nyata pada tulang belakang , efek traumatiknya bias
mengakibatkan lesi yang nyata di medulla spinalis.
Efek trauma yang tidak dapat langsung bersangkutan dengan fraktur
dan dislokasi , tetapi dapat menimbulkan lesi pada medulla spinalis yang
dikenal sebagai trauma tak langsung. Tergolong dalam trauma tak langsung ini
adalah whiplash (lecutan), jatuh terduduk atau dengan badan berdiri atau
terlempar oleh gaya eksploso bom.
Medula spinalis danradiks dapat rusak melalui 4 mekanisme berikut :
Kompresi oleh tulang, ligamentum, herniasi diskus intervertebralis dan
hematom. Yang paling berat adalah kerusakan akibat kompresi tulang dan
kompresi oleh korpus vertebra yang mengalami dislokasi ke posterior dan
trauma hiperekstensi.
Regangan jaringan yang berlebihan akan menyebabkan gangguan pada jaringan
, hal ini biasanya terjadi pada hiperfleksi. Toleransi medulla spinalis terhadap
regangan akan menurun dengan bertambahnya usia
Edema medulla spinalis yang timbul segera setelah trauma menyebabkan
gangguan aliran darah kapiler dan vena.
GAngguan sirkulasi akibat kompresi tulang atua system arteri spinalis
anterior dan posterior
C. MANIFESTASI LESI TRAUMATIK
1. KOMOSIO MEDULA SPINALIS
Komosio medulla spinalis adalah suatu keadaan dimana funsi medulla
spinalis hilang sementara akibat suatau trauma dengan atau tanpa disertai
fraktur atau dislokasi. Sembuh sempurna akan terjadi dalam waktu beberpa
menit hingga beberapa jam/ hari tanpa meningglakan gejala sisa.
Kerusakan reversible yang mendasari komosio medulla spinalis berupa
edema, perdarahan perivaskuler kecil- kecil dan infark di sekitar pembuluh
darah. Pada saat inspeksi makroskopik medulla spinalis tetap utuh . Bila
paralisis total dan hilngnya sensibilitas menetap lebih dari 48 jam maka
kemungkinan sembuh sempurna menipis dan perubahan pada medulla spinalis
lebih mengarah ke perubahan anatomic daripada fisiologik
2. KONTUSIO MEDULA SPINALIS
Berbeda dengan komosio medulla spinalis yng diduga hanya merupakan
gangguan fisiologik saja tanpa kerusakan anatomic makroskopik, maka pada
kontusio medulla spinalis didapati kerusakan makroskopik dan mikroskopik
medulla spinalis yaitu perdarahan, pembengkakan (edema), perubahan
neuron,reaksi peradangan.
Perdarahan di dalam sustansia alba memperlihatkan adanya bercak –
bercak degenarasi waller dan pada kornu anterior terjadi hilangnya neuron
yang di ikuti proliferasi microglia dan astrosit.
3. LASERASIO MEDULA SPINALIS
Pada laserasio medulla spinalis terjadi kerusdakan yang berat akibat
diskontinuitas medulla spinalis. Biasanya penyebab lesi ini adalah luka tembak
atau bacok / tusukan, fraktur dislokasi vertebra.
4. PERDARAHAN
Akibat trauma , medulla spinalis dapat mengalami perdarahan epidural,
subdural Maupun hematomieli. Hematom epidural dan subdural dapat terjadi
akibat trauma maupun akibat anesthesia epidural dan sepsis. Gambaran
klinisnya adalah adanya trauma yang relative ringan tetapi segera diikuti
paralisis flaksid berat akibat penekanan medulla spinalis. Kedua keadaan
diatas memerlukan tindakan darurat bedah. Hematomieli adalah perdarahan
di dalam substansia grisea medulla spinalis . Perdarahan ini dapat terjadi
akibat fraktu- dislokasi , trauma whiplash atau trauma tidak langsung
misalnya akibat gaya eksplosi atau jatuh dalam posisi berdiri / duduk.
Gambaran klinisnya adalah hilangnya fungsi medulla spinalis dibawah
lesi, yang sering menyerupai lesi transversal. Tetapi setelah edema
berkurang dan bekuan darah diserap maka terdapat perbaikan- perbaikan
funsi funikulus lateralis dan posterior medulla spinalis. Hal ini menimbulkan
gamabran klinis yang khas hematomielia sebagai berikut : terdapat paralisis
flaksid dan atrofi otot setinggi lesi dan di bawah lesi terdapat paresis
spastic, dengan utuhnya sensibilitas nyerei dan suhu serta fungsi funikulus
posterior.
