KARAKTERISTIK SOSIAL BUDAYA MASYARAKAT DALAM KAITANNYA DENGAN KESIAPSIAGAAN DAN MITIGASI BENCANA DI DAERAH RAWAN BENCANA (Studi Kasus: Kelurahan Katulampa, Kecamatan Bogor Timur, Kota Bogor) Oleh: Thresa Jurenzy I34070062 DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011 KARAKTERISTIK SOSIAL BUDAYA MASYARAKAT DALAM KAITANNYA DENGAN KESIAPSIAGAAN DAN MITIGASI BENCANA DI DAERAH RAWAN BENCANA (Studi Kasus: Kelurahan Katulampa, Kecamatan Bogor Timur, Kota Bogor) Oleh: THRESA JURENZY I34070062 SKRIPSI Sebagai Syarat Untuk Mendapatkan Gelar Sarjana Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat Pada Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian Bogor Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian Bogor 2011 ABSTRACT Indonesia frequently hit by disaster like flood, earthquake, tsunami, volcano eruption and many others. All of these disasters will give physical and non physical impacts. Therefore, disaster management should be implemented. In disaster management, preparedness and mitigation are very important to reduce disaster risks. This research investigates about community socioculture characteristics, preparedness and mitigating systems and correlations between them. The research was conducted in Katulampa administrative village, which is passed by Ciliwung river and potentially flooding. Research popolation is the victims of flood on February 2010. The research methods are quantitative and qualitative. The research found that community of Katulampa has socioculture characteristics that very important in disaster and environment, such as social stratification, institutions, social cohesion, local wisdom and knowledge and attitude. Preparedness and mitigating systems in Katulampa is not implemented yet. Quantitatively, sociocultural characteristics like wealth stratification, education and knowledge and attitude of community in Katulampa has no correlations with preparedness and mitigating systems because the community is surrender and some of institutions does not work properly. Therefore, the community is not ready to face the posibility of flood yet. Keywords: Flood, Disaster, Sociocultural, Disaster Management RINGKASAN THRESA JURENZY.KARAKTERISTIK SOSIAL BUDAYA MASYARAKAT DALAM KAITANNYA DENGAN KESIAPSIAGAAN DAN MITIGASI BENCANA DI DAERAH RAWAN BENCANA (Studi Kasus: Kelurahan Katulampa, Kecamatan Bogor Timur, Kota Bogor). Di bawah bimbingan Rilus A. Kinseng Beberapa tahun terakhir di Indonesia sering terjadi bencana dan meninggalkan dampak bagi orang-orang yang mengalaminya. Bencana yang sering melanda Indonesia adalah banjir, gempa, tsunami, tanah longsor dan gunung meletus. Dampak yang diakibatkan dapat berupa dampak fisik maupun non fisik. Oleh karena itu perlu diadakan kegiatan penanggulangan bencana yang berfungsi untuk mengurangi dampak yang diakibatkan oleh bencana. Kegiatan penanggulangan bencana terdiri atas kesiapsiagaan, mitigasi, peringatan dini, tanggap darurat, rehabilitasi dan rekonstruksi. Akan tetapi, untuk dapat mengurangi resiko terjadinya bencana, maka perlu dilakukan peningkatan kesiapsiagaan dan mitigasi. Setiap masyarakat memiliki karakteristik sosial budaya tertentu yang berhubungan dengan kesiapsiagaan dan mitigasi terhadap bencana. Karakteristik sosial budaya ini berbeda antara suatu masyarakat dengan masyarakat lainnya. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengkaji karakteristik sosial budaya masyarakat, kesiapsiagaan dan mitigasi, serta hubungan keduanya berkaitan dengan kesiapan masyarakat dalam menghadapi bencana di Kelurahan Katulampa. Kelurahan Katulampa merupakan daerah yang dialiri sungai besar, yaitu Ciliwung. Daerah ini sangat rentan untuk mengalami banjir dan sudah pernah mengalami banjir dalam satu tahun terakhir. Penelitian ini menggunakan data kuantitatif yang didapatkan melalui survei dan data kualitatif yang v didapatkan melalui wawancara mendalam dengan menggunakan panduan pertanyaan. Data yang digunakan adalah data primer dan data sekunder. Data primer didapatkan dari hasil kuesioner dan wawancara mendalam, sedangkan data sekunder didapatkan dari buku, jurnal, hasil penelitian, monografi kelurahan dan Ciliwung. Karakteristik sosial budaya yang dikaji dalam penelitian ini adalah stratifikasi sosial, kelembagaan, kohesi sosial, kearifan lokal dan pengetahuan dan sikap yang berkembang di dalam masyarakat. Upaya pencegahan bencana yang dapat dilakukan untuk mengurangi resiko terjadinya bencana adalah dengan kesiapsiagaan dan mitigasi. Kesiapsiagaan dan mitigasi ini diduga berhubungan dengan karakteristik sosial budaya masyarakat, sehingga dapat dilihat sejauh mana kesiapan masyarakat dalam menghadapi kemungkinan terjadinya bencana. Hasil penelitian menunjukkan bahwa masyarakat Katulampa memiliki karakteristik sosial yang terdiri atas kelembagaan, stratifikasi sosial, kohesi sosial, kearifan lokal dan pengetahuan dan sikap. Akan tetapi karakteristik sosial budaya ini tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan kesiapsiagaan dan mitigasi, sehingga masyarakat masih belum memiliki kesiapan yang matang dalam menghadapi kemungkinan terjadinya banjir. FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT Judul Skripsi : Karakteristik Sosial Budaya Masyarakat dalam Kaitannya Dengan Kesiapsiagaan dan Mitigasi Bencana di Daerah Rawan Bencana (Studi Kasus: Kelurahan Katulampa, Kecamatan Bogor Timur, Kota Bogor) Nama Mahasiswa : Thresa Jurenzy Nomor Mahasiswa : I34070062 Mayor : Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat dapat diterima sebagai syarat untuk mendapatkan gelar sarjana pada Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Menyetujui, Dosen Pembimbing Dr. Ir. Rilus A. Kinseng, MA. NIP. 19590506 198703 1 001 Mengetahui, Ketua Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat Dr. Ir. Soeryo Adiwibowo, MS. NIP. 19550630 198103 1 003 Tanggal Pengesahan: ___________________ LEMBAR PERNYATAAN DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI YANG BERJUDUL “KARAKTERISTIK SOSIAL BUDAYA MASYARAKAT DALAM KAITANNYA DENGAN KESIAPSIAGAAN DAN MITIGASI BENCANA DI DAERAH RAWAN BENCANA” BELUM PERNAH DIAJUKAN PADA PERGURUAN TINGGI LAIN ATAU LEMBAGA LAIN MANAPUN UNTUK TUJUAN MEMPEROLEH GELAR AKADEMIK TERTENTU. SAYA JUGA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI DAN TIDAK MENGANDUNG BAHAN-BAHAN YANG PERNAH DITULIS ATAU DITERBITKAN OLEH PIHAK LAIN KECUALI SEBAGAI RUJUKAN YANG DINYATAKAN DALAM NASKAH. Bogor, Februari 2011 THRESA JURENZY I34070062 RIWAYAT HIDUP Penulis yang bernama Thresa Jurenzy dilahirkan pada tanggal 4 Mei 1989 di Kota Bukittinggi. Penulis merupakan anak pertama dari dua bersaudara, anak dari pasangan suami istri Jumardi, S.Pd dan Resnetty. Penulis telah menempuh pendidikan sekolah dasar di SDN 09 Belakang Balok, dilanjutkan di SMP Negeri 1 Bukittinggi dan SMA Negeri 2 Bukittinggi. Kemudian penulis melanjutkan pendidikannya di Institut Pertanian Bogor, jurusan Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat dengan jalur masuk Ujian Seleksi Masuk IPB (USMI). Pada saat duduk di bangku SMA, penulis mengikuti Menuju Olimpiade Sains Indonesia 2+ tingkat Kota Bukittinggi. Penulis juga aktif dalam organisasi, baik pada masa sekolah maupun di tingkat perguruan tinggi. Pada saat SMP, penulis mengikuti Forum Studi Islam dengan kedudukan sebagai ketua Divisi Hubungan Masyarakat. Ketika SMA, penulis juga aktif dalam organisasi ekstra kurikuler sekolah yaitu Sanggar Konsultasi Remaja (SKR) sebagai Ketua Umum. Selain itu, penulis juga aktif di Organisasi Siswa Intra Sekolah (OSIS) dengan posisi sebagai Ketua Sub Unit SKR. Di bangku kuliah, penulis juga mengikuti berbagai organisasi kemahasiswaan. Pada tahun 2008/2009, penulis mengikuti Organisasi Mahasiswa Daerah Ikatan Pelajar Mahasiswa Minang Bogor sebagai Ketua Divisi Hubungan Luar. Tahun 2009/2010 penulis aktif menjadi Badan Pengawas Anggota Ikatan Pelajar Mahasiswa Minang Bogor, dan terakhir penulis juga aktif di Divisi Jurnalistik Himpunan Mahasiswa Peminat Pengembangan Masyarakat tahun 2009/2010. Ilmu-ilmu Komunikasi dan ix Selain organisasi kemahasiswaan, penulis juga aktif dalam berbagai kepanitiaan dalam acara-acara yang diadakan oleh organisasi kemahasiswaan. Penulis aktif dalam kepanitiaan Masa Perkenalan Departemen dan Masa Perkenalan Fakultas (2009), Indonesia Ecology Expo (2008), Bukti Cinta Lingkungan (2009), Ecology Sport Event (2010), Let’s Get The Essential of CSR (2010), Seminar Lahan Gambut Berkelanjutan (2010) dan Konser Amal Mini (2010). Peneliti juga aktif dalam kegiatan yang berkaitan dengan pengasahan kemampuan di luar bidang akademis dan organisasi, yaitu pelatihan dan magang. Peneliti pernah mengikuti Pelatihan Pendampingan Korban Bencana Alam yang diadakan oleh Pusat Studi Bencana- IPB (2010), magang di Institute for Research and Empowerment Yogyakarta (2010). KATA PENGANTAR Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan karunia- Nya yang telah dilimpahkan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Penulisan skripsi ini ditujukan untuk memenuhi syarat gelar Sarjana Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Judul skripsi ini adalah Karakteristik Sosial Budaya Masyarakat dalam Kaitannya Dengan Kesiapsiagaan dan Mitigasi Bencana di Daerah Rawan Bencana (Studi Kasus: Kelurahan Katulampa, Kecamatan Bogor Timur, Kota Bogor). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik sosial budaya yang terdapat di dalam masyarakat serta hubungannya dengan kesiapsiagaan dan mitigasi bencana sebagai salah satu upaya penanggulangan bencana. Dengan melihat hubungan tersebut dapat di peroleh kesiapan masyarakat dalam menghadapi bencana banjir, khususnya di daerah rawan bencana banjir. Semoga penelitian ini dapat bermanfaat bagi seluruh pihak yang berkaitan dengan penanggulangan bencana, yaitu bagi akademisi terutama penulis, pemerintah dan masyarakat. Bogor, Februari 2011 Thresa Jurenzy UCAPAN TERIMA KASIH Alhamdulillah penulis panjatkan kepada Allah SWT atas rahmat dan karunia- Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi tepat pada waktunya. Selama penelitian dan penulisan skripsi ini penulis telah banyak mendapatkan dukungan materil maupun moril dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan kali ini penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada: 1. Dr. Ir. Rilus A. Kinseng, MA selaku dosen pembimbing yang telah dengan sabar membimbing, memberikan saran dan masukan kepada penulis untuk dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. 2. Dr Satyawan Sunito selaku dosen penguji utama yang telah memberikan masukan dan arahan kepada penulis. 3. Dr. Ir. Ekawati Sri Wahyuni, MS selaku dosen penguji kedua yang juga telah memberikan saran dan arahan kepada penulis. 4. Ir. Hadiyanto, MS selaku dosen penguji petik yang telah memberikan banyak masukan dalam format penulisan kepada penulis. 5. Papa, Mama, dan Viona yang senantiasa mencurahkan kasih sayang, memanjatkan do’a, memberikan dukungan, semangat dan motivasi kepada penulis untuk dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan skripsi. 6. Aris Safrudin, yang selalu memberikan segala motivasi, semangat, dukungan, dan perhatiannya selama penelitian dan penulisan skripsi ini. 7. Ibu Zakiyah dan seluruh warga RT 3 RW I Kelurahan Katulampa yang membantu penulis untuk mendapatkan informasi dan data. 8. Ma’rifatu Rodiah dan keluarga yang telah menerima dan memberikan dukungan kepada penulis. 9. Sahabat-sahabat terbaikku Eka, Dian, Tita, Kidut, Akira, Dewi, Mutia dan Ira. 10. KPM 44 yang telah mengajarkan banyak hal kepada penulis. Semoga kita menjadi orang-orang yang sukses. Amin. Semoga kita semua dapat menjadi orang-orang yang sukses dan berbahagia. Amin. xii DAFTAR ISI DAFTAR ISI ...................................................................................................................... xii DAFTAR TABEL............................................................................................................. xiv DAFTAR GAMBAR ......................................................................................................... xv DAFTAR LAMPIRAN ..................................................................................................... xvi BAB I PENDAHULUAN ................................................................................................... 1 1.1 Latar Belakang .................................................................................................... 1 1.2 Rumusan Masalah ............................................................................................... 3 1.3 Tujuan Penelitian ................................................................................................ 4 1.4 Kegunaan Penelitian ........................................................................................... 4 2.1 Tinjauan Pustaka ................................................................................................. 5 2.1.1 Bencana Alam dan Daerah Rawan Bencana Alam ..................................... 5 2.1.2 Kesiapsiagaan dan Mitigasi ........................................................................ 6 2.1.3 Karakteristik Sosial ................................................................................... 10 2.2 Kerangka Pemikiran.......................................................................................... 18 2.3 Hipotesis Penelitian .......................................................................................... 19 2.3.1 Hipotesis Uji ............................................................................................. 19 2.3.2 Hipotesis Pengarah.................................................................................... 20 2.4 Definisi Operasional ......................................................................................... 20 BAB III PENDEKATAN LAPANG ................................................................................ 23 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ........................................................................... 23 3.2 Metode Penelitian ............................................................................................. 23 3.3 Jenis dan Sumber Data ...................................................................................... 24 3.4 Teknik Penentuan Responden dan Informan .................................................... 24 3.5 Teknik Analisis Data......................................................................................... 25 4.1 Kelurahan Katulampa ....................................................................................... 27 4.1.1. Kondisi Fisik ............................................................................................. 27 4.1.2. Kependudukan dan Kelembagaan ............................................................. 28 4.2 Sungai Ciliwung................................................................................................ 31 BAB V KARAKTERISTIK SOSIAL BUDAYA MASYARAKAT ............................... 33 5.1 Kelembagaan..................................................................................................... 33 5.2 Derajat Kohesi Sosial ........................................................................................ 37 xiii 5.3 Stratifikasi Sosial .............................................................................................. 39 5.4 Kearifan Lokal .................................................................................................. 45 5.5 Pengetahuan dan Sikap ..................................................................................... 47 BAB VI KESIAPSIAGAAN DAN MITIGASI BENCANA ........................................... 58 6.1 Kesiapsiagaan ................................................................................................... 58 6.2 Mitigasi ............................................................................................................. 67 BAB VII KESIAPAN MASYARAKAT DI DAERAH RAWAN BENCANA ............... 76 BAB VIII PENUTUP ....................................................................................................... 88 8.1 Kesimpulan ....................................................................................................... 88 8.2 Saran ................................................................................................................. 91 DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................................... 93 xiv DAFTAR TABEL Tabel 1. Tingkat Pendidikan Masyarakat Kelurahan Katulampa tahun 2008................... 28 Tabel 2. Mata Pencaharian Masyarakat Kelurahan Katulampa tahun 2008 ..................... 29 Tabel 3. Kelembagaan Kelurahan Katulampa tahun 2008................................................ 30 Tabel 4. Pengetahuan Mengenai Rawan Bencana oleh Responden Korban Banjir, Katulampa Tahun 2010 ..................................................................................... 48 Tabel 5. Pengetahuan Responden Mengenai Penyebab Banjir, Katulampa Tahun 2010 (N=30) ............................................................................................................... 49 Tabel 6. Pengetahuan Responden Mengenai Akibat Banjir, Katulampa Tahun 2010 (N=30) ............................................................................................................... 51 Tabel 7. Pengetahuan Responden Mengenai Cara Mengurangi Resiko Banjir, Katulampa Tahun 2010 (N=30) ........................................................................................... 52 Tabel 8. Sebaran Responden Berdasarkan Tempat Pembuangan Sampah Rumah Tangga, Katulampa Tahun 2010 ..................................................................................... 53 Tabel 9. Pengetahuan Responden Mengenai Partisipasi dalam Penanggulangan Banjir, Katulampa Tahun 2010 (N=30)......................................................................... 54 Tabel 10. Sebaran Responden Berdasarkan Sikap Terhadap Alam, Katulampa Tahun 2010.................................................................................................................. 56 Tabel 11. Sebaran Responden Berdasarkan Kesiapsiagaan dan Respon Responden terhadap Banjir Katulampa (2010) ................................................................... 60 Tabel 12. Sebaran Responden Berdasarkan Kepemilikan Asuransi ................................. 63 Tabel 13. Sebaran Responden Berdasarkan Usaha Pelestarian Pohon ............................. 68 Tabel 14. Sebaran Responden Berdasarkan Keikutsertaan Latihan dan Pendidikan Banjir, Katulampa Tahun 2010 .................................................................................... 71 Tabel 15. Hasil Korelasi Pearson antara Kesiapsiagaan dan Mitigasi dengan Ukuran Kekayaan, Pendidikan dan Pengetahuan dan Sikap Responden Korban Banjir Katulampa Tahun 2010 .................................................................................... 80 xv DAFTAR GAMBAR Gambar 1. Kerangka Pemikiran ........................................................................................ 19 Gambar 2. Distribusi Debit Air Bendung Katulampa Januari-Oktober 2010 ................... 32 Gambar 3. Sebaran Responden Berdasarkan Pendapatan ................................................. 41 Gambar 4. Sebaran Responden Berdasarkan Jenis Pekerjaan .......................................... 42 Gambar 5. Stratifikasi Responden Berdasarkan Kekayaan............................................... 43 Gambar 6. Sebaran Responden Berdasarkan Pendidikan ................................................. 44 Gambar 7. Sebaran Responden Berdasarkan Kondisi Bangunan Rumah ......................... 70 Gambar 8. Sebaran Responden Berdasarkan Bentuk Bangunan Rumah .......................... 71 xvi DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1. Kuesioner Penelitian ..................................................................................... 97 Lampiran 2. Panduan Pertanyaan untuk Informan .......................................................... 101 Lampiran 3. Dokumentasi Penelitian .............................................................................. 103 Lampiran 4. Peta Daerah Rawan Bencana Kelurahan Katulampa .................................. 104 Lampiran 5. Sketsa Daerah Rawan Banjir ...................................................................... 105 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Beberapa tahun terakhir Indonesia sering dilanda bencana. Posisi Indonesia yang berada di antara tiga lempeng besar dunia telah mengakibatkan Indonesia menjadi sangat rentan terhadap bencana. Selain itu terdapat beberapa faktor lain yang menimbulkan bencana. Faktor lainnya adalah akibat kerusakan ekologi, yang akar permasalahannya adalah manusia. Beberapa bencana besar yang telah terjadi dalam beberapa tahun terakhir adalah gempa dan tsunami Aceh (2004), gempa Nias (2006), gempa Jogjakarta dan Jawa Tengah (2006), gempa dan tsunami Pangandaran (2006), banjir Jakarta (2007), gempa Bukittinggi (2007), lumpur Sidoarjo (2006), jebolnya Situ Gintung (2009), gempa Tasikmalaya (2009), gempa Padang (2009), longsor Ciwidey (2009), dan berbagai bencana lainnya. Semua bencana ini telah merenggut banyak korban jiwa dan mengakibatkan berbagai kerugian fisik dan kerugian materil bagi korbannya. Psikologis masyarakat yang menjadi korban maupun tidak menjadi korban pun ikut terganggu. Bencana telah mengakibatkan penderitaan yang mendalam bagi korban dan orang-orang yang berada di sekitarnya. Kerugian tidak hanya dialami oleh masyarakat, akan tetapi juga dirasakan oleh pemerintah. Untuk mengatasi dan mengurangi kerugian tersebut, diadakanlah kegiatan penanggulangan bencana. