Karakteristik sosial budaya masyarakat dalam kaitannya dengan

advertisement
KARAKTERISTIK SOSIAL BUDAYA MASYARAKAT DALAM
KAITANNYA DENGAN KESIAPSIAGAAN DAN MITIGASI BENCANA
DI DAERAH RAWAN BENCANA
(Studi Kasus: Kelurahan Katulampa, Kecamatan Bogor Timur, Kota Bogor)
Oleh:
Thresa Jurenzy
I34070062
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN
MASYARAKAT
FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2011
KARAKTERISTIK SOSIAL BUDAYA MASYARAKAT DALAM
KAITANNYA DENGAN KESIAPSIAGAAN DAN MITIGASI BENCANA
DI DAERAH RAWAN BENCANA
(Studi Kasus: Kelurahan Katulampa, Kecamatan Bogor Timur, Kota Bogor)
Oleh:
THRESA JURENZY
I34070062
SKRIPSI
Sebagai Syarat Untuk Mendapatkan Gelar
Sarjana Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat
Pada
Fakultas Ekologi Manusia
Institut Pertanian Bogor
Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat
Fakultas Ekologi Manusia
Institut Pertanian Bogor
2011
ABSTRACT
Indonesia frequently hit by disaster like flood, earthquake, tsunami,
volcano eruption and many others. All of these disasters will give physical and
non physical impacts. Therefore, disaster management should be implemented. In
disaster management, preparedness and mitigation are very important to reduce
disaster risks. This research investigates about community socioculture
characteristics, preparedness and mitigating systems and correlations between
them. The research was conducted in Katulampa administrative village, which is
passed by Ciliwung river and potentially flooding. Research popolation is the
victims of flood on February 2010. The research methods are quantitative and
qualitative. The research found that community of Katulampa has socioculture
characteristics that very important in disaster and environment, such as social
stratification, institutions, social cohesion, local wisdom and knowledge and
attitude. Preparedness and mitigating systems in Katulampa is not implemented
yet. Quantitatively, sociocultural characteristics like wealth stratification,
education and knowledge and attitude of community in Katulampa has no
correlations with preparedness and mitigating systems because the community is
surrender and some of institutions does not work properly. Therefore, the
community is not ready to face the posibility of flood yet.
Keywords: Flood, Disaster, Sociocultural, Disaster Management
RINGKASAN
THRESA JURENZY.KARAKTERISTIK SOSIAL BUDAYA MASYARAKAT
DALAM KAITANNYA DENGAN KESIAPSIAGAAN DAN MITIGASI
BENCANA DI DAERAH RAWAN BENCANA (Studi Kasus: Kelurahan
Katulampa, Kecamatan Bogor Timur, Kota Bogor). Di bawah bimbingan Rilus A.
Kinseng
Beberapa tahun terakhir di Indonesia sering terjadi bencana dan
meninggalkan dampak bagi orang-orang yang mengalaminya. Bencana yang
sering melanda Indonesia adalah banjir, gempa, tsunami, tanah longsor dan
gunung meletus. Dampak yang diakibatkan dapat berupa dampak fisik maupun
non fisik. Oleh karena itu perlu diadakan kegiatan penanggulangan bencana yang
berfungsi untuk mengurangi dampak yang diakibatkan oleh bencana. Kegiatan
penanggulangan bencana terdiri atas kesiapsiagaan, mitigasi, peringatan dini,
tanggap darurat, rehabilitasi dan rekonstruksi. Akan tetapi, untuk dapat
mengurangi resiko terjadinya bencana, maka perlu dilakukan peningkatan
kesiapsiagaan dan mitigasi. Setiap masyarakat memiliki karakteristik sosial
budaya tertentu yang berhubungan dengan kesiapsiagaan dan mitigasi terhadap
bencana. Karakteristik sosial budaya ini berbeda antara suatu masyarakat dengan
masyarakat lainnya.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengkaji karakteristik sosial budaya
masyarakat, kesiapsiagaan dan mitigasi, serta hubungan keduanya berkaitan
dengan kesiapan masyarakat dalam menghadapi bencana di Kelurahan
Katulampa. Kelurahan Katulampa merupakan daerah yang dialiri sungai besar,
yaitu Ciliwung. Daerah ini sangat rentan untuk mengalami banjir dan sudah
pernah mengalami banjir dalam satu tahun terakhir. Penelitian ini menggunakan
data kuantitatif yang didapatkan melalui survei dan data kualitatif yang
v
didapatkan melalui wawancara mendalam dengan menggunakan panduan
pertanyaan. Data yang digunakan adalah data primer dan data sekunder. Data
primer didapatkan dari hasil kuesioner dan wawancara mendalam, sedangkan data
sekunder didapatkan dari buku, jurnal, hasil penelitian, monografi kelurahan dan
Ciliwung.
Karakteristik sosial budaya yang dikaji dalam penelitian ini adalah
stratifikasi sosial, kelembagaan, kohesi sosial, kearifan lokal dan pengetahuan dan
sikap yang berkembang di dalam masyarakat. Upaya pencegahan bencana yang
dapat dilakukan untuk mengurangi resiko terjadinya bencana adalah dengan
kesiapsiagaan dan mitigasi. Kesiapsiagaan dan mitigasi ini diduga berhubungan
dengan karakteristik sosial budaya masyarakat, sehingga dapat dilihat sejauh
mana kesiapan masyarakat dalam menghadapi kemungkinan terjadinya bencana.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa masyarakat Katulampa memiliki
karakteristik sosial yang terdiri atas kelembagaan, stratifikasi sosial, kohesi sosial,
kearifan lokal dan pengetahuan dan sikap. Akan tetapi karakteristik sosial budaya
ini tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan kesiapsiagaan dan mitigasi,
sehingga masyarakat masih belum memiliki kesiapan yang matang dalam
menghadapi kemungkinan terjadinya banjir.
FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN
MASYARAKAT
Judul Skripsi
: Karakteristik Sosial Budaya Masyarakat dalam Kaitannya
Dengan Kesiapsiagaan dan Mitigasi Bencana di Daerah
Rawan Bencana (Studi Kasus: Kelurahan Katulampa,
Kecamatan Bogor Timur, Kota Bogor)
Nama Mahasiswa
: Thresa Jurenzy
Nomor Mahasiswa : I34070062
Mayor
: Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat
dapat diterima sebagai syarat untuk mendapatkan gelar sarjana pada Departemen
Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia,
Institut Pertanian Bogor.
Menyetujui,
Dosen Pembimbing
Dr. Ir. Rilus A. Kinseng, MA.
NIP. 19590506 198703 1 001
Mengetahui,
Ketua Departemen Sains Komunikasi
dan Pengembangan Masyarakat
Dr. Ir. Soeryo Adiwibowo, MS.
NIP. 19550630 198103 1 003
Tanggal Pengesahan: ___________________
LEMBAR PERNYATAAN
DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI YANG BERJUDUL
“KARAKTERISTIK SOSIAL BUDAYA MASYARAKAT DALAM
KAITANNYA DENGAN KESIAPSIAGAAN DAN MITIGASI BENCANA
DI DAERAH RAWAN BENCANA” BELUM PERNAH DIAJUKAN PADA
PERGURUAN TINGGI LAIN ATAU LEMBAGA LAIN MANAPUN UNTUK
TUJUAN MEMPEROLEH GELAR AKADEMIK TERTENTU. SAYA JUGA
MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI BENAR-BENAR HASIL KARYA
SAYA SENDIRI DAN TIDAK MENGANDUNG BAHAN-BAHAN YANG
PERNAH DITULIS ATAU DITERBITKAN OLEH PIHAK LAIN KECUALI
SEBAGAI RUJUKAN YANG DINYATAKAN DALAM NASKAH.
Bogor,
Februari 2011
THRESA JURENZY
I34070062
RIWAYAT HIDUP
Penulis yang bernama Thresa Jurenzy dilahirkan pada tanggal 4 Mei 1989
di Kota Bukittinggi. Penulis merupakan anak pertama dari dua bersaudara, anak
dari pasangan suami istri Jumardi, S.Pd dan Resnetty. Penulis telah menempuh
pendidikan sekolah dasar di SDN 09 Belakang Balok, dilanjutkan di SMP Negeri
1 Bukittinggi dan SMA Negeri 2 Bukittinggi. Kemudian penulis melanjutkan
pendidikannya di Institut Pertanian Bogor, jurusan Sains Komunikasi dan
Pengembangan Masyarakat dengan jalur masuk Ujian Seleksi Masuk IPB
(USMI).
Pada saat duduk di bangku SMA, penulis mengikuti Menuju Olimpiade
Sains Indonesia 2+ tingkat Kota Bukittinggi. Penulis juga aktif dalam organisasi,
baik pada masa sekolah maupun di tingkat perguruan tinggi. Pada saat SMP,
penulis mengikuti Forum Studi Islam dengan kedudukan sebagai ketua Divisi
Hubungan Masyarakat. Ketika SMA, penulis juga aktif dalam organisasi ekstra
kurikuler sekolah yaitu Sanggar Konsultasi Remaja (SKR) sebagai Ketua Umum.
Selain itu, penulis juga aktif di Organisasi Siswa Intra Sekolah (OSIS) dengan
posisi sebagai Ketua Sub Unit SKR.
Di
bangku
kuliah,
penulis
juga
mengikuti
berbagai
organisasi
kemahasiswaan. Pada tahun 2008/2009, penulis mengikuti Organisasi Mahasiswa
Daerah Ikatan Pelajar Mahasiswa Minang Bogor sebagai Ketua Divisi Hubungan
Luar. Tahun 2009/2010 penulis aktif menjadi Badan Pengawas Anggota Ikatan
Pelajar Mahasiswa Minang Bogor, dan terakhir penulis juga aktif di Divisi
Jurnalistik
Himpunan
Mahasiswa
Peminat
Pengembangan Masyarakat tahun 2009/2010.
Ilmu-ilmu
Komunikasi
dan
ix
Selain organisasi kemahasiswaan, penulis juga aktif dalam berbagai
kepanitiaan dalam acara-acara yang diadakan oleh organisasi kemahasiswaan.
Penulis aktif dalam kepanitiaan Masa Perkenalan Departemen dan Masa
Perkenalan Fakultas (2009), Indonesia Ecology Expo (2008), Bukti Cinta
Lingkungan (2009), Ecology Sport Event (2010), Let’s Get The Essential of CSR
(2010), Seminar Lahan Gambut Berkelanjutan (2010) dan Konser Amal Mini
(2010).
Peneliti juga aktif dalam kegiatan yang berkaitan dengan pengasahan
kemampuan di luar bidang akademis dan organisasi, yaitu pelatihan dan magang.
Peneliti pernah mengikuti Pelatihan Pendampingan Korban Bencana Alam yang
diadakan oleh Pusat Studi Bencana- IPB (2010), magang di Institute for Research
and Empowerment Yogyakarta (2010).
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat
dan karunia- Nya yang telah dilimpahkan sehingga penulis dapat menyelesaikan
skripsi ini. Penulisan skripsi ini ditujukan untuk memenuhi syarat gelar Sarjana
Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia,
Institut Pertanian Bogor. Judul skripsi ini adalah Karakteristik Sosial Budaya
Masyarakat dalam Kaitannya Dengan Kesiapsiagaan dan Mitigasi Bencana di
Daerah Rawan Bencana (Studi Kasus: Kelurahan Katulampa, Kecamatan Bogor
Timur, Kota Bogor).
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik sosial budaya yang
terdapat di dalam masyarakat serta hubungannya dengan kesiapsiagaan dan
mitigasi bencana sebagai salah satu upaya penanggulangan bencana. Dengan
melihat hubungan tersebut dapat di peroleh kesiapan masyarakat dalam
menghadapi bencana banjir, khususnya di daerah rawan bencana banjir.
Semoga penelitian ini dapat bermanfaat bagi seluruh pihak yang berkaitan
dengan penanggulangan bencana, yaitu bagi akademisi terutama penulis,
pemerintah dan masyarakat.
Bogor,
Februari 2011
Thresa Jurenzy
UCAPAN TERIMA KASIH
Alhamdulillah penulis panjatkan kepada Allah SWT atas rahmat dan
karunia- Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi tepat pada waktunya. Selama
penelitian dan penulisan skripsi ini penulis telah banyak mendapatkan dukungan
materil maupun moril dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan kali
ini penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:
1.
Dr. Ir. Rilus A. Kinseng, MA selaku dosen pembimbing yang telah dengan
sabar membimbing, memberikan saran dan masukan kepada penulis untuk
dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik.
2.
Dr Satyawan Sunito selaku dosen penguji utama yang telah memberikan
masukan dan arahan kepada penulis.
3.
Dr. Ir. Ekawati Sri Wahyuni, MS selaku dosen penguji kedua yang juga telah
memberikan saran dan arahan kepada penulis.
4.
Ir. Hadiyanto, MS selaku dosen penguji petik yang telah memberikan banyak
masukan dalam format penulisan kepada penulis.
5.
Papa, Mama, dan Viona yang senantiasa mencurahkan kasih sayang,
memanjatkan do’a, memberikan dukungan, semangat dan motivasi kepada
penulis untuk dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan skripsi.
6.
Aris Safrudin, yang selalu memberikan segala motivasi, semangat, dukungan,
dan perhatiannya selama penelitian dan penulisan skripsi ini.
7.
Ibu Zakiyah dan seluruh warga RT 3 RW I Kelurahan Katulampa yang
membantu penulis untuk mendapatkan informasi dan data.
8.
Ma’rifatu Rodiah dan keluarga yang telah menerima dan memberikan
dukungan kepada penulis.
9.
Sahabat-sahabat terbaikku Eka, Dian, Tita, Kidut, Akira, Dewi, Mutia dan Ira.
10. KPM 44 yang telah mengajarkan banyak hal kepada penulis. Semoga kita
menjadi orang-orang yang sukses. Amin.
Semoga kita semua dapat menjadi orang-orang yang sukses dan berbahagia.
Amin.
xii
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI ...................................................................................................................... xii
DAFTAR TABEL............................................................................................................. xiv
DAFTAR GAMBAR ......................................................................................................... xv
DAFTAR LAMPIRAN ..................................................................................................... xvi
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................................... 1
1.1
Latar Belakang .................................................................................................... 1
1.2
Rumusan Masalah ............................................................................................... 3
1.3
Tujuan Penelitian ................................................................................................ 4
1.4
Kegunaan Penelitian ........................................................................................... 4
2.1
Tinjauan Pustaka ................................................................................................. 5
2.1.1
Bencana Alam dan Daerah Rawan Bencana Alam ..................................... 5
2.1.2
Kesiapsiagaan dan Mitigasi ........................................................................ 6
2.1.3
Karakteristik Sosial ................................................................................... 10
2.2
Kerangka Pemikiran.......................................................................................... 18
2.3
Hipotesis Penelitian .......................................................................................... 19
2.3.1
Hipotesis Uji ............................................................................................. 19
2.3.2
Hipotesis Pengarah.................................................................................... 20
2.4
Definisi Operasional ......................................................................................... 20
BAB III PENDEKATAN LAPANG ................................................................................ 23
3.1
Waktu dan Tempat Penelitian ........................................................................... 23
3.2
Metode Penelitian ............................................................................................. 23
3.3
Jenis dan Sumber Data ...................................................................................... 24
3.4
Teknik Penentuan Responden dan Informan .................................................... 24
3.5
Teknik Analisis Data......................................................................................... 25
4.1
Kelurahan Katulampa ....................................................................................... 27
4.1.1.
Kondisi Fisik ............................................................................................. 27
4.1.2.
Kependudukan dan Kelembagaan ............................................................. 28
4.2
Sungai Ciliwung................................................................................................ 31
BAB V KARAKTERISTIK SOSIAL BUDAYA MASYARAKAT ............................... 33
5.1
Kelembagaan..................................................................................................... 33
5.2
Derajat Kohesi Sosial ........................................................................................ 37
xiii
5.3
Stratifikasi Sosial .............................................................................................. 39
5.4
Kearifan Lokal .................................................................................................. 45
5.5
Pengetahuan dan Sikap ..................................................................................... 47
BAB VI KESIAPSIAGAAN DAN MITIGASI BENCANA ........................................... 58
6.1
Kesiapsiagaan ................................................................................................... 58
6.2
Mitigasi ............................................................................................................. 67
BAB VII KESIAPAN MASYARAKAT DI DAERAH RAWAN BENCANA ............... 76
BAB VIII PENUTUP ....................................................................................................... 88
8.1
Kesimpulan ....................................................................................................... 88
8.2
Saran ................................................................................................................. 91
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................................... 93
xiv
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Tingkat Pendidikan Masyarakat Kelurahan Katulampa tahun 2008................... 28
Tabel 2. Mata Pencaharian Masyarakat Kelurahan Katulampa tahun 2008 ..................... 29
Tabel 3. Kelembagaan Kelurahan Katulampa tahun 2008................................................ 30
Tabel 4. Pengetahuan Mengenai Rawan Bencana oleh Responden Korban Banjir,
Katulampa Tahun 2010 ..................................................................................... 48
Tabel 5. Pengetahuan Responden Mengenai Penyebab Banjir, Katulampa Tahun 2010
(N=30) ............................................................................................................... 49
Tabel 6. Pengetahuan Responden Mengenai Akibat Banjir, Katulampa Tahun 2010
(N=30) ............................................................................................................... 51
Tabel 7. Pengetahuan Responden Mengenai Cara Mengurangi Resiko Banjir, Katulampa
Tahun 2010 (N=30) ........................................................................................... 52
Tabel 8. Sebaran Responden Berdasarkan Tempat Pembuangan Sampah Rumah Tangga,
Katulampa Tahun 2010 ..................................................................................... 53
Tabel 9. Pengetahuan Responden Mengenai Partisipasi dalam Penanggulangan Banjir,
Katulampa Tahun 2010 (N=30)......................................................................... 54
Tabel 10. Sebaran Responden Berdasarkan Sikap Terhadap Alam, Katulampa Tahun
2010.................................................................................................................. 56
Tabel 11. Sebaran Responden Berdasarkan Kesiapsiagaan dan Respon Responden
terhadap Banjir Katulampa (2010) ................................................................... 60
Tabel 12. Sebaran Responden Berdasarkan Kepemilikan Asuransi ................................. 63
Tabel 13. Sebaran Responden Berdasarkan Usaha Pelestarian Pohon ............................. 68
Tabel 14. Sebaran Responden Berdasarkan Keikutsertaan Latihan dan Pendidikan Banjir,
Katulampa Tahun 2010 .................................................................................... 71
Tabel 15. Hasil Korelasi Pearson antara Kesiapsiagaan dan Mitigasi dengan Ukuran
Kekayaan, Pendidikan dan Pengetahuan dan Sikap Responden Korban Banjir
Katulampa Tahun 2010 .................................................................................... 80
xv
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Kerangka Pemikiran ........................................................................................ 19
Gambar 2. Distribusi Debit Air Bendung Katulampa Januari-Oktober 2010 ................... 32
Gambar 3. Sebaran Responden Berdasarkan Pendapatan ................................................. 41
Gambar 4. Sebaran Responden Berdasarkan Jenis Pekerjaan .......................................... 42
Gambar 5. Stratifikasi Responden Berdasarkan Kekayaan............................................... 43
Gambar 6. Sebaran Responden Berdasarkan Pendidikan ................................................. 44
Gambar 7. Sebaran Responden Berdasarkan Kondisi Bangunan Rumah ......................... 70
Gambar 8. Sebaran Responden Berdasarkan Bentuk Bangunan Rumah .......................... 71
xvi
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Kuesioner Penelitian ..................................................................................... 97
Lampiran 2. Panduan Pertanyaan untuk Informan .......................................................... 101
Lampiran 3. Dokumentasi Penelitian .............................................................................. 103
Lampiran 4. Peta Daerah Rawan Bencana Kelurahan Katulampa .................................. 104
Lampiran 5. Sketsa Daerah Rawan Banjir ...................................................................... 105
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Beberapa tahun terakhir Indonesia sering dilanda bencana. Posisi
Indonesia yang berada di antara tiga lempeng besar dunia telah mengakibatkan
Indonesia menjadi sangat rentan terhadap bencana. Selain itu terdapat beberapa
faktor lain yang menimbulkan bencana. Faktor lainnya adalah akibat kerusakan
ekologi, yang akar permasalahannya adalah manusia. Beberapa bencana besar
yang telah terjadi dalam beberapa tahun terakhir adalah gempa dan tsunami Aceh
(2004), gempa Nias (2006), gempa Jogjakarta dan Jawa Tengah (2006), gempa
dan tsunami Pangandaran (2006), banjir Jakarta (2007), gempa Bukittinggi
(2007), lumpur Sidoarjo (2006), jebolnya Situ Gintung (2009), gempa
Tasikmalaya (2009), gempa Padang (2009), longsor Ciwidey (2009), dan berbagai
bencana lainnya. Semua bencana ini telah merenggut banyak korban jiwa dan
mengakibatkan berbagai kerugian fisik dan kerugian materil bagi korbannya.
Psikologis masyarakat yang menjadi korban maupun tidak menjadi korban pun
ikut terganggu.
Bencana telah mengakibatkan penderitaan yang mendalam bagi korban
dan orang-orang yang berada di sekitarnya. Kerugian tidak hanya dialami oleh
masyarakat, akan tetapi juga dirasakan oleh pemerintah. Untuk mengatasi dan
mengurangi kerugian tersebut, diadakanlah kegiatan penanggulangan bencana.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan
Bencana, penanggulangan bencana adalah serangkaian kegiatan yang meliputi
penetapan kebijakan pembangunan yang berisiko timbulnya bencana, kegiatan
pencegahan bencana, tanggap darurat dan rehabilitasi. Kegiatan penanggulangan
2
bencana ini tidak hanya dilakukan oleh pemerintah pusat maupun daerah, tapi
juga lembaga-lembaga lain yang ikut membantu dan tanggap dalam bencana
seperti Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Bahkan, masyarakat pun juga ikut
dalam usaha penanggulangan bencana.
Usaha penanggulangan bencana harus dimulai sedini mungkin, yaitu
sebelum terjadinya bencana di daerah yang tergolong rawan bencana. Perspektif
penanggulangan bencana ini telah berubah seiring dengan pertambahan jumlah
bencana yang terjadi di Indonesia. Pada awalnya penanggulangan bencana
dipusatkan pada usaha yang dilakukan setelah terjadinya bencana, seperti tanggap
darurat, rehabilitasi dan rekonstruksi. Akan tetapi, perspektif ini telah bergeser
menjadi penanggulangan bencana yang dimulai sejak sebelum terjadinya bencana,
yaitu peningkatan kesiapsiagaan masyarakat dan upaya untuk mengurangi resiko
bencana (mitigasi). Bencana tidak pernah diketahui kapan akan melanda suatu
daerah, untuk itu dibutuhkan kesiapan orang-orang yang akan menghadapi
bencana, terutama di daerah rawan bencana.
Kesiapsiagaan dan mitigasi bencana merupakan usaha yang dilakukan
untuk dapat mengurangi dampak yang terjadi akibat bencana. Usaha pengurangan
resiko bencana ini melibatkan berbagai pihak yang sangat terkait dengan bencana.
Pihak-pihak tersebut adalah pemerintah, LSM, masyarakat dan lembaga lainnya
yang ikut membantu dalam penanggulangan bencana. Begitu pula pada usaha
yang dilakukan saat terjadinya bencana dan setelah terjadinya bencana sangat
dipengaruhi oleh pihak-pihak yang berkaitan dalam masalah ini.
Upaya peningkatan kesiapan dan tindakan penanggulangan bencana sangat
dipengaruhi oleh karakteristik sosial masyarakat. Karakteristik sosial masyarakat
3
yang mempengaruhi adalah kelembagaan sosial, derajat kohesivitas, stratifikasi
sosial masyarakat, dan pengetahuan lokal masyarakat. Semua karakteristik sosial
budaya ini mungkin dimiliki oleh masyarakat dan dapat digunakan sebagai modal
bagi masyarakat untuk mempersiapkan diri menghadapi bencana dan mengurangi
resiko bencana dan dapat mempengaruhi tindakan yang diambil oleh masyarakat
pada saat terjadinya bencana dan setelah terjadinya bencana, sehingga dapat
dilihat tingkat kesiapan yang dimiliki oleh masyarakat di daerah rawan bencana
dalam menghadapi kemungkinan bencana yang akan terjadi. Akan tetapi,
karakteristik sosial yang dimiliki oleh masyarakat ini juga dapat menjadi kendala
dalam menghadapi kemungkinan terjadinya bencana.
Fokus penelitian ini adalah daerah rawan bencana yang berada di
Kelurahan Katulampa, Kecamatan Bogor Timur, Kota Bogor. Daerah ini adalah
daerah yang tergolong rawan bencana banjir karena berada pada aliran Sungai
Ciliwung dan berada pada pintu air Bendungan Katulampa yang debit airnya
sering naik pada beberapa bulan terakhir. Pada Februari 2010 lalu daerah ini
mengalami banjir bandang dan merugikan kurang lebih 80 rumah tangga yang
mengalami langsung akibat banjir ini. Daerah ini juga termasuk ke dalam daerah
rawan banjir menurut peta rawan bencana Kelurahan Katulampa.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka dapat dirumuskan pertanyaan
penelitian sebagai berikut:
1.
