Persepsi dan Atribusi masyaraskat kepada Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) pada pemilihan Wakil Gubenur DKI Jakarta 2012 Makalah Diajukan untuk Melengkapi Nilai Mata Kuliah Psikologi Sosial Semester Tiga Terulin Cio Purba 2012 71 080 JURUSAN PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS ESA UNGGUL JAKARTA 2013 KATA PENGANTAR Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, yang telah memberikan izin dan kekuatan kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini dengan judul “Persepsi dan Atribusi masyaraskat kepada Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) pada pemilihan Wakil Gubenur DKI Jakarta 2012” tepat pada waktunya. Tugas ini ditujukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Psikologi Sosial. Dan juga penulis mengucapkan terimakasih kepada : 1. Ibu Safitri sebagai dosen Psikologi Sosial. 2. Orangtua yang selalu ada di hati penulis, terima kasih atas kesetiaanmu serta nasihat dan motivasi yang telah diberikan. Penulis membuka diri untuk kritik dan saran dari para pembaca demi kesempurnaan makalah. Kritik dan saran dapat dikirimkan ke salah satu email [email protected] Penulis mengharapkan semoga makalah ini dapat memberikan manfaat. Jakarta, November 2013 Terulin Cio Purba penulis: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Kata “Cina” selalu diasosiasikan dengan ras kulit kuning yang bermata sipit, komunitas eksklusif, pelit serta percaya tahyul. “Cina” juga sering dikonotasikan sebagai sesuatu yang “bukan kita”. Cina sudah bukan lagi masalah genetik, tetapi sudah berkembang menjadi kata sifat yang bermakna negatif. Mereka dianggap sebagai suku bangsa lain yang mengeruk kekayaan Indonesia untuk keuntungan mereka. Sesuatu yang membuat orang-orang “Pribumi” mudah iri terhadap orang-orang “Cina”, sehingga orangorang yang merasa “Indonesia Asli” bisa menjadi amat diskriminatif dan represif terhadap mereka. Puncaknya, adalah peristiwa Mei 1998, dimana toko-toko milik orang-orang Cina dijarah dan para wanitanya, konon banyak yang diperkosa. Ditengah pandangan masyarakat yang masih seperti tersebut diatas, memasang Ahok sebagai calon wakil gubenur adalah sebuah keputusan politik yang sangat berani. Menjual Ahok untuk menarik simpati publik adalah sebuah perhitungan politik yang melawan arus. Tetapi apa yang terjadi?, justru pasangan Jokowi-Ahok meraih suara terbanyak dalam acara pesta coblosan kemarin. Terlepas dari figur Jokowi yang memang kuat, figur Ahok yang “Cina” terbukti bukan menjadi “masalah”. Ini menandakan bahwa pandangan orang-orang Jakarta telah berubah, bukan saja terhadap kata “Cina”, tetapi juga terhadap kata-kata “Putra Daerah”. 1.2. Rumusan Masalah Dalam makalah ini penulis akan membahas mengenai beberapa masalah mengenai perlunya Persepsi dan Atribusi Masyarakat Terhadap Pemilihan Ahok Menjadi Wakil Gubernur Jakarta. 1.3. 1. Apa itu persepsi dan atribusi? 2. “ Cina” dimata masyarakat 3. Dampak persepsi masyarakat terhadap pemilihan Ahok Tujuan Penelitian Dalam makalah ini penulis mempuyai beberapa tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Menjelaskan pengertian dari persepsi dan atribusi 2. Menjelaskan pandangan masyarakat kepada “Cina” 3. Menjelaskan dampak persepsi masyarakat terhadap pemilhan Ahok 1.4. Sumber Data Data yang digunakan oleh penulis dalam membuat makalah ini adalah menggunakan data sekunder dimana data di ambil dari hasil mengumpulkan data-data dari buku dan browsing di internet. 