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, penanggulangan bencana adalah serangkaian kegiatan yang meliputi penetapan kebijakan pembangunan yang berisiko timbulnya bencana, kegiatan pencegahan bencana, tanggap darurat dan rehabilitasi. Kegiatan penanggulangan 2 bencana ini tidak hanya dilakukan oleh pemerintah pusat maupun daerah, tapi juga lembaga-lembaga lain yang ikut membantu dan tanggap dalam bencana seperti Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Bahkan, masyarakat pun juga ikut dalam usaha penanggulangan bencana. Usaha penanggulangan bencana harus dimulai sedini mungkin, yaitu sebelum terjadinya bencana di daerah yang tergolong rawan bencana. Perspektif penanggulangan bencana ini telah berubah seiring dengan pertambahan jumlah bencana yang terjadi di Indonesia. Pada awalnya penanggulangan bencana dipusatkan pada usaha yang dilakukan setelah terjadinya bencana, seperti tanggap darurat, rehabilitasi dan rekonstruksi. Akan tetapi, perspektif ini telah bergeser menjadi penanggulangan bencana yang dimulai sejak sebelum terjadinya bencana, yaitu peningkatan kesiapsiagaan masyarakat dan upaya untuk mengurangi resiko bencana (mitigasi). Bencana tidak pernah diketahui kapan akan melanda suatu daerah, untuk itu dibutuhkan kesiapan orang-orang yang akan menghadapi bencana, terutama di daerah rawan bencana. Kesiapsiagaan dan mitigasi bencana merupakan usaha yang dilakukan untuk dapat mengurangi dampak yang terjadi akibat bencana. Usaha pengurangan resiko bencana ini melibatkan berbagai pihak yang sangat terkait dengan bencana. Pihak-pihak tersebut adalah pemerintah, LSM, masyarakat dan lembaga lainnya yang ikut membantu dalam penanggulangan bencana. Begitu pula pada usaha yang dilakukan saat terjadinya bencana dan setelah terjadinya bencana sangat dipengaruhi oleh pihak-pihak yang berkaitan dalam masalah ini. Upaya peningkatan kesiapan dan tindakan penanggulangan bencana sangat dipengaruhi oleh karakteristik sosial masyarakat. Karakteristik sosial masyarakat 3 yang mempengaruhi adalah kelembagaan sosial, derajat kohesivitas, stratifikasi sosial masyarakat, dan pengetahuan lokal masyarakat. Semua karakteristik sosial budaya ini mungkin dimiliki oleh masyarakat dan dapat digunakan sebagai modal bagi masyarakat untuk mempersiapkan diri menghadapi bencana dan mengurangi resiko bencana dan dapat mempengaruhi tindakan yang diambil oleh masyarakat pada saat terjadinya bencana dan setelah terjadinya bencana, sehingga dapat dilihat tingkat kesiapan yang dimiliki oleh masyarakat di daerah rawan bencana dalam menghadapi kemungkinan bencana yang akan terjadi. Akan tetapi, karakteristik sosial yang dimiliki oleh masyarakat ini juga dapat menjadi kendala dalam menghadapi kemungkinan terjadinya bencana. Fokus penelitian ini adalah daerah rawan bencana yang berada di Kelurahan Katulampa, Kecamatan Bogor Timur, Kota Bogor. Daerah ini adalah daerah yang tergolong rawan bencana banjir karena berada pada aliran Sungai Ciliwung dan berada pada pintu air Bendungan Katulampa yang debit airnya sering naik pada beberapa bulan terakhir. Pada Februari 2010 lalu daerah ini mengalami banjir bandang dan merugikan kurang lebih 80 rumah tangga yang mengalami langsung akibat banjir ini. Daerah ini juga termasuk ke dalam daerah rawan banjir menurut peta rawan bencana Kelurahan Katulampa. 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang diatas, maka dapat dirumuskan pertanyaan penelitian sebagai berikut: 1. Apa saja karakteristik sosial budaya yang ada di dalam masyarakat Kelurahan Katulampa khususnya yang berkaitan dengan masalah bencana dan lingkungan hidup? 4 2. Bagaimanakah hubungan karakteristik sosial budaya yang dimiliki oleh masyarakat dengan upaya kesiapsiagaan dan mitigasi bencana di Kelurahan Katulampa? 3. Bagaimanakah kesiapan masyarakat Kelurahan Katulampa dalam menghadapi bencana? 1.3 Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka dapat ditentukan tujuan penelitian sebagai berikut: 1. Untuk mengkaji karakteristik sosial budaya masyarakat di Kelurahan Katulampa, khususnya yang berkaitan dengan masalah bencana dan lingkungan hidup. 2. Untuk mengkaji hubungan karakteristik sosial budaya masyarakat Kelurahan Katulampa dengan upaya kesiapsiagaan dan mitigasi bencana. 3. Untuk mengkaji kesiapan masyarakat Kelurahan Katulampa dalam menghadapi bencana. 1.4 Kegunaan Penelitian Penelitian ini dapat berguna bagi berbagai pihak yang terkait, terutama bagi akademisi dan perguruan tinggi. Penelitian ini dapat berguna bagi perguruan tinggi sebagai salah satu wujud dari Tri Dharma Perguruan Tinggi, yaitu bidang penelitian dan peningkatan pengetahuan mengenai kesiapan masyarakat dalam menghadapi bencana yang dikaitkan dengan karakteritik sosial yang dimiliki oleh masyarat sehingga dapat dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai usaha penanggulangan bencana. BAB II PENDEKATAN TEORITIS 2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1 Bencana Alam dan Daerah Rawan Bencana Alam Bencana merupakan suatu kejadian atau peristiwa yang memberikan kerugian yang besar pada masyarakat, yang bersifat merusak, merugikan dan mengambil waktu yang panjang untuk pemulihannya (Sugiantoro dan Purnomo, 2010). Pengertian ini lebih diperjelas lagi dalam UU Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, bencana merupakan peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor nonalam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis. Hingga saat ini, masih banyak masyarakat yang menganggap bencana merupakan suatu kejadian yang murni disebabkan oleh alam. Padahal, bencana tidak hanya diakibatkan oleh faktor alam, tapi juga nonalam dan manusia. Namun, dalam penelitian ini akan difokuskan pada bencana alam. Menurut Lindell dan Prater (2003), bencana alam terjadi akibat adanya suatu keadaan geologi, metereologi dan hidrologi yang sangat besar dan mengakibatkan komunitas tidak mampu untuk mengatasinya. Sugiantoro dan Purnomo (2010) dalam bukunya juga mendefinisikan bencana alam sebagai suatu kejadian yang bersifat alami dan berasal dari alam. UU Nomor 24 tahun 2007 mengenai Penanggulangan Bencana, mendefinisikan bencana alam sebagai bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian 6 peristiwa yang disebabkan oleh, antara lain berupa tsunami, gempa bumu, gunung meletus, banjir, kekeringan, angin topan dan tanah longsor. Di Indonesia, banyak daerah yang rentan atau memiliki ancaman bencana yang cukup besar. Ancaman bencana merupakan kemungkinan suatu kejadian dapat menimbulkan bencana. Ancaman bencana ini menimbulkan kerawanan di daerah-daerah yang ancaman bencananya besar. Rawan bencana merupakan suatu keadaan geologis, biologis, hidrologis, klimatologis, geografis, sosial, budaya, politik, ekonomi, dan teknologi pada suatu wilayah untuk jangka waktu tertentu yang mengurangi kemampuan mencegah, meredam, mencapai kesiapan, dan mengurangi kemampuan untuk menanggapi dampak buruk dari bahaya tertentu (UU No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana). 2.1.2 Kesiapsiagaan dan Mitigasi Penanggulangan bencana merupakan segala upaya dan kegiatan yang dilakukan meliputi kegiatan pencegahan, mitigasi, dan kesiapsiagaan pada saat sebelum terjadinya bencana serta penyelamatan pada saat bencana, rehabilitasi dan rekonstruksi setelah terjadinya bencana (Sekretariat Bakornas PB, 2009). Dalam tulisan Fothergill dan Peek (2004) menjelaskan kegiatan-kegiatan yang dilakukan dalam penanggulangan bencana terdiri dari kesiapsiagaan yang terdiri atas peringatan bahaya. Kegiatan selanjutnya adalah tanggap darurat, pemulihan, dan terakhir rekonstruksi. Kegiatan pencegahan merupakan usaha yang dilakukan untuk mengurangi dan menghilangkan resiko bencana melalui tindakan pengurangan ancaman dan kerentanan pihak yang terancam bencana (BNPB, 2008). Mitigasi merupakan 7 usaha yang dilakukan untuk mengurangi resiko bencana melalui peningkatan kualitas fisik dan peningkatan kesadaran, pengetahuan dan kemampuan dalam menghadapi bencana. Kesiapsiagaan merupakan suatu usaha yang dilakukan untuk menghadapi kemungkinan datangnya bencana melalui kegiatan-kegiatan peningkatan kemampuan untuk menghadapi kemungkinan bencana. Tanggap darurat merupakan kegiatan yang dilakukan sesaat setelah terjadinya bencana untuk menanggulangi semua kemungkinan dampak yang terjadi akibat bencana, penanganan pertama terhadap korban bencana dan upaya penyelamatan korban terhadap kemungkinan bencana susulan. Kesiapsiagaan dan mitigasi juga didefinisikan dalam UU Nomor 24 tahun 2007 mengenai Penanggulangan Bencana. Kesiapsiagaan merupakan serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk mengantisipasi bencana melalui pengorganisasian serta melalui langkah yang tepat guna dan berdaya guna. Mitigasi merupakan serangkaian upaya untuk mengurangi resiko bencana baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan dalam menghadapi bencana. Kegiatan yang dapat dilakukan dalam kesiapsiagaan (UU No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana) yaitu: 1. Penyusunan dan uji coba rencana penanggulangan kedaruratan bencana. 2. Pengorganisasian, pengujian, dan pemasangan sistem peringatan dini. 3. Penyediaan dan penyiapan barang pasokan pemenuhan kebutuhan dasar. 4. Pengorganisasian, penyuluhan, pelatihan, dan gladi tentang mekanisme tanggap darurat. 5. Penyiapan lokasi evakuasi. 8 6. Penyusunan data akurat, informasi, dan pemutakhiran prosedur tetap tanggap darurat. 7. Penyediaan dan penyiapan bahan, barang, dan peralatan untuk pemenuhan pemulihan prasarana dan sarana. Sedangkan kegiatan mitigasi yang dapat dilakukan adalah (UU No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana): 1. Pelaksanaan penataan ruang. 2. Pengaturan pembangunan, pembangunan infrastruktur dan tata ruang. 3. Penyelenggaraan pendidikan, pelatihan, dan penyuluhan baik secara modern maupun secara konvensional. Tindakan pencegahan dibagi menjadi dua yaitu mitigasi dan kesiapsiagaan. Mitigasi dibagi menjadi dua, yaitu mitigasi pasif dan mitigasi aktif (BNPB, 2008). Kegiatan mitigasi pasif yang dapat dilakukan adalah: 1. Penyusunan peraturan perundang-undangan. 2. Pembuatan peta rawan bencana dan pemetaan masalah. 3. Pembuatan pedoman/ standar/ prosedur. 4. Pembuatan poster/ brosur/ leaflet. 5. Penelitian/ pengkajian karakteristik bencana. 6. Pengkajian/ analisis resiko bencana. 7. Internalisasi penanggulangan bencana dalam muatan lokal pendidikan. 8. Pembentukan organisasi atau satuan gugus tugas bencana 9. Perkuatan unit-unit sosial dalam masyarakat, seperti forum. 10. Pengarusutamaan penanggulangan bencana dalam pembangunan. 9 Sedangkan mitigasi aktif dilakukan dengan cara: 1. Pembuatan dan penempatan tanda-tanda peringatan, larangan, dan bahaya memasuki daerah rawan bencana. 2. Pengawasan terhadap pelaksanaan berbagai peraturan tentang penataan ruang, ijin mendirikan bangunan, dan peraturan lainnya yang berkaitan dengan pencegahan bencana. 3. Pelatihan dasar kebencanaan bagi aparat dan masyarakat. 4. Pemindahan penduduk dari daerah rawan bencana ke daerah yang lebih aman. 5. Penyuluhan dan peningkatan kewaspadaan masyarakat. 6. Perencanaan daerah penampungan sementara dan jalur-jalur evakuasi jika terjadi bencana. 7. Pembuatan bangunan struktur yang berfungsi mencegah, mengamankan, dan mengurangi dampak yang ditimbulkan oleh bencana, seperti tanggul, dam, penahan erosi pantai, bangunan tahan gempa dan sejenisnya. Upaya kesiapsiagaan dilakukan pada saat bencana terindetifikasi akan terjadi. Upaya yang dapat dilakukan dalam kegiatan ini adalah: 1. Pengaktifan pos-pos siaga bencana dengan segenap unsur pendukungnya. 2. Pelatihan siaga/ simulasi/ gladi/ teknis bagi setiap sektor penanggulangan bencana (SAR, sosial, kesehatan, prasarana dan pekerjaan umum). 3. Inventarisasi sumberdaya pendukung kedaruratan. 4. Penyiapan dukungan dan mobilisasi sumberdaya/ logistik. 5. Penyiapan sistem informasi dan komunikasi yang cepat dan terpadu guna mendukung tugas kebencanaan. 6. Penyiapan dan pemasangan instrumen sistem peringatan dini (early warning). 10 7. Penyusunan rencana kontinjensi (contingency plan). 8. Mobilisasi sumberdaya (personil, dan sarana/prasarana peralatan). 2.1.3 Karakteristik Sosial 2.1.3.1 Kelembagaan Lembaga biasa dikenal sebagai lembaga sosial, pranata sosial, atau institusi sosial. Lembaga merupakan suatu sistem norma untuk mencapai suatu tujuan atau kegiatan yang oleh masyarakat dipandang penting, atau sekumpulan kebiasaan dan tata kelakuan yang berkisar pada kegiatan pokok manusia, dan prosesnya terstruktur untuk melakukan berbagai kegiatan tertentu (Horton dan Hunt, 1999). Selain itu, Raharjo (2004) menyimpulkan bahwa lembaga merupakan suatu kompleks nilai dan norma yang berpusat pada kepentingan atau tujuan tertentu. Lembaga dapat diciptakan dengan sengaja dan tidak dengan sengaja. Lembaga yang ditumbuhkan secara sengaja adalah lembaga pendidikan, hutang piutang, dan lainnya. Sedangkan lembaga yang tidak sengaja ditumbuhkan adalah adat istiadat, kepercayaan, pernikahan, dan lainnya. Tonny (2004) menyatakan dalam laporan penelitiannya, kelembagaan mengarahkan perilaku individu dan masyarakat agar sejalan dengan tujuan umum yang ditetapkan. Setiap masyarakat memiliki lembaga-lembaga kemasyarakatan tanpa memperdulikan apakah masyarakatnya adalah masyarakat bersahaja atau masyarakat modern. Kelembagaan sosial ini memiliki wujud konkrit yaitu asosiasi (Soekanto, 2003). Lembaga bersifat dinamis dan selalu berubah dari waktu ke waktu seiring dengan perubahan yang terjadi di dalam masyarakat (Raharjo, 2004). Menurut Horton dan Hunt (1999), lembaga dasar yang sangat penting dalam masyarakat yang kompleks adalah keluarga, keagamaan, pemerintahan, 11 perekonomian, dan pendidikan. Hal ini hampir serupa dengan yang disampaikan oleh Sunarto (1993), sejumlah institusi utama adalah institusi di bidang ekonomi, politik, keluarga, pendidikan dan agama yang kemudian menghasilkan cabang khusus dalam sosiologi. Fungsi kelembagaan masyarakat dalam kehidupan masyarakat menurut Soekanto (2003) adalah: 1. Memberikan pedoman bertingkah laku kepada anggota masyarakat dalam menghadapi masalah-masalah dalam masyarakat terutama mengenai kebutuhan-kebutuhan. 2. Menjaga keutuhan masyarakat. 3. Memberikan pegangan kepada masyarakat untuk mengadakan sistem kontrol sosial atau pengendalian sosial, mengawasi tingkah laku anggotanya. Menurut Horton dan Hunt (1999), fungsi lembaga terdiri atas fungsi manifes dan fungsi laten. Fungsi manifes merupakan fungsi lembaga yang diharapkan oleh orang-orang akan terpenuhi. Misalnya, keluarga memlihara anakanaknya, lembaga ekonomi untuk menghasilkan dan memenuhi kebutuhan ekonomi. Sedangkan fungsi laten kelembagaan adalah konsekuensi lembaga yang tidak dapat dihindari dan diramalkan. Fungsi laten ini kadang mendukung fungsi manifes, tidak relevan atau menjatuhkan fungsi manifes. Ciri-ciri kelembagaan menurut Gillin dan Gillin dalam Soemardjan dan Soemardi (1964) adalah: 1. Kelembagaan merupakan sebuah organisasi konseptual dan pola kebiasaan yang terwujud melalui aktivitas sosial dan hasil-hasilnya. 12 2. Tingkat kekekalan tertentu merupakan ciri dari semua lembaga kemasyarakatan. 3. Terdiri atas satu atau beberapa tujuan tertentu. 4. Kelembagaan masyarakat merupakan alat untuk mencapai tujuan kelembagaan, yaitu bangunan, alat-alat, mesin, perabotan dan lainnya. 5. Simbol merupakan karakterisik lembaga kemasyarakatan. 6. Lembaga kemasyarakatan memiliki tradisi tertulis atau tidak tertulis yang merumuskan tujuan, tata tertib yang berlaku dan lainnya. Pengembangan kelembagaan merupakan proses dimana anggota-anggota masyarakat meningkatkan kapasitas kelembagaannya untuk memobilisasi dan mengelola sumberdaya untuk menghasilkan perbaikan-perbaikan yang berkelanjutan dan merata dalam kualitas hidup sesuai dengan aspirasi mereka (Tonny, 2004). Gillin dan Gillin yang dikutip oleh Soekanto (2003) lembaga kemasyarakatan dapat diklasifikasikan sebagai berikut: 1. Crescive institutions dan enacted institutions. 2. Basic institutions dan subsidiary institutions. 3. Approved atau social sanctioned-institutions dan unsanctioned institutions. 4. General institutions dan restricted institutions. 5. Operative institutions dan regulative institutions. Perbedaan antara organisasi dan kelembagaan menurut Knight (1992) adalah, “Whereas institutions are sets of rules that structure interactions among actors, organizations are collective actors who might be subject to institutional constraint. Organizations generally have an internal structure, an instituitional framework governing the interactions of those persons who constitute the organizations”. 13 Sehingga dapat disimpulkan bahwa kelembagaan merupakan aturan-aturan sedangkan organisasi merupakan sekumpulan orang yang terlibat dalam kelembagaan tersebut. Persiapan dalam tahap penanggulangan bencana menurut Lindell dan Parter (2003) salah satunya adalah dengan menentukan dan mengkoordinasikan organisasi yang bertanggung jawab dalam penanggulangan bencana. Organisasi tersebut harus mendapatkan sumberdaya yang dapat digunakan dalam penanggulangan bencana seperti fasilitas, anggota dan alat bantu. 2.1.3.2 Derajat Kohesi Sosial Masyarakat Kohesivitas kelompok atau masyarakat merupakan karakteristik sosial yang sangat penting didalam masyarakat. Menurut Cartwright dan Zander (1968) yang dikutip oleh Hadipranata (1986), kohesivitas merupakan derajat kekuatan ikatan yang berperan dalam keanggotaan kelompok. Lebih lanjut lagi, kohesivitas merupakan kekuatan interaksi diantara anggota kelompok dalam suatu kerjasama. Masyarakat lebih ditentukan oleh sosialisasi atau interaksi yang memiliki kohesivitas sehingga kelompok tersebut berdiri bersama-sama (Shaw, 1971 dalam Hadipranata, 1986). Johnson dan Johnson (1975) sebagaimana dikutip oleh Ramdhani dan Martono (1996) mengartikan kohesivitas kelompok sebagai suatu keadaan kelompok yang sudah membentuk kohesi, yang ditandai dengan kapasitas kelompok tersebut untuk mempertahankan keanggotaan anggotanya sehingga akan bekerjasama dengan kompak dalam mencapai tujuan bersama. Di lain pihak, Collin dan Raven (1964) dalam Arishanti (2005) menjelaskan bahwa kohesi 14 kelompok merupakan keadaan yang mendorong anggota kelompok untuk tetap tinggal dalam kelompok dan mencegahnya meninggalkan kelompok. Sebuah kelompok dikatakan sudah kohesif apabila terdiri dari anggota yang berusaha untuk mengaktualisasikan berbagai kemampuan untuk mencapai kehendak bersama (Ramdhani dan Martono, 1996). Dion (1973) dalam Ramdhani dan Martono (1996) melaporkan bahwa dalam kelompok yang kohesif, komunikasi lebih lancar, kooperatif, dan lebih dimungkinkan untuk memberikan koreksi yang positif. Kohesivitas juga membuat anggota kelompok saling mempengaruhi dengan kuat, bahkan membuat kesepakatan kelompok yang kompak dalam pengambilan keputusan kelompok (Festinger dkk, 1950 dalam Hadipranata, 1986). Penelitian yang dilakukan oleh Nasution (2005) mengenai penanggulangan bencana berbasis masyarakat menemukan bahwa hubungan kekerabatan yang sangat erat dan nilai gotong royong yang sangat tinggi dapat membantu masyarakat dalam kesiapsiagaan bencana. 2.1.3.3 Stratifikasi Sosial Pada setiap masyarakat terdapat stratifikasi sosial atau pelapisan sosial. Stratifikasi sosial menurut Sorokin (1959) dalam Soekanto (1990) adalah pembedaan penduduk atau masyarakat kedalam kelas-kelas secara bertingkat, sedangkan menurut Sunarto (1993) stratifikasi sosial merupakan pembedaan anggota masyarakat berdasarkan status yang dimilikinya Ukuran yang biasa digunakan untuk menggolongkan anggota masyarakat ke dalam suatu lapisan menurut Soekanto (1990) adalah: 15 1. Unsur kekayaan, dimana lapisan teratas biasanya yang memiliki kekayaan paling banyak. Kekayaan bisa berbentuk rumah, kendaraan, dan pakaian. 2. Ukuran kekuasaan, lapisan teratasnya adalah yang paling memiliki kekuasaan atau wewenang terbesar. 3. Ukuran kehormatan, dimana orang-orang yang paling dihormati dan disegani berada di lapisan teratas. 