MALFUZĀT JILID I Penterjemah: Mukhlis Ilyas Mbsy (hlm 1) BAIAT, TAUBAT, DAN DOSA ”Hendaknya diketahui apa faedahnya yang terkandung dalam baiat dan mengapa hal itu perlu. Sebab selama faedah dan nilai sesuatu tidak diketahui maka ia tidak memiliki nilai di pandangan mata. Sebagaimana manusia menyimpan berbagai macam harta kekayaan di dalam rumahnya. -- seperti uang rupiah, uang sen, uang, kori (pecahan uang terkecil - pent .), kayu dan sebagainya -- maka pemeliharaan segala sessuatu itu tergantung pada jenis bendanya. Dia tidak akan menyiapkan sarana-sarana untuk menjaga uang kori sedemikian rupa, sebagaimana yang ia harus lakukan untuk uang sen dan rupiahnya. Bagi kayu dan lain sebagainya dia akan letakkan begitu saja di sudut ruangan. Dia tidak akan menyiapkan sarana-sarana untuk menjaga uang kori sedemikian rupa sebagaimana yang harus ia lakukan untuk uang sen dan rupiahnya. Bagi kayu dan lain sebaginya dia akan letakkan begitu saja di sudut ruangan. Yakni, suatu benda yang kalau hilang akan menimbulkan kerugian lebih besar maka penjagaannya akan lebih ketat. Demikian pula halnya dalam baiat, masalah yang paling besar adalah taubat, yang berarti rujuk (kembali). Ini adalah suatu kondisi dimana seorang manusia mempunyai hubungan erat dengan dosa dan dia telah menganggapnya sebagai tanah air, seolah-olah ia telah menetapkan tempat tinggalnya di dalam dosa itu, maka arti taubat adalah dia harus meninggalkan tanah air tersebut, sedangkan arti rujuk (kembali) adalah menempuh kesucian. Meninggalkan tanah-air adalah suatu hal yang sangat berat dan menimbulkan berbagai macam penderitaan. Seseorang yang yang meninggalkan rumahnya, betapa ia merasakan kepedihan. Dan dalam meninggalkan tanah-air, dia terpaksa ia harus memutuskan hubungan dengan segenap handai-taulan dan segala sesuatu – seperti tempat tidur, tanah, lorong-lorong dan pasar-pasar – semuanya harus dia tinggalkan, pergi ke tempat baru, yakni dia tidak akan pernah kembali ke tanah airnya. Itulah yang dinamakan taubat. Sahabat dosa itu lain dan sahabat takwa pun lain, para sufi menyebut perubahan ini maut (kematian. Barangsiapa bertaubat dia terpaksa menanggung kesusahan yang besar. Dan ketika melakukan taubat sejati dia akan dihadang oleh kesulitan-kesulitan besar, dan Allah Ta‟ala Maha Pemurah, Maha Penyayang. Selama Dia tidak menganugerahkan ganjaran nikmat atas seluruh hal itu, Dia tidak akan menghantamnya. Hal inilah yang diisyaratkan di dalam ayat "Innallāha yuhibbut tawwābīna – 1 (sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertaubat – Al-Baqarah, 223). Yakni setelah orang itu taubat dia akan menjadi gharib (asing) dan miskin. Oleh karena itulah Allah Ta‟ala menyayangi dan mencintainya serta memasukkannya ke dalam kelompok orang-orang shalih. Agama-agama lain tidak menganggap Tuhan itu Maha Pemurah ((Ar-Rahmān) dan Penyayang (Ar-Rahīm), oang-orang Kristen menganggap Tuhan sebagai penganiaya dan menganggap anak-Nya sebagai pengasih, sebab sang Bapak tidak mengampuni dosa, melainkan sang anak-lah yang mengorbankan nyawanya untuk memperoleh pengampunan dosa. Sungguh suatu kebodohan yang amat sangat, betapa besarnya perbedaaan antara bapak dan anak, padahal antara bapak dan anak terdapat kesamaan dalam hal akhlak dan tingkah laku. Seandainya Allah bukan Maha Pemurah maka manusia tidak akan bisa hidup barang sedetik pun. Dia-lah Tuhan yang sebelum adanya amal manusia telah menciptakan ribuan benda untuk keperluan manusia itu sendiri. Oleh karena itu dapatkah Dia dianggap tidak akan mengabulkan taubat serta amal? Bukanlah hakikat dosa bahwa Tuhan menciptakannya lalu setelah ribuan tahun kemudian barulah Dia teringat akan pengampunan dosa. Sebagaimana lalat memiliki dua sayap -- pada salah satu sayap terdapat penawar racun, sedangkan pada sayap lainnya terdapat racun – demikian pulalah manusia memiliki dua sayap, yang satu adalah sayap dosa, dan yang kedua adalah sayap penyesalan, taubat, dan kedukaan. Ini adalah satu ketentuan. Sebagaimana ketika seseorang menghajar (memukul) budak (hamba sahaya) maka kemudian ia akan merasa menyesal -- seolah-olah kedua sayapnya sama-sama bereaksi -- bersama racun itu terdapat penawar. Kini, yang menjadi persoalan adalah, mengapa racun itu diciptakan? Maka jawabannya adalah, bahwa walaupun ini merupakan sebuah racun, namun ia juga memiliki potensi sebagai penawar bagi racun yang mematikan. Seandainya tidak ada dosa maka racun kesombongan (keangkuhan) akan merajalela di dalam tubuh manusia, dan dia akan binasa. Taubat itulah yang menangkalnya. Dosa menghindarkan manusia dari bahaya yang ditimbulkan oleh ketakaburan dan keangkuhan. Tatkala Nabi ma‟shum (suci dari