BAB I PENDAHULUAN I. Latar Belakang Masalah

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
I. Latar Belakang Masalah
Selain membutuhkan makanan, pakaian, dan tempat tinggal sebagai kebutuhan dasar yang perlu
dicukupinya untuk bertahan hidup, sepertinya manusia juga membutuhkan rasa senang sebagai
kebutuhan penting dan segera. Ada banyak peristiwa yang membuat penulis berasumsi bahwa
rasa senang merupakan kebutuhan penting dan segera bagi sebagian besar orang. Salah satu
contohnya : beberapa orang mencoba untuk memilih mengakhiri hidupnya dengan cara bunuh
diri karena merasa bahwa hidupnya tidak menyenangkan.
Karena merupakan kebutuhan penting dan segera maka banyak orang melakukan kegiatan yang
menyenangkan atau mengejar kesenangan. Menurut M. Seligman1 ada alasan yang lebih
mendalam mengapa orang secara serius mengejar kesenangan, yaitu karena mereka percaya
bahwa kesenangan dapat memberi mereka kebahagiaan. Bagi Seligman anggapan bahwa
melakukan hal-hal yang menyenangkan akan membawa kebahagiaan tidaklah salah, namun yang
salah menurut Seligman adalah premis mereka bahwa lebih banyak melakukan kegiatan yang
menyenangkan akan membawa kebahagiaan bagi mereka.
Adapun Seligman2 di sini membedakan antara kebahagiaan dan kesenangan, menurutnya
kesenangan hanya bersifat sementara saja sedangkan kebahagiaan dapat terus dirasakan.
Kesenangan terjadi selama kegiatan tertentu berlangsung, sedangkan kebahagiaan dirasakan
selama dan setelah selesainya dilakukan suatu kegiatan. Kesenangan hanya merupakan bagian
dari kebahagiaan. Digambarkan kebahagiaan adalah makanan yang merupakan kebutuhan dasar
hidup, sedangkan kesenangan adalah rempah-rempah yang memberi rasa pada makanan. Jadi
kesenangan juga menjadi penting untuk mencapai kebahagiaan, namun terfokus mengejar
kesenangan belum tentu dapat bahagia, karena ada beberapa bentuk kesenangan yang justru
mengurangi rasa bahagia, misalnya : kecanduan pesta, obat terlarang atau seks bebas. Karena
rasa nikmat kegirangan atau kesenangan akan berakhir jika kegirangan atau kesenangan itu juga
berakhir. Orang yang tidak bahagia akan menggantungkan diri mereka pada kegirangan atau
1
2
M. Seligman. Bahagia Sejati, Prestasi Pustaka (2003), p.57
ibid, p.58-65
2
kesenangan sebagai pelarian dari rasa ketidakbahagiaan yang mereka rasakan dan mereka akan
terus menerus berusaha meraih rasa girang itu.
Namun menurut penulis pendapat Seligman di atas tidaklah mutlak, karena banyak orang
memiliki pikiran yang beragam mengenai senang dan bahagia. Bagi penulis sendiri senang dan
bahagia tidak bisa diukur hanya berdasarkan bahwa senang itu sementara dan bahagia itu untuk
jangka waktu panjang, karena pada kenyataannya kondisi perasaan manusia bisa berubah setiap
saat.
