kehidupan dosen di universitas terbuka dalam perspektif dosen

advertisement
Charles J. Adams Antara Reduksionisme dan Anti-Reduksionisme dalam Kajian Agama
KEHIDUPAN DOSEN DI UNIVERSITAS TERBUKA
DALAM PERSPEKTIF DOSEN PEREMPUAN DENGAN ANAK
Syamsudini
Abstract
Historically, public and domestic area can not pair harmoniously. The potential conflict is even greater for
women with have children . This condition leads to have less opprotuinities in terms of job compared to men.
The separation between public and domestic spheres is due to social norms that perceive work and family as
different areas. In fact, this separation also is used against women and force them to stop working when they
were pregnant. Actually, gender difference is not a problem as far as not causing gender discrimination.
Unfortunately, there are many problems caused relaed to gender differences. There are many challenges that
must be faced by women to be able to enggage in the public domain, moreover to be able to keep the balance
between the personal and career life .
Key word : Universitas Terbuka (UT), Dosen Perempuan, Karier, Keluarga
Pendahuluan
Identitas perempuan secara langsung mengarah kepada salah satu dari dua jenis kelamin,
meskipun di dalam kehidupan sosial selalu dinilai sebagai the other sex yang menentukan mode
representasi sosial tentang status dan peran perempuan. Marginalisasi perempuan yang muncul
kemudian menunjukkan bahwa perempuan menjadi the second sex yang keberadaannya tidak
diperhitungkan. Perdebatan domestic dan public hanya merupakan salah satu “jalan masuk” untuk
melihat kembali pembentukan realitas sosial, ekonomi, dan politik perempuan. Dikotomi
semacam ini perlu dikaji ulang mengingat gambaran kehidupan kebudayaan, sosial, ekonomi
dan politik perempuan telah berkembang sedemikian pesat. (Irwan Abdullah, 2006)
Perbedaan gender sesungguhnya tidaklah menjadi masalah sepanjang tidak melahirkan
ketidakadilan gender. Namun, yang menjadi persoalan, ternyata perbedaan gender ini telah
melahirkan berbagai ketidakadilan baik bagi kaum laki-laki dan terutama kaum perempuan.
Wacana untuk menggagas peran perempuan, bukanlah berasal dari sebuah teori atau konsep
yang dilandaskan pada formula teori tunggal. Inilah yang menyebabkan banyaknya abstraksi
defenisi secara general maupun spesifik, akan aplikasi peran perempuan dalam komunitas
masyarakat di sepanjang zaman. Ini berkembang dikarenakan pemahaman, pandangan dan
realitas yang melibatkan perempuan.(Manshour Fakih, 2007).
Didasarkan atas realita secara historis, budaya, tingkat kesadaran, persepsi, serta perilaku
bahwa banyak variasi pendapat maupun perdebatan mengenai peran perempuan di tengah
masyarakat. Sebagian masalah ini dibenturkan pada perdebatan panjang akan adanya alasan
kuat yang bersumber dari kebudayaan seperti patriarki dan dominasi pria. Akhirnya secara
54
JSGI, Vol. 04, No. 01, Agustus 2013
ISSN : 2087-9830
Abdul Kadir
Syamsudini
Riyadi
ekstrim sampai pada pandangan atas perjuangan perempuan akan isu-isu eksploitasi, kebebasan,
latar belakang, ras dan bias gender. Akibat dari sebuah kepedulian akan tekanan dan eksploitasi
yang terjadi terhadap perempuan dalam lingkungan pekerjaan. Sekaligus kecendrungan keluarga
menjadi area yang mensupport tindakan penyadaran ini. Kesadaran ini juga seiring dengan
adanya kepedulian bersama antara laki-laki dan perempuan, untuk melihat dan mendiskusikan
kembali bagaimana peran publik perempuan di tengah masyarakat.
Ketika berbicara tentang pembaharuan perempuan, hal yang harus dipahami adalah makna
dari pembaharuan perempuan. Pemahaman terhadap persoalan ini sangat penting. Makna ini
menyiratkan proses kemerosotan yang melanda kaum perempuan. Jika memang benar demikian,
maka hal harus dipikirkan lebih jauh adalah apa yang menyebabkan kemerosotan perempuan,
serta bagaimana hal itu bisa itu terjadi. Tugas utama yang kemudian harus diemban adalah
menghasilkan dan menguraikan beberapa pemikiran yang tajam mengenai pandangan-pandangan
terhadap persoalan itu. (Mahatma Ghandi, 2002:1)
Dalam tulisan ini, pereview mencoba untuk mengkaji secara kritis tulisan yang dipaparkan
oleh Lisa Wolf-Wendel, Kelly Ward, dan Susan B. Twombly tentang bagaimana peran perempuan
di Universitas Terbuka (UT) dalam menyeimbangkan kehidupan pribadi dan kehidupan
akademiknya, tantangan atau hambatan apa yang mereka hadapi dan pelajaran apa yang bisa
dipetik dari analisa mereka.
