Charles J. Adams Antara Reduksionisme dan Anti-Reduksionisme dalam Kajian Agama KEHIDUPAN DOSEN DI UNIVERSITAS TERBUKA DALAM PERSPEKTIF DOSEN PEREMPUAN DENGAN ANAK Syamsudini Abstract Historically, public and domestic area can not pair harmoniously. The potential conflict is even greater for women with have children . This condition leads to have less opprotuinities in terms of job compared to men. The separation between public and domestic spheres is due to social norms that perceive work and family as different areas. In fact, this separation also is used against women and force them to stop working when they were pregnant. Actually, gender difference is not a problem as far as not causing gender discrimination. Unfortunately, there are many problems caused relaed to gender differences. There are many challenges that must be faced by women to be able to enggage in the public domain, moreover to be able to keep the balance between the personal and career life . Key word : Universitas Terbuka (UT), Dosen Perempuan, Karier, Keluarga Pendahuluan Identitas perempuan secara langsung mengarah kepada salah satu dari dua jenis kelamin, meskipun di dalam kehidupan sosial selalu dinilai sebagai the other sex yang menentukan mode representasi sosial tentang status dan peran perempuan. Marginalisasi perempuan yang muncul kemudian menunjukkan bahwa perempuan menjadi the second sex yang keberadaannya tidak diperhitungkan. Perdebatan domestic dan public hanya merupakan salah satu “jalan masuk” untuk melihat kembali pembentukan realitas sosial, ekonomi, dan politik perempuan. Dikotomi semacam ini perlu dikaji ulang mengingat gambaran kehidupan kebudayaan, sosial, ekonomi dan politik perempuan telah berkembang sedemikian pesat. (Irwan Abdullah, 2006) Perbedaan gender sesungguhnya tidaklah menjadi masalah sepanjang tidak melahirkan ketidakadilan gender. Namun, yang menjadi persoalan, ternyata perbedaan gender ini telah melahirkan berbagai ketidakadilan baik bagi kaum laki-laki dan terutama kaum perempuan. Wacana untuk menggagas peran perempuan, bukanlah berasal dari sebuah teori atau konsep yang dilandaskan pada formula teori tunggal. Inilah yang menyebabkan banyaknya abstraksi defenisi secara general maupun spesifik, akan aplikasi peran perempuan dalam komunitas masyarakat di sepanjang zaman. Ini berkembang dikarenakan pemahaman, pandangan dan realitas yang melibatkan perempuan.(Manshour Fakih, 2007). Didasarkan atas realita secara historis, budaya, tingkat kesadaran, persepsi, serta perilaku bahwa banyak variasi pendapat maupun perdebatan mengenai peran perempuan di tengah masyarakat. Sebagian masalah ini dibenturkan pada perdebatan panjang akan adanya alasan kuat yang bersumber dari kebudayaan seperti patriarki dan dominasi pria. Akhirnya secara 54 JSGI, Vol. 04, No. 01, Agustus 2013 ISSN : 2087-9830 Abdul Kadir Syamsudini Riyadi ekstrim sampai pada pandangan atas perjuangan perempuan akan isu-isu eksploitasi, kebebasan, latar belakang, ras dan bias gender. Akibat dari sebuah kepedulian akan tekanan dan eksploitasi yang terjadi terhadap perempuan dalam lingkungan pekerjaan. Sekaligus kecendrungan keluarga menjadi area yang mensupport tindakan penyadaran ini. Kesadaran ini juga seiring dengan adanya kepedulian bersama antara laki-laki dan perempuan, untuk melihat dan mendiskusikan kembali bagaimana peran publik perempuan di tengah masyarakat. Ketika berbicara tentang pembaharuan perempuan, hal yang harus dipahami adalah makna dari pembaharuan perempuan. Pemahaman terhadap persoalan ini sangat penting. Makna ini menyiratkan proses kemerosotan yang melanda kaum perempuan. Jika memang benar demikian, maka hal harus dipikirkan lebih jauh adalah apa yang menyebabkan kemerosotan perempuan, serta bagaimana hal itu bisa itu terjadi. Tugas utama yang kemudian harus diemban adalah menghasilkan dan menguraikan beberapa pemikiran yang tajam mengenai pandangan-pandangan terhadap persoalan itu. (Mahatma Ghandi, 2002:1) Dalam tulisan ini, pereview mencoba untuk mengkaji secara kritis tulisan yang dipaparkan oleh Lisa Wolf-Wendel, Kelly Ward, dan Susan B. Twombly tentang bagaimana peran perempuan di Universitas Terbuka (UT) dalam menyeimbangkan kehidupan pribadi