dosa) saw. saja melakukan istighfar sebanyak 70 kali [setiap hari], maka apa pula yang harus kita lakukan? Yang tidak bertaubat dari dosa adalah orang yang menyenangi dosa, sedangkan orang yang menganggap dosa itu sebagai dosa, akhirnya ia akan meninggalkan [dosa] itu Di dalam hadits dikatakan, bahwa tatkala seorang insan berkali-kali menangis di hadapan Allah memohon pengampunan, maka akhirnya Allah akan berfirman, “Kami telah mengampuni engkau, kini apa pun yang dikehendaki hati engkau, lakukanlah”, artinya hati orang itu telah diubah, dan kini baginya dosa merupakan suatu hal yang buruk. Sebagaimana orang melihat seekor domba sedang makan kotoran, maka ia tidak akan memakannya (memakan dagingnya), nah demikian juga halnya seorang insan yang telah diampuni Allah ia tidak akan berani berbuat dosa. Orang-orang Islam sangta membenci daging babi, padahal mereka melakukan ribuan pekerjaan haram dan terlarang lainnya. Hikmah yang terdapat di dalamnya adalah, telah diberikan contoh kebencian (ketidak-sukaan), dan telah diberikan pengertian bahwa demikian jugalah manusia hendaknya membenci dosa. Orang-orang yang berdosa sama sekali hendaknya jangan berhenti berdoa karena menganggap banyaknya dosa dan lain sebagainya. Pada akhirnya melalui doa dia bakal menyaksikan betapa dia akan menganggap dosa itu suatu hal yang buruk. Orang-orang yang tenggelam di dalam idosa lalu putus asa atas pengab ulan doa dan tidak kembali pada taubat, akhirnya mereka akan mengingkari para nabi dan pengaruh-pengaruhnya. Ini adalah hakikat taubat dan mengapa ia merupakan bagaian dari baiat. Masalahnya adalah 2 manusia telah tenggelam dalam kelalaian. Ketika dia baiat, dan melalui tangan seseorang telah dianugerahkan perubahan itu oleh Allah Ta'ala, maka sebagaimana akibat okulas (cangkokan) pada sebuah pohon akan menimbulkan perubahan pada sifat-sifatnya, seperti itu pula melalui okulasi makac berkat-berkat dan nur-nur [yang terdapat dalam diri orang yang telah memperoleh perubahan tadi] akan melekat padanya. Dengan syarat bahwa ia harus benar-benar mempunyai hubungan dengannya. Hendaknya jangan seperti cabang kering, melainkan menyatulah sehingga menjadi cabangnya. Sejauh mana ia menyatu maka sejauh itulah ia akan memperoleh manfaatnya. Baiat yang hanya sebagai adat (formalitas) belaka tidak akan memberikan manfaat. Orangorang yang masuk melalui baiat seperti itu akan sulit. Ia akan terhitung masuk tatkala dia benar-benar telah meninggalkan dirinya dan menyatu dengan penuh kecintaan serta keikhlasan dengannya. Orang-orang munafik -- dikarenakan tidak memiliki hubungan sejati dengan Yang Mulia Rasulullah saw. -- akhimya tetap tidak beriman. Di dalam diri mereka tidak timbul kecintaan dan keikhlasan hakiki. Oleh karena itu ikrar Lā ilāiha illallāhu (tidak ada Tuhan kecuali Allah) secara zahiriah tidak memberikan manfaat pada diri mereka. Jadi, meningkatnya hubungan-hubungan ini adalah suatu hal yang sangat penting. Jika seandainya dia (pencari) itu tidak meningkatkan hubungan-hubungan tersebut, serta tidak berusaha mencobanya, maka keluh-kesahnya tidak akan berfaedah. Hendaknya hubungan kecintaan dan keikhlasan itu ditingkatkan. Sedapat mungkin hendaknya sewarna dengan insan mursyid (yang mendapat bimbiingan) dalam segala cara dan itikadnya. Nafsu menjanjikan umur yang panjang, Itu adalah tipuan. Umur tidak dapat dipercayai. Hendaklah segeralah tunduk ke arah kebenaran dan ibadah, serta hendaknya terus menghitung (menghisab) dari subuh hingga petang” (Malfuzat, jld. I, hlm. 2-5). PENEKANAN PENTINGNYA SHALAT TAHAJJUD “Jika seluruh umur ini dilewatkan di dalam pekerjaan-pekedaan duniawi, maka apa yang telah dikumpulkan untuk akhirat ? Bangunlah secara khusus untuk tahajud dan dirikanlah dengan penuh minat dan khusuk. Dikarenakan di antara salat -salat itu ada pekerjaan maka akan timbul ujian. Pemberi rezeki adalah Allah Ta‟ala. Hendaknya dirikan shalat pada waktunya. Zhuhur dan Asar kadang-kadang bisa dijamak. Allah Ta‟ala mengetahui bahwa akan ada orangorang yang lemah („uzur), untuk itulah kelonggaran ini diberikan. Namun kelonggaran ini tidak dilakukan untuk menjamak tiga shalat. Tatkala di dalam pekerjaan dan hal-hal lainnya menusia mendapat hukuman [dari pimpinan], seandainya menanggung derita itu demi Allah Ta‟ala maka betapa indahnya” (Malfuzat, jld I, hlm. 6). PEKERJAAN PARA NABI DAN PARA SHIDDIQ “Orang-orang yang menanggung derita serta kerugian demi kebenaran, mereka itu di pandangan orang banyak pun akan disenangi, dan itu adalah pekerjaan para nabi serta para shiddiq. Barangsiapa menimbulkan kerugian duniawi [atas dirinya] demi Allah, maka Allah Ta‟ala tidak akan pernah memikul tanggungjawab akan hal itu, Dia akan memberi ganjaran sepenuhnya” (Malfuzāt, Jld. I, hlm. 6). 