1.5. Metode dan Teknik Makalah ini menggunakan Metode Kajian Pustaka. 1.6. Sistematika Penulisan Makalah ini berisi 3 bab. Bab I Pendahuluan yang berisi: Latar Belakang Masalah, Rumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Kerangka Teori, Sumber Data, Metode dan Teknik, Sistematika Penulisan. BAB II PEMBAHASAN 2.1 Pengertian Persepsi sosial dan Atribusi Secara umum, persepsi sosial adalah aktivitas mempersepsikan orang lain dan apa yang membuat mereka dikenali. Melalui persepsi sosial, kita berusaha mencari tahu dan mengerti orang lain. Sebagai bidang kajian, persepsi sosial adalah studi terhadap bagaimana orang membentuk kesan dan membuat kesimpulan tentang orang lain (Teiford, 2008). Sarwono (2002) juga menjelaskan bahwa individu dapat mempunyai persepsi sosial yang sama dan juga ada kemungkinan mempunyai persepsi sosial yang berbeda tentang stimulus yang ada dilingkungannya. Hal ini disebabkan antara lain oleh pengaruh sosial budaya dari lingkungan individu, objek yang dipersepsi, motif individu, dan kepribadian individu. Lebih jauh, sarwono (2002) menambahkan bahwa persepsi sosial juga sangat tergantung pada komunikasi. Artinya, bagaimana komunikasi yang terjadi antara satu individu dengan individu lainnya akan mempengaruhi persepsi diantara keduanya. Komunikasi disini menurut Sarwono (2002) bukan hanya sebatas komunikasi verbal melainkan juga komunikasi non-verbal yang terjadi antara keduanya, seperti perubahan ekspresi wajah, kontak mata, postur tubuh, dan gerak badan. Tingkah laku non-verbal dapat membantu kita unutk mencapai beragam tujuan (Patterson 1983) sebagai berikut. 1. TIngkah laku non-verbal menyediakan informasi tentang perasaan dan niat secara ajek. Contohnya, emosi sedih yang dialami seseorang dapat dikenali dari ekspresi wajahnya meskipun orang itu menyatakan ia tidak sedang sedih. 2. Tingkah laku non-verbal dapat digunakan untuk mengatur dan mengelola interaksi. Sebagai contoh, dalam kegiatan diskusi, ekspresi wajah atau seseorang yang mengangkat tangan dapat menjadi tanda bahwa orang itu hendak ikut berbicara dalam diskusi sehingga peserta diskusi lainnya dapat member kesempatan padanya. 3. Tingkah laku non-verbal dapat digunakan untuk mengungkapan keintiman, misalnya melalui sentuhan, rangkulan, dan tatapan mata. 4. Tingkah laku non-verbal dapat digunakan untuk menegakkan dominasi atau kendali, seperti kita kenal dalam ancaman non-verbal seperti mata melotot, rahang yang dikatupkan rapat – rapat, dan gerakan – gerakan yang diasosiasikan sebagai tindakan agresif tertentu. 5. Tingkah laku non-verbal dapat digunakan untuk mefasilitasi pencapaian tujuan, dengan cara menunjuk, member tanda pujian dengan mengangkat jempol, dan menampilkan senyum sebagai tanda memberi dukungan positif. Dalam penelitian – penellitian tentang komunikasi non-verbal menemukan ada lima saluran komunikasi non-verbal : ekspresi wajah, kontak mata, gerakan badan, dan postur, serta sentuhan. 1. Ekspresi Wajah sebagai Tanda dari Emosi Orang Lain Melalui ekspresi wajah, wajah kita dapat mengenali dan mengerti emosi orang lain. Penelitian – penelitian tentang hubungan antara ekspresi wajah dengan emosi menunjukkan bahwa ada lima emosi dasar yang secara jelas diwakili oleh ekspresi wajah : marah, takut, bahagia, kaget, dan jijik (Izard,1991; Rozin, Lowery, & Ebert, 1994). 