dan kehidupan akademiknya, tantangan atau hambatan apa yang mereka hadapi dan pelajaran apa yang bisa dipetik dari analisa mereka. Perempuan dan Wilayah Publik Wilayah kerja public dan domestic dilihat dari perjalanannya tidak pernah bisa sejalan, khususnya bagi para perempuan yang memiliki anak. Hal ini menyebabkan mereka tidak memiliki kesempatan kerja sebagaimana yang dimiliki oleh laki-laki. Pemisahan wilayah publik dan domestik disebabkan karena norma-norma sosial yang memandang bahwa kerja dan keluarga bagi perempuan merupakan kondisi yang sulit untuk bisa sejalan, bahkan pemisahan ini juga berfungsi sebagai kebijakan yang memaksa perempuan untuk berhenti bekerja ketika mereka diketahui hamil. Singkatnya, perempuan yang memiliki anak harus berada di rumah (Williams,1999). Namun, belakangan ini, norma sosial dan undang-undang yang terkait dengan ketidakadilan perempuan telah berubah. Hal ini bisa terlihat secara statistic perempuan yang memiliki anak di wilayah publik telah bertambah. Pada tahun 1975, hanya 39 % ibu dengan anak yang mempunyai kesempatan untuk bekerja. Namun, pada tahun 2004, jumlah ini meningkat menjadi 58 % (U.S. Department of Labor, 2005). Bagaimana trend ini diterjemahkan ke dalam kehidupan akademis? Data terakhir yang dianalisis oleh para pegiat gender pada tahun 1999 menunjukkan bahwa 60 % dosen laki-laki hanya memiliki satu anak, sedangkan dosen perempuan memiliki beberapa anak. Penelitian ini menunjukkan bahwa banyak dosen perempuan lebih yang mengesampingkan pernikahan dan lebih memilih karir daripada keluarga (sebagaimana penelitian yang dilakukan oleh Leslie, 2006, Mason & Goulden, 2002). Sedangkan penelitian lainnya, studi perbandingan tentang perempuan JSGI, Vol. 04, No. 01, Agustus 2013 ISSN : 2087-9830 55 Charles J. Adams Kehidupan DosenAntara di Universitas Reduksionisme Terbukadan dalam Anti-Reduksionisme Perspektif Dosendalam Perempuan Kajiandengan AgamaAnak yang berprofesi sebagai dosen dengan perempuan yang memiliki profesi lain (seperti; kedokteran dan hukum) menunjukkan bahwa dosen perempuan lebih cenderung untuk memilih tidak memiliki anak dibandingkan perempuan pada profesi lain (Baker, 2002; Cooney & Uhlenberg, 1989). Penelitian di atas tidak memberikan sebuah kesimpulan; apakah perbandingan kurangnya interaksi antara dosen perempuan dengan anak merupakan hasil dari tekanan lembaga dan lingkungan atau apakah hal ini merupakan pilihan personal dari orang-orang yang masuk dalam karir akademis. Perempuan dan Hak-hak Kerja Ada beberapa kebijakan institusi yang memberatkan dosen perempuan dengan anak. Namun, pihak institusi membantah dengan berargumen justru merekalah yang membela hakhak dosen perempuan dengan anak, yakni dengan tetap merekr ut mereka dan mempertahankannya (Mason & Goulden, 2002, 2004; Ward & Wolf-Wendel, 2004). Ketika dibandingkan dengan institusi lain, demografi dan misi dari Universitas Terbuka menunjukkan bahwa Universitas Terbuka (UT) lebih bisa mengakomodir dosen perempuan dengan anak. Pertama, 49 % dosen penuh dari Universitas Terbuka adalah perempuan (Almanac, 2005). Kedua, pengajaran adalah focus utama di Universitas Terbuka (salah satu aspek dari kehidupan dosen dimana perempuan terkait) (Mason & Goulden, 2002, 2004; Ward & Wolf-Wendel, 2004). Hasil Temuan Tulisan ini mendiskusikan 4 tema utama, yaitu: A. Pilihan Berdasarkan Atas Kesadaran Diri Para informan dalam studi ini mengajar di Universitas Terbuka (UT) atas kesadaran sendiri. Mereka membuat pilihan ini atas pengalaman dari pekerjaan terdahulu (seperti ketika menjadi guru di SMA atau ketika bekerja dalam bidang industri, pemerintah, atau militer). Faktor lainnya adalah karena para informan ini mencintai dan memiliki komitmen untuk mengajar. Lebih lanjut, beberapa informan dengan gelar doktor, membuat keputusan untuk mengajar di Universitas Terbuka (UT) karena dipahami secara negatif di perguruan tinggi lainnya. Para informan mengambil keputusan mereka atas kesadaran sendiri untuk jenis pekerjaan yang diinginkan dan disesuaikan dengan kebutuhan di Universitas Terbuka (UT). Para peneliti mengeksplorasi alasan-alasan ini dengan menggunakan kuotasi yang representatif dari responden dalam studi ini. Seringkali