4. Ukuran ilmu pengetahuan, dipakai oleh masyarakat yang menghargai ilmu pengetahuan. Terkadang berakibat negatif karena yang dihargai adalah gelarnya bukan ilmu yang dimilikinya. Fothergill dan Peek (2004) dalam tulisannya menyatakan bahwa penanggulangan bencana dipengaruhi oleh status sosial ekonomi masyarakat. Pendidikan dan pendapatan memiliki hubungan dengan kegiatan-kegiatan yang dilakukan dalam tahap persiapan untuk menghadapi bencana. Ditemukan bahwa masyarakat yang memiliki pendapatan yang lebih tinggi lebih siap dalam menghadapi bencana seperti kepemilikan terhadap asuransi, alat-alat yang digunakan dalam masa tanggap darurat dan memperkuat keadaan rumah mereka. Hal ini juga dijelaskan oleh Brym (2009) dalam tulisannya yang berjudul Hurricane Katrina and The Myth of Natural Disaster dalam bukunya Sociology as a Life or Death Isuues bahwa antara masyarakat yang berada pada kelas lebih tinggi dengan masyarakat yang berada pada kelas lebih rendah tidak memiliki keseimbangan kekuatan dalam menghadapi badai Katrina. Masyarakat yang berada di kelas lebih rendah bertempat tinggal di daerah yang sangat rentan untuk mengalami banjir, sedangkan masyarakat yang berada di kelas lebih tinggi dapat tinggal di tempat yang lebih jauh dari bahaya. Masyarakat yang berada di kelas 16 lebih rendah adalah masyarakat berkulit hitam yang telah lama didiskriminasi dan masyarakat miskin serta orang-orang tua. 2.1.3.4 Kearifan Lokal Kearifan lokal atau istilah lainnya yaitu pengetahuan lokal, pengetahuan tradisional, local knowledge, atau local wisdom. Pengertiannya menurut Shaw (2008) adalah segala sesuatu yang berkaitan secara spesifik dengan budaya tertentu dan mencerminkan gaya hidup suatu masyarakat tertentu. Dalam hal pelestarian lingkungan, terdapat aturan tertentu dalam pengeksploitasian lingkungan biofisik, dengan hukum sosial tertentu berdasarkan pengalaman empirik manusia dan pelanggaran terhadap aturan tersebut memberikan sanksi kepada pelanggarnya, sehingga kelestarian alam dapat dijaga (BPP-PSPL, 2005). Pada umumnya masyarakat memiliki kearifan tradisional dalam mengelola sumberdaya alam sekaligus dalam hal pemanfaatannya (Wirasena, 2010). Kearifan lokal merupakan cara-cara dan praktik-praktik yang dikembangkan oleh sekelompok masyarakat, yang berasal dari pemahaman mendalam mereka mengenai lingkungan setempat, yang terbentuk dari tempat tinggal mereka secara turun menurun (Shaw, 2008). Karakteristik penting yang dimiliki oleh kearifan lokal di dalam masyarakat adalah berasal dari dalam masyarakat itu sendiri, disebarluaskan secara non formal, dimiliki secara kolektif oleh masyarakat yang bersangkutan, dikembangkan selama beberapa generasi dan mudah diadaptasi, dan tertanam di dalam kehidupan masyarakat untuk bertahan hidup (Shaw, 2008). Kearifan lokal ini merupakan sebuah simpul perekat antara kehidupan masa lalu dan kehidupan 17 masa sekarang. Nilai-nilai budaya diturunkan dari nenek moyang, berkembang dari lahir dan dari generasi ke generasi (Pattinama, 2009). Berdasarkan penelitian yang diadakan Gunawan (2007) ditemukan bahwa kearifan lokal dan semangat gotong royong masyarakat sangat berperan dalam sistem peringatan dini sebelum terjadinya bencana, karena masyarakat telah lama tinggal di daerah tersebut dan mengenal keadaan alam lebih baik dibandingkan dengan yang lainnya. 2.1.3.5 Pengetahuan dan Sikap Soekanto (2003) menyatakan bahwa pengetahuan merupakan hasil penggunaan panca indranya sehingga menimbulkan kesan di dalam pikirannya. Pengetahuan masyarakat mengenai hutan diklat dalam penelitian Garnadi (2004) hanya terkait dengan hal-hal yang menyangkut kebutuhan hidup mereka saja, sedangkan mengenai pengelolaan hutan masih kurang diketahui oleh masyarakat. Masyarakat juga memiliki sikap yang tidak terlalu menentang dan juga tidak terlalu mendukung terhadap hutan diklat dan pengelolaannya. Berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Yusra (1998) mengenai pengetahuan dan sikap pasangan usia subur mengenai gizi seimbang dan pemasaran sosial ditemukan bahwa pengetahuan mereka masih tergolong rendah, sedangkan sikapnya sudah tergolong tinggi. Akan tetapi dalam prakteknya, pasangan usia subur masih tergolong rendah. Praktek gizi seimbang tersebut dipengaruhi oleh pengetahuan dan sikap pasangan usia subur. 18 2.2 Kerangka Pemikiran Bencana datang kepada masyarakat secara tiba-tiba dan tidak dapat diprediksi kapan akan melanda suatu masyarakat. Dampak yang diakibatkan oleh bencana sangat besar dan bersifat merugikan. Bagi masyarakat yang mengalami bencana, dapat mengalami kehilangan nyawa, harta benda dan gangguan psikologis. Untuk itu diperlukan suatu upaya yang bertujuan untuk mengurangi dampak yang akan melanda masyarakat tersebut. Upaya tersebut adalah upaya penanggulangan bencana yang terdiri atas upaya pencegahan, tanggap darurat dan penanggulangan pasca bencana. Perspektif penanggulangan bencana yang awalnya berpusat pada penanggulangan pasca bencana, kini telah berubah menjadi perspektif penanggulangan bencana melalui tindakan pencegahan. Tindakan pencegahan yang bertujuan untuk mengurangi resiko bencana ini terdiri atas kesiapsiagaan dan mitigasi. Kegiatan pencegahan ini ditujukan untuk meningkatkan kesiapan masyarakat dalam menghadapi kemungkinan terjadinya bencana. Akan tetapi, kesiapan masyarakat ini yang terintegrasi dalam upaya mitigasi dan kesiapsiagaan dapat dipengaruhi oleh karakteristik sosial budaya yang dimiliki oleh masyarakat.Karakteristik sosial tersebut adalah kelembagaan, kohesi sosial, stratifikasi sosial, kearifan lokal, dan pengetahuan dan sikap yang sudah tertanam di dalam masyarakat. Kelima dimensi karakteristik sosial budaya ini mempengaruhi upaya pencegahan dan pengurangan resiko bencana dan akan mempengaruhi kesiapan masyarakat dalam menghadapi bencana. 19 Hubungan antara karakteristik sosial budaya dengan kesiapan masyarakat dalam menghadapi bencana dapat dijelaskan pada Gambar 1 berikut ini: Karakteristik sosial dan budaya Kelembagaan Kohesi Sosial Keterangan: Hubungan Sratifikasi Sosial Kearifan Lokal Pengetahuan dan Sikap Pencegahan Bencana ï‚· Kesiapsiagaan ï‚· Mitigasi Kesiapan Gambar 1. Kerangka Pemikiran 2.3 Hipotesis Penelitian 2.3.1 Hipotesis Uji Berdasarkan kerangka pemikiran diatas, maka dapat dirumuskan hipotesis penelitian sebagai berikut: 1. Kelembagaan memiliki hubungan dengan kesiapsiagaan dan mitigasi. 2. Derajat kohesi sosial masyarakat memiliki hubungan dengan kesiapsiagaan dan mitigasi. 20 3. Stratifikasi sosial di dalam masyarakat memiliki hubungan dengan kesiapsiagaan dan mitigasi. 4. Kearifan lokal masyarakat memiliki hubungan dengan kesiapsiagaan dan mitigasi. 5. Pengetahuan dan sikap masyarakat memliki hubungan dengan kesiapsiagaan dan mitigasi. 2.3.2 Hipotesis Pengarah Kesiapan masyarakat dalam menghadapi bencana di daerah rawan bencana berhubungan positif dengan karakteristik sosial budaya yang dimiliki oleh masyarakat, terkait dengan pelaksanaan kegiatan pencegahan dan pengurangan resiko bencana. 2.4 Definisi Operasional Rumusan definisi operasional dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Individu/ Rumah Tangga a. Stratifikasi Sosial ï‚· Unsur kekayaan, dapat diukur melalui aset rumah tangga, dengan skor: Rentang Kelas 1 : Rendah Rentang Kelas 2 : Sedang Rentang Kelas 3 : Tinggi ï‚· Ukuran ilmu pengetahuan, dapat diukur melalui tingkat pendidikan dengan skor: Tidak bersekolah, tidak tamat SD, dan tamat SD : Rendah Tidak tamat SMP, tamat SMP dan tidak tamat SMA: Sedang 21 Tamat SMA dan Perguruan tinggi : Tinggi b. Pengetahuan, sikap dan tindakan mengenai lingkungan dan bencana ï‚· Pengetahuan mengenai rawan bencana ï‚· Penyebab banjir ï‚· Akibat banjir ï‚· Cara mengurangi resiko banjir ï‚· Aktor yang berperan serta dalam penanggulangan banjir ï‚· Sikap terhadap tanaman/ pohon ï‚· Sikap terhadap kelestarian alam ï‚· Ketergantungan hidup terhadap alam ï‚· Sikap terhadap alam yang memberikan manfaat ï‚· Sikap terhadap pohon-pohon yang memiliki penunggu c. Kesiapsiagaan merupakan kegiatan yang dilaksanakan untuk meningkatkan kemampuan masyarakat dalam menghadapi kemungkinan terjadinya bencana. ï‚· Asuransi ï‚· Jenis asuransi ï‚· Pengamanan barang berharga saat banjir ï‚· Pelaksanaan evakuasi ï‚· Persiapan persediaan makanan ketika ada tanda-tanda banjir ï‚· Pengamanan barang berharaga ketika ada tanda-tanda banjir ï‚· Pendidikan mengenai kebencanaan kepada anggota keluarga ï‚· Tenda penampung saat evakuasi 22 d. Mitigasi merupakan kegiatan yang dilaksanakan untuk mengurangi resiko terjadinya bencana. ï‚· Keadaan fisik rumah ï‚· Jarak rumah dari pinggiran sungai ï‚· Kegiatan penebangan pohon ï‚· Kegiatan pelestarian pohon ï‚· Latihan pencegahan dan penanganan banjir ï‚· Jenis rumah ï‚· Pendidikan umum mengenai banjir ï‚· Pembangunan tanggul, bendungan atau dam e. Kesiapan masyarakat dalam menghadapi bencana yaitu suatu keadaan masyarakat dimana telah ada kesiapan baik secara fisik dan mental untuk menghadapi bencana. BAB III PENDEKATAN LAPANG 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Kelurahan Katulampa, Kecamatan Bogor Timur. Pemilihan lokasi ini didasarkan atas potensi bencana yang terdapat di desa tersebut atau daerah yang tergolong rawan bencana. Kelurahan Katulampa tergolong daerah rawan bencana berdasarkan peta daerah rawan bencana Kota Bogor. Daerah Katulampa memiliki potensi yang sangat besar untuk dilanda banjir karena posisinya yang berada di daerah aliran Sungai Ciliwung yang sudah seringkali menenggelamkan Kota Jakarta. Daerah ini juga pernah mengalami banjir bandang yang sangat merugikan masyarakat pada bulan Februari 2010 lalu. Daerah penelitian dilaksanakan khususnya di RT 5 RW I dan RT 3 RW IX yang merupakan daerah rawan banjir sesuai dengan peta rawan bencana yang dapat dilihat pada Lampiran 4 dan Lampiran 5. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli-Agustus 2010 untuk penjajakan awal dan penelitian lanjutan akan dilaksanakan pada bulan Oktober- November 2010. 3.2 Metode Penelitian Penelitian ini merupakan jenis penelitian survai dengan tipe decriptiveexplanotory research, yaitu penelitian penjelasan yang menghubungkan antar variabel-variabel penelitian dengan menguji hipotesa yang telah dirumuskan sebelumnya (Singarimbun dan Effendi, 1989) dan menjelaskan secara deskriptif keadaan yang ditemukan di lapangan. Pendekatan dalam penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif yang didukung oleh pendekatan kualitatif. 24 Pendekatan kualitatif ini menggunakan kuesioner yang dibagikan kepada responden. Sedangkan pendekatan kualitatif digunakan dengan pengumpulan data melalui wawancara mendalam dan menggali pemahaman responden secara subjektif sehingga dapat mendukung data kuantitatif. 3.3 Jenis dan Sumber Data Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer berasal dari kuesioner yang dibagikan kepada responden dan data pendukung berupa wawancara mendalam terhadap responden. Data sekunder diperoleh dari hasil dokumentasi dan studi literatur melalui hasil penelitian sebelumnya, dapat berupa jurnal, skripsi, tesis, disertasi, makalah, informasi dari internet dan karya ilmiah lainnya. Kuesioner yang dibagikan kepada responden terdiri atas pertanyaan tertutup dan pertanyaan semi tertutup. Selain itu pertanyaan yang diberikan juga dalam bentuk skala Lickert sehingga dapat diketahui mengenai sikap responden mengenai objek penelitian. 3.4 Teknik Penentuan Responden dan Informan Populasi studi ini mencakup masyarakat yang berada di daerah rawan bencana yaitu Kelurahan Katulampa di Kecamatan Bogor Timur, khususnya masyarakat yang pernah mengalami bencana banjir pada Februari 2010 lalu. Teknik pengambilan sampel menggunakan teknik convenience sampling dimana sampel yang diambil adalah orang yang ada ditempat tersebut dan berdasarkan data korban banjir Februari 2010 lalu yang terdaftar di dalam daftar korban banjir. Teknik ini dipilih karena jumlah rumah tangga yang tetap tinggal di daerah 25 penelitian sudah berkurang akibat banjir, sehingga responden diambil berdasarkan ketersediaan. Sebelumnya telah dilakukan teknik pengambilan responden secara acak, kemudian dilanjutkan dengan teknik convenience sampling untuk melanjutkan pengambilan responden karena jumlah rumah tangga yang tetap tinggal di daerah penelitian sudah berkurang atau pindah rumah karena banjir. Jumlah responden yang diambil adalah sebanyak 30 rumah tangga. Wawancara dilakukan pada salah satu anggota rumah tangga yaitu suami atau istri. Kuesioner untuk data kuantitatif diberikan kepada responden dan ditinggal di tempat penelitian karena responden merasa lebih baik untuk ditinggal, sehingga mereka dapat mengisi data dengan tenang dan tidak terburu-buru. Responden juga merasa tidak nyaman dalam menjawab pertanyaan apabila ditanyakan langsung. Informan yang diwawancarai adalah tokoh masyarakat yang ada di daerah tersebut serta orang yang memiliki hubungan dengan penelitian ini. Data kualitatif juga didapatkan melalui wawancara kepada informan melalui pendekatan terhadap informan dengan cara tinggal di daerah penelitian dan ikut kegiatan yang dilaksanakan di daerah tersebut. 3.5 Teknik Analisis Data Data yang diperoleh secara kuantitatif dianalisis terlebih dahulu dengan pengkodean data agar data lebih seragam. Setelah itu dilakukan penghitungan persentase jawaban responden yang dibuat dalam bentuk tabel frekuensi. Data tersebut dimasukkan ke dalam lembar kerja Microsoft Excel dan dilakukan pengolahan data. Dari data kuantitatif yang telah terkumpul akan dilakukan analisis uji korelasi dengan menggunakan uji korelasi Pearson untuk mengetahui hubungan antara dua variabel yang akan diuji. 26 Untuk menentukan kelas responden maka digunakan rentang kelas berdasarkan data yang didapatkan dari lapangan dengan rumus: Klasifikasi = Nilai Maksimum-Nilai Minimum Banyaknya Kelas Dengan menggunakan rumus ini maka didapatkan klasifikasi responden berdasarkan banyak kelas yang diinginkan. Data kualitatif dianalisis dengan mengumpulkan data yang telah dihimpun selama penelitian berdasarkan wawancara mendalam dengan informan dan responden. Setelah data dikumpulkan kemudian dilakukan pemisahan data-data penting dan kemudian disimpulkan. Kemudian data tersebut digunakan sebagai data utama untuk mendeskripsikan hasil penelitian. BAB IV GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Kelurahan Katulampa 4.1.1. Kondisi Fisik Kelurahan Katulampa merupakan salah satu kelurahan yang berada di Kecamatan Bogor Timur, Kota Bogor. Kelurahan ini dialiri oleh salah satu sungai besar di Jawa Barat, yaitu Ciliwung. Kelurahan Katulampa berada tidak jauh dari pusat kota Bogor dengan jarak tempuh sekitar 15 menit. Kelurahan ini memiliki luas 491 ha dengan jumlah Rukun Tetangga (RT) sebanyak 82 RT dan Rukun Warga (RW) sebanyak 13 RW. Curah hujan rata-rata tiap tahunnya adalah 250 mm dengan suhu rata-rata harian 25o C. Kelurahan ini berada pada ketinggian 300 meter diatas permukaan laut. Berdasarkan letak geografis, Kelurahan Katulampa berbatasan dengan kelurahan lain, yaitu: a. Sebelah utara : Kelurahan Cimahpar b. Sebelah timur : Kelurahan Tajur c. Sebelah barat : Kelurahan Baranangsiang d. Sebelah selatan : Desa Cibaon/ Sukaraja Kelurahan Katulampa berada di dekat pusat Kota Bogor sehingga sangat berpotensi untuk menjadi tempat pemukiman bagi orang-orang yang bekerja di sekitar Kota Bogor maupun luar Kota Bogor karena aksesnya yang dekat dengan Tol Jagorawi. Keadaan ini sangat mempengaruhi keadaan sosial dan ekonomi penduduk Kelurahan Katulampa. Sarana dan prasarana yang tersedia di kelurahan ini berupa sarana transportasi, komunikasi dan informasi, pendidikan, kesehatan, dan kebersihan. 28 Sarana transportasi yang tersedia di daerah ini berupa sarana transportasi darat berupa ojeg sebanyak 65 buah. Sarana komunikasi dan informasi yang tersedia berupa telepon umum, telepon rumah dan telepon genggam. Kelurahan Katulampa memiliki 1 Puskesmas pembantu, 19 Posyandu, dan 2 rumah bersalin. Sarana dan prasarana pendidikan yang ada di Kelurahan Katulampa berupa 2 buah gedung SMA, 4 buah gedung SMP, 5 buah gedung SD, 2 buah TK dan 2 buah lembaga pendidikan agama. Sarana dan prasarana kebersihan di Kelurahan Katulampa berupa tempat pembuangan sementara yang tersebar di lima lokasi dan 13 tong sampah dengan 10 orang anggota Satgas kebersihan. 4.1.2. Kependudukan dan Kelembagaan Luas Kelurahan Katulampa cukup besar, yaitu 491 Ha dengan jumlah penduduk yang lumayan padat, yaitu 25.065 jiwa. Jumlah penduduk laki-lakinya adalah 12.527 jiwa sedangkan penduduk perempuannya sebanyak 12.539 jiwa. Total kepala keluarga yang mendiami kelurahan ini adalah 6.462 kepala keluarga dengan kepadatan penduduk sebesar 510 jiwa per km2. Pendidikan masyarakat Katulampa cukup merata dari tamatan SD hingga perguruan tinggi. Akses terhadap sarana dan prasarana pendidikan tergolong mudah sehingga pendidikan yang ditempuh juga cukup baik. Tabel 1. Tingkat Pendidikan Masyarakat Kelurahan Katulampa tahun 2008 No. Tingkat Pendidikan Jumlah Penduduk (orang) 1. Tidak tamat SD 2. Tamat SD 5598 3. Tamat SMP/ sederajat 4230 4. Tamat SMA/ sederajat 3864 5. Tamat perguruan tinggi 681 Sumber: Profil Desa dan Kelurahan Katulampa (2008) 146 29 Sebagian besar masyarakat Katulampa beragama Islam. Agama lainnya seperti Kristen, Hindu dan Budha hanya sebagian kecil saja. Mata pencaharian masyarakat Kelurahan Katulampa paling banyak pada sektor informal yaitu berdagang, tukang bangunan, tukang ojeg, petani dan buruh tani. Sedangkan pada sektor formal hanyalah sebagian kecil saja. Tabel 2. Mata Pencaharian Masyarakat Kelurahan Katulampa tahun 2008 No. Mata Pencaharian Jumlah 1. Petani 2. Buruh tani 651 3. Pegawai negeri sipil 154 4. Pengrajin industri rumah tangga 5. Pedagang keliling 6. Peternak 7. Montir 25 8. Dokter swasta 25 9. Bidan swasta 4 10. Pembantu rumah tangga 25 11. TNI/ Polri 41 12. Pensiunan 56 13. Pengusaha kecil dan menengah 10 14. Pengacara 7 15. Notaris 2 16. Dukun kampung terlatih 6 17. Jasa pengobatan alternatif 2 18. Dosen swasta 19. Arsitektur 20. Karyawan perusahaan swasta 21. Karyawan perusahaan pemerintah 22. Lainnya (pedagang, tukang bangunan) 1851 7 41 1 22 7 tukang 3843 479 ojeg, Sumber: Profil Desa dan Kelurahan Katulampa (2008) 9205 30 Organisasi masyarakat yang berkembang di Kelurahan Katulampa adalah organisasi pemerintahan, organisasi kemasyarakatan, dan organisasi ekonomi. Organisasi yang berkembang di daerah ini di dukung oleh anggotanya. Organisasi-organisasi yang berkembang di Kelurahan Katulampa dapat dilihat dalam Tabel 3 berikut. Tabel 3. Kelembagaan Kelurahan Katulampa tahun 2008 No. Organisasi Masyarakat Jumlah Anggota (orang) Organisasi Pemerintahan 1. Kantor Kelurahan 15 Organisasi Kemasyarakatan 2. LKK 10 3. LPM 17 4. PKK 24 5. Rukun Warga 102 6. Rukun Tetangga 696 7. Karang Taruna 10 8. Kelompok Tani 10 9. Organisasi keagamaan (MUI) 10 Organisasi Ekonomi 10. KUD 60 11. Simpan Pinjam 60 Sumber: Profil Desa dan Kelurahan Katulampa (2008) Penelitian ini difokuskan di daerah yang mengalami banjir di Kelurahan Katulampa yaitu RT 5 RW I dan RT 3 RW IX yang berada di pinggir sungai Ciliwung. Rata-rata penduduk RT 5 RW I adalah pendatang yang berasal dari luar daerah Bogor, seperti Jawa Tengah dan Jawa Timur. Di daerah ini banyak terdapat rumah yang disewakan atau dikontrakkan dan tidak banyak penduduk asli yang berada di daerah tersebut. Berbeda pula dengan RT 3 RW IX yang rata-rata 31 penduduknya adalah penduduk asli. Kebanyakan dari penduduknya memiliki hubungan darah satu sama lainnya. 4.2 Sungai Ciliwung Sungai Ciliwung merupakan sungai yang berada dalam Satuan Wilayah Sungai Ciliwung- Cisadane, dengan daerah tangkapan (daerah aliran sungai) sepanjang lebih kurang 337 Km2. Daerah aliran Sungai Ciliwung dibagi menjadi tiga (Munaf, 1992) yaitu: a) DAS Ciliwung bagian I yang dimulai dari hulu sampai ke stasiun pengamat Katulampa meliputi Kecamatan Kedunghalang, Cisarua dan Ciawi. b) DAS Ciliwung bagian II yang dimulai dari stasiun pengamat Katulampa hingga ke stasiun pengamat Ratujaya (Depok) meliputi Kecamatan Kedunghalang, Kota Bogor, Kecamatan Cibinong dan Kecamatan Depok. c) DAS Ciliwung bagian III yang dimulai dari stasiun pengamat Ratujaya sampai ke stasiun pengamat Rawajati (Kalibata) meliputi wilayah Kecamatan Depok, Kecamatan Cimanggis, dan Jakarta. Penelitian ini difokuskan di daerah aliran Sungai Ciliwung bagian Katulampa. Bendungan Katulampa dibagi menjadi dua aliran, yaitu aliran yang berfungsi untuk irigasi dan aliran Sungai Ciliwung yang mengalir ke Jakarta. Rata-rata debit air yang mengaliri bendungan Katulampa dari Januari hingga Oktober 2010 adalah 18.028,5 liter per detik. 32 35000 30000 25000 20000 15000 10000 5000 0 Gambar 2. Distribusi Debit Air Bendung Katulampa Januari-Oktober 2010 BAB V KARAKTERISTIK SOSIAL BUDAYA MASYARAKAT 5.1 Kelembagaan Kelurahan Katulampa memiliki lembaga-lembaga yang berkembang di tengah masyarakat. Lembaga ini merupakan wadah bagi kelembagaankelembagaan yang tidak disadari telah menjadi bagian dari masyarakat, mengatur dan memberi nilai-nilai dan norma-norma tertentu. Horton dan Hunt (1999) menyatakan bahwa lembaga merupakan suatu sistem norma untuk mencapai suatu tujuan atau kegiatan yang oleh masyarakat dipandang penting, atau sekumpulan kebiasaan dan tata kelakuan yang berkisar pada kegiatan pokok manusia, dan prosesnya terstruktur untuk melakukan berbagai kegiatan tertentu. Kelembagaankelembagaan yang terlihat lebih kuat mempengaruhi masyarakat adalah pada bidang keagamaan. Kegiatan yang dilaksanakan sebagai aktifitas sosial dalam kelembagaan berupa pengajian. Pengajian diadakan rutin dalam seminggu. Setiap RT memiliki jadwal yang berbeda dengan jumlah pertemuan yang berbeda setiap minggunya. Nilai dan norma yang berkembang dalam kelembagaan ini adalah nilai dan norma mengenai keagamaan. Nilai-nilai yang dianut diwujudkan dalam kegiatankegiatan yang dilakukan selama pengajian. Kegiatan pengajian ini gunanya adalah untuk memanjatkan syukur dan do’a-do’a kepada Sang Pencipta agar kehidupan mereka diberkahi serta memanjatkan do’a bagi orang-orang terdahulu. Kelembagaan agama ini memperkuat hubungan masyarakat karena masyarakat melakukan pertemuan rutin yang bisa menjadi wadah untuk bertukar pikiran dan 34 berbagi pengalaman. Namun dalam pengajian ini tidak ada materi yang disampaikan baik dalam bidang agama maupun bidang kehidupan lainnya. Sesuai yang dikemukakan oleh Gillin dan Gillin dalam Soemardjan dan Soemardi (1964), kelembagaan agama ini memiliki ciri-ciri sebagai berikut: 1. Kelembagaan merupakan organisasi konseptual dan pola kebiasaan yang terwujud melalui aktifitas sosial dan hasil-hasilnya. Kelembagaan agama yang terwujud melalui aktifitas sosial berupa pengajian ini telah menjadi pola kebiasaan masyarakat setempat. Kegiatan ini rutin dilakukan dan jarang ditinggalkan oleh masyarakat. Pengajian merupakan organisasi yang terkonsep dan memiliki kegiatan yang jelas dan dikonsep dengan rapi oleh anggotanya. Pengonsepan kegiatan ini dilakukan bersama-sama seperti membahas masalah jadwal pelaksanaan dan pengonsepan do’a-do’a yang akan dipanjatkan. Selain itu, mereka juga menentukan tempat dilaksanakannya pengajian. Biasanya setiap rumah dalam RT tersebut mendapatkan giliran untuk menyediakan tempat pengajian. 