2. Kontak Mata sebagai Tanda Non-verbal “Mata adalah jendela jiwa.” Pernyataan dari penyair kuno ini mendapat penguatan dari penelitian – penelitian tentang hubungan antara kontak mata dan tatapan sebagai tanda – tanda non-verbal dengan keadaan emosional. Kontak mata menyediakan informasi sosial dan emosional (Zimbardo, 1977; Kleinke, 1986). Orang secara sadar atau tidak sadar sering melakukan aktivitas yang melibatkan kontak mata. Contohny, pada saat orang lain mengetahui apakah suasana hati orang lain yang sedang ditemuinya bervalensi negatif atau positif, orang melihat kepada mata orang lain itu. 3. Gerak - gerik, Gerakan Badan, dan Postur Sebagai salah satu saluran komunikasi non-verbal, gerakan badan memberikan kita tanda – tanda non-verbal sehingga kita dapat mengenali dan mengerti keadaan emosi orang lain. Perpaduan posisi tubuh, gerakan tubuh, dan postur biasa disebut juga bahasa tubuh (body language). Bahasa tubuh dapat menunjukkan kepada kita keadaan emosional orang lain. Banyaknya gerakan yang dilakukan orang dapat memberi kita petunjuk tentang keadaan terangsang yang sedang dialami orang tersebut. Gerakan dalam jumlah besar dan berulang – ulang (menyentuh, menghentak, menggaruk) yang ditampilkan seseorang menunjukkan bahwa orang itu dalam keadaan terangsang (contohnya : menghasrati objek seksual, bersemangat, gatal). Semakin besar frekuensi gerakan, semakin tinggi pula tingkat keterangsangan atau kegelisahan yang dialami. Gerakan – gerakan kecil (gesture) yang berulang – ulang dapat mencerminkan perasaan cemas dari orang yang melakukannya. 4. Sentuhan Pemahaman terhadap apa yang hendak diungkapan melalui sentuhan tergantung pada beberapa faktor yang terkait dengan : 1) Siapa yang menampilkan sentuhan (keluarga, teman, orang asing, orang sesame jenis kelamin, atau berbeda jenis kelamin). 2) Jenis kontak fisik (lama atau sebentar, lembut atau kasar, bagian tubuh mana yang disentuh). 3) Konteks yang ada pada saat sentuhan ditampilkan (situasi bisnis, situasi sosial, atau ruang praktik dokter). Pengenalan serta pemahaman terhadap pemikiran dan perasaan orang lain melalui sentuhan merupakan kegiatan yang sangat kompleks. Namun, dalam beberapa budaya, jenis – jenis sentuhan tertentu secara konvensional dipahami sebagai ekspresi dari pikiran dan perasaan tertentu. Pada masyarakat barat sentuhan sering kali menghasilkan reaksi positif pada orang yang disentuh (Alagna, Whitcher, & Fisher, 1979; Smith, Gier, & Wills, 1982) sedangkan pada masyarakat lain, reaksi terhadap sentuhan bisa berbeda. 5. Komunikasi Nonverbal melalui Multi-saluran Dalam interaksi sehari –hari, kita biasanya menerima informasi dari beragam saluran dalam waktu bersamaan. Archer dan Akert (1991) menunjukkan bahwa orang mampu menafsirkan tanda – tanda yang diitampilkan melalui beragam saluran komunikasi nonverbal dengan cukup tepat, dengan memanfaatkan berbagai tanda meski ada perbedaaan pada beberapa tipe orang, misalnya, orang yang ekstrovert lebih baik kemampuannya dari pada orang yang introvert. Perbandingan antara informasi dari saluran – saluran yang berbeda dapat meningkatkan ketepatan penafsiran dari saluran – saluran yang berbeda dapat meningkatkan ketepatan penafsiran terhadap tingkah laku nonverbal. Dengan mencermati beragam tanda dari beragam saluran komunikasi nonverbal, dapat diperoleh pengenalan dan pemahaman yang lebih komprehensif tentang apa yang dirasakan orang lain. Atribusi adalah memperkirakan apa