Apa saja karakteristik sosial budaya yang ada di dalam masyarakat Kelurahan
Katulampa khususnya yang berkaitan dengan masalah bencana dan
lingkungan hidup?
4
2.
Bagaimanakah hubungan karakteristik sosial budaya yang dimiliki oleh
masyarakat dengan upaya kesiapsiagaan dan mitigasi bencana di Kelurahan
Katulampa?
3.
Bagaimanakah
kesiapan
masyarakat
Kelurahan
Katulampa
dalam
menghadapi bencana?
1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka dapat ditentukan tujuan
penelitian sebagai berikut:
1.
Untuk mengkaji karakteristik sosial budaya masyarakat di Kelurahan
Katulampa, khususnya yang berkaitan dengan masalah bencana dan
lingkungan hidup.
2.
Untuk mengkaji hubungan karakteristik sosial budaya masyarakat Kelurahan
Katulampa dengan upaya kesiapsiagaan dan mitigasi bencana.
3.
Untuk mengkaji
kesiapan masyarakat
Kelurahan
Katulampa
dalam
menghadapi bencana.
1.4 Kegunaan Penelitian
Penelitian ini dapat berguna bagi berbagai pihak yang terkait, terutama
bagi akademisi dan perguruan tinggi. Penelitian ini dapat berguna bagi perguruan
tinggi sebagai salah satu wujud dari Tri Dharma Perguruan Tinggi, yaitu bidang
penelitian dan peningkatan pengetahuan mengenai kesiapan masyarakat dalam
menghadapi bencana yang dikaitkan dengan karakteritik sosial yang dimiliki oleh
masyarat sehingga dapat dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai usaha
penanggulangan bencana.
BAB II
PENDEKATAN TEORITIS
2.1 Tinjauan Pustaka
2.1.1 Bencana Alam dan Daerah Rawan Bencana Alam
Bencana merupakan suatu kejadian atau peristiwa yang memberikan
kerugian yang besar pada masyarakat, yang bersifat merusak, merugikan dan
mengambil waktu yang panjang untuk pemulihannya (Sugiantoro dan Purnomo,
2010). Pengertian ini lebih diperjelas lagi dalam UU Nomor 24 Tahun 2007
tentang Penanggulangan Bencana, bencana merupakan peristiwa atau rangkaian
peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan
masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor nonalam
maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia,
kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis.
Hingga saat ini, masih banyak masyarakat yang menganggap bencana
merupakan suatu kejadian yang murni disebabkan oleh alam. Padahal, bencana
tidak hanya diakibatkan oleh faktor alam, tapi juga nonalam dan manusia. Namun,
dalam penelitian ini akan difokuskan pada bencana alam. Menurut Lindell dan
Prater (2003), bencana alam terjadi akibat adanya suatu keadaan geologi,
metereologi dan hidrologi yang sangat besar dan mengakibatkan komunitas tidak
mampu untuk mengatasinya.
Sugiantoro dan Purnomo (2010) dalam bukunya juga mendefinisikan
bencana alam sebagai suatu kejadian yang bersifat alami dan berasal dari alam.
UU Nomor 24 tahun 2007 mengenai Penanggulangan Bencana, mendefinisikan
bencana alam sebagai bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian
6
peristiwa yang disebabkan oleh, antara lain berupa tsunami, gempa bumu, gunung
meletus, banjir, kekeringan, angin topan dan tanah longsor.
Di Indonesia, banyak daerah yang rentan atau memiliki ancaman bencana
yang cukup besar. Ancaman bencana merupakan kemungkinan suatu kejadian
dapat menimbulkan bencana. Ancaman bencana ini menimbulkan kerawanan di
daerah-daerah yang ancaman bencananya besar. Rawan bencana merupakan suatu
keadaan geologis, biologis, hidrologis, klimatologis, geografis, sosial, budaya,
politik, ekonomi, dan teknologi pada suatu wilayah untuk jangka waktu tertentu
yang mengurangi kemampuan mencegah, meredam, mencapai kesiapan, dan
mengurangi kemampuan untuk menanggapi dampak buruk dari bahaya tertentu
(UU No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana).
2.1.2 Kesiapsiagaan dan Mitigasi
Penanggulangan bencana merupakan segala upaya dan kegiatan yang
dilakukan meliputi kegiatan pencegahan, mitigasi, dan kesiapsiagaan pada saat
sebelum terjadinya bencana serta penyelamatan pada saat bencana, rehabilitasi
dan rekonstruksi setelah terjadinya bencana (Sekretariat Bakornas PB, 2009).
Dalam tulisan Fothergill dan Peek (2004) menjelaskan kegiatan-kegiatan yang
dilakukan dalam penanggulangan bencana terdiri dari kesiapsiagaan yang terdiri
atas peringatan bahaya. Kegiatan selanjutnya adalah tanggap darurat, pemulihan,
dan terakhir rekonstruksi.
Kegiatan pencegahan merupakan usaha yang dilakukan untuk mengurangi
dan menghilangkan resiko bencana melalui tindakan pengurangan ancaman dan
kerentanan pihak yang terancam bencana (BNPB, 2008). Mitigasi merupakan
7
usaha yang dilakukan untuk mengurangi resiko bencana melalui peningkatan
kualitas fisik dan peningkatan kesadaran, pengetahuan dan kemampuan dalam
menghadapi bencana. Kesiapsiagaan merupakan suatu usaha yang dilakukan
untuk menghadapi kemungkinan datangnya bencana melalui kegiatan-kegiatan
peningkatan kemampuan untuk menghadapi kemungkinan bencana. Tanggap
darurat merupakan kegiatan yang dilakukan sesaat setelah terjadinya bencana
untuk menanggulangi semua kemungkinan dampak yang terjadi akibat bencana,
penanganan pertama terhadap korban bencana dan upaya penyelamatan korban
terhadap kemungkinan bencana susulan.
Kesiapsiagaan dan mitigasi juga didefinisikan dalam UU Nomor 24 tahun
2007 mengenai Penanggulangan Bencana. Kesiapsiagaan merupakan serangkaian
kegiatan yang dilakukan untuk mengantisipasi bencana melalui pengorganisasian
serta melalui langkah yang tepat guna dan berdaya guna. Mitigasi merupakan
serangkaian upaya untuk mengurangi resiko bencana baik melalui pembangunan
fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan dalam menghadapi
bencana.
Kegiatan yang dapat dilakukan dalam kesiapsiagaan (UU No. 24 Tahun
2007 tentang Penanggulangan Bencana) yaitu:
1. Penyusunan dan uji coba rencana penanggulangan kedaruratan bencana.
2. Pengorganisasian, pengujian, dan pemasangan sistem peringatan dini.
3. Penyediaan dan penyiapan barang pasokan pemenuhan kebutuhan dasar.
4. Pengorganisasian, penyuluhan, pelatihan, dan gladi tentang mekanisme
tanggap darurat.
5. Penyiapan lokasi evakuasi.
8
6. Penyusunan data akurat, informasi, dan pemutakhiran prosedur tetap tanggap
darurat.
7. Penyediaan dan penyiapan bahan, barang, dan peralatan untuk pemenuhan
pemulihan prasarana dan sarana.
Sedangkan kegiatan mitigasi yang dapat dilakukan adalah (UU No. 24
Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana):
1. Pelaksanaan penataan ruang.
2. Pengaturan pembangunan, pembangunan infrastruktur dan tata ruang.
3. Penyelenggaraan pendidikan, pelatihan, dan penyuluhan baik secara modern
maupun secara konvensional.
Tindakan
pencegahan
dibagi
menjadi
dua
yaitu
mitigasi
dan
kesiapsiagaan. Mitigasi dibagi menjadi dua, yaitu mitigasi pasif dan mitigasi aktif
(BNPB, 2008). Kegiatan mitigasi pasif yang dapat dilakukan adalah:
1.
Penyusunan peraturan perundang-undangan.
2.
Pembuatan peta rawan bencana dan pemetaan masalah.
3.
Pembuatan pedoman/ standar/ prosedur.
4.
Pembuatan poster/ brosur/ leaflet.
5.
Penelitian/ pengkajian karakteristik bencana.
6.
Pengkajian/ analisis resiko bencana.
7.
Internalisasi penanggulangan bencana dalam muatan lokal pendidikan.
8.
Pembentukan organisasi atau satuan gugus tugas bencana
9.
Perkuatan unit-unit sosial dalam masyarakat, seperti forum.
10. Pengarusutamaan penanggulangan bencana dalam pembangunan.
9
Sedangkan mitigasi aktif dilakukan dengan cara:
1.
Pembuatan dan penempatan tanda-tanda peringatan, larangan, dan bahaya
memasuki daerah rawan bencana.
2.
Pengawasan terhadap pelaksanaan berbagai peraturan tentang penataan ruang,
ijin mendirikan bangunan, dan peraturan lainnya yang berkaitan dengan
pencegahan bencana.
3.
Pelatihan dasar kebencanaan bagi aparat dan masyarakat.
4.
Pemindahan penduduk dari daerah rawan bencana ke daerah yang lebih aman.
5.
Penyuluhan dan peningkatan kewaspadaan masyarakat.
6.
Perencanaan daerah penampungan sementara dan jalur-jalur evakuasi jika
terjadi bencana.
7.
Pembuatan bangunan struktur yang berfungsi mencegah, mengamankan, dan
mengurangi dampak yang ditimbulkan oleh bencana, seperti tanggul, dam,
penahan erosi pantai, bangunan tahan gempa dan sejenisnya.
Upaya kesiapsiagaan dilakukan pada saat bencana terindetifikasi akan
terjadi. Upaya yang dapat dilakukan dalam kegiatan ini adalah:
1.
Pengaktifan pos-pos siaga bencana dengan segenap unsur pendukungnya.
2.
Pelatihan siaga/ simulasi/ gladi/ teknis bagi setiap sektor penanggulangan
bencana (SAR, sosial, kesehatan, prasarana dan pekerjaan umum).
3.
Inventarisasi sumberdaya pendukung kedaruratan.
4.
Penyiapan dukungan dan mobilisasi sumberdaya/ logistik.
5.
Penyiapan sistem informasi dan komunikasi yang cepat dan terpadu guna
mendukung tugas kebencanaan.
6.
Penyiapan dan pemasangan instrumen sistem peringatan dini (early warning).
10
7.
Penyusunan rencana kontinjensi (contingency plan).
8.
Mobilisasi sumberdaya (personil, dan sarana/prasarana peralatan).
2.1.3 Karakteristik Sosial
2.1.3.1 Kelembagaan
Lembaga biasa dikenal sebagai lembaga sosial, pranata sosial, atau
institusi sosial. Lembaga merupakan suatu sistem norma untuk mencapai suatu
tujuan atau kegiatan yang oleh masyarakat dipandang penting, atau sekumpulan
kebiasaan dan tata kelakuan yang berkisar pada kegiatan pokok manusia, dan
prosesnya terstruktur untuk melakukan berbagai kegiatan tertentu (Horton dan
Hunt, 1999). Selain itu, Raharjo (2004) menyimpulkan bahwa lembaga
merupakan suatu kompleks nilai dan norma yang berpusat pada kepentingan atau
tujuan tertentu. Lembaga dapat diciptakan dengan sengaja dan tidak dengan
sengaja. Lembaga yang ditumbuhkan secara sengaja adalah lembaga pendidikan,
hutang piutang, dan lainnya. Sedangkan lembaga yang tidak sengaja ditumbuhkan
adalah adat istiadat, kepercayaan, pernikahan, dan lainnya. Tonny (2004)
menyatakan dalam laporan penelitiannya, kelembagaan mengarahkan perilaku
individu dan masyarakat agar sejalan dengan tujuan umum yang ditetapkan.
Setiap masyarakat memiliki lembaga-lembaga kemasyarakatan tanpa
memperdulikan apakah masyarakatnya adalah masyarakat bersahaja atau
masyarakat modern. Kelembagaan sosial ini memiliki wujud konkrit yaitu asosiasi
(Soekanto, 2003). Lembaga bersifat dinamis dan selalu berubah dari waktu ke
waktu seiring dengan perubahan yang terjadi di dalam masyarakat (Raharjo,
2004). Menurut Horton dan Hunt (1999), lembaga dasar yang sangat penting
dalam masyarakat yang kompleks adalah keluarga, keagamaan, pemerintahan,
11
perekonomian, dan pendidikan. Hal ini hampir serupa dengan yang disampaikan
oleh Sunarto (1993), sejumlah institusi utama adalah institusi di bidang ekonomi,
politik, keluarga, pendidikan dan agama yang kemudian menghasilkan cabang
khusus dalam sosiologi.
Fungsi kelembagaan masyarakat dalam kehidupan masyarakat menurut
Soekanto (2003) adalah:
1. Memberikan pedoman bertingkah laku kepada anggota masyarakat dalam
menghadapi
masalah-masalah
dalam
masyarakat
terutama
mengenai
kebutuhan-kebutuhan.
2. Menjaga keutuhan masyarakat.
3. Memberikan pegangan kepada masyarakat untuk mengadakan sistem kontrol
sosial atau pengendalian sosial, mengawasi tingkah laku anggotanya.
Menurut Horton dan Hunt (1999), fungsi lembaga terdiri atas fungsi
manifes dan fungsi laten. Fungsi manifes merupakan fungsi lembaga yang
diharapkan oleh orang-orang akan terpenuhi. Misalnya, keluarga memlihara anakanaknya, lembaga ekonomi untuk menghasilkan dan memenuhi kebutuhan
ekonomi. Sedangkan fungsi laten kelembagaan adalah konsekuensi lembaga yang
tidak dapat dihindari dan diramalkan. Fungsi laten ini kadang mendukung fungsi
manifes, tidak relevan atau menjatuhkan fungsi manifes.
Ciri-ciri kelembagaan menurut Gillin dan Gillin dalam Soemardjan dan
Soemardi (1964) adalah:
1. Kelembagaan merupakan sebuah organisasi konseptual dan pola kebiasaan
yang terwujud melalui aktivitas sosial dan hasil-hasilnya.
12
2. Tingkat
kekekalan
tertentu
merupakan
ciri
dari
semua
lembaga
kemasyarakatan.
3. Terdiri atas satu atau beberapa tujuan tertentu.
4. Kelembagaan masyarakat merupakan alat untuk mencapai tujuan kelembagaan,
yaitu bangunan, alat-alat, mesin, perabotan dan lainnya.
5. Simbol merupakan karakterisik lembaga kemasyarakatan.
6. Lembaga kemasyarakatan memiliki tradisi tertulis atau tidak tertulis yang
merumuskan tujuan, tata tertib yang berlaku dan lainnya.
Pengembangan kelembagaan merupakan proses dimana anggota-anggota
masyarakat meningkatkan kapasitas kelembagaannya untuk memobilisasi dan
mengelola
sumberdaya
untuk
menghasilkan
perbaikan-perbaikan
yang
berkelanjutan dan merata dalam kualitas hidup sesuai dengan aspirasi mereka
(Tonny, 2004). Gillin dan Gillin yang dikutip oleh Soekanto (2003) lembaga
kemasyarakatan dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
1. Crescive institutions dan enacted institutions.
2. Basic institutions dan subsidiary institutions.
3. Approved atau social sanctioned-institutions dan unsanctioned institutions.
4. General institutions dan restricted institutions.
5. Operative institutions dan regulative institutions.
Perbedaan antara organisasi dan kelembagaan menurut Knight (1992)
adalah,
“Whereas institutions are sets of rules that structure interactions among
actors, organizations are collective actors who might be subject to institutional
constraint. Organizations generally have an internal structure, an instituitional
framework governing the interactions of those persons who constitute the
organizations”.
13
Sehingga dapat disimpulkan bahwa kelembagaan merupakan aturan-aturan
sedangkan organisasi merupakan sekumpulan orang yang terlibat dalam
kelembagaan tersebut.
Persiapan dalam tahap penanggulangan bencana menurut Lindell dan
Parter (2003) salah satunya adalah dengan menentukan dan mengkoordinasikan
organisasi yang bertanggung jawab dalam penanggulangan bencana. Organisasi
tersebut harus mendapatkan sumberdaya
yang dapat digunakan dalam
penanggulangan bencana seperti fasilitas, anggota dan alat bantu.
2.1.3.2 Derajat Kohesi Sosial Masyarakat
Kohesivitas kelompok atau masyarakat merupakan karakteristik sosial
yang sangat penting didalam masyarakat. Menurut Cartwright dan Zander (1968)
yang dikutip oleh Hadipranata (1986), kohesivitas merupakan derajat kekuatan
ikatan yang berperan dalam keanggotaan kelompok. Lebih lanjut lagi, kohesivitas
merupakan kekuatan interaksi diantara anggota kelompok dalam suatu kerjasama.
Masyarakat lebih ditentukan oleh sosialisasi atau interaksi yang memiliki
kohesivitas sehingga kelompok tersebut berdiri bersama-sama (Shaw, 1971 dalam
Hadipranata, 1986).
Johnson dan Johnson (1975) sebagaimana dikutip oleh Ramdhani dan
Martono (1996) mengartikan kohesivitas kelompok sebagai suatu keadaan
kelompok yang sudah membentuk kohesi, yang ditandai dengan kapasitas
kelompok tersebut untuk mempertahankan keanggotaan anggotanya sehingga
akan bekerjasama dengan kompak dalam mencapai tujuan bersama. Di lain pihak,
Collin dan Raven (1964) dalam Arishanti (2005) menjelaskan bahwa kohesi
14
kelompok merupakan keadaan yang mendorong anggota kelompok untuk tetap
tinggal dalam kelompok dan mencegahnya meninggalkan kelompok. Sebuah
kelompok dikatakan sudah kohesif apabila terdiri dari anggota yang berusaha
untuk mengaktualisasikan berbagai kemampuan untuk mencapai kehendak
bersama (Ramdhani dan Martono, 1996).
Dion (1973) dalam Ramdhani dan Martono (1996) melaporkan bahwa
dalam kelompok yang kohesif, komunikasi lebih lancar, kooperatif, dan lebih
dimungkinkan untuk memberikan koreksi yang positif. Kohesivitas juga membuat
anggota kelompok saling mempengaruhi dengan kuat, bahkan membuat
kesepakatan kelompok yang kompak dalam pengambilan keputusan kelompok
(Festinger dkk, 1950 dalam Hadipranata, 1986).
Penelitian yang dilakukan oleh Nasution (2005) mengenai penanggulangan
bencana berbasis masyarakat menemukan bahwa hubungan kekerabatan yang
sangat erat dan nilai gotong royong yang sangat tinggi dapat membantu
masyarakat dalam kesiapsiagaan bencana.
2.1.3.3 Stratifikasi Sosial
Pada setiap masyarakat terdapat stratifikasi sosial atau pelapisan sosial.
Stratifikasi sosial menurut Sorokin (1959) dalam Soekanto (1990) adalah
pembedaan penduduk atau masyarakat kedalam kelas-kelas secara bertingkat,
sedangkan menurut Sunarto (1993) stratifikasi sosial merupakan pembedaan
anggota masyarakat berdasarkan status yang dimilikinya
Ukuran yang biasa digunakan untuk menggolongkan anggota masyarakat
ke dalam suatu lapisan menurut Soekanto (1990) adalah:
15
1. Unsur kekayaan, dimana lapisan teratas biasanya yang memiliki kekayaan
paling banyak. Kekayaan bisa berbentuk rumah, kendaraan, dan pakaian.
2. Ukuran kekuasaan, lapisan teratasnya adalah yang paling memiliki kekuasaan
atau wewenang terbesar.
3. Ukuran kehormatan, dimana orang-orang yang paling dihormati dan disegani
berada di lapisan teratas.
4. Ukuran ilmu pengetahuan, dipakai oleh masyarakat yang menghargai ilmu
pengetahuan. Terkadang berakibat negatif karena yang dihargai adalah
gelarnya bukan ilmu yang dimilikinya.
Fothergill dan Peek (2004) dalam tulisannya menyatakan bahwa
penanggulangan bencana dipengaruhi oleh status sosial ekonomi masyarakat.
Pendidikan dan pendapatan memiliki hubungan dengan kegiatan-kegiatan yang
dilakukan dalam tahap persiapan untuk menghadapi bencana. Ditemukan bahwa
masyarakat yang memiliki pendapatan yang lebih tinggi lebih siap dalam
menghadapi bencana seperti kepemilikan terhadap asuransi, alat-alat yang
digunakan dalam masa tanggap darurat dan memperkuat keadaan rumah mereka.
Hal ini juga dijelaskan oleh Brym (2009) dalam tulisannya yang berjudul
Hurricane Katrina and The Myth of Natural Disaster dalam bukunya Sociology
as a Life or Death Isuues bahwa antara masyarakat yang berada pada kelas lebih
tinggi dengan masyarakat yang berada pada kelas lebih rendah tidak memiliki
keseimbangan kekuatan dalam menghadapi badai Katrina. Masyarakat yang
berada di kelas lebih rendah bertempat tinggal di daerah yang sangat rentan untuk
mengalami banjir, sedangkan masyarakat yang berada di kelas lebih tinggi dapat
tinggal di tempat yang lebih jauh dari bahaya. Masyarakat yang berada di kelas
16
lebih rendah adalah masyarakat berkulit hitam yang telah lama didiskriminasi dan
masyarakat miskin serta orang-orang tua.
2.1.3.4 Kearifan Lokal
Kearifan lokal atau istilah lainnya yaitu pengetahuan lokal, pengetahuan
tradisional, local knowledge, atau local wisdom. Pengertiannya menurut Shaw
(2008) adalah segala sesuatu yang berkaitan secara spesifik dengan budaya
tertentu dan mencerminkan gaya hidup suatu masyarakat tertentu. Dalam hal
pelestarian lingkungan, terdapat aturan tertentu dalam pengeksploitasian
lingkungan biofisik, dengan hukum sosial tertentu berdasarkan pengalaman
empirik manusia dan pelanggaran terhadap aturan tersebut memberikan sanksi
kepada pelanggarnya, sehingga kelestarian alam dapat dijaga (BPP-PSPL, 2005).
Pada umumnya masyarakat memiliki kearifan tradisional dalam mengelola
sumberdaya alam sekaligus dalam hal pemanfaatannya (Wirasena, 2010).
Kearifan lokal merupakan cara-cara dan praktik-praktik yang dikembangkan oleh
sekelompok masyarakat, yang berasal dari pemahaman mendalam mereka
mengenai lingkungan setempat, yang terbentuk dari tempat tinggal mereka secara
turun menurun (Shaw, 2008).
Karakteristik penting yang dimiliki oleh kearifan lokal di dalam
masyarakat adalah berasal dari dalam masyarakat itu sendiri, disebarluaskan
secara non formal, dimiliki secara kolektif oleh masyarakat yang bersangkutan,
dikembangkan selama beberapa generasi dan mudah diadaptasi, dan tertanam di
dalam kehidupan masyarakat untuk bertahan hidup (Shaw, 2008). Kearifan lokal
ini merupakan sebuah simpul perekat antara kehidupan masa lalu dan kehidupan
17
masa sekarang. Nilai-nilai budaya diturunkan dari nenek moyang, berkembang
dari lahir dan dari generasi ke generasi (Pattinama, 2009).
Berdasarkan penelitian yang diadakan Gunawan (2007) ditemukan bahwa
kearifan lokal dan semangat gotong royong masyarakat sangat berperan dalam
sistem peringatan dini sebelum terjadinya bencana, karena masyarakat telah lama
tinggal di daerah tersebut dan mengenal keadaan alam lebih baik dibandingkan
dengan yang lainnya.
2.1.3.5 Pengetahuan dan Sikap
Soekanto (2003) menyatakan bahwa pengetahuan merupakan hasil
penggunaan panca indranya sehingga menimbulkan kesan di dalam pikirannya.
Pengetahuan masyarakat mengenai hutan diklat dalam penelitian Garnadi (2004)
hanya terkait dengan hal-hal yang menyangkut kebutuhan hidup mereka saja,
sedangkan mengenai pengelolaan hutan masih kurang diketahui oleh masyarakat.
Masyarakat juga memiliki sikap yang tidak terlalu menentang dan juga tidak
terlalu mendukung terhadap hutan diklat dan pengelolaannya.
Berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Yusra (1998) mengenai
pengetahuan dan sikap pasangan usia subur mengenai gizi seimbang dan
pemasaran sosial ditemukan bahwa pengetahuan mereka masih tergolong rendah,
sedangkan sikapnya sudah tergolong tinggi. Akan tetapi dalam prakteknya,
pasangan usia subur masih tergolong rendah. Praktek gizi seimbang tersebut
dipengaruhi oleh pengetahuan dan sikap pasangan usia subur.
