BAB 2 LANDASAN TEORI Pada bab ini peneliti akan menyajikan beberapa teori yang berkaitan serta guna untuk dapat mendukung hasil akhir dan simpulan pada penelitian ini. 2.1 Kualitas Kerelasian Peter Drucker dalam Beatson, Amanda T. and Lings, Ian and Gudergan, Siegfried (2008 : 211), mengatakan bahwa : The Purchase of Business is to create customers. Implisit dalam katanya adalah pentingnya untuk mempertahankan konsumen dan meningkatkan hubungan yang lebih dalam dengannya. Menjalin hubungan dengan konsumen dikatakan sebagai senjata yang paling kuat untuk menjamin bahwa konsumen akan lebih loyal dan terikat pada perusahaan. Disini perlunya manajemen hubungan dengan konsumen (relations customer management), Chen, Chiu, Chen, and Liao (2011 : 17) menyatakan bahwa kualitas kerelasian adalah pendekatan komprehensif untuk menciptakan, mempertahankan dan meningkatkan hubungan dengan konsumen. Mohaghar and Ghasemi (2011) faktor keberhasilan dalam hubungan dengan konsumen (CRM success factors) adalah :1) Strong internal partnerships around the CRM strategy, 2) Employees at all levels and all areas accurately collect information for the CRM system, 3) CRM tools are customer – and employee – friendly, 4) Report out only the data you use, and use the data your report, 5) Don’t go high – tech when low-tech will do. Kualitas kerelasian (relationship quality) sangat relevan untuk dibahas dalam pemasaran. Mengingat ketidakterlibatan dan interaksi antara konsumen dan produsen begitu tinggi pada sebagian besar bisnis, pendekatan pemasaran yang hanya 11 12 berorientasi transaksi (transactional marketing) dengan sasaran tingginya penjualan dalam jangka pendek menjadi kurang mendukung pada praktik bisnis. Kualitas kerelasian menekankan rekrutmen dan pemeliharaan (mempertahankan) pelanggan melalui peningkatan hubungan perusahaan dengan pelanggannya. Jadi, dalam kualitas kerelasian, penarikan pelanggan baru hanyalah langkah awal dari proses pemasaran (Pi and Huang, 2011). Selain itu, mempertahankan pelanggan jauh lebih murah bagi perusahaan, daripada mencari pelanggan baru. Hal ini diperkuat oleh hasil penelitian Mohaghar and Ghasemi, (2011 : 457-458), ternyata diperlukan biaya lima kali lipat untuk mendapatkan seorang konsumen baru daripada mempertahankan seorang yang sudah menjadi pelanggan. Pengertian ini memberikan tambahan sudut pandang: 1. Ada perubahan dalam cara pandang perusahaan dalam melihat hubungannya dengan konsumen. Penekanan-penekanan yang bergerak dari fokus pada transaksi menjadi hubungan jangka panjang dengan pelanggan (mempertahankan dan membangun hubungan dengan pelanggan). 2. Adanya pengakuan bahwa kualitas, customer service, dan aktivitas pemasaran perlu dijalankan bersamaan. Pemasaran relasional memfokuskan pada pemanduan ketiga elemen tersebut dan memastikan terciptanya potensi kombinasi sinergis diantara elemen ini. Secara ringkas, beberapa hal yang membedakan antara pemasaran transaksional (tradisional) dengan kualitas kerelasian dapat dilihat pada tabel berikut ini (Mohaghar and Ghasemi, 2011 : 457-458) 13 Tabel 2.1 Perbedaan Pemasaran Tradisional dan Kualitas Kerelasian Aspek Fokus Pemasaran tradisional Fokus pada penjualan Kualitas Kerelasian Fokus pada mempertahankan konsumen Orientasi Orientasi pada karakteristik Orientasi pada manfaat produk produk Skala waktu Skala waktu jangka pendek Skala waktu jangka panjang Komitmen kepada Komitmen terbatas Komitmen tinggi Kontak dengan konsumen Kontak dengan konsumen rendah tinggi konsumen Kontak Kualitas Kualitas adalah urusan bagian Kualitas adalah urusan operasional semua departemen/ orang Sumber: Mohaghar and Ghasemi (2011 : 457-458) Menurut Kotler& Keller (2009) menyatakan bahwa : “Transaction marketing is part of a larger idea called relationship quality. Relationship quality has the aim of building mutually satisfying longterm relations with key parties-customers, suppliers, distributors-in order to earn and retain their business. Marketers accomplish this by promising and delivering high-quality products and services at fair prices to the other parties over time. Relationship quality builds strong economic, technical, and social ties among the parties. It cuts down on transaction costs and time. In the most successful cases, transactions move from being negotiated each time to being a matter of routine”. Demikian juga dikemukakan oleh Taleghani, Biabani, and Gilaninia (2011 : 79) tentang kualitas kerelasian, yaitu : ”Relationship quality defines from focusing 14 on transactions to building long-term, profitable relationship. Companies focus on their most profitable customers, products, and channels”. Bagaimanakah suatu perusahaan melakukan investasi dalam membangun loyalitas sehingga biaya tidak melebihi yang diperoleh, dan perlu membedakan lima tingkatan yang berbeda dalam inovasi untuk membangun kualitas kerelasian dikatakan oleh Kotler & Keller (2009) sebagai berikut : 1) Basic marketing : The salesperson simply the product 2) Reactive marketing : The salesperson sells the product and encourages the customer to call if the or she has questions, comments, or complaints. 3) Accountable marketing : The salesperson phones the customer to check whether the product is meeting expectations. The salesperson also asks the customer for any product- or service improvement suggestions and specific disappointments. 4) Proactive marketing : The salesperson contacts the customer from time to time with suggestions about improved product uses or new product. 