5. KOMPRESI MEDULA SPINALIS
Kompresi medulla spinalis dapat terjadi akibat dislokasi vertebra
maupun perdarahan epi dan sudural. Gambaran klinisnya sebanding dengan
sindrom kompresi medulla spinalis akibat tumor, kista, dan abses di dalam
kanalis vertebralis . Akan didapati nyeri radikuler dan paralisis flaksid
setinggi lesi akibat kompresi pada radiks saraf tepi. Akibat hiperekstensi ,
hiperfleksi, dislokasi, fraktur dan gerak lecutan (whiplash) radiks saraf tepi
dapat tertarik dan mengalami jejas (reksis).
Pada trauma lecutan radiks C5-7 dapat mengalami hal demikian dan
menimbulkan nyeri radikular spontan.Dulu gambaran penyakit ini dikenal
sebagai hematorakhis yang sebenarnya lebih tepat dinamakan neuralgia
radikularis traumatic yang reversible. Di bawah lesi kompresi medulla spinalis
akan didapati paralisis spastic dan gangguan sensorik serta otonom sesuai
denga deerajat bertanya kompresi. Kompresi konus medularis terjadi akibat
fraktu- dislokasi vertebra L1, yang menyebabkan rusaknya segmen sakralis
medulla spinalis.Biasanya tidak dijumpai gangguan, otorik yang menetap,
tetapi terdapat gangguan sensorik pada segmen sakralis yang terutama
mengenai daerah sadel, perineum dan bokong.
Di samping itu dijumpai juga gangguan otonom yang berupa retensio
urin serta pada pria terdapat impotensi. Kompresi kaudal ekulna akan
menimbulkan gejala, yang bergantung pada serabut saraf spinlais mana yang
terlibat. Akan dijumnpai paralisis flaksid dan atrofi otot. Gangguan sensorik
sesuai dengan dermatom yang terlibat. Kompresi pada saraf spinalis S2, S3,
dan S4 akan menyebabkan retensio urin dan hilamgnya control volunteer
vesika urinaria, inkontinensia alvi dan impotensi.
6. HEMISEKSI MEDULA SPINALIS
Biasanya dijumpai pada luka tembak atau luka tusuk / bacok di medulla
spinalis. Gambaran klinisnya merupakan sindrom down sequard yaitu setinggi
lesi terdapat kelimpuhan neuron motorik perifer(LMN) ipsilateral pada otot –
otot yang disarafi oleh motoneuron yang terkena hemilesi . Setinggi lesi
7.
8.
9.
a)
b)
c)
a.
b.
c.
dijumpai deficit sensorik ipsilateral yang terbatas pada kawasan sensorik
segmen yang terkena hemilesi. Dibawah tingkat lesi dijumpai pada sisi ipsi
lateral kelumpuhan neuron motorik sentral (UMN) dan deficit sensorik
proprioseptif sedangkan pada sisi kontra lateral terdapat deficit sensorik
protopatik.
SINDROM MEDULA SPINALIS BAGIAN ANTERIOR
Sindrom ini mempunyai cirri khas berikut: paralisis dan hilangnya
sensibilitas protopatik dibawah tingkat lesi, tetapi sensibilitas protopatik
tetap utuh.
SINDROM MEDULA SPINALIS BAGIAN POSTERIOR
Ciri khas sindrom ini adalah adanya deficit motorik yang lebih berat
pada lengan daripada tungkai dan disertai defisit sensorik.
Defisit motorik yang lebih jelas pada lengan (daripada tungkai) dapat
dijelaskan akibat rusaknya sel motorik di kornu anterior medulla sinalis
segmen servikal atau akibat terlibatnya serabut traktus kortikospianlis yang
terletak lebih medial di kolumna lateralis medulla spinalis. Sindrom ini sering
dijumpai pada penderita spondilosis servikal.
TRANSEKSI MEDULA SPINALIS
Bila medulla spinalis secara mendadak rusak total akibat lesi
teransversal maka akan dijumpai 3 macam gangguan yang muncul serentak
yaitu:
Semua gerak voluntary pada bagian tubuh yang terletakdibawah lesi akan
hilang fungsinya secra mendadak dan menetap
Semua sensibilitas daerah di bawah lesi menghilang
Semua fungsi reflektorik pada semua segmen dibawah lesi akan menghilang.