18
2.2 Kerangka Pemikiran
Bencana datang kepada masyarakat secara tiba-tiba dan tidak dapat
diprediksi kapan akan melanda suatu masyarakat. Dampak yang diakibatkan oleh
bencana sangat besar dan bersifat merugikan. Bagi masyarakat yang mengalami
bencana, dapat mengalami kehilangan nyawa, harta benda dan gangguan
psikologis. Untuk itu diperlukan suatu upaya yang bertujuan untuk mengurangi
dampak yang akan melanda masyarakat tersebut. Upaya tersebut adalah upaya
penanggulangan bencana yang terdiri atas upaya pencegahan, tanggap darurat dan
penanggulangan pasca bencana. Perspektif penanggulangan bencana yang
awalnya berpusat pada penanggulangan pasca bencana, kini telah berubah
menjadi perspektif penanggulangan bencana melalui tindakan pencegahan.
Tindakan pencegahan yang bertujuan untuk mengurangi resiko bencana ini terdiri
atas kesiapsiagaan dan mitigasi.
Kegiatan pencegahan ini ditujukan untuk meningkatkan kesiapan
masyarakat dalam menghadapi kemungkinan terjadinya bencana. Akan tetapi,
kesiapan masyarakat ini yang terintegrasi dalam upaya mitigasi dan kesiapsiagaan
dapat dipengaruhi oleh karakteristik sosial budaya yang dimiliki oleh
masyarakat.Karakteristik sosial tersebut adalah kelembagaan, kohesi sosial,
stratifikasi sosial, kearifan lokal, dan pengetahuan dan sikap yang sudah tertanam
di dalam masyarakat. Kelima dimensi karakteristik sosial budaya ini
mempengaruhi upaya pencegahan dan pengurangan resiko bencana dan akan
mempengaruhi kesiapan masyarakat dalam menghadapi bencana.
19
Hubungan antara karakteristik sosial budaya dengan kesiapan masyarakat
dalam menghadapi bencana dapat dijelaskan pada Gambar 1 berikut ini:
Karakteristik sosial dan
budaya
Kelembagaan
Kohesi Sosial
Keterangan:
Hubungan
Sratifikasi Sosial
Kearifan Lokal
Pengetahuan dan
Sikap
Pencegahan Bencana
ï‚· Kesiapsiagaan
ï‚· Mitigasi
Kesiapan
Gambar 1. Kerangka Pemikiran
2.3 Hipotesis Penelitian
2.3.1
Hipotesis Uji
Berdasarkan kerangka pemikiran diatas, maka dapat dirumuskan hipotesis
penelitian sebagai berikut:
1.
Kelembagaan memiliki hubungan dengan kesiapsiagaan dan mitigasi.
2.
Derajat kohesi sosial masyarakat memiliki hubungan dengan kesiapsiagaan
dan mitigasi.
20
3.
Stratifikasi sosial di dalam masyarakat memiliki hubungan dengan
kesiapsiagaan dan mitigasi.
4.
Kearifan lokal masyarakat memiliki hubungan dengan kesiapsiagaan dan
mitigasi.
5.
Pengetahuan dan sikap masyarakat memliki hubungan dengan kesiapsiagaan
dan mitigasi.
2.3.2
Hipotesis Pengarah
Kesiapan masyarakat dalam menghadapi bencana di daerah rawan bencana
berhubungan positif dengan karakteristik sosial budaya yang dimiliki oleh
masyarakat, terkait dengan pelaksanaan kegiatan pencegahan dan pengurangan
resiko bencana.
2.4 Definisi Operasional
Rumusan definisi operasional dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Individu/ Rumah Tangga
a. Stratifikasi Sosial
ï‚· Unsur kekayaan, dapat diukur melalui aset rumah tangga, dengan skor:
Rentang Kelas 1
: Rendah
Rentang Kelas 2
: Sedang
Rentang Kelas 3
: Tinggi
ï‚· Ukuran ilmu pengetahuan, dapat diukur melalui tingkat pendidikan
dengan skor:
Tidak bersekolah, tidak tamat SD, dan tamat SD
: Rendah
Tidak tamat SMP, tamat SMP dan tidak tamat SMA: Sedang
21
Tamat SMA dan Perguruan tinggi
: Tinggi
b. Pengetahuan, sikap dan tindakan mengenai lingkungan dan bencana
ï‚· Pengetahuan mengenai rawan bencana
ï‚· Penyebab banjir
ï‚· Akibat banjir
ï‚· Cara mengurangi resiko banjir
ï‚· Aktor yang berperan serta dalam penanggulangan banjir
ï‚· Sikap terhadap tanaman/ pohon
ï‚· Sikap terhadap kelestarian alam
ï‚· Ketergantungan hidup terhadap alam
ï‚· Sikap terhadap alam yang memberikan manfaat
ï‚· Sikap terhadap pohon-pohon yang memiliki penunggu
c. Kesiapsiagaan merupakan kegiatan yang dilaksanakan untuk meningkatkan
kemampuan masyarakat dalam menghadapi kemungkinan terjadinya
bencana.
ï‚· Asuransi
ï‚· Jenis asuransi
ï‚· Pengamanan barang berharga saat banjir
ï‚· Pelaksanaan evakuasi
ï‚· Persiapan persediaan makanan ketika ada tanda-tanda banjir
ï‚· Pengamanan barang berharaga ketika ada tanda-tanda banjir
ï‚· Pendidikan mengenai kebencanaan kepada anggota keluarga
ï‚· Tenda penampung saat evakuasi
22
d. Mitigasi merupakan kegiatan yang dilaksanakan untuk mengurangi resiko
terjadinya bencana.
ï‚· Keadaan fisik rumah
ï‚· Jarak rumah dari pinggiran sungai
ï‚· Kegiatan penebangan pohon
ï‚· Kegiatan pelestarian pohon
ï‚· Latihan pencegahan dan penanganan banjir
ï‚· Jenis rumah
ï‚· Pendidikan umum mengenai banjir
ï‚· Pembangunan tanggul, bendungan atau dam
e. Kesiapan masyarakat dalam menghadapi bencana yaitu suatu keadaan
masyarakat dimana telah ada kesiapan baik secara fisik dan mental untuk
menghadapi bencana.
BAB III
PENDEKATAN LAPANG
3.1 Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Kelurahan Katulampa, Kecamatan Bogor
Timur. Pemilihan lokasi ini didasarkan atas potensi bencana yang terdapat di desa
tersebut atau daerah yang tergolong rawan bencana. Kelurahan Katulampa
tergolong daerah rawan bencana berdasarkan peta daerah rawan bencana Kota
Bogor. Daerah Katulampa memiliki potensi yang sangat besar untuk dilanda
banjir karena posisinya yang berada di daerah aliran Sungai Ciliwung yang sudah
seringkali menenggelamkan Kota Jakarta. Daerah ini juga pernah mengalami
banjir bandang yang sangat merugikan masyarakat pada bulan Februari 2010 lalu.
Daerah penelitian dilaksanakan khususnya di RT 5 RW I dan RT 3 RW IX yang
merupakan daerah rawan banjir sesuai dengan peta rawan bencana yang dapat
dilihat pada Lampiran 4 dan Lampiran 5. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan
Juli-Agustus 2010 untuk penjajakan awal dan penelitian lanjutan akan
dilaksanakan pada bulan Oktober- November 2010.
3.2 Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan jenis penelitian survai dengan tipe decriptiveexplanotory research, yaitu penelitian penjelasan yang menghubungkan antar
variabel-variabel penelitian dengan menguji hipotesa yang telah dirumuskan
sebelumnya (Singarimbun dan Effendi, 1989) dan menjelaskan secara deskriptif
keadaan yang ditemukan di lapangan. Pendekatan dalam penelitian ini
menggunakan pendekatan kuantitatif yang didukung oleh pendekatan kualitatif.
24
Pendekatan kualitatif ini menggunakan kuesioner yang dibagikan kepada
responden. Sedangkan pendekatan kualitatif digunakan dengan pengumpulan data
melalui wawancara mendalam dan menggali pemahaman responden secara
subjektif sehingga dapat mendukung data kuantitatif.
3.3 Jenis dan Sumber Data
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data
sekunder. Data primer berasal dari kuesioner yang dibagikan kepada responden
dan data pendukung berupa wawancara mendalam terhadap responden. Data
sekunder diperoleh dari hasil dokumentasi dan studi literatur melalui hasil
penelitian sebelumnya, dapat berupa jurnal, skripsi, tesis, disertasi, makalah,
informasi dari internet dan karya ilmiah lainnya.
Kuesioner yang dibagikan kepada responden terdiri atas pertanyaan
tertutup dan pertanyaan semi tertutup. Selain itu pertanyaan yang diberikan juga
dalam bentuk skala Lickert sehingga dapat diketahui mengenai sikap responden
mengenai objek penelitian.
3.4 Teknik Penentuan Responden dan Informan
Populasi studi ini mencakup masyarakat yang berada di daerah rawan
bencana yaitu Kelurahan Katulampa di Kecamatan Bogor Timur, khususnya
masyarakat yang pernah mengalami bencana banjir pada Februari 2010 lalu.
Teknik pengambilan sampel menggunakan teknik convenience sampling dimana
sampel yang diambil adalah orang yang ada ditempat tersebut dan berdasarkan
data korban banjir Februari 2010 lalu yang terdaftar di dalam daftar korban banjir.
Teknik ini dipilih karena jumlah rumah tangga yang tetap tinggal di daerah
25
penelitian sudah berkurang akibat banjir, sehingga responden diambil berdasarkan
ketersediaan. Sebelumnya telah dilakukan teknik pengambilan responden secara
acak, kemudian dilanjutkan dengan teknik convenience sampling untuk
melanjutkan pengambilan responden karena jumlah rumah tangga yang tetap
tinggal di daerah penelitian sudah berkurang atau pindah rumah karena banjir.
Jumlah responden yang diambil adalah sebanyak 30 rumah tangga.
Wawancara dilakukan pada salah satu anggota rumah tangga yaitu suami atau
istri. Kuesioner untuk data kuantitatif diberikan kepada responden dan ditinggal di
tempat penelitian karena responden merasa lebih baik untuk ditinggal, sehingga
mereka dapat mengisi data dengan tenang dan tidak terburu-buru. Responden juga
merasa tidak nyaman dalam menjawab pertanyaan apabila ditanyakan langsung.
Informan yang diwawancarai adalah tokoh masyarakat yang ada di daerah
tersebut serta orang yang memiliki hubungan dengan penelitian ini. Data kualitatif
juga didapatkan melalui wawancara kepada informan melalui pendekatan
terhadap informan dengan cara tinggal di daerah penelitian dan ikut kegiatan yang
dilaksanakan di daerah tersebut.
3.5 Teknik Analisis Data
Data yang diperoleh secara kuantitatif dianalisis terlebih dahulu dengan
pengkodean data agar data lebih seragam. Setelah itu dilakukan penghitungan
persentase jawaban responden yang dibuat dalam bentuk tabel frekuensi. Data
tersebut dimasukkan ke dalam lembar kerja Microsoft Excel dan dilakukan
pengolahan data. Dari data kuantitatif yang telah terkumpul akan dilakukan
analisis uji korelasi dengan menggunakan uji korelasi Pearson untuk mengetahui
hubungan antara dua variabel yang akan diuji.
26
Untuk menentukan kelas responden maka digunakan rentang kelas
berdasarkan data yang didapatkan dari lapangan dengan rumus:
Klasifikasi = Nilai Maksimum-Nilai Minimum
Banyaknya Kelas
Dengan menggunakan rumus ini maka didapatkan klasifikasi responden
berdasarkan banyak kelas yang diinginkan.
Data kualitatif dianalisis dengan mengumpulkan data yang telah dihimpun
selama penelitian berdasarkan wawancara mendalam dengan informan dan
responden. Setelah data dikumpulkan kemudian dilakukan pemisahan data-data
penting dan kemudian disimpulkan. Kemudian data tersebut digunakan sebagai
data utama untuk mendeskripsikan hasil penelitian.
BAB IV
GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN
4.1 Kelurahan Katulampa
4.1.1. Kondisi Fisik
Kelurahan Katulampa merupakan salah satu kelurahan yang berada di
Kecamatan Bogor Timur, Kota Bogor. Kelurahan ini dialiri oleh salah satu sungai
besar di Jawa Barat, yaitu Ciliwung. Kelurahan Katulampa berada tidak jauh dari
pusat kota Bogor dengan jarak tempuh sekitar 15 menit. Kelurahan ini memiliki
luas 491 ha dengan jumlah Rukun Tetangga (RT) sebanyak 82 RT dan Rukun
Warga (RW) sebanyak 13 RW. Curah hujan rata-rata tiap tahunnya adalah 250
mm dengan suhu rata-rata harian 25o C. Kelurahan ini berada pada ketinggian 300
meter diatas permukaan laut. Berdasarkan letak geografis, Kelurahan Katulampa
berbatasan dengan kelurahan lain, yaitu:
a. Sebelah utara
: Kelurahan Cimahpar
b. Sebelah timur
: Kelurahan Tajur
c. Sebelah barat
: Kelurahan Baranangsiang
d. Sebelah selatan
: Desa Cibaon/ Sukaraja
Kelurahan Katulampa berada di dekat pusat Kota Bogor sehingga sangat
berpotensi untuk menjadi tempat pemukiman bagi orang-orang yang bekerja di
sekitar Kota Bogor maupun luar Kota Bogor karena aksesnya yang dekat dengan
Tol Jagorawi. Keadaan ini sangat mempengaruhi keadaan sosial dan ekonomi
penduduk Kelurahan Katulampa.
Sarana dan prasarana yang tersedia di kelurahan ini berupa sarana
transportasi, komunikasi dan informasi, pendidikan, kesehatan, dan kebersihan.
28
Sarana transportasi yang tersedia di daerah ini berupa sarana transportasi darat
berupa ojeg sebanyak 65 buah. Sarana komunikasi dan informasi yang tersedia
berupa telepon umum, telepon rumah dan telepon genggam. Kelurahan
Katulampa memiliki 1 Puskesmas pembantu, 19 Posyandu, dan 2 rumah bersalin.
Sarana dan prasarana pendidikan yang ada di Kelurahan Katulampa berupa 2 buah
gedung SMA, 4 buah gedung SMP, 5 buah gedung SD, 2 buah TK dan 2 buah
lembaga pendidikan agama. Sarana dan prasarana kebersihan di Kelurahan
Katulampa berupa tempat pembuangan sementara yang tersebar di lima lokasi dan
13 tong sampah dengan 10 orang anggota Satgas kebersihan.
4.1.2. Kependudukan dan Kelembagaan
Luas Kelurahan Katulampa cukup besar, yaitu 491 Ha dengan jumlah
penduduk yang lumayan padat, yaitu 25.065 jiwa. Jumlah penduduk laki-lakinya
adalah 12.527 jiwa sedangkan penduduk perempuannya sebanyak 12.539 jiwa.
Total kepala keluarga yang mendiami kelurahan ini adalah 6.462 kepala keluarga
dengan kepadatan penduduk sebesar 510 jiwa per km2. Pendidikan masyarakat
Katulampa cukup merata dari tamatan SD hingga perguruan tinggi. Akses
terhadap sarana dan prasarana pendidikan tergolong mudah sehingga pendidikan
yang ditempuh juga cukup baik.
Tabel 1. Tingkat Pendidikan Masyarakat Kelurahan Katulampa tahun 2008
No.
Tingkat Pendidikan
Jumlah Penduduk (orang)
1.
Tidak tamat SD
2.
Tamat SD
5598
3.
Tamat SMP/ sederajat
4230
4.
Tamat SMA/ sederajat
3864
5.
Tamat perguruan tinggi
681
Sumber: Profil Desa dan Kelurahan Katulampa (2008)
146
29
Sebagian besar masyarakat Katulampa beragama Islam. Agama lainnya
seperti Kristen, Hindu dan Budha hanya sebagian kecil saja. Mata pencaharian
masyarakat Kelurahan Katulampa paling banyak pada sektor informal yaitu
berdagang, tukang bangunan, tukang ojeg, petani dan buruh tani. Sedangkan pada
sektor formal hanyalah sebagian kecil saja.
Tabel 2. Mata Pencaharian Masyarakat Kelurahan Katulampa tahun 2008
No.
Mata Pencaharian
Jumlah
1.
Petani
2.
Buruh tani
651
3.
Pegawai negeri sipil
154
4.
Pengrajin industri rumah tangga
5.
Pedagang keliling
6.
Peternak
7.
Montir
25
8.
Dokter swasta
25
9.
Bidan swasta
4
10.
Pembantu rumah tangga
25
11.
TNI/ Polri
41
12.
Pensiunan
56
13.
Pengusaha kecil dan menengah
10
14.
Pengacara
7
15.
Notaris
2
16.
Dukun kampung terlatih
6
17.
Jasa pengobatan alternatif
2
18.
Dosen swasta
19.
Arsitektur
20.
Karyawan perusahaan swasta
21.
Karyawan perusahaan pemerintah
22.
Lainnya (pedagang,
tukang bangunan)
1851
7
41
1
22
7
tukang
3843
479
ojeg,
Sumber: Profil Desa dan Kelurahan Katulampa (2008)
9205
30
Organisasi masyarakat yang berkembang di Kelurahan Katulampa adalah
organisasi pemerintahan, organisasi kemasyarakatan, dan organisasi ekonomi.
Organisasi yang berkembang di daerah ini di dukung oleh anggotanya.
Organisasi-organisasi yang berkembang di Kelurahan Katulampa dapat dilihat
dalam Tabel 3 berikut.
Tabel 3. Kelembagaan Kelurahan Katulampa tahun 2008
No.
Organisasi Masyarakat
Jumlah Anggota (orang)
Organisasi Pemerintahan
1.
Kantor Kelurahan
15
Organisasi Kemasyarakatan
2.
LKK
10
3.
LPM
17
4.
PKK
24
5.
Rukun Warga
102
6.
Rukun Tetangga
696
7.
Karang Taruna
10
8.
Kelompok Tani
10
9.
Organisasi keagamaan (MUI)
10
Organisasi Ekonomi
10.
KUD
60
11.
Simpan Pinjam
60
Sumber: Profil Desa dan Kelurahan Katulampa (2008)
Penelitian ini difokuskan di daerah yang mengalami banjir di Kelurahan
Katulampa yaitu RT 5 RW I dan RT 3 RW IX yang berada di pinggir sungai
Ciliwung. Rata-rata penduduk RT 5 RW I adalah pendatang yang berasal dari luar
daerah Bogor, seperti Jawa Tengah dan Jawa Timur. Di daerah ini banyak
terdapat rumah yang disewakan atau dikontrakkan dan tidak banyak penduduk asli
yang berada di daerah tersebut. Berbeda pula dengan RT 3 RW IX yang rata-rata
31
penduduknya adalah penduduk asli. Kebanyakan dari penduduknya memiliki
hubungan darah satu sama lainnya.
4.2 Sungai Ciliwung
Sungai Ciliwung merupakan sungai yang berada dalam Satuan Wilayah
Sungai Ciliwung- Cisadane, dengan daerah tangkapan (daerah aliran sungai)
sepanjang lebih kurang 337 Km2. Daerah aliran Sungai Ciliwung dibagi menjadi
tiga (Munaf, 1992) yaitu:
a) DAS Ciliwung bagian I yang dimulai dari hulu sampai ke stasiun pengamat
Katulampa meliputi Kecamatan Kedunghalang, Cisarua dan Ciawi.
b) DAS Ciliwung bagian II yang dimulai dari stasiun pengamat Katulampa hingga
ke stasiun pengamat Ratujaya (Depok) meliputi Kecamatan Kedunghalang,
Kota Bogor, Kecamatan Cibinong dan Kecamatan Depok.
c) DAS Ciliwung bagian III yang dimulai dari stasiun pengamat Ratujaya sampai
ke stasiun pengamat Rawajati (Kalibata) meliputi wilayah Kecamatan Depok,
Kecamatan Cimanggis, dan Jakarta.
Penelitian ini difokuskan di daerah aliran Sungai Ciliwung bagian
Katulampa. Bendungan Katulampa dibagi menjadi dua aliran, yaitu aliran yang
berfungsi untuk irigasi dan aliran Sungai Ciliwung yang mengalir ke Jakarta.
Rata-rata debit air yang mengaliri bendungan Katulampa dari Januari hingga
Oktober 2010 adalah 18.028,5 liter per detik.
32
35000
30000
25000
20000
15000
10000
5000
0
Gambar 2. Distribusi Debit Air Bendung Katulampa Januari-Oktober 2010
BAB V
KARAKTERISTIK SOSIAL BUDAYA MASYARAKAT
5.1 Kelembagaan
Kelurahan Katulampa memiliki lembaga-lembaga yang berkembang di
tengah masyarakat. Lembaga ini merupakan wadah bagi kelembagaankelembagaan yang tidak disadari telah menjadi bagian dari masyarakat, mengatur
dan memberi nilai-nilai dan norma-norma tertentu. Horton dan Hunt (1999)
menyatakan bahwa lembaga merupakan suatu sistem norma untuk mencapai suatu
tujuan atau kegiatan yang oleh masyarakat dipandang penting, atau sekumpulan
kebiasaan dan tata kelakuan yang berkisar pada kegiatan pokok manusia, dan
prosesnya terstruktur untuk melakukan berbagai kegiatan tertentu. Kelembagaankelembagaan yang terlihat lebih kuat mempengaruhi masyarakat adalah pada
bidang keagamaan. Kegiatan yang dilaksanakan sebagai aktifitas sosial dalam
kelembagaan berupa pengajian. Pengajian diadakan rutin dalam seminggu. Setiap
RT memiliki jadwal yang berbeda dengan jumlah pertemuan yang berbeda setiap
minggunya.
Nilai dan norma yang berkembang dalam kelembagaan ini adalah nilai dan
norma mengenai keagamaan. Nilai-nilai yang dianut diwujudkan dalam kegiatankegiatan yang dilakukan selama pengajian. Kegiatan pengajian ini gunanya adalah
untuk memanjatkan syukur dan do’a-do’a kepada Sang Pencipta agar kehidupan
mereka diberkahi serta memanjatkan do’a bagi orang-orang terdahulu.
Kelembagaan agama ini memperkuat hubungan masyarakat karena masyarakat
melakukan pertemuan rutin yang bisa menjadi wadah untuk bertukar pikiran dan
34
berbagi pengalaman. Namun dalam pengajian ini tidak ada materi yang
disampaikan baik dalam bidang agama maupun bidang kehidupan lainnya.
Sesuai yang dikemukakan oleh Gillin dan Gillin dalam Soemardjan dan
Soemardi (1964), kelembagaan agama ini memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
1. Kelembagaan merupakan organisasi konseptual dan pola kebiasaan yang
terwujud melalui aktifitas sosial dan hasil-hasilnya. Kelembagaan agama yang
terwujud melalui aktifitas sosial berupa pengajian ini telah menjadi pola
kebiasaan masyarakat setempat. Kegiatan ini rutin dilakukan dan jarang
ditinggalkan oleh masyarakat. Pengajian merupakan organisasi yang terkonsep
dan memiliki kegiatan yang jelas dan dikonsep dengan rapi oleh anggotanya.
Pengonsepan kegiatan ini dilakukan bersama-sama seperti membahas masalah
jadwal pelaksanaan dan pengonsepan do’a-do’a yang akan dipanjatkan. Selain
itu, mereka juga menentukan tempat dilaksanakannya pengajian. Biasanya
setiap rumah dalam RT tersebut mendapatkan giliran untuk menyediakan
tempat pengajian.
2. Tingkat kekekalan tertentu merupakan ciri dari semua lembaga masyarakat.
Kegiatan pengajian ini telah lama dilaksanakan oleh masyarakat dan tidak
berubah dari dulu sampai saat ini.
3. Terdiri atas satu atau beberapa tujuan tertentu. Kegiatan pengajian ini
dilaksanakan atas tujuan tertentu. Tujuan yang ingin dicapai dengan adanya
pengajian ini adalah meningkatkan pendalaman mengenai agama, mendekatkan
diri pada Yang Maha Kuasa dan selain itu kegiatan ini bertujuan untuk
mendo’akan keluarga yang sudah meninggal.
35
4. Kelembagaan masyarakat merupakan alat untuk mencapai tujuan kelembagaan,
seperti alat-alat, bangunan, perabotan dan lainnya. Fungsi kelembagaan
masyarakat sama seperti alat-alat, bangunan dan perabotan yang membantu
untuk mencapai tujuan kelembagaan itu sendiri. Pada lembaga pengajian rutin
yang dilakukan oleh masyarakat setempat, kelembagaan menjadi wadah bagi
masyarakat dan juga menjadi alat yang digunakan untuk mencapai tujuantujuannya.
5. Simbol merupakan karakteristik lembaga kemasyarakatan. Simbol yang
digunakan dalam kelembagaan ini adalah simbol keagamaan yaitu do’a-do’a
yang dipanjatkan. Simbol-simbol do’a ini dituangkan ke dalam tulisan yang
dimiliki oleh setiap anggota pengajian, dibawa dan dipanjatkan setiap kali
mereka mengadakan pengajian. Simbol yang berbentuk logo atau gambar tidak
ditemukan di dalam kelembagaan ini.