3 PENTINGNYA MENJAGA “PERASAAN” ALLAH TA‟ALA “[Adalah wajib bagi manusia] untuk tidak bersikap munafik. Misalnya jika ada seorang Hindu (apakah itu penguasa ataupun pejabat) mengataan bahwa Rām (Tuhan orang Hindu pent.) dan Rahīm (Maha Penyayang) itu satu adanya, maka pada kesempatan seperti itu janganlah bersikap mudahinah (mengiya-iyakan). Allah Ta‟ala tidak melarang kita dari peradaban (tata-krama). Berikanlah jawaban yang sesuai dengan peradaban (tata-krama). Hikmah itu bukanlah berarti supaya kita melakukan pembicaraan tanpa sebab yang menimbulkan amarah serta peperangan. Janganlah sekali-kali menyembunyikan kebenaran, sebab dengan cara mudahinah (mengiya-iyakan)_ manusia bisa mennjadi kafir”: [Syair:] Yaare Ghaalib syaw keh taa ghaalib …………………. Hendaknya kita harus menjaga dan memelihara perasaan Allah Ta‟ala. Di dalam agama kita tidak terdapat hal-hal yang bertentangan dengan peradaban (tata-krama)” (Malfuzāt, Jld. I, hlm. 6-7). MENGGUNAKAN SENJATA PENA, BUKAN PEDANG “Kalian harus memahami betul, bahwa kebutuhan saat ini bukanlah menggunakan pedang, melainkan pena-lah yang harus digunakan. Keragu-raguan terhadap Islam yang telah ditimbulkan musuh-musuh kita, dan serangan yang disebabkan ilmu pengetahuan yang berbeda, telah menunjukkan kepadaku bahwa dengan bersenjatakan pena (tulisan), aku harus turun ke medan pertempuran, dan menjukkan kepada mereka keberanian Islam dan kekuatannya yang menakjubkan. Aku tidak memiliki kemampuan untuk memasuki medan [pertempuran] ini, tetapi hanya karunia Tuhan yang menolongku, dan benar-benar merupakan rahmat yang besar bagiku, karena Dia menyukai seorang yang rendah seperti diriku untuk menjelmakan ketinggian agama ini. Satu kali aku menghitung tuduhan-tuduhan yang ditujukan musuh terhadap Islam, dan menurut perkiraanku jumlahnya tidak kurang dari tiga ribu, dan jumlah ini pasti telah bertambah sekarang. Jangan biarkan seorangpun beranggapan bahwa Islam adalah agama yang sedemikian lemahnya sehingga menjadi sasaran tiga ribu tuduhan, Tidaklah demikian. Tuduhantuduhan ini diajukan oleh orang-orang bodoh dan tidak mengerti. Aku ingin menyampaikan, bahwa selain aku menghutung tuduhanp-tuduhan ini, aku juga mempelajarinya, dan sampai pada kesimpulan, bahwa terdapat kebenaran-kebenaran unik yang tersembunyi di balik tuduhan-tuduhan ini -- kebenaran-kebenaran ini tidak dapat mereka lihat karena kurangnya penglihatan mereka, dan sesungguhnya hal itu merupakan sunnah Tuhan, bahwa di mana pun penuduh muncul maka di sana terdapat nilai kebenaran yang besar serta rahasia ruhani. Aku telah ditugaskan untuk mengeluarkan harta tersebut dan menyingkirkan kotoran-kotoran tuduhan dari permata yang berkilauan. Tuhan sangat cemburu pada hal itu, Dia menghendaki agar ketinggian Al-Quran harus disucikan dan dimurnikan dengan menyingkirkan setiap tuduhan 4 yang telah ditimpakan oleh orang-orang yang berhati kotor” (Malfuzāt, jld. I, hlm. 7). KEANIAYAAN TERHADAP ISLAM ”Islam. Islam selalu teraniaya. Sebagaimana kadang-kadang di antara dua bersaudara terjadi perselisihan, maka saudara yang tua berbuat aniaya terhadap adiknya disebabkan dia lebih besar dan lebih dulu lahir. Oleh karena itu dengan ia terlebih dahulu, ia merasa bahwa bahwa haknya lebih besar. Seperti itulah halnya keaniayaan yang tengah berlangsung terhadap Islam. Islam datang [paling belakangan] dari sekalian agama lainnya. Islam telah memberitahukan kesalahan segenap agama lainnya. Dan sesuai dengan ketentuan bahwa pihak yang jahil itu selalu menjadi musuh pihak yang bermaksud baik, demikian pula halnya, bahwa segenap agama lainnya marah terhadap Islam. Sebab di dalam hati mereka bernaung (bercokol) rasa keagungan mereka masing-masing Manusia selalu menjadi takabur disebabkan oleh jumlah bangsanya yang mayoritas, umurnya yang lebih tua, dan karena banyaknya harta. Rasulullah saw. adalah seorang yang miskin, berasal dari golongan minoritas dan baru. Oleh karena itu itu mereka tidak mengakui [pendakwaan] beliau. Kebenaran itu selalu teraniaya. ISLAM TIDAK MENGIZINKAN MEMBURUK-BURUKKAN PENDIRI AGAMA MANA PUN “Islam merupakan suatu agama yang begitu sucinya, ia tidak memberikan izin untuk memburuk-burukkan pendiri agama mana pun. Sebaliknya, para pengikut agama lainnya selalu siap untuk mencaci-maki tanpa kebenaran. Lihatlah betapa hebatnya orang-orang Kristen ini mencaci-maki Yang Mulia Rasulullah saw.. Seandainya Yang Mulia Rasulullah saw. masih hidup pada saat ini, maka dikarenakan keagungan lahiriah beliau, mereka tidak akan berani mengucapkan suatu kalimat pun di lidah mereka. Bahkan