Perempuan dan Wilayah Publik
Wilayah kerja public dan domestic dilihat dari perjalanannya tidak pernah bisa sejalan,
khususnya bagi para perempuan yang memiliki anak. Hal ini menyebabkan mereka tidak memiliki
kesempatan kerja sebagaimana yang dimiliki oleh laki-laki. Pemisahan wilayah publik dan
domestik disebabkan karena norma-norma sosial yang memandang bahwa kerja dan keluarga
bagi perempuan merupakan kondisi yang sulit untuk bisa sejalan, bahkan pemisahan ini juga
berfungsi sebagai kebijakan yang memaksa perempuan untuk berhenti bekerja ketika mereka
diketahui hamil. Singkatnya, perempuan yang memiliki anak harus berada di rumah
(Williams,1999). Namun, belakangan ini, norma sosial dan undang-undang yang terkait dengan
ketidakadilan perempuan telah berubah. Hal ini bisa terlihat secara statistic perempuan yang
memiliki anak di wilayah publik telah bertambah. Pada tahun 1975, hanya 39 % ibu dengan
anak yang mempunyai kesempatan untuk bekerja. Namun, pada tahun 2004, jumlah ini
meningkat menjadi 58 % (U.S. Department of Labor, 2005).
Bagaimana trend ini diterjemahkan ke dalam kehidupan akademis? Data terakhir yang
dianalisis oleh para pegiat gender pada tahun 1999 menunjukkan bahwa 60 % dosen laki-laki
hanya memiliki satu anak, sedangkan dosen perempuan memiliki beberapa anak. Penelitian ini
menunjukkan bahwa banyak dosen perempuan lebih yang mengesampingkan pernikahan dan
lebih memilih karir daripada keluarga (sebagaimana penelitian yang dilakukan oleh Leslie, 2006,
Mason & Goulden, 2002). Sedangkan penelitian lainnya, studi perbandingan tentang perempuan
JSGI, Vol. 04, No. 01, Agustus 2013
ISSN : 2087-9830
55
Charles J. Adams
Kehidupan
DosenAntara
di Universitas
Reduksionisme
Terbukadan
dalam
Anti-Reduksionisme
Perspektif Dosendalam
Perempuan
Kajiandengan
AgamaAnak
yang berprofesi sebagai dosen dengan perempuan yang memiliki profesi lain (seperti; kedokteran
dan hukum) menunjukkan bahwa dosen perempuan lebih cenderung untuk memilih tidak
memiliki anak dibandingkan perempuan pada profesi lain (Baker, 2002; Cooney & Uhlenberg,
1989). Penelitian di atas tidak memberikan sebuah kesimpulan; apakah perbandingan kurangnya
interaksi antara dosen perempuan dengan anak merupakan hasil dari tekanan lembaga dan
lingkungan atau apakah hal ini merupakan pilihan personal dari orang-orang yang masuk dalam
karir akademis.
Perempuan dan Hak-hak Kerja
Ada beberapa kebijakan institusi yang memberatkan dosen perempuan dengan anak.
Namun, pihak institusi membantah dengan berargumen justru merekalah yang membela hakhak dosen perempuan dengan anak, yakni dengan tetap merekr ut mereka dan
mempertahankannya (Mason & Goulden, 2002, 2004; Ward & Wolf-Wendel, 2004). Ketika
dibandingkan dengan institusi lain, demografi dan misi dari Universitas Terbuka menunjukkan
bahwa Universitas Terbuka (UT) lebih bisa mengakomodir dosen perempuan dengan anak.
Pertama, 49 % dosen penuh dari Universitas Terbuka adalah perempuan (Almanac, 2005).
Kedua, pengajaran adalah focus utama di Universitas Terbuka (salah satu aspek dari kehidupan
dosen dimana perempuan terkait) (Mason & Goulden, 2002, 2004; Ward & Wolf-Wendel,
2004).
Hasil Temuan
Tulisan ini mendiskusikan 4 tema utama, yaitu:
A. Pilihan Berdasarkan Atas Kesadaran Diri
Para informan dalam studi ini mengajar di Universitas Terbuka (UT) atas kesadaran sendiri.
Mereka membuat pilihan ini atas pengalaman dari pekerjaan terdahulu (seperti ketika menjadi
guru di SMA atau ketika bekerja dalam bidang industri, pemerintah, atau militer). Faktor lainnya
adalah karena para informan ini mencintai dan memiliki komitmen untuk mengajar. Lebih
lanjut, beberapa informan dengan gelar doktor, membuat keputusan untuk mengajar di
Universitas Terbuka (UT) karena dipahami secara negatif di perguruan tinggi lainnya. Para
informan mengambil keputusan mereka atas kesadaran sendiri untuk jenis pekerjaan yang
diinginkan dan disesuaikan dengan kebutuhan di Universitas Terbuka (UT). Para peneliti
mengeksplorasi alasan-alasan ini dengan menggunakan kuotasi yang representatif dari responden
dalam studi ini.