Mengenai kesenangan, di konteks penulis secara umum (sebut saja : Indonesia), orang sering
mendengar sebuah peribahasa populer : “berakit-rakit ke hulu, berenang-renang ke tepian,
bersakit-sakit dahulu bersenang-senang kemudian”. Penulis menangkap bahwa perjuangan
manusia (berakit-rakit ke hulu) yang mana di peribahasa ini disamakan dengan “bersakit-sakit”
yaitu kondisi yang bertentangan dengan apa yang dikehendaki tubuh, ditempatkan sebagai
langkah awal, jalan, dan proses untuk mencapai kondisi senang. Dan istilah bersakit-sakit di sini
kadang diartikan menyiksa diri sehingga kesenangan dianggap sebagai suatu hasil dari kerja
keras seseorang yang melibatkan penderitaan. Demikian pula dalam rangka memperoleh
kesenangan, banyak orang di sekitar penulis juga memiliki sikap bahwa kalau ingin senang maka
orang perlu melakukan usaha dengan keras. Bagi mereka yang memahami bahwa rasa senang
terletak pada benda, ilmu, kekayaan, kekuasaan, seks dan meraih prestasi tinggi di dunia ini
maka mereka akan menggunakan waktu hidupnya untuk berusaha dengan keras demi
mendapatnya. Ketika masih sekolah penulis sering mendengar, anak-anak sering diberi nasehat
untuk belajar yang rajin, punya cita-cita setinggi bintang di langit, bersahaja serta hemat agar
hidupnya kelak bisa sukses dan merasakan senang. Dan ada pula sebaliknya di sisi lain ada pula
mereka yang memahami bahwa rasa senang sejati terletak bukan di dunia ini melainkan di sorga
maka mereka akan berusaha keras meraih surga dengan cara-cara supranatural seturut keyakinan
spiritual mereka.
Namun di jaman di mana orang-orang banyak memiliki pola atau gaya hidup yang ingin serba
instant (cepat) seperti sekarang ini, untuk membuat dirinya merasa senang, banyak pula orang
tidak ingin lama-lama dengan perjuangan yang dipahami harus merasakan penderitaan, dan kalau
perlu bentuk-bentuk perjuangan dikurangi sedemikian rupa agar mengurangi penderitaan. Karena
sepertinya penderitaan adalah salah satu hal yang paling dihindari manusia. Salah satu konsep
yang juga populer terdengar di masyarakat (lewat lagu misalnya) yaitu bahwa “…hidup memang
3
sudah susah tapi jangan dibuat susah…”. Oleh karena itu tidak jarang orang bahkan bersikap
mengesampingkan perjuangan (kerja keras) dengan mengabaikan hak-hak orang lain demi
memperoleh kenikmatan secara cepat karena hanya rasa senanglah yang menjadi fokus dari
keinginan hidupnya.
Dan sejauh pengamatan penulis, porsi keinginan orang untuk memuaskan diri dengan
kesenangan pun berbeda-beda. Di satu sisi, ada orang yang selalu menfokuskan tindakannya
demi untuk memperoleh rasa senang dengan segala bentuk kesenangan secara berlebihan walau
penuh dengan resiko (dengan meminjam istilah Seligman3, orang yang demikian disebut kaum
Hedonis). Dan di sisi lain ada pula orang yang justru bersikap menolak segala bentuk
kesenangan yang terdapat di dunia ini (dengan meminjam istilah Seligman juga, orang yang
demikian disebut Asketik), sehingga segala bentuk usaha manusia untuk memperoleh
kesenangan-kesenangan di dalam dunia ini kurang dihargai. Dan biasanya dengan alasan yang
bersifat religius, bagi mereka kesenangan di dunia ini semu, yang sejati ada di sorga, sehingga
yang baik untuk dilakukan bagi mereka adalah sebisa mungkin menghindari kesenangan yang
ada di dunia ini dan mengusahakan kebahagiaan di akherat (sorga) dengan hidup saleh. Namun
ada pula orang yang bersikap “seimbang”, yang mana berpandangan bahwa melakukan hobi atau
kebiasaan yang menyenangkan secara wajar dan tidak terlalu beresiko sebagai sebuah bentuk
kesenangan merupakan salah satu sarana untuk mendapatkan kebahagiaan hidup secara jasmani,
sambil tetap mendekatkan diri kepada Tuhan yang dipercaya sebagai sarana untuk.memperoleh
kebahagiaan hidup secara rohani.
Sikap masing-masing orang terhadap bentuk-bentuk kesenangan hidup bisa dipengaruhi oleh
berbagai konteks yang melingkupinya, entah itu dari keyakinan yang dianut, faktor psikologis,
sosial, ekonomi, tradisi, budaya lingkungan setempat, pendidikan, ataupun informasi yang dia
terima lewat pengalaman melihat, mendengar atau yang dia rasakan. Dan konteks keyakinan
penulis sendiri adalah seorang penganut Kristen yang memakai Alkitab sebagai salah satu
sumber inspirasi untuk pandangan hidupnya. Dan terkait dengan sikap terhadap kesenangan,
tentu banyak pandangan dari berbagai macam tradisi ke-Kristenan atau bagian lain dari Alkitab
yang bisa dipakai untuk menyorotinya.