mereka akan menghadap pada beliau dengan penuh hormat. Amir Kabul dan Kaisar Roma merupakan orang biasa jika dibandingkan dengan Rasulullah saw., namun demikian [orang-orang Kristen] tidak berani mencaci-maki mereka, tidak berani bersikap kurangajar terhadap mereka. Namun, kalau disebutkan nama Yang mulia Rasulullah saw. maka mereka langsung melontarkan ribuan caci-maki. Islam bersikap baik terhadap agama lainnya, yaitu ia telah membebaskan setiap nabi dan kitab lain, sedangkan Islam sendiri teraniaya. Inti [agama] Islam adalah Lā ilāha illallāhu (tidak ada Tuhan kecuali Allah), hal ini tidak ditemukan pada agama lainnya mana pun”. ( Malfuzāt, Jld. I, hlm.7-8). MAKNA NUZUL Pada 1896 Hz.Masih Mau‟ud a.s. menerangkan: “Ada suatu kata tentang kedatangan Hadhrat Masih a.s.., kata itu adalah nuzul, bukan ruju‘ (kembali). 5 Pertama-tama, kata yang digunakan bagi orang yang kembali adalag ruju‟, sedangkan kara ruju‘ (kembali) dimana pun tidak pernah digunakan bagi Nabi Isa a.s.. Kedua, kata nuzul (turun) tidaklah berarti turun dari langit. Nazīl berarti musafir”. (Malfuzāt, Jld. I, hlm. 8). TUJUAN BERSIKAP KERAS TERHADAP PENENTANG ”Adapun sikap keras (tegas) yang kami lakukan terhadap para penentang di beberapa tempat (tulisan), itu adalah untuk melenyapkan ketakaburan mereka. Itu bukanlah jawaban-jaawaban kasar, melainkan sebagai pengobatan, itu merupakan obat yang pahit: Al-Haqqu murrun -(kebenaran itu memang pahit). Namun demikian, tidak dibenarkan bagi setiap orang untuk menggunakan tulisan yang demikian. Jemaat hendaknya berhati-hati. Setiap orang hendaknya menimbang hatinya, apakah dia menuliskan kata-kata demikian itu hanya sebagai rasa anti dan permusuhan, ataukah pekerjaan itu didasari oleh suatu niat yang baik?. Hendaknya jangan menampakkan sikap permusuhan terhadap para penentang. Justru hendaknya harus memanfaatkan doa serta berusaha melalui berbagai cara” (Malfuzāt, Jld. I, hlm.8). TIDAK SUKA DIPANGGIL MAULVI Pada tahun 1987 Hadhrat Masih Mau‟ud a.s. bersabda: ”Aku sama sekali tidak menyatakan diriku sebagai maulvi, dan aku tidak suka kalau ada orang yang menyebutku maulvi. Dari kata itu aku merasa pedih sedemikian rupa sebagaimana seseorang telah mencaci saya”. Beliau a.s. bersabda: “Orang-orang akan memberikan kedukaan dan segala macam kesusahan kepada kalian. Namun warga Jemaat kita janganlah menampakkan emosi. Karena emosi diri janganlah mempergunakan kata-kata yang menyakitkan hati. Allah Ta‟ala tidak menyukai orang-orang yang bersikap demikian. Allah Ta'ala ingin menjadikan Jemaat kita sebagai suatu contoh”. (Malfuzat, J1d. I, hlm. 8-9). PEKERJAAN LANGIT TIDAK BISA BERHENTI “Ini adalah pekerjaan langit, dan pekerjaan langit tidak bisa berhenti. Dalam masalah ini sedikitpun tidak ada langkah kami di dalamnya……. Hati kami tidak emosi dikarenakan caci-maki orang. Jangan bersikap amarah yang berlebihan. Janganlah memandang rendah (hina) terhadap siapapun. Jika di dalam Jemaat ini terdapat seorang yang kotor, maka dia akan mengotori semuanya. Jika tabiat kalian cenderung kepada amarah (emosi), maka timbanglah hati kalian bahwa dari sumber manakah amarah (emosi) tersebut timbul? Ini adalah suatu tahap yang sangat sulit (sempit)” ( Malfuzāt, JId.I, hlm.9). 6 ”Di dalam diri orang-orang kaya terdapat kesombongan, namun hal itu lebih banyak lagi terdapat di dalam diri para ulama zaman sekarang. Sikap takabur mereka bagaikan sebuah dinding yang telah menjadi penghalang di jalan mereka. Aku ingin meruntuhkan dinding itu. Ketika dinding ketakaburan] ini runtuh, mereka akan datang dengan kerendahan hati.” (Malfuzāt, JId.I, hlm. 9). SEMUANYA MERUPAKAN HAMBA-HAMBA ALLAH “Allah Ta'ala menyayangi orang-orang muttaqi (bertakwa). Takutlah semua setelah mengingat akan keagungan Tuhan. Dan ingatlah bahwa semua merupakan hamba-hamba Allah. Janganlah berbuat aniaya terhadap siapapun”. ANJURAN BERDOA KHUSUS Desember 1897. Dengan perantaraan kartu-pos telah diterima berita dari Qadian Dārul Āman, supaya warga Jemaat kita banyak-banyak membaca doa berikut ini pada setiap salat di rakaat terakhir setelah rukuk: ("Ya Tuhan Kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari siksa neraka" – Al-Baqarah, 202).” (Malfuzat, JId. I, hlm. 9). NASIHAT BERKENAAN DENGAN TAKWA ”Untuk kebaikan Jemaatku, hal yang sangat penting adalah agar diberikan nasihat berkenaan dengan takwa. Sebab menurut orang yang berakal hal ini adalah nyata, bahwa Allah Ta'ala tidak akan ridha (senang) terhadap suatu apapun selain daripada takwa. Allah Ta'ala berfirman: (Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang bertakwa dan orang-orang yang berbuat kebaikan - An-Nahl, 129). Bagi Jemaat kita