6. Lembaga masyarakat memiliki tradisi tertulis atau tidak tertulis yang
merumuskan tujuan, tata tertib yang berlaku dan lainnya. Pengajian yang
dilakukan secara rutin oleh masyarakat memiliki aturan-aturan yang tidak
tertulis. Dalam merumuskan aturan, masyarakat menggunakan musyawarah
dan mufakat dalam menentukan jadwal pelaksanaan, isi kegiatan dan tujuan
kegiatan.
Berdasarkan pengklasifikasian kelembagaan oleh Gillin dan Gillin dalam
Soekanto (2003), pengajian termasuk ke dalam Crescive Institution yaitu
kelembagaan primer yang tumbuh dari adat istiadat, yang salah satunya adalah
lembaga keagamaan. Lembaga keagamaan ini tumbuh dan berkembang di dalam
36
masyarakat dari dulu hingga sekarang dan menjadi arahan bagi masyarakat dalam
menguatkan keagamaan mereka.
Kelembagaan ekonomi lokal kurang berkembang di daerah ini. Kegiatan
yang berhubungan dengan perekonomian hanyalah sekitar jual-beli dan arisan.
Tidak adanya kelembagaan ekonomi ini menjadikan status ekonomi masyarakat
menjadi kurang berkembang karena tidak ada lembaga yang mampu untuk
mengekspresikan kreatifitas masyarakat dalam bidang ekonomi. Sedangkan arisan
hanyalah simpanan biasa yang kadang-kadang jumlah yang dituntut juga cukup
besar jika dibandingkan dengan penghasilan masyarakat dan tuntutan untuk
memenuhi kebutuhan sehari-hari. Kelembagaan ini tidak terlalu mengakar di
dalam masyarakat. Keterlibatan masyarakat tidak terlalu besar dan hanya orangorang tertentu yang mampu untuk mengikutinya, seperti masyarakat yang
memiliki kemampuan ekonomi yang sedikit berlebih dibandingkan dengan yang
lainnya.
Kelembagaan lain yang sangat berperan dalam kebencanaan adalah RT
dan RW sebagai perpanjangan tangan kelurahan dan penjaga bendungan.
Sistemnya adalah dari penjaga bendungan akan diberikan informasi mengenai
status debit air. Apabila debit air dirasa akan membahayakan dan dapat
mengakibatkan terjadinya banjir, maka pemerintah kelurahan akan menyampaikan
kepada masyarakat untuk meningkatkan kewaspadaan akan datangnya banjir
melalui ketua RT dan ketua RW. Selain RT dan RW, lembaga lain yang juga
sangat berperan adalah TAGANA (Taruna Siaga Bencana) yang dibentuk di
kecamatan. Anggota TAGANA tersebut merupakan perwakilan dari setiap
kelurahan yang ada di Kecamatan Bogor Timur. Di setiap kelurahan terdapat satu
37
anggota TAGANA. Mereka berperan dalam meningkatkan kesiapsiagaan dan
mitigasi bencana bersama dengan pemerintah dan menjadi jembatan antara
pemerintah dengan masyarakat bersama ketua RT dan ketua RW apabila terjadi
banjir seperti yang diungkapkan oleh Bapak K (38 Tahun) sebagai anggota
TAGANA,
“... waktu air di Bendungan Katulampa naik, Bapak An yang ngejaga
bendungan bakal ngasih kabar ke orang kelurahan. Dari kelurahan disampein
ke Ketua RW, trus diterusin ke Ketua RT, baru disebar ke masyarakat untuk
bersiap-siap. Kelurahan sama TAGANA juga bersiaga untuk kemungkinan
terjadinya banjir...”
TAGANA bersama RT dan RW dilihat sebagai suatu kelembagaan yang
memiliki fungsi sebagai pengendali sosial, dimana mereka secara bersama-sama
mengendalikan masyarakat untuk dapat melakukan kegiatan kesiapsiagaan dalam
menghadapi kemungkinan terjadinya banjir apabila debit air Sungai Ciliwung
mulai meningkat.
5.2 Derajat Kohesi Sosial
Masyarakat di dalam suatu daerah memiliki derajat ikatan antar individu
yang disebut dengan derajat kohesi sosial. Masyarakat dianggap sebagai suatu
kelompok besar yang anggotanya adalah individu-individu yang tergabung di
dalam masyarakat tersebut. Derajat kohesivitas dapat dilihat melalui interaksi
pada anggota masyarakat yang melakukan kerjasama (Cartwright dan Zander,
1968). Derajat kohesi sosial di daerah penelitian khususnya RT 5 RW I dan RT 3
RW IX memiliki perbedaan. Perbedaan tersebut adalah derajat ikatan
masyarakatnya. Pada RT 5 RW I, masyarakatnya cenderung untuk berpindah dari
satu tempat ke tempat lain, sedikit yang menetap di daerah tersebut. Mobilitas
penduduk yang lumayan tinggi ini diakibatkan oleh banyaknya jumlah rumah
38
yang dikontrakkan di daerah tersebut. Lebih dari 15 kepala keluarga dari 40
kepala keluarga yang merasakan banjir telah pindah rumah atau meninggalkan
daerah tersebut. Sesuai dengan yang dijelaskan oleh Collin dan Raven (1964)
dalam Arishanti (2005) mengenai faktor yang mendorong terjadinya kohesi
kelompok, yaitu keadaan yang mendorong anggota kelompok untuk tetap tinggal
dalam kelompok dan mencegahnya meninggalkan kelompok. Oleh karena itu di
RT 5 RW I tingkat kohesi sosialnya tergolong rendah karena tidak ada keadaan
yang mendorong anggota masyarakat untuk tetap tinggal, bahkan mereka
meninggalkan tempat tersebut karena takut terjadi banjir kembali.
Arus mobilitas penduduk yang cukup tinggi ini mengakibatkan tingginya
pertukaran anggota masyarakat. Harga sewa rumah yang lumayan murah yaitu
sekitar Rp. 100.000,00 – Rp. 150.000,00 per bulan mengakibatkan banyaknya
jumlah pendatang di daerah ini. Untuk mendapatkan derajat keeratan yang tinggi,
masyarakat harus mampu untuk menyesuaikan diri terlebih dahulu dengan
masyarakat setempat. Kegiatan-kegiatan sosial selain pengajian jarang dilakukan
di kedua tempat penelitian, misalnya gotong royong.
Berbeda dengan RT 5 RW I, masyarakat RT 3 RW IX tidak memiliki
tingkat mobilisasi yang tinggi karena di daerah tersebut kebanyakan
masyarakatnya memiliki hubungan darah dan masih terikat dengan daerah
tersebut. Daerah tersebut tidak termasuk daerah yang banyak pendatang. Rata-rata
masyarakatnya adalah masyarakat lokal yang memang sudah lama berdomisili di
daerah tersebut. Hubungan kekeluargaan lebih erat dan sering melakukan kegiatan
sosial bersama. Sehingga derajat kohesivitas masyarakatnya lebih tinggi
dibandingkan dengan RT 5 RW I.
39
Derajat kohesivitas masyarakat ini juga dipengaruhi oleh keseragaman
(homogenitas) anggota kelompok tersebut seperti kesamaan tindakan dan
homogenitas perilaku (Mardikanto, 1993 dalam Redono, 2006). Keseragaman
yang dimaksud adalah keseragaman pada ciri-ciri sosial masyarakat tersebut.
Masyarakat dengan ciri-ciri sosial yang lebih mirip satu sama lainnya akan
memiliki kohesivitas yang cenderung lebih tinggi. Hal ini terjadi pada RT 3 RW
IX. Masyarakatnya cenderung lebih kohesif karena adanya keseragaman pada
tingkat ekonomi, hubungan darah dan mereka merupakan penduduk asli
Katulampa yang memiliki kesamaan budaya dan adat. Berbeda dengan RT 5 RW
I, masyarakatnya kebanyakan merupakan masyarakat pendatang yang berasal dari
berbagai daerah seperti Jawa dan tidak menetap lama di daerah tersebut.
Perbedaan adat dan budaya antara pendatang dan penduduk asli mengakibatkan
kurangnya keseragaman, sehingga kohesivitasnya cenderung lebih rendah
dibandingkan dengan RT 3 RW IX.
5.3 Stratifikasi Sosial
Kelurahan Katulampa berada tidak jauh dari pusat Kota Bogor. Hal ini
mengakibatkan Kelurahan Katulampa menjadi salah satu daerah yang dijadikan
sebagai alternatif untuk berdomisili atau bertempat tinggal agar akses terhadap
sumber-sumber ekonomi dan teknologi lebih mudah untuk dijangkau.
Masyarakatnya datang dari berbagai tingkatan ekonomi, maupun dari berbagai
etnis. Kehidupan masyarakat yang memiliki status sosial yang berbeda-beda ini
juga mempengaruhi pelapisan di dalam masyarakat. Pelapisan sosial ini juga
terlihat di daerah penelitian, yaitu RT 5 RW I dan RT 3 RW IX.
40
Pelapisan atau stratifikasi sosial terjadi akibat adanya perbedaanperbedaan di dalam masyarakat secara bertingkat. Individu yang memiliki status
sosial tertentu akan masuk ke dalam lapisan-lapisan tertentu yang terdapat di
lingkungannya, baik lingkungan tempat tinggal maupun di lingkungan
pekerjaannya. Menurut Soekanto (2003), ukuran yang biasa digunakan untuk
menggolongkan masyarakat ke dalam suatu lapisan adalah ukuran kekayaan,
ukuran kekuasaan, ukuran kehormatan dan ukuran ilmu pengetahuan.
Responden yang diambil di daerah penelitian merupakan responden yang
pernah mengalami banjir dan berada di sepanjang aliran Ciliwung. Sungai ini
telah lama menjadi pusat kehidupan bagi masyarakat yang berada di sekitarnya
sehingga banyak masyarakat yang memilih tinggal di dekat sungai agar dapat
mengakses sumberdaya alam lebih mudah, seperti air. Banyaknya jumlah
pendatang, terutama di daerah RT 5 RW I telah memberikan dampak terhadap
lapisan sosial yang ada di dalam masyarakat. Stratifikasi sosial masyarakat di
dapatkan melalui kuesioner yang diserahkan kepada responden untuk dijawab.
Pertanyaannya adalah mengenai karakteristik individu responden tersebut untuk
mengukur stratifikasi berdasarkan ukuran kekayaan dan pendidikan. Sedangkan
untuk ukuran berdasarkan kekuasaan dan kehormatan dilakukan melalui
wawancara mendalam kepada informan.
Pertanyaan yang diajukan untuk mendapatkan ukuran kekayaan adalah
melalui aset rumah tangga atau pribadi, yaitu pendapatan, kepemilikan rumah,
tanah, barang berharga dan teknologi. Sedangkan untuk mendapatkan ukuran
pendidikan, pertanyaan yang diajukan adalah mengenai pendidikan yang telah
ditempuh oleh responden. Setelah dilakukan analisis data, didapatkan pendapatan
41
rata-rata masyarakat adalah sebesar Rp. 998.333,00 dengan pendapatan tertinggi
sebesar Rp. 3.000.000,00 dan terendah sebesar Rp, 300.000,00. Berdasarkan data
yang dihimpun, responden diklasifikasikan menjadi tiga yaitu responden dengan
pendapatan rendah, rata-rata dan tinggi sehingga didapatkan bahwa sebanyak 73,3
persen responden memiliki pendapatan yang rendah dengan kisaran pendapatan
antara Rp. 300.000,00 – Rp. 1.200.000,00. Sedangkan 23,3 persen responden
memiliki pendapatan rata-rata yang berkisar antara Rp. 1.200.000,00 – Rp.
2.100.000,00. Sisanya sebesar 3,33 persen adalah responden dengan pendapatan
tinggi yang pendapatannya berkisar antara Rp. 2.100.000,00 – Rp. 3.000.000,00.
1
7
Tinggi
Menengah
Rendah
22
Gambar 3. Sebaran Responden Berdasarkan Pendapatan, Katulampa Tahun 2010
Data di atas menunjukkan bahwa rata-rata responden berasal dari kalangan
ekonomi menengah kebawah yaitu sebanyak 22 orang responden memiliki
pendapatan dibawah Rp. 1.200.000,00. Banyaknya jumlah responden yang berada
pada golongan ekonomi ini diakibatkan oleh pekerjaan yang dilakukan oleh
responden rata-rata pada sektor iinformal seperti wiraswasta dan buruh yang tidak
memberikan penghasilan yang cukup besar. Responden yang bekerja dalam
42
bidang wiraswasta yaitu sebesar 36,67 persen, buruh sebesar 26,67 persen, ibu
rumah tangga dan pegawai swasta masing-masing sebesar 16,67 persen dan 10
persen serta diikuti oleh pegawai negeri, bertani dan pengangguran yang masingmasingnya sebesar 3,33 persen.
Bertani
5
0101 1
Pegawai Negeri
3
Pegawai Swasta
Wiraswasta
8
11
Buruh
Ibu Rumah Tangga
Pelajar
Menganggur
Pensiun
Gambar 4. Sebaran Responden Berdasarkan Jenis Pekerjaan, Katulampa Tahun
2010
Data pada Gambar 4 menunjukkan bahwa sebagian besar responden
memiliki usaha sendiri atau berwiraswasta dan buruh. Hal ini berhubungan
dengan tingkat pendapatan responden yang tergolong ke dalam angka di bawah
rata-rata atau tergolong berekonomi menengah ke bawah. Kegiatan wiraswasta
yang dilakukan oleh responden rata-rata adalah berjualan atau pedagang kaki lima
dan warung.
Berdasarkan data pendapatan, aset kepemilikan rumah tangga berupa
rumah, tanah, tabungan, dan benda berharga didapatkan jenjang ukuran kekayaan
yang dimiliki oleh responden. Sebanyak 96,67 persen responden memiliki rumah
yang luasnya dibawah 200 m2, dan sisanya adalah kepemilikan rumah seluas 1500
m2. Rata-rata luas rumah responden adalah seluas 122 m2. Responden yang
43
memiliki jenjang ukuran kekayaan yang rendah adalah sebanyak 30 persen,
sedang atau menengah sebanyak 56,67persen dan tinggi sebanyak 13,3 persen.
17
Tinggi
Menengah
Rendah
4
9
Gambar 5. Stratifikasi Responden Berdasarkan Kekayaan, Katulampa Tahun 2010
Data responden berdasarkan tingkat kekayaan ini diukur berdasarkan
kepemilikan rumah tangga, tidak hanya pendapatan tapi juga barang-barang
berharga dan bernilai tinggi. Pendapatan tidak dapat menggambarkan aset atau
kekayaan individu dan rumah tangga dengan baik, karena kepemilikan terhadap
benda berharga juga merupakan salah satu bentuk kepemilikan materi yang
tersimpan. Kepemilikan yang diukur, selain pendapatan adalah tabungan,
kepemilikan barang-barang elektronik seperti televisi, radio, kulkas, komputer dan
lainnya. Selain itu kepemilikan kendaraan juga menjadi salah satu ukuran dalam
mengukur kekayaan. Kepemilikan terhadap hewan ternak juga dimasukkan ke
dalam indikator pengukuran kekayaan. Hasil pengolahan data yang menentukan
stratifikasi merupakan kombinasi dari kepemilikan individu atau pun rumah
tangga.
44
Seperti dalam menentukan ukuran kekayaan, ukuran pendidikan
ditentukan melaui pendidikan formal yang telah ditempuh oleh responden.
Walaupun pendidikan formal tidak selalu dapat menjadi ukuran pengetahuan
responden. Pertanyaan yang diajukan adalah menganai pendidikan terakhir yang
responden tempuh dalam jalur formal. Didapatkan bahwa 36,67 persen responden
menempuh pendidikan hanya sampai pada pendidikan dasar yaitu sekolah dasar.
Responden yang menempuh pendidikan sampai pada jenjang sekolah menengah,
baik sekolah menengah pertama maupun sekolah menengah atas adalah sebanyak
60 persen dan sisanya sebanyak 3,33 persen responden menempuh pendidikan
tinggi.
20
18
18
Jumlah Responden
16
14
12
11
10
8
6
4
1
2
0
Pendidikan Dasar
Pendidikan Menengah
Pendidikan Tinggi
Kategori Pendidikan
Gambar 6. Sebaran Responden Berdasarkan Pendidikan, Katulampa Tahun 2010
Stratifikasi masyarakat ditentukan dengan berbagai ukuran, sebagaimana
yang telah disebutkan diatas yaitu ukuran kekayaan, pendidikan, kekuasaan dan
kehormatan. Ukuran kekuasaan dilihat dengan menggali informasi kepada
beberapa informan mengenai siapa yang berkuasa di daerah tersebut. Kekuasaan
45
yang dimaksud oleh anggota masyarakat itu adalah kekuasaan formal yaitu ketua
RT dan ketua RW di daerah setempat. Informan yang diwawancarai adalah ketua
RT di RT 5 RW I yaitu Bapak E dan ketua RW IX yaitu Bapak S. Stratifikasi di
dalam masyarakat terlihat dengan jelas apabila dilihat dari ukuran kekuasaan.
Masyarakat menjadi lebih patuh terhadap orang-orang yang memiliki kekuasaan
baik formal maupun informal.
Sama halnya dengan ukuran kekuasaan, ukuran kehormatan juga
didapatkan melalui wawancara dengan beberapa orang informan mengenai orang
yang mendapatkan kehormatan lebih dibandingkan dengan masyarakat lainnya.
Informan yang diwawancarai adalah Ibu Z. Ibu Z sangat dihormati oleh
masyarakat setempat karena suaminya dipercayai sebagai penolak banjir atau
orang yang dipercaya dapat mengontrol saat datangnya banjir agar dampak banjir
tidak menjadi lebih merugikan. Ibu Z mendapatkan kehormatan yang lebih
dibandingkan dengan masyarakat lainnya juga sebagai orang yang lebih dituakan
di daerah tersebut karena beliau adalah penduduk asli daerah tersebut dan telah
lama tinggal di daerah tersebut.
5.4 Kearifan Lokal
Kearifan lokal menurut Shaw (2008) merupakan segala sesuatu yang
berkaitan secara spesifik dengan budaya tertentu dan mencerminkan gaya hidup
suatu masyarakat tertentu. Kearifan lokal merupakan cara dan praktik-praktik
yang dikembangkan oleh sekelompok masyarakat, yang berasal dari pemahaman
yang mendalam mengenai lingkungan setempat, yang terbentuk dari tempat
tinggal mereka secara turun temurun.
46
Kelurahan Katulampa merupakan daerah yang sangat luas dengan jumlah
RW sebanyak 13 RW dan jumlah penduduk lebih dari 6.000 kepala keluarga.
Penduduknya tidak berasal dari daerah setempat saja, akan tetapi juga dari luar
daerah yang menetap di daerah Katulampa. Khususnya di daerah penelitian yaitu
RT 5 RW I dan RT 3 RW IX dijumpai adanya praktik-praktik yang
dikembangkan oleh masyarakat dan berkembang secara turun temurun.
Masyarakat setempat memiliki kepercayaan bahwa banjir akan datang
apabila batu yang berukuran besar di pinggir sungai sudah terendam sampai atas.
Batu tersebut telah menjadi ukuran sejak lama dan memberikan peringatan kepada
masyarakat setempat untuk bersiap-siap dalam menghadapi banjir. Tinggi batu
tersebut kurang lebih 2,5 meter. Selama ini batu tersebut telah memberikan
peringatan datangnya banjir kepada masyarakat, akan tetapi berbeda dengan banjir
yang terjadi pada Februari 2010 lalu. Banjir yang melanda daerah tersebut adalah
banjir bandang, sehingga masyarakat tidak dapat bersiap-siap dan tidak ada tandatanda terendamnya batu tersebut sebelumnya.
Pada saat terjadinya banjir, masyarakat mempercayai bahwa salah seorang
anggota masyarakat dapat mengusir banjir yang melanda daerah tersebut. Menurut
penuturan beberapa orang informan terdapat sebuah kepercayaan yang
berkembang di dalam masyarakat mengenai banjir. Informan mengatakan bahwa
Bapak A mampu untuk mengusir banjir dengan cara mengambil air banjir tersebut
dengan wajan, kemudian di rebus dan diberikan do’a-do’a. Kemudian air yang
direbus tersebut dibuang kembali ke arah sungai. Kepercayaan ini telah lama
diyakini oleh masyarakat setempat dan menurut pengakuan Ibu T, air yang
diberikan do’a-do’a tersebut mujarab dan langsung menyurutkan banjir yang
47
melanda daerah tersebut. Hal ini juga dilakukan pada saat banjir yang terjadi
Februari 2010 lalu.
Selain
kepercayaan
mengenai
banjir,
masyarakat
juga
memiliki
kepercayaan mengenai lingkungannya, yaitu pohon-pohon yang berada disekitar
mereka. Masyarakat yang menganggap bahwa pohon-pohon yang berada di
sekitar mereka memiliki penunggu berupa arwah atau roh adalah sebanyak 40
persen. Masyarakat yang menganggap pohon-pohon tersebut memiliki penunggu
menyatakan bahwa mereka tidak akan menebang pohon tersebut. Kepercayaankepercayaan inilah yang membuat lingkungan mereka menjadi lebih lestari karena
adanya rasa takut untuk melakukan penebangan pohon secara sembarangan. Oleh
karena itu jumlah pohon tidak berkurang, sehingga air yang dapat diserap lebih
banyak.
5.5 Pengetahuan dan Sikap
Masyarakat Kelurahan Katulampa memiliki pengetahuan mengenai
lingkungan yang mempengaruhi gaya hidup mereka. Pengetahuan ini bisa disebut
sebagai pengetahuan masyarakat mengenai lingkungan. Selain itu masyarakat
juga memiliki pengetahuan mengenai banjir. Selain pengetahuan, masyarakat juga
memiliki sikap tersendiri terhadap lingkungan sekitarnya, baik yang melestarikan
maupun yang tidak melestarikan.
Pengetahuan yang dimiliki oleh responden mengenai lingkungan, dalam
hal ini khususnya banjir dapat dilihat dari beberapa pertanyaan yang diajukan
kepada responden. Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan berhubungan dengan
pengetahuan responden mengenai bencana banjir, yaitu pengetahuan mengenai
rawan bencana, penyebab banjir, akibat banjir, cara mengurangi resiko banjir dan
48
pihak-pihak yang ikut serta dalam penanggulangan banjir. Dalam pertanyaanpertanyaan ini responden dituntut untuk menggali pengetahuannya mengenai
lingkungan yang mengakibatkan terjadinya bencana, yaitu banjir.
Pengetahuan responden menganai rawan bencana dijabarkan dalam Tabel
5 berikut. Responden yang memilih jawaban “rawan bencana merupakan keadaan
dimana suatu daerah rentan untuk mengalami bencana dan orang-orang yang
berada di daerah tersebut tidak mampu untuk mengatasinya” adalah sebanyak
63,33 persen. Sebanyak 26,67 persen responden menjawab “rawan bencana
merupakan keadaan dimana suatu daerah rentan untuk mengalami bencana”.
Sedangkan responden yang menjawab “rawan bencana merupakan keadaan
dimana suatu daerah tidak dapat mengalami bencana” adalah sebanyak 6,67
persen dan sisanya 3,33 persen responden tidak menjawab pertanyaan tersebut.
Tabel 4. Pengetahuan Mengenai Rawan Bencana oleh Responden Korban Banjir,
Katulampa Tahun 2010
Pengertian Rawan Bencana
Keadaan dimana suatu daerah tidak dapat mengalami
bencana
Keadaan dimana suatu daerah rentan untuk mengalami
bencana
Keadaan dimana suatu daerah rentan untuk mengalami
bencana dan orang-orang yang berada di daerah tersebut
tidak mampu untuk mengatasinya
Tidak Menjawab
Jumlah
Jumlah
%
2
6,67
8
26,67
19
63,33
1
30
3,33
100
Lebih dari 60 persen responden mengetahui bahwa daerah rawan bencana
tidak hanya daerah yang rentan mengalami bencana akan tetapi juga orang-orang
yang berada di daerah tersebut tidak mampu untuk mengatasinya atau orang-orang
yang berada di daerah tersebut kurang siap untuk menghadapi bencana.
49
Sedangkan yang menjawab daerah rawan bencana hanya diakibatkan oleh daerah
yang rentan untuk mengalami bencana menempati urutan kedua. Responden yang
menjawab tersebut hanya melihat dari sisi alamnya, tidak memandang kesiapan
dari diri mereka sendiri untuk mengatasi bencana.
Jawaban responden bahwa rawan bencana merupakan keadaan dimana
suatu daerah tidak dapat mengalami bencana menempati posisi terakhir.
Berdasarkan jawaban responden tersebut dapat dilihat bahwa responden tidak
terlalu memahami mengenai daerah rawan bencana. Daerah rawan bencana bisa
ada dimana saja sehingga mampu tidak mampu daerah tersebut tetap dianggap
sebagai daerah yang rawan bencana. Responden yang tidak menjawab pertanyaan
tidak dapat digali pengetahuannya karena tidak menjawab pertanyaan belum tentu
tidak mengetahui jawaban.