yang menyebabkan orang lain itu berperilaku tertentu. Menurut Myers (1996), kecenderungan memberi atribusi disebabkan oleh kecenderungan manusia untuk menjelaskan segala sesuatu, termasuk apa yang ada dibalik perilaku orang lain. Attribution theory (teori sifat) merupakan posisi tanpa perlu disadari pada saat melakukan sesuatu menyebabkan orang-orang yang sedang menjalani sejumlah tes bisa memastikan apakah perkataan-perkataan dan perbuatan-perbuatan orang lain dapat merefleksikan sifat-sifat karakteristik yang tersembunyi dalam dirinya, atau hanya berupa reaksi-reaksi yang dipaksakan terhadap situasi tertentu. Kajian tentang atribusi pada awalnya dilakukan oleh Frizt Heider (1958). Menurut Heider, setiap individu pada dasarnya adalah seseorang ilmuwan semu (pseudo scientist) yang berusaha untuk mengerti tingkah laku orang lain dengan mengumpulkan dan memadukan potongan-potongan informasi sampai mereka tiba pada sebuah penjelasan masuk akal tentang sebab-sebab orang lain bertingkah laku tertentu. Dengan kata lain seseorang itu selalu berusaha untuk mencari sebab mengapa seseorang berbuat dengan cara-cara tertentu. Misalkan kita melihat ada seseorang melakukan pencurian. Sebagai manusia kita ingin mengetahui penyebab kenapa dia sampai berbuat demikian. Dua fokus perhatian di dalam mencari penyebab suatu kejadian, yakni sesuatu di dalam diri atau sesuatu di luar diri. Apakah orang tersebut melakukan pencurian karena sifat dirinya yang memang suka mencuri, ataukah karena faktor di luar dirinya, dia mencuri karena dipaksa situasi, misalnya karena dia harus punya uang untuk membiayai pengobatan anaknya yang sakit keras. Bila kita melihat/menyimpulkan bahwa seseorang itu melakukan suatu tindakan karena sifat-sifat kepribadiannya (suka mencuri) maka kita telah melakukan atribusi internal (internal attribution). Tetapi jika kita melihat atau menyimpulkan bahwa tindakan yang dilakukan oleh seseorang dikarenakan oleh tekanan situasi tertentu (misalnya mencuri untuk membeli obat) maka kita melakukan atribusi eksternal (external attribution). Proses atribusi telah menarik perhatian para pakar psikologi sosial dan telah menjadi objek penelitian yang cukup intensif dalam beberapa dekade terakhir. Cikal bakal teori atribusi berkembang dari tulisan Fritz Heider (1958) yang berjudul “Psychology of Interpersonal relations). Dalam tulisan tersebut Heider menggambarkan apa yang disebutnya “native theory of action”, yaitu kerangka kerja konseptual yang digunakan orang untuk menafsirkan, menjelaskan, dan meramalkan tingkah laku seseorang. Dalam kerangka kerja ini, konsep intensional (seperti keyakinan, hasrat, niat, keinginan untuk mencoba dan tujuan) memainkan peran penting. Menurut Heider ada dua sumber atribusi tingkah laku: (1). Atribusi internal atau atribusi disposisional. (2). Atribusi eksternal atau atribusi lingkungan. Pada atribusi internal kita menyimpulkan bahwa tingkah laku seseorang disebabkan oleh sifat-sifat atau disposisi (unsur psikologis yang mendahului tingkah laku). Pada atribusi eksternal kita menyimpulkan bahwa tingkah laku seseorang disebabkan oleh situasi tempat atau lingkungan orang itu berada. Dan selanjutnya menurut Harlod Kelley dalam teorinya menjelaskan tentang bagaimana orang menarik kesimpulan tentang “apa yang menjadi sebab” apa yang menjadi dasar seseorang melakukan suatu perbuatan atau memutuskan untuk berbuat dengan caracara tertentu. Menurut