Seringkali informasi yang dibutuhkan dalam penelitian ini terpengaruh oleh pekerjaan
terdahulu yang tidak sefleksibel bila dibandingkan mengajar di Universitas Terbuka (UT)
sehingga membingungkan peneliti untuk mendapatkan informasi sesuai dengan yang mereka
butuhkan. Kebanyakan informan dalam studi ini memiliki pengalaman bekerja dalam setting
lain sebelum mengajar di Universitas Terbuka (UT). Sedangkan informan lainnya meyakini
56
JSGI, Vol. 04, No. 01, Agustus 2013
ISSN : 2087-9830
Abdul Kadir
Syamsudini
Riyadi
bahwa mereka mampu mengajar dan memberikan inspirasi kepada mahasiswa. Persolan lain
adalah pandangan negatif terhadap para responden karena menghabiskan waktu dan
mengorbankan kehidupan pribadi mereka untuk mengejar karir.
B. Tekanan waktu, Stress, dan Bentuk-bentuk Frustasi lainnya
Peneliti melihat para informan menghadapi tekanan, stress, dan kekhawatiran terkait
dengan pekerjaan dan kehidupan keluarga mereka. Adapun sumber stress tersebut adalah
keterbatasan waktu, tuntutan untuk mendapatkan kontrak kerja yang lebih pasti, dan
diperlakukan tidak adil baik di tempat kerja ataupun dirumah. Kebanyakan responden dalam
studi ini secara sadar memilih untuk mengajar di Universitas Terbuka (UT) karena lebih
menjanjikan dibandingkan bekerja di perguruan tinggi umum. Para responden melihat Universitas Terbuka (UT) lebih kondusif untuk keluarga dan kerja, dan sekaligus lebih menantang
dalam banyak hal. Responden juga merasa frustasi dengan tuntutan yang dihadapi padahal
disisi lain mereka memiliki balita, beban kerja, kontrak kerja yang tidak jelas, keterbatasan
waktu berkumpul dengan keluarga, dan tidak ada dukungan dari teman sekantor.
Peneliti menemukan poin penting dalam penelitian ini, yaitu situasi yang sulit bagi
responden, seperti pada saat mereka melahirkan. Waktu inilah yang dianggap terberat karena
responden merasakan betapa sulitnya untuk mendapatkan dosen pengganti untuk menggantikan
jam mengajar mereka, bahkan bisa dikatakan mustahil. Dilain sisi, pihak kampus mengajurkan
untuk menggunakan cuti sakit, hal ini juga problematis karena responden tidak bisa
menggunakannya ketika mereka benar-benar membutuhkan, akibatnya sedikit sekali responden
yang menggunakan kesempatan ini.
Menyusui adalah salah satu masalah yang harus dihadapi oleh responden karena seringkali
mereka harus menggunakan alat pemompa ASI untuk bayi mereka tapi permasalahannya,
dimana harus melakukannya. Responden merasa malu untuk melakukan didepan para kolega
mereka, karena harus mengekspose bagian fital mereka; haruskah responden memberi kata
peringatan di depan pintu ketika mereka melakukannya, belum lagi suara alat tersebut menarik
perhatian para dosen lainnya.
Masalah lain yang responden hadapi adalah rasa stress memikirkan status kontrak kerja;
apakah diperpanjang atau harus berhenti. Untuk mendapatkan perpanjangan kontrak kerja,
responden harus menunjukkan kemampuannya dalam mengajar dan penilaian-penilaian lainnya.
Kondisi tersebut wajar bagi responden untuk merasakan hal tersebut karena kebanyakan dari
mereka mengharapkan untuk diangkat sebagai pekerja tetap. Hal ini terkait dengan
tanggungjawab terhadap keluarga mereka. Bahkan seorang responden harus menunggu untuk
memiliki anak sampai ia melewati masa menjadi pengajar tetap.
Persoalan lainnya adalah berkenaan dengan waktu. Para responden ini diharapkan bekerja
minimal 35 jam dalam seminggu, kadang-kadang lebih tergantung pada kontrak yang mereka
miliki. Dalam hal ini, responden tetap diharapkan untuk mengajarkan mata kuliah, memberikan
JSGI, Vol. 04, No. 01, Agustus 2013
ISSN : 2087-9830
57
Charles J. Adams
Kehidupan
DosenAntara
di Universitas
Reduksionisme
Terbukadan
dalam
Anti-Reduksionisme
Perspektif Dosendalam
Perempuan
Kajiandengan
AgamaAnak
masukan kepada mahasiswa, memberikan nilai pada tugas mereka, mempersiapkan hal-hal
yang terkait dengan mata kuliah pada semester berikutnya, dan lain-lain. Bagaimana responden
menyeimbangkan antara kerja dan keluarga? Kuncinya adalah memisahkan antara waktu kerja
dan waktu untuk keluarga. Mereka hanya mengkhususkan waktu bekerja di kantor. Sekalipun,
tidak semua responden melihatnya sebagai hal yang mungkin.