informasi yang dibutuhkan dalam penelitian ini terpengaruh oleh pekerjaan terdahulu yang tidak sefleksibel bila dibandingkan mengajar di Universitas Terbuka (UT) sehingga membingungkan peneliti untuk mendapatkan informasi sesuai dengan yang mereka butuhkan. Kebanyakan informan dalam studi ini memiliki pengalaman bekerja dalam setting lain sebelum mengajar di Universitas Terbuka (UT). Sedangkan informan lainnya meyakini 56 JSGI, Vol. 04, No. 01, Agustus 2013 ISSN : 2087-9830 Abdul Kadir Syamsudini Riyadi bahwa mereka mampu mengajar dan memberikan inspirasi kepada mahasiswa. Persolan lain adalah pandangan negatif terhadap para responden karena menghabiskan waktu dan mengorbankan kehidupan pribadi mereka untuk mengejar karir. B. Tekanan waktu, Stress, dan Bentuk-bentuk Frustasi lainnya Peneliti melihat para informan menghadapi tekanan, stress, dan kekhawatiran terkait dengan pekerjaan dan kehidupan keluarga mereka. Adapun sumber stress tersebut adalah keterbatasan waktu, tuntutan untuk mendapatkan kontrak kerja yang lebih pasti, dan diperlakukan tidak adil baik di tempat kerja ataupun dirumah. Kebanyakan responden dalam studi ini secara sadar memilih untuk mengajar di Universitas Terbuka (UT) karena lebih menjanjikan dibandingkan bekerja di perguruan tinggi umum. Para responden melihat Universitas Terbuka (UT) lebih kondusif untuk keluarga dan kerja, dan sekaligus lebih menantang dalam banyak hal. Responden juga merasa frustasi dengan tuntutan yang dihadapi padahal disisi lain mereka memiliki balita, beban kerja, kontrak kerja yang tidak jelas, keterbatasan waktu berkumpul dengan keluarga, dan tidak ada dukungan dari teman sekantor. Peneliti menemukan poin penting dalam penelitian ini, yaitu situasi yang sulit bagi responden, seperti pada saat mereka melahirkan. Waktu inilah yang dianggap terberat karena responden merasakan betapa sulitnya untuk mendapatkan dosen pengganti untuk menggantikan jam mengajar mereka, bahkan bisa dikatakan mustahil. Dilain sisi, pihak kampus mengajurkan untuk menggunakan cuti sakit, hal ini juga problematis karena responden tidak bisa menggunakannya ketika mereka benar-benar membutuhkan, akibatnya sedikit sekali responden yang menggunakan kesempatan ini. Menyusui adalah salah satu masalah yang harus dihadapi oleh responden karena seringkali mereka harus menggunakan alat pemompa ASI untuk bayi mereka tapi permasalahannya, dimana harus melakukannya. Responden merasa malu untuk melakukan didepan para kolega mereka, karena harus mengekspose bagian fital mereka; haruskah responden memberi kata peringatan di depan pintu ketika mereka melakukannya, belum lagi suara alat tersebut menarik perhatian para dosen lainnya. Masalah lain yang responden hadapi adalah rasa stress memikirkan status kontrak kerja; apakah diperpanjang atau harus berhenti. Untuk mendapatkan perpanjangan kontrak kerja, responden harus menunjukkan kemampuannya dalam mengajar dan penilaian-penilaian lainnya. Kondisi tersebut wajar bagi responden untuk merasakan hal tersebut karena kebanyakan dari mereka mengharapkan untuk diangkat sebagai pekerja tetap. Hal ini terkait dengan tanggungjawab terhadap keluarga mereka. Bahkan seorang responden harus menunggu untuk memiliki anak sampai ia melewati masa menjadi pengajar tetap. Persoalan lainnya adalah berkenaan dengan waktu. Para responden ini diharapkan bekerja minimal 35 jam dalam seminggu, kadang-kadang lebih tergantung pada kontrak yang mereka miliki. Dalam hal ini, responden tetap diharapkan untuk mengajarkan mata kuliah, memberikan JSGI, Vol. 04, No. 01, Agustus 2013 ISSN : 2087-9830 57 Charles J. Adams Kehidupan DosenAntara di Universitas Reduksionisme Terbukadan dalam Anti-Reduksionisme Perspektif Dosendalam Perempuan Kajiandengan AgamaAnak masukan kepada mahasiswa, memberikan nilai pada tugas mereka, mempersiapkan hal-hal yang terkait dengan mata kuliah pada semester berikutnya, dan lain-lain. Bagaimana responden menyeimbangkan antara kerja dan keluarga? Kuncinya adalah memisahkan antara waktu kerja dan waktu untuk keluarga. Mereka hanya mengkhususkan waktu bekerja di kantor. Sekalipun, tidak semua responden melihatnya sebagai hal yang mungkin. Persoalan lain adalah kurangnya dukungan dari