3
M. Seligman. Bahagia Sejati, Prestasi Pustaka (2003), p. 63
4
II. Rumusan Masalah
Dan yang menjadi permasalahan bagi penulis adalah ketika penulis menduga ada 2 sikap
terhadap kesenangan hidup yang berbeda pada salah satu bagian Alkitab yaitu Kitab
Pengkhotbah (Kohelet) yang mana di pasal 2:24 (TB-LAI) berbunyi : “Tak ada yang lebih baik
bagi manusia daripada makan, minum dan bersenang-senang dalam jerih payahnya. Aku
menyadari bahwa inipun dari tangan Allah”. Kemudian pasal 3:12 (TB-LAI) berbunyi : “ Aku
tahu bahwa untuk mereka tak ada yang lebih baik daripada bersuka-suka (´imµâ) dan menikmati
kesenangan dalam hidup mereka”. Dan pasal 3:22 (TB-LAI) berbunyi : “ Aku melihat bahwa
tidak ada yang lebih baik bagi manusia daripada bergembira dalam pekerjaannya, sebab itu
adalah bahagiannya…..”. dari tiga ayat ini muncul kesan bagi penulis sebagai seorang pembaca
untuk bertanya : bukankah si pengarang kitab mempunyai sikap atau pandangan bahwa makan,
minum, bersuka-suka, menikmati kesenangan dan bergembira dalam kerja keras merupakan hal
terbaik yang bisa dilakukan dalam hidup ini. Ini menjadi sikap pertama yang diduga penulis.
Yang kedua, namun mengapa di pasal 7 : 4 menurut bunyi TB-LAI, dikatakan bahwa : “ orang
berhikmat senang berada di rumah duka, tetapi orang bodoh (k®sîlim) senang berada di rumah
tempat bersukaria (´imµâ)”. Sehingga terkait dengan soal sikap terhadap kesenangan, kesan
penulis setelah mendengar bunyi pasal 7: 4 ini adalah : apakah bunyi ayat ini menyatakan bahwa
orang tidak perlu mencari kesenangan hidup lewat rumah tempat bersukaria agar tidak menjadi
orang bodoh dan apakah seharusnya orang selalu berada di rumah duka yang identik dengan
kesedihan agar menjadi orang berhikmat ? Apakah memang demikian ? Lalu bagaimana jika
bersenang-senang di rumah kegembiraan merupakan bagian dari menikmati kesenangan dari
hasil kerja keras ?
Jadi yang menjadi pertanyaan di skripsi ini adalah : bagaimanakah sebenarnya sikap terhadap
kesenangan hidup di kitab Pengkhotbah ini ?
Tentu belum jelas mengenai maksud dari bunyi-bunyi ayat yang dibaca penulis di atas karena
kesan yang ditangkap dari bunyi kedua ayat tersebut adalah kesan yang didapat saat dibaca lepas
dari konteks perikopnya (ayatiah)4. Sehingga perlu adanya pemeriksaan terhadap pandanganpandangan (sikap-sikap) terhadap kesenangan seperti apa saja yang terdapat di kitab
Pengkhotbah ini.
4
E.G. Singgih, Exegese Naratif Dalam Teori dan Praktek : Apa dan Mengapa Exegese Naratif ?, Gema Duta
Wacana, no.46, 1993. p. 5
5
Adapun yang ingin dipaparkan di dalam bab-bab di skripsi ini terkait dengan sikap terhadap
kesenangan hidup adalah :
1. Latar belakang (konteks) pemikiran, pemahaman mengenai arti kesenangan, bentuk-bentuk
kesenangan yang dianjurkan serta kesimpulan mengenai sikap terhadap kesenangan hidup di
kitab ini.