Efek terakhir ini disebut renjartan spinal(spinal shock), yang melibatkan baik
reflex tendon maupun reflex otonom. Kadang kala pada fase renjatan ini
masih dapat dijumpai reflex bulbokavernosus dan atau beberapa minggu
samapi beberapa bulan(3-6 minggu)
Pada anak- anak fase syok spinal berlansung lebih singkat daripada
orang dewasayaitu kurang dari 1 minggu.Bila terdapat dekubitus , infeksi
traktus urionarius atau keadaan metabolic yang terganggu , mal nutrisi,
sepsis, maka fase syok ini akan berlangsung lebih lama.
Mc Cough mengemukakan 3 faktor yang mungkin berperan dalam
mekanisme syok spinal.
Hilangya fasilitas traktus desendens
Inhibisi dari bawah yang menetap , yang bekerja pada reflex ekstensor dan
Degenerasi aksonal interneuron
Karena fase renjatan spinal ini mat dramatis , ridoch menggunkanya sebagai
dasar pembagian gambaran klinisnya atas 2 bagian, ialah renjatan spinal atau
arefleksi dan aktivitas reflex yang meningkat.
10. SYOK SPINAL ATAU AREFLEKSIA
Sesaat setelah trauma , fungsi lesi di bawah tingkat lesi hilang, otot
flaksid ,reflex hilang, paralisis atonik vesika urinaria dan kolon, atonia gaster
dan hipestesia. Juga di bawah tingkat lesi dijumpai hilangnya tonus
vasomotor, keringat dan piloereksi sert6a fungsi seksual. Kulit menjadi
kering dan pucat serta ulkus dapat timbul pada daerah yang mendapat
penekanan tulang. Sfingter vesika urinaria dan anus dalam keadaan kontraksi
(disebabkan karena hilangnya inhibisi dari pusat system saraf pusat yang
lebih tinggi) tetapi otot destrusor dan otot polos dalam keadaan atonik. Urin
akan terkumpul , setelah intravaskuler lebih tinggi dari sfingter uretra maka
urin akan mengalir keluar(overflow incontinence) demikian pula terjadi
dilatasi pasif usus besar , retensio alvi dan ileus paralitik. Refleks genitalia
(ereksi penis, reflex bulbokavernosus, kontraksi otot dartos) menghilang.
11. AKTIVITAS REFLEKS YANG MENINGKAT
Setelah beberapa minggu respons reflex terhadap rangsang mulai
timbul, mula- mula lemah makin lama makin kuat. Secara bertahap timbul
reflex fleksi yang khas yaitu tanda babinski dan kemudian fleksi tripel( gerak
menghindar dari rangsang dengan mengadakan fleksi pada sendi pergelangan
kaki, sendi lutut dan sendi pangkal paha) muncul.Beberapa bulan kemudian
reflex menghindar tadi akan bertambah meningkat , sehingga rangsang pada
kulit tungkai akan menimbulkan kontraksi otot perut, fleksi tripel,
hiperhidrosis, pilo ereksi dan pengosongan kandung kemih secra
otomatis( kadang – kala juga pengosongan rectum). Hal ini disebut reflex
massa.
D. DIAGNOSIS
a) Radiologik
Foto polos posisi antero- posterior dan lateral pada daerah yang
diperkirakan mengalami trauma akan memperlihatkan adanya fraktur dan
mungkin disertai dengan dislokasi. Pada ruang gawat darurat, foto lateral
daerah vertebra yang diperkirakan mendapat trauma harus dikerjakan
segera, meskipun penderita telah membawa foto dari rumah sakit
sebelumnya( khususnya pada trauma daerah servikal). Tujuan tindakan ini
adalah untuk memastikan bahwa tidak terjadi perubahan jajaran
vertebra(alignment) sewaktu diangkat/ dipindahkan. Pada trauma daerah
servikal foto dengan posisi mulut terbuka dapat membantu dalam memeriksa
adanya kemungkinan fraktur vertebra C1- C2.
b) Pungsi Lumbal
Berguna pada fase akut trauma medulla spinalis . Sedikit peningkatan
tekanan liquor serebrospinal dannadanya blockade pada tindakan
Queckenstedt menggambarkan beratnya derajat edema medulla spinalis,
tetapi perlu diingat tindakan pungsi lumbal ini harus dilakukan dengan hatihati, karena posisi fleksi tulang belakang dapat memperberat dislokasi yuang
telah terjadi. Dan antefleksi pada vertebra servikal harus dihindari bila
diperkirakan terjadi trauma pada daerah vertebra servikalis tersebut.
c) Mielografi
Mielografi tampaknya tidak mempunyai indikasi pada fase akut trauma
medulla spinalis. Tetapi mielografi dianjurkan pada penderita yang telah
sembuh dari trauma pada derah lumbal, sebab sering terjadi herniasi diskus
intevertebralis.