2. Tingkat kekekalan tertentu merupakan ciri dari semua lembaga masyarakat. Kegiatan pengajian ini telah lama dilaksanakan oleh masyarakat dan tidak berubah dari dulu sampai saat ini. 3. Terdiri atas satu atau beberapa tujuan tertentu. Kegiatan pengajian ini dilaksanakan atas tujuan tertentu. Tujuan yang ingin dicapai dengan adanya pengajian ini adalah meningkatkan pendalaman mengenai agama, mendekatkan diri pada Yang Maha Kuasa dan selain itu kegiatan ini bertujuan untuk mendo’akan keluarga yang sudah meninggal. 35 4. Kelembagaan masyarakat merupakan alat untuk mencapai tujuan kelembagaan, seperti alat-alat, bangunan, perabotan dan lainnya. Fungsi kelembagaan masyarakat sama seperti alat-alat, bangunan dan perabotan yang membantu untuk mencapai tujuan kelembagaan itu sendiri. Pada lembaga pengajian rutin yang dilakukan oleh masyarakat setempat, kelembagaan menjadi wadah bagi masyarakat dan juga menjadi alat yang digunakan untuk mencapai tujuantujuannya. 5. Simbol merupakan karakteristik lembaga kemasyarakatan. Simbol yang digunakan dalam kelembagaan ini adalah simbol keagamaan yaitu do’a-do’a yang dipanjatkan. Simbol-simbol do’a ini dituangkan ke dalam tulisan yang dimiliki oleh setiap anggota pengajian, dibawa dan dipanjatkan setiap kali mereka mengadakan pengajian. Simbol yang berbentuk logo atau gambar tidak ditemukan di dalam kelembagaan ini. 6. Lembaga masyarakat memiliki tradisi tertulis atau tidak tertulis yang merumuskan tujuan, tata tertib yang berlaku dan lainnya. Pengajian yang dilakukan secara rutin oleh masyarakat memiliki aturan-aturan yang tidak tertulis. Dalam merumuskan aturan, masyarakat menggunakan musyawarah dan mufakat dalam menentukan jadwal pelaksanaan, isi kegiatan dan tujuan kegiatan. Berdasarkan pengklasifikasian kelembagaan oleh Gillin dan Gillin dalam Soekanto (2003), pengajian termasuk ke dalam Crescive Institution yaitu kelembagaan primer yang tumbuh dari adat istiadat, yang salah satunya adalah lembaga keagamaan. Lembaga keagamaan ini tumbuh dan berkembang di dalam 36 masyarakat dari dulu hingga sekarang dan menjadi arahan bagi masyarakat dalam menguatkan keagamaan mereka. Kelembagaan ekonomi lokal kurang berkembang di daerah ini. Kegiatan yang berhubungan dengan perekonomian hanyalah sekitar jual-beli dan arisan. Tidak adanya kelembagaan ekonomi ini menjadikan status ekonomi masyarakat menjadi kurang berkembang karena tidak ada lembaga yang mampu untuk mengekspresikan kreatifitas masyarakat dalam bidang ekonomi. Sedangkan arisan hanyalah simpanan biasa yang kadang-kadang jumlah yang dituntut juga cukup besar jika dibandingkan dengan penghasilan masyarakat dan tuntutan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Kelembagaan ini tidak terlalu mengakar di dalam masyarakat. Keterlibatan masyarakat tidak terlalu besar dan hanya orangorang tertentu yang mampu untuk mengikutinya, seperti masyarakat yang memiliki kemampuan ekonomi yang sedikit berlebih dibandingkan dengan yang lainnya. Kelembagaan lain yang sangat berperan dalam kebencanaan adalah RT dan RW sebagai perpanjangan tangan kelurahan dan penjaga bendungan. Sistemnya adalah dari penjaga bendungan akan diberikan informasi mengenai status debit air. Apabila debit air dirasa akan membahayakan dan dapat mengakibatkan terjadinya banjir, maka pemerintah kelurahan akan menyampaikan kepada masyarakat untuk meningkatkan kewaspadaan akan datangnya banjir melalui ketua RT dan ketua RW. Selain RT dan RW, lembaga lain yang juga sangat berperan adalah TAGANA (Taruna Siaga Bencana) yang dibentuk di kecamatan. Anggota TAGANA tersebut merupakan perwakilan dari setiap kelurahan yang ada di Kecamatan Bogor Timur. Di setiap kelurahan terdapat satu 37 anggota TAGANA. Mereka berperan dalam meningkatkan kesiapsiagaan dan mitigasi bencana bersama dengan pemerintah dan menjadi jembatan antara pemerintah dengan masyarakat bersama ketua RT dan ketua RW apabila terjadi banjir seperti yang diungkapkan oleh Bapak K (38 Tahun) sebagai anggota TAGANA, “... waktu air di Bendungan Katulampa naik, Bapak An yang ngejaga bendungan bakal ngasih kabar ke orang kelurahan. Dari kelurahan disampein ke Ketua RW, trus diterusin ke Ketua RT, baru disebar ke masyarakat untuk bersiap-siap. Kelurahan sama TAGANA juga bersiaga untuk kemungkinan terjadinya banjir...” TAGANA bersama RT dan RW dilihat sebagai suatu kelembagaan yang memiliki fungsi sebagai pengendali sosial, dimana mereka secara bersama-sama mengendalikan masyarakat untuk dapat melakukan kegiatan kesiapsiagaan dalam menghadapi kemungkinan terjadinya banjir apabila debit air Sungai Ciliwung mulai meningkat. 5.2 Derajat Kohesi Sosial Masyarakat di dalam suatu daerah memiliki derajat ikatan antar individu yang disebut dengan derajat kohesi sosial. Masyarakat dianggap sebagai suatu kelompok besar yang anggotanya adalah individu-individu yang tergabung di dalam masyarakat tersebut. Derajat kohesivitas dapat dilihat melalui interaksi pada anggota masyarakat yang melakukan kerjasama (Cartwright dan Zander, 1968). Derajat kohesi sosial di daerah penelitian khususnya RT 5 RW I dan RT 3 RW IX memiliki perbedaan. Perbedaan tersebut adalah derajat ikatan masyarakatnya. Pada RT 5 RW I, masyarakatnya cenderung untuk berpindah dari satu tempat ke tempat lain, sedikit yang menetap di daerah tersebut. Mobilitas penduduk yang lumayan tinggi ini diakibatkan oleh banyaknya jumlah rumah 38 yang dikontrakkan di daerah tersebut. Lebih dari 15 kepala keluarga dari 40 kepala keluarga yang merasakan banjir telah pindah rumah atau meninggalkan daerah tersebut. Sesuai dengan yang dijelaskan oleh Collin dan Raven (1964) dalam Arishanti (2005) mengenai faktor yang mendorong terjadinya kohesi kelompok, yaitu keadaan yang mendorong anggota kelompok untuk tetap tinggal dalam kelompok dan mencegahnya meninggalkan kelompok. Oleh karena itu di RT 5 RW I tingkat kohesi sosialnya tergolong rendah karena tidak ada keadaan yang mendorong anggota masyarakat untuk tetap tinggal, bahkan mereka meninggalkan tempat tersebut karena takut terjadi banjir kembali. Arus mobilitas penduduk yang cukup tinggi ini mengakibatkan tingginya pertukaran anggota masyarakat. Harga sewa rumah yang lumayan murah yaitu sekitar Rp. 100.000,00 – Rp. 150.000,00 per bulan mengakibatkan banyaknya jumlah pendatang di daerah ini. Untuk mendapatkan derajat keeratan yang tinggi, masyarakat harus mampu untuk menyesuaikan diri terlebih dahulu dengan masyarakat setempat. Kegiatan-kegiatan sosial selain pengajian jarang dilakukan di kedua tempat penelitian, misalnya gotong royong. Berbeda dengan RT 5 RW I, masyarakat RT 3 RW IX tidak memiliki tingkat mobilisasi yang tinggi karena di daerah tersebut kebanyakan masyarakatnya memiliki hubungan darah dan masih terikat dengan daerah tersebut. Daerah tersebut tidak termasuk daerah yang banyak pendatang. Rata-rata masyarakatnya adalah masyarakat lokal yang memang sudah lama berdomisili di daerah tersebut. Hubungan kekeluargaan lebih erat dan sering melakukan kegiatan sosial bersama. Sehingga derajat kohesivitas masyarakatnya lebih tinggi dibandingkan dengan RT 5 RW I. 39 Derajat kohesivitas masyarakat ini juga dipengaruhi oleh keseragaman (homogenitas) anggota kelompok tersebut seperti kesamaan tindakan dan homogenitas perilaku (Mardikanto, 1993 dalam Redono, 2006). Keseragaman yang dimaksud adalah keseragaman pada ciri-ciri sosial masyarakat tersebut. Masyarakat dengan ciri-ciri sosial yang lebih mirip satu sama lainnya akan memiliki kohesivitas yang cenderung lebih tinggi. Hal ini terjadi pada RT 3 RW IX. Masyarakatnya cenderung lebih kohesif karena adanya keseragaman pada tingkat ekonomi, hubungan darah dan mereka merupakan penduduk asli Katulampa yang memiliki kesamaan budaya dan adat. Berbeda dengan RT 5 RW I, masyarakatnya kebanyakan merupakan masyarakat pendatang yang berasal dari berbagai daerah seperti Jawa dan tidak menetap lama di daerah tersebut. Perbedaan adat dan budaya antara pendatang dan penduduk asli mengakibatkan kurangnya keseragaman, sehingga kohesivitasnya cenderung lebih rendah dibandingkan dengan RT 3 RW IX. 5.3 Stratifikasi Sosial Kelurahan Katulampa berada tidak jauh dari pusat Kota Bogor. Hal ini mengakibatkan Kelurahan Katulampa menjadi salah satu daerah yang dijadikan sebagai alternatif untuk berdomisili atau bertempat tinggal agar akses terhadap sumber-sumber ekonomi dan teknologi lebih mudah untuk dijangkau. Masyarakatnya datang dari berbagai tingkatan ekonomi, maupun dari berbagai etnis. Kehidupan masyarakat yang memiliki status sosial yang berbeda-beda ini juga mempengaruhi pelapisan di dalam masyarakat. Pelapisan sosial ini juga terlihat di daerah penelitian, yaitu RT 5 RW I dan RT 3 RW IX. 40 Pelapisan atau stratifikasi sosial terjadi akibat adanya perbedaanperbedaan di dalam masyarakat secara bertingkat. Individu yang memiliki status sosial tertentu akan masuk ke dalam lapisan-lapisan tertentu yang terdapat di lingkungannya, baik lingkungan tempat tinggal maupun di lingkungan pekerjaannya. Menurut Soekanto (2003), ukuran yang biasa digunakan untuk menggolongkan masyarakat ke dalam suatu lapisan adalah ukuran kekayaan, ukuran kekuasaan, ukuran kehormatan dan ukuran ilmu pengetahuan. Responden yang diambil di daerah penelitian merupakan responden yang pernah mengalami banjir dan berada di sepanjang aliran Ciliwung. Sungai ini telah lama menjadi pusat kehidupan bagi masyarakat yang berada di sekitarnya sehingga banyak masyarakat yang memilih tinggal di dekat sungai agar dapat mengakses sumberdaya alam lebih mudah, seperti air. Banyaknya jumlah pendatang, terutama di daerah RT 5 RW I telah memberikan dampak terhadap lapisan sosial yang ada di dalam masyarakat. Stratifikasi sosial masyarakat di dapatkan melalui kuesioner yang diserahkan kepada responden untuk dijawab. Pertanyaannya adalah mengenai karakteristik individu responden tersebut untuk mengukur stratifikasi berdasarkan ukuran kekayaan dan pendidikan. Sedangkan untuk ukuran berdasarkan kekuasaan dan kehormatan dilakukan melalui wawancara mendalam kepada informan. Pertanyaan yang diajukan untuk mendapatkan ukuran kekayaan adalah melalui aset rumah tangga atau pribadi, yaitu pendapatan, kepemilikan rumah, tanah, barang berharga dan teknologi. Sedangkan untuk mendapatkan ukuran pendidikan, pertanyaan yang diajukan adalah mengenai pendidikan yang telah ditempuh oleh responden. Setelah dilakukan analisis data, didapatkan pendapatan 41 rata-rata masyarakat adalah sebesar Rp. 998.333,00 dengan pendapatan tertinggi sebesar Rp. 3.000.000,00 dan terendah sebesar Rp, 300.000,00. Berdasarkan data yang dihimpun, responden diklasifikasikan menjadi tiga yaitu responden dengan pendapatan rendah, rata-rata dan tinggi sehingga didapatkan bahwa sebanyak 73,3 persen responden memiliki pendapatan yang rendah dengan kisaran pendapatan antara Rp. 300.000,00 – Rp. 1.200.000,00. Sedangkan 23,3 persen responden memiliki pendapatan rata-rata yang berkisar antara Rp. 1.200.000,00 – Rp. 2.100.000,00. Sisanya sebesar 3,33 persen adalah responden dengan pendapatan tinggi yang pendapatannya berkisar antara Rp. 2.100.000,00 – Rp. 3.000.000,00. 1 7 Tinggi Menengah Rendah 22 Gambar 3. Sebaran Responden Berdasarkan Pendapatan, Katulampa Tahun 2010 Data di atas menunjukkan bahwa rata-rata responden berasal dari kalangan ekonomi menengah kebawah yaitu sebanyak 22 orang responden memiliki pendapatan dibawah Rp. 1.200.000,00. Banyaknya jumlah responden yang berada pada golongan ekonomi ini diakibatkan oleh pekerjaan yang dilakukan oleh responden rata-rata pada sektor iinformal seperti wiraswasta dan buruh yang tidak memberikan penghasilan yang cukup besar. Responden yang bekerja dalam 42 bidang wiraswasta yaitu sebesar 36,67 persen, buruh sebesar 26,67 persen, ibu rumah tangga dan pegawai swasta masing-masing sebesar 16,67 persen dan 10 persen serta diikuti oleh pegawai negeri, bertani dan pengangguran yang masingmasingnya sebesar 3,33 persen. Bertani 5 0101 1 Pegawai Negeri 3 Pegawai Swasta Wiraswasta 8 11 Buruh Ibu Rumah Tangga Pelajar Menganggur Pensiun Gambar 4. Sebaran Responden Berdasarkan Jenis Pekerjaan, Katulampa Tahun 2010 Data pada Gambar 4 menunjukkan bahwa sebagian besar responden memiliki usaha sendiri atau berwiraswasta dan buruh. Hal ini berhubungan dengan tingkat pendapatan responden yang tergolong ke dalam angka di bawah rata-rata atau tergolong berekonomi menengah ke bawah. Kegiatan wiraswasta yang dilakukan oleh responden rata-rata adalah berjualan atau pedagang kaki lima dan warung. Berdasarkan data pendapatan, aset kepemilikan rumah tangga berupa rumah, tanah, tabungan, dan benda berharga didapatkan jenjang ukuran kekayaan yang dimiliki oleh responden. Sebanyak 96,67 persen responden memiliki rumah yang luasnya dibawah 200 m2, dan sisanya adalah kepemilikan rumah seluas 1500 m2. Rata-rata luas rumah responden adalah seluas 122 m2. Responden yang 43 memiliki jenjang ukuran kekayaan yang rendah adalah sebanyak 30 persen, sedang atau menengah sebanyak 56,67persen dan tinggi sebanyak 13,3 persen. 17 Tinggi Menengah Rendah 4 9 Gambar 5. Stratifikasi Responden Berdasarkan Kekayaan, Katulampa Tahun 2010 Data responden berdasarkan tingkat kekayaan ini diukur berdasarkan kepemilikan rumah tangga, tidak hanya pendapatan tapi juga barang-barang berharga dan bernilai tinggi. Pendapatan tidak dapat menggambarkan aset atau kekayaan individu dan rumah tangga dengan baik, karena kepemilikan terhadap benda berharga juga merupakan salah satu bentuk kepemilikan materi yang tersimpan. Kepemilikan yang diukur, selain pendapatan adalah tabungan, kepemilikan barang-barang elektronik seperti televisi, radio, kulkas, komputer dan lainnya. Selain itu kepemilikan kendaraan juga menjadi salah satu ukuran dalam mengukur kekayaan. Kepemilikan terhadap hewan ternak juga dimasukkan ke dalam indikator pengukuran kekayaan. Hasil pengolahan data yang menentukan stratifikasi merupakan kombinasi dari kepemilikan individu atau pun rumah tangga. 44 Seperti dalam menentukan ukuran kekayaan, ukuran pendidikan ditentukan melaui pendidikan formal yang telah ditempuh oleh responden. Walaupun pendidikan formal tidak selalu dapat menjadi ukuran pengetahuan responden. Pertanyaan yang diajukan adalah menganai pendidikan terakhir yang responden tempuh dalam jalur formal. Didapatkan bahwa 36,67 persen responden menempuh pendidikan hanya sampai pada pendidikan dasar yaitu sekolah dasar. Responden yang menempuh pendidikan sampai pada jenjang sekolah menengah, baik sekolah menengah pertama maupun sekolah menengah atas adalah sebanyak 60 persen dan sisanya sebanyak 3,33 persen responden menempuh pendidikan tinggi. 20 18 18 Jumlah Responden 16 14 12 11 10 8 6 4 1 2 0 Pendidikan Dasar Pendidikan Menengah Pendidikan Tinggi Kategori Pendidikan Gambar 6. Sebaran Responden Berdasarkan Pendidikan, Katulampa Tahun 2010 Stratifikasi masyarakat ditentukan dengan berbagai ukuran, sebagaimana yang telah disebutkan diatas yaitu ukuran kekayaan, pendidikan, kekuasaan dan kehormatan. Ukuran kekuasaan dilihat dengan menggali informasi kepada beberapa informan mengenai siapa yang berkuasa di daerah tersebut. Kekuasaan 45 yang dimaksud oleh anggota masyarakat itu adalah kekuasaan formal yaitu ketua RT dan ketua RW di daerah setempat. Informan yang diwawancarai adalah ketua RT di RT 5 RW I yaitu Bapak E dan ketua RW IX yaitu Bapak S. Stratifikasi di dalam masyarakat terlihat dengan jelas apabila dilihat dari ukuran kekuasaan. Masyarakat menjadi lebih patuh terhadap orang-orang yang memiliki kekuasaan baik formal maupun informal. Sama halnya dengan ukuran kekuasaan, ukuran kehormatan juga didapatkan melalui wawancara dengan beberapa orang informan mengenai orang yang mendapatkan kehormatan lebih dibandingkan dengan masyarakat lainnya. Informan yang diwawancarai adalah Ibu Z. Ibu Z sangat dihormati oleh masyarakat setempat karena suaminya dipercayai sebagai penolak banjir atau orang yang dipercaya dapat mengontrol saat datangnya banjir agar dampak banjir tidak menjadi lebih merugikan. Ibu Z mendapatkan kehormatan yang lebih dibandingkan dengan masyarakat lainnya juga sebagai orang yang lebih dituakan di daerah tersebut karena beliau adalah penduduk asli daerah tersebut dan telah lama tinggal di daerah tersebut. 5.4 Kearifan Lokal Kearifan lokal menurut Shaw (2008) merupakan segala sesuatu yang berkaitan secara spesifik dengan budaya tertentu dan mencerminkan gaya hidup suatu masyarakat tertentu. Kearifan lokal merupakan cara dan praktik-praktik yang dikembangkan oleh sekelompok masyarakat, yang berasal dari pemahaman yang mendalam mengenai lingkungan setempat, yang terbentuk dari tempat tinggal mereka secara turun temurun. 46 Kelurahan Katulampa merupakan daerah yang sangat luas dengan jumlah RW sebanyak 13 RW dan jumlah penduduk lebih dari 6.000 kepala keluarga. Penduduknya tidak berasal dari daerah setempat saja, akan tetapi juga dari luar daerah yang menetap di daerah Katulampa. Khususnya di daerah penelitian yaitu RT 5 RW I dan RT 3 RW IX dijumpai adanya praktik-praktik yang dikembangkan oleh masyarakat dan berkembang secara turun temurun. Masyarakat setempat memiliki kepercayaan bahwa banjir akan datang apabila batu yang berukuran besar di pinggir sungai sudah terendam sampai atas. Batu tersebut telah menjadi ukuran sejak lama dan memberikan peringatan kepada masyarakat setempat untuk bersiap-siap dalam menghadapi banjir. Tinggi batu tersebut kurang lebih 2,5 meter. Selama ini batu tersebut telah memberikan peringatan datangnya banjir kepada masyarakat, akan tetapi berbeda dengan banjir yang terjadi pada Februari 2010 lalu. Banjir yang melanda daerah tersebut adalah banjir bandang, sehingga masyarakat tidak dapat bersiap-siap dan tidak ada tandatanda terendamnya batu tersebut sebelumnya. Pada saat terjadinya banjir, masyarakat mempercayai bahwa salah seorang anggota masyarakat dapat mengusir banjir yang melanda daerah tersebut. Menurut penuturan beberapa orang informan terdapat sebuah kepercayaan yang berkembang di dalam masyarakat mengenai banjir. Informan mengatakan bahwa Bapak A mampu untuk mengusir banjir dengan cara mengambil air banjir tersebut dengan wajan, kemudian di rebus dan diberikan do’a-do’a. Kemudian air yang direbus tersebut dibuang kembali ke arah sungai. Kepercayaan ini telah lama diyakini oleh masyarakat setempat dan menurut pengakuan Ibu T, air yang diberikan do’a-do’a tersebut mujarab dan langsung menyurutkan banjir yang 47 melanda daerah tersebut. Hal ini juga dilakukan pada saat banjir yang terjadi Februari 2010 lalu. Selain kepercayaan mengenai banjir, masyarakat juga memiliki kepercayaan mengenai lingkungannya, yaitu pohon-pohon yang berada disekitar mereka. Masyarakat yang menganggap bahwa pohon-pohon yang berada di sekitar mereka memiliki penunggu berupa arwah atau roh adalah sebanyak 40 persen. Masyarakat yang menganggap pohon-pohon tersebut memiliki penunggu menyatakan bahwa mereka tidak akan menebang pohon tersebut. Kepercayaankepercayaan inilah yang membuat lingkungan mereka menjadi lebih lestari karena adanya rasa takut untuk melakukan penebangan pohon secara sembarangan. Oleh karena itu jumlah pohon tidak berkurang, sehingga air yang dapat diserap lebih banyak. 5.5 Pengetahuan dan Sikap Masyarakat Kelurahan Katulampa memiliki pengetahuan mengenai lingkungan yang mempengaruhi gaya hidup mereka. Pengetahuan ini bisa disebut sebagai pengetahuan masyarakat mengenai lingkungan. Selain itu masyarakat juga memiliki pengetahuan mengenai banjir. Selain pengetahuan, masyarakat juga memiliki sikap tersendiri terhadap lingkungan sekitarnya, baik yang melestarikan maupun yang tidak melestarikan. Pengetahuan yang dimiliki oleh responden mengenai lingkungan, dalam hal ini khususnya banjir dapat dilihat dari beberapa pertanyaan yang diajukan kepada responden. Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan berhubungan dengan pengetahuan responden mengenai bencana banjir, yaitu pengetahuan mengenai rawan bencana, penyebab banjir, akibat banjir, cara mengurangi resiko banjir dan 48 pihak-pihak yang ikut serta dalam penanggulangan banjir. Dalam pertanyaanpertanyaan ini responden dituntut untuk menggali pengetahuannya mengenai lingkungan yang mengakibatkan terjadinya bencana, yaitu banjir. Pengetahuan responden menganai rawan bencana dijabarkan dalam Tabel 5 berikut. Responden yang memilih jawaban “rawan bencana merupakan keadaan dimana suatu daerah rentan untuk mengalami bencana dan orang-orang yang berada di daerah tersebut tidak mampu untuk mengatasinya” adalah sebanyak 63,33 persen. Sebanyak 26,67 persen responden menjawab “rawan bencana merupakan keadaan dimana suatu daerah rentan untuk mengalami bencana”. Sedangkan responden yang menjawab “rawan bencana merupakan keadaan dimana suatu daerah tidak dapat mengalami bencana” adalah sebanyak 6,67 persen dan sisanya 3,33 persen responden tidak menjawab pertanyaan tersebut. Tabel 4. Pengetahuan Mengenai Rawan Bencana oleh Responden Korban Banjir, Katulampa Tahun 2010 Pengertian Rawan Bencana Keadaan dimana suatu daerah tidak dapat mengalami bencana Keadaan dimana suatu daerah rentan untuk mengalami bencana Keadaan dimana suatu daerah rentan untuk mengalami bencana dan orang-orang yang berada di daerah tersebut tidak mampu untuk mengatasinya Tidak Menjawab Jumlah Jumlah % 2 6,67 8 26,67 19 63,33 1 30 3,33 100 Lebih dari 60 persen responden mengetahui bahwa daerah rawan bencana tidak hanya daerah yang rentan mengalami bencana akan tetapi juga orang-orang yang berada di daerah tersebut tidak mampu untuk mengatasinya atau orang-orang yang berada di daerah tersebut kurang siap untuk menghadapi bencana. 