2. Latar belakang (sosial/historis) kitab Pengkhotbah terkhusus dalam kaitannya dengan soal
kesenangan hidup, dengan pertimbangan bahwa pandangan-pandangan si pengarang kitab
Pengkhotbah tidak terlepas dari pergumulan di konteksnya sendiri.
3. Relevansi sikap terhadap kesenangan di kitab Pengkhotbah dengan sikap-sikap terhadap
kesenangan di konteks penulis.
III. Judul : Tafsiran Mengenai ´imµâ (kegembiraan) dan Istilah-istilah Lain Yang Berkaitan
Dengan Kesenangan Hidup Di dalam Kitab Pengkhotbah..
IV. Metode dan Tujuannya :
Metode : Penelitian literatur (sastra).
Karena kebutuhan pertama penulis adalah untuk mengetahui bagaimana latar belakang (konteks)
pemikiran dan pemahaman mengenai bentuk-bentuk kesenangan serta sikap terhadap
kesenangan hidup di kitab ini, maka perlu diadakan pemeriksaan terhadap konteks ayat-ayat
yang menyinggung (´imµâ) dan istilah-istilah lain yang menyinggung kesenangan hidup di
dalam kitab pengkhotbah untuk menarik kesimpulan dari sana. Dan untuk itu pula maka metode
yang digunakan penulis di sini adalah teori pendekatan kritik sastra yang dirumuskan oleh J. H.
Hayes dan C. R. Holladay, yang memberi perhatian pada masalah komposisi dan gaya retorik
teks. Adapun alasan mengapa pendekatan ini dipilih penulis adalah pertama, karena
menyesuaikan bentuk sastra kitab ini yang menurut analisa J.G Williams yang dirangkum oleh
R. Alter and F. Kermode
5
merupakan sebuah kumpulan pengajaran, atau menurut W.v.d.
Weiden6 kitab ini termasuk ke dalam salah satu sastra kebijaksanaan Israel. Yang kedua, baik
teori, langkah-langkah serta tujuan atau manfaat dari setiap langkah (item-item) yang
dirumuskan di dalam pendekatan tersebut lebih bisa diikuti penulis dengan melihat kebutuhan
5
R. Alter and F. Kermode, The Literary Guide to The Bible, The Belknap Press of Harvard University Press,
Cambridge Massachusetts, 1990. p.277-282
6
W.v.d Weiden, Seni Hidup : Sastra Kebijaksanaan Perjanjian Lama, Kanisius, Yogyakarta, 1995, p. 38
6
untuk melihat konteks sastra dari ayat-ayat yang menyinggung (´imµâ) dan istilah-istilah yang
menyinggung kesenangan hidup.
Dan berikut adalah rangkuman penulis mengenai teori menafsir teks Alkitab menurut teori
pendekatan kritik sastra yang dirumuskan oleh J. H. Hayes dan C. R. Holladay7 :
1. Alkitab adalah karya sastra, meskipun bisa saja dipandang lebih dari karya sastra. Dan
Alkitab harus dibaca seperti karya-karya sastra lainnya. Di dalam membaca kita memakai
kebiasaan-kebiasaan yang berlainan bergantung apakah yang kita baca itu prosa, cerita, puisi,
atau ayat. Pelbagai jenis sastra yang berlainan dapat berisi pelbagai macam arti yang
berlainan dan memberikan kepada para pembaca pelbagai jenis keterangan yang berbeda. Ini
berarti bahwa pertanyaan-pertanyaan yang berlainan harus diajukan dalam menyelidiki
pelbagai jenis sastra. Dan dalam rangka studi-studi sastra umumnya, kritik sastra menaruh
perhatian pada topik-topik yang luas seperti : struktur karangan dan karakter teks, teknikteknik gaya bahasa, pemakaian gambar-gambar dan simbol-simbol oleh pengarang, efek-efek
dramatis dan estetis dari sebuah karya dan sebagainya.