E. TATALAKSANA
•
•
•
•
Pada umumnya pengobatan trauma medulla spinalis adalah konservatif
dan simptomatik. Manajemen mempunyai tujuan mempertahankan fungsi
medulla spinalis yang masih ada dan memperbaiki kondisi untuk penyembuhan
jaringan medulla spinalis yang mengalami trauma tersebut.
Prinsip tatalaksana dapat diringkaskan sebagai berikut:
Segera imobilisasi dan diagnose dini
Stabilisasi daeerah tulang yang mengalami trauma
Pencegahan progreivitas gangguan medulla spinalis
Rehabilitasi dini
Pada penderita yang diperkirakan mengalami trauma pada daerah servikal
harus difiksasi degan kerah servikal(cervical collar). Bila kerah tidak
tersedia , maka kepala dan leher difiksasi (imobilisasi) dengan menggunakan
bantal pasir pada sisi kanan dan kiri kepala serta leher, sedangkan penderita
dibaringkan dalam posisi terlentang pada alas yang keras(papan). Sewaktu
penanggulanganawal dimulai , oksigenisasi dan aliran darah yang adekuat pada
medulla spinalis dipertahankan. Perhatian yang besra ditujuakan untuk
mempertahankan jalan nafas.
Bila tekanan oksigen medulla spinalis atau aliran darah berkurang .
maka lesi medulla spinalis akan memburuk. Pemeberian cairan secar intravena
segera dilakukan untuk mencegah terjadinya hipotensi.
Trauma medulla spinalis segmen servikal dapat menyebabkan paralisis
otot- otot interkostal. Oleh karena itu dapatterjadi gangguan pernafasan
bahkan kadang kala apneu. Bila perlu dilakuka inkubasi nasotrakeal(hindari
fleksi dan ekstensi yang berlebihan) bila pemberian oksigen saja tidak
efektif membantu penderita.Pada trauma servikal, hilangnya control
vasomotor menyebabkan pengumpula darah di pembuluh darah di abdomen ,
anggota gerak bawah dan visera yang mengalami dilatasi , menyebabkan
timbulnya hipotensi.
Pipa nasogastrik dipasang untuk mencegah distensi abdomen akibat
dilatasi gaster akut.Bila tidak dilakukan dapat berakibat adanya vomitus lalu
aspirasi dan akan memperberat pernafasan . secepat mungkin diruang gawat
darurat dilakukan pemasangan kateter foley sebab retensio urin akan
berkembang dalam waktu beberapa jam. Perawatan yang baik perlu untuk
mencegah timbulnya efek infeksi mtraktus urinarius.
Pada stadium awal dimana terjadi dilatasi gastrointestinal, diperlukan
pemberian enema. Kemudian bila periltastik timbul kembali dapat diberikan
obat pelunak feses. Bila traktus gastrointestinal menjadi lebih aktif lagi
enema dapat digantidengan supositoria. Penderita harus sering diperhatikan
ada/ tidaknya fekalit. Untuk mencegah timbulnya dekubitus perlu dilakukan
alih baring tiap 2 jam.
Pemberian kortikosteroid untuk mengurangi edema medulla
spinalismasih
controversial.bila
hendak
diberikan
dapat
dipakai
deksametason. Bila timbul spastisitas dapat digunakan diazepam,baklofen dan
dantrolen sodium untuk mengatasinya.
F. OPERASI
1.
2.
3.
4.
5.
Pada saat ini laminektomi dekopresif tak dianjurkan kecuali pada kasus- kasus
tertentu. Indikasi operasi pada saat ini adalah:
Reduksi terbuka dislokasi dengan atau tanpa disertai fraktur pada daerah
servikal, bilamana traksi dan manipulasi gagal.
Adanya fraktur servikal dengan lesi parsial medulla spinalis dengan fragmen
tulang tetap menekan permukaan anterior medulla spinalis meskipun telah
dilakukan traksi yang adekuat.
Trauma servikal dengan lesi parsial medulla spinalis, dimana tidak tampak
adanya fragmen tulang dan diduga terdapat penekanan medulla spinalis oleh
herniasi diskus intervertebralis. Dalam hal ini perlu dilakukan pemeriksaan
mielografi dan scan tomografik untuk membuktikannya.
Fragmen yang menekan lengkung saraf
Adanya benda asing atau fragmen tulang dalam kanalis spinalis
6. Lesi parsial medulla spinalis yang berangsur- angsur memburuk setelah
mulanya dengan cara konservatif yang maksimal menunjukkan perbaikan ,
harus dicurigai hematoma.
