BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kekerasan seksual merupakan suatu ancaman yang sangat mengerikan saat ini terutama bagi perempuan dewasa, remaja, maupun anak – anak. Kasus kekerasan seksual terhadap remaja khususnya remaja putri merupakan salah satu kasus yang mengalami peningkatan secara signifikan dalam beberapa tahun terakhir ini. Hal tersebut didukung dengan pernyataan Direktur Eksekutif Women Crisis Center yang menyatakan bahwa 50% remaja mengalami kekerasan seksual dan angka kejadian setiap tahun meningkat (Roslaini, 2009). Berdasarkan pengamatan dan pendampingan staf Yayasan Kepedulian Untuk Konsumen Anak (KAKAK) terhadap anak-anak di Eks-Karesidenan Surakartayang mengalami kekerasan seksual selama 3 tahun terakhir ini (periode 2005-2008), jumlah anak korban kekerasan seksual adalah 73 anak (Sari cit Hertinjung, 2009). Berdasarkan sejumlah studi ditemukan bahwa 1 dari 3 wanita dan 1 dari 6 pria pernah mengalami pelecehan seksual pada masa kanak – kanak. Fenomena tersebut menunjukkan tingginya angka prevalensi pelecehan seksual pada anak dan remaja (Hertinjung, 2009). Sedangkan berdasarkan data Komisi Nasional Perlindungan Anak, pada tahun 2009 kasus kekerasan pada anak sudah mencapai 1998 kasus, dimana sekitar 65 persen diantaranya, merupakan kasus kekerasan seksual. Padahal sebelumnya, pada tahun 2008 kasus kekerasan seksual pada anak sudah meningkat 30 persen menjadi 1.555 kasus dari 1.194 kasus pada tahun 2007. Sama halnya yang ditemukan oleh Lembaga Bantuan Hukum (LBH APIK) Jakarta, menunjukkan adanya peningkatan kasus kekerasan atau kejahatan seksual terhadap anak sebanyak dua kali lipat sebesar 35 kasus dari tahun sebelumnya yang mencapai 16 kasus (Kristiani, 2009). Survei dari Lembaga Perlindungan Anak DIY dari tahun 2001 sampai dengan 2008 mencatat bahwa kekerasan seksual pada anak merupakan kasus tertinggi, yaitu sejumlah 153 kasus dibandingkan kasus kekerasan yang lain, misalnya kekerasan fisik (49 kasus), penelantaran (26 kasus), dan pencurian (20 kasus). Hal tersebut didukung oleh data kuartal pertamatahun 2014 dari Komisi Nasional Anak (KOMNAS), menunjukkan bahwa terdapat 450 lebih kasus kekerasan yang menimpa anak dengan kasus terbanyak adalah kasus kekerasan seksual. Berdasarkan data dari LSM Rifka Annisa telah tercatat terdapat sebanyak 222 kasus kekerasan pada anak dan 193 diantaranya adalah kekerasan seksual. jenis kekerasan seksual yang terjadi dapat dilihat pada Tabel 1. Usia Perkosaan Kekerasan dalam keluarga 1 Lainnya Total 6 Pelecehan seksual 8 1–4 0 15 5 – 11 40 32 3 0 75 12 - 17 76 15 17 1 132 18 – 23 78 54 31 2 494 Sumber: Rifka Annisa (2009) Selama ini fenomena kekerasan seksual yang terjadi pada anak merupakan gunung es, karena masyarakat masih menganggap hal tersebut sebagai aib keluarga, sehingga mereka cenderung menutupi atau bahkan kurang berani untuk melaporkannya ke pihak yang berwajib karena adanya ancaman dari pelaku (Paramastri, 2011). Padahal pelecehan seksual yang terjadi pada remaja dapat menimbulkan efek trauma yang mendalam pada korban. Salah satu efek yang dapat ditimbulkan adalah stress akibat pengalaman traumatis yang telah dialaminya. Selain itu, anak atau remaja yang pernah mengalami penganiayaan akan mengalami gangguan konsep diri yang ditunjukkan melalui sikapnya yang merasa jelek, tidak dicintai, tidak dikehendaki, muram, dan tidak bahagia, tidak mampu menyenangi aktivitas dan melakukan percobaan bunuh diri (Widiastuti, 2005). Berdasarkan penelitian yang dilakukan Machira pada tahun 2007, ditemukan bahwa 53,4% responden mengalami cemas sedang, yang bila tidak segera diantisipasi dapat menjadi cemas berat. Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Putri (2012) menunjukkan bahwa dari total 78 responden anak korban kekerasan seksual, sebanyak 64 subjek mengalami gangguan jiwa diantaranya adalah gangguan kecemasan, depresif, gangguan penyesuaian, dan gangguan stres pascatrauma. Berdasarkan hasil penelitian kualitatif yang dilakukan Fuadi (2011) mengenai dinamika psikologis remaja korban kekerasan seksual ditemukan bahwa semua responden (dua remaja) mengalami pandangan negatif terhadap dirinya. Selain itu, terdapat tanda – tanda stres pasca trauma (PTSD), dengan ditandai adanya pengabaian diri sendiri, perubahan mood dan perilaku, dan gangguan tidur. Hal tersebut didukung dengan hasil penelitian Hertinjung (2009) menyatakan remaja korban kekerasan seksual cenderung akan mengalami perilaku menarik diri dari sosial, mengisolasi diri, depresi, dan kecemasan. Respon terhadap kekerasan seksual merupakan suatu kondisi yang menjadi perhatian tenaga kesehatan. Respon manusia baik pada individu, keluarga atau masyarakat merupakan fokus perhatian perawat dan dapat ditarik menjadi diagnosa keperawatan. Hal ini sesuai dengan definisi dari diagnosa keperawatan merujuk ke taxonomy NANDA (Herdman, 2012) yang menyebutkan bahwa diagnosa keperawatan adalah penilaian klinis tentang pengalaman atau respon individu, keluarga, atau komunitas terhadap masalah kesehatan yang aktual atau potensial yang dialaminya, sehingga hal tersebut dapat dijadikan dasar untuk penentuan intervensi keperawatan yang akan dilakukan untuk mencapai hasil yang diharapkan. Penetapan diagnosa keperawatan memerlukan langkah-langkah khusus. Beberapa istilah yang digunakan untuk merujuk proses penegakan diagnosa ini, diantaranya adalah decision making, clinical judgment, diagnostic reasoning, clinical reasoning, problem solving, dan critical thinking. Berdasarkan literatur yang ada menyebutkan istilah diagnostic reasoning process adalah istilah yang paling tepat dalam menentukan proses penegakan diagnosis (Wong & Chung cit. Nurjannah, 2013). Diagnostic reasoning adalah sesuatu hal yang penting yang bertujuan untuk menegakkan masalah yang terjadi pada pasien (King cit Nurjannah, 2012). Salah satu metode diagnostic reasoning adalah terdiri dari 6 langkah (Nurjannah, 2012). Metode tersebut terdiri dari klasifikasi data, tetapkan kemungkinan diagnosa keperawatan atau diagnosa kolaborasi yang dapat muncul, kategorikan diagnosa tersebut berdasarkan NANDA, menghubungkan diagnosa satu dengan yang lain, memfokuskan pengkajian lanjutan, dan penentuan label diagnosa (Nurjannah, 2012). Selain itu, perawat tidak hanya menegakkan diagnosa keperawatan tetapi perawat juga penting dalam menentukan masalah kolaborasi pada populasi tersebut.Sampai dengan saat ini belum terdapat penelitian untuk mengidentifikasi diagnosa keperawatan dan masalah kolaborasi pada populasi anak yang mengalami masalah kekerasan seksual. Pengidentifikasian ini perlu dilakukan dengan menggunakan langkah-langkah penetapan diagnosa keperawatan yang khusus sehingga diharapkan diagnosa keperawatan yang teridentifikasi pada populasi tersebut akurat dan dapat menjadi dasar perencanaan intervensi keperawatan yang diperlukan bagi populasi tersebut. Berdasarkan pemaparan tersebut, maka peneliti tertarik untuk menerapkan metode enam langkah diagnostic reasoning dalam mengidentifikasi jenis – jenis diagnosa keperawatan serta masalah kolaborasi terutama yang terdapat di domain 6 dan domain 9 yang dapat muncul pada remaja korban kekerasan seksual. B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, maka perumusan masalah dalam penelitian ini adalah perlunya identifikasi diagnosa keperawatan dan masalah kolaborasi yang terdapat di domain 6 dan domain 9 yang dapat muncul pada remaja korban kekerasan seksualdengan menggunakan 6 steps method in diagnostic reasoning. C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum: Untuk mengidentifikasi diagnosa keperawatan dan masalah kolaborasi pada remaja korban kekerasan seksual. 