5) Partnership marketing : The company works continuously with its large customers to help improve their performance. (General Electric, for example, has stationed engineers at large utilities to help them produce more power). Pentingnya mempertahankan pelanggan dapat dicapai melalui dua cara. Pertama dengan menyulitkan pembeli untuk berganti pemasok. Pelanggan cenderung untuk tidak berganti pemasok, apabila biaya modalnya tinggi, biaya pencariannya tinggi, sehinggaakan lebih sulit bagi pesaing untuk menerobos melalui penawaran harga lebih murah atau rangsangan lainnya. Upaya menciptakan kesetiaan pelanggan seperti ini, disebut sebagai relationship marketing, yaitu strategi dimana transaksi pertukaran antara pembeli dan penjual berkelanjutan, tidak berakhir setelah penjualan selesai (Kotler, 2003). Upaya penciptaan dan penambahan nilai bagi pelanggan dapat dituangkan dalam suatu bentuk produk pelanggan (customer service) yang merupakan bagian dari kepedulian pada pelanggan (customer care). Pada prinsipnya, ada tidak kunci dalam memberikan produk pelanggan yang unggul, yaitu : 15 1) Kemampuan memahami kebutuhan dan keinginan pelanggan. Termasuk didalamnya memahami tipe-tipe pelanggan. 2) Pengembangan database yang lebih akurat dari pesaing (mencakup data kebutuhan dan keinginan setiap segmen pelanggan serta perubahan kondisi persaingan). Database tersebut merupakan data pelanggan yang oleh perusahaan dianggap perlu dibina menjadi hubungan jangka panjang. 3) Pemanfaatan informasi-informasi yang diperoleh dari riset pemasaran dalam suatu kerangka strategi. Kerangka ini diwujudkan dalam pengembangan relationship quality (Hunt, 2011). Lebih jauh lagi, Hunt, (2011) menyatakan bahwa relationship quality mengandung lima unsur utama, yaitu : 1) Perlunya menempatkan pasar sebagai kiblat dari pemasaran dan organisasi. Antara pasar dan perusahaan memiliki kekuatan yang saling tarik menarik. Pasar dapat menarik masuk suatu produk dan menempatkannya pada posisi yang unggul, atau sebaliknya menghancurkan citranya. Kekuatan dari organisasi juga dapat menarik produk ke bawah sehingga gagal mencapai tujuannya, atau sebaliknya memberikan daya dorong yang memungkinkan lepas landas. 2) Pemasaran adalah penciptaan pasar (market creation) bukan market sharing. Hal ini dilandasi atas pemikiran bahwa hubungan baik dalam jangka panjang dapat memberikan peluang bagi diciptakannya produk-produk baru yang dibutuhkan oleh pelanggan. Hal ini berbeda dengan perusahaan yang berorientasi transaksi yang hanya berjuang untuk mengisi sebagian proporsi dari pasar dengan produk yang sudah ada. 3) Pemasaran adalah masalah proses bukan taktik promosional. Makna dari konsep ini adalah bahwa periklanan dan promosi hanyalah sebagian kecil dari strategi 16 pemasaran. Periklanan dapat memberi penguatan atas posisi di pasar, tetapi ia tidak dapat menciptakan posisi di pasar. 4) Pemasaran adalah kualitatif bukan kuntitatif. Angka-angka dapat memberi keamanan bagi penjual dalam pengambilan keputusan. Tetapi, penekanan pada penggunaan data masa kini dan masa lampau sebagai dasar untuk memperkirakan perkembangan pemasaran dimasa depan relatif tidak cocok untuk situasi pemasaran yang berubah-ubah. Survey pemasaran yang menerapkan pendekatan kualitatif mempunyai kekuatan yang lebih besar untuk menggambarkan kecenderungan pasar mengenai produk perusahaan. Pendekatan kualitatif juga penting dalam penjualan, karena pelanggan sering memutuskan pembeliannya berdasarkan faktor-faktor kualitatif, seperti : kepemimpinan, produk pelanggan, reliabilitas dan reputasi perusahaan. 5) Pemasaran adalah tugas atau pekerjaan semua orang. Sedangkan Mohaghar and Ghasemi, (2011 : 457-458) mengemukakan tujuh unsur kualitas kerelasian, yaitu Communication, Trust, Adaptation, Commitment, Interdependence, Co-operation, Atmosphere. 2.1.1 Trust dan Commitment Studi tentang kualitas kerelasian dikemukakan oleh Pi and Huang (2011) yang mengatakan bahwa pandangan strategi yang menekankan jangka panjang dan merupakan interaksi dari sisi kemanusiaan dari pembeli dan penjual. Ini memfokuskan pentingnya kualitas kerelasian dengan membangun komitmen dan kepercayaan dengan konsumen. 17 Dan perusahaan harus selalu berusaha menawarkan peluang-peluang baru untuk menciptakan hubungan yang lebih individual antara penjual dan pelanggan (Bejou dan Palmer dalam Hunt, 2011). Tugas tenaga pemasaran tidak lagi hanya membawa produk “keluar” / ke pasar, melainkan menggiring pelanggan “masuk” ke dalam perusahaan, agar dapat diperoleh masukan, serta keinginan dan kebutuhan mereka diketahui sejak dini. Jika perusahaan tidak mempunyai keterikatan dengan pelanggan maka tidak akan pernah punya pelanggan (Hunt, 2011). Kotler & Keller (2009), mengemukakan bahwa kebanyakan teori pemasaran lebih menekankan tentang seni untuk menarik konsumen baru dari pada untuk mempertahankan yang ada. Ini berarti lebih menekankan pada penjualan saja, daripada membangun “relationship”. Dan lebih mengutamakan Pre Selling dan Selling daripada Caring konsumen sesudah terjadi penjualan. Walter, (2011) mengatakan bahwa inti utama dari relationship adalah kepercayaan. Beberapa pendapat lain yang mengatakan bahwa “commitment” dan “trust”, adalah peran sentral dari kualitas relasional dikemukakan oleh (Hunt et.al, 2011; Beatson, 2011). Demikian juga Kotler dan Keller (2009) memberikan pandangan pentingnya bagaimana membangun kepercayaan, keyakinan pelanggan. Dan jika sudah demikian pelanggan akan dapat dengan sukarela mengikuti perusahaan Anda. Mengenai hubungan antara trust dan commitment terhadap keterikatan konsumen dapat digambarkan seperti di bawah ini. Perusahaan harus memberikan nilai pada produk atau jasa yang diberikan yang mengandung unsur kepercayaan kepada konsumen. Bagi konsumen yang sudah 18 merasa percaya maka emosinya akan tergugah dan akan menyebabkan konsumen komit kepada perusahaan. Customer Trustworthiness Trust EMOTIONS Commitment Basic values Provider Gambar 2.1 Trust & Commitment Sumber :Kaj Storbacka & Jarmo R. Lehtinen (2001), “Hubungan baik dengan pelanggan Management : Creating Competitive Advantage Through Win-Win Relationship Strategies”, hal. 29 Kotler, Payne dan Dwyer memberikan gambaran tentang tahap atau tingkatan hubungan antara konsumen dengan perusahaan. Secara bersamaan dapat digambarkan seperti di bawah ini. Kotler dan Payne menganggap bahwa partner adalah tingkatan paling tinggi dalam hubungan antara perusahaan dan konsumen, sedangkan Dwyer menganggap komitmen adalah tahap/ baris paling tinggi. 