2. Kebanyakan sastra alkitabiah dapat disebut sebagai karangan bertujuan. Karangan-karangan
yang di dalamnya berupaya untuk mempengaruhi pembacanya mengenai pandanganpandangan, kebenaran-kebenaran, dan sikap-sikap hidup tertentu. Karena itu terhadapnya
dapat dilakukan analisis retorika. Hampir semua sastra lisan alkitabiah dihasilkan untuk
kebutuhan situasi-situasi yang amat khusus. Peristiwa, konteks dan situasi khusus tersebut
dapat disebut sebagai situasi-situsi retorik. Suatu situasi retorik meliputi seorang pendengar,
seorang pembicara atau seorang penulis, suatu topik atau masalah yang menjadi perhatian
bersama, dan suatu peristiwa komunikasi. Dalam suatu situasi retorik, pihak yang membuka
komunikasi (pembicara / penulis) berusaha untuk meyakinkan atau mempengaruhi pendengar
untuk menerima beberapa intepretasi atau sikap hidup yang khusus. Sehingga dalam menafsir
teks, kita perlu waspada terhadap dimensi-dimensi sastra dan retorik teks. Banyak tekanan
pada teknik-teknik penyusunan karangan dan ciri-ciri retorik menolong kita untuk memahami
bagaimana sebuah karangan dikembangkan, bagaimana struktur dan gayanya yang
mempengaruhi penyajiannya, dan apa tujuan yang ada dalam pikiran pengarang.
3. Karena sebuah teks, atau suatu bagian Kitab Suci, atau alenia, atau perikop pada umumnya
adalah bagian dari seluruh tulisan yang lebih besar yakni dokumennya sendiri. Sebagai
bagian dari seluruh tulisan yang lebih besar, maka setiap bagian memberikan andilnya pada
7
J. H. Hayes dan C. R. Holladay, Pedoman Penafsiran Alkitab (terjemahan I. Rakhmat), BPK Gunung Mulia, 1996,
p.86-96
7
maksud keseluruhan dokumen dan maksudnya juga diperoleh dari maksud seluruh dokumen.
Semisal sebuah perikop kitab Kohelet maka konteks luasnya adalah kitab Kohelet sendiri.
Tetapi sebuah teks memiliki sejumlah konteks sastra. Tentu saja untuk sebuah teks ada
konteks langsung dan tempatnya di antara bagian-bagian yang mendahului dan bagian-bagian
yang sesudahnya. Suatu bagian teks dan konteks langsung dapat merupakan bagian-bagian
dalam sub bagian yang lebih besar dari sebuah kitab, begitu juga sebuah kitab dapat tersusun
dari beberapa sub bagian juga. Sehingga dalam mencoba memahami teks tertentu, penafsir
harus melihat teks itu dalam struktur konteks luasnya, dan juga dalam struktur sub-sub
bagiannya. Dengan membaca keseluruhan dokumen, menyusun bagan atau garis besar, dan
memperhatikan garis besar yang diberikan dalam buku-buku tafsir maka seorang penafsir
dapat tertolong untuk menentukan struktur umum, gaya penulisan suatu karya sastra dan
teknik-teknik penyusunan karangan yang dipakai. Pelbagai macam teknik penyusunan
karangan dipakai untuk membuat garis besar struktur karangan mereka dan untuk
memadukan pelbagai sub-sub unit dan bagian-bagian bahan yang ada dalam karangannya.
Struktur dapat disusun berdasarkan banyak pertimbangan, seperti : tema, skema kronologis
(untuk kitab sejarah), alur cerita atau motif-motifnya, dan lain-lain. Ada bermacam-macam
teknik untuk menentukan struktur bagian-bagian karangan ataupun juga keseluruhan
karangan. Sarana yang sering dipakai untuk membuat struktur karangan adalah apa yang
dikenal sebagai “khiasmus”, yakni suatu prinsip penyusunan bahan-bahan karangan dalam
pola yang simetris dengan komponen-komponen lainnya. Dalam penyusunan empat-bagian,
struktur kiasmusnya-nya dapat mengikuti pola a-b-ba. Dalam pola ini, komponen yang
pertama dan yang keempat saling berhubungan, demikian juga dengan yang kedua dan yang
ketiga. Sarana lainnya disebut “inclusio”, yakni perumusan kembali atau parafrasa atas
gagasan atau frasa pendahuluan yang penting pada bagian kesimpulan dengan maksud untuk
menekankan kembali pokok yang diajukan atau sikap yang dipertahankan. Sarana-sarana ini
dipakai dengan meluas pada jaman dulu dan sering dijumpai dalam tulisan-tulisan alkitabiah.