Kelley ada tiga faktor yang menjadi dasar pertimbangan orang untuk menarik kesimpulan apakah suatu perbuatan atau tindakan itu disebabkan oleh sifat dari dalam diri (disposisi) ataukah disebabkan oleh faktor di luar diri. Pertimbangan tersebut yaitu: 1. Konsensus (consencus): Situasi yang membedakan perilaku seseorang dengan perilaku orang lainnya dalam menghadapi situasi yang sama. Bila seseorang berperilaku sama dengan perilaku orang kebanyakan, maka perilaku orang tersebut memiliki konsensus yang tinggi. Tetapi bila perilaku seseorang tersebut berbeda dengan perilaku kebanyakan orang maka berarti perilaku tersebut memiliki konsensus yang rendah. (misalkan pak Amin adalah penyuka lawakan yang dimainkan oleh group lawakan Srimulat. Setiap menonton pertunjukan Srimulat pak Amin selalu tertawa terpingkal-pingkel dan orang lain pun juga tertawa. Dalam contoh ini dapat kita katakan bahwa perilaku pak Amin dalam hal tertawa menonton lawakan Srimulat berkonsensus tinggi (high consencus). Tetapi bila hanya pak Amin saja yang tertawa sedangkan orang lain tidak tertawa, maka perilaku pak Amin tersebut memiliki konsensus yang rendah. 2. Konsistensi (consistency) adalah sesuatu yang menunjukan sejauh mana perilaku seseorang konsisten (ajeg) dari satu situasi ke situasi lain. Dalam contoh di atas, jika pak Amin selalu tertawa menonton Srimulat pada hari ini atau kapanpun pak Amin menonton Srimulat selalu tertawa, maka perilaku pak Amin tersebut memiliki konsistensi yang tinggi (high consistency). Semakin konsisten perilaku seseorang dari hari ke hari maka semakin tinggi konsistensi perilaku orang tersebut. 3. Keunikan (distinctivenss) menunjukan sejauh mana seseorang bereaksi dengan cara yang sama terhadap stimulus atau peristiwa yang berbeda. Dalam contoh di atas, kalau pak Amin tertawa menonton lawakan Srimulat, juga tertawa menonton lawakan lainnya (lawakan Tukul Arwana, extra vaganza, dll) maka dapat dikatakan perilaku pak Amin memiliki keunikan yang rendah (low distinctivess), tetapi kalau pak Amin hanya tertawa ketika menonton lawakan Srimulat sedangkan terhadap lawakan lainnya pak Amin tidak tertawa, maka perilaku pak Amin memiliki keunikan tinggi (high distictiveness). Mengapa demikian? Karena pak Amin konsisten hanya tertawa pada Srimulat, kepada lawakan lainnya meskipun lucu, pak Amin tidak tertawa. 4. Co-variasi antara ketiga faktor diatas akan menentukan apakah perlaku seseorang akan diatribusikan secara atribusi internal ataukah akan diatribusikan secara ekternal. Perilaku seseorang akan diatribusikan sebagai atribusi internal bila perilaku tersebut memiliki konsensus yang rendah, konsistensi tinggi dan keunikan yang rendah. Perhatikan situasi berikut: saya tertawa menonton srimulat-orang lain tidak tertawa menonton srimulat (konsesnsus rendah), saya selalu tertawa kapanpun saja saya menonton srimulat (konsistensi tinggi), dan saya selalu saja tertawa menonton pertunjukan lawak, tidak hanya dagelan srimulat (keunikan rendah). Menurut anda apa sebab saya tertawa. Apakah karena sifat kepribadian saya yang suka lawakan ataukah karena kecanggihan srimulat yang membuat saya tertawa ? Dalam situasi yang bagaimanakah orang akan mengatribusikan penyebab perilaku ke atribusi ekternal ? Yaitu bila perilaku tersebut ditandai dengan konsensus yang tinggi, konsistensi tinggi dan keunikan juga tinggi. 