2. Tujuan Khusus: a. Mengetahui faktor predisposisi yang mendorong timbulnya kekerasan seksual b. Mengetahui gambaran konsep diri yang dialami responden c. Mengetahui macam – macam dukungan yang diberikan kepada responden D. Manfaat penelitian Manfaat teoritis: Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan yang berhubungan dengan masalah yang terjadi pada remaja putri korban kekerasan seksual di Lembaga Swadaya Masyarakat yang bersangkutan. Manfaat praktis: 1. Bagi Lembaga Swadaya Masyarakat Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi tambahan dalam memberikan konseling dan bimbingan kepada klien remaja korban kekerasan seksual sesuai dengan kebutuhannya. 2. Bagi institusi kesehatan Hasil penelitian ini diharapkan bisa menjadi pertimbangan/masukan dalam memberikan pelayanan kesehatan yang tepat bagi para remaja korban kekerasan seksual. 3. Bagi profesi keperawatan Hasil dari penelitian ini dapat meningkatkan kualitas asuhan keperawatan kepada remaja remaja korban kekerasan seksual. 4. Bagi keluarga Hasil penelitian ini diharapkan menjadi bahan informasi dalam melakukan perawatan terhadap remaja korban kekerasan seksual. 5. Bagi peneliti Penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengalaman dalam menyusun karya tulis yang baik dan melakukan penelitian secara nyata sesuai prosedur dan kaidah yang berlaku, sehingga dapat memotivasi peneliti yang lain untuk melakukan penelitian lebih lanjut. E. Keaslian Penelitian 1. Fuadi (2011) meneliti tentang keadaan psikologis yang terjadi pada remaja korban kekerasan seksual dengan menggunakan metode kulitatif dengan pendekatan fenomenologi. Hasil dari penelitian ini adalah dari kedua responden didapatkan bahwa semua responden mengalami gangguan psikologis yang ditandai adanya perubahan sikap yang menjadi lebih mengisolasi diri dari lingkungan sekitar dan mengalami trauma terhadap kejadian yang dialaminya. Persamaan dari penelitian ini adalah responden penelitian yaitu remaja yang menjadi korban kekerasan seksual. selain itu, jumlah responden yang digunakan pun sama yaitu berjumlah dua responden. Sedangkan perbedaanya terdapat pada hal metode penelitian yaitu pada penelitian yang akan peneliti lakukan akan menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan studi kasus. 2. Machira (2007) meneliti tentang hubungan kekerasan dalam rumah tangga dengan tingkat kecemasan pada wanita. Penelitian ini dilakukan di LSM Rifka Annisa Women’s Crisis Center Yogyakarta menggunakan metode deskriptif korelasi (cross sectional method) dengan melibatkan 30 wanita korban kekerasan seksual. Hasilnya sebanyak 53,3% responden mengalami kecemasan sedang dan 80% mengalami lebih dari dua jenis kekerasan. Persamaan dari penelitian ini adalah responden penelitian yaitu perempuan yang mengalami kekerasan seksual. Sedangkan perbedaanya terdapat pada metode penelitian dan variabel penelitian yaitu pada penelitian yang akan peneliti lakukan akan meneliti variabel diagnosa keperawatan dan masalah kolaborasi. Selain itu, penelitian yang dilakukan Machira (2007) memiliki perbedaan tempat penelitian dengan penelitian yang akan dilakukan peneliti yaitu di PKBI Kota Yogyakarta. 3. Nurjannah (2013) melakukan penelitian mengenai perbandingan dua metode untuk menentukan diagnosis keperawatan. Penelitian ini melibatkan 44 responden yang terdiri dari perawat klinis dan perawat akademis. Para responden diberikan tiga kasus untuk dianalisis menggunakan metode dengan 4 langkah dan metode 6 langkah. Hasilnya adalah metode 6 langkah lebih efektif untuk mampu mengidentifikasi diagnosa keperawatan yang tepat daripada dengan menggunakan metode 4 langkah (p<0.001). Persamaan dari penelitian ini adalah instrumen yang digunakan. Perbedaanya terdapat pada responden penelitian dan tempat penelitian.