Dan seorang penafsir akan tertolong memahami struktur sebuah dokumen kalau ia
mengetahui bahwa para penulis jaman dulu memakai teknik-teknik dan sarana-sarana
retorika. Bisa terjadi struktur menyeluruh suatu karangan tidak dikenal dan tidak dapat
dimengerti oleh pembaca masa kini, karena struktur itu tidak begitu saja kena dengan paham
modern tentang tata-urutan dan organisasi karangan; tetapi struktur itu cocok sekali dengan
paham jaman dulu tentang tata-penyusunan karangan. Sebuah dokumen boleh jadi secara
simetris sempurna dan secara sekuensial logis asal jadi pembacanya memahami apa prinsip
atau prinsip-prinsip yang mendasarinya.
8
4. Setelah menentukan karangan yang lebih luas yang di dalamnya terdapat teks yang mau
ditafsir, yakni apakah satu kitab tertentu ataukah suatu bagian besar tertentu dalam suatu
kitab maka seorang penafsir harus membaca karangan yang lebih luas itu berkali-kali karena
seorang penafsir akan tertolong untuk menentukan fungsi literer dari sebuah teks yang
ditafsir, yaitu bagaimana suatu bagian tertentu (teks yang ditafsir) berfungsi dalam konteks
terbatasnya dan dalam konteks luasnya. Untuk mengetahui fungsi literer teks maka penulis
perlu bertanya apakah teks yang ditafsir berfungsi sebagai Transisi ( jembatan yang
menghubungkan bagian satu dengan yang lain), Klimaks ( puncak dari beberapa alinea dan
bagian-bagian yang langsung mendahuluinya), Ilustratif (menggambarkan penegasanpenegasan sebelumnya, atau Ekstrinsik (sama sekali tidak cocok dengan konteks karangan).
Tahap ini berguna untuk mengetahui kedudukan teks atau seberapa pentingnya bagian teks
yang ditafsir dalam alur pergerakan pemikiran sebuah kitab yang utuh disamping memahami
nuansa-nuansanya yang khusus dan isinya yang khas. Pertanyaan-pertanyaan tersebut
diajukan sebagai upaya menghubungkan bagian yang tengah ditafsir dengan konteks luasnya,
dengan menetapkan kaitan-kaitan antar bagian teks. Hal ini penting dilakukan karena kunci
untuk menafsirkan teks seringkali terletak di luar teks itu sendiri dan ditemukan dalam
konteks luas karangan, sebagaimana yang telah dicatat sebelumnya bahwa arti suatu bagian
karangan ditentukan oleh arti bagian karangan yang lebih besar. Dengan meneliti suatu
bagian teks dalam kaitannya dengan konteks karangan yang lebih luas, penafsir membuka
kemungkinan bahwa pengarang atau pengumpul bahan karangan dengan hati-hati berupaya
untuk menyusun karangannya sebagai satu kesatuan dengan maksud untuk menimbulkan
dampak yang maksimal. Seringkali para pengarang jaman dulu dalam menulis memakai
teknik-teknik dan sarana-sarana retorika untuk mempengaruhi mereka akan kebenaran
sajiannya. Karena tulisan–tulisan Alkitabiah semula ditulis untuk dibacakan dengan suara
keras, maka dimensi retorik teks ini menjadi unsur yang penting dalam suatu karangan.
Sebaliknya, karena pada jaman modern ini orang lazimnya membaca dengan tidak bersuara,
maka dimensi-dimensi retorik ini seringkali diabaikan oleh para pembaca masa kini.