49 Sedangkan yang menjawab daerah rawan bencana hanya diakibatkan oleh daerah yang rentan untuk mengalami bencana menempati urutan kedua. Responden yang menjawab tersebut hanya melihat dari sisi alamnya, tidak memandang kesiapan dari diri mereka sendiri untuk mengatasi bencana. Jawaban responden bahwa rawan bencana merupakan keadaan dimana suatu daerah tidak dapat mengalami bencana menempati posisi terakhir. Berdasarkan jawaban responden tersebut dapat dilihat bahwa responden tidak terlalu memahami mengenai daerah rawan bencana. Daerah rawan bencana bisa ada dimana saja sehingga mampu tidak mampu daerah tersebut tetap dianggap sebagai daerah yang rawan bencana. Responden yang tidak menjawab pertanyaan tidak dapat digali pengetahuannya karena tidak menjawab pertanyaan belum tentu tidak mengetahui jawaban. Setelah responden digali pengetahuannya mengenai daerah rawan bencana, pengetahuan responden juga digali mengenai penyebab terjadinya banjir. Dari pertanyaan tersebut dipaparkan lima jawaban dimana responden diperbolehkan untuk memilih lebih dari satu jawaban. Tabel 5. Pengetahuan Responden Mengenai Penyebab Banjir, Katulampa Tahun 2010 (N=30) Penyebab Banjir Banjir dapat diakibatkan oleh hujan lebat yang airnya sudah melebihi daya tampung sungai. Banjir dapat diakibatkan oleh kurangnya daerah resapan air sungai yaitu dengan bertambahnya bangunan di pinggiran sungai. Banjir dapat diakibatkan oleh kurangnya penyerap air seperti pohon-pohon. Banjir dapat diakibatkan oleh terjadinya penumpukan sampah di aliran sungai. Banjir dapat diakibatkan oleh tersumbatnya saluran air/ selokan oleh sampah padat. Jumlah % 28 93,33 18 60,00 19 63,33 14 46,67 12 40,00 50 Berdasarkan Tabel 6, terlihat bahwa sebanyak 93,33 persen responden memilih hujan lebat sebagai penyebab utama terjadinya banjir. Hilangnya pohonpohon sebagai penyerap air menjadi penyebab kedua setelah hujan lebat. Jumlah responden yang memilih hilangnya pohon-pohon adalah sebanyak 63,33 persen. Tidak berbeda jauh, sebanyak 60 persen responden juga memilih bertambahnya jumlah bangunan di pinggir sungai yang mengurangi daerah resapan air. Sedangkan sampah yang menumpuk di aliran sungai dan sampah padat di saluran air tidak banyak dipilih oleh responden. Hanya 46,67 persen dan 40 persen responden yang memilih sampah sebagai salah satu penyebab terjadinya banjir. Pengetahuan responden mengenai penyebab terjadinya banjir didapatkan berdasarkan pengalaman yang dilihat selama ini. Kebanyakan responden melihat bahwa banjir selama ini datang diakibatkan oleh adanya hujan lebat atau hujan besar di daerah hulu dan terbawa hingga ke daerah tengah dan hilir. Responden kurang melihat penyebab tidak langsung terjadinya banjir, yaitu berkurangnya pohon-pohon sebagai penyerap air, berkurangnya daerah resapan air, serta sampah yang menumpuk di aliran sungai. Seorang responden yang bernama Ibu A (46 tahun) menyatakan, “... sampah mah ga ngaruh sama banjir, soalnya sampah yang dibuang palingan dikit, satu kantong plastik aja. Itu kan ngga menghambat aliran sungai... ” Responden lebih memandang banjir diakibatkan oleh alam dan sedikit campur tangan dari manusia. Padahal banjir tidak hanya diakibatkan oleh alam, akan tetapi juga tindakan manusia yang merusak alam tanpa memperhatikan kelestariannya sehingga alam menjadi tidak seimbang dan berdampak pada bencana-bencana yang terjadi akhir-akhir ini. 51 Pengetahuan responden mengenai banjir tidak hanya sebatas penyebabnya, akan tetapi juga akibat dari banjir. Pertanyaan yang diajukan kepada responden untuk menggali pengetahuan responden mengenai akibat banjir adalah “banjir dapat mengakibatkan” dan responden diberikan alternatif jawaban yang diperbolehkan untuk memilih lebih dari satu jawaban. Tabel 6. Pengetahuan Responden Mengenai Akibat Banjir, Katulampa Tahun 2010 (N=30) Akibat Banjir Banjir dapat mengakibatkan tergenangnya daerah yang berada di sekitar sungai. Banjir dapat menghanyutkan berbagai barang dan harta. Banjir dapat merusak berbagai sarana seperti jembatan, tanggul, bendungan, jalan dan rumah. Banjir dapat mengakibatkan terganggunya layanan umum seperti air dan listrik. Banjir dapat mengakibatkan tergenangnya lahan pertanian, perikanan dan peternakan Jumlah % 20 66,67 23 20 76,67 66,67 13 43,33 14 46,67 Responden lebih banyak memilih akibat dari banjir adalah hanyutnya berbagai barang dan harta, yaitu sebanyak 76,67 persen. Menurut responden banjir juga mengakibatkan tergenangnya daerah yang berada di sekitar sungai dan rusaknya sarana seperti jembatan, tanggul, bendungan, jalan dan rumah, yang masing-masingnya 66,67 persen dari jumlah responden yang memilih jawaban ini. Selain itu menurut 46,67 persen responden banjir juga mengakibatkan tergenangnya lahan pertanian dan terakhir banjir dapat mengakibatkan terganggunya layanan umum seperti air dan listrik sebanyak 43,33 persen. Hanyutnya berbagai barang dan harta sebagai akibat dari banjir lebih banyak dipilih oleh responden karena pengalaman responden pada saat banjir yang terjadi bulan Februari tahun 2010 lalu. Kerugian yang dialami oleh reponden rata-rata adalah hanyut dan rusaknya barang-barang berharga seperti barang- 52 barang elektronik dan peralatan rumah tangga. Rusaknya rumah juga menjadi kerugian yang seluruh responden alami pada saat banjir terjadi. Kebanyakan responden tidak bekerja dalam bidang pertanian, perikanan maupun peternakan sehingga responden tidak banyak yang memilih rusaknya lahan pertanian, perikanan dan peternakan sebagai akibat dari terjadinya banjir. Sedangkan rusaknya layanan umum seperti air dan listrik tidak terlalu dirasakan pada saat itu. Menurut salah seorang informan yaitu Bapak E (59 tahun) layanan listrik dan air tidak terputus sesuai dengan pernyataannya, “waktu banjir kemaren listriknya ga mati, yang ada malah listriknya kita yang matiin. Takutnya ada konslet, tapi pas airnya udah surut listriknya dinyalain lagi”. Selanjutnya masyarakat diminta untuk menjawab pertanyaan yang berhubungan dengan resiko banjir. Sama halnya dengan pertanyaan sebelumnya, responden diperbolehkan untuk menjawab pertanyaan lebih dari satu jawaban. Berikut persentase responden yang menjawab pada setiap pilihan jawaban. Tabel 7. Pengetahuan Responden Mengenai Cara Mengurangi Resiko Banjir, Katulampa Tahun 2010 (N=30) Cara Mengurangi Resiko Banjir Jumlah Mendirikan bangunan dengan jarak lebih dari 50 meter dari 14 sungai. Mendirikan jalan dengan jarak lebih dari 50 meter dari 7 sungai. Menanam pohon di sekitar sungai. 15 Membuang sampah pada tempatnya. 22 Membersihkan saluran air/ drainase secara rutin. 15 % 46,67 23,33 50,00 73,33 50,00 Berdasarkan data yang dihimpun, pengetahuan responden mengenai cara untuk mengurangi resiko banjir yang paling banyak dipilih adalah dengan membuang sampah pada tempatnya dimana 73,33 persen responden memilih 53 jawaban ini. Selain itu, responden juga memilih cara untuk mengurangi resiko banjir dengan cara menanami pohon di sekitar sungai dan membersihkan saluran air/ drainase secara rutin, yang dipilih masing-masingnya oleh 50 persen reponden. Sebanyak 46,67 persen reponden memilih dengan cara mendirikan bangunan dengan jarak lebih dari 50 meter dapat menurangi resiko banjir dan sebanyak 23,33 persen responden memilih dengan mendirikan jalan dengan jarak lebih dari 50 meter dari sungai. Data pengetahuan responden mengenai cara mengurangi resiko banjir melalui membuang sampah pada tempatnya seperti yang dijelaskan pada Tabel 7 tidak sesuai dengan pengetahuan responden mengenai penyebab banjir yang dijelaskan pada Tabel 5 mengenai penumpukan sampah di aliran sungai. Hal ini disebabkan oleh pertanyaan ini diberikan hanya untuk menggali pengetahuan responden mengenai penyebab dan pengurangan resiko banjir. Responden juga sudah sering terdedah dengan kata-kata “buanglah sampah pada tempatnya”. Hal ini juga dibuktikan dengan tindakan mereka saat membuang sampah. Berdasarkan data yang dihimpun, responden yang membuang sampah ke sungai sebanyak 63,33 persen, membuang sampah di tempat pembuangan sampah 20 persen dan 16,67 persen sisanya membuang sampah di lapangan atau kebun kosong. Terlihat bahwa antara pengetahuan, sikap dan tindakan responden tidak berjalan beriringan atau sejajar. Tabel 8. Sebaran Responden Berdasarkan Tempat Pembuangan Sampah Rumah Tangga, Katulampa Tahun 2010 Tempat pembuangan sampah rumah tangga Tempat pembuangan sampah Lapangan atau kebun kosong Sungai Jumlah 6 5 19 % 20,00 16,67 63,33 54 Sikap responden ini tidak sesuai dengan pengetahuan mereka mengenai akibat dari membuang sampah di aliran sungai atau membuang sampah sembarangan. Responden hanya memiliki pengetahuan namun tidak mampu atau tidak melakukan sesuai dengan pengetahuan yang mereka miliki. Hal ini diakibatkan oleh tidak adanya inisiatif pemerintah ataupun masyarakat untuk menggunakan jasa pembuangan sampah atau membangun tempat pembuangan sampah. Terakhir, pengetahuan responden mengenai bencana dan lingkungan diukur melalui pertanyaan mengenai partisipasi pihak-pihak yang seharusnya terlibat dalam penanggulangan banjir. Pengetahuan responden yang digali adalah pendapat responden mengenai siapa saja yang seharusnya ikut berperan serta dalam penanggulangan banjir. Tabel 9. Pengetahuan Responden Mengenai Partisipasi dalam Penanggulangan Banjir, Katulampa Tahun 2010 (N=30) Aktor dalam Penanggulangan Bencana Pemerintah Masyarakat Lembaga Swadaya Masyarakat Jumlah 21 28 12 % 70,00 93,33 40,00 Berdasarkan Tabel 9 di atas dapat dilihat bahwa yang memiliki peran paling besar dalam penanggulangan banjir adalah masyarakat. Masyarakat dianggap yang memiliki peran lebih besar karena masyarakat yang merasakan banjir tersebut, sedangkan pemerintah maupun LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) perannya hanya sebatas memberikan bantuan saja. Terlihat berdasarkan data yang dihimpun, hanya 70 persen dari responden yang menganggap pemerintah juga memiliki peran dalam penanggulangan bencana sedangkan LSM memiliki posisi terakhir setelah pemerintah, yaitu hanya 40 55 persen responden yang memilih LSM menjadi salah satu pihak yang berperan serta dalam penanggulangan banjir. Hal tersebut diakibatkan oleh pengalaman responden dalam penanggulangan banjir yang terjadi pada Februari 2010 lalu. Pada saat terjadinya banjir, responden dan masyarakat lainnya berusaha untuk melakukan tanggap darurat bersama-sama dan dibantu oleh masyarakat lain yang tidak mengalami banjir. Masyarakat mengevakuasi diri mereka sendiri ke daerah yang lebih tinggi dan tidak tergenang oleh air pada saat banjir. Walaupun banjir tersebut terjadi hanya dalam waktu kurang lebih 1 jam, masyarakat tetap merasakan kepanikan karena banjir yang datang adalah banjir bandang tanpa peringatan. Pemerintah pada saat itu hanya memberikan bantuan berupa uang dan makanan, namun tidak menyediakan alat-alat untuk membersihkan daerah yang telah digenangi air. Begitu pula dengan Lembaga Swadaya Masyarakat, mereka tidak memberikan bantuan terhadap korban banjir tersebut. Pada saat itu, masyarakat juga mendapatkan bantuan dari Rumah Sakit PMI berupa obat-obatan. Selain pengetahuan, sikap responden mengenai lingkungan juga dapat digolongkan kedalam kearifan lokal, kearifan tersebut tidak hanya pengetahuan tapi juga sikap dan tindakan. Sikap responden diukur melalui sikapnya terhadap alam dan kelestariannya. Responden diberikan pernyataan-pernyataan yang dapat diukur melalui tingkatan persetujuan responden terhadap pernyataan tersebut. Responden diminta untuk memberikan respon melalui pilihan persetujuan tersebut. Pernyataan dan jawaban yang diberikan responden dapat dilihat pada Tabel 10 berikut. 56 Tabel 10. Sebaran Responden Berdasarkan Sikap Terhadap Alam, Katulampa Tahun 2010 Pernyataan Jika tanaman/ pohon tidak memberikan manfaat kepada saya, maka saya boleh memperlakukannya sesuka hati saya. Jika saya membutuhkan lahan untuk membuat rumah/ bertani, saya akan menebang pohon untuk membuka lahan tanpa memperhatikan kelestariannya. Kehidupan saya bergantung pada keadaan alam (mis: cuaca) Selama saya masih bisa mengambil manfaat dari alam saya akan menggunakan sesuka hati saya Sangat Tidak Setuju Tidak Setuju Kurang Setuju Setuju Sangat Setuju 26,67 % 56,67 % 3,33 % 13,33 % 0% 40,00 % 43,33 % 10,00 % 6,67 % 0% 16,67 % 43,33% 23,33 % 13,33 % 3,33 % 26,67 % 43,33 % 20,00 % 10,00 % 0% Tabel 10 menunjukkan sikap responden terhadap alam sekitarnya, sikap responden dalam hal kelestarian alamnya. Dari data diatas, dapat dianalisis bahwa masyarakat memiliki sikap yang cukup baik terhadap alam. Pada pernyataan yang meminta masyarakat untuk menyikapi alam yang tidak memberikan manfaat, 83,33 persen responden menyatakan ketidaksetujuannya untuk memanfaatkan alam dengan sesuka hati, baik sangat tidak setuju maupun tidak setuju saja. Begitu pula dengan pernyataan yang mengaitkan antara kebutuhan pokok, yaitu rumah dengan kelestarian alam. Responden memilih tidak setuju dan sangat tidak setuju untuk pernyataan ini, yaitu sebanyak 83,33 persen. Sedangkan keinginan 57 responden untuk memanfaatkan alam sebanyak-banyaknya selama masih bisa dimanfaatkan juga sangat kurang, yang terlihat melalui ketidaksetujuan responden sebanyak 70 persen untuk tidak memanfaatkan alam sesuka hati. Sebagian besar responden, sekitar 60 persen responden merasa kehidupannya tidak bergantung pada keadaan alam, seperti cuaca. Responden lebih banyak bekerja pada bidang wiraswasta dan buruh, sehingga cuaca tidak terlalu menjadi halangan untuk melakukan kegiatan karena rata-rata setiap harinya Bogor diguyur hujan pada saat sore hari. Aktivitas yang dilakukan menjadi tidak terlalu terganggu karena jam kerja sudah berakhir. BAB VI KESIAPSIAGAAN DAN MITIGASI BENCANA 6.1 Kesiapsiagaan Indonesia merupakan negara yang sangat sering mengalami bencana, seperti gempa, tsunami, banjir, dan gunung meletus. Dalam beberapa tahun terakhir telah banyak daerah yang menjadi korban bencana, salah satunya adalah Katulampa. Daerah Katulampa dialiri oleh salah satu sungai besar yang berada di daerah Jawa Barat hingga ke Jakarta, yaitu Sungai Ciliwung. Sungai Ciliwung telah mempunyai catatan sejarah yang buruk bagi masyarakat Jakarta karena setiap tahunnya selalu mengakibatkan terjadinya banjir. Tidak hanya Jakarta dan sekitarnya, Bogor juga pernah mengalami banjir akibat meluapnya debit air Sungai Ciliwung. Salah satu daerah yang mengalami banjir bandang akibat naiknya jumlah debit air Ciliwung adalah Katulampa. Air yang meluap merendam rumah warga dengan ketinggian lebih dari 1 meter. Dilihat dari sejarah banjir yang terjadi di sepanjang Ciliwung, Katulampa dapat digolongkan menjadi daerah rawan bencana banjir. Dalam 10 tahun terakhir, Katulampa telah dilanda banjir sebanyak dua kali. Oleh karena itu masyarakat yang berada di Katulampa, khususnya yang berada di sepanjang aliran Sungai Ciliwung harus memiliki tingkat kesiapsiagaan yang tinggi. Tidak hanya dari pemerintah, akan tetapi juga dari masyarakatnya sendiri. Kesiapsiagaan masyarakat ditelaah melalui pertanyaan-pertanyaan yang berhubungan dengan kegiatan-kegiatan preventif yang seharusnya dilakukan oleh masyarakat sebelum terjadinya banjir, seperti keikutsertaan dalam asuransi, perlindungan terhadap barang-barang berharga, persiapan terhadap daerah 59 evakuasi, persedian kebutuhan hidup sebelum terjadinya banjir, kepemilikan barang-barang pokok untuk perlindungan keluarga saat terjadi bencana dan sharing pengetahuan mengenai kebencanaan kepada orang-orang terdekat seperti keluarga. Kesiapsiagaan itu sendiri merupakan usaha yang dilakukan untuk meningkatkan kemampuan suatu masyarakat untuk menghadapi kemungkinan terjadinya bencana, misalnya melalui peningkatan kemampuan diri dan keluarga. Kegiatan yang dapat dilakukan adalah dengan mempersiapkan keluarga dengan mengikuti asuransi kesehatan maupun asuransi jiwa, mempersiapkan barangbarang yang mungkin dibutuhkan pada saat terjadinya bencana seperti makanan dan tenda, memberikan perlindungan menyuluruh pada barang-barang yang dianggap berharga dan memperkuat pengetahuan mengenai kebencanaan. Untuk mengukur tingkat kesiapsiagaan masyarakat dalam mengahadapi kemungkinan terjadinya bencana, diberikan pernyataan-pernyataan yang berhubungan dengan sikap yang akan diambil masyarakat apabila responden diposisikan dalam kondisi akan terjadi bencana. Dari pernyataan tersebut responden diminta untuk memberikan tanggapan persetujuan. Pernyataan yang diberikan kepada responden dapat dilihat pada Tabel 12. 60 Tabel 11. Sebaran Responden Berdasarkan Kesiapsiagaan dan Respon Responden terhadap Banjir Katulampa (2010) Pernyataan Apabila terjadi banjir, saya dan keluarga akan memindahkan barang-barang berharga ke tempat yang aman. Apabila terjadi banjir, saya dan keluarga akan pindah ke daerah evakuasi. Saya akan membeli persediaan makanan apabila debit air sungai sudah pada status siaga 4. Saya akan memindahkan barang-barang berharga saya apabila debit air sungai sudah pada status siaga 4. Saya memberikan pendidikan mengenai kebencanaan kepada anggota keluarga saya. Sangat Tidak Setuju Tidak Setuju Kurang Setuju Setuju Sangat Setuju 0% 3,33 % 0% 50,00 % 46,67 % 0% 0% 0% 63,33 % 36,67 % 10,00 % 26,67 % 33,33 % 26,67 % 3,33 % 3,33 % 3,33 % 0% 66,67 % 26,67 % 6,67 % 3,33 % 0% 73,33 % 16,67 % Data sikap di atas menunjukkan bahwa persiapan responden dalam menghadapi bencana khususnya untuk pengamanan barang-barang berharga cukup baik. Hanya 3,33 persen responden yang menyatakan ketidaksetujuannya terhadap pengamanan barang-barang berharga dalam menghadapi bencana. Sedangkan sisanya menyatakan kesetujuannya terhadap pengamanan barangbarang yang dianggap berharga oleh responden, dengan tingkat kesetujuan yaitu setuju sebesar 50 persen dan sangat setuju sebesar 46,67 persen. Berdasarkan pengakuan beberapa orang responden barang-barang berharga yang mereka amankan biasanya adalah surat-surat penting. Barang-barang berharga lainnya seperti televisi, kulkas, dan lainnya menjadi pilihan terakhir untuk diamankan karena ukurannya yang besar dan sulit untuk memindahkannya. Menurut sebagian 61 besar responden, hal pertama yang harus diselamatkan adalah nyawa keluarga. Barang-barang berharga lainnya akan diselamatkan apabila seluruh anggota keluarga sudah aman. Data di atas juga menunjukkan bahwa seluruh responden akan berpindah ke daerah evakuasi apabila terjadi banjir. Tingkat persetujaun responden berbeda, namun menunjukkan sikap yang sama yaitu akan berpindah apabila terjadi banjir. Responden yang setuju adalah sebanyak 63,33 persen sedangkan yang menyatakan sangat setuju adalah sebanyak 36,67 persen. Responden menyatakan bahwa selama ini tidak ada daerah evakuasi khusus yang disediakan oleh pemerintah bagi masyraakat yang mengalami banjir. Akan tetapi mereka pindah ke daerah yang lebih aman dan sedikit lebih dekat dengan lokasi banjir. Mereka tidak mau untuk meninggalkan daerah terlalu jauh untuk memastikan bahwa barang-barang yang tertinggal di dalam rumah lebih aman. Biasanya tempat yang dijadikan sebagai tempat perlindungan adalah rumah tetangga yang lebih tinggi dan tidak terkena banjir. Dalam menghadapi kemungkinan terjadinya banjir, hanya 30 persen dari responden yang setuju untuk membeli persediaan makanan untuk berjaga-jaga jika pasokan makanan habis atau terbawa hanyut. Dari jumlah responden yang setuju, hanya 3,33 persen yang menyatakan sangat setuju sedangkan sisanya menyatakan setuju. Responden yang menyatakan kurang setuju adalah sebanyak 33,33 persen, tidak setuju sebanyak 26,67 persen dan sangat tidak setuju sebanyak 10 persen. Kecenderungan responden memilih kurang setuju maupun tidak setuju adalah karena anggapan responden mengenai pasokan makanan itu sendiri. Mereka menyatakan bahwa menyiapkan pasokan makanan tidak terlalu penting 62 karena di sekitar daerah rawan banyak terdapat warung yang dapat menyediakan bahan kebutuhan pokok. Selain itu berdasarkan pengalaman responden dari banjir tahun lalu, pemerintah biasanya memberikan pasokan bahan makanan selama satu minggu kepada korban banjir. Oleh karena itu mereka tidak terlalu membutuhkan persediaan makanan yang berlebih. Ketika debit air sudah mulai meningkat, 93,33 persen responden menyatakan bahwa mereka akan memindahkan barang-barang berharga mereka ke tempat yang lebih aman. Dari jumlah tersebut, sebanyak 66,67 persen menyatakan setuju dan 26,67 persen menyatakan sangat setuju. Sikap responden ini memang sudah terlihat juga pada pernyataan mengenai memindahkan barang pada saat terjadi banjir. Akan tetapi, pada bagian ini responden ditanyakan sikapnya apabila sudah ada tanda-tanda akan terjadinya banjir yaitu status ketinggian sungai sudah mencapai Siaga 4. Hampir seluruh responden menyatakan bahwa mereka akan memindahkan barang-barang berharga mereka ke tempat yang lebih