Setelah responden digali pengetahuannya mengenai daerah rawan bencana,
pengetahuan responden juga digali mengenai penyebab terjadinya banjir. Dari
pertanyaan tersebut dipaparkan lima jawaban dimana responden diperbolehkan
untuk memilih lebih dari satu jawaban.
Tabel 5. Pengetahuan Responden Mengenai Penyebab Banjir, Katulampa Tahun
2010 (N=30)
Penyebab Banjir
Banjir dapat diakibatkan oleh hujan lebat yang airnya sudah
melebihi daya tampung sungai.
Banjir dapat diakibatkan oleh kurangnya daerah resapan air
sungai yaitu dengan bertambahnya bangunan di pinggiran
sungai.
Banjir dapat diakibatkan oleh kurangnya penyerap air seperti
pohon-pohon.
Banjir dapat diakibatkan oleh terjadinya penumpukan sampah
di aliran sungai.
Banjir dapat diakibatkan oleh tersumbatnya saluran air/ selokan
oleh sampah padat.
Jumlah %
28
93,33
18
60,00
19
63,33
14
46,67
12
40,00
50
Berdasarkan Tabel 6, terlihat bahwa sebanyak 93,33 persen responden
memilih hujan lebat sebagai penyebab utama terjadinya banjir. Hilangnya pohonpohon sebagai penyerap air menjadi penyebab kedua setelah hujan lebat. Jumlah
responden yang memilih hilangnya pohon-pohon adalah sebanyak 63,33 persen.
Tidak berbeda jauh, sebanyak 60 persen responden juga memilih bertambahnya
jumlah bangunan di pinggir sungai yang mengurangi daerah resapan air.
Sedangkan sampah yang menumpuk di aliran sungai dan sampah padat di saluran
air tidak banyak dipilih oleh responden. Hanya 46,67 persen dan 40 persen
responden yang memilih sampah sebagai salah satu penyebab terjadinya banjir.
Pengetahuan responden mengenai penyebab terjadinya banjir didapatkan
berdasarkan pengalaman yang dilihat selama ini. Kebanyakan responden melihat
bahwa banjir selama ini datang diakibatkan oleh adanya hujan lebat atau hujan
besar di daerah hulu dan terbawa hingga ke daerah tengah dan hilir. Responden
kurang melihat penyebab tidak langsung terjadinya banjir, yaitu berkurangnya
pohon-pohon sebagai penyerap air, berkurangnya daerah resapan air, serta sampah
yang menumpuk di aliran sungai. Seorang responden yang bernama Ibu A (46
tahun) menyatakan,
“... sampah mah ga ngaruh sama banjir, soalnya sampah yang dibuang
palingan dikit, satu kantong plastik aja. Itu kan ngga menghambat aliran
sungai... ”
Responden lebih memandang banjir diakibatkan oleh alam dan sedikit
campur tangan dari manusia. Padahal banjir tidak hanya diakibatkan oleh alam,
akan tetapi juga tindakan manusia yang merusak alam tanpa memperhatikan
kelestariannya sehingga alam menjadi tidak seimbang dan berdampak pada
bencana-bencana yang terjadi akhir-akhir ini.
51
Pengetahuan responden mengenai banjir tidak hanya sebatas penyebabnya,
akan tetapi juga akibat dari banjir. Pertanyaan yang diajukan kepada responden
untuk menggali pengetahuan responden mengenai akibat banjir adalah “banjir
dapat mengakibatkan” dan responden diberikan alternatif jawaban yang
diperbolehkan untuk memilih lebih dari satu jawaban.
Tabel 6. Pengetahuan Responden Mengenai Akibat Banjir, Katulampa Tahun
2010 (N=30)
Akibat Banjir
Banjir dapat mengakibatkan tergenangnya daerah yang berada
di sekitar sungai.
Banjir dapat menghanyutkan berbagai barang dan harta.
Banjir dapat merusak berbagai sarana seperti jembatan,
tanggul, bendungan, jalan dan rumah.
Banjir dapat mengakibatkan terganggunya layanan umum
seperti air dan listrik.
Banjir dapat mengakibatkan tergenangnya lahan pertanian,
perikanan dan peternakan
Jumlah %
20
66,67
23
20
76,67
66,67
13
43,33
14
46,67
Responden lebih banyak memilih akibat dari banjir adalah hanyutnya
berbagai barang dan harta, yaitu sebanyak 76,67 persen. Menurut responden
banjir juga mengakibatkan tergenangnya daerah yang berada di sekitar sungai dan
rusaknya sarana seperti jembatan, tanggul, bendungan, jalan dan rumah, yang
masing-masingnya 66,67 persen dari jumlah responden yang memilih jawaban ini.
Selain itu menurut 46,67 persen responden banjir juga mengakibatkan
tergenangnya lahan pertanian dan terakhir banjir dapat mengakibatkan
terganggunya layanan umum seperti air dan listrik sebanyak 43,33 persen.
Hanyutnya berbagai barang dan harta sebagai akibat dari banjir lebih
banyak dipilih oleh responden karena pengalaman responden pada saat banjir
yang terjadi bulan Februari tahun 2010 lalu. Kerugian yang dialami oleh reponden
rata-rata adalah hanyut dan rusaknya barang-barang berharga seperti barang-
52
barang elektronik dan peralatan rumah tangga. Rusaknya rumah juga menjadi
kerugian yang seluruh responden alami pada saat banjir terjadi. Kebanyakan
responden tidak bekerja dalam bidang pertanian, perikanan maupun peternakan
sehingga responden tidak banyak yang memilih rusaknya lahan pertanian,
perikanan dan peternakan sebagai akibat dari terjadinya banjir. Sedangkan
rusaknya layanan umum seperti air dan listrik tidak terlalu dirasakan pada saat itu.
Menurut salah seorang informan yaitu Bapak E (59 tahun) layanan listrik dan air
tidak terputus sesuai dengan pernyataannya,
“waktu banjir kemaren listriknya ga mati, yang ada malah listriknya kita yang
matiin. Takutnya ada konslet, tapi pas airnya udah surut listriknya dinyalain
lagi”.
Selanjutnya masyarakat diminta untuk menjawab pertanyaan yang
berhubungan dengan resiko banjir. Sama halnya dengan pertanyaan sebelumnya,
responden diperbolehkan untuk menjawab pertanyaan lebih dari satu jawaban.
Berikut persentase responden yang menjawab pada setiap pilihan jawaban.
Tabel 7. Pengetahuan Responden Mengenai Cara Mengurangi Resiko Banjir,
Katulampa Tahun 2010 (N=30)
Cara Mengurangi Resiko Banjir
Jumlah
Mendirikan bangunan dengan jarak lebih dari 50 meter dari 14
sungai.
Mendirikan jalan dengan jarak lebih dari 50 meter dari 7
sungai.
Menanam pohon di sekitar sungai.
15
Membuang sampah pada tempatnya.
22
Membersihkan saluran air/ drainase secara rutin.
15
%
46,67
23,33
50,00
73,33
50,00
Berdasarkan data yang dihimpun, pengetahuan responden mengenai cara
untuk mengurangi resiko banjir yang paling banyak dipilih adalah dengan
membuang sampah pada tempatnya dimana 73,33 persen responden memilih
53
jawaban ini. Selain itu, responden juga memilih cara untuk mengurangi resiko
banjir dengan cara menanami pohon di sekitar sungai dan membersihkan saluran
air/ drainase secara rutin, yang dipilih masing-masingnya oleh 50 persen
reponden. Sebanyak 46,67 persen reponden memilih dengan cara mendirikan
bangunan dengan jarak lebih dari 50 meter dapat menurangi resiko banjir dan
sebanyak 23,33 persen responden memilih dengan mendirikan jalan dengan jarak
lebih dari 50 meter dari sungai.
Data pengetahuan responden mengenai cara mengurangi resiko banjir
melalui membuang sampah pada tempatnya seperti yang dijelaskan pada Tabel 7
tidak sesuai dengan pengetahuan responden mengenai penyebab banjir yang
dijelaskan pada Tabel 5 mengenai penumpukan sampah di aliran sungai. Hal ini
disebabkan oleh pertanyaan ini diberikan hanya untuk menggali pengetahuan
responden mengenai penyebab dan pengurangan resiko banjir. Responden juga
sudah sering terdedah dengan kata-kata “buanglah sampah pada tempatnya”. Hal
ini juga dibuktikan dengan tindakan mereka saat membuang sampah. Berdasarkan
data yang dihimpun, responden yang membuang sampah ke sungai sebanyak
63,33 persen, membuang sampah di tempat pembuangan sampah 20 persen dan
16,67 persen sisanya membuang sampah di lapangan atau kebun kosong. Terlihat
bahwa antara pengetahuan, sikap dan tindakan responden tidak berjalan beriringan
atau sejajar.
Tabel 8. Sebaran Responden Berdasarkan Tempat Pembuangan Sampah Rumah
Tangga, Katulampa Tahun 2010
Tempat pembuangan sampah rumah tangga
Tempat pembuangan sampah
Lapangan atau kebun kosong
Sungai
Jumlah
6
5
19
%
20,00
16,67
63,33
54
Sikap responden ini tidak sesuai dengan pengetahuan mereka mengenai
akibat dari membuang sampah di aliran sungai atau membuang sampah
sembarangan. Responden hanya memiliki pengetahuan namun tidak mampu atau
tidak melakukan sesuai dengan pengetahuan yang mereka miliki. Hal ini
diakibatkan oleh tidak adanya inisiatif pemerintah ataupun masyarakat untuk
menggunakan jasa pembuangan sampah atau membangun tempat pembuangan
sampah.
Terakhir, pengetahuan responden mengenai bencana dan lingkungan
diukur melalui pertanyaan mengenai partisipasi pihak-pihak yang seharusnya
terlibat dalam penanggulangan banjir. Pengetahuan responden yang digali adalah
pendapat responden mengenai siapa saja yang seharusnya ikut berperan serta
dalam penanggulangan banjir.
Tabel 9. Pengetahuan Responden Mengenai Partisipasi dalam Penanggulangan
Banjir, Katulampa Tahun 2010 (N=30)
Aktor dalam Penanggulangan Bencana
Pemerintah
Masyarakat
Lembaga Swadaya Masyarakat
Jumlah
21
28
12
%
70,00
93,33
40,00
Berdasarkan Tabel 9 di atas dapat dilihat bahwa yang memiliki peran
paling besar dalam penanggulangan banjir adalah masyarakat. Masyarakat
dianggap yang memiliki peran lebih besar karena masyarakat yang merasakan
banjir tersebut, sedangkan pemerintah maupun LSM (Lembaga Swadaya
Masyarakat) perannya hanya sebatas memberikan bantuan saja. Terlihat
berdasarkan data yang dihimpun, hanya 70 persen dari responden yang
menganggap pemerintah juga memiliki peran dalam penanggulangan bencana
sedangkan LSM memiliki posisi terakhir setelah pemerintah, yaitu hanya 40
55
persen responden yang memilih LSM menjadi salah satu pihak yang berperan
serta dalam penanggulangan banjir.
Hal
tersebut
diakibatkan
oleh
pengalaman
responden
dalam
penanggulangan banjir yang terjadi pada Februari 2010 lalu. Pada saat terjadinya
banjir, responden dan masyarakat lainnya berusaha untuk melakukan tanggap
darurat bersama-sama dan dibantu oleh masyarakat lain yang tidak mengalami
banjir. Masyarakat mengevakuasi diri mereka sendiri ke daerah yang lebih tinggi
dan tidak tergenang oleh air pada saat banjir. Walaupun banjir tersebut terjadi
hanya dalam waktu kurang lebih 1 jam, masyarakat tetap merasakan kepanikan
karena banjir yang datang adalah banjir bandang tanpa peringatan.
Pemerintah pada saat itu hanya memberikan bantuan berupa uang dan
makanan, namun tidak menyediakan alat-alat untuk membersihkan daerah yang
telah digenangi air. Begitu pula dengan Lembaga Swadaya Masyarakat, mereka
tidak memberikan bantuan terhadap korban banjir tersebut. Pada saat itu,
masyarakat juga mendapatkan bantuan dari Rumah Sakit PMI berupa obat-obatan.
Selain pengetahuan, sikap responden mengenai lingkungan juga dapat
digolongkan kedalam kearifan lokal, kearifan tersebut tidak hanya pengetahuan
tapi juga sikap dan tindakan. Sikap responden diukur melalui sikapnya terhadap
alam dan kelestariannya. Responden diberikan pernyataan-pernyataan yang dapat
diukur melalui tingkatan persetujuan responden terhadap pernyataan tersebut.
Responden diminta untuk memberikan respon melalui pilihan persetujuan
tersebut. Pernyataan dan jawaban yang diberikan responden dapat dilihat pada
Tabel 10 berikut.
56
Tabel 10. Sebaran Responden Berdasarkan Sikap Terhadap Alam, Katulampa
Tahun 2010
Pernyataan
Jika tanaman/ pohon tidak
memberikan
manfaat
kepada saya, maka saya
boleh memperlakukannya
sesuka hati saya.
Jika saya membutuhkan
lahan untuk membuat
rumah/ bertani, saya akan
menebang pohon untuk
membuka lahan tanpa
memperhatikan
kelestariannya.
Kehidupan
saya
bergantung pada keadaan
alam (mis: cuaca)
Selama saya masih bisa
mengambil manfaat dari
alam
saya
akan
menggunakan sesuka hati
saya
Sangat
Tidak
Setuju
Tidak
Setuju
Kurang
Setuju
Setuju
Sangat
Setuju
26,67
%
56,67
%
3,33 %
13,33
%
0%
40,00
%
43,33
%
10,00 %
6,67 %
0%
16,67
%
43,33%
23,33 %
13,33
%
3,33 %
26,67
%
43,33
%
20,00 %
10,00
%
0%
Tabel 10 menunjukkan sikap responden terhadap alam sekitarnya, sikap
responden dalam hal kelestarian alamnya. Dari data diatas, dapat dianalisis bahwa
masyarakat memiliki sikap yang cukup baik terhadap alam. Pada pernyataan yang
meminta masyarakat untuk menyikapi alam yang tidak memberikan manfaat,
83,33 persen responden menyatakan ketidaksetujuannya untuk memanfaatkan
alam dengan sesuka hati, baik sangat tidak setuju maupun tidak setuju saja. Begitu
pula dengan pernyataan yang mengaitkan antara kebutuhan pokok, yaitu rumah
dengan kelestarian alam. Responden memilih tidak setuju dan sangat tidak setuju
untuk pernyataan ini, yaitu sebanyak 83,33 persen. Sedangkan keinginan
57
responden untuk memanfaatkan alam sebanyak-banyaknya selama masih bisa
dimanfaatkan juga sangat kurang, yang terlihat melalui ketidaksetujuan responden
sebanyak 70 persen untuk tidak memanfaatkan alam sesuka hati.
Sebagian besar responden, sekitar 60 persen responden merasa
kehidupannya tidak bergantung pada keadaan alam, seperti cuaca. Responden
lebih banyak bekerja pada bidang wiraswasta dan buruh, sehingga cuaca tidak
terlalu menjadi halangan untuk melakukan kegiatan karena rata-rata setiap harinya
Bogor diguyur hujan pada saat sore hari. Aktivitas yang dilakukan menjadi tidak
terlalu terganggu karena jam kerja sudah berakhir.
BAB VI
KESIAPSIAGAAN DAN MITIGASI BENCANA
6.1 Kesiapsiagaan
Indonesia merupakan negara yang sangat sering mengalami bencana,
seperti gempa, tsunami, banjir, dan gunung meletus. Dalam beberapa tahun
terakhir telah banyak daerah yang menjadi korban bencana, salah satunya adalah
Katulampa. Daerah Katulampa dialiri oleh salah satu sungai besar yang berada di
daerah Jawa Barat hingga ke Jakarta, yaitu Sungai Ciliwung. Sungai Ciliwung
telah mempunyai catatan sejarah yang buruk bagi masyarakat Jakarta karena
setiap tahunnya selalu mengakibatkan terjadinya banjir. Tidak hanya Jakarta dan
sekitarnya, Bogor juga pernah mengalami banjir akibat meluapnya debit air
Sungai Ciliwung. Salah satu daerah yang mengalami banjir bandang akibat
naiknya jumlah debit air Ciliwung adalah Katulampa. Air yang meluap merendam
rumah warga dengan ketinggian lebih dari 1 meter.
Dilihat dari sejarah banjir yang terjadi di sepanjang Ciliwung, Katulampa
dapat digolongkan menjadi daerah rawan bencana banjir. Dalam 10 tahun
terakhir, Katulampa telah dilanda banjir sebanyak dua kali. Oleh karena itu
masyarakat yang berada di Katulampa, khususnya yang berada di sepanjang aliran
Sungai Ciliwung harus memiliki tingkat kesiapsiagaan yang tinggi. Tidak hanya
dari pemerintah, akan tetapi juga dari masyarakatnya sendiri.
Kesiapsiagaan masyarakat ditelaah melalui pertanyaan-pertanyaan yang
berhubungan dengan kegiatan-kegiatan preventif yang seharusnya dilakukan oleh
masyarakat sebelum terjadinya banjir, seperti keikutsertaan dalam asuransi,
perlindungan terhadap barang-barang berharga, persiapan terhadap daerah
59
evakuasi, persedian kebutuhan hidup sebelum terjadinya banjir, kepemilikan
barang-barang pokok untuk perlindungan keluarga saat terjadi bencana dan
sharing pengetahuan mengenai kebencanaan kepada orang-orang terdekat seperti
keluarga.
Kesiapsiagaan itu sendiri merupakan usaha yang dilakukan untuk
meningkatkan kemampuan suatu masyarakat untuk menghadapi kemungkinan
terjadinya bencana, misalnya melalui peningkatan kemampuan diri dan keluarga.
Kegiatan yang dapat dilakukan adalah dengan mempersiapkan keluarga dengan
mengikuti asuransi kesehatan maupun asuransi jiwa, mempersiapkan barangbarang yang mungkin dibutuhkan pada saat terjadinya bencana seperti makanan
dan tenda, memberikan perlindungan menyuluruh pada barang-barang yang
dianggap berharga dan memperkuat pengetahuan mengenai kebencanaan.
Untuk mengukur tingkat kesiapsiagaan masyarakat dalam mengahadapi
kemungkinan
terjadinya
bencana,
diberikan
pernyataan-pernyataan
yang
berhubungan dengan sikap yang akan diambil masyarakat apabila responden
diposisikan dalam kondisi akan terjadi bencana. Dari pernyataan tersebut
responden diminta untuk memberikan tanggapan persetujuan. Pernyataan yang
diberikan kepada responden dapat dilihat pada Tabel 12.
60
Tabel 11. Sebaran Responden Berdasarkan Kesiapsiagaan dan Respon Responden
terhadap Banjir Katulampa (2010)
Pernyataan
Apabila terjadi banjir, saya dan
keluarga akan memindahkan
barang-barang berharga ke
tempat yang aman.
Apabila terjadi banjir, saya dan
keluarga akan pindah ke
daerah evakuasi.
Saya akan membeli persediaan
makanan apabila debit air
sungai sudah pada status siaga
4.
Saya
akan
memindahkan
barang-barang berharga saya
apabila debit air sungai sudah
pada status siaga 4.
Saya memberikan pendidikan
mengenai kebencanaan kepada
anggota keluarga saya.
Sangat
Tidak
Setuju
Tidak
Setuju
Kurang
Setuju
Setuju
Sangat
Setuju
0%
3,33 %
0%
50,00
%
46,67
%
0%
0%
0%
63,33
%
36,67
%
10,00
%
26,67
%
33,33 %
26,67
%
3,33 %
3,33 %
3,33 %
0%
66,67
%
26,67
%
6,67 %
3,33 %
0%
73,33
%
16,67
%
Data sikap di atas menunjukkan bahwa persiapan responden dalam
menghadapi bencana khususnya untuk pengamanan barang-barang berharga
cukup baik. Hanya 3,33 persen responden yang menyatakan ketidaksetujuannya
terhadap pengamanan barang-barang berharga dalam menghadapi bencana.
Sedangkan sisanya menyatakan kesetujuannya terhadap pengamanan barangbarang yang dianggap berharga oleh responden, dengan tingkat kesetujuan yaitu
setuju sebesar 50 persen dan sangat setuju sebesar 46,67 persen. Berdasarkan
pengakuan beberapa orang responden barang-barang berharga yang mereka
amankan biasanya adalah surat-surat penting. Barang-barang berharga lainnya
seperti televisi, kulkas, dan lainnya menjadi pilihan terakhir untuk diamankan
karena ukurannya yang besar dan sulit untuk memindahkannya. Menurut sebagian
61
besar responden, hal pertama yang harus diselamatkan adalah nyawa keluarga.
Barang-barang berharga lainnya akan diselamatkan apabila seluruh anggota
keluarga sudah aman.
Data di atas juga menunjukkan bahwa seluruh responden akan berpindah
ke daerah evakuasi apabila terjadi banjir. Tingkat persetujaun responden berbeda,
namun menunjukkan sikap yang sama yaitu akan berpindah apabila terjadi banjir.
Responden yang setuju adalah sebanyak 63,33 persen sedangkan yang
menyatakan sangat setuju adalah sebanyak 36,67 persen. Responden menyatakan
bahwa selama ini tidak ada daerah evakuasi khusus yang disediakan oleh
pemerintah bagi masyraakat yang mengalami banjir. Akan tetapi mereka pindah
ke daerah yang lebih aman dan sedikit lebih dekat dengan lokasi banjir. Mereka
tidak mau untuk meninggalkan daerah terlalu jauh untuk memastikan bahwa
barang-barang yang tertinggal di dalam rumah lebih aman. Biasanya tempat yang
dijadikan sebagai tempat perlindungan adalah rumah tetangga yang lebih tinggi
dan tidak terkena banjir.
Dalam menghadapi kemungkinan terjadinya banjir, hanya 30 persen dari
responden yang setuju untuk membeli persediaan makanan untuk berjaga-jaga
jika pasokan makanan habis atau terbawa hanyut. Dari jumlah responden yang
setuju, hanya 3,33 persen yang menyatakan sangat setuju sedangkan sisanya
menyatakan setuju. Responden yang menyatakan kurang setuju adalah sebanyak
33,33 persen, tidak setuju sebanyak 26,67 persen dan sangat tidak setuju sebanyak
10 persen. Kecenderungan responden memilih kurang setuju maupun tidak setuju
adalah karena anggapan responden mengenai pasokan makanan itu sendiri.
Mereka menyatakan bahwa menyiapkan pasokan makanan tidak terlalu penting
62
karena di sekitar daerah rawan banyak terdapat warung yang dapat menyediakan
bahan kebutuhan pokok. Selain itu berdasarkan pengalaman responden dari banjir
tahun lalu, pemerintah biasanya memberikan pasokan bahan makanan selama satu
minggu kepada korban banjir. Oleh karena itu mereka tidak terlalu membutuhkan
persediaan makanan yang berlebih.
Ketika debit air sudah mulai meningkat, 93,33 persen responden
menyatakan bahwa mereka akan memindahkan barang-barang berharga mereka
ke tempat yang lebih aman. Dari jumlah tersebut, sebanyak 66,67 persen
menyatakan setuju dan 26,67 persen menyatakan sangat setuju. Sikap responden
ini memang sudah terlihat juga pada pernyataan mengenai memindahkan barang
pada saat terjadi banjir. Akan tetapi, pada bagian ini responden ditanyakan
sikapnya apabila sudah ada tanda-tanda akan terjadinya banjir yaitu status
ketinggian sungai sudah mencapai Siaga 4. Hampir seluruh responden
menyatakan bahwa mereka akan memindahkan barang-barang berharga mereka
ke tempat yang lebih aman. Salah seorang responden menyatakan bahwa ia
memiliki kotak penyimpanan khusus untuk menyimpan surat-surat berharga.
Untuk daerah RT 5 RW I yang letaknya jauh dari bendungan, mereka
menggunakan ukuran ketinggian air yang merendam batu besar dipinggir sungai.
Selain
persiapan
secara
materi,
responden
juga
membutuhkan
kesiapsiagaan pengetahuan mengenai kebencanaan. Sebagian besar responden,
yaitu 90 persen dari jumlah total responden memberikan pendidikan mengenai
kebencanaan kepada anggota keluarganya. Pendidikan kebencanaan yang mereka
berikan biasanya adalah mengenai tanda-tanda datangnya banjir dan akibat dari
63
banjir tersebut. Pengetahuan yang diberikan bisa juga berupa larangan-larangan
untuk mendekati sungai apabila debit air sudah naik.
Untuk dapat meningkatkan kemampuan menghadapi bencana, masyarakat
juga harus mempersiapkan alat-alat yang mungkin dibutuhkan pada saat
terjadinya bencana. Salah satunya adalah dengan mempersiapkan tempat yang
mampu untuk menampung keseluruhan keluarga dan menyimpan barang-barang
berharga, seperti tenda. Di daerah penelitian tidak satu pun ditemukan responden
yang memiliki tenda untuk menampung keluarga apabila terjadi banjir. Hal ini
diakibatkan oleh akses responden yang mudah untuk mendapatkan tempat
perlindungan seperti rumah masyarakat lainnya yang tidak mengalami banjir.