2.2 Pandangan Masyarakat terhadap “Cina” Dalam Ensiklopedia Nasional Indonesia, dikatakan bahwa istilah Cina berasal dari nama dinasti Chin (abad ketiga sebelum Masehi) yang berkuasa di Cina selama lebih dari dua ribu tahun sampai pada tahun 1913. Bencana banjir, kelaparan, dan peperangan memaksa orang-orang bangsa Cina ini merantau ke seluruh dunia. Kira-kira pada abad ke tujuh orang-orang ini mulai masuk ke Indonesia. Pada abad ke sebelas, ratusan ribu bangsa Cina mulai berdiam di kawasan Indonesia, terutama di pesisir timur Sumatra dan di Kalimantan Barat. Bangsa Cina yang merantau dari Cina ini di Indonesia lalu disebut dengan Cina perantauan. Orang-orang Cina perantauan ini mudah bergaul dengan penduduk lokal sehingga mereka bisa diterima dengan baik. Para perantau yang membawa keluarga mereka kemudian membentuk perkampungan yang disebut dengan "Kampung Cina." Di kota-kota dimana terdapat banyak orang Cina bertempat tinggal, kampung ini lalu disebut dengan Pecinan. Orang-orang yang tinggal di Pecinan ini banyak yang menjadi pedagang. Ketika bangsa barat, terutama Belanda dengan perusahaan dagangnya (VOC) memasuki Indonesia dan memonopoli perdagangan di Indonesia, para pedagang dari negeri Cina yang sudah menguasai perdagangan selama beratus-ratus tahun ini bentrok dengan mereka. Akibatnya, VOC dan kemudian pemerintah Belanda memberikan beberapa konsesi berupa hak-hak istimewa kepada bangsa perantau dari Cina ini. Salah satunya adalah mereka dianggap sebagai penduduk Timur Asing yang dianggap mempunyai kedudukan setingkat lebih tinggi daripada warga penduduk asli. Status istimewa ini mengakibatkan warga asli atau penduduk pribumi menjadi tidak suka kepada Cina perantauan ini. Bukan hanya itu, tetapi kolaborasi mereka dengan penjajah Belanda dan praktek dagang yang bercorak koneksi dan kolusi yang merugikan masyarakat pribumi serta perilaku mereka sebagai pemadat dan penjudi membuat orang-orang Cina perantauan ini semakin tidak disukai. Akibatnya, istilah "Cina" menjadi stigma yang berkonotasi jelek yang berpengaruh terhadap semua orang Cina perantauan. Akibat dari stigmatisasi istilah "Cina" itu, banyak orang Cina di Indonesia menggunakan nama lain yaitu Tiongkok yang berasal dari kata "Chung Kuo." Pada tahun 1901 mereka mendirikan sebuah organisasi yang bernama Tiong Hoa Hwee Kwan. Lalu pada tahun 1939 mereka mendirikan Partai Tionghoa Indonesia. Pada jaman Orde Lama, banyak warga keturunan Cina yang dikatakan sebagai pendukung aktivitas Partai Komunis Indonesia (PKI). Pada waktu itu pula hubungan antara Indonesia dengan Cina sangat mesra, sampai-sampai tercipta hubungan politik Poros Jakarta-Peking. Setelah meletusnya Gerakan 30 September/PKI, rezim Orde Baru melarang segala sesuatu yang berbau Cina. Segala kegiatan keagamaan, kepercayaan, dan adat-istiadat Cina tidak boleh dilakukan lagi. Hal ini dituangkan ke dalam Instruksi Presiden (Inpres) No.14 tahun 1967. Di samping itu, masyarakat keturunan Cina dicurigai masih memiliki ikatan yang kuat dengan tanah leluhurnya dan rasa nasionalisme mereka terhadap Negara Indonesia diragukan. Akibatnya, keluarlah kebijakan yang sangat diskriminatif terhadap masyarakat keturunan Cina baik dalam bidang politik maupun sosial budaya. Di samping Inpres No.14 tahun 1967 tersebut, juga dikeluarkan Surat Edaran No.06/Preskab/6/67 yang memuat tentang perubahan nama. Dalam surat itu disebutkan bahwa masyarakat keturunan Cina harus mengubah nama Cinanya menjadi nama yang berbau