19 (Dissolution) Relationship Commitment Partners Partners Members Members Advocates Advocates Clients Clients Expansion Customers Traditional Exploration Awareness Repeat customers Firs-time customers Prospects Prospects Suspects (Based on Dwyer et al., 1987, p. 15) (Adapted from Payne et al., 1995, p. viii) (Based on Kotler, 1997, p. 26) Sumber : John Egan (2001:59) Gambar 2.2 .Relationship Ladders on Stages Hunt, (2011) menerangkan bahwa trust and commitment sebagai indikator yang sangat penting untuk keberhasilan hubungan konsumen dengan perusahaan. Dan keberadaan trust dan commitment dianggap sebagai masalah sentral dalam strategi pemasaran dalam hal keterikatan konsumen, dan masalah utama dimana 20 hubungan yang efektif antar penjual dan pembeli dapat diputuskan (Bejou dan Palmer dalam Egan, 2001). Sementara Pressey dan Mathews, dalam Egan (2001), bahwa trust dan commitment sering dipakai secara bersama-sama dalam literatur relationship management.Perusahaan jasa yang berorientasi ke pasar tidak hanya memfokuskan pada single transaction dengan konsumen, tujuan utamanya adalah starting, developing and maintaining relationship dengan konsumen. Berry dan Parasuraman dalam Kasper (1999), menyatakan bahwa : Relationship quality concern attracting, developing, and retaining relationship. Its central tenet is the creation of ‘true customers’ – customers who are glad they selected a firm, who perceive they are receiving value and feel valued, who are likely to buy additional services from the firm and who are unlikely to defect to a competitor. True customers are the most profitable of all customers. They spend more money with the firm on a per-year basis and they stay with the firm for more years. They spread favourable word-ofmouth information about the firm, and they may even be willing to pay a premium price for the benefits the service offers. Kepercayaan dianggap sebagai hal yang penting untuk menjaga hubungan dan meningkatkan hubungan dan mengurangi persepsi resiko secara efektif. Kepercayaan juga dianggap sebagai pondasi hubungan inter personal sebagai prasyarat untuk kerjasama dan sebagai dasar untuk stabilitas hubungan dalam institusi sosial dan pasar. Pentingnya kepercayaan (trust) menjadi pembicaraan belakangan ini berkaitan dengan penjualan melalui internet, dimana antara penjual dan pembeli sering tidak bertemu langsung maupun lebih mengandalkan kepada kepercayaan. Beberapa situasi dan indikator dari trust dikatakan oleh Mitchell dalam Egan (2001), sebagai berikut : 1) Probity (fokus kepada kepercayaan dan integritas dan reputasi) 2) Equity (berkaitan dengan fair-mindedness, benevolence) 21 3) Reliability (berkaitan dengan keandalan dan ketepatan serta konsistensi dari produk atau servis yang diharapkan dalam beberapa hal berkaitan dengan garansi yang dikeluarkan oleh perusahaan) Jika perusahaan dapat menunjukkan trustworthy kepada konsumen maka konsumen akan percaya kepada perusahaan dan pola hubungannya (Pi and Huang, 2011). Chen, (2008) mengatakan bahwa yang ada dalam pikiran konsumen pada saat dia ingin mengadakan hubungan adalah apakah perusahaan dapat dipercaya. Walter, (2011) menjelaskan bahwa untuk memperoleh kepercayaan konsumen perusahaan harus berbuat sedemikian rupa yang menunjukkan pada konsumen bahwa perusahaan mempunyai nilai jika dijadikan partner. Kita harus membuktikan dengan aksi bahwa hubungan dengan pelanggan harus mempunyai arti dan dibuat sebaik-baiknya. Hunt, menginginkan (2011) untuk mengutarakan mempunyai bahwa partner untuk yang bisnis dia customer percayai (trust) sering dan memperhatikannya. Hal ini akan memberikan hubungan yang lebih personal dan dalam situasi ekstrim dikatakan One-on-One personal contact . Commitment dianggap juga sebagai masalah utama dalam relationship marketing.Commitment mempunyai implikasi bahwa satu atau kedua belah pihak akan loyal dan menunjukkan stabilitas dalam hubungannya antara yang satu dengan yang lain. Storbacka dan Jarmo (2001) juga menjelaskan bahwa konsumen yang secara emosional komit kepada perusahaan lebih penting daripada konsumen yang yang membeli secara acak atau bahkan konsumen yang membeli banyak. Tujuan utama dari relationship marketing adalah untuk membangun dan mempertahankan pelanggan yang mempunyai komitmen yang pada akhirnya 22 akanmeningkatkan provitabilitas organisasi (Zaithaml, 1996). Untuk mencapai tujuan ini perusahaan harus berfokus untuk memperoleh, menarik kembali dan meningkatkan hubungan dengan konsumen. Berdasarkan uraian di atas, maka yang dimaksud kualitas kerelasian dalam penelitian ini adalah pendekatan komprehensif untuk menciptakan, mempertahankan dan meningkatkan hubungan dengan konsumen. Sedangkan unsur dari kualitas kerelasian adalah Communication, Trust, Adaptation, Commitment, Interdependence, Co-operation, Atmosphere. 2.2 Nilai Produk (Product Value) Pemasaran tidak hanya sekedar menyampaikan produk dari tangan produsen ke tangan konsumen, tetapi pemasaran pun memperhatikan apakah kebutuhan dan keinginan konsumen terpenuhi, apakah konsumen puas terhadap produk tersebut, dan apakah konsumen akan melakukan pembelian ulang dan menjadi loyal terhadap produk atau merek tersebut. Kotler & Keller (2006:13) mengungkapkan pula bahwa: “Suatu perusahaan berhasil menawarkan produk/jasa kepada pelanggan apabila mampu memberikan nilai dan kepuasan.” Nilai (value) adalah perkiraan konsumen atas seluruh kemampuan produk untuk memuaskan kebutuhannya.” (Kotler & Keller, 2006:10) Secara garis besarnya, nilai produk adalah perbandingan antara benefit (manfaat) yang dirasakan terhadap suatu produk dengan biaya yang harus dikeluarkan untuk mendapatkan produk tersebut. Untuk mendapatkan nilai produk yang sesuai dengan persepsi pelanggan, maka suatu perusahaan harus selalu mengikutinya dengan menyediakan produk/jasa yang sesuai, karena nilai produk selalu berubah sepanjang waktu. 23 Menurut Peter Drucker dalam Kotler & Keller (2006 :40), ‘tugas utama perusahaan adalah “menciptakan pelanggan”.’ Artinya, bahwa untuk dapat mempertahankan kelangsungan hidupnya, sebuah perusahaan harus memiliki konsumen yang merasa suka dan puas terhadap produk yang ditawarkan. Pada kenyataannya, menciptakan pelanggan tersebut tidaklah mudah. Perusahaan membutuhkan produk yang memiliki nilai yang sesuai dengan persepsi nilai produk yang berlaku. Selain itu perusahaan menghadapi tantangan tersendiri dalam menghadapi konsumennya, karena pada saat ini konsumen dapat lebih leluasa memilih produk, merek, dan produsen yang sesuai dengan kebutuhan dan keinginannya. Untuk itu perusahaan saling berlomba memberikan nilai tertinggi bagi konsumen, karena konsumen menginginkan nilai maksimum dengan dibatasi oleh biaya pencarian, keterbatasan pengetahuan, mobilitas, dan penghasilan. Semakin besar manfaat yang diberikan dibandingkan dengan harganya, maka semakin besar nilai yang diperoleh pelanggan terhadap produk tersebut. Nilai superior yang diterima pelanggan diantaranya berasal dari kualitas superior produk tersebut. Artinya bahwa kualitas yang diberikan produk melebihi kualitas dari produk lain yang sejenis. Kualitas yang superior akan dapat dirasakan oleh pasar apabila dikomunikasikan dengan pasar. Perusahaan harus dapat dirumuskannya dengan baik, serta memahami memiliki kebutuhan konsumen yang rancangan yang efektif dan pengawasan kualitas terhadap produk yang dibuatnya. Jika keduanya terlaksana dengan baik, maka kualitas superior dapat tercipta di dalam benak pelanggan, sehingga mendapatkan kesan kualitas yang baik di pasar. Untuk meningkatkan kesan kualitas, dapat diciptakan salah satunya dengan advertising dan juga komunikasi pemasaran lainnya, serta keunggulan biaya. Jika pelanggan memiliki kesan kualitas 24 yang baik, maka nilai yang didapatkan pelanggan melalui produk tersebut akan tinggi, sehingga perusahaan memiliki profitability, pertumbuhan, dan pangsa pasar yang tinggi. Menurut pendapat Zeithaml dan Bitner (2000:441), konsumen mendefinisikan nilai ke dalam empat definisi yang digambarkan sebagai berikut: VALUE IS LOW PRICE VALUE IS EVERYTHING I WANT IN SERVICE VALUE IS THE QUALITY I GET FOR THE PRICE I PAY VALUE IS ALL THAT I WANT GET FOR ALL THAT I GIVE (Sumber: Zeithaml dan Bitner, 2000:441) Gambar 2.3 Four Customers Definition Of Value Jadi menurut Zeithaml dan Bitner, bahwa konsumen mendefinisikan sendiri nilai produk sebagai harga yang rendah, nilai adalah apapun yang diinginkan konsumen dari produknya, nilai adalah kualitas yang didapatkan sebagai ganti dari harga yang dibayarkan, dan nilai adalah semua yang ingin didapatkan konsumen sebagai balasan dari apa yang diberikannya. Barnes (2001:104) mengungkapkan bahwa, “Nilai bersifat pribadi dan unik.” Nilai dikatakan bersifat pribadi dan unik karena nilai terkait dengan manfaat yang mereka terima dari sebuah produk dan biaya yang harus dikeluarkan untuk dapat merasakan manfaat tersebut. Halbrook (1999:27) mengungkapkan bahwa, “Nilai adalah preferensi yang bersifat relatif (komperatif, personal, dan situasional) yang memberi ciri pada 25 pengalaman seseorang dalam berinteraksi dengan beberapa objek.” Beliau pun mengungkapkan bahwa: “Nilai berkaitan dengan pengalaman dan menyangkut bukan hanya pembelian suatu objek, melainkan juga konsumsi dan penggunaan suatu jasa.” Barnes (2001:104) mengatakan bahwa: “Nilai dipersepsikan berbeda oleh berbagai segmen pelanggan. Pelanggan mengkombinasikan berbagai elemen yang bervariasi.” Uraian Bernes di atas dapat menjelaskan mengapa proporsi nilai seorang pelanggan yang satu tidak sama dengan yang lainnya. Suatu produk bernilai maksimum yang dianggap oleh seorang konsumen belum tentu dianggap bernilai maksimum oleh konsumen lain. Uraian tersebut menggambarkan bahwa tantangan perusahaan dalam memenuhi nilai yang sesuai dengan persepsi pelanggan tidaklah mudah, salah satunya dikarenakan segmen pelanggan yang berbeda-beda. Namun secara garis besar, nilai produk adalah perbandingan benefit dengan cost, sebagaimana yang diungkapkan oleh beberapa formula nilai di bawah ini: Nilai = Manfaat Fungsional + Manfaat Emosional Manfaat = Biaya Biaya Moneter + Biaya Waktu + Biaya Energi + Biaya Fisik Kotler & Keller (2006:13) Gambar 2.4 Gambar Nilai dan Manfaat Menurut Harjati dalam Usmara (2003:116) nilai produk menguraikan hubungan produk dengan pelanggan sebagai berikut: Nilai produk menguraikan hubungan antara produk dan pelanggan yaitu pemahaman pelanggan mengenai apa yang mereka inginkan dengan produk/jasa yang ditawarkan dalam memenuhi kebutuhannya, dibandingkan dengan biaya yang dikeluarkannya. 26 Menurut Kotler & Keller (2006:41), nilai yang diterima pelanggan adalah sebagai berikut: Nilai yang diterima pelanggan sebagai selisih antara total customer value (jumlah nilai bagi pelanggan) dan total customer cost (biaya total bagi pelanggan). Total customer value (jumlah nilai bagi pelanggan) adalah kumpulan manfaat yang diharapkan oleh pelanggan dari produk atau jasa tertentu. Total customer cost (biaya total pelanggan) adalah kumpulan pengorbanan yang diperkirakan pelanggan akan terjadi dalam mengevaluasi, memperoleh, dan menggunakan produk atau jasa tersebut. Nilai produk total menurut Hoffman dan Batteson (1997:154), terdiri dari: 1) Product value, the worth assigned to the product by the customer. 2) Service value, the worth assigned to the service by the customer. 3) Personnel value, the worth assigned to the service-providing personnel by the customer. 4) image value, the worth assigned to the image of the service or services provider by the customer. Sedangkan biaya pelanggan total masih menurut Hofman dan Batteson (1997:154), meliputi: 1) Monetary price, the actual price paid by the customer for a product. 2) Time costs, the time customer has to spend to actual the service. 3) Energy costs, the physical energy spent by the customer to actual the service. 