Persiapan lain yang seharusnya dilakukan oleh masyarakat yang berada di
daerah rawan bencana adalah keikutsertaan dalam asuransi, baik asuransi
kesehatan maupun asuransi jiwa. Asuransi memberikan jaminan kepada
anggotanya untuk mendapatkan pelayanan kesehatan. Bencana juga memberikan
dampak pada kesehatan korban setelah terjadinya bencana. Untuk itu diperlukan
persiapan yang matang terhadap kesehatan untuk mengatasi dampak kesehatan
setelah terjadinya bencana. Di daerah penelitian RT 5 RW I dan RT 3 RW IX
hanya 6,67 persen responden yang memiliki asuransi. Sedangkan yang lainnya
tidak memiliki asuransi, baik asuransi kesehatan maupun asuransi jiwa.
Tabel 12. Sebaran Responden Berdasarkan Kepemilikan Asuransi
Kepemilikan Asuransi
Asuransi Kesehatan
Asuransi Jiwa
Tidak Mengikuti Asuransi
TOTAL
Jumlah
2
0
28
30
%
6,67
0
93.33
100
64
Kepemilikan asuransi oleh responden tidak dianggap terlalu penting
karena anggapan responden bahwa untuk mendapatkan asuransi harus memiliki
jaminan keuangan yang pasti tiap bulannya. Kebanyakan responden memiliki
status ekonomi yang tidak tinggi sehingga respondennya tidak mampu untuk
membayar asuransi dengan rata-rata responden berpenghasilan sekitar Rp.
300.000,00 sampai Rp. 1.200.000,00. Penghasilan tersebut hanya cukup untuk
memenuhi kebutuhan sehari-hari keluarga responden. Responden yang memiliki
asuransi adalah responden yang bekerja sebagai pegawai negeri yang memang
mendapatkan jaminan kesehatan dari pemerintah.
Kesiapsiagaan ini tidak datang hanya dari masyarakat yang berada di
daerah yang rawan bencana saja. Akan tetapi juga dari pemerintah setempat yang
memiliki kebijakan untuk meningkatkan kesiapsiagaan pemerintah maupun
masyarakat untuk menghadapi kemungkinan terjadinya bencana. Kesiapsiagaan
yang dapat dilakukan oleh pemerintah adalah melalui pengaktifan pos-pos siaga
bencana, pelatihan siaga bencana, membeli dan membuat peralatan pendukung
dalam keadaan darurat, simulasi bencana, pembentukan tim penyelamatan dan tim
kesehatan, pembagian media publikasi mengenai ancaman bencana dan tindakan
pencegahannya, serta mempersiapkan alat peringatan datangnya bahaya.
Wawancara mengenai kesiapsiagaan pemerintah kelurahan dilakukan
dengan wawancara kepada salah satu anggota TAGANA (TARUNA SIAGA
BENCANA) tingkat Kecamatan Bogor Timur yang juga merupakan pegawai
Kelurahan Katulampa, yaitu Bapak K. Bapak K menyatakan bahwa pada saat
banjir sudah memiliki tanda-tanda akan datang, seluruh aparat yang ada di dalam
masyarakat mulai bersiapsiaga dalam menghadapi kemungkinan terjadinya banjir.
65
Untuk pertama, pihak penjaga bendungan memberitahukan kondisi air di
bendungan Katulampa, jadi apabila debit air meningkat masyarakat dapat bersiapsiap
menghadapi
kemungkinan
terjadinya
banjir.
Pemerintah
kelurahan
menyampaikan informasi dari pihak bendungan kepada ketua RT dan ketua RW
yang berada di daerah rawan bencana agar bersiaga. Kemudian baru masyarakat
diberitahu oleh ketua RT atau ketua RW setempat.
Jika kemungkinan terjadinya banjir besar atau memang sudah terjadi
banjir, pihak kelurahan akan langsung mengaktifkan pos-pos siaga bencana banjir
untuk penanganan dalam tanggap darurat. Aparat pemerintah kemudian
menghubungi DISNAKERSOS (Dinas Tenaga Kerja dan Sosial) untuk
mendapatkan peralatan-peralatan yang dibutuhkan untuk tanggap darurat.
Pemerintah kelurahan sendiri tidak memiliki alat-alat tanggap darurat seperti
tenda dan obat-obatan. Birokrasi yang ada pada prosedur tanggap darurat ini
dinilai lamban karena kesiapan dinas yang bertanggung jawab belum tentu tinggi,
sehingga seharusnya pemerintah setempat memiliki alat-alat tanggap darurat tanpa
harus menunggu bantuan dari dinas lain. Sesuai dengan wawancara dengan Bapak
K (38 tahun) yang merupakan salah satu anggota TAGANA, beliau menyatakan:
“... jadi, kalau udah banjir baru pihak kelurahan menghubungi
DISNAKERSOS buat mendapatkan alat-alat bantuan untuk tanggap darurat
seperti bahan makanan, tenda dan obat-obatan...”
Pada masa tanggap darurat, pemerintah setempat membentuk tim
penyelamatan yang terdiri atas SATKORLAK (Satuan Koordinasi Pelaksana) dan
ketua-ketua RT yang gunanya adalah untuk membantu masyarakat dalam masa
tanggap darurat seperti evakuasi ketempat yang lebih aman dan menjamin
keselamatan anggota keluarga lainnya. Tim kesehatan tidak dibentuk oleh
66
pemerintah kelurahan karena biasanya apabila terjadi bencana, DISNAKERSOS
langsung bekerja sama dengan rumah sakit Palang Merah Indonesia (PMI) untuk
tanggap darurat dan pemeriksaan kesehatan setelah terjadinya bencana. Tim
kesehatan ini sebenarnya juga harus langsung ada pada saat tanggap darurat dan
tidak menunggu bantuan dari rumah sakit karena apabila terjadi keadaan bahaya
maka pertolongan pertama harus dilakukan.
Sebelum terjadinya banjir, alat peringatan akan terjadinya bencana harus
diaktifkan sehingga masyarakat mengetahui dan bersiap untuk menghadapi
bencana. Akan tetapi di Kelurahan Katulampa atau pun di bendungan Katulampa
tidak terdapat alat peringatan akan terjadinya banjir. Untuk memberitahukan
kepada masyarakat, pemerintah kelurahan dan penjaga bendungan hanya
melakukan koordinasi melalui telepon dan tidak ada sirine atau alat khusus yang
memberitahukan datangnya banjir. Begitu pula dengan media publikasi seperti
poster, leaflet ataupun brosur mengenai bencana dan penanggulangannya juga
tidak disebar oleh pemerintah setempat. Pemerintah hanya memberikan himbauan
kepada masyarakat untuk bersiapsiaga.
Pada kasus Kelurahan Katulampa, aparat pemerintah kelurahan tidak
melalukan pelatihan khusus yang membahas masalah bencana, akan tetapi melalui
penyuluhan mengenai bencana dan penanggulangannya. Dalam penyuluhan
masyarakat diberitahu mengenai cara-cara penanggulangan banjir dan akibat yang
diberikan oleh banjir. Pemerintah kelurahan atau pun pihak bendungan juga tidak
melakukan kegiatan simulasi banjir dengan masyarakat karena mereka sudah
memadatkannya dalam bentuk penyuluhan. Berdasarkan kegiatan-kegiatan yang
dilakukan, kesiapsiagaan pemerintah masih belum maksimal untuk menghadapi
67
kemungkinan terjadinya banjir. Pemerintah menganggap bahwa daerah rawan
bencana banjir tidak terlalu luas sehingga tidak membutuhkan persiapan yang
lebih.
6.2 Mitigasi
Selain kesiapsiagaan, kegiatan lainnya dalam penanggulangan bencana
yang harus dilaksanakan adalah mitigasi. Mitigasi merupakan kegiatan yang
dilakukan untuk mengurangi resiko terjadinya bencana, khususnya dalam hal ini
adalah kegiatan yang dapat dilakukan untuk mengurangi resiko terjadinya banjir.
Kegiatan mitigasi berhubungan dengan aktifitas pembangunan secara fisik
bangunan-bangunan yang dapat mengurangi resiko terjadinya banjir, tata ruang
daerah untuk menghindari terjadinya banjir, dan peningkatan kapasitas
masyarakat dalam mengahadapi kemungkinan terjadinya banjir.
Kegiatan mitigasi yang dapat dilakukan adalah dengan mendirikan
bangunan diluar daerah sempadan sungai, bangunan yang tahan banjir, pelestarian
lingkungan, pelatihan dan pendidikan mengenai bencana dan pembangunan
tanggul atau bendungan. Kegiatan-kegiatan ini diukur pada masyarakat
Katulampa melalui responden yang berasal dari dua daerah, yaitu RT 5 RW I dan
RT 3 RW IX. Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan adalah mengenai usaha
menjaga kelestarian alam, penempatan rumah, jenis rumah, latihan pencegahan
dan penanganan banjir, pendidikan umum mengenai bencana dan partisipasi
dalam pembangunan bendungan.
Usaha menjaga kelestarian alam dilihat dari kegiatan pengrusakan dan
pelestarian pohon-pohon yang berada dipinggiran sungai. Pertanyaan yang
diajukan kepada responden berupa pertanyaan tertutup yang dijawab dengan “Ya”
68
atau “Tidak” berdasarkan pengalaman yang mereka rasakan dan lakukan.
Pertanyaannya adalah “apakah anda pernah menebang pohon yang berada di
sekitar sungai (pohon yang ukurannya besar dan belum layak untuk ditebang
karena sifatnya mengganggu)?” dan “apakah anda pernah menanam pohon di
sekitar sungai?”. Dari pertanyaan tersebut didapatkan data kegiatan pelestarian
alam yang dilakukan oleh responden.
Tabel 13. Sebaran Responden Berdasarkan Usaha Pelestarian Pohon
Menebang Pohon
Jawaban
Jumlah
%
Ya
1
3,33
Tidak
29
96,67
Jumlah
30
100
Menanam Pohon
Jawaban
Jumlah
Ya
9
Tidak
21
Jumlah
30
%
30
70
100
Responden lebih banyak tidak pernah melakukan penebangan pohon yaitu
96,67 persen, sedangkan yang pernah melakukan penanaman pohon di sekitar
sungai hanya 30 persen responden. Hal ini disebabkan oleh lahan yang sempit dan
memang tidak adanya pohon besar yang dapat ditebang di sekitar sungai. Daerah
Katulampa merupakan daerah yang jarang terdapat pohon dan hutan-hutan kecil
disekitar sungai. Daerah ini adalah daerah pinggiran kota yang sudah lama
menjadi pemukiman penduduk karena aksesnya yang lebih dekat dengan pusat
kota. Disepanjang aliran Ciliwung, jumlah pohon-pohon sangat sedikit dan bukan
pohon yang besar dan mampu untuk menyerap air dengan baik.
Kegiatan mitigasi banjir bertujuan untuk mengurangi resiko terjadinya
banjir, salah satunya adalah melalui pembangunan pemukiman yang berada di
luar sempadan sungai, yaitu 50 meter dari pinggir sungai. Akan tetapi pada daerah
penelitian, seluruh responden berada di daerah yang seharusnya dikosongkan
untuk sempadan sungai. Tanah yang berada di pinggir sungai adalah tanah
69
warisan atau tanah adat masyarakat setempat yang dikonversi menjadi
pemukiman penduduk. Kebijakan mengenai hilangnya sempadan sungai ini
memang sudah dirumuskan, namun tidak dapat dilaksanakan karena hak
kepemilikan tanah ada pada masyarakat. Pemerintah setempat seperti Kelurahan
sudah memberikan peringatan kepada masyarakat, namun pemerintah tidak
mampu untuk merelokasi penduduk yang bertempat tinggal dipinggir sungai
karena relokasi penduduk akan membutuhkan biaya yang banyak dan adanya
keengganan penduduk untuk pindah karena tidak perlu menyewa tempat lain yang
lebih mahal harganya.
Keadaan fisik bangunan juga menentukan apakah masyarakat sudah
melakukan mitigasi dengan baik. Fisik bangunan dapat dilihat melalui jenis
bangunan permanen, semi permanen atau tidak permanen dan kondisi fisik
bangunan yang dapat mengurangi resiko banjir yaitu rumah bertingkat atau tidak.
Keadaan fisik bangunan sangat menentukan kemampuan untuk mengurangi resiko
terjadinya banjir dan dampaknya. Keadaan fisik bangunan yang permanen lebih
kuat dibandingkan dengan bangunan semi permanen maupun tidak permanen. Jika
terjadi banjir ketahanan rumah permanen lebih tinggi dan kemungkinan untuk
terbawa hanyut lebih rendah.
Begitu pula dengan kondisi fisik bangunan yang mampu untuk
mengurangi resiko banjir dan dampak banjir yaitu bangunan bertingkat. Rumah
bertingkat lebih aman dibandingkan dengan rumah yang tidak bertingkat karena
barang-barang berharga dapat dipindahkan dengan cepat ke lantai atas yang lebih
tinggi atau bahkan seluruh barang berharga dapat disimpan di lantai atas sehingga
barang-barang yang dianggap berharga dapat terjaga dengan baik.
70
Di daerah penelitian, responden yang memiliki rumah permanen adalah
sebanyak 73,33 persen, semi permanen 16,67 persen dan tidak permanen
sebanyak 10 persen. Sedangkan kondisi bangunannya adalah 90 persen tidak
bertingkat dan 10 persen bertingkat. Rata-rata rumah responden adalah rumah
permanen yang tidak bertingkat dan berada di pinggir sungai. Keadaan ini
memungkinkan terjadinya kerugian yang sangat besar apabila terjadi banjir karena
banyak barang-barang berharga yang akan terendam atau hanyut terbawa arus air.
25
Jumlah
20
15
10
Kondisi Bangunan
5
22
5
3
0
Permanen
Semi Permanen Tidak Permanen
Kondisi Bangunan
Gambar 7. Sebaran Responden Berdasarkan Kondisi Bangunan Rumah,
Katulampa Tahun 2010
71
3
Bertingkat
Tidak Bertingkat
27
Gambar 8. Sebaran Responden Berdasarkan Bentuk Bangunan Rumah,
Katulampa Tahun 2010
Peningkatan kapasitas masyarakat melalui pendidikan dan pelatihan
mengenai banjir dan penanggulangannya juga dibutuhkan untuk meningkatkan
kemampuan masyarakat dalam menghadapi banjir melalui usaha pengurangan
resiko banjir. Kegiatan yang dapat dilakukan adalah latihan dalam upaya
penanggulangan bencana dan pendidikan umum mengenai banjir. Responden
yang sudah pernah mengikuti latihan upaya penanggulangan banjir sebanyak
23,33 persen sedangkan yang sudah pernah mengikuti pendidikan mengenai
bencana banjir hanyalah 16,67 persen.
Tabel 14. Sebaran Responden Berdasarkan Keikutsertaan Latihan dan Pendidikan
Banjir, Katulampa Tahun 2010
Latihan Penanggulangan Banjir
Keikutsertaan Jumlah
%
Pernah
7
23,33
Tidak Pernah
23
76,67
Total
30
100
Pendidikan tentang Banjir
Keikutsertaan Jumlah
%
Pernah
5
16,67
Tidak Pernah
25
83,33
Total
30
100
Selama ini pemerintah telah memberikan penyuluhan mengenai tindakan
yang diperlukan apabila terjadi banjir. Penyuluh datang ke rumah-rumah
72
masyarakat untuk memberikan penyuluhan. Forum khusus yang diadakan untuk
pendidikan dan pelatihan mengenai banjir sendiri belum pernah diadakan secara
khusus. Responden yang sudah mengikuti pendidikan dan pelatihan mengenai
banjir adalah responden yang mengikuti penyuluhan yang diadakan oleh
pemerintah.
Mitigasi juga dapat dilakukan melalui pembangunan tanggul, dam atau
pun bendungan untuk mengendalikan laju air apabila debit air naik. Pengendalian
debit air ini akan membantu masyarakat untuk menyiapkan keadaan sebelum
terjadinya banjir atau bahkan dapat mengendalikan banjir. Akan tetapi apabila
jumlah air yang dialirkan dikendalikan, biasanya daerah yang berada di hulu
bendungan akan menjadi lebih rentan karena jumlah air akan menjadi lebih tinggi
karena tidak dialirkan. Di Katulampa terdapat sebuah bendungan, yaitu Bendung
Katulampa yang sudah dibangun sejak zaman penjajahan Belanda. Bendungan ini
dibagi menjadi dua aliran yaitu aliran Ciliwung dan aliran sungai kecil untuk
irigasi.
Responden yang ikut serta dalam pembangunan atau perbaikan bendungan
tidaklah banyak. Hanya 40 persen yang dapat berperan serta dalam proses
perbaikan bendungan. Hal ini dikarenakan oleh jarak RT 5 RW I dari bendungan
lumayan jauh, sehingga menyulitkan masyarakat untuk dapat ikut serta dalam
kegiatan-kegiatan penjagaan dan perbaikan bendungan. Selain itu sudah ada
pekerja khusus yang bertugas untuk menjaga bendungan dan memperbaikinya.
Kegiatan mitigasi ini juga harus didukung oleh pemerintah kelurahan
setempat agar resiko terjadinya banjir dapat dikurangi. Kegiatan yang dapat
dilakukan oleh pemerintah adalah dengan membentuk prosedur tanggap darurat
73
dalam penanggulangan banjir. Undang-undang ini dibentuk di tingkat kecamatan,
yaitu oleh SATKORLAK tingkat kecamatan. Prosedur tanggap darurat ini berisi
mengenai prosedur tanggap bencana dan penanggulangan bencana di tingkat
kecamatan dan kelurahan. Di Kelurahan Katulampa telah terdapat peta rawan
bencana kemungkinan akan terjadi, peta rawan bencana tersebut ditempel di
kantor kelurahan agar warga yang berada di daerah tersebut dapat melihat peta
rawan bencana tersebut sehingga masyarakat dapat mengetahui titik-titik rawan
bencana yang terdapat di Katulampa.
Pedoman tanggap darurat bencana juga sangat dibutuhkan untuk mitigasi
bencana. Di Katulampa pedoman tanggap darurat dilakukan di tingkat kecamatan
bersama undang-undang mengenai bencana. Sedangkan pengkajian bersama
masyarakat mengenai karakteristik bencana belum dilakukan karena pemerintah
menganggap bahwa masyarakat sudah tahu karakteristik bencana melalui
penyuluhan.
Pemerintah gencar dalam melakukan publikasi penanggulangan bencana
banjir melalui penyuluhan, akan tetapi apabila tidak diiringi dengan kebijakan
mengenai pembangunan yang mengupayakan penanggulangan bencana khususnya
mitigasi tentunya proses mitigasi tidak akan berjalan dengan baik. Pemerintah
setempat telah memberikan kebijakan kepada masyarakat mengenai pembangunan
yang mengutamakan upaya penanggulangan banjir dengan memberikan izin
bangunan yang letaknya diluar sempadan sungai. Akan tetapi dalam
pelaksanaannya tidaklah mudah karena rata-rata masyarakat mendirikan rumah
diatas tanah warisan atau tanah adat, sehingga pemerintah memiliki kekuasaan
yang kecil dalam memberikan kebijakan tata ruang untuk mengurangi terjadinya
74
banjir. Masyarakat sendiri sudah mengetahui mengenai kebijakan ini namun
mereka tetap mengabaikan kebijakan ini karena mereka merasa tanah tersebut
adalah hak milik mereka.
Selain pendidikan terhadap masyarakat, anak-anak sejak dini juga harus
diberikan pendidikan mengenai bencana. Pendidikan yang diberikan pada
kurikulum Pendidikan Lingkungan Hidup di sekolah-sekolah yang berada di
daerah Katulampa tidak berfokus pada pendidikan mengenai banjir, akan tetapi
pendidikan mengenai lingkungan hidup dan cara menjaga lingkungan hidup.
Anak-anak juga diajarkan bagaimana menjaga kebersihan lingkungan seperti
sampah, mengajarkan anak-anak untuk praktek membuat sumur resapan dan
biopori. Namun karena pendidikan yang ditanamkan kurang mengena dan anakanak masih terpengaruh kuat dari lingkungan, mereka masih belum dapat menjaga
kelestarian lingkungan dengan baik. Mereka masih mengabaikan praktek-praktek
yang diadakan di sekolah.
Pemerintah yang berada di daerah rawan bencana juga harus membentuk
forum-forum yang membahas mengenai bencana. Begitu pula dengan Kelurahan
Katulampa juga membentuk forum khusus
yang membahas mengenai
kebencanaan. Namun forum ini tidak dibentuk untuk masyarakat, akan tetapi
hanya untuk aparat pemerintah saja bersama ketua RT dan RW. Keterlibatan
masyarakat dirasakan kurang dan juga pelaksanaan forum ini tidak rutin karena
forum ini diadakan apabila sudah terjadi keadaan darurat atau setelah terjadinya
banjir.
Selain pembentukan forum dan himbauan serta penyuluhan kepada
masyarakat, pemerintah kelurahan setempat juga membuat papan-papan tanda
75
bahaya dan peringatan mengenai banjir. Akan tetapi sikap masyarakat yang masih
kurang memiliki kesadaran untuk menjaga lingkungan sekitar, dari 20 tanda
peringatan yang dipasang sekarang hanya tinggal 2 tanda peringatan yang masih
terpasang.
Pemerintah
seharusnya
juga
melakukan
perencanaan
daerah
penampungan sementara dan apabila terjadi banjir pemerintah juga harus
melakukan pemindahan ke daerah evakuasi atau tempat penampungan sementara
yang aman. Pemerintah Katulampa mempunyai daerah penampungan sementara
yang aman untuk warga yang terkena banjir yaitu rumah-rumah penduduk yang
tidak mengalami banjir. Mereka tidak memiliki penampungan khusus untuk
masyarakat yang mengalami banjir.
Dalam upaya mitigasi ini pemerintah tidak melakukan pengkajian resiko
bencana bersama masyarakat karena pemerintah sudah memberikan penyuluhan
kepada masyarakat. Akan tetapi aparat pemerintah diberikan pelatihan untuk
penanggulangan bencana agar pada saat keadaan tanggap darurat dapat dilakukan
dengan baik usaha pencegahan akibat yang lebih besar. Kegiatan mitigasi oleh
pemerintah ini sudah lumayan baik karena sudah banyak kegiatan yang dilakukan
untuk mengurangi risiko terjadinya bencana. Akan tetapi tanggapan atas usaha
pemerintah dari masyarakat dirasa masih kurang baik karena sikap masyarakat
yang kurang peduli terhadap kehidupan dan lingkungan sekitar.
BAB VII
KESIAPAN MASYARAKAT DI DAERAH RAWAN BENCANA
Kesiapsiagaan merupakan usaha yang dilakukan oleh sekelompok
masyarakat bersama pemerintah untuk meningkatkan daya atau kemampuan
masyarakat tersebut untuk menghadapi kemungkinan terjadinya bencana.
Kesiapsiagaan ini sangat dibutuhkan oleh masyarakat agar kesiapan masyarakat
yang berada di daerah rawan bencana lebih matang dalam menghadapi
kemungkinan terburuk yaitu datangnya bencana.
Unsur lain yang harus diperhatikan dalam penanggulangan bencana adalah
mitigasi. Mitigasi merupakan salah satu usaha untuk meningkatkan kesiapan
masyarakat dalam menghadapi kemungkinan terjadinya bencana melalui tindakan
yang dapat dilakukan untuk mengurangi resiko terjadinya banjir seperti
melakukan pembangunan dengan perspektif penanggulangan bencana dan tata
ruang berbasis penanggulangan bencana. Kesiapsiagaan dan mitigasi ini diduga
memiliki hubungan dengan karakteristik sosial budaya masyarakat berupa
kelembagaan, stratifikasi sosial, derajat kohesivitas masyarakat dan kearifan lokal
masyarakat.
Masyarakat Katulampa memiliki karakteristik sosial budaya tersendiri
yang membedakannya dengan masyarakat lain. Kekhasan karakteristik sosial dan
budaya ini kemungkinan memiliki hubungan dengan kesiapsiagaan dan mitigasi
dalam menghadapi banjir. Daerah Katulampa, terutama di RT 5 RW I dan RT 3
RW IX sangat rentan untuk mengalami banjir karena posisinya persis berada di
sepanjang aliran Sungai Ciliwung. Untuk itu diperlukan kesiapsiagaan yang
matang dari masyarakat dan pemerintah dalam menghadapi kerawanan ini.
77
Aspek pertama dari karakteristik sosial dan budaya masyarakat adalah
kelembagaan. Kelembagaan yang berkembang di dalam masyarakat Katulampa
bisa diandalkan untuk meningkatkan kesiapsiagaan dalam menghadapi banjir.