Persoalan lain adalah kurangnya dukungan dari para kolega. Beberapa responden dalam
penelitian ini merasa frustasi karena kolega mereka tidak memberikan fleksibelitas. Bahkan,
atasan responden tidak mengijinkan mereka untuk membawa anak-anaknya ke kantor karena
bisa mengganggu kolega yang lain. Bagian administrasi (perempuan) juga bisa menjadi masalah
terhadap responden, misalnya, dekan memberikan pilihan yang sulit antara tetap membawa
dan menjaga balita responden atau fokus kepada pekerjaan. Namun penting untuk dicatat,
beberapa responden menjelaskan bahwa ada beberapa bagian administrasi yang sangat
mendukung responden dengan menolong mereka untuk menyesuaikan tanggungjawab responden
sebagai seorang ibu dengan pekerjaan mereka sebagai tenaga pengajar. Bahkan, ada beberapa
atasan responden menolong mereka dengan menyesuaiakan schedule mengajar dengan pekerjaan
rumah atau mengijinkan untuk membawa anak-anak mereka pada saat ada rapat.
Persoalan lain yang mereka hadapi adalah distribusi waktu. Para responden dalam penelitian
ini juga merasa frustasi dengan pembagian kerja yang tidak adil dalam kehidupan rumah tangga
mereka. Tugas responden sebagai ibu rumah tangga adalah yang tanggungjawab utama mereka
(Hochschild, 1989). Seorang responden menjelaskan bahwa dialah yang mengurusi rumah,
membayar tagihan, menjaga anak, dan mengurusi segalan urusan rumah tangga sedangkan
suaminya merasa bahwa apa yang dia lakukan lebih dari apa yang ia lakukan. Para responden
sebenarnya menyadari tanggungjawab sebagai seorang ibu ketika kembali ke kehidupan rumah
tangga mereka, yakni tanggungjawab terhadap masalah rumah tangga, masak dan menjaga
anak-anak mereka. Namun, para suami yang mengecualikan akan tanggungjawab ini jarang
sekali, dan kalaupun itu ada para responden akan sangat berterima kasih karena telah meringankan
beban mereka.
C. Keseimbangan Kehidupan Keluarga dan Karir
Tema ketiga adalah tentang keseimbangan untuk mencapai kehidupan keluarga dan karir.
Keseimbangan, yang menurut responden, hanyalah tujuan yang bersifat semu belaka. Beberapa
responden berbicara tentang beberapa strategi dimana mereka bisa mengintegrasikan kerja dan
kehidupan rumah tangga mereka. Foto keluarga adalah salah satu solusi, dimana ketika
responden masih menjadi mahasiswa, mereka tidak pernah memilikinya. Salah satu alasan
responden melakukan hal tersebut adalah untuk membantu mereka fokus dan konsentrasi dalam
bekerja.
Tantangan lain adalah bagaimana menyelesaikan pekerjaan di kantor tanpa harus
membawa kerumah. Mengoreksi hasil kerja siswa adalah salah satu yang respondent harus
58
JSGI, Vol. 04, No. 01, Agustus 2013
ISSN : 2087-9830
Abdul Kadir
Syamsudini
Riyadi
lakukan. Dan jika itu terjadi, mereka tidak akan menyentuh lembar kerja siswa, sampai mereka
pastikan bayi mereka tidur terlebih dahulu karena waktu tersebut bukan untuk pekerjaan namun
untuk bayi mereka. Beberapa respondent memisahkan antara pekerjaan dari keluarga karena
mereka meyakini bahwa mereka harus menghindari hal tersebut. Seorang respondent
berkomentar: “saya tidak akan membiarkan mahasiswa saya membawa anak-anak mereka ke
kelas, demikian juga, saya tidak akan membawa anak-anak saya.”
Beberapa responden mempertanyakan apa arti keseimbangan itu sendiri. Rasa frustasi
kadang-kadang dirasakan oleh mereka. Responden seakan-akan merasa menyeimbangkan sesuatu
yang mustahil untuk diseimbangkan. Seorang responden berkomentar: “Saya hidup dalam situasi
dimana harus ada keseimbangan. Namun, sulit untuk menjadi super mom, menyeimbangkan
antara pekerjaan dan kehidupan rumah tangga, tentu saja saya selalu mencoba untuk
menemukan cara untuk menyeimbangkan segalanya, namun saya mulai merasa sedikit frustasi
betapa sulitnya melakukan hal tersebut.”
Responden juga melihatnya sebagai sesuatu yang dilemmatis. Mereka merasa bukan seorang
ibu dan dosen yang baik. Untuk itu, mereka mencoba untuk mengingatkan diri mereka sendiri
bahwa mereka harus memprioritaskan apa yang perlu dilakukan di rumah dan apa yang dapat
dilakukan ditempat kerja. Para responden ini ingin melakukan sesuatu dengan baik dalam segala
hal dan itu mustahil mereka lakukan ketika mereka melakukan banyak hal. Strategi yang
digunakan oleh beberapa responden adalah mengintegrasikan antara waktu kerja dan keluarga.