Indonesia, misalnya Liem Sioe Liong menjadi Sudono Salim. Selain itu, penggunaan bahasa Cinapun dilarang. Hal ini dituangkan ke dalam Keputusan Menteri Perdagangan dan Koperasi Nomor 286/KP/XII/1978. Tidak hanya itu saja, gerak-gerik masyarakat Cinapun diawasi oleh sebuah badan yang bernama Badan Koordinasi Masalah Cina (BKMC) yang menjadi bagian dari Badan Koordinasi Intelijen (Bakin). Setelah rezim Orde Baru tumbang, Presiden Abdurrahman Wahid mencabut Inpres No.14 tahun 1967. Setelah itu masyarakat keturunan Cina bisa menikmati udara bebas untuk merayakan tahun baru Imlek, melakukan atraksi barongsai, liong-liong, dan melakukan berbagai upacara dan perayaan lainnya. Tetapi, surat-surat keputusan lainnya belum dicabut sehingga masyarakat keturunan Cina masih merasakan belenggu diskriminasi. Dalam kehidupan sehari-hari mereka masih mendapatkan perlakuan khusus, misalnya kalau melamar untuk mendapatkan paspor mereka harus menyertakan surat kewarganegaraan. 2.3 Dampak persepsi masyarakat terhadap pemilhan Ahok Kamis kemarin, 19 Juli 2012, KPUD Jakarta mengumumkan hasil Pemilukada tanggal 11 Juli 2012 yang lalu. Hasilnya sebagai berikut: Jokowi – Ahok (42,6 %) Foke – Nara (34,05 %) Hidayat – Didik (11,7 %) Faisal – Biem (4,9 %) Alex – Nono (4,67 %) Herdardji – Riza (1,97 %) Tampilnya pasangan Joko Widodo – Basuki Tjahaja Purnama atau Jokowi – Ahok sebagai peraih suara paling tinggi cukup mengejutkan, karena survei-survei yang dilakukan sebelum hari pemilihan hanya menempatkan pasangan kotak-kotak itu pada posisi kedua. Pemilihan Ahok sebagai Wakil Gubernur DKI Jakarta tidak terlepas dari kontroversi. Perdebatan panjang dimulai bukan karena pola pemikiran panjang melainkan agama Ahok yang berbeda dengan kaum mayoritas Jakarta. Calon Wakil Gubernur yang diusung PDI Perjuangan dan Gerinda itu adalah beragama Kristen Protestan. Hasil ini menunjukkan, agama Calon Gubernur dan Wakil Gubernur tidak terlalu menjadi persoalan bagi warga Jakarta yang mayoritas Muslim. Mereka sama sekali tak menghiraukan fatwa atau pendapat yang mengharamkan memilih Non-Muslim sebagai pemimpin. Memang sudah seharusnya pemilih Jakarta menunjukkan kelasnya sebagai warga Ibukota yang cerdas, rasional dan jujur, yang menyadari isu agama itu dimunculkan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab, untuk kepentingan politik sesaat. Isu agama bukan kali pertama terjadi di dunia perpolitikan di Indonesia. Pemilihan Presiden tahun 1999, 2004 dan 2009 selalu diwarnai isu agama. Tahun 1999 sekelompok ulama dan tokoh Islam mengeluarkan fatwa haramnya perempuan menjadi presiden. Fatwa itu sengaja dimunculkan untuk menghadang Megawati Soekarno Putri, karena ada kekhawatiran terhadap orang-orang di belakang Megawati yang rata-rata abangan dan bahkan NonMuslim. Pada Pilpres 2004 isu agama kembali dihembuskan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Istri Presiden SBY dituduh beragama Kristen karena namanya Kristiani Herrawati. Demikian juga pada Pilpres 2009 istri Wakil Presiden Boediono dituduh beragama Kristen. Akibat tuduhan itu, beberapa kali Bu Herawati mengenakan jilbab untuk menunjukkan di depan publik bahwa tuduhan itu tidak benar. Ternyata semua isu agama itu tidak terbukti. Kekhawatiran adanya kristenisasi dan pembangunan gereja besar-besaran pada pemerintahan Megawati, ketika Bu Ani Yudhoyono menjadi ibu Negara dan pada saat Bu Herawati Boediono menjadi Ibu Wakil