4) Phisychic costs, the mental energy spent by the customer to actual the service. Hoffman dan Batteson mengidentifikasikan nilai produk total ke dalam empat nilai yang diterima. Pertama, nilai produk yang merupakan penilaian pelanggan terhadap produk. Kedua, nilai produk yang merupakan penilaian yang diberikan pelanggan terhadap produk. Ketiga, nilai karyawan yang diberikan berdasarkan 27 penilaian terhadap produk karyawan. Dan yang keempat adalah nilai citra, yang penilaiannya dilakukan oleh konsumen terhadap produk atau penyedia jasa. Total biaya pelanggan yang diungkapkan Hoffman dan Batteson di atas, diidentifikasikan ke dalam empat jenis biaya yang dikeluarkan pelanggan. Pertama, biaya moneter adalah harga aktual yang harus dibayar pelanggan untuk mendapatkan sebuah produk. Kedua, biaya waktu yang merupakan waktu yang dihabiskan untuk memperoleh produk. Ketiga, biaya energi adalah energi yang dikeluarkan untuk memperoleh produk tersebut. Dan yang keempat, biaya psikis yang merupakan energi mental yang dikeluarkan pelanggan untuk memperoleh produk tersebut. Menurut Usmara (2003:118), sasaran konsumsi pelanggan biasanya adalah: Sasaran nilai produk biasanya adalah untuk memperoleh benefit/ konsekuensi positif yaitu nilai penggunaan dan nilai kepemilikan. Nilai penggunaan meliputi fungsional benefit, setelah penggunaan produk mereka menerima benefit, misalnya efisiensi waktu, menghilangkan rasa haus, hiburan, mudah dibersihkan, awet, cepat saji, enak, dan lain-lain. Nilai kepemilikan adalah irasional benefit yang merupakan komponen yang menyebabkan kebanggaan jika memiliki, karena dalam produk terkandung simbolik penting harga diri, keindahan kualitas. Diungkapkan pula oleh Hoffman dan Betteson (1997:154) bahwa, “Buyers perceptions of value represent a trade-off between the perceived benefits of the service to the purchased and the perceived sacrifice in terms of the cost to be paid.” Artinya yaitu persepsi pembeli terhadap nilai menggambarkan sebuah perbandingan antara manfaat dari produk yang dibeli dengan pengorbanan yang dirasakan dalam hubungannya dengan biaya yang dikeluarkan. 28 Kotler & Keller (2006:13) menyatakan bahwa pemasar dapat meningkatkan nilai tawaran pelanggan dengan beberapa cara, yaitu: 1) Meningkatkan manfaat; 2) mengurangi biaya; 3) meningkatkan manfaat dan mengurangi biaya; 4) meningkatkan manfaat lebih besar daripada kenaikan biaya; 5) mengurangi manfaat lebih kecil daripada pengurangan biaya. Davis (Bilson Simamora, 2002:17) mengatakan bahwa, ‘Keseluruhan asosiasi terhadap merek dapat dipadatkan menjadi tiga bagian, yaitu (1) fitur dan atribut, (2) manfaat dan (3) keyakinan dan nilai.’ Jadi fitur dan atribut merupakan faktor dasar yang harus dipenuhi setiap merek. Jika fitur dan atribut telah terpenuhi, maka nilai yang tinggi dapat diberikan kepada pelanggan, karena menurut Temporal (Simamora, 2002:17), ‘Kesuksesan merek tergantung pada kualitas produk, layanan dan sumber daya manusia.’ Berikut ini merupakan gambar piramida nilai menurut Davis, dimana fitur dan atribut menjadi dasar untuk menciptakan benefit, sehingga nilai yang tinggi dapat dirasakan pelanggan. 29 The emotional, spiritual cultural value being adressed The functional or emotional benefits provided to customers Features or processes that must be demonstrated to customers Most meaningful and most difficult to imitate but hardest to deliver Belief and values Benefit Features and atributes Easiest to deliver, but least meaningful ant mostly easy to (Sumber: Davis dalam Simamora, 2002:17) Gambar 2.5 Piramida Nilai Davis Barnes (2001:123) mengelompokkan nilai yang diciptakan melalui tiga belas bentuk nilai, yaitu: 1) Nilai berbasis harga, 2) Nilai kemudahan atau akses, 3) Nilai berbasis pilihan, 4) Nilai berbasis karyawan, 5) Nilai informasi, 6) Nilai asosiasi, 7) Nilai yang memampukan, 8) Nilai hubungan, 9) Nilai keunikan pelanggan, 10) Nilai kejutan, 11) Nilai komunitas, 12) Nilai ingatan, 13) Nilai pengalaman. 30 Uraian dari bentuk-bentuk nilai tersebut adalah sebagai berikut: 1) Nilai berbasis harga. Dalam nilai ini, harga merupakan pemicu pelanggan untuk melakukan switcher (beralih kepada merek atau produk lain), apabila merek atau produk pesaing menawarkan harga yang lebih murah. 2) Nilai kemudahan dan akses yaitu produk dan merek perusahaan tersedia di banyak tempat penjualan, sehingga memudahkan pelanggan untuk membelinya. 3) Nilai berbasis pilihan, yaitu diciptakan melalui kesempatan yang diberikan kepada pelanggan untuk menyeleksi berbagai pilihan yang tersedia dari produk yang ditawarkan. 4) Nilai berbasis karyawan berkaitan dengan produk yang diberikan oleh karyawan kepada pelanggan. 5) Nilai informasi adalah ditandai dengan mudahnya pelanggan untuk mendapatkan informasi mengenai produk atau merek yang ditawarkan perusahaan. Saat ini banyak perusahaan besar yang telah memberikan produk informasi kepada pelanggan agar lebih mengenal produk mereka, yaitu melalui surat kabar, produk informasi produk di toko-toko, internet, televisi, dan lain sebagainya. 6) Nilai asosiasi adalah nilai yang diperoleh pelanggan melalui perasaan atau kesan positif dari produk atau merek dikarenakan telah mendapatkan kepuasan dari mengkonsumsi produk atau merek tersebut. 7) Nilai yang memampukan, yang berarti pelanggan mampu melakukan sesuatu dengan produk tersebut. 8) Nilai hubungan, yaitu nilai yang diciptakan perusahaan dengan cara melakukan hubungan yang baik dengan pelanggan. 9) Nilai keunikan pelanggan, yaitu nilai yang diciptakan perusahaan dengan memperhatikan karakteristik pelanggan sebagai individu. Diantaranya diwakili 31 dengan menciptakan produk yang beraneka ragam warna, bentuk, ukuran, rasa, dan lain sebagainya. 10) Nilai kejutan, yaitu nilai yang diberikan perusahaan kepada pelanggan dengan memberikan kejutan menarik bagi pelanggan. 11) Nilai komunitas adalah nilai yang diciptakan melalui komunitas pelanggan yang didirikan oleh perusahaan. 12) Nilai ingatan adalah nilai yang diciptakan pelanggan dikarenakan pelanggan ingat terhadap produk atau merek tersebut. 13) Nilai pengalaman adalah nilai yang diciptakan melalui pengalaman yang menarik, sehingga pengalaman tersebut tidak dilupakan dalam jangka waktu yang panjang. Sedangkan Kotler & Keller (2006:13) menganjurkan pemilihan salah satu dari lima “generic value strategis”, masing-masing yaitu:1) More for less, 2) more for same, 3) same for less, 4) more for more, 5) less for less. Lima generic value strategis (strategis nilai generik) di atas dapat diuraikan sebagai berikut: 1) More for less artinya bahwa perusahaan memberikan manfaat (benefit) yang lebih kepada pelanggan yang disertai biaya (cost) yang lebih rendah, jika dibandingkan dengan manfaat dan biaya yang diberikan pesaing. 