Strategi ini menggunakan beberapa bentuk. Sebagaimana di jelaskan oleh salah seorang
respondent: “saya bertanggungjawab terhadap diri saya dan terhadap mahasiswa saya, namun
saya pikir tanggungjwab tersebut bersifat fleksibel dalam posisi saya sebagai orangtua. Jika
dalam kondisi genting saya harus membatalkan kelas saya, maka saya akan melakukannya.
Jika dalam kondisi emergency saya harus membawa anak saya, saya akan membawa nya ke
kantor. Jadi saya rasa ini adalah kebebasan saya sebagai orangtua sebagaimana orang lain miliki
dalam bentuk lain, dan mereka harus menghargai itu.”
D. Ide Kebahagian dan Ketenangan
Dan yang ke-empat adalah ide-ide kebahagian dan ketenangan. Sesuatu yang ada dalam
kehidupan nyata, namun sulit untuk ditemukan dalam kehidupan para responden ini. Salah
satu temuan yang paling menarik dalam studi ini adalah responden merupakan sekelompok
individu yang senang dan puas. Para responden dalam studi ini mendiskripsikan rasa puas
mereka karena mampu berperan ganda, yakni sebagai seorang pendidik dan sekaligus sebagai
seorang ibu. Secara umum, para responden dalam studi ini mengungkapkan bahwa pekerjaan
mereka memuaskan karena mengajar adalah media untuk beraktualisasi. Sedangkan, responden
lain mengungkapkan rasa senang mereka karena memiliki mahasiswa yang terus meningkat
prestasinya.
JSGI, Vol. 04, No. 01, Agustus 2013
ISSN : 2087-9830
59
Charles J. Adams
Kehidupan
DosenAntara
di Universitas
Reduksionisme
Terbukadan
dalam
Anti-Reduksionisme
Perspektif Dosendalam
Perempuan
Kajiandengan
AgamaAnak
E. ANALISIS
Dalam tulisan ini, perieview mencoba untuk mengkaji secara kritis tulisan yang dipaparkan
oleh Lisa Wolf-Wendel; Kelly Ward; Susan B. Twombly, karena bagaimanapun setiap individu
tidak bisa lepas dari subyektifitas, demikian pula dalam tulisan ini juga tidak bisa diabaikan
bias gender mereka dalam melihat kehidupan para dosen perempuan dalam kehidupan akademik
mereka. dengan kata lain, bahwa tidak ada yang namanya obyektif, setiap individu membawa
kepentingan mereka sendiri-sendiri, inilah yang periview coba tekankan.
Lebih lanjut, ada beberapa hal yang akan didiskusikan dalam review ini; pertama, penelitian
ini perlu kita pertimbangkan aspek social budayanya, karena penelitian ini berlangsung di USA,
dimana kondisi social mereka sudah berevolusi secara cepat akibat pengaruh informasi dan
tekhnologi. Peran domestik dan publik tidak bisa dilepaskan dari peran wanita itu sendiri
sebelumnya, yang telah terjadi dari generasi ke genarasi dan kemudian menjadi sebuah kebiasaan.
Laki-laki berperan disektor publik dan perempuan berada disektor domestik. Informasi dan
tekhnologi mempengaruhi fungsi peran tersebut. Maka ketika keluar dari kebiasaan yang ada
sebelumnya, maka hal tersebut dianggap menyimpang dari kebiasaan. Hal ini sesuai apa yang
dipaparkan oleh Collete (1992): “Begitu konflik antara ketergantungan dan kemandirian disadari,
dikenali dan dipisahkan dari kehidupan keseharian seseorang, yang terjadi kemudian adalah
lompatan dari kunkungan dan keluar menuju pada kebebasan terbuka” (Collete Dowling, 1992,
hal 173). Kedua, dalam tulisan ini ada empat (4) tema utama yang didiskusikan oleh Lisa WolfWendel, Kelly Ward, dan Susan B. Twombly; 1) pilihan yang berdasarkan pilihan sendiri, 2)
tekanan, stress, dan kekhawatiran yang terkait dengan pekerjaan dan kehidupan keluarga mereka,
3) keseimbangan untuk mencapai keduanya, dan 4) ide-ide kebahagian dan ketenangan.