secara khusus diperlukan takwa. Khususnya dengan anggapan bahwa ia telah menjalin hubungan dengan seorang yang telah menyatakan diri sebagai rasul, serta masuk di dalam ikatan baiatnya, supaya orang-orang yang sebelumnya mereka tenggelam di dalam kedengkian, kebencian dan kemusyrikan, atau yang benar-benar telah berkiblat kepada dunia, berhasil memperoleh keselamatan dari segala musibah itu. Kalian mengetahui bahwa jika ada orang yang sakit - tidak peduli apakah sakitnya ringan atau berat - lalu penyakit itu tidak diobati serta tidak dilakukan usaha gigih untuk menyembuhkannya, maka orang yang sakit itu tidak akan sembuh. Jika sebuah noda hitam timbul di wajah, maka muncul kerisauan, jangan-jangan noda itu semakin berkembang, sehingga membuat seluruh wajah menjadi hitam. Demikianlah halnya bahwa dosa merupakan sebuah noda hitam di dalam hati. Kemalasan-kemalasan kecil 7 (kecenderungan unt uk bersenang senang) dapat berkembang menjadi besar. Hal-hal kecil seperti itulah merupakan noda kecil yang berkembang, sehingga akhirnya ia menghitamkan seluruh bagian wajah. Allah Ta‟ala Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Demikian pula Dia Mahaperkasa dalam menampakkan murka-Nya serta mengadakan pembalasan. Dia melihat sebuah Jemaat yang di dalam pengakuan dan omong-kosong mereka terdapat segala sesuatu, sedangkan amalan mereka tidak demikian, maka amarah dan murka-Nya akan meluap, lalu untuk menghukum Jemaat yang seperti itu Dia mengajukan orang-orang kafir. Orang-orang yang tahu sejarah mengetahui bahwa beberapa kali orang-orang Islam dikalahkan oleh orang-orang kafir, misalnya Jenghis Khan dan Hulaku Khan telah membinasakan orang-orang Islam. Padahal Allah Ta‟ala telah menjanjikan dukungan dan pertolongan bagi orang-orang Islam, namun tetap saja orang-orang Islam kalah. Peristiwa-peristiwa seperti itu kadang-kadang terjadi. Penyebabnya adalah, tatkala Allah Ta'ala melihat bahwa memang mereka menyebutkan Lā ilaha illallāh (Tidak ada Tuhan kecuali Allah) namun hati mereka berpaling ke tempat lain serta tindak-tanduk mereka benar-benar mengarah kepada keduniawian, maka murka-Nya akan menampakkan diri” (Malfuzat, jld I, hlm 10-11 / Pidato Pertama Hadhrat Masih Mau‟ud a.s. pada Jalsah Salanah, 25 Desember 1897). “Ini adalah benar, bahwa seseorang yang tidak memanfaatkan amal perbuatan (usaha), dia tidaklah memanjatkan doa, melainkan dia menguji Allah Ta‟ala. Oleh karena itu sebelum berdoa adalah perlu menggunakan seluruh kemampuan kita, dan itulah yang dimaksud dengan doa. Pertama-tama adalah wajib supaya manusia menerapkan keyakinannya di dalam amal-amal, sebab sudah merupakan kebiasaan Alla Ta‟ala, bahwasanya ishlah (perbaikan) itu terdapat dalam dalam bentuk unsur-unsur penyebab. Dia tentu akan menciptakan suatu penyebab yang dapat mengakibatkan terjadinya ishlah (perbaikan).” (Malfuzat, jld I, hlm 11 / Pidato Pertama Hadhrat Masih Mau‟ud a.s. pada Jalsah Salanah, 25 Desember 1897). FALSAFAH DOA “Seseorang bayi yang memekik-mekik dan menjerit dalam keadaan lapar, akan mempengaruhi (membangkitkan) gejolak di dalam susu sang ibu. Bayi tidak mengenal apa itu doa, namun kenapa pekikannya itu menarik air susu ibu? Semua orang mempunyai pengalaman dalam hal ini. Bahkan kadang-kadang kita lihat bahwa para ibu tidak merasakan adanya air susu, tetapi tiba-tiba saja air susu itu tertarik keluar oleh pekik tangis sang bayi. Nah, apakah Allah Ta‟ala tidak dapat mempengaruhi (menarik) apa-apa sekali pun? Dapat! Bahkan dapat menarik segalanya! Namun orang-orang buta ruhani yang duduk sebagai fazil (ilmuwan) dan ahli-pikir (filsuf) tidak akan dapat melihatnya. S ebe nar nya ha l ini mudah unt uk dimengerti apabila kita memahami falsafah yang terkandung di dalam hubungan antara seorang ibu dengan bayinya. Sifat Rahīm (kasih-sayang) mengisyaratkan, bahwa rasa kasih-sayang itu timbul setelah diminta, oleh karena itu teruslah minta dan kalian akan memperolehnya. Ud'ūnī astajib lakum (berdoalah kepada-Ku, kamu akan Aku kabulkan) bukanlah suatu omong-kosong. Bahkan hal ini merupakan suatu kelaziman di dalam fitrat manusia, bahwa memohon (meminta) adalah 8 sifat manusia, sedangkan mengabulkan adalah Sifat Allah Ta‟ala. Barangsiapa yang tidak memahami tidak mengakui hal ini, orang itu dusta. Permisalan seorang bayi yang saya ungkapkan tadi cukup jelas untuk menerangkan falsafah doa.” (Malfuzat, jld I, hlm 11 / Pidato Pertama Hadhrat Masih Mau‟ud a.s. pada Jalsah Salanah, 25 Desember 1897). PENTINGNYA KESELARASAN UCAPAN DAN PERBUATAN ”Rasa takut terhadap Allah Ta‟ala terletak di dalam hal-hal berikut ini, yaitu supaya manusia melihat sejauh mana kesesuaian antara ucapan dan