2) More fore same adalah perusahaan memberikan manfaat yang lebih kepada pelanggan jika dibandingkan dengan pesaing, namun biaya yang ditawarkan sama dengan pesaing. 3) Same for less adalah memberikan kemanfaatan yang sama dengan pihak pesaing kepada pelanggan dengan biaya yang lebih rendah. 32 4) More for more adalah strategi perusahaan dimana produk yang ditawarkan memberikan manfaat yang lebih, disertai juga biaya yang lebih tinggi dibandingkan dengan produk pesaing. 5) Less for less yaitu memberikan manfaat yang rendah dan biaya yang rendah, jika dibandingkan dengan pihak pesaing. 2.3 Citra Perusahaan Pemberian merek individual oleh perusahaan, khususnya produk jasa hanya dapat dilakukan dengan sangat terbatas, mengingat jumlah dan variasi suatu produk/ jasa yang demikian banyak, serta citra perusahaan itu sendiri merupakan penjelasan dari merek produk atau jasa itu sendiri. Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa keputusan pemberian nama bagi suatu perusahaan merupakan suatu keputusan strategis karena hal tersebut merupakan keputusan pemberian merek yang akan berimplikasi pada citra perusahaan. Menurut Akin & Demirel (2011 : 130) dalam jurnal, mengutip pendapat Aaker bahwa definisi brand adalah, “ a distinguishing name/or symbol (such as a logo, trademark, or package design) intended to identify the goods or services of either one seller or a group of sellers, and to differentiate those goods or services from those competitor”. Sedangkan definisi merek menurut American Marketing Association yang dikutip oleh Kotler & Keller (2009;443), bahwa merek adalah nama, istilah, tanda, simbol atau design, atau kombinasi dari hal-hal tersebut, yang dimaksudkan untuk mengidentifikasikan barang atau jasa dari seorang atau sekelompok penjual dan untuk membedakannya dari barang dan jasa pesaing” 33 Dari kedua definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa merek sebenarnya adalah merupakan janji penjual untuk secara konsisten memberikan tampilan, manfaat tertentu kepada konsumen, sehingga apabila janji tersebut terpenuhi maka akan berimplikasi pada baiknya citra perusahaan. Dan janji yang diberikan oleh suatu merek yang baik adalah suatu jaminan bahwa apa yang dilihat oleh konsumen itulah yang akan mereka dapatkan atau dengan kata lain perusahaan mendapatkan citra yang baik di mata konsumen. Dalam era informasi sekarang ini, dimana konsumen dijejali dengan berbagai informasi, khususnya tentang produk/ jasa dalam jumlah yang banyak melalui berbagai media, seperti media cetak dan elektronik, maka upaya untuk membangun citra perusahaan menjadi semakin sulit. Banjirnya informasi tersebut bukan saja telah memberikan kepada konsumen banyak pilihan yang pada gilirannya semakin memperkuat posisi tawar - menawar konsumen, bahkan kondisi tersebut juga dapat semakin membingungkan mereka tentang produk mana yang akan dipilih. Dalam kondisi persaingan yang keras seperti ini, maka peranan merek yang kuat akan semakin penting bagi suatu produk dalam memenangkan persaingan. Merek yang kuat adalah merek yang memiliki equitas merek (brand equity) yang tinggi, Menurut Akin & Demirel (2011 : 131) dalam jurnal, bahwa ekuitas merek adalah “seperangkat asset (dan liabilities) yang berkaitan dengan simbol dan nama suatu merek yang menambah (atau mengurangi) nilai yang diberikan oleh suatu produk atau jasa kepada perusahaan atau pelanggan perusahaan. Peneliti lain, Awang (2011 : 31) dalam jurnal, berpendapat bahwa kita harus membedakan antara brand equity dengan brand identity. Menurutnya brand equity adalah : “The total accumulated value or worth of brand the tangible and intangible asset that the brand contributes to its corporate parent, both financially and interes of selling leverage” sedangkan brand identity adalah “The configuration of word, image, ideas and association that form a consumers 34 aggregate perception of a brand”. Dengan perkataan lain brand identity adalah merupakan bagian dari brand equity, yang merupakan persepsi keseluruhan merek di pasar yang dibentuk oleh personality dan positioning. Sedangkan Aaker dalam Awang (2011) mendefinisikan brand equity, merupakan “a unique set of associations that the brand strategist aspires to create or maintain. These associations represent what the brand stands for and imply a promise to customers from the organization members”. Hal penting yang perlu diperhatikan adalah bahwa brand equity itu secara keseluruhan hidup/ berada di dalam benak pelanggan, jadi brand equity bukan sesuatu yang diciptakan oleh pemasar, tetapi adalah sesuatu yang diciptakan oleh persepsi konsumen. Kalau begitu apa pula yang dimaksud dengan brand image ? Banyak orang mungkin lebih mengenal istilah brand image dibandingkan dengan brand equity dan brand identity. Aaker dalam Akin & Demirel (2011 : 131) mendefinisikan brand image sebagai “a sat of associations, usually organized in some weamingful way” (seperangkat asosiasi yang dirangkai dalam berbagai bentuk yang bermakna). Contoh, produk elektronik merek Nokia yang diasosiakan sebagai, teknologi canggih, kualitas gambar dan suara yang tinggi, produk purna jual yang handal, harganya mahal dan tahan lama. Haque, Rahman, and Haque (2011 : 100) mengatakan bahwa “image is on the receiver side” sedangkan “identity is on the sender’s side”.Artinya, citra (images) adalah bagaimana masyarakat mengartikan semua tanda -tanda yang di keluarkan atau disampaikan oleh merek melalui barang-barang, jasa-jasa dan program komunikasinya. Dengan perkataan lain citra adalah reputasi. Sedangkan menurut Huei and Easvaralingam(2011 : 128), mengutip pendapat Zeithaml, bahwa “organizational image as perceptions of an organization reflected in the associations 35 held in consumer memory”. Dengan demikian agar supaya image yang diperoleh sesuai atau mendekati brand identity yang di inginkan, maka