Pilihan yang berdasarkan pilihan sendiri; penelitian ini dilakukan di Universitas Terbuka
(UT), kalau dalam konteks Indonesia, Perguruan Tinggi ini kurang popluler atau bisa dikatakan
dipandang sebelah mata. Secara kualitatif Perguruan Tinggi (PT) sejenis ini tidak lebih dari 10
persen. Demikian halnya juga di Amerika, tidak lebih dari 7 persen dari perguruan tinggi di
Amerika (http://www.census.gov/Press-Release/www/releases/archives/education/
004214.html). Jadi, yang menjadi pertanyaan selanjutnya, apakah penelitian ini bisa
mempresentasikan sebuah solusi dari problem yang dihadapi oleh wanita karir disana, mengingat
kecilnya persentasi UT dibandingkan dengan Perguruan Tinggi (PT) umumnya. Dan juga apakah
pilihan lembaga sendiri untuk memilih mereka karena ketiadaan sumber daya manusia (SDM),
dengan kata lain para wanita tersebut dijadikan tenaga pengajar sebagai tenaga alternatif yang
tersedia. Kalau lembaga UT mengatakan bahwa salah satu bukti concern mereka terhadap
persoalaan gender, jadi dengan argumen diatas, perekrutan mereka perlu dikaji ulang.
Ketimpangan sosial, ekonomi dan politik seringkali dihubungkan dengan isu gender dan budaya
patriarki karena pertama, nilai-nilai kultural sebagai blue print-normatif menjadi acuan utama
dalam bertingkah laku, termasuk dalam pengambilan kebijakan dibidang pembangunan (Team
UIN Jakarta, 2004, hal 17).
60
JSGI, Vol. 04, No. 01, Agustus 2013
ISSN : 2087-9830
Abdul Kadir
Syamsudini
Riyadi
Apapun privilige yang diberikan oleh Universitas Terbuka (UT) terhadap dosen perempuan
yang memiliki balita. Senyatanya mereka masih menghadapi persoalan; baik karena kurangnya
waktu mereka terhadap balita mereka maupun tekanan dari teman sekantor mereka. Dalam
konteks di Indonesia, persoalan mereka lebih bisa diatasi. Persoalan yang di hadapi oleh wanita
karir di USA, selain karena persoalan setting budaya, hal lain adalah persoalan secara finansial.
Pertama persolaan setting budaya, di Indonesia adalah sebuah kewajaran ketika seorang
perempuan memiliki balita untuk membawa anggota keluarga lainnya dalam rumah tangganya,
misalnya ibu, adik, atau kakaknya. Mereka terbiasa untuk tinggal dalam satu ruangan secara
bersama-sama. Hal ini tidak berlaku dalam setting budaya Amerika, misalnya salah satu contoh,
mereka begitu tinggi menjunjung privacy mereka, dengan anggot keluarga terdekat sekalipun.
Kedua adalah persoalan ekonomi adalah berat bagi mereka untuk menampung anggota lainnya.
Dengan pola hidup mereka, berat untuk sebuah keluarga baru kecil untuk bisa memenuhi
kebutuhan hidup anggota lainnya, kebutuhan ruangan, listrik, asuransi kesehatan dan kebutuhankebutuhan lainnya. Dalam hal ini, Rosemarie (2004) berpendapat bahwa feminisme multikultural
didasarkan pada pandangan bahwa didalam satu negara (misal Amerika) semua perempuan
tidak diciptakan atau dikontruksi secara setara. Bergantung pada ras dan kelas, usia, agama,
pendidikan, pekerjaan, sosial dan budaya (Rosemarie, 2004, hal 310).
Dalam kontek keseimbangan keluarga dan karir; terlepas dari persoalan tekhnis bagaimana
mereka menyeimbangkan antara karir dan keluarga. Ada hal menarik yang bisa kita pelajari
dari komitmen mereka terhadap pekerjaan atau karir mereka. Kalau kita berbicara tentang
keseimbangan ada pelajaran berharga yang perlu kita renungkan. Bagaiamanapun kebebasan
yang mereka miliki, tetap saja fitrah mereka sebgai perempuan tidak bisa dilepaskan, yang
notebene memberatkan mereka. Hal ini jauh dari anggapan orang-orang Asia selama ini yang
menganggap bahwa para wanita barat sungguh tidak peduli dengan kehidupan keluarga mereka.
Secara konseptual peran ganda wanita mengandung beberapa kelemahan dan ambivalensi.
Pertama, di dalamnya terkandung pengertian bahwa sifat dan jenis pekerjaan wanita adalah
tertentu dan sesuai dengan kodrat wanitanya. Kedua, dalam kaitan dengan yang pertama, wanita
tidak sepenuhnya bisa ikut dalam proses-proses produksi. Ketiga, di dalamnya terkandung
pengakuan bahwa sistem pembagian kerja seksual seperti yang dikenal sekarang bersifat biologis
semata. Dalam hal ini Cleves menjelaskan: “Secara tradisional, gagasan yang dianut tentang
perilaku gender tepat bisa sangat mempengaruhi kehidupan perempuan, yang menguatkan polapola gender dalam masyarakat. Pemahaman tentang perbedaan gender dalam kepemilikan dan
kontrol terhadap pembagian kerja secara seksual dan nilai kerja ekonomi perlu diseimbangkan
dengan pandangan lainnya. (Julia Cleves Mosse, 1993:83).