para kolega. Beberapa responden dalam penelitian ini merasa frustasi karena kolega mereka tidak memberikan fleksibelitas. Bahkan, atasan responden tidak mengijinkan mereka untuk membawa anak-anaknya ke kantor karena bisa mengganggu kolega yang lain. Bagian administrasi (perempuan) juga bisa menjadi masalah terhadap responden, misalnya, dekan memberikan pilihan yang sulit antara tetap membawa dan menjaga balita responden atau fokus kepada pekerjaan. Namun penting untuk dicatat, beberapa responden menjelaskan bahwa ada beberapa bagian administrasi yang sangat mendukung responden dengan menolong mereka untuk menyesuaikan tanggungjawab responden sebagai seorang ibu dengan pekerjaan mereka sebagai tenaga pengajar. Bahkan, ada beberapa atasan responden menolong mereka dengan menyesuaiakan schedule mengajar dengan pekerjaan rumah atau mengijinkan untuk membawa anak-anak mereka pada saat ada rapat. Persoalan lain yang mereka hadapi adalah distribusi waktu. Para responden dalam penelitian ini juga merasa frustasi dengan pembagian kerja yang tidak adil dalam kehidupan rumah tangga mereka. Tugas responden sebagai ibu rumah tangga adalah yang tanggungjawab utama mereka (Hochschild, 1989). Seorang responden menjelaskan bahwa dialah yang mengurusi rumah, membayar tagihan, menjaga anak, dan mengurusi segalan urusan rumah tangga sedangkan suaminya merasa bahwa apa yang dia lakukan lebih dari apa yang ia lakukan. Para responden sebenarnya menyadari tanggungjawab sebagai seorang ibu ketika kembali ke kehidupan rumah tangga mereka, yakni tanggungjawab terhadap masalah rumah tangga, masak dan menjaga anak-anak mereka. Namun, para suami yang mengecualikan akan tanggungjawab ini jarang sekali, dan kalaupun itu ada para responden akan sangat berterima kasih karena telah meringankan beban mereka. C. Keseimbangan Kehidupan Keluarga dan Karir Tema ketiga adalah tentang keseimbangan untuk mencapai kehidupan keluarga dan karir. Keseimbangan, yang menurut responden, hanyalah tujuan yang bersifat semu belaka. Beberapa responden berbicara tentang beberapa strategi dimana mereka bisa mengintegrasikan kerja dan kehidupan rumah tangga mereka. Foto keluarga adalah salah satu solusi, dimana ketika responden masih menjadi mahasiswa, mereka tidak pernah memilikinya. Salah satu alasan responden melakukan hal tersebut adalah untuk membantu mereka fokus dan konsentrasi dalam bekerja. Tantangan lain adalah bagaimana menyelesaikan pekerjaan di kantor tanpa harus membawa kerumah. Mengoreksi hasil kerja siswa adalah salah satu yang respondent harus 58 JSGI, Vol. 04, No. 01, Agustus 2013 ISSN : 2087-9830 Abdul Kadir Syamsudini Riyadi lakukan. Dan jika itu terjadi, mereka tidak akan menyentuh lembar kerja siswa, sampai mereka pastikan bayi mereka tidur terlebih dahulu karena waktu tersebut bukan untuk pekerjaan namun untuk bayi mereka. Beberapa respondent memisahkan antara pekerjaan dari keluarga karena mereka meyakini bahwa mereka harus menghindari hal tersebut. Seorang respondent berkomentar: “saya tidak akan membiarkan mahasiswa saya membawa anak-anak mereka ke kelas, demikian juga, saya tidak akan membawa anak-anak saya.” Beberapa responden mempertanyakan apa arti keseimbangan itu sendiri. Rasa frustasi kadang-kadang dirasakan oleh mereka. Responden seakan-akan merasa menyeimbangkan sesuatu yang mustahil untuk diseimbangkan. Seorang responden berkomentar: “Saya hidup dalam situasi dimana harus ada keseimbangan. Namun, sulit untuk menjadi super mom, menyeimbangkan antara pekerjaan dan kehidupan rumah tangga, tentu saja saya selalu mencoba untuk menemukan cara untuk menyeimbangkan segalanya, namun saya mulai merasa sedikit frustasi betapa sulitnya melakukan hal tersebut.” Responden juga melihatnya sebagai sesuatu yang dilemmatis. Mereka merasa bukan seorang ibu dan dosen yang baik. Untuk itu, mereka mencoba untuk mengingatkan diri mereka sendiri bahwa mereka harus memprioritaskan apa yang perlu dilakukan di rumah dan apa yang dapat dilakukan ditempat kerja. Para responden ini ingin melakukan sesuatu dengan baik dalam segala hal dan itu mustahil mereka lakukan ketika mereka melakukan banyak hal. Strategi yang digunakan oleh beberapa responden adalah mengintegrasikan antara