aman. Salah seorang responden menyatakan bahwa ia memiliki kotak penyimpanan khusus untuk menyimpan surat-surat berharga. Untuk daerah RT 5 RW I yang letaknya jauh dari bendungan, mereka menggunakan ukuran ketinggian air yang merendam batu besar dipinggir sungai. Selain persiapan secara materi, responden juga membutuhkan kesiapsiagaan pengetahuan mengenai kebencanaan. Sebagian besar responden, yaitu 90 persen dari jumlah total responden memberikan pendidikan mengenai kebencanaan kepada anggota keluarganya. Pendidikan kebencanaan yang mereka berikan biasanya adalah mengenai tanda-tanda datangnya banjir dan akibat dari 63 banjir tersebut. Pengetahuan yang diberikan bisa juga berupa larangan-larangan untuk mendekati sungai apabila debit air sudah naik. Untuk dapat meningkatkan kemampuan menghadapi bencana, masyarakat juga harus mempersiapkan alat-alat yang mungkin dibutuhkan pada saat terjadinya bencana. Salah satunya adalah dengan mempersiapkan tempat yang mampu untuk menampung keseluruhan keluarga dan menyimpan barang-barang berharga, seperti tenda. Di daerah penelitian tidak satu pun ditemukan responden yang memiliki tenda untuk menampung keluarga apabila terjadi banjir. Hal ini diakibatkan oleh akses responden yang mudah untuk mendapatkan tempat perlindungan seperti rumah masyarakat lainnya yang tidak mengalami banjir. Persiapan lain yang seharusnya dilakukan oleh masyarakat yang berada di daerah rawan bencana adalah keikutsertaan dalam asuransi, baik asuransi kesehatan maupun asuransi jiwa. Asuransi memberikan jaminan kepada anggotanya untuk mendapatkan pelayanan kesehatan. Bencana juga memberikan dampak pada kesehatan korban setelah terjadinya bencana. Untuk itu diperlukan persiapan yang matang terhadap kesehatan untuk mengatasi dampak kesehatan setelah terjadinya bencana. Di daerah penelitian RT 5 RW I dan RT 3 RW IX hanya 6,67 persen responden yang memiliki asuransi. Sedangkan yang lainnya tidak memiliki asuransi, baik asuransi kesehatan maupun asuransi jiwa. Tabel 12. Sebaran Responden Berdasarkan Kepemilikan Asuransi Kepemilikan Asuransi Asuransi Kesehatan Asuransi Jiwa Tidak Mengikuti Asuransi TOTAL Jumlah 2 0 28 30 % 6,67 0 93.33 100 64 Kepemilikan asuransi oleh responden tidak dianggap terlalu penting karena anggapan responden bahwa untuk mendapatkan asuransi harus memiliki jaminan keuangan yang pasti tiap bulannya. Kebanyakan responden memiliki status ekonomi yang tidak tinggi sehingga respondennya tidak mampu untuk membayar asuransi dengan rata-rata responden berpenghasilan sekitar Rp. 300.000,00 sampai Rp. 1.200.000,00. Penghasilan tersebut hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari keluarga responden. Responden yang memiliki asuransi adalah responden yang bekerja sebagai pegawai negeri yang memang mendapatkan jaminan kesehatan dari pemerintah. Kesiapsiagaan ini tidak datang hanya dari masyarakat yang berada di daerah yang rawan bencana saja. Akan tetapi juga dari pemerintah setempat yang memiliki kebijakan untuk meningkatkan kesiapsiagaan pemerintah maupun masyarakat untuk menghadapi kemungkinan terjadinya bencana. Kesiapsiagaan yang dapat dilakukan oleh pemerintah adalah melalui pengaktifan pos-pos siaga bencana, pelatihan siaga bencana, membeli dan membuat peralatan pendukung dalam keadaan darurat, simulasi bencana, pembentukan tim penyelamatan dan tim kesehatan, pembagian media publikasi mengenai ancaman bencana dan tindakan pencegahannya, serta mempersiapkan alat peringatan datangnya bahaya. Wawancara mengenai kesiapsiagaan pemerintah kelurahan dilakukan dengan wawancara kepada salah satu anggota TAGANA (TARUNA SIAGA BENCANA) tingkat Kecamatan Bogor Timur yang juga merupakan pegawai Kelurahan Katulampa, yaitu Bapak K. Bapak K menyatakan bahwa pada saat banjir sudah memiliki tanda-tanda akan datang, seluruh aparat yang ada di dalam masyarakat mulai bersiapsiaga dalam menghadapi kemungkinan terjadinya banjir. 65 Untuk pertama, pihak penjaga bendungan memberitahukan kondisi air di bendungan Katulampa, jadi apabila debit air meningkat masyarakat dapat bersiapsiap menghadapi kemungkinan terjadinya banjir. Pemerintah kelurahan menyampaikan informasi dari pihak bendungan kepada ketua RT dan ketua RW yang berada di daerah rawan bencana agar bersiaga. Kemudian baru masyarakat diberitahu oleh ketua RT atau ketua RW setempat. Jika kemungkinan terjadinya banjir besar atau memang sudah terjadi banjir, pihak kelurahan akan langsung mengaktifkan pos-pos siaga bencana banjir untuk penanganan dalam tanggap darurat. Aparat pemerintah kemudian menghubungi DISNAKERSOS (Dinas Tenaga Kerja dan Sosial) untuk mendapatkan peralatan-peralatan yang dibutuhkan untuk tanggap darurat. Pemerintah kelurahan sendiri tidak memiliki alat-alat tanggap darurat seperti tenda dan obat-obatan. Birokrasi yang ada pada prosedur tanggap darurat ini dinilai lamban karena kesiapan dinas yang bertanggung jawab belum tentu tinggi, sehingga seharusnya pemerintah setempat memiliki alat-alat tanggap darurat tanpa harus menunggu bantuan dari dinas lain. Sesuai dengan wawancara dengan Bapak K (38 tahun) yang merupakan salah satu anggota TAGANA, beliau menyatakan: “... jadi, kalau udah banjir baru pihak kelurahan menghubungi DISNAKERSOS buat mendapatkan alat-alat bantuan untuk tanggap darurat seperti bahan makanan, tenda dan obat-obatan...” Pada masa tanggap darurat, pemerintah setempat membentuk tim penyelamatan yang terdiri atas SATKORLAK (Satuan Koordinasi Pelaksana) dan ketua-ketua RT yang gunanya adalah untuk membantu masyarakat dalam masa tanggap darurat seperti evakuasi ketempat yang lebih aman dan menjamin keselamatan anggota keluarga lainnya. Tim kesehatan tidak dibentuk oleh 66 pemerintah kelurahan karena biasanya apabila terjadi bencana, DISNAKERSOS langsung bekerja sama dengan rumah sakit Palang Merah Indonesia (PMI) untuk tanggap darurat dan pemeriksaan kesehatan setelah terjadinya bencana. Tim kesehatan ini sebenarnya juga harus langsung ada pada saat tanggap darurat dan tidak menunggu bantuan dari rumah sakit karena apabila terjadi keadaan bahaya maka pertolongan pertama harus dilakukan. Sebelum terjadinya banjir, alat peringatan akan terjadinya bencana harus diaktifkan sehingga masyarakat mengetahui dan bersiap untuk menghadapi bencana. Akan tetapi di Kelurahan Katulampa atau pun di bendungan Katulampa tidak terdapat alat peringatan akan terjadinya banjir. Untuk memberitahukan kepada masyarakat, pemerintah kelurahan dan penjaga bendungan hanya melakukan koordinasi melalui telepon dan tidak ada sirine atau alat khusus yang memberitahukan datangnya banjir. Begitu pula dengan media publikasi seperti poster, leaflet ataupun brosur mengenai bencana dan penanggulangannya juga tidak disebar oleh pemerintah setempat. Pemerintah hanya memberikan himbauan kepada masyarakat untuk bersiapsiaga. Pada kasus Kelurahan Katulampa, aparat pemerintah kelurahan tidak melalukan pelatihan khusus yang membahas masalah bencana, akan tetapi melalui penyuluhan mengenai bencana dan penanggulangannya. Dalam penyuluhan masyarakat diberitahu mengenai cara-cara penanggulangan banjir dan akibat yang diberikan oleh banjir. Pemerintah kelurahan atau pun pihak bendungan juga tidak melakukan kegiatan simulasi banjir dengan masyarakat karena mereka sudah memadatkannya dalam bentuk penyuluhan. Berdasarkan kegiatan-kegiatan yang dilakukan, kesiapsiagaan pemerintah masih belum maksimal untuk menghadapi 67 kemungkinan terjadinya banjir. Pemerintah menganggap bahwa daerah rawan bencana banjir tidak terlalu luas sehingga tidak membutuhkan persiapan yang lebih. 6.2 Mitigasi Selain kesiapsiagaan, kegiatan lainnya dalam penanggulangan bencana yang harus dilaksanakan adalah mitigasi. Mitigasi merupakan kegiatan yang dilakukan untuk mengurangi resiko terjadinya bencana, khususnya dalam hal ini adalah kegiatan yang dapat dilakukan untuk mengurangi resiko terjadinya banjir. Kegiatan mitigasi berhubungan dengan aktifitas pembangunan secara fisik bangunan-bangunan yang dapat mengurangi resiko terjadinya banjir, tata ruang daerah untuk menghindari terjadinya banjir, dan peningkatan kapasitas masyarakat dalam mengahadapi kemungkinan terjadinya banjir. Kegiatan mitigasi yang dapat dilakukan adalah dengan mendirikan bangunan diluar daerah sempadan sungai, bangunan yang tahan banjir, pelestarian lingkungan, pelatihan dan pendidikan mengenai bencana dan pembangunan tanggul atau bendungan. Kegiatan-kegiatan ini diukur pada masyarakat Katulampa melalui responden yang berasal dari dua daerah, yaitu RT 5 RW I dan RT 3 RW IX. Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan adalah mengenai usaha menjaga kelestarian alam, penempatan rumah, jenis rumah, latihan pencegahan dan penanganan banjir, pendidikan umum mengenai bencana dan partisipasi dalam pembangunan bendungan. Usaha menjaga kelestarian alam dilihat dari kegiatan pengrusakan dan pelestarian pohon-pohon yang berada dipinggiran sungai. Pertanyaan yang diajukan kepada responden berupa pertanyaan tertutup yang dijawab dengan “Ya” 68 atau “Tidak” berdasarkan pengalaman yang mereka rasakan dan lakukan. Pertanyaannya adalah “apakah anda pernah menebang pohon yang berada di sekitar sungai (pohon yang ukurannya besar dan belum layak untuk ditebang karena sifatnya mengganggu)?” dan “apakah anda pernah menanam pohon di sekitar sungai?”. Dari pertanyaan tersebut didapatkan data kegiatan pelestarian alam yang dilakukan oleh responden. Tabel 13. Sebaran Responden Berdasarkan Usaha Pelestarian Pohon Menebang Pohon Jawaban Jumlah % Ya 1 3,33 Tidak 29 96,67 Jumlah 30 100 Menanam Pohon Jawaban Jumlah Ya 9 Tidak 21 Jumlah 30 % 30 70 100 Responden lebih banyak tidak pernah melakukan penebangan pohon yaitu 96,67 persen, sedangkan yang pernah melakukan penanaman pohon di sekitar sungai hanya 30 persen responden. Hal ini disebabkan oleh lahan yang sempit dan memang tidak adanya pohon besar yang dapat ditebang di sekitar sungai. Daerah Katulampa merupakan daerah yang jarang terdapat pohon dan hutan-hutan kecil disekitar sungai. Daerah ini adalah daerah pinggiran kota yang sudah lama menjadi pemukiman penduduk karena aksesnya yang lebih dekat dengan pusat kota. Disepanjang aliran Ciliwung, jumlah pohon-pohon sangat sedikit dan bukan pohon yang besar dan mampu untuk menyerap air dengan baik. Kegiatan mitigasi banjir bertujuan untuk mengurangi resiko terjadinya banjir, salah satunya adalah melalui pembangunan pemukiman yang berada di luar sempadan sungai, yaitu 50 meter dari pinggir sungai. Akan tetapi pada daerah penelitian, seluruh responden berada di daerah yang seharusnya dikosongkan untuk sempadan sungai. Tanah yang berada di pinggir sungai adalah tanah 69 warisan atau tanah adat masyarakat setempat yang dikonversi menjadi pemukiman penduduk. Kebijakan mengenai hilangnya sempadan sungai ini memang sudah dirumuskan, namun tidak dapat dilaksanakan karena hak kepemilikan tanah ada pada masyarakat. Pemerintah setempat seperti Kelurahan sudah memberikan peringatan kepada masyarakat, namun pemerintah tidak mampu untuk merelokasi penduduk yang bertempat tinggal dipinggir sungai karena relokasi penduduk akan membutuhkan biaya yang banyak dan adanya keengganan penduduk untuk pindah karena tidak perlu menyewa tempat lain yang lebih mahal harganya. Keadaan fisik bangunan juga menentukan apakah masyarakat sudah melakukan mitigasi dengan baik. Fisik bangunan dapat dilihat melalui jenis bangunan permanen, semi permanen atau tidak permanen dan kondisi fisik bangunan yang dapat mengurangi resiko banjir yaitu rumah bertingkat atau tidak. Keadaan fisik bangunan sangat menentukan kemampuan untuk mengurangi resiko terjadinya banjir dan dampaknya. Keadaan fisik bangunan yang permanen lebih kuat dibandingkan dengan bangunan semi permanen maupun tidak permanen. Jika terjadi banjir ketahanan rumah permanen lebih tinggi dan kemungkinan untuk terbawa hanyut lebih rendah. Begitu pula dengan kondisi fisik bangunan yang mampu untuk mengurangi resiko banjir dan dampak banjir yaitu bangunan bertingkat. Rumah bertingkat lebih aman dibandingkan dengan rumah yang tidak bertingkat karena barang-barang berharga dapat dipindahkan dengan cepat ke lantai atas yang lebih tinggi atau bahkan seluruh barang berharga dapat disimpan di lantai atas sehingga barang-barang yang dianggap berharga dapat terjaga dengan baik. 70 Di daerah penelitian, responden yang memiliki rumah permanen adalah sebanyak 73,33 persen, semi permanen 16,67 persen dan tidak permanen sebanyak 10 persen. Sedangkan kondisi bangunannya adalah 90 persen tidak bertingkat dan 10 persen bertingkat. Rata-rata rumah responden adalah rumah permanen yang tidak bertingkat dan berada di pinggir sungai. Keadaan ini memungkinkan terjadinya kerugian yang sangat besar apabila terjadi banjir karena banyak barang-barang berharga yang akan terendam atau hanyut terbawa arus air. 25 Jumlah 20 15 10 Kondisi Bangunan 5 22 5 3 0 Permanen Semi Permanen Tidak Permanen Kondisi Bangunan Gambar 7. Sebaran Responden Berdasarkan Kondisi Bangunan Rumah, Katulampa Tahun 2010 71 3 Bertingkat Tidak Bertingkat 27 Gambar 8. Sebaran Responden Berdasarkan Bentuk Bangunan Rumah, Katulampa Tahun 2010 Peningkatan kapasitas masyarakat melalui pendidikan dan pelatihan mengenai banjir dan penanggulangannya juga dibutuhkan untuk meningkatkan kemampuan masyarakat dalam menghadapi banjir melalui usaha pengurangan resiko banjir. Kegiatan yang dapat dilakukan adalah latihan dalam upaya penanggulangan bencana dan pendidikan umum mengenai banjir. Responden yang sudah pernah mengikuti latihan upaya penanggulangan banjir sebanyak 23,33 persen sedangkan yang sudah pernah mengikuti pendidikan mengenai bencana banjir hanyalah 16,67 persen. Tabel 14. Sebaran Responden Berdasarkan Keikutsertaan Latihan dan Pendidikan Banjir, Katulampa Tahun 2010 Latihan Penanggulangan Banjir Keikutsertaan Jumlah % Pernah 7 23,33 Tidak Pernah 23 76,67 Total 30 100 Pendidikan tentang Banjir Keikutsertaan Jumlah % Pernah 5 16,67 Tidak Pernah 25 83,33 Total 30 100 Selama ini pemerintah telah memberikan penyuluhan mengenai tindakan yang diperlukan apabila terjadi banjir. Penyuluh datang ke rumah-rumah 72 masyarakat untuk memberikan penyuluhan. Forum khusus yang diadakan untuk pendidikan dan pelatihan mengenai banjir sendiri belum pernah diadakan secara khusus. Responden yang sudah mengikuti pendidikan dan pelatihan mengenai banjir adalah responden yang mengikuti penyuluhan yang diadakan oleh pemerintah. Mitigasi juga dapat dilakukan melalui pembangunan tanggul, dam atau pun bendungan untuk mengendalikan laju air apabila debit air naik. Pengendalian debit air ini akan membantu masyarakat untuk menyiapkan keadaan sebelum terjadinya banjir atau bahkan dapat mengendalikan banjir. Akan tetapi apabila jumlah air yang dialirkan dikendalikan, biasanya daerah yang berada di hulu bendungan akan menjadi lebih rentan karena jumlah air akan menjadi lebih tinggi karena tidak dialirkan. Di Katulampa terdapat sebuah bendungan, yaitu Bendung Katulampa yang sudah dibangun sejak zaman penjajahan Belanda. Bendungan ini dibagi menjadi dua aliran yaitu aliran Ciliwung dan aliran sungai kecil untuk irigasi. Responden yang ikut serta dalam pembangunan atau perbaikan bendungan tidaklah banyak. Hanya 40 persen yang dapat berperan serta dalam proses perbaikan bendungan. Hal ini dikarenakan oleh jarak RT 5 RW I dari bendungan lumayan jauh, sehingga menyulitkan masyarakat untuk dapat ikut serta dalam kegiatan-kegiatan penjagaan dan perbaikan bendungan. Selain itu sudah ada pekerja khusus yang bertugas untuk menjaga bendungan dan memperbaikinya. Kegiatan mitigasi ini juga harus didukung oleh pemerintah kelurahan setempat agar resiko terjadinya banjir dapat dikurangi. Kegiatan yang dapat dilakukan oleh pemerintah adalah dengan membentuk prosedur tanggap darurat 73 dalam penanggulangan banjir. Undang-undang ini dibentuk di tingkat kecamatan, yaitu oleh SATKORLAK tingkat kecamatan. Prosedur tanggap darurat ini berisi mengenai prosedur tanggap bencana dan penanggulangan bencana di tingkat kecamatan dan kelurahan. Di Kelurahan Katulampa telah terdapat peta rawan bencana kemungkinan akan terjadi, peta rawan bencana tersebut ditempel di kantor kelurahan agar warga yang berada di daerah tersebut dapat melihat peta rawan bencana tersebut sehingga masyarakat dapat mengetahui titik-titik rawan bencana yang terdapat di Katulampa. Pedoman tanggap darurat bencana juga sangat dibutuhkan untuk mitigasi bencana. Di Katulampa pedoman tanggap darurat dilakukan di tingkat kecamatan bersama undang-undang mengenai bencana. Sedangkan pengkajian bersama masyarakat mengenai karakteristik bencana belum dilakukan karena pemerintah menganggap bahwa masyarakat sudah tahu karakteristik bencana melalui penyuluhan. Pemerintah gencar dalam melakukan publikasi penanggulangan bencana banjir melalui penyuluhan, akan tetapi apabila tidak diiringi dengan kebijakan mengenai pembangunan yang mengupayakan penanggulangan bencana khususnya mitigasi tentunya proses mitigasi tidak akan berjalan dengan baik. Pemerintah setempat telah memberikan kebijakan kepada masyarakat mengenai pembangunan yang mengutamakan upaya penanggulangan banjir dengan memberikan izin bangunan yang letaknya diluar sempadan sungai. Akan tetapi dalam pelaksanaannya tidaklah mudah karena rata-rata masyarakat mendirikan rumah diatas tanah warisan atau tanah adat, sehingga pemerintah memiliki kekuasaan yang kecil dalam memberikan kebijakan tata ruang untuk mengurangi terjadinya 74 banjir. Masyarakat sendiri sudah mengetahui mengenai kebijakan ini namun mereka tetap mengabaikan kebijakan ini karena mereka merasa tanah tersebut adalah hak milik mereka. Selain pendidikan terhadap masyarakat, anak-anak sejak dini juga harus diberikan pendidikan mengenai bencana. Pendidikan yang diberikan pada kurikulum Pendidikan Lingkungan Hidup di sekolah-sekolah yang berada di daerah Katulampa tidak berfokus pada pendidikan mengenai banjir, akan tetapi pendidikan mengenai lingkungan hidup dan cara menjaga lingkungan hidup. Anak-anak juga diajarkan bagaimana menjaga kebersihan lingkungan seperti sampah, mengajarkan anak-anak untuk praktek membuat sumur resapan dan biopori. Namun karena pendidikan yang ditanamkan kurang mengena dan anakanak masih terpengaruh kuat dari lingkungan, mereka masih belum dapat menjaga kelestarian lingkungan dengan baik. Mereka masih mengabaikan praktek-praktek yang diadakan di sekolah. Pemerintah yang berada di daerah rawan bencana juga harus membentuk forum-forum yang membahas mengenai bencana. Begitu pula dengan Kelurahan Katulampa juga membentuk forum khusus yang membahas mengenai kebencanaan. Namun forum ini tidak dibentuk untuk masyarakat, akan tetapi hanya untuk aparat pemerintah saja bersama ketua RT dan RW. Keterlibatan masyarakat dirasakan kurang dan juga pelaksanaan forum ini tidak rutin karena forum ini diadakan apabila sudah terjadi keadaan darurat atau setelah terjadinya banjir. Selain pembentukan forum dan himbauan serta penyuluhan kepada masyarakat, pemerintah kelurahan setempat juga membuat papan-papan tanda 75 bahaya dan peringatan mengenai banjir. Akan tetapi sikap masyarakat yang masih kurang memiliki kesadaran untuk menjaga lingkungan sekitar, dari 20 tanda peringatan yang dipasang sekarang hanya tinggal 2 tanda peringatan yang masih terpasang. Pemerintah seharusnya juga melakukan perencanaan daerah penampungan sementara dan apabila terjadi banjir pemerintah juga harus melakukan pemindahan ke daerah evakuasi atau tempat penampungan sementara yang aman. Pemerintah Katulampa mempunyai daerah penampungan sementara yang aman untuk warga yang terkena banjir yaitu rumah-rumah penduduk yang tidak mengalami banjir. Mereka tidak memiliki penampungan khusus untuk masyarakat yang mengalami banjir. Dalam upaya mitigasi ini pemerintah tidak melakukan pengkajian resiko bencana bersama masyarakat karena pemerintah sudah memberikan penyuluhan kepada masyarakat. Akan tetapi aparat pemerintah diberikan pelatihan untuk penanggulangan bencana agar pada saat keadaan tanggap darurat dapat dilakukan dengan baik usaha pencegahan akibat yang lebih besar. Kegiatan mitigasi oleh pemerintah ini sudah lumayan baik karena sudah banyak kegiatan yang dilakukan untuk mengurangi risiko terjadinya bencana. Akan tetapi tanggapan atas usaha pemerintah dari masyarakat dirasa masih kurang baik karena sikap masyarakat yang kurang peduli terhadap kehidupan dan lingkungan sekitar. BAB VII KESIAPAN MASYARAKAT DI DAERAH RAWAN BENCANA Kesiapsiagaan merupakan usaha yang dilakukan oleh sekelompok masyarakat bersama pemerintah untuk meningkatkan daya atau kemampuan masyarakat tersebut untuk menghadapi kemungkinan terjadinya bencana. Kesiapsiagaan ini sangat dibutuhkan oleh masyarakat agar kesiapan masyarakat yang berada di daerah rawan bencana lebih matang dalam menghadapi kemungkinan terburuk yaitu datangnya bencana. Unsur lain yang harus diperhatikan dalam penanggulangan bencana adalah mitigasi. Mitigasi merupakan salah satu usaha untuk meningkatkan kesiapan masyarakat dalam menghadapi kemungkinan terjadinya bencana melalui tindakan yang dapat dilakukan untuk mengurangi resiko terjadinya banjir seperti melakukan pembangunan dengan perspektif penanggulangan bencana dan tata ruang berbasis penanggulangan bencana. Kesiapsiagaan dan mitigasi ini diduga memiliki hubungan dengan karakteristik sosial budaya masyarakat berupa kelembagaan, stratifikasi sosial, derajat kohesivitas masyarakat dan kearifan lokal masyarakat. Masyarakat Katulampa memiliki karakteristik