perusahaan harus memahami dan mampu mengeksploitasi unsur-unsur yang membentuk dan membuat suatu brand menjadi brand yang kuat. Hal ini senada dengan ungkapan Gronroos dalam Palabra, (2011) bahwa “ A favorable and well know image – corporate and/or local is an asset for any organization because image can impact perceptions of quality, satisfaction, and loyalty. Menurut Akin, (2011:16) yang diperkuat oleh Kotler dan Keller (2009 ; 261), Ekuitas merek akan semakin tinggi seiring dengan semakin tingginya dimensidimensi dari citra perusahaan itu sendiri; dimensi-dimensi tersebut adalah : 1) kesadaran akan citra perusahaan (companyrecognition) 2) kesetiaan / pengenalan citra perusahaan (companyreputation) 3) kesan kualitas (afinity) 4) asosiasi-asosiasi merek dan asset lainnya seperti hak paten, stempel dagang, saluran distribusi, dan lain-lain(domain). Ekuitas merek dapat menambah atau mengurangi nilai produk atau jasa dimata konsumen (yang dimaksud nilai di sini adalah citra), karena ekuitas merek tersebut dapat membantu konsumen menafsirkan, memproses dan menyimpan informasi dalam jumlah yang besar tentang produk atau jasa yang dijanjikan merek. Di samping itu ekuitas merek juga bisa mempengaruhi rasa percaya diri konsumen dalam mengambil keputusan pembelian serta kepuasan dalam menggunakan produk. Demikian pula halnya bagi perusahaan (produsen), ekuitas merek yang kuat memungkinkan perusahaan melaksanakan program marketingnya secara lebih efisien dan efektif, menumbuhkan loyalitas terhadap merek, keunggulan dalam penetapan harga dan atau laba, memungkinkan perluasan merek, meningkatkan penjualan, dan akhirnya memberikan keunggulan kompetitif bagi perusahaan. Oleh karena itu sangat penting bagi manajemen perusahaan untuk selalu memperhatikan, memahami, dan memelihara dengan baik semua dimensi-dimensi ekuitas merek, sehingga semua keuntungan dan manfaat yang diperoleh konsumen maupun perusahan dapat terus dipertahankan. 36 Bagaimana Brand Equity memberikan nilai, terdiri dari empat fase yakni : Pertama, dimensi kesadaran citra perusahaan adalah kesanggupan konsumen untuk mengenali atau mengingat kembali, bahwa suatu citra merupakan bagian dari kategori merek produk tertentu, atau dengan perkataan lain adalah seberapa kuat suatu merek tertanam dalam benak dan ingatan konsumen. Ukuran kesadaran citra dibenak konsumen menurut Akin, (2011) bergerak mulai dari “pengenalan (recognition), pengingatan kembali (to recall), puncak pikiran (top of mind), dan yang menguasai (to dominant)”. Top of mind adalah posisi istimewa dimana suatu citra menjadi ‘pimpinan’ dari berbagai merek yang ada dalam ingatan/pikiran seseorang, sedangkan merek dominan adalah merek yang menempati posisi sebagai satu-satunya merek yang diingat kembali seseorang (responden) dengan persentase tinggi. Dalam kondisi persaingan belum terlalu tajam, top of mind sudah mencukupi. Namun bila persaingan sudah meningkat semakin tajam, maka top of mind saja tidak cukup. Upaya yang harus dilakukan adalah mengasosiasikan merek menjadi citra positif menurut konsumen dan membuat konsumen merasa bahwa merek kita merupakan jaminan kualitas. Kedua, dimensi Kesan kualitas (perceived quality) adalah persepsi konsumen terhadap keseluruhan kualitas atau keunggulan suatu produk atau jasa. Dan bila kesan kualitas meningkat, maka elemen kesan-kesan konsumen yang lainpun pada umumnya akan meningkat; misalnya, bila konsumen mempunyai kesan kualitas atas suatu produk itu baik, maka mereka juga akan beranggapan bahwa tarif/harga dari produk atau jasa itupun akan mahal. Dengan demikian adalah sangat penting bagi management perusahaan untuk selalu memahami hal-hal kecil yang dijadikan konsumen sebagai dasar untuk menilai kualitas produk atau jasa perusahaan. Perlu 37 diingat pula bahwa kesan kualitas yang tinggi tersebut bukan ditentukan oleh pihak perusahaan, melainkan oleh konsumen. Ketiga, dimensi Loyalitas merek adalah merupakan kesetiaan pelanggan terhadap suatu merek tertentu. Loyalitas merek berbeda dengan dimensi-dimensi yang lain, karena dimensi ini hanya dapat terjadi melalui pengalaman menggunakan produk atau jasa yang diwakili merek tersebut oleh pelanggan. Menurut Akin, (2011,39-40) kesetiaan terhadap merek inipun berjenjang, yaitu terendah adalah tidak loyal terhadap merek, pembeli yang puas, pembeli yang puas dengan biaya peralihan, menyukai merek dan yang tertinggi adalah pembeli yang komit. Pada tingkat paling dasar pembeli bersikap tidak loyal, dalam arti sama sekali tidak tertarik terhadap merek, sehingga pembeli cenderung untuk memilih/ membeli apapun dari suatu kategori produk atau jasa yang menawarkan kenyamanan dengan harga yang paling murah. Pada tingkat kedua, pembeli merasa puas dengan produk (jasa) yang digunakannya, atau tidak mengalami ketidak-puasan. Para pembeli tipe ini melakukan pembelian karena kebiasaan dan merasa tidak perlu atau tidak mempunyai alasan untuk mempertimbangkan alternatif lain. Namun demikian, bila produk yang ditawarkan perusahaan pesaing mampu menciptakan suatu manfaat yang nyata, maka mereka akan mudah untuk beralih kepada produk pesaing. Pada tahap ketiga pembeli merasa puas tetapi memikul biaya peralihan, umpamanya uang, waktu atau kinerja, apabila mereka akan beralih merek. Sebagai contoh adalah penggantian penggunaan perangkat lunak (software) sistem operasi oleh suatu pendidikan, selain memerlukan pengorbanan finansil juga adanya risiko bahwa belum tentu sistem operasi yang baru akan berjalan lebih baik dari yang digantikan. 38 Pada tahap keempat, pembeli sungguh-sungguh menyukai merek karena adanya preferensi yang berlandaskan kepada asosiasi-asosiasi dari merek, misalnya: logo, pengalaman menggunakan, kesan kualitas yang tinggi atau karena hal-hal yang bersifat emosional. Pada tahap tertinggi adalah para pelanggan setia yang loyal kepada merek. Pada umumnya pelanggan setia ini memiliki rasa kebanggaan menjadi pengguna dari merek karena dalam pandangan mereka merek tersebut selain sangat penting dari segi fungsinya, juga merupakan suatu ekspresi mengenai siapa mereka adanya. Berdasarkan uraian di atas, maka yang dimaksud citra perusahaan dalam penelitian ini adalah reputasi yang dimiliki oleh PT. NPP yang menawarkan jasa perawatan, ketika dipersepsi oleh para pelanggan. Dimensi dari citra perusahaan itu sendiri adalah : 1) Kesadaran akan adanya produk Beton PT. NPP (companyrecognition) 2) Pengenalan PT. NPP (companyreputation) 3) Ketertarikan dalam menggunakan produk beton dari PT. NPP (afinity) 4) Asosiasi-asosiasi merek danasset lainnya seperti hak paten, stempel dagang, saluran distribusi, dan lain-lain(domain). 