Demikian juga, karena para pengarang jaman dulu menyadari akan adanya kesulitankesulitan pada diri para pendengar dan pembacanya pada waktu mereka melengkapi
karangannya dengan rangkuman periodik sepanjang tuturannya itu untuk menolong pembaca
menangkap cerita atau argumennya.
5. Bahasa, selain dipakai untuk begitu saja menyampaikan informasi juga dipakai untuk
menciptakan dampak tertentu yaitu apa yang disebut sebagai nada literer. Dengan asumsi
bahwa pernyataan di teks sering mau menyampaikan sifat atau kualitas lain daripada
9
pernyataan langsung. Aspek ini diperhatikan untuk mengetahui dimensi tersamar dari cara si
pengarang kitab dalam mengungkapkan maksud tulisannya.
Berdasarkan rangkuman teori di atas berikut penulis membuat langkah-langkah yang akan
ditempuh penulis serta tujuan setiap langkah-langkah untuk menjawab pertanyaan skripsi ini :
ƒ
Menguraikan dimensi-dimensi sastra dan retorik ( menggunakan pandangan J.G.
Williams) dengan tujuan untuk mengetahui dasar-dasar pemikiran yang digunakan dalam
menentukan struktur kitab.
ƒ
Menguraikan struktur kitab menurut Rousseau (menggunakan pandangan J.L. Crenshaw
) dengan tujuan untuk mendapat kejelasan mengenai gambaran alur pemikiran kitab
ketika membaca seluruh kitab Pengkhotbah.
ƒ
Membaca seluruh teks kitab Pengkhotbah, menguraikan alur pemikiran kitab dengan
mengikuti struktur yang dibuat Rousseau sambil menampilkan kembali teks-teks yang
menyinggung kesenangan hidup yang difungsikan sebagai refrain (klimaks) di dalam
Kitab Pengkhotbah dengan melihat Biblia Hebraica Stuttgartensia sebagai sumber utama
dan melihat bunyi TB-LAI dan KJV, NKJ (sebagai pembanding), (menggunakan Bible
Works versi 4.0) dengan tujuan untuk mengetahui posisi teks-teks yang menyinggung
kesenangan hidup di dalam alur batang tubuh kitab Pengkhotbah .
ƒ
Menguraikan konteks langsung (terbatas) dan konteks luas (jauh) dari teks-teks yang
menyinggung kesenangan hidup di dalam Kitab Pengkhotbah (menurut hasil analisa R.N.
Whybray ) dengan tujuan untuk melihat alasan-alasan serta konteks-konteks pemikiran
lansung maupun tidak langsung yang melatarbelakangi seruan terhadap kesenangan
hidup di kitab Pengkhotbah.
ƒ
Menguraikan pemahaman terhadap arti atau maksud istilah ´imµâ (kegembiraan) serta
istilah-istilah lain yang menyinggung kesenangan hidup (menurut hasil analisa A.Gianto)
dengan tujuan untuk melihat “ide” atau gagasan dibalik pemakaian istilah-istilah tersebut
di dalam kitab Pengkhotbah.
ƒ
Menguraikan keterkaitan-keterkaitan antara penggunaan istilah ´imµâ (kegembiraan)
serta istilah-istilah lain yang menyinggung kesenangan hidup dengan konteks ayat-ayat
yang melingkupinya dalam rangka untuk mendaftar bentuk-bentuk kesenangan yang ada
di dalam Kitab Pengkhotbah.
ƒ
Menguraikan secara khusus konteks “kesenangan (´imµâ)” di pasal 7:4 (dengan
mencermati nada literer yang muncul di dalam konteks sastranya) dengan tujuan mencari
10
keterkaitan antara “kesenangan (´imµâ)” dan “kebodohan” ( k®sîl) di ayat ini, sekaligus
menjawab pergumulan skripsi.
ƒ
Catatan tambahan : ada sebuah aspek dari kritik sastra rumusan J. H. Hayes dan C. R.