Peran domestik dan publik bagi perempuan adalah dua hal yang tidak bisa di tawar-tawar
lagi. Peran mengatur rumah tangga merupakan tuntutan tak terpisah dari peran ibu. Hal ini
disebabkan pemeliharaan anak-anak hingga terjaga kebersihan, kesehatan, dan proses tumbuh
kembangnya menuntut pengaturan rumah termasuk dapur, tempat tidur, kebersihan pakaian,
JSGI, Vol. 04, No. 01, Agustus 2013
ISSN : 2087-9830
61
Charles J. Adams
Kehidupan
DosenAntara
di Universitas
Reduksionisme
Terbukadan
dalam
Anti-Reduksionisme
Perspektif Dosendalam
Perempuan
Kajiandengan
AgamaAnak
kamar mandi dan lain-lain. Peran perempuan tidak terbatas hanya sebagai ibu dan pengatur
rumah tangga. Wanita masih tertinggal dibandingkan pria, meskipun secara hukum kesempatan
untuk meningkatkan status dan peranannya sudah diperoleh. Ketertinggal wanita ini jika
ditelusuri lebih lanjut kelihatannya berpangkal pada pembagian pekerjaan secara seksual didalam
masyarakat dimana peran wanita yang utama adalah lingkungan rumah tangga (domestic sphere)
dan peran pria yang utama diluar rumah (public sphere). (Ihromi, 1995: 85).
F. Kesimpulan
Bertolak dari pemaparan diatas, ada banyak tantangan yang harus dihadapi perempuan
untuk mampu beraktifitas di ranah publik, apalagi untuk mampu menyeimbangkan antara ruang
pribadi dan kehidupan karir. Contoh nyata, Amerika Serikat (AS) yang dipandang sebagai surga
kebebasan, masih sulit bagi para perempuannya untuk menyeimbangkan antara kehidupan
pribadi dan karir, apalagi di Asia, khususnya Indonesia, dimana bias gender, budaya dan agama,
kepentingan ekonomi dan politik begitu dominan.
Pendidikan, khususnya penyadaran akan gender atau lebih umum dikenal dengan istilah
“pendidikan sensitifitas gender” memiliki peran penting. Namun sayangnya mengingat tingkat
melek huruf masyarakat Indonesia yang begitu kecil, hal ini masih jauh api dari panggang.
Banyak hal yang menjadi pekerjaan rumah (PR) bagi para stakeholders; pemegang kebijakan/
pemerintah, tokoh agama dan masyarakat, guru, dosen, para pegiat Lembaga Swadaya
Masyarakat (LSM) dan lain-lain.
Daftar Pustaka
Abdullah, Irwan, (2006) Sangkan Paran Gender,Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Cleves Mosse, Julia, (1993) Gender Pembangunan, (terjemah: Hartian Silawati) Yogyakarta: Rifka
Annisa Women’s Crisis Centre
Dowling, Collete, (1992) The Cinderellah Complex (Tantangan Wanita Modern) (terjemah; Santi
W.E. Soekarno) Jakarta: Penerbit Erlangga
Ghandi, Mahatma (2002) Kaum Perempuan dan Ketidakadilan Sosial, (terjemahan; Siti Farida)
Yogyakarta; Pustaka Pelajar
Fakih, Manshour (2007) Analisis Gender, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007
Ihromi (1995) Kajian Wanita dalam Pembangunan, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia
Putnam Tong, Rosemarie (2004) Feminist Thought; Pengantar Paling Komprehensif Kepada Aliran
Utama Pemikiran Feminis, (terjemah; Aquarini Priyatna Prabasmoro) Yogyakarta: Jalasutra
Team UIN Jakarta (2004) Realita dan Cita Kesetaraan Gender di UIN Jakarta, Jakarta: McGail
IAIN-Indonesia Social Equity Project
http://www.census.gov/Press-Release/www/releases/archives/education/004214.html
References
Almanac. (2005). Chronicle of Higher Education. Retrieved June 26, 2006, from http://
62
JSGI, Vol. 04, No. 01, Agustus 2013
ISSN : 2087-9830
Abdul Kadir
Syamsudini
Riyadi
chronicle.com/free/almanac/2005/
Austin, A. E. (2002). Preparing the next generation of faculty: Graduate school as socialization
to the academic career. Journal of Higher Education, 73(1), 94-122.
Baker, J. G. (2002). Women in the workforce. Monthly Labor Review. Retrieved June 26, 2006,
from http://www.findarticles.com/p/articles/mi_m1153/is_8_125/ai_95263056#
Bonnet, F. B. (2001). Addressing gender issues in the historically Black college and university
community: A challenge and call to action. Journal of Negro Education, 70(3), 176-192.
Center for the Education of Women. (2005). Family-friendly policies in higher education.
Where do we stand? Ann Arbor, MI: Author.
Clark, S. L. (1998). Female faculty in community colleges: Investigating the mystery. Community
College Review, 26(3), 77-88.
Cohen, A. M., & Brawer, F. B. (2003). The American community college (4th ed.). San Francisco:
Jossey-Bass.