waktu kerja dan keluarga. Strategi ini menggunakan beberapa bentuk. Sebagaimana di jelaskan oleh salah seorang respondent: “saya bertanggungjawab terhadap diri saya dan terhadap mahasiswa saya, namun saya pikir tanggungjwab tersebut bersifat fleksibel dalam posisi saya sebagai orangtua. Jika dalam kondisi genting saya harus membatalkan kelas saya, maka saya akan melakukannya. Jika dalam kondisi emergency saya harus membawa anak saya, saya akan membawa nya ke kantor. Jadi saya rasa ini adalah kebebasan saya sebagai orangtua sebagaimana orang lain miliki dalam bentuk lain, dan mereka harus menghargai itu.” D. Ide Kebahagian dan Ketenangan Dan yang ke-empat adalah ide-ide kebahagian dan ketenangan. Sesuatu yang ada dalam kehidupan nyata, namun sulit untuk ditemukan dalam kehidupan para responden ini. Salah satu temuan yang paling menarik dalam studi ini adalah responden merupakan sekelompok individu yang senang dan puas. Para responden dalam studi ini mendiskripsikan rasa puas mereka karena mampu berperan ganda, yakni sebagai seorang pendidik dan sekaligus sebagai seorang ibu. Secara umum, para responden dalam studi ini mengungkapkan bahwa pekerjaan mereka memuaskan karena mengajar adalah media untuk beraktualisasi. Sedangkan, responden lain mengungkapkan rasa senang mereka karena memiliki mahasiswa yang terus meningkat prestasinya. JSGI, Vol. 04, No. 01, Agustus 2013 ISSN : 2087-9830 59 Charles J. Adams Kehidupan DosenAntara di Universitas Reduksionisme Terbukadan dalam Anti-Reduksionisme Perspektif Dosendalam Perempuan Kajiandengan AgamaAnak E. ANALISIS Dalam tulisan ini, perieview mencoba untuk mengkaji secara kritis tulisan yang dipaparkan oleh Lisa Wolf-Wendel; Kelly Ward; Susan B. Twombly, karena bagaimanapun setiap individu tidak bisa lepas dari subyektifitas, demikian pula dalam tulisan ini juga tidak bisa diabaikan bias gender mereka dalam melihat kehidupan para dosen perempuan dalam kehidupan akademik mereka. dengan kata lain, bahwa tidak ada yang namanya obyektif, setiap individu membawa kepentingan mereka sendiri-sendiri, inilah yang periview coba tekankan. Lebih lanjut, ada beberapa hal yang akan didiskusikan dalam review ini; pertama, penelitian ini perlu kita pertimbangkan aspek social budayanya, karena penelitian ini berlangsung di USA, dimana kondisi social mereka sudah berevolusi secara cepat akibat pengaruh informasi dan tekhnologi. Peran domestik dan publik tidak bisa dilepaskan dari peran wanita itu sendiri sebelumnya, yang telah terjadi dari generasi ke genarasi dan kemudian menjadi sebuah kebiasaan. Laki-laki berperan disektor publik dan perempuan berada disektor domestik. Informasi dan tekhnologi mempengaruhi fungsi peran tersebut. Maka ketika keluar dari kebiasaan yang ada sebelumnya, maka hal tersebut dianggap menyimpang dari kebiasaan. Hal ini sesuai apa yang dipaparkan oleh Collete (1992): “Begitu konflik antara ketergantungan dan kemandirian disadari, dikenali dan dipisahkan dari kehidupan keseharian seseorang, yang terjadi kemudian adalah lompatan dari kunkungan dan keluar menuju pada kebebasan terbuka” (Collete Dowling, 1992, hal 173). Kedua, dalam tulisan ini ada empat (4) tema utama yang didiskusikan oleh Lisa WolfWendel, Kelly Ward, dan Susan B. Twombly; 1) pilihan yang berdasarkan pilihan sendiri, 2) tekanan, stress, dan kekhawatiran yang terkait dengan pekerjaan dan kehidupan keluarga mereka, 3) keseimbangan untuk mencapai keduanya, dan 4) ide-ide kebahagian dan ketenangan. Pilihan yang berdasarkan pilihan sendiri; penelitian ini dilakukan di Universitas Terbuka (UT), kalau dalam konteks Indonesia, Perguruan Tinggi ini kurang popluler atau bisa dikatakan dipandang sebelah mata. Secara kualitatif Perguruan Tinggi (PT) sejenis ini tidak lebih dari 10 persen. Demikian halnya juga di Amerika, tidak lebih dari 7 persen dari perguruan tinggi di Amerika (http://www.census.gov/Press-Release/www/releases/archives/education/ 004214.html). Jadi, yang menjadi pertanyaan selanjutnya, apakah penelitian ini bisa mempresentasikan sebuah solusi dari problem yang dihadapi oleh wanita karir disana, mengingat kecilnya persentasi UT dibandingkan dengan Perguruan Tinggi (PT) umumnya. Dan juga apakah pilihan lembaga