G. REHABILITASI
Rehabilitasi harus dilakukan sedini mungkin dengan tujuan untuk
mencegah dengan tujuan untuk mencegah timbulnya komplikasi, mengurangi
cacat dan menyiapkan penderita untuk kembali ke tengah keluarganya dan
masyarakat. Untuk itu diperlukan suatu tim rehabilitasi yang terdiri dari:
 Dokter
 Perawat
 Fisioterapis
 Pekerja social
 Psikolog
 Ahli terapi kerja
 Ahhli ortotik
 Ahli ortopedi
Program rehabilitasi ini dapat dibagi dalam 2 tahap yang sinambung.Tahap
pertama pada fase akut yaitu semasa penderita dalam pengobatan yang
intensif. Terutama dikerjakan oleh perawat dan fisioterapis. Tindakan yang
dapat dilakukan pada fase ini adalah latiha, masase, elektroterapi,memelihara
jalan nafas, merawat gangguan sensibilitas, merawat gangguan miksi dan
defekasi. Pada tahap kedua yaitu program rehabilitasi jangka panjang , disisni
semua unsure tim rehabilitasi dilibatkan dengan tujuan memasyarakatkan
kemabali penderita.
Program ini meliputi:
• Menyiapkan keadaan mental emosional penderita agar dapat tetap berkarya
meskipun menderita cacat
• Edukasi pada penderita dan keluarga tentang perawatan dirumahlatihan cara
makan, berpakaian ,miksi dan defekasi
• Alih pekerjaan yang disesuaikan dengan kondisi penderita.
Daftar pustaka
 Mardjono,M.,&sidharta, P.1989 Neurologi Klinis Dasar, ed 5, PT Dian
Rakyat:Jakarta
 Tim penyusun.2003.Kapita Selekta Neurologi ed.2.Gadjah mada
University Press: Yogyakarta
Trauma medulla spinalis dapat terjadi bersamaan dengan trauma pada tulang belakang
yaitu terjadinya fraktur pada tuylang belakang pada tulang belakang ,ligamentum
longitudainalis posterior dan duramater bisa robek,bahkan dapat menusuk kekanalis
vertebralis serta arteri dan vena-vena yang mengalirkan darah kemedula spinalis dapat
ikut terputus .
Cedera sumsum tulang belakang merupakan kelainan yang pada masa kini yang banyak
memberikan tantangan karena perubahan dan pola trauma serta kemajuan dibidang
penatalaksanaannya.kalau dimasa lalu cedera tersebut lebih banyak disebabkan oleh jatuh
dari ketionggian seperti pohon kelapa , pada masa kini penyebabnya lebih beraneka
ragam seperti lkecelakaan lalu lintas,jatuh dari tempat ketinggian dan kecelakaan olah
raga.
PENYEBAB DAN BENTUK
Cedera sumsum tulang belakang terjadi akibat patah tulang belakang dan terbanyak
mengenai daerah servikal dan lumbal.cedera terjadi akibat hiperfleksi, hiperekstensi,
kompressi, atau rotasi tulang belakang.didaerah torakal tidak banyak terjadi karena
terlindung dengan struktur toraks.
Fraktur dapat berupa patah tulang sederhana, kompressi, kominutif, dan dislokasi,
sedangkan kerusakan pada sumsum tulanmg belakang dapat beruypa memar, contusio,
kerusakan melintang, laserasi dengan atau tanpa gangguan peredaran darah, atau
perdarahan.Kelainan sekunder pada sumsum belakang dapat doisebabkan hipoksemia
dana iskemia.iskamia disebabkan hipotensi, oedema, atau kompressi.
Perlu disadar bahwa kerusakan pada sumsum belakang merupakan kerusakan yang
permanen karena tidak akan terjadi regenerasi dari jaringan saraf. Pada fase awal setelah
trauma tidak dapat dipastikan apakah gangguan fungsi disebabkan oleh kerusakan
sebenarnya dari jaringan saraf atau disebabkan oleh tekanan, memar, atau oedema.
PATOFISIOLOGI
Tulang belakang yang mengalami gangguan trauma dapat menyebabkan kerusakan pada
medulla spinalis, tetapi lesi traumatic pada medulla spinalis tidak selalu terjadi karena
fraktur dan dislokasi. Efek trauma yang tidak langsung bersangkutan tetapi dapat
menimbulkan lesi pada medulla spinalis disebut “whiplash”/trauma indirek. Whiplash
adalah gerakan dorsapleksi dan anterofleksi berlebihan dari tulang belakang secara cepat
dan mendadak.