perbuatannya. Lalu jika dia mendapatkan ketidaksesuaian antara ucapan dan perbuatannya maka pahamilah bahwa dia akan menjadi sasaran murka Tuhan. Hati yang tidak suci – betapa pun sucinya kata-kata yang ia ucapkan -di pandangan Tuhan hati yang seperti itu tidak mempunyai nilai apa-apa, bahkan karenanya kemurkaan Tuhan akan bergejolak. Jadi, Jemaatku harus memahami, bahwa mereka telah datang kepadaku, untuk ditaburi benih, yang karenanya mereka akan menjadi pohon-pohon yang berbuah. Nah, setiap orang harus menelaah dirinya sendiri, bagaimana keadaan di dalam dirinya, dan bagaimana keadaan batinnya. Seandainya Jemaat kita pun seperti itu – semoga Tuhan tidak menjadikannya demikian, yakni di lidahnya lain dan di dalam hatinya ternyata lain lagi – maka kita akan berakhir dengan tidak baik. Kalau Allah Ta‟ala melihat bahwa suatu jemaat yang hatinya kosong mengeluarkan pernyataan-pernyataan di lidahnya, maka Dia adalah Al-Ghanī (Mahacukup) dan tidak akan mempedulikannya. Sudah turun kabar gaib tentang kemenangan di medan Badar. Berbagai harapan untuk memang pun ada, namun walaupun demikian Yang Mulia Rasulullah saw. tetap berdoa sambil menangis-nangis. Hadhrat Abu Bakar Shiddiq r.a. mengatakan, bahwa janji kemenangan sudah ada, maka untuk apa lagi memohon dengan merintih sendu? Yang Mulia Rasulullah saw. menjawab bahwa, “Zat (Allah) itu Al-Ghanī (Mahacukup), yakni mungkin saja terdapat syarat-syarat yang terselubung di dalam janji Ilahi tersebut”. (Malfuzat, jld I, hlm 11 / Pidato Pertama Hadhrat Masih Mau‟ud a.s. pada Jalsah Salanah, 25 Desember 1897). TANDA-TANDA ORANG MUTAKI (BERTAKWA) “Jadi, hendaknya harus senantiasa dilihat sampai dimanakah kita telah meraih kemajuan dalam hal ketakwaan dan kesucian., standarnya adalah Al-Quran. Dari sekian tanda-tanda orang mutaki (bertakwa), Allah Ta‟ala juga menetapkan sebuah tanda, yaitu Allah Ta‟ala membebaskan orang bertakwa itu dari kemakruhan (hal-hal yang dibenci-Nya), lalu memberikan kecukupan pada orang itu untuk pekerjaan-pekerjaannya, sebagaimana Dia berfirman: (“Dan barangsiapa bertakwa kepada Allah, Dia akan membuat baginya suatu jalan keluar, dan Dia akan memberikan rezeki kepadanya dari arah yang tidak pernah disangkanya” - AthThalaq: 3-4). Yakni, orang yang takut kepada Allah Ta‟ala, dalam setiap musibah Allah Ta‟ala akan 9 membukakan jalan jalan keikhlasan untuknya, dan Dia akan menciptakan sarana-sarana penghasilan (nafkah) bagi orang itu yang tidak pernah terbayangkan olehnya. Yakni, ini pun merupakan sebuah tanda orang yang mutaki, bahwa Allah Ta'ala tidak menjadikan orang mutaki itu butuh akan keperluan-keperluan yang tak bermanfaat. Misalnya, seorang tukang warung beranggapan bahwa tanpa berkata dusta maka pekerjaannya tidak akan jalan, oleh karena itulah dia tidak berhenti dari berkata dusta. Dan untuk berdusta dia menzahirkan alasan-alasan keterpaksaan. Akan tetapi hal itu sama-sekali tidak benar. Allah Ta'ala sendiri yang menjadi Pelindung bagi orang mutaki, dan Dia menghindarkannya dari kondisi yang seperti itu. Orang-orang yang menciptakan suasana keterpaksaan atas dasar hal-hal yang bertentangan dengan kebenaran, ingatlah, kalau seseorang telah meninggalkan Allah Ta‘ala, maka Allah Ta‟ala pun meninggalkannya. Kalau Sang Maha Pemurah (Ar-Rahmān) telah meninggalkan seseorang maka pasti setan akan menjalin hubungan dengannya. Janganlah beranggapan bahwa Allah Ta‟ala itu lemah. Dia memiliki kekuatan yang sangat besar. Kalau kalian bertawakkal (bertumpu) pada-Nya mengenau suatu hal, maka pasti Dia menolong kalian: (Dan barangsiapa bertawakal kepada Allah, niscaya Dia memadai baginya - Ath-Thalaq:4) Akan tetapi, orang-orang yang pertama kali dituju oleh atar-ayat ini adalah orang-orang yang beragama, yang seluruh perhatian (pemikiran) mereka hanyalah untuk hal-hal keagamaan, sedangkan masalah-masalah duniawi mereka serahkan kepada Tuhan. Itulah sebabnya Allah Swt. mententramkan mereka bahwa, “Aku berserta kalian.” Ringkasnya, salah satu dari berkat-berkat ketakwaan adalah bahwa Allah Ta'ala menganugerahkan keikhlasan kepada orang mutaki terhadap musibah-musibah yang merupakan penghalang bagi hal-hal keagamaan. Allah Ta‟ala secara khusus memberikan rezeki kepada orang mutaki. Demikian pula halnya Allah Ta‟ala secara khusus memberikan rezeki kepada orang mutaki. Di sini saya akan menyinggung rezeki-rezeki makrifat (ilmu). Rasulullah saw. memperoleh rezeki ruhaniah (makrifat-makrifat) sedemikian rupa, sehingga beliau unggul atas semuanya. Walau pun Yang Mulia Rasulullah saw. seorang ummī(butahuruf), beliau harus melawan seluruh alam – di mana di dalamnya terdapat ahlikitab, filsuf, orang-orang yang mempunyai