Lembaga yang sudah ada di dalam tubuh masyarakat, yaitu RT (Rukun Tetangga)
dan RW (Rukun Warga) sangat dibutuhkan dalam kesiapsiagaan masyarakat
untuk menghadapi banjir. Ketika debit air naik, penjaga bendungan Katulampa
akan
menginformasikan
kepada
pemerintah
kelurahan
setempat
untuk
bersiapsiaga. Kemudian aparat pemerintahan menginformasikan kepada ketua RT
maupun ketua RW mengenai hal ini yang kemudian diinformasikan kepada
seluruh masyarakat agar dapat bersiaga akan datangnya banjir. Kelembagaan ini
sangat membantu masyarakat untuk mengetahui tanda-tanda datangnya banjir.
Seperti yang dinyatakan oleh salah seorang informan, yaitu Bapak An (45 tahun),
“... tiap debit air di bendungan naik, maka saya bakal ngasih tau ke pihak
kelurahan. Kadang-kadang juga kelurahan yang suka nanya ke sini keadaan air di
bendungan Katulampa. Trus dari kelurahan, RW bakal dikasih info mengenai
kenaikan air, trus dikasih tau ke masyarakat sama RT supaya bersiap-siap...”
Sebelum terjadi banjir, kelembagaan ini terlebih dahulu melakukan
koordinasi dengan pemerintah dan menyampaikannya kepada masyarakat. Fungsi
kelembagaan ini sangat kuat dalam kesiapsiagaan masyarakat. Selain RT dan RW,
kelembagaan yang juga sangat membantu dalam kesiapsiagaan ini adalah
TAGANA yang dibentuk oleh pemerintah kelurahan setempat. TAGANA
berfungsi untuk menyiapkan segala sesuatu yang berhubungan dengan kegiatan
tanggap darurat. TAGANA bersama dengan pemerintah setempat seharusnya
mempersiapkan alat-alat peringatan dini dan alat-alat yang nantinya dibutuhkan
dalam masa tanggap darurat. Akan tetapi fungsi TAGANA di Katulampa masih
belum maksimal karena alat peringatan dini dan alat-alat pada masa tanggap
78
darurat tidak disediakan. Hal ini diakibatkan oleh birokrasi yang harus diikuti oleh
pemerintah setempat mengenai pengadaan alat-alat ini. Alat-alat ini akan
diberikan apabila daerah sudah berada dalam keadaan tanggap darurat oleh dinas
sosial terkait. Oleh karena itu, kesiapsiagaan dari pemerintah menjadi berkurang
dan dapat meningkatkan resiko yang lebih besar pada masyarakat. Masyarakat
menjadi kurang mengetahui peringatan datangnya banjir dan apabila terjadi banjir
masyarakat dapat menjadi terlantar karena kurangnya kesiapan alat-alat yang
dapat membantu dalam pelaksanaan tanggap darurat.
Begitu pula dengan pelaksanaan mitigasi, kedua kelembagaan ini sangat
berperan. RT dan RW sangat berperan dalam membantu pemerintah untuk
melakukan sosialisasi penanggulangan bencana kepada masyarakat seperti
penyuluhan, pelatihan , pengawasan dalam izin mendirikan bangunan sesuai
dengan tata ruang wilayah, mengadakan forum-forum khusus mengenai
kebencanaan, membantu memindahkan masyarakat yang terkena banjir ke daerah
evakuasi, membuat tanda peringatan bahaya dan lainnya. Pada kegiatan ini fungsi
TAGANA sangat berperan penting. Kewajiban ini dilimpahkan kepada
TAGANA, sedangkan RT dan RW menjadi perpanjangan tangan dari pemerintah
yang bekerja sama dengan TAGANA untuk menjalankan fungsi-fungsi dalam
mitigasi tersebut. Seperti yang dikelaskan oleh Bapak K (38 tahun) dalam
wawancara,
“... Ketua RT dan Ketua RW sangat berperan dalam pelaksanaan kegiatan
penanggulangan bencana. Seluruh Ketua RT dan Ketua RW ikut forumforum yang berhubungan ama bencana. Kalo TAGANA juga ngebantuin
masang tanda-tanda peringatan bahaya di sepanjang aliran sungai Ciliwung.
Ketua RT dan RW sama TAGANA pas lagi banjirnya ngebantuin masyarakat
untuk pindah ke rumah-rumah penduduk yang ga kena banjir, trus ngebantuin
buat mendata korban banjir ama menyerahkan bantuan...”
79
Kesiapan warga masyarakat dalam mitigasi bencana masih belum
mencukupi untuk menghadapi kemungkinan datangnya banjir. Mitigasi yang
kurang ini diakibatkan oleh kebijakan-kebijakan mengenai tata ruang kelurahan,
forum mengenai kebencanaan dan sosialisasi yang belum terlaksana dengan baik.
Tata ruang kelurahan masih kurang memperhatikan aspek kebencanaan dan
lingkungan karena masih banyak pemukiman penduduk yang berada di daerah
sempadan sungai yaitu 50 meter dari pinggir sungai (Permen PU No. 63/ PRT/
1993). Masyarakat pun kurang memperhatikan keadaan ini karena mereka
menganggap bahwa hak mereka atas tanah adalah sah milik mereka. Pemerintah
juga tidak dapat menghindar dari kenyataan bahwa tanah yang ditempati oleh
bukan milik pemerintah, tapi tanah adat atau tanah pribadi sehingga pemerintah
kurang memiliki kuasa atas tanah tersebut.
Forum mengenai kebencanaan juga belum terlaksana dengan baik di
daerah ini. Kegiatan ini berjalan, akan tetapi tidak memiliki jadwal yang rutin dan
hanya dihadiri oleh aparat pemerintah kelurahan bersama dengan ketua RT dan
ketua RW sehingga masyarakat kurang mengetahui informasi-informasi mengenai
kebencanaan. Selain itu forum ini juga tidak dilaksanakan secara rutin. Forum ini
ada apabila keadaan sudah mulai berbahaya atau berada pada tingkat
kewaspadaan yang tinggi. Selain forum, hal yang seharusnya dilakukan oleh
pemerintah khususnya yang bergerak dibidang kebencanaan seperti TAGANA
adalah melakukan sosialisasi mengenai bencana kepada masyarakat. Di
Katulampa, sosialisasi mengenai kebencanaan ini dilaksanakan setelah terjadi
banjir dengan cara mendatangi anggota masyarakat ke rumah-rumah oleh petugas
penyuluhan. Kegiatan penyuluhan ini sangat terlambat untuk dilaksanakan karena
80
penyuluhan baru dilakukan setelah terjadinya bencana, bukan sebelum bencana
sehingga masyarakat menjadi kurang pengetahuannya mengenai bencana dan
tidak dapat bertindak dengan tepat.
Aspek kedua dalam karakteristik sosial budaya masyarakat adalah
stratifikasi sosial. Stratifikasi sosial ini dibagi menjadi empat ukuran, yaitu ukuran
kekayaan, ukuran pendidikan, ukuran kekuasaan dan ukuran kehormatan.
Kekayaan diduga berhubungan dengan kesiapsiagaan masyarakat dalam
menghadapi kemungkinan terjadinya banjir. Responden rata-rata berada pada
tingkat kekayaan menengah berdasarkan aset rumah tangga yang dimiliki oleh
responden.
Kekayaan ini diduga berhubungan positif dengan kesiapsiagaan dan
mitigasi masyarakat yang diwakili oleh responden. Semakin kaya seseorang maka
semakin tinggi tingkat kesiapsiagaannya dan mitigasinya semakin tinggi dan
sebaliknya. Namun pada kenyataannya di lapangan, kesiapsiagaan dan mitigasi
masyarakat tidak memiliki hubungan dengan ukuran kekayaan masyarakat.
Sebagaimana digambarkan oleh hasil korelasi Pearson dengan menggunakan
SPSS berikut.
Tabel 15. Hasil Korelasi Pearson antara Kesiapsiagaan dan Mitigasi dengan
Ukuran Kekayaan, Pendidikan dan Pengetahuan dan Sikap Responden
Korban Banjir Katulampa Tahun 2010
Variabel
Kesiapsiagaan dan
Mitigasi dengan Ukuran
Kekayaan
Kesiapsiagaan dan
Mirigasi dengan
Pendidikan
Kesiapsiagaan dan
Mitigasi dengan
Pengetahuan dan Sikap
Sig (2-tailed)
0.666
Correlation Coefficient
- 0.082
0.110
0.298
0.321
0.188
81
Hasil korelasi Pearson antara Kesiapsiagaan dan Mitigasi banjir dengan
ukuran kekayaan masyarakat tidak ditemukan adanya signifikansi. Hal ini
menandakan bahwa antara kekayaan dengan kesiapsiagaan dan mitigasi tidak ada
hubungan yang erat. Sesuai dengan penemuan di lapangan bahwa ukuran
kekayaan masyarakat tidak memiliki hubungan dengan kesiapsiagaan dan
mitigasi. Masyarakat dengan tingkat kekayaan yang lebih rendah sama saja
tingkat kesiapsiagaan dan mitigasinya dengan masyarakat yang kekayaannya lebih
tinggi. Seharusnya masyarakat yang memiliki penghasilan dan aset yang lebih
banyak akan lebih memberikan perlindungan pada keluarga dan barang-barang
berharganya. Akan tetapi kesiapsiagaan dan mitigasi ini sama saja.
Hal ini bisa saja diakibatkan oleh lingkungan yang mempengaruhi
responden. Responden kebanyakan berada di daerah pinggiran kelurahan yang
rata-rata masyarakatnya adalah penduduk miskin. Pengaruh dari lingkungan ini
sangat kuat. Karakter masyarakatnya mirip, mereka tidak terlalu memperdulikan
kesiapan yang harus mereka tingkatkan untuk menghadapi banjir. Begitu pula
dengan tingkat pendidikan responden. Tingkat pendidikan responden ternyata
juga tidak memiliki hubungan dengan kesiapsiagaan dan mitigasi.
Hasil korelasi Pearson antara kesiapsiagaan dan mitigasi dengan
pendidikan tidak menunjukkan signifikansi. Berarti antara pendidikan dengan
kesiapsiagaan dan mitigasi tidak memiliki hubungan. Sama halnya dengan ukuran
kekayaan, masyarakatnya lebih banyak dipengaruhi lingkungan dan sikap
masyarakat itu sendiri. Sikap mereka yang terlalu pasrah mengakibatkan
kurangnya kesiapsiagaan dan mitigasi masyarakat itu sendiri. Seharusnya semakin
tinggi pendidikan semakin tinggi pula kesadarannya mengenai lingkungan dan
82
tindakan yang perlu dilakukan untuk mencegah terjadinya banjir dan mengurangi
resiko banjir.
Selain ukuran kekayaan dan pendidikan, ukuran kekuasaan dan
kehormatan juga termasuk dalam stratifikasi sosial. Dalam hal kesiapsiagaan dan
mitigasi ukuran kekuasaan dan kehormatan ini juga tidak memiliki hubungan
dengan tingkat kesiapsiagaan dan mitigasi. Informan yang diwawancarai untuk
melihat ukuran kekuasaan dan kehormatan memiliki tingkat kesiapsiagaan dan
mitigasi yang sama dengan responden. Mereka juga tidak memiliki persiapan
yang matang terhadap kemungkinan terjadinya bencana. Kedua informan ini juga
berada di daerah yang seharusnya tidak dihuni atau berada di daerah sempadan
sungai. Hal ini menunjukkan bahwa kekuasaan dan kehormatan tidak menjamin
kesiapsiagaan dan mitigasi yang lebih baik.
Aspek ketiga dalam karakteristik sosial dan budaya masyarakat adalah
derajat kohesi sosial masyarakat. Derajat kohesi sosial merupakan tingkat
keeratan antar anggota masyarakat. Derajat kohesi sosial masyarakat ini diduga
mempengaruhi kesiapsiagaan dan mitigasi masyarakat dalam menghadapi banjir.
Di daerah penelitian, kesiapsiagaan dan mitigasi masyarakat juga tidak
dipengaruhi oleh kohesivitas masyarakat. Tidak ada kegiatan yang dilakukan
bersama-sama oleh masyarakat untuk meningkatkan kesiapsiagaan dan mitigasi.
Hubungan masyarakat yang lebih renggang atau pun lebih erat tidak memiliki
hubungan dengan tingkat kesiapsiagaan. Hal ini kemungkinan diakibatkan oleh
karakter masyarakat yang hampir sama sehingga mereka lebih cenderung untuk
tidak terlalu memperdulikan keadaan lingkungan sekitar dan kesiapsiagaan dan
mitigasinya dalam bencana.
83
Aspek selanjutnya adalah kearifan lokal yang dimiliki oleh masyarakat
setempat. Kearifan lokal yang berkembang di daerah ini adalah mengenai tandatanda datangnya banjir. Tanda-tanda tersebut dapat dilihat melalui batu besar yang
berada di sungai. Apabila batu tersebut sudah terendam, kemungkinan besar akan
terjadi banjir. Pada situasi seperti itu masyarakat mulai memiliki sikap siaga,
namun hanya pada tahap mengamankan barang-barang yang dianggap berharga
dan menghindari untuk mendekati pinggiran sungai. Akan tetapi sebagian besar
masyarakat bertempat tinggal di pinggir sungai sehingga tidak dapat menjauh dari
sungai itu sendiri. Menjauhi sungai hanyalah sebatas tidak mendekati pinggiran
sungai.
Aspek terakhir dalam karakteristik sosial dan budaya masyarakat adalah
pengetahuan dan sikap. Pengetahuan dan sikap masyarakat mengenai lingkungan
maupun bencana diduga berhubungan dengan tingkat kesiapsiagaan dan mitigasi
masyarakat. Hasil korelasi Pearson pada Tabel 16 diperlihatkan bahwa tidak ada
hubungan antara pengetahuan dan sikap masyarakat dengan kesiapsiagaan dan
mitigasi masyarakat. Pengetahuan yang dimiliki oleh responden cukup baik.
Namun di lapangan ditemukan bahwa responden tetap saja tidak memiliki
kesiapsiagaan dan mitigasi yang tinggi.
Peneliti lain yang mengkaji aspek sosial dalam bencana menemukan
bahwa karakteristik sosial masyarakat sangat berhubungan dengan tingkat
kesiapsiagaan masyarakat. Alice Fothergill dan Lori A. Peek (2004) dalam
penelitiannya mengenai kemiskinan dan bencana menemukan bahwa pendapatan
seseorang sangat menentukan kesiapannya dalam menghadapi bencana. Hasil
penelitiannya menunjukkan bahwa semakin tinggi pendapatan seseorang maka
84
semakin tinggi pula kesiapannya karena akses mereka terhadap barang-barang
yang dibutuhkan untuk kesiapan menghadapi bencana lebih terbuka dibandingkan
dengan masyarakat yang memiliki pendapatan yang lebih rendah.
Akan tetapi penelitian ini tidak sesuai dengan hasil yang didapatkan di
daerah Katulampa. Masyarakat yang memiliki tingkat kekayaan yang tinggi juga
tidak memiliki kesiapan yang tinggi. Hal ini dapat dilihat melalui aksesnya
terhadap barang-barang untuk kesiapsiagaan dan mitigasi yang juga rendah dan
sama saja dengan masyarakat yang kekayaannya lebih rendah.
Hampir seluruh karakteristik sosial budaya masyarakat tidak memiliki
hubungan dengan tingkat kesiapsiagaan dan mitigasi masyarakat. Ternyata
karakteristik sosial budaya masyarakat ini tidak memiliki kontribusi pada
kesiapsiagaan dan mitigasi bencana. Kesiapsiagaan dan mitigasi bencana ini
tergolong rendah karena sikap masyarakat yang pasrah terhadap alam dan
bersikap malas untuk meningkatkan keamanannya dalam menghadapi bencana.
Pengalamannya dalam menghadapi bencana pun tidak mempengaruhi tingkat
kesiapsiagaan dan mitigasi. Padahal sebelumnya masyarakat telah mengalami
kerugian yang besar ketika banjir pada Februari 2010 yang lalu terjadi. Namun
kerugian ini tidak dijadikan sebagai pelajaran malah mereka terlalu bergantung
pada bantuan pemerintah. Masyarakat menganggap bahwa kerugian yang mereka
alami nantinya juga akan diganti oleh pemerintah melalui bantuan kebencanaan.
Sikap inilah yang mengakibatkan rendahnya tingkat kesiapsiagaan dan mitigasi
bencana masyarakat.
Responden tidak memiliki kesiapan yang baik karena kesiapsiagaan dan
mitigasinya lebih rendah. Kesiapsiagaan dan mitigasi dari pemerintah pun dirasa
85
masih kurang dan tidak mampu mendukung kurangnya kesiapan masyarakat.
Berdasarkan hasil di lapangan, ditemukan bahwa 73,33 persen responden
menyatakan siap dalam menghadapi kemungkinan terjadinya banjir tanpa adanya
kesiapan yang matang secara fisik. Kesiapan mereka hanyalah sebatas kesiapan
mental karena sikap mereka yang pasrah. Sebagian besar mereka menjawab “ya,
siap ga siap sih, soalnya rumahnya dipinggir sungai”. Sikap inilah yang disebut
dengan sikap pasrah pada keadaan.
Mereka menganggap bahwa tindakan yang dapat dilakukan untuk
menghindari dampak banjir adalah dengan melindungi barang-barang berharga
mereka. Mereka tidak berusaha untuk pindah ke daerah yang lebih aman karena
tuntutan ekonomi. Harga sewa rumah yang lebih murah dan bagi penduduk asli
tanah tersebut adalah tanah warisan yang dapat digunakan mengakibatkan mereka
semakin betah untuk tinggal di daerah yang rawan tersebut. Sikap mereka juga
masih kurang dalam menjaga lingkungan sekitar. Mereka masih membuang
sampah di sungai dan menganggap bahwa sampah yang sedikit itu tidak
mempengaruhi kemungkinan terjadinya banjir.
Masyarakat masih menganggap bahwa banjir itu sebagian besar
diakibatkan oleh keadaan alam atau cuaca yang buruk, seperti hujan lebat.
Kesadaran masyarakat bahwa banjir itu sebagai akibat ulah manusia seperti
membuang sampah dipinggir sungai, membangun bangunan dipinggir sungai dan
menebang pohon sembarangan masih rendah. Sehingga mereka kurang
memperdulikan keadaan lingkungan dan berdampak buruk bagi kesiapan mereka
menghadapi banjir.
86
Selain hal tersebut banyak responden yang juga menyalahkan sistem pintu
air di bendungan Katulampa. Mereka menganggap bahwa pintu air tersebut dapat
mengendalikan air sehingga dapat menghindari resiko terjadinya banjir. Akan
tetapi, menurut penuturan Kepala Bendung Katulampa, Bapak An menyatakan
bahwa bendungan Katulampa bukanlah bendungan yang dapat mengendalikan air
atau memiliki sistem buka tutup untuk mengendalikan kelebihan debit air. Akan
tetapi bendungan Katulampa berfungsi untuk mengeruk dasar sungai agar jumlah
air yang turun ke bawah lebih sedikit. Namun pengerukan dasar sungai ini tidak
dapat menjamin apakah akan terjadi banjir atau tidak.
Tidak adanya korelasi antara karakteristik sosial budaya masyarakat
dengan kesiapsiagaan dan mitigasi di daerah rawan bencana banjir ini diduga
karena bagi masyarakat maupun pemerintah kegiatan yang berhubungan dengan
kesiapsiagaan
dan
mitigasi
masih
belum
menjadi
perhatian
sehingga
bagaimanapun karakteristik sosial budaya yang dimiliki oleh masyarakat tidak
berhubungan dengan kesiapsiagaan dan mitigasi bencana.
Hal ini juga ditemukan di dalam penelitian yang dilakukan oleh Misron
(2009) mengenai strategi penanggulangan bencana berbasis masyarakat di
Kabupaten Lampung Barat. Pada penelitian ini ditemukan bahwa kesiapan
masyarakat dalam menghadapi bencana masih sangat kurang karena mereka
menganggap bahwa bencana itu merupakan suatu kepastian yang tidak dapat
dihindari. Mereka hanya berkonsentrasi untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka
sendiri. Kegiatan penanggulangan bencana yang dilakukan disana masih belum
terlaksana dengan baik karena masyarakat harus menunggu komando dari
pemerintah pusat.
87
Hal ini serupa keadaannya dengan Kelurahan Katulampa dimana
masyarakat sangat pasrah terhadap keadaan alam dan hanya memiliki kesiapan
mental tanpa kesiapan materi. Mereka menganggap bahwa banjir tidak dapat
dihindari sehingga mereka pasrah dengan keadaan alam. Selain itu pemerintah
kelurahan sendiri pun masih lemah dalam kesiapsiagaan dan mitigasi karena
masih terikat dengan birokrasi yang harus mereka jalani. Pemerintah kelurahan
pun menganggap bahwa daerah yang rawan bencana tidak terlalu besar sehingga
tidak membutuhkan persiapan yang matang, sesuai dengan penuturan Bapak K.
Penyebab lainnya diduga bahwa sebagian besar masyarakat Indonesia
khususnya yang berada di daerah rawan bencana masih belum memiliki perhatian
dan kesadaran yang lebih akan pentingnya aspek penanggulangan bencana melalui
kegiatan kesiapsiagaan dan mitigasi bencana secara bersama-sama antara
pemerintah, masyarakat dan pihak-pihak berkepentingan lainnya. Seperti yang
diungkapkan oleh Nasution (2007) bahwa kegiatan penanggulangan bencana
masih terlalu berpusat pada pemerintah dan menganggap bahwa masyarakat tidak
berdaya.
Masyarakat Katulampa yang berada di daerah rawan banjir dianggap belum siap
dalam menghadapi kemungkinan terjadinya banjir karena kesiapan yang mereka
miliki hanyalah sebatas kesiapan mental tanpa didukung oleh kesiapan fisik dan
materi. Kesiapan yang baik adalah kesiapan yang selaras antara kesiapan mental
dengan kesiapan fisik dan materi.
BAB VIII
PENUTUP
8.1 Kesimpulan
1. Karakteristik sosial budaya masyarakat di Kelurahan Katulampa, khususnya
yang berkaitan dengan masalah bencana dan lingkungan hidup adalah
kelembagaan, stratifikasi sosial, kohesi sosial, kearifan lokal dan pengetahuan
dan sikap.
a. Kelembagaan yang berkembang di dalam masyarakat adalah lembaga
keagamaan berupa pengajian, arisan, Rukun Tetangga (RT) dan Rukun
Warga (RW) serta Taruna Siaga Bencana (TAGANA). Kelembagaan yang
paling berperan dalam bencana dan lingkungan hidup adalah RT dan RW
dan TAGANA. RT dan RW dan TAGANA berperan sebagai kelembagaan
yang terlibat dan mengatur kegiatan penanggulangan bencana, seperti
peringatan bahaya banjir, evakuasi korban dan penyediaan bantuan.
b. Stratifikasi sosial yang ada di dalam masyarakat dilihat berdasarkan ukuran
kekayaan, pendidikan, kekuasaan dan kehormatan. Berdasarkan ukuran
kekayaan, responden lebih banyak berada pada kekayaan di tingkat
menengah yang dinilai berdasarkan aset rumah tangga. Ukuran pengetahuan
responden juga diukur melalui pendidikan formal yang telah ditempuh.
Sebagian besar responden berada pada pendidikan menengah yaitu pernah
mengecap pendidikan SMP maupun SMA. Berdasarkan ukuran kekuasaan
dan ukuran kehormatan terdapat anggota masyarakat yang memiliki
kekuasaan dan kehormatan yang lebih tinggi dibandingkan dengan anggota
masyarakat lainnya. Kekuasaan ini bersifat kekuasaan formal dan
89
kehormatan
ini
berdasarkan
kemampuan
orang
ketiga adalah kohesi
sosial.
tersebut
untuk
mempengaruhi masyarakat.
c. Karakteristik sosial
Hasil
penelitian
menunjukkan bahwa masyarakat memiliki kohesi sosial yang berbeda setiap
daerah. Di daerah RT 3 RW I kohesi sosialnya lebih renggang karena
anggota masyarakatnya tidak tetap karena sebagian besar mereka adalah
pendatang dan berada di rumah-rumah kontrakan, sedangkan di daerah
penelitian RT 5 RW IX kohesi sosialnya lebih erat karena adanya hubungan
darah yang mengikat mereka serta tingkat ekonomi yang cenderung
seragam.
d. Kearifan lokal yang berkembang di dalam masyarakat adalah anggapan
bahwa pohon-pohon yang berada disekitar mereka memiliki penunggu
sehingga tidak boleh ditebang. Kepercayaan lainnya yang berkembang
adalah terdapat tanda-tanda datangnya banjir apabila batu besar yang berada
di sungai sudah terendam oleh air. Salah seorang anggota masyarakat yang
dihormati, dipercaya dapat mengusir banjir yang datang dengan mengambil
air banjir, dimasukkan ke dalam wajan lalu direbus dan dipanjatkan do’ado’a lalu dibuang kembali ke daerah yang terkena banjir.
e. Pengetahuan dan sikap masyarakat mengenai bencana dan lingkungan hidup
juga berkembang di dalam masyarakat, akan tetapi masih belum tergolong
baik. Pengetahuan masyarakat mengenai lingkungan dan kebencanaan
masih rendah, karena masyarakat kurang terdedah pengetahuan mengenai
kebencanaan dan lingkungan hidup. Begitu pula dengan sikap mereka
mengenai lingkungan hidup dan kebencanaan sudah tergolong baik karena
90
mendukung pelestarian lingkungan alam, walaupun masih ada yang kurang
mendukung pelestarian lingkungan alam. Begitu pula dengan sikap
mengenai kebencanaan sudah baik, dapat dilihat dari responnya mengenai
kebencanaan.