Trauma whiplash terjadi pada tulang belakang bagian servikalis bawah maupun torakalis
bawah misal; pada waktu duduk dikendaraan yang sedang cepat berjalan kemudian
berhenti secara mendadak. Atau pada waktu terjun dari jarak tinggi menyelam dan masuk
air yang dapat mengakibatkan paraplegia.
Trauma tidak langsung dari tulang belakang berupa hiperekstensi, hiperfleksi, tekanan
vertical (terutama pada T.12sampai L.2), rotasi. Kerusakan yang dialami medulla spinalis
dapat bersifat sementara atau menetap.akibat trauma terhadap tulang belakang, medula
spinalis dapat tidak berfungsi untuk sementara (komosio medulla spinalis), tetapi dapat
sembuh kembali dalam beberapa hari. Gejala yang ditimbulkan adalah berupa oedema,
perdarahan peri vaskuler dan infark disekitar pembuluh darah. Pada kerusakan medulla
spinalis yang menetap, secara makroskopis kelainannya dapat terlihat dan terjadi lesi,
contusio, laserasio dan pembengkakan daerah tertentu di medulla spinalis.
Laserasi medulla spinalis merupakan lesi berat akibat trauma tulang belakang secara
langsung karena tertutup atau peluru yang dapat mematahkan /menggeserkan ruas tulang
belakang (fraktur dan dislokasi).lesi transversa medulla spinalis tergantung pada segmen
yang terkena (segmen transversa, hemitransversa, kuadran transversa).hematomielia
adalah perdarahan dlam medulla spinalis yang berbentuk lonjong dan bertempat
disubstansia grisea.trauma ini bersifat “whiplash “ yaitu jatuh dari jarak tinggi dengan
sifat badan berdiri, jatuh terduduk, terdampar eksplosi atau fraktur dislokasio.kompresi
medulla spinalis terjadi karena dislokasi, medulla spinalis dapat terjepit oleh penyempitan
kanalis vertebralis.
Suatu segmen medulla spinalis dapat tertekan oleh hematoma ekstra meduler traumatic
dan dapat juga tertekan oleh kepingan tulang yang patah yang terselip diantara duramater
dan kolumna vertebralis.gejala yang didapat sama dengan sindroma kompresi medulla
spinalis akibat tumor, kista dan abses didalam kanalis vertebralis.
Akibat hiperekstensi dislokasio, fraktur dan whislap radiks saraf spinalis dapat tertarik
dan mengalami jejas/reksis.pada trauma whislap, radiks colmna 5-7 dapat mengalami hal
demikian, dan gejala yang terjadi adalah nyeri radikuler spontan yang bersifat hiperpatia,
gambaran tersbut disebut hematorasis atau neuralgia radikularis traumatik yang
reversible.jika radiks terputus akibat trauma tulang belakang, maka gejala defisit sensorik
dan motorik yang terlihat adalah radikuler dengan terputusnya arteri radikuler terutama
radiks T.8 atau T.9 yang akan menimbulkan defisit sensorik motorik pada dermatoma dan
miotoma yang bersangkutan dan sindroma sistema aaanastomosis anterial anterior spinal.
GAMBARAN KLINIK
Gambaran klinik tergantung pada lokasi dan besarnya kerusakan yang terjadi.kerusakan
meningitis;lintang memberikan gambaran berupa hilangnya fungsi motorik maupun
sensorik kaudal dari tempat kerusakan disertai shock spinal.shock spinal terjadi pada
kerusakan mendadak sumsum tulang belakang karena hilangnya rangsang yang berasal
dari pusat .peristiwa ini umumnya berlangsung selama 1-6 minggu, kadang lebih
lama.tandanya adalah kelumpuhan flasid, anastesia, refleksi, hilangnya fersfirasi,
gangguan fungsi rectum dan kandung kemih, triafismus, bradikardia dan hipotensi.setelah
shock spinal pulih kembali, akan terdapat hiperrefleksi terlihat pula pada tanda gangguan
fungsi otonom, berupa kulit kering karena tidak berkeringat dan hipotensi ortostatik serta
gangguan fungsi kandung kemih dan gangguan defekasi.
Sindrom sumsum belakang bagian depan menunjukkan kelumpuhan otot lurik dibawah
tempat kerusakan disertai hilangnya rasa nyeri dan suhu pada kedua sisinya, sedangkan
rasa raba dan posisi tidak terganggu.