selera ilmiah tinggi, serta para cerdik-pandai -- akan tetapi beliau saw. telah memperoleh rezeki ruhani sedemikian rupa, sehingga beliau unggul atas semuanya dan telah membuktikan kesalahan-kesalahan mereka. Itulah rezeki ruhani yang tidak ada bandingannya. Mengenai orang mutaki (bertakwa) di tempat lain ada dikatakan: (Sesungguhnya wali-wali-Nya hanyalah orang-orang yang bertakwa: - Al-Anfāl, 35). Yakni, sahabat-sahabat Allah Ta‟ala itu adalah orang-orang yang bertakwa. Jadi, betapa hebatnya nikmat ini, bahwa dengan kesusahan yang sedikit saja pun dapat dikatakan sebagai orang yang memperoleh kedekatan dengan Tuhan. Zaman sekarang ini betapa pengecutnya. Kalau ada penguasa atau pejabat yang mengatakan kepada seseorang, “Engkau adalah sahabatku:, atau memberikan kursi kepadanya serta menghormatinya, maka orang itu akan bangga dan menyombongkan diri ke mana-mana. Oleh karena itu betapa mulianya derajat orang orang yang telah dikatakan sebagai wali (sahabat) oleh 10 Allah Ta'ala. Allah Ta‟ala berjanji melalui lidah Rasu Mulia saw. sebagaimana tercantum di dalam sebuah Hadits Bukhari: Lā yazālu yataqarrabu ‗abdī binnawāfi hattā uhibbahū, fa-idzā ahbabtuhū kuntu sam‘ahul- ladzī yasma‘-u bihī wa basharahul- ladzī yubshiru bihī wa yadahul- latī yabtisyu bihā wa rijlahul- latī yamsyi bihā, wa la-in sa'alanī la-ataituhu wa la-in ista‘adzani la-u‘idzunahū. Yakni, “Allah Ta‟ala berfirman bahwa, "Sahabatku menciptakan kedekatan terhadapKu melalui nafal-nafal, sehingga apabila Aku telah mencintainya Aku menjadi telinganya yang dengannya ia mendengar dan menjadi matanya yang dengannya ia melihat, dan menjadi tangannya yang dengannya ia memegang (memukul), dan menadi kakinya yang dengannya ia berjalan, dan jika ia memohon niscaya aku berikan, dan jika ia meminta perlindungan niscaya aku melindunginya. " (Malfuzat, jld I, hlm 12-13 / Pidato Pertama Hadhrat Masih Mau‟ud a.s. pada Jalsah Salanah, 25 Desember 1897). DUA BAGIAN KEBAIKAN-KEBAIKAN MANUSIA “Kebaikan-kebaikan yang dilakukan oleh manusia terdiri dari dua bagian. Yang pertama adalah fardu-fardu (wajib). dan kedua adalah nafal-nafal (tambahan/sunat). Fardu-fardu adalah yang telah diwajibkan atas manusia. Misalnya melunasi utang atau membalas kebaikan dengan kebaikan. Selain fardu-fardu tersebut, bersamaan dengan setiap kebaikan yang melebihi haknya, misalnya, sebagai balasan suatu kebaikan, selain memberikan satu kebaikan, juga melakukan kebaikan lainnya, ini adalah nafal-nafal. Ini merupakan penggenap dan penyempurna fardufardu. Di dalam hadits-hadits tersebut diterangkan bahwa untuk penyempurnaan fardu-fardu diniyyah (keagamaan) para waliullah selalu melalui nafal-nafal. Misalnya, selain zakat mereka pun memberikan sedekah-sedekah. Allah Ta‟ala akan menjadi wali (sahabat) orang-orang yang demikian. Allah Ta‟ala berfirman, bahwa persahabatan dengan adalah sedemikian rupa sampaisampai, “Aku menjadi lidahnya yang dengannya ia berbicara.” (Malfuzat, jld I, hlm 13-14 / Pidato Pertama Hadhrat Masih Mau‟ud a.s. pada Jalsah Salanah, 25 Desember 1897). MANFAAT KESELARASAN KEHENDAK MANUSIA DENGAN KEHENDAK TUHAN “Masalahnya adalah, bahwa tatkala manusia bersih dari gejolak-gejolak nafsu serta egoisme, lalu berjalan di dalam kehendak-kehendak Tuhan, maka tidak ada perbuatannya yang tidak benar. Bahkan setiap perbuatan selaras dengan kehendak Tuhan. Dimana saja orang-orang mengalami cobaan (ujian), di sana selalu timbul hal ini, yaitu perbuatan mereka tidak selaras dengan kehendak Tuhan. Keridhaan (kesenangan) Tuhan bertentangan dengan hal itu. Orang-orang yang demikian berjalan di bawah dorongan hati mereka. Misalnya karena emosi, mereka melakukan perbuatan yang menimbulkan perkara-perkara dan peradilan. Namun seandainya ini iradah (kehendak) seseorang -- yaitu tanpa terlebih dulu mengambil 11 musyawarah (rujukan/petunjuk) dari Kitabullah -- dia tidak akan bertindak, serta dia akan merujuk kepada Kitabullah dalam segala permasalahannya, maka hal ini sudah pasti bahwa Kitabullah akan memberikan musyawarah, sebagaimana [Allah Ta'ala] berfirman: (“Dan tidak pula sesuatu yang basah atau yang kering melainkan tertulis dalam Kitab yang terang” - A1-An'ām, 60) Jadi, seandainya kita beriradah (berkehendak) akan meminta musyawarah dari Kitabullah, maka kita pasti akan memperoleh musyawarahnya. Akan tetapi orang mengikuti kehendak nafsunya, dia pasti akan mengalami kerugian. Kadang-kadang dia disana harus memberikan pertanggungjawaban. Sebaliknya, Allah Ta‟ala berfirman bahwa wali (sahabat) yang melakukan pekerjaannya sambil terus bercakap-cakap dengan-Nya, dia itu seolah-olah telah fana (sirna) di dalam-Nya. Jadi, sejauh mana terdapat