Presiden, semua itu tidak terbukti. Rakyat akhirnya paham bahwa isu agama hanyalah dijadikan mainan politik semata. Ahok memang bukan berasal dari Muslim, namun pemikirannya jauh di atas seorang Muslim taat yang selalu membawa-bawa nama agama ke mana pun langkah tergerak. Ahok berjalan di atas dasar agamanya sendiri dan melakukan peraturan bahkan seperti peraturan Islam. Inilah yang kemudian menjadikan Ahok disayang dan dibenci. Kebencian yang terpola karena tidak sanggup melakukan gebrakan yang sudah Ahok lakukan untuk membangun Jakarta lebih baik. Terlepas dari keyakinan yang diyakini seorang Ahok, tokoh ini patut dipertimbangkan dalam memimpin bangsa, tidak hanya Jakarta. Ahok berjalan di atas keyakinan bahwa segala sesuatu menjadi mungkin jika dilakukan bukan hanya menandatangani kontrak kerja lalu berdesas-desus tanpa kinerja. Kedisplinan Ahok patut diacungi jempol dan dituruti oleh semua kalangan jika mereka ingin maju dan berkembang. Agama Ahok memang sudah kontroversi, orang meragukan seorang nonmuslim memimpin muslim kebanyakan. Namun kenyataannya berkata lain, Ahok sama sekali tidak melarang perbuatan yang diperintah Islam. Ahok pun mengikuti alur ke mana larangan itu membawa petaka pada lingkungan Jakarta. Tentu saja, larangan Ahok bersifat universal tidak hanya muslim saja yang dapat menjalankannya melainkan seluruh umat di Jakarta. Ahok seakan mendengungkan Bagimu Agamamu, Bagiku Agamaku! Yang dalam Islam sudah menjadi sebuah perintah yang tertuang dalam al-Quran. Agama Ahok boleh diperdebatkan sampai kapan pun, selama Ahok tidak memerintah warga Jakarta mengikuti keyakinannya! BAB III KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Pasangan Jokowi-Ahok bukanlah pasangan yang hebat, mereka menjadi hebat karena masyarakat Jakarta mulai menyadari bahwa dikotomi kosmopolit-local atau pri-nonpri yang selama ini mereka andalkan terbukti tidak bisa menyelesaikan masalah-masalah mereka. Penduduk Jakarta telah memberikan contoh kepada rakyat Indonesia, bahwa ras, suku dan agama tidak dapat dijadikan acuan untuk menentukan apakah seseorang layak dijadikan pemimpin atau tidak. Cina, Batak, Bugis, Jawa, Islam, Kristen, Hindu tidak bisa dijadikan jaminan sebagai “pabrik” yang bisa mencetak seorang pemimpin baik. Ras dan agama seseorang tidaklah cukup untuk kita membuat persepsi terhadap seseorang. Pengenalan lebih terhadap seseorang dapat menumbuhkan persepsi dan atribusi yang positif. Dibutuhkan setidaknya sedikit waktu untuk kita bisa menilai sesorang. Saran Memilih pemimpin harus didasarkan kepada kemampuan calon pemimpinnya, bukan apa agamanya. Karena agama adalah urusan pribadi antara seorang hamba dengan Tuhannya. Yang perlu di pertimbangkan saat memilih pemimpin adalah sejauhmana kemampuan pemimpin untuk membuat sebesar – besarnya kemakmuran rakyat. Karena itu, yang harus dipilih adalah pemimpin yang adil sehingga kepemimpinannya membawa manfaat bagi rakyatnya. DAFTAR PUSTAKA Jones, E.E. dan K.E. Devis. 1965. “From Acts to Dispositions :The Attribution Process in Person Perception.” Advances in Experimental Social Psychology, 63 hlm. 220-226. http://mikeportal.blogspot.com/2012/08/ahok-cina-loe.html http://susisitisapaah.blogspot.com/2011/09/atribusi-sosial.html http://politik.kompasiana.com/2012/07/20/pandangan-saya-sebagai-orang-islam-terhadapahok-479224.html http://sosok.kompasiana.com/2013/09/05/pola-pemikiran-ahok-yang-memukau-590031.html