Cooney, T. M., & Uhlenberg, P. (1989). Family-building patterns of professional women: A
comparison of lawyers, physicians, and postsecondary teachers. Journal of Marriage and
the Family, 51, 749-758.
Finkel, S. K., & Olswang, S. G. (1996). Child rearing as a career impediment to women assistant
professors. Review of Higher Education, 19(2), 123-139.
Gahn, S., & Twombly, S. B. (2001). Dimensions of the community college faculty labor market.
Review of Higher Education, 24(3), 259-282.
Golde, C. M., & Dore, T. M. (2001). At cross-purposes: What the experiences of today’s doctoral
students reveal about doctoral education. Retrieved January 3, 2001, from http://
www.wcer.wisc.edu/phd-survey/golde.html
Hagedorn, L. S., & Laden, B. V. (2002). Exploring the climate for women as community college
faculty. New Directions for Community College, 118, 69-78.
Hochschild, A. (1989). The second shift: Working parents and the revolution at home. New
York: Viking Press.
Hughes, C. (2002). Key concepts in feminist theory and research. Thousand Oaks, CA: Sage.
Janesick, V. J. (2000). The choreography of qualitative research design: Minuets, improvisations,
and crystallization. In N. K. Denzin & Y. S. Lincoln (Eds.), Handbook of qualitative
research (pp. 379-400). Thousand Oaks, CA: Sage.
Jones, A. (1997). Teaching post-structuralist feminist theory in education: Student resistances.
Gender and Education, 9(3), 261-270.
Leslie, D. W. (2006). Policy brief: Faculty careers and flexible employment. Retrieved May 25,
2006, from www.tiaa-crefinstitute.org
Lincoln, Y. S., & Guba, E. G. (1985). Naturalistic inquiry. Beverly Hills, CA: Sage.
Mason, M., & Goulden, M. (2002). Do babies matter? The effects of family formation on the
lifelong careers of academic men and women. Academe, 88(6), 21-27.
JSGI, Vol. 04, No. 01, Agustus 2013
ISSN : 2087-9830
63
Charles J. Adams
Kehidupan
DosenAntara
di Universitas
Reduksionisme
Terbukadan
dalam
Anti-Reduksionisme
Perspektif Dosendalam
Perempuan
Kajiandengan
AgamaAnak
Mason, M., & Goulden, M. (2004). Do babies matter (Part II)? Closing the baby gap. Academe,
90(6), 21-27.
Merton, R. K., & Rossi, A. S. (1968). Contributions to the theory of reference group behavior.
In R. K. Merton (Ed.), Social theory and social structure (pp. 279-334). New York: Free
Press.
Perna, L. W. (2001).The relationship between family responsibilities and employment status.
Journal of Higher Education, 72(5), 584-611.
Perna, L. W. (2003, November). Sex differences in faculty tenure and promotion: The
contribution of family ties. Paper presented at the annual meeting of the Association for
the Study of Higher Education, Portland, OR.
Phillipe, K. A. (Ed.). (1999). National profile of community colleges: Trends and statistics
(3rd ed.). Washington, DC: American Association of Community Colleges.
Rhoades, G. (1998). Managed professionals: Unionized faculty and restructuring academic
labor. Albany: State University of New York Press.
Sorcinelli, M. D., & Near, J. P. (1989). Relations between work and life away from work among
university faculty. Journal of Higher Education, 60(1), 59-82.
Strauss, A., & Corbin, J. (1990). Basics of qualitative research: Grounded theory procedures
and techniques. Newbury Park. CA: Sage.
Townsend, B. K. (1998). Female faculty: Satisfaction with employment in the community college.
Community College Journal of Research and Practice, 22, 655-662.
Townsend, B. K., & LaPaglia, N. (2000). Are we marginalized within academe? Perceptions of
two-year faculty. Community College Review, 28(1), 41-51.
Twombly, S. B. (1993). What we know about women at community colleges: An examination
of the literature using feminist phase theory. Journal of Higher Education, 64(2), 186211.
Twombly, S. B. (2005). Values, policies and practices affecting the hiring process for fulltime
arts and sciences faculty in community colleges. Journal of Higher Education, 76(4),
423-447.
U.S. Department of Labor. (2005). Facts on working women. Washington, DC: Department of
Labor. Retrieved June 26, 2006, from www.bls.gov/cps/wif-databook2005.htm
Ward, K., & Wolf-Wendel, L. (2004). Academic motherhood: Managing complex roles in research
universities. Review of Higher Education, 27(2), 233-258.
Williams, J. (1999). Unbending gender: Why work and family conflict and what to do about it.
New York: Oxford University Press.
Wolgemuth, J. R., Kees, N. L., & Safarik, L. (2003). A critique of research on women published
in the Community College Journal of Research and Practice: 1990-2000. Community College
Journal of Research and Practice, 27, 757-767.
64
JSGI, Vol. 04, No. 01, Agustus 2013
ISSN : 2087-9830
Download