Cedera sumsum belakang sentral jarang ditemukan.keadaan ini pada umumnnya terjadi
akibat cedera didaerah servikal dan disebabkan oleh hiperekstensi mendadak sehinnga
sumsum belakang terdesak dari dorsal oleh ligamentum flavum yang terlipat.cedera
tersebut dapat terjadi pada orang yang memikul barang berat diatas kepala, kemudian
terjadi gangguan keseimbangan yang mendadak sehingga beban jatuh dsan tulang
belakang sekonyong-konyong dihiper ekstensi.gambaran klinik berupa tetraparese
parsial.gangguan pada ekstremitas atas lebih ringan daripada ekstremitas atas sedangkan
daerah perianal tidak terganggu.
Kerusakan tulang belakang setinggi vertebra lumbal 1&2 mengakibatkan anaestesia
perianal, gangguan fungsi defekasi, miksi, impotensi serta hilangnya refleks anal dan
refleks bulbokafernosa.
PERAWATAN DAN PENGOBATAN
Perhatian utama pada penderita cedera tulang belakang ditujukan pada usaha mencegah
terjadinya kerusakan yang lebih parah atau cedera sekunder.untuk maksud tersebut
dilakukan immobilisasi ditempat kejadian dengan memanfaatkan alas yang
keras.pengangkutan penderita tidak dibenarkan tanpa menggunakan tandu atau sarana
papun yang beralas keras.selalu harus diperhatikan jalan nafas dan sirkulasi.bila dicurigai
cedera didaerah servikal harus diusahakan agar kep[ala tidak menunduk dan tetap
ditengah dengan menggunakan bantal kecil untuk menyanngga leher pada saat
pengangkutan.
Perawatan penderita memegang peranan penting untuk mencegah timbulnya
penyakit.perawatn ditujukan pada pencegahan :
* Kulit : agar tidak timbul dekubitus karena daerah yang anaestesi.
· Anggota gerak : agar tiadak timbul kontraktur.
* Traktus urinarius : menjamin pengeluaran air kemih.
* Traktus digestivus : menjamin kelancaran bab.
* Traktus respiratorius : apabila yang terkena daerah servikal sehingga terjadi pentaplegi.
KULIT
Perawatan posisi berganti dapat mencegah timbulnya decubitus yaitu dengan cara miring
kanan kiri telentang dan telungkup.
ANGGOTA GERAK
Karena kelainan saraf maka timbul pula posisi sendi akibat inbalance kekuatan
otot.pencegahan ditujukan terhadap timbulnya kontraktur sendi dengan melakukan
fisioterapi, latihan dan pergerakan sendi serta meletakkan anggota dalam posisi netral.
TRAKTUS URINARIUS
Untuk ini perlu apakah ganggua saraf menimbulkan gejala UMN dan LMN terhadap bulibuli, karenanya maka kateterisasi perlu dikerjakan dengan baik , agar tidak menimbulkan
infeksi.
TRAKTUS DIGESTIVUS
Menjamin kelancaran defekasi dapat dikerjkaka secara manual .
TRAKTUS RESPIRATORIUS
Apabila lesi cukup tinggi (daerah servikal dimana terdapat pula kelumpuhan pernapasan
pentaplegia), maka resusitasi dan kontrol resprasion diperlukan.
I. Definisi
Trauma medulla spinalis dapat terjadi bersamaan dengan trauma pada tulang belakang
yaitu terjadinya fraktur pada tuylang belakang pada tulang belakang ,ligamentum
longitudainalis posterior dan duramater bisa robek,bahkan dapat menusuk kekanalis
vertebralis serta arteri dan vena-vena yang mengalirkan darah kemedula spinalis dapat
ikut terputus .
Cedera sumsum tulang belakang merupakan kelainan yang pada masa kini yang banyak
memberikan tantangan karena perubahan dan pola trauma serta kemajuan dibidang
penatalaksanaannya.kalau dimasa lalu cedera tersebut lebih banyak disebabkan oleh jatuh
dari ketionggian seperti pohon kelapa , pada masa kini penyebabnya lebih beraneka
ragam seperti lkecelakaan lalu lintas,jatuh dari tempat ketinggian dan kecelakaan olah
raga.
Pada masa lalu kematian penderita dengan cedera sumsum tulang belakang terutama
disebabkan oleh terjadinya penyulit berupa infeksi saluran kemih
gagalginjal,pneumoni/decubitus.
II. PENYEBAB DAN BENTUK
Cedera sumsum tulang belakang terjadi akibat patah tulang belakang dan terbanyak
mengenai daerah servikal dan lumbal.cedera terjadi akibat hiperfleksi, hiperekstensi,
kompressi, atau rotasi tulang belakang.didaerah torakal tidak banyak terjadi karena
terlindung dengan struktur toraks.