sosial budaya tersendiri yang membedakannya dengan masyarakat lain. Kekhasan karakteristik sosial dan budaya ini kemungkinan memiliki hubungan dengan kesiapsiagaan dan mitigasi dalam menghadapi banjir. Daerah Katulampa, terutama di RT 5 RW I dan RT 3 RW IX sangat rentan untuk mengalami banjir karena posisinya persis berada di sepanjang aliran Sungai Ciliwung. Untuk itu diperlukan kesiapsiagaan yang matang dari masyarakat dan pemerintah dalam menghadapi kerawanan ini. 77 Aspek pertama dari karakteristik sosial dan budaya masyarakat adalah kelembagaan. Kelembagaan yang berkembang di dalam masyarakat Katulampa bisa diandalkan untuk meningkatkan kesiapsiagaan dalam menghadapi banjir. Lembaga yang sudah ada di dalam tubuh masyarakat, yaitu RT (Rukun Tetangga) dan RW (Rukun Warga) sangat dibutuhkan dalam kesiapsiagaan masyarakat untuk menghadapi banjir. Ketika debit air naik, penjaga bendungan Katulampa akan menginformasikan kepada pemerintah kelurahan setempat untuk bersiapsiaga. Kemudian aparat pemerintahan menginformasikan kepada ketua RT maupun ketua RW mengenai hal ini yang kemudian diinformasikan kepada seluruh masyarakat agar dapat bersiaga akan datangnya banjir. Kelembagaan ini sangat membantu masyarakat untuk mengetahui tanda-tanda datangnya banjir. Seperti yang dinyatakan oleh salah seorang informan, yaitu Bapak An (45 tahun), “... tiap debit air di bendungan naik, maka saya bakal ngasih tau ke pihak kelurahan. Kadang-kadang juga kelurahan yang suka nanya ke sini keadaan air di bendungan Katulampa. Trus dari kelurahan, RW bakal dikasih info mengenai kenaikan air, trus dikasih tau ke masyarakat sama RT supaya bersiap-siap...” Sebelum terjadi banjir, kelembagaan ini terlebih dahulu melakukan koordinasi dengan pemerintah dan menyampaikannya kepada masyarakat. Fungsi kelembagaan ini sangat kuat dalam kesiapsiagaan masyarakat. Selain RT dan RW, kelembagaan yang juga sangat membantu dalam kesiapsiagaan ini adalah TAGANA yang dibentuk oleh pemerintah kelurahan setempat. TAGANA berfungsi untuk menyiapkan segala sesuatu yang berhubungan dengan kegiatan tanggap darurat. TAGANA bersama dengan pemerintah setempat seharusnya mempersiapkan alat-alat peringatan dini dan alat-alat yang nantinya dibutuhkan dalam masa tanggap darurat. Akan tetapi fungsi TAGANA di Katulampa masih belum maksimal karena alat peringatan dini dan alat-alat pada masa tanggap 78 darurat tidak disediakan. Hal ini diakibatkan oleh birokrasi yang harus diikuti oleh pemerintah setempat mengenai pengadaan alat-alat ini. Alat-alat ini akan diberikan apabila daerah sudah berada dalam keadaan tanggap darurat oleh dinas sosial terkait. Oleh karena itu, kesiapsiagaan dari pemerintah menjadi berkurang dan dapat meningkatkan resiko yang lebih besar pada masyarakat. Masyarakat menjadi kurang mengetahui peringatan datangnya banjir dan apabila terjadi banjir masyarakat dapat menjadi terlantar karena kurangnya kesiapan alat-alat yang dapat membantu dalam pelaksanaan tanggap darurat. Begitu pula dengan pelaksanaan mitigasi, kedua kelembagaan ini sangat berperan. RT dan RW sangat berperan dalam membantu pemerintah untuk melakukan sosialisasi penanggulangan bencana kepada masyarakat seperti penyuluhan, pelatihan , pengawasan dalam izin mendirikan bangunan sesuai dengan tata ruang wilayah, mengadakan forum-forum khusus mengenai kebencanaan, membantu memindahkan masyarakat yang terkena banjir ke daerah evakuasi, membuat tanda peringatan bahaya dan lainnya. Pada kegiatan ini fungsi TAGANA sangat berperan penting. Kewajiban ini dilimpahkan kepada TAGANA, sedangkan RT dan RW menjadi perpanjangan tangan dari pemerintah yang bekerja sama dengan TAGANA untuk menjalankan fungsi-fungsi dalam mitigasi tersebut. Seperti yang dikelaskan oleh Bapak K (38 tahun) dalam wawancara, “... Ketua RT dan Ketua RW sangat berperan dalam pelaksanaan kegiatan penanggulangan bencana. Seluruh Ketua RT dan Ketua RW ikut forumforum yang berhubungan ama bencana. Kalo TAGANA juga ngebantuin masang tanda-tanda peringatan bahaya di sepanjang aliran sungai Ciliwung. Ketua RT dan RW sama TAGANA pas lagi banjirnya ngebantuin masyarakat untuk pindah ke rumah-rumah penduduk yang ga kena banjir, trus ngebantuin buat mendata korban banjir ama menyerahkan bantuan...” 79 Kesiapan warga masyarakat dalam mitigasi bencana masih belum mencukupi untuk menghadapi kemungkinan datangnya banjir. Mitigasi yang kurang ini diakibatkan oleh kebijakan-kebijakan mengenai tata ruang kelurahan, forum mengenai kebencanaan dan sosialisasi yang belum terlaksana dengan baik. Tata ruang kelurahan masih kurang memperhatikan aspek kebencanaan dan lingkungan karena masih banyak pemukiman penduduk yang berada di daerah sempadan sungai yaitu 50 meter dari pinggir sungai (Permen PU No. 63/ PRT/ 1993). Masyarakat pun kurang memperhatikan keadaan ini karena mereka menganggap bahwa hak mereka atas tanah adalah sah milik mereka. Pemerintah juga tidak dapat menghindar dari kenyataan bahwa tanah yang ditempati oleh bukan milik pemerintah, tapi tanah adat atau tanah pribadi sehingga pemerintah kurang memiliki kuasa atas tanah tersebut. Forum mengenai kebencanaan juga belum terlaksana dengan baik di daerah ini. Kegiatan ini berjalan, akan tetapi tidak memiliki jadwal yang rutin dan hanya dihadiri oleh aparat pemerintah kelurahan bersama dengan ketua RT dan ketua RW sehingga masyarakat kurang mengetahui informasi-informasi mengenai kebencanaan. Selain itu forum ini juga tidak dilaksanakan secara rutin. Forum ini ada apabila keadaan sudah mulai berbahaya atau berada pada tingkat kewaspadaan yang tinggi. Selain forum, hal yang seharusnya dilakukan oleh pemerintah khususnya yang bergerak dibidang kebencanaan seperti TAGANA adalah melakukan sosialisasi mengenai bencana kepada masyarakat. Di Katulampa, sosialisasi mengenai kebencanaan ini dilaksanakan setelah terjadi banjir dengan cara mendatangi anggota masyarakat ke rumah-rumah oleh petugas penyuluhan. Kegiatan penyuluhan ini sangat terlambat untuk dilaksanakan karena 80 penyuluhan baru dilakukan setelah terjadinya bencana, bukan sebelum bencana sehingga masyarakat menjadi kurang pengetahuannya mengenai bencana dan tidak dapat bertindak dengan tepat. Aspek kedua dalam karakteristik sosial budaya masyarakat adalah stratifikasi sosial. Stratifikasi sosial ini dibagi menjadi empat ukuran, yaitu ukuran kekayaan, ukuran pendidikan, ukuran kekuasaan dan ukuran kehormatan. Kekayaan diduga berhubungan dengan kesiapsiagaan masyarakat dalam menghadapi kemungkinan terjadinya banjir. Responden rata-rata berada pada tingkat kekayaan menengah berdasarkan aset rumah tangga yang dimiliki oleh responden. Kekayaan ini diduga berhubungan positif dengan kesiapsiagaan dan mitigasi masyarakat yang diwakili oleh responden. Semakin kaya seseorang maka semakin tinggi tingkat kesiapsiagaannya dan mitigasinya semakin tinggi dan sebaliknya. Namun pada kenyataannya di lapangan, kesiapsiagaan dan mitigasi masyarakat tidak memiliki hubungan dengan ukuran kekayaan masyarakat. Sebagaimana digambarkan oleh hasil korelasi Pearson dengan menggunakan SPSS berikut. Tabel 15. Hasil Korelasi Pearson antara Kesiapsiagaan dan Mitigasi dengan Ukuran Kekayaan, Pendidikan dan Pengetahuan dan Sikap Responden Korban Banjir Katulampa Tahun 2010 Variabel Kesiapsiagaan dan Mitigasi dengan Ukuran Kekayaan Kesiapsiagaan dan Mirigasi dengan Pendidikan Kesiapsiagaan dan Mitigasi dengan Pengetahuan dan Sikap Sig (2-tailed) 0.666 Correlation Coefficient - 0.082 0.110 0.298 0.321 0.188 81 Hasil korelasi Pearson antara Kesiapsiagaan dan Mitigasi banjir dengan ukuran kekayaan masyarakat tidak ditemukan adanya signifikansi. Hal ini menandakan bahwa antara kekayaan dengan kesiapsiagaan dan mitigasi tidak ada hubungan yang erat. Sesuai dengan penemuan di lapangan bahwa ukuran kekayaan masyarakat tidak memiliki hubungan dengan kesiapsiagaan dan mitigasi. Masyarakat dengan tingkat kekayaan yang lebih rendah sama saja tingkat kesiapsiagaan dan mitigasinya dengan masyarakat yang kekayaannya lebih tinggi. Seharusnya masyarakat yang memiliki penghasilan dan aset yang lebih banyak akan lebih memberikan perlindungan pada keluarga dan barang-barang berharganya. Akan tetapi kesiapsiagaan dan mitigasi ini sama saja. Hal ini bisa saja diakibatkan oleh lingkungan yang mempengaruhi responden. Responden kebanyakan berada di daerah pinggiran kelurahan yang rata-rata masyarakatnya adalah penduduk miskin. Pengaruh dari lingkungan ini sangat kuat. Karakter masyarakatnya mirip, mereka tidak terlalu memperdulikan kesiapan yang harus mereka tingkatkan untuk menghadapi banjir. Begitu pula dengan tingkat pendidikan responden. Tingkat pendidikan responden ternyata juga tidak memiliki hubungan dengan kesiapsiagaan dan mitigasi. Hasil korelasi Pearson antara kesiapsiagaan dan mitigasi dengan pendidikan tidak menunjukkan signifikansi. Berarti antara pendidikan dengan kesiapsiagaan dan mitigasi tidak memiliki hubungan. Sama halnya dengan ukuran kekayaan, masyarakatnya lebih banyak dipengaruhi lingkungan dan sikap masyarakat itu sendiri. Sikap mereka yang terlalu pasrah mengakibatkan kurangnya kesiapsiagaan dan mitigasi masyarakat itu sendiri. Seharusnya semakin tinggi pendidikan semakin tinggi pula kesadarannya mengenai lingkungan dan 82 tindakan yang perlu dilakukan untuk mencegah terjadinya banjir dan mengurangi resiko banjir. Selain ukuran kekayaan dan pendidikan, ukuran kekuasaan dan kehormatan juga termasuk dalam stratifikasi sosial. Dalam hal kesiapsiagaan dan mitigasi ukuran kekuasaan dan kehormatan ini juga tidak memiliki hubungan dengan tingkat kesiapsiagaan dan mitigasi. Informan yang diwawancarai untuk melihat ukuran kekuasaan dan kehormatan memiliki tingkat kesiapsiagaan dan mitigasi yang sama dengan responden. Mereka juga tidak memiliki persiapan yang matang terhadap kemungkinan terjadinya bencana. Kedua informan ini juga berada di daerah yang seharusnya tidak dihuni atau berada di daerah sempadan sungai. Hal ini menunjukkan bahwa kekuasaan dan kehormatan tidak menjamin kesiapsiagaan dan mitigasi yang lebih baik. Aspek ketiga dalam karakteristik sosial dan budaya masyarakat adalah derajat kohesi sosial masyarakat. Derajat kohesi sosial merupakan tingkat keeratan antar anggota masyarakat. Derajat kohesi sosial masyarakat ini diduga mempengaruhi kesiapsiagaan dan mitigasi masyarakat dalam menghadapi banjir. Di daerah penelitian, kesiapsiagaan dan mitigasi masyarakat juga tidak dipengaruhi oleh kohesivitas masyarakat. Tidak ada kegiatan yang dilakukan bersama-sama oleh masyarakat untuk meningkatkan kesiapsiagaan dan mitigasi. Hubungan masyarakat yang lebih renggang atau pun lebih erat tidak memiliki hubungan dengan tingkat kesiapsiagaan. Hal ini kemungkinan diakibatkan oleh karakter masyarakat yang hampir sama sehingga mereka lebih cenderung untuk tidak terlalu memperdulikan keadaan lingkungan sekitar dan kesiapsiagaan dan mitigasinya dalam bencana. 83 Aspek selanjutnya adalah kearifan lokal yang dimiliki oleh masyarakat setempat. Kearifan lokal yang berkembang di daerah ini adalah mengenai tandatanda datangnya banjir. Tanda-tanda tersebut dapat dilihat melalui batu besar yang berada di sungai. Apabila batu tersebut sudah terendam, kemungkinan besar akan terjadi banjir. Pada situasi seperti itu masyarakat mulai memiliki sikap siaga, namun hanya pada tahap mengamankan barang-barang yang dianggap berharga dan menghindari untuk mendekati pinggiran sungai. Akan tetapi sebagian besar masyarakat bertempat tinggal di pinggir sungai sehingga tidak dapat menjauh dari sungai itu sendiri. Menjauhi sungai hanyalah sebatas tidak mendekati pinggiran sungai. Aspek terakhir dalam karakteristik sosial dan budaya masyarakat adalah pengetahuan dan sikap. Pengetahuan dan sikap masyarakat mengenai lingkungan maupun bencana diduga berhubungan dengan tingkat kesiapsiagaan dan mitigasi masyarakat. Hasil korelasi Pearson pada Tabel 16 diperlihatkan bahwa tidak ada hubungan antara pengetahuan dan sikap masyarakat dengan kesiapsiagaan dan mitigasi masyarakat. Pengetahuan yang dimiliki oleh responden cukup baik. Namun di lapangan ditemukan bahwa responden tetap saja tidak memiliki kesiapsiagaan dan mitigasi yang tinggi. Peneliti lain yang mengkaji aspek sosial dalam bencana menemukan bahwa karakteristik sosial masyarakat sangat berhubungan dengan tingkat kesiapsiagaan masyarakat. Alice Fothergill dan Lori A. Peek (2004) dalam penelitiannya mengenai kemiskinan dan bencana menemukan bahwa pendapatan seseorang sangat menentukan kesiapannya dalam menghadapi bencana. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa semakin tinggi pendapatan seseorang maka 84 semakin tinggi pula kesiapannya karena akses mereka terhadap barang-barang yang dibutuhkan untuk kesiapan menghadapi bencana lebih terbuka dibandingkan dengan masyarakat yang memiliki pendapatan yang lebih rendah. Akan tetapi penelitian ini tidak sesuai dengan hasil yang didapatkan di daerah Katulampa. Masyarakat yang memiliki tingkat kekayaan yang tinggi juga tidak memiliki kesiapan yang tinggi. Hal ini dapat dilihat melalui aksesnya terhadap barang-barang untuk kesiapsiagaan dan mitigasi yang juga rendah dan sama saja dengan masyarakat yang kekayaannya lebih rendah. Hampir seluruh karakteristik sosial budaya masyarakat tidak memiliki hubungan dengan tingkat kesiapsiagaan dan mitigasi masyarakat. Ternyata karakteristik sosial budaya masyarakat ini tidak memiliki kontribusi pada kesiapsiagaan dan mitigasi bencana. Kesiapsiagaan dan mitigasi bencana ini tergolong rendah karena sikap masyarakat yang pasrah terhadap alam dan bersikap malas untuk meningkatkan keamanannya dalam menghadapi bencana. Pengalamannya dalam menghadapi bencana pun tidak mempengaruhi tingkat kesiapsiagaan dan mitigasi. Padahal sebelumnya masyarakat telah mengalami kerugian yang besar ketika banjir pada Februari 2010 yang lalu terjadi. Namun kerugian ini tidak dijadikan sebagai pelajaran malah mereka terlalu bergantung pada bantuan pemerintah. Masyarakat menganggap bahwa kerugian yang mereka alami nantinya juga akan diganti oleh pemerintah melalui bantuan kebencanaan. Sikap inilah yang mengakibatkan rendahnya tingkat kesiapsiagaan dan mitigasi bencana masyarakat. Responden tidak memiliki kesiapan yang baik karena kesiapsiagaan dan mitigasinya lebih rendah. Kesiapsiagaan dan mitigasi dari pemerintah pun dirasa 85 masih kurang dan tidak mampu mendukung kurangnya kesiapan masyarakat. Berdasarkan hasil di lapangan, ditemukan bahwa 73,33 persen responden menyatakan siap dalam menghadapi kemungkinan terjadinya banjir tanpa adanya kesiapan yang matang secara fisik. Kesiapan mereka hanyalah sebatas kesiapan mental karena sikap mereka yang pasrah. Sebagian besar mereka menjawab “ya, siap ga siap sih, soalnya rumahnya dipinggir sungai”. Sikap inilah yang disebut dengan sikap pasrah pada keadaan. Mereka menganggap bahwa tindakan yang dapat dilakukan untuk menghindari dampak banjir adalah dengan melindungi barang-barang berharga mereka. Mereka tidak berusaha untuk pindah ke daerah yang lebih aman karena tuntutan ekonomi. Harga sewa rumah yang lebih murah dan bagi penduduk asli tanah tersebut adalah tanah warisan yang dapat digunakan mengakibatkan mereka semakin betah untuk tinggal di daerah yang rawan tersebut. Sikap mereka juga masih kurang dalam menjaga lingkungan sekitar. Mereka masih membuang sampah di sungai dan menganggap bahwa sampah yang sedikit itu tidak mempengaruhi kemungkinan terjadinya banjir. Masyarakat masih menganggap bahwa banjir itu sebagian besar diakibatkan oleh keadaan alam atau cuaca yang buruk, seperti hujan lebat. Kesadaran masyarakat bahwa banjir itu sebagai akibat ulah manusia seperti membuang sampah dipinggir sungai, membangun bangunan dipinggir sungai dan menebang pohon sembarangan masih rendah. Sehingga mereka kurang memperdulikan keadaan lingkungan dan berdampak buruk bagi kesiapan mereka menghadapi banjir. 86 Selain hal tersebut banyak responden yang juga menyalahkan sistem pintu air di bendungan Katulampa. Mereka menganggap bahwa pintu air tersebut dapat mengendalikan air sehingga dapat menghindari resiko terjadinya banjir. Akan tetapi, menurut penuturan Kepala Bendung Katulampa, Bapak An menyatakan bahwa bendungan Katulampa bukanlah bendungan yang dapat mengendalikan air atau memiliki sistem buka tutup untuk mengendalikan kelebihan debit air. Akan tetapi bendungan Katulampa berfungsi untuk mengeruk dasar sungai agar jumlah air yang turun ke bawah lebih sedikit. Namun pengerukan dasar sungai ini tidak dapat menjamin apakah akan terjadi banjir atau tidak. Tidak adanya korelasi antara karakteristik sosial budaya masyarakat dengan kesiapsiagaan dan mitigasi di daerah rawan bencana banjir ini diduga karena bagi masyarakat maupun pemerintah kegiatan yang berhubungan dengan kesiapsiagaan dan mitigasi masih belum menjadi perhatian sehingga bagaimanapun karakteristik sosial budaya yang dimiliki oleh masyarakat tidak berhubungan dengan kesiapsiagaan dan mitigasi bencana. Hal ini juga ditemukan di dalam penelitian yang dilakukan oleh Misron (2009) mengenai strategi penanggulangan bencana berbasis masyarakat di Kabupaten Lampung Barat. Pada penelitian ini ditemukan bahwa kesiapan masyarakat dalam menghadapi bencana masih sangat kurang karena mereka menganggap bahwa bencana itu merupakan suatu kepastian yang tidak dapat dihindari. Mereka hanya berkonsentrasi untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka sendiri. Kegiatan penanggulangan bencana yang dilakukan disana masih belum terlaksana dengan baik karena masyarakat harus menunggu komando dari pemerintah pusat. 87 Hal ini serupa keadaannya dengan Kelurahan Katulampa dimana masyarakat sangat pasrah terhadap keadaan alam dan hanya memiliki kesiapan mental tanpa kesiapan materi. Mereka menganggap bahwa banjir tidak dapat dihindari sehingga mereka pasrah dengan keadaan alam. Selain itu pemerintah kelurahan sendiri pun masih lemah dalam kesiapsiagaan dan mitigasi karena masih terikat dengan birokrasi yang harus mereka jalani. Pemerintah kelurahan pun menganggap bahwa daerah yang rawan bencana tidak terlalu besar sehingga tidak membutuhkan persiapan yang matang, sesuai dengan penuturan Bapak K. Penyebab lainnya diduga bahwa sebagian besar masyarakat Indonesia khususnya yang berada di daerah rawan bencana masih belum memiliki perhatian dan kesadaran yang lebih akan pentingnya aspek penanggulangan bencana melalui kegiatan kesiapsiagaan dan mitigasi bencana secara bersama-sama antara pemerintah, masyarakat dan pihak-pihak berkepentingan lainnya. Seperti yang diungkapkan oleh Nasution (2007) bahwa kegiatan penanggulangan bencana masih terlalu berpusat pada pemerintah dan menganggap bahwa masyarakat tidak berdaya. Masyarakat Katulampa yang berada di daerah rawan banjir dianggap belum siap dalam menghadapi kemungkinan terjadinya banjir karena kesiapan yang mereka miliki hanyalah sebatas kesiapan mental tanpa didukung oleh kesiapan fisik dan materi. Kesiapan yang baik adalah kesiapan yang selaras antara kesiapan mental dengan kesiapan fisik dan materi. BAB VIII PENUTUP 8.1 Kesimpulan 1. Karakteristik sosial budaya masyarakat di Kelurahan Katulampa, khususnya yang berkaitan dengan masalah bencana dan lingkungan hidup adalah kelembagaan, stratifikasi sosial, kohesi sosial, kearifan lokal dan pengetahuan dan sikap. a. Kelembagaan yang berkembang di dalam masyarakat adalah lembaga keagamaan berupa pengajian, arisan, Rukun Tetangga (RT) dan Rukun Warga (RW) serta Taruna Siaga Bencana (TAGANA). Kelembagaan yang paling berperan dalam bencana dan lingkungan hidup adalah RT dan RW dan TAGANA. RT dan RW dan TAGANA berperan sebagai kelembagaan yang terlibat dan mengatur kegiatan penanggulangan bencana, seperti peringatan bahaya banjir, evakuasi korban dan penyediaan bantuan. b. Stratifikasi sosial yang ada di dalam masyarakat dilihat berdasarkan ukuran kekayaan, pendidikan, kekuasaan dan kehormatan. Berdasarkan ukuran kekayaan, responden lebih banyak berada pada kekayaan di tingkat menengah yang dinilai berdasarkan aset rumah tangga. Ukuran pengetahuan responden juga diukur melalui pendidikan formal yang telah ditempuh. Sebagian besar responden berada pada pendidikan menengah yaitu pernah mengecap pendidikan SMP maupun SMA. Berdasarkan ukuran kekuasaan dan ukuran kehormatan terdapat anggota masyarakat yang memiliki kekuasaan dan kehormatan yang lebih tinggi dibandingkan dengan anggota masyarakat lainnya. Kekuasaan ini bersifat kekuasaan formal dan 89 kehormatan ini berdasarkan kemampuan orang ketiga adalah kohesi sosial. tersebut untuk mempengaruhi masyarakat. c. Karakteristik sosial Hasil penelitian menunjukkan bahwa masyarakat memiliki kohesi sosial yang berbeda setiap daerah. Di daerah RT 3 RW I kohesi sosialnya lebih renggang karena anggota masyarakatnya tidak tetap karena sebagian besar mereka adalah pendatang dan berada di rumah-rumah kontrakan, sedangkan di daerah penelitian RT 5 RW IX kohesi sosialnya lebih erat karena adanya hubungan darah yang mengikat mereka serta tingkat ekonomi yang cenderung seragam. d. Kearifan lokal yang berkembang di dalam masyarakat adalah anggapan bahwa pohon-pohon yang berada disekitar mereka memiliki penunggu sehingga tidak boleh ditebang. Kepercayaan lainnya yang berkembang adalah terdapat tanda-tanda datangnya banjir apabila batu besar yang berada di sungai sudah terendam oleh air. Salah seorang anggota masyarakat yang dihormati, dipercaya dapat mengusir banjir yang datang dengan mengambil air banjir, dimasukkan ke dalam wajan lalu direbus dan dipanjatkan do’ado’a lalu dibuang kembali ke daerah yang terkena banjir. e. Pengetahuan dan sikap masyarakat mengenai bencana dan lingkungan hidup juga berkembang di dalam masyarakat, akan tetapi masih belum tergolong baik. Pengetahuan masyarakat mengenai lingkungan dan kebencanaan masih rendah, karena masyarakat kurang terdedah pengetahuan mengenai kebencanaan dan lingkungan hidup. Begitu pula dengan sikap mereka mengenai lingkungan hidup dan kebencanaan sudah tergolong baik karena 90 mendukung pelestarian lingkungan alam, walaupun masih ada yang kurang mendukung pelestarian lingkungan alam. Begitu pula dengan sikap mengenai kebencanaan sudah baik, dapat dilihat dari responnya mengenai kebencanaan. 