Holladay yang tidak dimasukkan oleh penulis di sini adalah : Sumber historis teks
(perkembangan sejarah penyusunan teks). Sumber historis dari suatu teks dicari dengan
asumsi bahwa para pengarang jaman dulu dan para pengumpul bahan sering
memasukkan bahan-bahan dan sumber-sumber yang sudah ada sebelumnya ke dalam
karangan-karangan mereka, maka struktur dan bagan karangan mereka dapat berasal dari
struktur sumber-sumber yang sudah ada sebelumnya. Oleh karena itu dalam suatu
dokumen dapat ditemukan struktur yang berlapis-lapis. Dan dalam kitab yang mengalami
banyak penyuntingan bisa diketahui struktur sumber-sumber terdahulu sebelum menjadi
struktur bentuk akhir. Namun di dalam skripsi ini penulis tidak terlalu tertarik
memperhatikan dimensi ini karena penulis di sini ingin cenderung melihat kesatuan teks
dalam bentuk akhir saja. (demikian langkah pertama ini akan dipaparkan penulis di bab II
dan III).
Kemudian kebutuhan kedua penulis adalah mengetahui pergumulan sosial apakah yang bisa
dipahami dari konteks sosial (historis / dari luar kitab ) yang terkait dengan pandangan terhadap
kesenangan kitab ini maka penulis akan menggunakan sumber literatur yang dapat menjelaskan
mengenai konteks sosial / historis yang melatarbelakangi pergumulan kitab Kohelet ini yaitu dari
analisa S. de Jong dan merelevansikan sikap Kohelet tersebut dengan sikap-sikap yang terdapat
di dalam konteks penulis maka penulis akan terlebih dahulu memaparkan konteks dari sikapsikap terhadap kesenangan yang ada di sekitar penulis untuk kemudian mendialogkannya
keduanya sambil mempertimbangkan perbedaan konteks masing-masing. (Langkah kedua ini
akan dipaparkan penulis di bab IV).
Dan terakhir adalah penulis akan menarik kesimpulan mengenai sikap terhadap kesenangan
hidup di kitab Pengkhotbah.( Bagian ini akan dipaparkan penulis di bab V )
11
SISTEMATIKA
BAB I : Pendahuluan
1. Latar belakang masalah
2. Rumusan masalah
3. Judul skripsi
4. Metode dan Tujuan
5. Sistematika.
BAB II : Pengantar Ke Dalam Kitab Pengkhotbah
1. Dimensi-dimensi sastra
2. Retorik
3. Struktur
BAB III : Konteks ayat-ayat yang menyinggung (´imµâ) dan istilah-istilah lain yang
menyinggung kesenangan hidup.
1. Uraian mengenai alur pemikiran kitab dengan mengikuti struktur yang dibuat
Rousseau beserta uraian teks-teks kesenangan hidup yang difungsikan sebagai
refrain (klimaks) di dalam Kitab Pengkhotbah.
2. Uraian mengenai konteks langsung dan konteks luas (jauh) teks-teks yang
menyinggung kesenangan hidup di dalam Kitab Pengkhotbah menurut hasil
analisa R.N. Whybray.
3. Uraian mengenai arti atau maksud “ ´imµâ (kesenangan) dan istilah-istilah lain
yang menyinggung kesenangan hidup ” di kitab Pengkhotbah menurut hasil
analisa A.Gianto.
4. Uraian mengenai bentuk-bentuk kesenangan di dalam Kitab Pengkhotbah (uraian
tentang keterkaitan-keterkaitan antara penggunaan istilah ´imµâ (kegembiraan)
serta istilah-istilah lain yang menyinggung kesenangan hidup di dalam konteks
ayat-ayat terdekat yang melingkupinya).
5. Uraian khusus mengenai konteks “kesenangan (´imµâ)” di pasal 7: 4 (dengan
mencermati nada literer yang muncul di dalam konteks sastranya).
12
BAB IV: Relevansi
1. Konteks sosial-historis kitab Pengkhotbah.
2. Konteks penulis sebagai seorang pembaca atau penafsir.
3. Dialog konsep dan konteks antara sikap kitab Pengkhotbah terhadap kesenangan
hidup dan sikap yang terdapat di konteks penulis.
BAB V : Kesimpulan dan penutup.
Download