sendiri untuk memilih mereka karena ketiadaan sumber daya manusia (SDM), dengan kata lain para wanita tersebut dijadikan tenaga pengajar sebagai tenaga alternatif yang tersedia. Kalau lembaga UT mengatakan bahwa salah satu bukti concern mereka terhadap persoalaan gender, jadi dengan argumen diatas, perekrutan mereka perlu dikaji ulang. Ketimpangan sosial, ekonomi dan politik seringkali dihubungkan dengan isu gender dan budaya patriarki karena pertama, nilai-nilai kultural sebagai blue print-normatif menjadi acuan utama dalam bertingkah laku, termasuk dalam pengambilan kebijakan dibidang pembangunan (Team UIN Jakarta, 2004, hal 17). 60 JSGI, Vol. 04, No. 01, Agustus 2013 ISSN : 2087-9830 Abdul Kadir Syamsudini Riyadi Apapun privilige yang diberikan oleh Universitas Terbuka (UT) terhadap dosen perempuan yang memiliki balita. Senyatanya mereka masih menghadapi persoalan; baik karena kurangnya waktu mereka terhadap balita mereka maupun tekanan dari teman sekantor mereka. Dalam konteks di Indonesia, persoalan mereka lebih bisa diatasi. Persoalan yang di hadapi oleh wanita karir di USA, selain karena persoalan setting budaya, hal lain adalah persoalan secara finansial. Pertama persolaan setting budaya, di Indonesia adalah sebuah kewajaran ketika seorang perempuan memiliki balita untuk membawa anggota keluarga lainnya dalam rumah tangganya, misalnya ibu, adik, atau kakaknya. Mereka terbiasa untuk tinggal dalam satu ruangan secara bersama-sama. Hal ini tidak berlaku dalam setting budaya Amerika, misalnya salah satu contoh, mereka begitu tinggi menjunjung privacy mereka, dengan anggot keluarga terdekat sekalipun. Kedua adalah persoalan ekonomi adalah berat bagi mereka untuk menampung anggota lainnya. Dengan pola hidup mereka, berat untuk sebuah keluarga baru kecil untuk bisa memenuhi kebutuhan hidup anggota lainnya, kebutuhan ruangan, listrik, asuransi kesehatan dan kebutuhankebutuhan lainnya. Dalam hal ini, Rosemarie (2004) berpendapat bahwa feminisme multikultural didasarkan pada pandangan bahwa didalam satu negara (misal Amerika) semua perempuan tidak diciptakan atau dikontruksi secara setara. Bergantung pada ras dan kelas, usia, agama, pendidikan, pekerjaan, sosial dan budaya (Rosemarie, 2004, hal 310). Dalam kontek keseimbangan keluarga dan karir; terlepas dari persoalan tekhnis bagaimana mereka menyeimbangkan antara karir dan keluarga. Ada hal menarik yang bisa kita pelajari dari komitmen mereka terhadap pekerjaan atau karir mereka. Kalau kita berbicara tentang keseimbangan ada pelajaran berharga yang perlu kita renungkan. Bagaiamanapun kebebasan yang mereka miliki, tetap saja fitrah mereka sebgai perempuan tidak bisa dilepaskan, yang notebene memberatkan mereka. Hal ini jauh dari anggapan orang-orang Asia selama ini yang menganggap bahwa para wanita barat sungguh tidak peduli dengan kehidupan keluarga mereka. Secara konseptual peran ganda wanita mengandung beberapa kelemahan dan ambivalensi. Pertama, di dalamnya terkandung pengertian bahwa sifat dan jenis pekerjaan wanita adalah tertentu dan sesuai dengan kodrat wanitanya. Kedua, dalam kaitan dengan yang pertama, wanita tidak sepenuhnya bisa ikut dalam proses-proses produksi. Ketiga, di dalamnya terkandung pengakuan bahwa sistem pembagian kerja seksual seperti yang dikenal sekarang bersifat biologis semata. Dalam hal ini Cleves menjelaskan: “Secara tradisional, gagasan yang dianut tentang perilaku gender tepat bisa sangat mempengaruhi kehidupan perempuan, yang menguatkan polapola gender dalam masyarakat. Pemahaman tentang perbedaan gender dalam kepemilikan dan kontrol terhadap pembagian kerja secara seksual dan nilai kerja ekonomi perlu diseimbangkan dengan pandangan lainnya. (Julia Cleves Mosse, 1993:83). Peran domestik dan publik bagi perempuan adalah dua hal yang tidak bisa di tawar-tawar lagi. Peran mengatur rumah tangga merupakan tuntutan tak terpisah dari peran ibu. Hal ini disebabkan pemeliharaan anak-anak hingga terjaga kebersihan, kesehatan, dan proses tumbuh kembangnya menuntut pengaturan rumah termasuk dapur, tempat tidur, kebersihan pakaian, JSGI, Vol. 04, No. 01, Agustus 2013 ISSN : 2087-9830 61 Charles J. Adams Kehidupan DosenAntara di Universitas Reduksionisme Terbukadan