2. Karakteristik sosial budaya yang dikaji hubungannya dengan kesiapsiagaan dan mitigasi secara kuantitatif adalah stratifikasi sosial dan pengetahuan dan sikap. Kelembagaan, kohesi sosial dan kearifan lokal dikaji hubungannya dengan kesiapsiagaan dan mitigasi dengan menggunakan metode kualitatif. a. Stratifikasi sosial dan pengetahuan dan sikap secara kuantitatif tidak memiliki hubungan dengan kesiapsiagaan dan mitigasi karena sikap masyarakat yang masih pasrah terhadap keadaan alam dan kurangnya perhatian dan kesadaran mengenai pentingnya kesiapsiagaan dan mitigasi dalam menghadapi kemungkinan terjadinya bencana. b. Karakteristik sosial budaya yang berperan dalam kegiatan kesiapsiagaan dan mitigasi bencana adalah kelembagaan dan kearifan lokal. Kelembagaan TAGANA dan RT dan RW membantu dalam hal penyiapan semua hal yang berkaitan dengan bencana, seperti peringatan dini, evakuasi dan distribusi bantuan. Kearifan lokal yang sangat berperan adalah batu penanda banjir yang digunakan sebagai ukuran untuk melihat kemungkinan terjadinya banjir sehingga masyarakat dapat bersiap dalam menghadapi banjir. c. Terakhir, karakteristik sosial budaya yang ada di dalam masyarakat adalah kohesi sosial yang tidak memiliki hubungan dengan kesiapsiagaan dan mitigasi. Masyarakat secara bersama-sama tidak pernah melakukan kegiatan 91 yang dapat berguna untuk mencegah atau mengurangi resiko bencana, seperti pembangunan tempat pembuangan sampah. 3. Kesiapan masyarakat di Katulampa masih tergolong rendah karena masyarakat hanya memiliki kesiapan secara mental, sedangkan secara fisik masyarakat masih belum siap. Hal ini dapat dilihat dari minimnya kesiapsiagaan dan mitigasi yang dilakukan oleh masyarakat. Selain masyarakat, pemerintah kelurahan setempat masih belum banyak mendukung kegiatan kesiapsiagaan dan mitigasi sehingga mempengaruhi kesiapan masyarakat dalam menghadap bahaya banjir. 8.2 Saran Kegiatan penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi pihak-pihak yang terkait. Melalui hasil penelitian ini disarankan agar: 1. Pemerintah disarankan untuk memperpendek birokrasi yang dijalankan dalam penanggulangan bencana sehingga kegiatan kesiapsiagaan dan mitigasi bencana dapat berjalan dengan baik, pembangunan tempat pembuangan sampah agar masyarakat tidak membuang sampah ke sungai, mengadakan penyuluhan mengenai kebencanaan khususnya banjir, menyiapkan lokasi evakuasi untuk korban banjir, pengadaan alat peringatan dini seperti alarm banjir dan mempertegas kebijakan mengenai izin mendirikan bangunan di daerah sempadan sungai. 2. Masyarakat dapat melakukan upaya untuk mengurangi resiko bencana melalui pembangunan tempat pembuangan sampah secara bersama-sama, membangun tanda pengukur debit air sungai untuk menghindari kemungkinan kerusakan pada tanda batu atau hanyut, dan pengadaan alat-alat yang dapat digunakan 92 dalam penanggulangan banjir secara bersama-sama dan milik komunitas seperti tenda. 3. Akademisi dapat melakukan penelitian-penelitian lebih lanjut mengenai kesiapsiagaan dan mitigasi bencana. DAFTAR PUSTAKA Arishanti, Klara Innata. 2005. Handout Psikologi Kelompok. Universitas Gunadarma, Jakarta. Badan Nasional Penanggulangan Bencana. 2008. Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana Nomor 4 Tahun 2008 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Penanggulangan Bencana. BNPB, Jakarta. BPP-PSPL. 2005. Kajian Kearifan Lokal Masyarakat di Desa Sabang Mawang, Sededap dan Pulau Tiga, Kecamatan Bunguran Barat Kabupaten Natuna Privinsi Kepulauan Riau. Universitas Riau, Pekanbaru. http://www.coremap.or.id/downloads/Kearifan_Lokal_Masyarakat_Ds_Sa bang_Mawang.pdf diunduh tanggal 20 Juni 2010 pukul 08.30 WIB. Brym, Robert J. 2009. Sociology as a Life or Death Isuue. First Canadian ed. Nelson Education, Canada. Fothergill, Alice and Lori A Peek. 2004.” Poverty and Disaster in The United States: A Review of Recent Sociological Findings”. Natural Hazard, vol. 32:89-110. Garnadi, Dodi. 2004. Pengetahuan, Sikap, dan Tindakan Masyarakat Sekitar Hutan Terhadap Hutan (Kasus di Hutan Pendidikan dan Pelatihan Kehutanan, Kadipaten, Kabupaten Majalengka). Thesis. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Gunawan. 2007. Pemberdayaan Sosial Keluarga Pasca Bencana Alam, Studi tentang Kondisi Sosial Masyarakat dalam Manajemen Bencana. Departemen Sosial Republik Indonesia, Jakarta. http://www.depsos.go.id/unduh/penelitian2007/200704_PEMBERDAYA AN%20SOSIAL%20KELUARGA%20PASCA%20BENCANA%20ALA M.pdf diunduh tanggal 3 Mei 2010, pukul 19.32 WIB. Hadipranata, Asip F. 1986. Kohesivitas Kelompok sebagai Indikator Dasar Kekuatan Koperasi. Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Horton, Paul B. dan Chester L. Hunt.1999. Sosiologi. Erlangga, Jakarta. Knight, Jack. 1992. Institutions and Social Conflict. Cambridge University Press, Cambridge. Lindell, Michael K and Carla S Prater. 2003. “Assessing Community Impacts of natural Disaster”, Natural Hazard Review, Vol. 4, No. 4, hal. 176-185. Misron, Ujang. 2009. Strategi Penanggulangan Bencana Berbasis Masyarakat di Kabupaten Lampung Barat. Thesis. Institut Pertanian Bogor, Bogor. 94 Munaf, Muslim. 1992. Kajian Sifat Aliran Sungai Ciliwung. Thesis. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Nasution, M Safii. 2005. Penanggulangan Bencana Berbasis Komunitas, Studi Kasus Kesiapsiagaan Bencana Berbasis Komunitas Daerah Rawan Bencana Alam Tanah Longsor di Desa Kidangpananjung Kecamatan Cililin Kabupaten Bandung Propinsi Jawa Barat. Thesis. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Pattinama, Marcus J. 2009. Pengentasan Kemiskinan dengan Kearifan Lokal (Studi Kasus di Pulau Buru Maluku dan Surade Jawa Barat). Makara Sosial Humaniora, Vol. 13 No.1, Juli 2009 hal 1-12. http://repository.ui.ac.id/contents/koleksi/2/e98e701d3488e758e71344d4c 5a109bd7770dbd0.pdf diunduh tanggal 20 Juni 2010 pukul 12.50. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 63/ PRT/ 1993 tentang Garis Sempadan dan Sungai, Daerah Manfaat Sungai, Daerah Penguasaan Sungai dan Bekas Sungai. digilibampl.net/.../Permen%20PU%20No.63%20Tahun%201993.pdf diunduh pada 27 Januari 2011 pukul 11:32. Profil Desa dan Kelurahan Katulampa tahun 2008. Raharjo. 2004. Pengantar Sosiologi Pedesaan dan Pertanian. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Ramdhani, Nella dan Martono. 1996. “Kohesivitas Pada Masyarakat Miskin”, Jurnal Psikologi, No. 2, hal 84-94. i-lib.ugm.ac.id/jurnal/download.php?dataId=4232 diunduh tanggal 21 Juni 2010, pada 00:04 WIB Redono, Cucuk. 2006. “Beberapa Faktor yang Berpengaruh terhadap Progesivitas Kelompok Tani Lahan Pantai di Kabupaten Kulon Progo”, Jurnal Ilmuilmu Pertanian, Volume 2, Nomor 1, hal 6-17. http://stppyogyakarta.com/wpcontent/uploads/2009/11/IIP_0201_06_Cucuk_Redono.pdf diunduh tanggal 14 Februari 2011, pada 12:07 WIB. Sekretariat Badan Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana dan Penanganan Pengungsi. 2009.Pedoman Penanganan Pasca Gempa. Bakornas PB, Jakarta. Shaw, Rajib. 2008. Kearifan Lokal dalam Pengurangan Resiko Bencana: Praktikpraktik yang Baik dan Pelajaran yang Dapat Dipetik dari Pengalamanpengalaman di Kawasan Asia-Pasifik. UNISDR. http://www.planasprb.net/sites/default/files/Kearifan%20Lokal%20dalam %20Pengurangan%20Risiko%20Bencana.pdf diunduh tanggal 20 Juni 2010 pada 07.59 WIB. 95 Soekanto, Soerjono. 2003. Sosiologi Suatu Pengantar. Cetakan ke 36. Raja Grafindo Persada, Jakarta. Soemardjan, Selo dan Soelaeman Soemardi (ed). 1964. Setangkai Bunga Sosiologi. Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta. Sugiantoro, Ronny dan Hadi Purnomo. 2010. Manajemen Bencana Respons dan Tindakan terhadap Bencana. Media Pressindo, Yogyakarta. Sunarto, Kamanto. 1993. Pengantar Sosiologi. Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta. Tonny, Fredian. 2004. Perspektif Kelembagaan dalam Pengelolaan DAS Citanduy (Studi Desentralisasi Pengelolaan dan Sistem Tata Pemerintahan SDA). Project Working Papar Series No.04. Pusat Studi Pembangunan IPB, Bogor. Undang-undang Republik Indonesia Penanggulangan Bencana. Nomor 24 Tahun 2007 tentang Wirasena, Prama. 2010. Peran Kearifan Lokal dalam Penyelamatan Sumberdaya Genetik Tanaman Hutan di Indonesia. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan Tanaman. Bogor. http://forplan.or.id/images/File/Apforgen/flyer/kearifan%20lokal.pdf diunduh pada tanggal 20 Juni 2010 pukul 13.34 WIB. Yusra. 1998. Pengetahuan, Sikap dan Praktek Pasangan Usia Subur tentang Pesan-pesan Pedoman Umum Gizi Seimbang (PUGS) serta Implikasinya pada Pemasaran Sosial. Thesis. Institut Pertanian Bogor, Bogor. LAMPIRAN 97 Lampiran 1. Kuesioner Penelitian KUESIONER KARAKTERISTIK SOSIAL BUDAYA MASYARAKAT DALAM KESIAPSIAGAAN DAN MITIGASI BENCANA DI DAERAH RAWAN BENCANA (Studi Kasus: Kelurahan Katulampa, Kecamatan Bogor Timur, Kota Bogor) Saya, Thresa Jurenzy, mahasiswi Institut Pertanian Bogor, Program Studi Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat. Sehubungan dengan penelitian yang saya lakukan kesediaan saudara/bapak/ibu untuk megisi kuesioner ini dengan keadaan yang sebenar-benarnya. Kerahasiaan jawaban saudara/bapak/ibu akan dijamin kerahasiaannya dan hanya untuk kepentingan penelitian ini. PENGIDENTIFIKASIAN RUMAH TANGGA Desa/Dusun/RW/RT : ............................................../................................/......../...... Tanggal Wawancara : ............................................................................................... Kode Rumah Tangga : ............................................................................................... Nama Responden : ............................................................................................... A. KOMPOSISI RUMAH TANGGA No. Nama Umur (Tahun) Jenis Kelamin Status Pendidikan Pekerjaan Utama Pekerjaan Sampingan Kode 1 Kode 2 Kode 3 Kode 4 Kode 4 Organisasi Kemasyaraka tan Kode 5 Kode 1 1= Laki-laki 4= Tidak tamat SMP 6= Ibu rumah tangga 6= Pengajian 2= Perempuan 5= Tamat SMP 7= Pelajar 7= Karang Taruna Kode 2 6= Tidak tamat SMA 8= Menganggur/ mencari kerja 8= LPM 1= Kepala Keluarga 7= Tamat SMA 9= Beristirahat/ pensiun 9= BPD 2= Istri 8= Perguruan Tinggi 10= Tidak mampu bekerja 10= Dewan Sekolah 3= Anak Kode 4 Kode 5 11= Lainnya, ........... 4= Lainnya (sebutkan) 1= Bertani 1= PKK Kode 3 2= Pegawai negeri 2= Posyandu 1= Tidak bersekolah 3= Pegawai swasta 3= KB 2= Tidak tamat SD 4= Wiraswasta 4= Koperasi 3= Tamat SD 5= Buruh 5= Arisan 98 B. PENGUASAAN ASET a) Berapakah pendapatan keluarga anda dalam sebulan? .................................................................................................................................................................................. .................................................................................................................................................................. b) Apakah keluarga anda memiliki tabungan? 1. Ya, jika ya jawab pertanyaan c) 2. Tidak c) Berapakah jumlah tabungan anda saat ini? ............................................................................................................................................................................ ...... .................................................................................................................................................................. d) Berapakah luas rumah anda? .................................................................................................................................................................................. .......................................................................................................................................... ....................... e) Bagaimanakah status kepemilikan rumah anda? 1. Milik 2. Sewa 3. Numpang 4. Gadai f) Bagaimanakah status fisik rumah anda? 1. Permanen 2. Semi permanen 3. Non permanen g) Barang elektronik apa saja yang anda miliki? 1. Televisi 4. Handphone 2. Radio 5. Kulkas 3. Komputer 6. Lainnya, .................................... h) Apakah anda memiliki kendaraan? 1. Ya, jika ya jawab pertanyaan i 2. Tidak i) Apakah jenis kendaraan yang anda miliki? 1. Mobil 2. Motor 3. Sepeda j) Apakah anda memiliki lahan (pertanian atau lahan kosong) dan berapa luasnya? 1. Ya, ..................... m2 2. Tidak k) Apakah anda memiliki perhiasan dan berapa jumlahnya? 1. Ya,....................... gr 2. Tidak l) Apakah anda memiliki hewan ternak? 1. Ya 2. Tidak m) Apa sajakah hewan ternak yang anda miliki? 1. Itik 5. Sapi 9. Lainnya,................ 2. Ayam 6. Kerbau 3. Kambing 7. Kelinci 4. Domba 8. Ikan n) Apakah anda mengikuti asuransi? 1. Ya, lanjut ke pertanyaan o) 2. Tidak o) Apakah jenis asuransi yang anda ikuti? 1. Asuransi Jiwa 2. Asuransi Kesehatan C. PENGETAHUAN, SIKAP DAN TINDAKAN MENGENAI LINGKUNGAN DAN BENCANA a) Dimanakah anda membuang sampah rumah tangga anda? 1. Tempat pembuangan sampah 5. Dinas kebersihan/ petugas pengumpul sampah 2. Lapangan atau kebun kosong 3. Sungai 4. Saluran air/ selokan b) Jika anda memiliki industri, kemanakah anda membuang limbahnya? 1. Tempat pembuangan sampah 5. Dinas kebersihan/ petugas pengumpul sampah 2. Lapangan atau kebun kosong 3. Sungai 4. Saluran air/ selokan 99 c) d) e) f) g) h) i) j) Berapakah jarak rumah anda dari sungai? 1. < 50 meter 2. ≥ 50 meter Apakah anda pernah menebang pohon yang berada di sekitar sungai (pohon yang ukurannya besar dan belum layak untuk ditebang karena sifatnya yang mengganggu)? 1. Ya 2. Tidak Apakah anda pernah menanam pohon di sekitar sungai? 1. Ya 2. Tidak Yang anda ketahui mengenai rawan bencana adalah: 1. Keadaan dimana suatu daerah tidak dapat mengalami bencana. 2. Keadaan dimana suatu daerah rentan untuk mengalami bencana. 3. Keadaan dimana suatu daerah rentan untuk mengalami bencana dan orang-orang yang berada di daerah tersebut tidak mampu untuk mengatasinya. Banjir dapat diakibatkan oleh: 1. Banjir dapat diakibatkan oleh hujan lebat yang airnya sudah melebihi daya tampung sungai. 2. Banjir dapat diakibatkan oleh kurangnya daerah resapan air sungai yaitu dengan bertambahnya bangunan di pinggiran sungai. 3. Banjir dapat diakibatkan oleh hilangnya penyerap air seperti pohon-pohon. 4. Banjir dapat diakibatkan oleh terjadinya penumpukan sampah di aliran sungai. 5. Banjir dapat diakibatkan oleh tersumbatnya saluran air/ selokan oleh sampah padat. Banjir dapat mengakibatkan: 1. Banjir dapat mengakibatkan tergenangnya daerah yang berada di sekitar sungai. 2. Banjir dapat menghanyutkan berbagai barang/ harta. 3. Banjir dapat merusak berbagai sarana seperti jembatan, tanggul, bendungan, jalan, dan rumah. 4. Banjir dapat mengakibatkan terganggunya layanan umum seperti air dan listrik. 5. Banjir dapat mengakibatkan tergenangnya lahan pertanian, perikanan dan peternakan. Cara mengurangi resiko banjir adalah: 1. Mendirikan bangunan dengan jarak lebih dari 50 meter dari sungai. 2. Mendirikan jalan dengan jarak lebih dari 50 meter dari sungai. 3. Menanam pohon di sekitar sungai. 4. Membuang sampah pada tempatnya. 5. Membersihkan saluran air/drainase secara rutin. Yang ikut berperan serta dalam penanggulangan bajir adalah: 1. Pemerintah 2. Masyarakat 3. LSM No Pernyataan 1. Apabila terjadi banjir, saya dan keluarga akan memindahkan barang-barang berharga ke tempat yang aman. Apabila terjadi banjir, saya dan keluarga akan pindah ke daerah evakuasi. 2. 3. 4. 5. 6. 7. Saya akan membeli persediaan makanan apabila debit air sungai sudah pada status Siaga 4. Saya akan memindahkan barang-barang berharga saya apabila debit air sungai sudah pada status Siaga 4. Saya memberikan pendidikan mengenai kebencanaan kepada anggota keluarga saya. Jika tanaman/ pohon tidak memberikan manfaat kepada saya, maka saya boleh memperlakukannya sesuka hati saya. Jika saya membutuhkan lahan untuk membuat rumah/ bertani, saya akan menebang pohon untuk membuka lahan tanpa memperhatikan STS TS KS S SS 100 8. 9. 10. kelestariannya. Kehidupan saya tergantung pada keadaan alam (mis: cuaca) Selama saya masih bisa mengambil manfaat dari alam saya akan menggunakan sesuka hati saya. Pohon-pohon yang berada di sekitar saya harus dijaga karena ada penjaga/penunggunya. D. KESIAPAN MASYARAKAT a) Apakah anda pernah mengadakan dan atau ikut serta dalam latihan-latihan dan upaya pencegahan dan penanganan banjir? 1. Ya 2. Tidak b) Apakah rumah anda tergolong rumah yang tahan atau anti banjir (rumah bertingkat)? 1. Ya 2. Tidak c) Apakah anda pernah mengadakan dan ikut serta dalam pendidikan umum yang berkaitan dengan banjir? 1.Ya 2. Tidak d) Apakah anda pernah mengadakan dan ikut serta dalam gotong royong membersihkan saluran/ drainase/ selokan? 1. Ya 2. Tidak e) Apakah anda pernah ikut bergotong royong membantu pembangunan dam/ tanggul/ bendungan? 1. Ya 2. Tidak f) Apakah anda memiliki tenda yang dapat menampung satu keluarga? 1. Ya 2. Tidak g) Menurut anda apakah anda sudah siap dalam menghadapi kemungkinan terjadinya banjir? Jelaskan. 1. Ya 2. Tidak ..................................................................................................................................................................................... ..................................................................................................................................................................................... ..................................................................................................................................................................................... ..................................................................................................................................................................................... -Terima Kasih- 101 Lampiran 2. Panduan Pertanyaan untuk Informan 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. Siapakah orang-orang yang sangat berpengaruh di kelurahan ini? Bagaimanakah bentuk pengaruhnya kepada masyarakat? Karena apakah dia berpengaruh? Dalam 3 tahun terakhir, sudah berapa kali terjadi banjir di daerah ini? Berapakah besar kerugian yang dialami karena banjir ini? Apa saja penyebab terjadinya banjir? Bagaimana akibatnya kepada masyarakat? Tindakan apa yang anda lakukan terhadap masalah ini? Bagaimanakah reaksi masyarakat pada saat air di bendungan naik? Apakah masyarakat sering mengadakan gotong royong membersihkan sungai/ saluran air. Dimanakah biasanya masyarakat membuang sampah rumah tangganya? Bagaimanakah hubungan antara masyarakat dengan alam sekitarnya? Apakah disini ada kepercayaan-kepercayaan yang sifatnya turun temurun yang berhubungan dengan penjagaan alam? Apakah ada tempat-tempat yang sifatnya mistis dan tidak boleh diganggu? Apakah ada aturan-aturan yang melarang atau meperbolehkan mengambil kayu atau menebang pohon ditempat-tempat tertentu dengan waktu tertentu? Apakah di kelurahan ini masyarakat sering mengadakan pertemuanpertemuan? Apakah ada suatu kebiasaan masyarakat yang dilakukan secara bersama-sama dan rutin, dihadiri oleh anggota masyarakat dan bersifat merekatkan hubungan antar masyarakat? Bagaimanakah kesiapsiagaan dan mitigasi di kelurahan ini, sesuai dengan indikator dibawah ini? No. Kegiatan 1. Pos-pos siaga bencana 2. Pelatihan siaga bencana 3. Membeli dan membuat peralatan pendukung dalam keadaan darurat 3. Simulasi bencana 4. Pembentukan tim Penyelamatan dan tim kesehatan 5. Pembagian leaflet/ brosur/ poster mengenai ancaman bencana dan tindakan pencegahan 6. Alat peringatan datangnya bencana 7. Undang-undang mengenai bencana Ada Tidak Ada 102 8. Pembuatan bencana dan publikasi 9. Pembuatan bencana pedoman 10. Pembuatan leaflet/ poster/ brosur mengenai bencana 11. Pengkajian karakteristik bencana bersama masyarakat 12. Mengutamakan upaya penanggulangan bencana dalam pembangunan 13. Pengawasan dalam pelaksanaan peraturan dalam izin mendirikan bangunan dan tata ruang yang berkaitan dengan pencegahan bencana. 14. Muatan lokal mengenai bencana dalam kurikulum pendidikan 15. Organisasi penanganan bencana 16. Forum khusus membahas masalah bencana 17. Pembuatan tanda peringatan bahaya dan larangan di daerah rawan bencana 18. Pelatihan dasar kebencanaan untuk aparat dan masyarakat. 19. Pemindahan penduduk ke daerah aman dari bencana 20. Penyuluhan mengenai bencana 21. Perencanaan daerah penampungan sementara jika terjadi bencana 22. Pembangunan dam atau tanggul 23. Pengkajian masyarakat resiko peta tanggap bencana rawan darurat bersama 103 Lampiran 3. Dokumentasi Penelitian Gambar 1. Sungai Ciliwung Gambar 2. Bendungan Gambar 4. Batu Penanda Banjir Gambar 3. Alat Mengukur Ketinggian Air Sungai 104 Lampiran 4. Peta Daerah Rawan Bencana Kelurahan Katulampa Daerah Penelitian Daerah Penelitian 105 Lampiran 5. Sketsa Daerah Rawan Banjir Kelurahan Katulampa 2010