Fraktur dapat berupa patah tulang sederhana, kompressi, kominutif, dan dislokasi,
sedangkan kerusakan pada sumsum tulanmg belakang dapat beruypa memar, contusio,
kerusakan melintang, laserasi dengan atau tanpa gangguan peredaran darah, atau
perdarahan.
Kelainan sekunder pada sumsum belakang dapat doisebabkan hipoksemia dana
iskemia.iskamia disebabkan hipotensi, oedema, atau kompressi.
Perlu disadar bahwa kerusakan pada sumsum belakang merupakan kerusakan yang
permanen karena tidak akan terjadi regenerasi dari jaringan saraf. Pada fase awal setelah
trauma tidak dapat dipastikan apakah gangguan fungsi disebabkan oleh kerusakan
sebenarnya dari jaringan saraf atau disebabkan oleh tekanan, memar, atau oedema.
III. PATOFISIOLOGI
Tulang belakang yang mengalami gangguan trauma dapat menyebabkan kerusakan pada
medulla spinalis, tetapi lesi traumatic pada medulla spinalis tidak selalu terjadi karena
fraktur dan dislokasi. Efek trauma yang tidak langsung bersangkutan tetapi dapat
menimbulkan lesi pada medulla spinalis disebut “whiplash”/trauma indirek. Whiplash
adalah gerakan dorsapleksi dan anterofleksi berlebihan dari tulang belakang secara cepat
dan mendadak.
Trauma whiplash terjadi pada tulang belakang bagian servikalis bawah maupun torakalis
bawah misal; pada waktu duduk dikendaraan yang sedang cepat berjalan kemudian
berhenti secara mendadak. Atau pada waktu terjun dari jarak tinggi menyelam dan masuk
air yang dapat mengakibatkan paraplegia.
Trauma tidak langsung dari tulang belakang berupa hiperekstensi, hiperfleksi, tekanan
vertical (terutama pada T.12sampai L.2), rotasi. Kerusakan yang dialami medulla spinalis
dapat bersifat sementara atau menetap.akibat trauma terhadap tulang belakang, medula
spinalis dapat tidak berfungsi untuk sementara (komosio medulla spinalis), tetapi dapat
sembuh kembali dalam beberapa hari. Gejala yang ditimbulkan adalah berupa oedema,
perdarahan peri vaskuler dan infark disekitar pembuluh darah. Pada kerusakan medulla
spinalis yang menetap, secara makroskopis kelainannya dapat terlihat dan terjadi lesi,
contusio, laserasio dan pembengkakan daerah tertentu di medulla spinalis.
Laserasi medulla spinalis merupakan lesi berat akibat trauma tulang belakang secara
langsung karena tertutup atau peluru yang dapat mematahkan /menggeserkan ruas tulang
belakang (fraktur dan dislokasi).lesi transversa medulla spinalis tergantung pada segmen
yang terkena (segmen transversa, hemitransversa, kuadran transversa).hematomielia
adalah perdarahan dlam medulla spinalis yang berbentuk lonjong dan bertempat
disubstansia grisea.trauma ini bersifat “whiplash “ yaitu jatuh dari jarak tinggi dengan
sifat badan berdiri, jatuh terduduk, terdampar eksplosi atau fraktur dislokasio.kompresi
medulla spinalis terjadi karena dislokasi, medulla spinalis dapat terjepit oleh penyempitan
kanalis vertebralis.
Suatu segmen medulla spinalis dapat tertekan oleh hematoma ekstra meduler traumatic
dan dapat juga tertekan oleh kepingan tulang yang patah yang terselip diantara duramater
dan kolumna vertebralis.gejala yang didapat sama dengan sindroma kompresi medulla
spinalis akibat tumor, kista dan abses didalam kanalis vertebralis.
Akibat hiperekstensi dislokasio, fraktur dan whislap radiks saraf spinalis dapat tertarik
dan mengalami jejas/reksis.pada trauma whislap, radiks colmna 5-7 dapat mengalami hal
demikian, dan gejala yang terjadi adalah nyeri radikuler spontan yang bersifat hiperpatia,
gambaran tersbut disebut hematorasis atau neuralgia radikularis traumatik yang
reversible.jika radiks terputus akibat trauma tulang belakang, maka gejala defisit sensorik
dan motorik yang terlihat adalah radikuler dengan terputusnya arteri radikuler terutama
radiks T.8 atau T.9 yang akan menimbulkan defisit sensorik motorik pada dermatoma dan
miotoma yang bersangkutan dan sindroma sistema aaanastomosis anterial anterior spinal.
Download