39 2.4 Penelitian Terdahulu Tabel 2.2 Penelitian Terdahulu No Penulis Judul/Sumber/Tahun Alat Anaisis 1 Nandan Limakrisna Pengaruh Kualitas Pelayanan dan Kerelasian Nasabah terhadap Citra Perusahaan /2008/Jurnal EKonomi Bisnis No. 3 Vol. 13, Desember 2008 Regresi Linear Berganda 2 Mishra, Praharaj, and Mahapatra Path Analysis (Analisis Jalur) 3 Mohammad Dimyati CRM in Banks: A Comparative Study of Public andPrivate Sectors in India/2011/European Journal of Economics, Finance and Administrativ e Sciences ISSN 14502275 Issue 31 Theoretical Testing On Service Quality And Product Value Of Small-Micro Credit Banks (A Case Study) 4 Eyup Ekin dan Yavuz Demirel pengaruh identifikasi pelanggan dan Kualitas Kerelasian terhadap retensi pelanggan dan citra perusuhaan /2011/ European Journal of Social Sciences – Volume 23, Number 1(2011) Structure Equation Modeling (SEM) Path Analysis (Analisis Jaur) Hasil Penelitian/Rekomendasi Kualitas pelayanan dan kerelasian nasabah berpengaruh secara bersama-sama terhadap citra bank BNI Kota Bandung, namun apabila dilihat secara parsial, ternyata Kerelasian nasabah dominan mempengaruhi citra bank BNI, sedangkan kualitas pelayanan tidak mempengaruhi citra bank BNI. Terdapat pengaruh yang positif dan signifikan antara CRM dan kualitas pelayanan terhadap kepuasan pelanggan. CRM menjadi factor yang dominan mennentukan kepuasan pelanggan kualitas pelayanan secara signifikan mempengaruhi kepuasan pelanggan dan kepercayaan pelanggan serta kesetiaan pelanggan dengan arah hubungan positif; Kepuasan pelanggan dan nilai produk secara signifikan mempengaruhi kepercayaan pelanggan dengan arah hubungan positif; Kepercayaan pelanggan secara signifikan mempengaruhi loyalitas pelanggan dengan arah hubungan positif. Kepuasan pelanggan dan nilai produk tidak mempengaruhi kesetiaan pelanggan. indentifikasi pelanggan dan kualitas kerelasian terbukti berpengaruh terhadap retensi pelanggan, namun identifikasi pelanggan dominan. Demikian juga indentifikasi pelanggan dan kualitas kerelasian berpengaruh terhadap citra perusahaan, namun kualitas 40 No Penulis Judul/Sumber/Tahun Alat Anaisis Hasil Penelitian/Rekomendasi kerelasian pengaruhnya 5 Beatson, Amanda T. and Lings, Ian and Gudergan, Siegfried pengaruh kualitas relasional terhadap kepuasan, kepercayaan dan komitmen/2011/ The Service Industries Journal, 28(2). pp. 211223, 2011) Structure Equation Modeling (SEM) dominan kualitas kerelasian memiliki pengaruh yang positif terhadap kepuasan, kepercayaan, dan komitmen. Kualitas relasional berperan dalam menghambat konsumen untuk beralih 2.5 Kerangka Pemikiran Kualitas kerelasian merupakan pendekatan komprehensif untuk menciptakan, mempertahankan dan meningkatkan hubungan dengan konsumen. Hubungan dengan konsumen akan terjalin dengan baik apabila pelanggan memperoleh manfaat yang banyak dari perusahaan dan perusahaan memperoleh keuntungan dari pelanggan (win-win solutions). Manfaat yang tinggi bagi pelanggan dapat meningkatkan citra perusahaan, demikian juga biaya yang rendah akan dihasilkan dari hubungan baik dengan pelanggan, karena pelanggan akan mendapatkan perlakuan khusus dari perusahaan untuk menjaga hubungan baik itu sendiri. Sedangkan biaya yang rendah juga dapat meningkatkan citra perusahaan, sehingga kualitas kerelasian dapat dikatakan memberikan kontribusi secara teoritis dalam rangka meningkatkan citra perusahaan. Berdasarkan uraian kerangka pemikiran di atas, maka dapat digambarkan kerangka konseptual sebagai berikut 41 Relationship Quality Communication Trust Adaptation Commitment Interdependence Co-operation Atmosphere (Mohaghar and Ghasemi, 2011 : 457-458) Company Image Compeny recognition Reputation Afinity Domain (Akin & Demirel, 2011) Product Value Manfaat produk Total Biaya Pelanggan (Hoffman dan Batteson ,1997) Gambar 2.6 Model Kerangka Konseptual 2.6 Hipotesis Penelitian Menurut Sekaran (2006, p135), hipotesis bisa didefinisikan sebagai hubungan yang diperkirakan secara logis diantara dua atau lebih variabel yang diungkapkan dalam bentuk pertanyaan yang dapat diuji. Hubungan tersebut dapat diperkirakan berdasarkan jaringan asosiasi yang dapat ditetapkan dalam kerangka teoritis yang dirumuskan untuk studi penelitian. Adapun hipotesis yang peneliti rancang adalah hipotesis yang bersifat asosiatif, yang menjelaskan bagaimana hubungan dan pengaruh atau kontribusi antar variabelnya. Berikut ialah hipotesis yang peneliti rancang dalam penelitian ini: 42 Tujuan 1 1. Hipotesis pengujian secara individual antara Kualitas Kerelasian (X1) dengan Citra Perusahaan (Y) Pelanggan Beton pada PT Niaga Putra Perkasa Ho : Tidak ada pengaruh yang signifikan antara variabel kualitas kerelasian terhadap variabel citra perusahaan. Ha : Ada pengaruh yang signifikan antara variabel kualitas kerelasian terhadap variabel citra perusahaan. Tujuan 2 1. Hipotesis pengujian secara individual antara Nilai Produk (X2) dengan Citra Perusahaan (Y) Ho : Tidak ada pengaruh yang signifikan antara variabel nilai produk terhadap variabel citra perusahaan. Ha : Ada pengaruh yang signifikan antara variabel nilai produk terhadap variabel citra perusahaan. Tujuan 3 1. Hipotesis pengujian secara keseluruhan antara Kualitas Kerelasian (X1) dan Nilai Produk (X2) dengan Citra Perusahaan (Y) Ho : Tidak ada pengaruh yang signifikan antara variabel kualitas kerelasian dan Nilai Produk terhadap variabel keputusan Citra Perusahaan. Ha : Ada pengaruh yang signifikan antara variabel kualitas kerelasian dan nilai produk terhadap variabel citra perusahaan.