dalam Anti-Reduksionisme Perspektif Dosendalam Perempuan Kajiandengan AgamaAnak kamar mandi dan lain-lain. Peran perempuan tidak terbatas hanya sebagai ibu dan pengatur rumah tangga. Wanita masih tertinggal dibandingkan pria, meskipun secara hukum kesempatan untuk meningkatkan status dan peranannya sudah diperoleh. Ketertinggal wanita ini jika ditelusuri lebih lanjut kelihatannya berpangkal pada pembagian pekerjaan secara seksual didalam masyarakat dimana peran wanita yang utama adalah lingkungan rumah tangga (domestic sphere) dan peran pria yang utama diluar rumah (public sphere). (Ihromi, 1995: 85). F. Kesimpulan Bertolak dari pemaparan diatas, ada banyak tantangan yang harus dihadapi perempuan untuk mampu beraktifitas di ranah publik, apalagi untuk mampu menyeimbangkan antara ruang pribadi dan kehidupan karir. Contoh nyata, Amerika Serikat (AS) yang dipandang sebagai surga kebebasan, masih sulit bagi para perempuannya untuk menyeimbangkan antara kehidupan pribadi dan karir, apalagi di Asia, khususnya Indonesia, dimana bias gender, budaya dan agama, kepentingan ekonomi dan politik begitu dominan. Pendidikan, khususnya penyadaran akan gender atau lebih umum dikenal dengan istilah “pendidikan sensitifitas gender” memiliki peran penting. Namun sayangnya mengingat tingkat melek huruf masyarakat Indonesia yang begitu kecil, hal ini masih jauh api dari panggang. Banyak hal yang menjadi pekerjaan rumah (PR) bagi para stakeholders; pemegang kebijakan/ pemerintah, tokoh agama dan masyarakat, guru, dosen, para pegiat Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan lain-lain. Daftar Pustaka Abdullah, Irwan, (2006) Sangkan Paran Gender,Yogyakarta: Pustaka Pelajar Cleves Mosse, Julia, (1993) Gender Pembangunan, (terjemah: Hartian Silawati) Yogyakarta: Rifka Annisa Women’s Crisis Centre Dowling, Collete, (1992) The Cinderellah Complex (Tantangan Wanita Modern) (terjemah; Santi W.E. Soekarno) Jakarta: Penerbit Erlangga Ghandi, Mahatma (2002) Kaum Perempuan dan Ketidakadilan Sosial, (terjemahan; Siti Farida) Yogyakarta; Pustaka Pelajar Fakih, Manshour (2007) Analisis Gender, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007 Ihromi (1995) Kajian Wanita dalam Pembangunan, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia Putnam Tong, Rosemarie (2004) Feminist Thought; Pengantar Paling Komprehensif Kepada Aliran Utama Pemikiran Feminis, (terjemah; Aquarini Priyatna Prabasmoro) Yogyakarta: Jalasutra Team UIN Jakarta (2004) Realita dan Cita Kesetaraan Gender di UIN Jakarta, Jakarta: McGail IAIN-Indonesia Social Equity Project http://www.census.gov/Press-Release/www/releases/archives/education/004214.html References Almanac. (2005). Chronicle of Higher Education. Retrieved June 26, 2006, from http:// 62 JSGI, Vol. 04, No. 01, Agustus 2013 ISSN : 2087-9830 Abdul Kadir Syamsudini Riyadi chronicle.com/free/almanac/2005/ Austin, A. E. (2002). Preparing the next generation of faculty: Graduate school as socialization to the academic career. Journal of Higher Education, 73(1), 94-122. Baker, J. G. (2002). Women in the workforce. Monthly Labor Review. Retrieved June 26, 2006, from http://www.findarticles.com/p/articles/mi_m1153/is_8_125/ai_95263056# Bonnet, F. B. (2001). Addressing gender issues in the historically Black college and university community: A challenge and call to action. Journal of Negro Education, 70(3), 176-192. Center for the Education of Women. (2005). Family-friendly policies in higher education. Where do we stand? Ann Arbor, MI: Author. Clark, S. L. (1998). Female faculty in community colleges: Investigating the mystery. Community College Review, 26(3), 77-88. Cohen, A. M., & Brawer, F. B. (2003). The American community college (4th ed.). San Francisco: Jossey-Bass. Cooney, T. M., & Uhlenberg, P. (1989). Family-building patterns of professional women: A comparison of lawyers, physicians, and postsecondary teachers. Journal of Marriage and the Family, 51, 749-758. Finkel, S. K., & Olswang, S. G. (1996). Child rearing as a career impediment to women assistant professors. Review of Higher Education, 19(2), 123-139. Gahn, S., & Twombly, S. B. (2001). Dimensions of the community college faculty labor market. Review of