2. Karakteristik sosial budaya yang dikaji hubungannya dengan kesiapsiagaan dan
mitigasi secara kuantitatif adalah stratifikasi sosial dan pengetahuan dan sikap.
Kelembagaan, kohesi sosial dan kearifan lokal dikaji hubungannya dengan
kesiapsiagaan dan mitigasi dengan menggunakan metode kualitatif.
a. Stratifikasi sosial dan pengetahuan dan sikap secara kuantitatif tidak
memiliki hubungan dengan kesiapsiagaan dan mitigasi karena sikap
masyarakat yang masih pasrah terhadap keadaan alam dan kurangnya
perhatian dan kesadaran mengenai pentingnya kesiapsiagaan dan mitigasi
dalam menghadapi kemungkinan terjadinya bencana.
b. Karakteristik sosial budaya yang berperan dalam kegiatan kesiapsiagaan dan
mitigasi bencana adalah kelembagaan dan kearifan lokal. Kelembagaan
TAGANA dan RT dan RW membantu dalam hal penyiapan semua hal yang
berkaitan dengan bencana, seperti peringatan dini, evakuasi dan distribusi
bantuan. Kearifan lokal yang sangat berperan adalah batu penanda banjir
yang digunakan sebagai ukuran untuk melihat kemungkinan terjadinya
banjir sehingga masyarakat dapat bersiap dalam menghadapi banjir.
c. Terakhir, karakteristik sosial budaya yang ada di dalam masyarakat adalah
kohesi sosial yang tidak memiliki hubungan dengan kesiapsiagaan dan
mitigasi. Masyarakat secara bersama-sama tidak pernah melakukan kegiatan
91
yang dapat berguna untuk mencegah atau mengurangi resiko bencana,
seperti pembangunan tempat pembuangan sampah.
3. Kesiapan masyarakat di Katulampa masih tergolong rendah karena masyarakat
hanya memiliki kesiapan secara mental, sedangkan secara fisik masyarakat
masih belum siap. Hal ini dapat dilihat dari minimnya kesiapsiagaan dan
mitigasi yang dilakukan oleh masyarakat. Selain masyarakat, pemerintah
kelurahan setempat masih belum banyak mendukung kegiatan kesiapsiagaan
dan mitigasi sehingga mempengaruhi kesiapan masyarakat dalam menghadap
bahaya banjir.
8.2 Saran
Kegiatan penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi pihak-pihak yang
terkait. Melalui hasil penelitian ini disarankan agar:
1. Pemerintah disarankan untuk memperpendek birokrasi yang dijalankan dalam
penanggulangan bencana sehingga kegiatan kesiapsiagaan dan mitigasi
bencana dapat berjalan dengan baik, pembangunan tempat pembuangan
sampah agar masyarakat tidak membuang sampah ke sungai, mengadakan
penyuluhan mengenai kebencanaan khususnya banjir, menyiapkan lokasi
evakuasi untuk korban banjir, pengadaan alat peringatan dini seperti alarm
banjir dan mempertegas kebijakan mengenai izin mendirikan bangunan di
daerah sempadan sungai.
2. Masyarakat dapat melakukan upaya untuk mengurangi resiko bencana melalui
pembangunan tempat pembuangan sampah secara bersama-sama, membangun
tanda pengukur debit air sungai untuk menghindari kemungkinan kerusakan
pada tanda batu atau hanyut, dan pengadaan alat-alat yang dapat digunakan
92
dalam penanggulangan banjir secara bersama-sama dan milik komunitas
seperti tenda.
3. Akademisi dapat melakukan penelitian-penelitian lebih lanjut mengenai
kesiapsiagaan dan mitigasi bencana.
DAFTAR PUSTAKA
Arishanti, Klara Innata. 2005. Handout Psikologi Kelompok. Universitas
Gunadarma, Jakarta.
Badan Nasional Penanggulangan Bencana. 2008. Peraturan Kepala Badan
Nasional Penanggulangan Bencana Nomor 4 Tahun 2008 tentang
Pedoman Penyusunan Rencana Penanggulangan Bencana. BNPB,
Jakarta.
BPP-PSPL. 2005. Kajian Kearifan Lokal Masyarakat di Desa Sabang Mawang,
Sededap dan Pulau Tiga, Kecamatan Bunguran Barat Kabupaten Natuna
Privinsi Kepulauan Riau. Universitas Riau, Pekanbaru.
http://www.coremap.or.id/downloads/Kearifan_Lokal_Masyarakat_Ds_Sa
bang_Mawang.pdf diunduh tanggal 20 Juni 2010 pukul 08.30 WIB.
Brym, Robert J. 2009. Sociology as a Life or Death Isuue. First Canadian ed.
Nelson Education, Canada.
Fothergill, Alice and Lori A Peek. 2004.” Poverty and Disaster in The United
States: A Review of Recent Sociological Findings”. Natural Hazard, vol.
32:89-110.
Garnadi, Dodi. 2004. Pengetahuan, Sikap, dan Tindakan Masyarakat Sekitar
Hutan Terhadap Hutan (Kasus di Hutan Pendidikan dan Pelatihan
Kehutanan, Kadipaten, Kabupaten Majalengka). Thesis. Institut Pertanian
Bogor, Bogor.
Gunawan. 2007. Pemberdayaan Sosial Keluarga Pasca Bencana Alam, Studi
tentang Kondisi Sosial Masyarakat dalam Manajemen Bencana.
Departemen Sosial Republik Indonesia, Jakarta.
http://www.depsos.go.id/unduh/penelitian2007/200704_PEMBERDAYA
AN%20SOSIAL%20KELUARGA%20PASCA%20BENCANA%20ALA
M.pdf diunduh tanggal 3 Mei 2010, pukul 19.32 WIB.
Hadipranata, Asip F. 1986. Kohesivitas Kelompok sebagai Indikator Dasar
Kekuatan Koperasi. Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada,
Yogyakarta.
Horton, Paul B. dan Chester L. Hunt.1999. Sosiologi. Erlangga, Jakarta.
Knight, Jack. 1992. Institutions and Social Conflict. Cambridge University Press,
Cambridge.
Lindell, Michael K and Carla S Prater. 2003. “Assessing Community Impacts of
natural Disaster”, Natural Hazard Review, Vol. 4, No. 4, hal. 176-185.
Misron, Ujang. 2009. Strategi Penanggulangan Bencana Berbasis Masyarakat di
Kabupaten Lampung Barat. Thesis. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
94
Munaf, Muslim. 1992. Kajian Sifat Aliran Sungai Ciliwung. Thesis. Institut
Pertanian Bogor, Bogor.
Nasution, M Safii. 2005. Penanggulangan Bencana Berbasis Komunitas, Studi
Kasus Kesiapsiagaan Bencana Berbasis Komunitas Daerah Rawan
Bencana Alam Tanah Longsor di Desa Kidangpananjung Kecamatan
Cililin Kabupaten Bandung Propinsi Jawa Barat. Thesis. Institut Pertanian
Bogor, Bogor.
Pattinama, Marcus J. 2009. Pengentasan Kemiskinan dengan Kearifan Lokal
(Studi Kasus di Pulau Buru Maluku dan Surade Jawa Barat). Makara
Sosial Humaniora, Vol. 13 No.1, Juli 2009 hal 1-12.
http://repository.ui.ac.id/contents/koleksi/2/e98e701d3488e758e71344d4c
5a109bd7770dbd0.pdf diunduh tanggal 20 Juni 2010 pukul 12.50.
Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 63/ PRT/ 1993 tentang Garis Sempadan
dan Sungai, Daerah Manfaat Sungai, Daerah Penguasaan Sungai dan
Bekas Sungai. digilibampl.net/.../Permen%20PU%20No.63%20Tahun%201993.pdf diunduh
pada 27 Januari 2011 pukul 11:32.
Profil Desa dan Kelurahan Katulampa tahun 2008.
Raharjo. 2004. Pengantar Sosiologi Pedesaan dan Pertanian. Gadjah Mada
University Press, Yogyakarta.
Ramdhani, Nella dan Martono. 1996. “Kohesivitas Pada Masyarakat Miskin”,
Jurnal Psikologi, No. 2, hal 84-94.
i-lib.ugm.ac.id/jurnal/download.php?dataId=4232 diunduh tanggal 21 Juni
2010, pada 00:04 WIB
Redono, Cucuk. 2006. “Beberapa Faktor yang Berpengaruh terhadap Progesivitas
Kelompok Tani Lahan Pantai di Kabupaten Kulon Progo”, Jurnal Ilmuilmu Pertanian, Volume 2, Nomor 1, hal 6-17.
http://stppyogyakarta.com/wpcontent/uploads/2009/11/IIP_0201_06_Cucuk_Redono.pdf diunduh tanggal 14
Februari 2011, pada 12:07 WIB.
Sekretariat Badan Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana dan Penanganan
Pengungsi. 2009.Pedoman Penanganan Pasca Gempa. Bakornas PB,
Jakarta.
Shaw, Rajib. 2008. Kearifan Lokal dalam Pengurangan Resiko Bencana: Praktikpraktik yang Baik dan Pelajaran yang Dapat Dipetik dari Pengalamanpengalaman di Kawasan Asia-Pasifik. UNISDR.
http://www.planasprb.net/sites/default/files/Kearifan%20Lokal%20dalam
%20Pengurangan%20Risiko%20Bencana.pdf diunduh tanggal 20 Juni
2010 pada 07.59 WIB.
95
Soekanto, Soerjono. 2003. Sosiologi Suatu Pengantar. Cetakan ke 36. Raja
Grafindo Persada, Jakarta.
Soemardjan, Selo dan Soelaeman Soemardi (ed). 1964. Setangkai Bunga
Sosiologi. Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta.
Sugiantoro, Ronny dan Hadi Purnomo. 2010. Manajemen Bencana Respons dan
Tindakan terhadap Bencana. Media Pressindo, Yogyakarta.
Sunarto, Kamanto. 1993. Pengantar Sosiologi. Fakultas Ekonomi Universitas
Indonesia, Jakarta.
Tonny, Fredian. 2004. Perspektif Kelembagaan dalam Pengelolaan DAS Citanduy
(Studi Desentralisasi Pengelolaan dan Sistem Tata Pemerintahan SDA).
Project Working Papar Series No.04. Pusat Studi Pembangunan IPB,
Bogor.
Undang-undang Republik Indonesia
Penanggulangan Bencana.
Nomor
24
Tahun
2007
tentang
Wirasena, Prama. 2010. Peran Kearifan Lokal dalam Penyelamatan Sumberdaya
Genetik Tanaman Hutan di Indonesia. Pusat Penelitian dan Pengembangan
Hutan Tanaman. Bogor.
http://forplan.or.id/images/File/Apforgen/flyer/kearifan%20lokal.pdf
diunduh pada tanggal 20 Juni 2010 pukul 13.34 WIB.
Yusra. 1998. Pengetahuan, Sikap dan Praktek Pasangan Usia Subur tentang
Pesan-pesan Pedoman Umum Gizi Seimbang (PUGS) serta Implikasinya
pada Pemasaran Sosial. Thesis. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
LAMPIRAN
97
Lampiran 1. Kuesioner Penelitian
KUESIONER
KARAKTERISTIK SOSIAL BUDAYA MASYARAKAT DALAM KESIAPSIAGAAN DAN MITIGASI
BENCANA DI DAERAH RAWAN BENCANA
(Studi Kasus: Kelurahan Katulampa, Kecamatan Bogor Timur, Kota Bogor)
Saya, Thresa Jurenzy, mahasiswi Institut Pertanian Bogor, Program Studi
Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat. Sehubungan dengan penelitian yang
saya lakukan kesediaan saudara/bapak/ibu untuk megisi kuesioner ini dengan
keadaan yang sebenar-benarnya. Kerahasiaan jawaban saudara/bapak/ibu akan
dijamin kerahasiaannya dan hanya untuk kepentingan penelitian ini.
PENGIDENTIFIKASIAN RUMAH TANGGA
Desa/Dusun/RW/RT
: ............................................../................................/......../......
Tanggal Wawancara
: ...............................................................................................
Kode Rumah Tangga
: ...............................................................................................
Nama Responden
: ...............................................................................................
A. KOMPOSISI RUMAH TANGGA
No.
Nama
Umur
(Tahun)
Jenis
Kelamin
Status
Pendidikan
Pekerjaan
Utama
Pekerjaan
Sampingan
Kode 1
Kode 2
Kode 3
Kode 4
Kode 4
Organisasi
Kemasyaraka
tan
Kode 5
Kode 1
1= Laki-laki
4= Tidak tamat SMP
6= Ibu rumah tangga
6= Pengajian
2= Perempuan
5= Tamat SMP
7= Pelajar
7= Karang Taruna
Kode 2
6= Tidak tamat SMA
8= Menganggur/ mencari kerja
8= LPM
1= Kepala Keluarga
7= Tamat SMA
9= Beristirahat/ pensiun
9= BPD
2= Istri
8= Perguruan Tinggi
10= Tidak mampu bekerja
10= Dewan Sekolah
3= Anak
Kode 4
Kode 5
11= Lainnya, ...........
4= Lainnya (sebutkan)
1= Bertani
1= PKK
Kode 3
2= Pegawai negeri
2= Posyandu
1= Tidak bersekolah
3= Pegawai swasta
3= KB
2= Tidak tamat SD
4= Wiraswasta
4= Koperasi
3= Tamat SD
5= Buruh
5= Arisan
98
B. PENGUASAAN ASET
a) Berapakah pendapatan keluarga anda dalam sebulan?
..................................................................................................................................................................................
..................................................................................................................................................................
b) Apakah keluarga anda memiliki tabungan?
1. Ya, jika ya jawab pertanyaan c)
2. Tidak
c) Berapakah jumlah tabungan anda saat ini?
............................................................................................................................................................................ ......
..................................................................................................................................................................
d) Berapakah luas rumah anda?
..................................................................................................................................................................................
.......................................................................................................................................... .......................
e) Bagaimanakah status kepemilikan rumah anda?
1. Milik
2. Sewa
3. Numpang
4. Gadai
f) Bagaimanakah status fisik rumah anda?
1. Permanen
2. Semi permanen
3. Non permanen
g) Barang elektronik apa saja yang anda miliki?
1. Televisi
4. Handphone
2. Radio
5. Kulkas
3. Komputer
6. Lainnya, ....................................
h) Apakah anda memiliki kendaraan?
1. Ya, jika ya jawab pertanyaan i
2. Tidak
i) Apakah jenis kendaraan yang anda miliki?
1. Mobil
2. Motor
3. Sepeda
j) Apakah anda memiliki lahan (pertanian atau lahan kosong) dan berapa luasnya?
1. Ya, ..................... m2
2. Tidak
k) Apakah anda memiliki perhiasan dan berapa jumlahnya?
1. Ya,....................... gr
2. Tidak
l) Apakah anda memiliki hewan ternak?
1. Ya
2. Tidak
m) Apa sajakah hewan ternak yang anda miliki?
1. Itik
5. Sapi
9. Lainnya,................
2. Ayam
6. Kerbau
3. Kambing
7. Kelinci
4. Domba
8. Ikan
n) Apakah anda mengikuti asuransi?
1. Ya, lanjut ke pertanyaan o)
2. Tidak
o) Apakah jenis asuransi yang anda ikuti?
1. Asuransi Jiwa
2. Asuransi Kesehatan
C. PENGETAHUAN, SIKAP DAN TINDAKAN MENGENAI LINGKUNGAN DAN BENCANA
a) Dimanakah anda membuang sampah rumah tangga anda?
1. Tempat pembuangan sampah
5. Dinas kebersihan/ petugas pengumpul sampah
2. Lapangan atau kebun kosong
3. Sungai
4. Saluran air/ selokan
b) Jika anda memiliki industri, kemanakah anda membuang limbahnya?
1. Tempat pembuangan sampah
5. Dinas kebersihan/ petugas pengumpul sampah
2. Lapangan atau kebun kosong
3. Sungai
4. Saluran air/ selokan
99
c)
d)
e)
f)
g)
h)
i)
j)
Berapakah jarak rumah anda dari sungai?
1. < 50 meter
2. ≥ 50 meter
Apakah anda pernah menebang pohon yang berada di sekitar sungai (pohon yang ukurannya besar dan belum
layak untuk ditebang karena sifatnya yang mengganggu)?
1. Ya
2. Tidak
Apakah anda pernah menanam pohon di sekitar sungai?
1. Ya
2. Tidak
Yang anda ketahui mengenai rawan bencana adalah:
1. Keadaan dimana suatu daerah tidak dapat mengalami bencana.
2. Keadaan dimana suatu daerah rentan untuk mengalami bencana.
3. Keadaan dimana suatu daerah rentan untuk mengalami bencana dan orang-orang yang berada di daerah
tersebut tidak mampu untuk mengatasinya.
Banjir dapat diakibatkan oleh:
1. Banjir dapat diakibatkan oleh hujan lebat yang airnya sudah melebihi daya tampung sungai.
2. Banjir dapat diakibatkan oleh kurangnya daerah resapan air sungai yaitu dengan bertambahnya bangunan
di pinggiran sungai.
3. Banjir dapat diakibatkan oleh hilangnya penyerap air seperti pohon-pohon.
4. Banjir dapat diakibatkan oleh terjadinya penumpukan sampah di aliran sungai.
5. Banjir dapat diakibatkan oleh tersumbatnya saluran air/ selokan oleh sampah padat.
Banjir dapat mengakibatkan:
1. Banjir dapat mengakibatkan tergenangnya daerah yang berada di sekitar sungai.
2. Banjir dapat menghanyutkan berbagai barang/ harta.
3. Banjir dapat merusak berbagai sarana seperti jembatan, tanggul, bendungan, jalan, dan rumah.
4. Banjir dapat mengakibatkan terganggunya layanan umum seperti air dan listrik.
5. Banjir dapat mengakibatkan tergenangnya lahan pertanian, perikanan dan peternakan.
Cara mengurangi resiko banjir adalah:
1. Mendirikan bangunan dengan jarak lebih dari 50 meter dari sungai.
2. Mendirikan jalan dengan jarak lebih dari 50 meter dari sungai.
3. Menanam pohon di sekitar sungai.
4. Membuang sampah pada tempatnya.
5. Membersihkan saluran air/drainase secara rutin.
Yang ikut berperan serta dalam penanggulangan bajir adalah:
1. Pemerintah
2. Masyarakat
3. LSM
No
Pernyataan
1.
Apabila terjadi banjir, saya dan keluarga akan memindahkan barang-barang
berharga ke tempat yang aman.
Apabila terjadi banjir, saya dan keluarga akan pindah ke daerah evakuasi.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
Saya akan membeli persediaan makanan apabila debit air sungai sudah pada
status Siaga 4.
Saya akan memindahkan barang-barang berharga saya apabila debit air
sungai sudah pada status Siaga 4.
Saya memberikan pendidikan mengenai kebencanaan kepada anggota
keluarga saya.
Jika tanaman/ pohon tidak memberikan manfaat kepada saya, maka saya
boleh memperlakukannya sesuka hati saya.
Jika saya membutuhkan lahan untuk membuat rumah/ bertani, saya akan
menebang pohon untuk membuka lahan tanpa memperhatikan
STS
TS
KS
S
SS
100
8.
9.
10.
kelestariannya.
Kehidupan saya tergantung pada keadaan alam (mis: cuaca)
Selama saya masih bisa mengambil manfaat dari alam saya akan
menggunakan sesuka hati saya.
Pohon-pohon yang berada di sekitar saya harus dijaga karena ada
penjaga/penunggunya.
D. KESIAPAN MASYARAKAT
a) Apakah anda pernah mengadakan dan atau ikut serta dalam latihan-latihan dan upaya pencegahan dan
penanganan banjir?
1. Ya
2. Tidak
b) Apakah rumah anda tergolong rumah yang tahan atau anti banjir (rumah bertingkat)?
1. Ya
2. Tidak
c) Apakah anda pernah mengadakan dan ikut serta dalam pendidikan umum yang berkaitan dengan banjir?
1.Ya
2. Tidak
d) Apakah anda pernah mengadakan dan ikut serta dalam gotong royong membersihkan saluran/ drainase/ selokan?
1.
Ya
2. Tidak
e) Apakah anda pernah ikut bergotong royong membantu pembangunan dam/ tanggul/ bendungan?
1. Ya
2. Tidak
f) Apakah anda memiliki tenda yang dapat menampung satu keluarga?
1. Ya
2. Tidak
g) Menurut anda apakah anda sudah siap dalam menghadapi kemungkinan terjadinya banjir? Jelaskan.
1. Ya
2. Tidak
.....................................................................................................................................................................................
.....................................................................................................................................................................................
.....................................................................................................................................................................................
.....................................................................................................................................................................................
-Terima Kasih-
101
Lampiran 2. Panduan Pertanyaan untuk Informan
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
Siapakah orang-orang yang sangat berpengaruh di kelurahan ini?
Bagaimanakah bentuk pengaruhnya kepada masyarakat?
Karena apakah dia berpengaruh?
Dalam 3 tahun terakhir, sudah berapa kali terjadi banjir di daerah ini?
Berapakah besar kerugian yang dialami karena banjir ini?
Apa saja penyebab terjadinya banjir?
Bagaimana akibatnya kepada masyarakat?
Tindakan apa yang anda lakukan terhadap masalah ini?
Bagaimanakah reaksi masyarakat pada saat air di bendungan naik?
Apakah masyarakat sering mengadakan gotong royong membersihkan
sungai/ saluran air.
Dimanakah biasanya masyarakat membuang sampah rumah tangganya?
Bagaimanakah hubungan antara masyarakat dengan alam sekitarnya?
Apakah disini ada kepercayaan-kepercayaan yang sifatnya turun temurun
yang berhubungan dengan penjagaan alam?
Apakah ada tempat-tempat yang sifatnya mistis dan tidak boleh diganggu?
Apakah ada aturan-aturan yang melarang atau meperbolehkan mengambil
kayu atau menebang pohon ditempat-tempat tertentu dengan waktu tertentu?
Apakah di kelurahan ini masyarakat sering mengadakan pertemuanpertemuan?
Apakah ada suatu kebiasaan masyarakat yang dilakukan secara bersama-sama
dan rutin, dihadiri oleh anggota masyarakat dan bersifat merekatkan
hubungan antar masyarakat?
Bagaimanakah kesiapsiagaan dan mitigasi di kelurahan ini, sesuai dengan
indikator dibawah ini?
No. Kegiatan
1.
Pos-pos siaga bencana
2.
Pelatihan siaga bencana
3.
Membeli
dan
membuat
peralatan
pendukung dalam keadaan darurat
3.
Simulasi bencana
4.
Pembentukan tim Penyelamatan dan tim
kesehatan
5.
Pembagian leaflet/ brosur/ poster mengenai
ancaman bencana dan tindakan pencegahan
6.
Alat peringatan datangnya bencana
7.
Undang-undang mengenai bencana
Ada
Tidak Ada
102
8.
Pembuatan
bencana
dan
publikasi
9.
Pembuatan
bencana
pedoman
10.
Pembuatan leaflet/ poster/ brosur mengenai
bencana
11.
Pengkajian karakteristik bencana bersama
masyarakat
12.
Mengutamakan upaya penanggulangan
bencana dalam pembangunan
13.
Pengawasan dalam pelaksanaan peraturan
dalam izin mendirikan bangunan dan tata
ruang yang berkaitan dengan pencegahan
bencana.
14.
Muatan lokal mengenai bencana dalam
kurikulum pendidikan
15.
Organisasi penanganan bencana
16.
Forum khusus membahas masalah bencana
17.
Pembuatan tanda peringatan bahaya dan
larangan di daerah rawan bencana
18.
Pelatihan dasar kebencanaan untuk aparat
dan masyarakat.
19.
Pemindahan penduduk ke daerah aman dari
bencana
20.
Penyuluhan mengenai bencana
21.
Perencanaan
daerah
penampungan
sementara jika terjadi bencana
22.
Pembangunan dam atau tanggul
23.
Pengkajian
masyarakat
resiko
peta
tanggap
bencana
rawan
darurat
bersama
103
Lampiran 3. Dokumentasi Penelitian
Gambar 1. Sungai Ciliwung
Gambar 2. Bendungan
Gambar 4. Batu Penanda Banjir
Gambar 3. Alat Mengukur Ketinggian Air Sungai
104
Lampiran 4. Peta Daerah Rawan Bencana Kelurahan Katulampa
Daerah
Penelitian
Daerah
Penelitian
105
Lampiran 5. Sketsa Daerah Rawan Banjir Kelurahan Katulampa 2010
Download