Higher Education, 24(3), 259-282. Golde, C. M., & Dore, T. M. (2001). At cross-purposes: What the experiences of today’s doctoral students reveal about doctoral education. Retrieved January 3, 2001, from http:// www.wcer.wisc.edu/phd-survey/golde.html Hagedorn, L. S., & Laden, B. V. (2002). Exploring the climate for women as community college faculty. New Directions for Community College, 118, 69-78. Hochschild, A. (1989). The second shift: Working parents and the revolution at home. New York: Viking Press. Hughes, C. (2002). Key concepts in feminist theory and research. Thousand Oaks, CA: Sage. Janesick, V. J. (2000). The choreography of qualitative research design: Minuets, improvisations, and crystallization. In N. K. Denzin & Y. S. Lincoln (Eds.), Handbook of qualitative research (pp. 379-400). Thousand Oaks, CA: Sage. Jones, A. (1997). Teaching post-structuralist feminist theory in education: Student resistances. Gender and Education, 9(3), 261-270. Leslie, D. W. (2006). Policy brief: Faculty careers and flexible employment. Retrieved May 25, 2006, from www.tiaa-crefinstitute.org Lincoln, Y. S., & Guba, E. G. (1985). Naturalistic inquiry. Beverly Hills, CA: Sage. Mason, M., & Goulden, M. (2002). Do babies matter? The effects of family formation on the lifelong careers of academic men and women. Academe, 88(6), 21-27. JSGI, Vol. 04, No. 01, Agustus 2013 ISSN : 2087-9830 63 Charles J. Adams Kehidupan DosenAntara di Universitas Reduksionisme Terbukadan dalam Anti-Reduksionisme Perspektif Dosendalam Perempuan Kajiandengan AgamaAnak Mason, M., & Goulden, M. (2004). Do babies matter (Part II)? Closing the baby gap. Academe, 90(6), 21-27. Merton, R. K., & Rossi, A. S. (1968). Contributions to the theory of reference group behavior. In R. K. Merton (Ed.), Social theory and social structure (pp. 279-334). New York: Free Press. Perna, L. W. (2001).The relationship between family responsibilities and employment status. Journal of Higher Education, 72(5), 584-611. Perna, L. W. (2003, November). Sex differences in faculty tenure and promotion: The contribution of family ties. Paper presented at the annual meeting of the Association for the Study of Higher Education, Portland, OR. Phillipe, K. A. (Ed.). (1999). National profile of community colleges: Trends and statistics (3rd ed.). Washington, DC: American Association of Community Colleges. Rhoades, G. (1998). Managed professionals: Unionized faculty and restructuring academic labor. Albany: State University of New York Press. Sorcinelli, M. D., & Near, J. P. (1989). Relations between work and life away from work among university faculty. Journal of Higher Education, 60(1), 59-82. Strauss, A., & Corbin, J. (1990). Basics of qualitative research: Grounded theory procedures and techniques. Newbury Park. CA: Sage. Townsend, B. K. (1998). Female faculty: Satisfaction with employment in the community college. Community College Journal of Research and Practice, 22, 655-662. Townsend, B. K., & LaPaglia, N. (2000). Are we marginalized within academe? Perceptions of two-year faculty. Community College Review, 28(1), 41-51. Twombly, S. B. (1993). What we know about women at community colleges: An examination of the literature using feminist phase theory. Journal of Higher Education, 64(2), 186211. Twombly, S. B. (2005). Values, policies and practices affecting the hiring process for fulltime arts and sciences faculty in community colleges. Journal of Higher Education, 76(4), 423-447. U.S. Department of Labor. (2005). Facts on working women. Washington, DC: Department of Labor. Retrieved June 26, 2006, from www.bls.gov/cps/wif-databook2005.htm Ward, K., & Wolf-Wendel, L. (2004). Academic motherhood: Managing complex roles in research universities. Review of Higher Education, 27(2), 233-258. Williams, J. (1999). Unbending gender: Why work and family conflict and what to do about it. New York: Oxford University Press. Wolgemuth, J. R., Kees, N. L., & Safarik, L. (2003). A critique of research on women published in the Community College Journal of Research and Practice: 1990-2000. Community College Journal of Research and Practice, 27, 757-767. 64 JSGI, Vol. 04, No. 01, Agustus 2013 ISSN : 2087-9830