kekurangan pada diri seseorang dalam hal fana (kesirnaan), maka sejauh itu pula dia berada jauh dari Tuhan. Akan tetapi jika dia memiliki fana (kesirnaan) seperti apa yang telah difirmankan oleh Allah Ta‟ala, maka keimanannya tidak dapat dibayangkan. Dalam memberikan dukungan-Nya terhadap mereka Allah Ta‟ala berfirman: Wa man ‗āda fi waliyyan faqad 'āzanttuhū bilharbī” ( ”Barangsiapa yang berperang melawan wali-Ku (sahabat-Ku) bererti dia berperang melawan-Ku” - Hadits). Kini, lihatlah betapa tingginya kemuliaan orang mutaki (bertakwa), serta betapa tingginya derajat yang ia miliki. Seseorang yang memperoleh kedekatan sedemikian rupa di sisi Tuhan -dimana mengganggunya berarti mengganggu Tuhan -- maka betapa Tuhan itu akan menjadi pendukung dan penolong baginya”. (Malfuzat, jld I, hlm 14-15 / Pidato Pertama Hadhrat Masih Mau‟ud a.s. pada Jalsah Salanah, 25 Desember 1897). BARANGSIAPA YANG DATANG K EPADA ORANG MUTAKI IA PUN AKAN DISELAMATKAN “Orang-orang terbelenggu di dalam banyak sekali musibah, namun orang-orang mutaki (bertakwa) senantiasa diselamatkan, bahkan barangsiapa yang datang kepada orang mutaki (bertakwa) ia pun akan diselamatkan. Musibah-musibah tidak mempunyai batas. Lihat saja penyakit-penyakit, ada ribuan jenis penyakit yang cukup untuk menciptakan musibah-musibah. Namun orang yang berada di dalam benteng ketakwaan, dia akan terhindar dari musibah-musibah itu, sedangkan orang yang berada di luarnya, dia tengah berada di dalam hutan belantara yang dipenuhi oleh binatang-binatang buas.” (Malfuzat, jld I, hlm 15 / Pidato Pertama Hadhrat Masih Mau‟ud a.s. pada Jalsah Salanah, 25 Desember 1897). ORANG-ORANG MUTAKI MEMPEROLEH KABAR SUKA DU DUNIA INI JUGA “Bagi orangp-orang mutaki (bertakwa) terdapat sebuah janji lagi: 12 (“bagi mereka berita gembira di dalam kehidupan di dunia dan di akhirat – Yunus, 65). Yakni, orang-orang mutaki, mereka memperoleh kabar-suka di dunia ini juga melalui mimpimimpi yang benar Bahkan lebih daripada itu mereka merupakan ahli-kasyaf (orang-orang yang melihat kasyaf - pent.). Mereka memperoleh kehormatan bercakap-cakap dengan Allah. Pada kondisi sebagai manusia pun mereka dapat melihat malaikat, sebagaimana Dia berfirman: (Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan, "Tuhan Kami ialah Allah" kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, malaikat-malaikat akan turun kepada mereka” – Hā Mīm – As-Sajdah, 31). Yakni, orang-orang yang mengatakan bahwa, “Tuhan kami Allah” serta mereka memperlihatkan keteguhan yaitu pada masa datangnya cobaan, ia memperlihatkan seseorang yang sedemikian rupa dimana ia menyatakan bahwa, "Adapun janji yang telah aku kemukakan melalui mulutku, aku penuhi secara nyata". (Malfuzat, jld I, hlm 15 / Pidato Pertama Hadhrat Masih Mau‟ud a.s. pada Jalsah Salanah, 25 Desember 1897). PENTINGNYA COBAAN (UJIAN) Sebab cobaan itu penting. Sebagaimana ayat ini mengisyaratkan: (“Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: "Kami telah beriman", sedang mereka tidak diuji lagi? – Al-Ankabūt, 3). Yakni, Allah Ta‟ala berfirman, bahwa orang-orang yang mengatakan, “Tuhan kami adalah Allah” lalu mereka memperlihatkan keteguhan maka malaikat-malaikat akan turun kepada mereka. Adalah kesalahan para ahli-tafsir yang mengatakan bahwa turunnya para malaikat bahwa itu terjadi pada saat sakratulmaut. Itu tidak benar. Artinya adalah, bahwa orang-orang yang membersihkan hati mereka serta menghindarkan diri dari kekotoran najis yang membuat manusia jauh dari Allah, maka di dalam diri manusia akan timbul suatu keserasian (kecocokan) bagi rangkaian ilham. Untaian ilham akan mulai mengalir. Kemudian mengenai kemuliaan orang mutaki (bertakwa) Dia berfirman di tempat lain” (“Ingatlah, Sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada ketakutan terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati” – Yunus, 63). Yakni, orang-orang yang merupakan wali (sahabat) Allah, mereka tidak akan memperoleh kedukaan. Seseorang yang Tuhan itu cukup baginya, dia tidak akan merasakan kesusahan. Orang yang melawannya tidak akan dapat memberikan kemudaratan padanya, yaitu jika Tuhan menjadi sahabat (wali) baginya. Kemudian Dia berfirman: 13 (“dan kami memberi kabar suka dengan jannah yang telah dijanjikan Allah kepada kamu” Hā Mīm – As-Sajdah, 31). Yakni, “Hendaknya kalian bergembira akan surga yang telah dijanjikan bagi kalian”. Di dalam ajaran Al-Quran ditemukan bahwa terdapat dua buah surga bagi manusia. Seseorang yang menjalin kecintaan dengan Tuhan, dapatkah dia itu tinggal di dalam kehidupan yang membakar? Tatkala di sini (di dunia) saja sahabat seorang penguasa menjalani sejenis kehidupan surgawi, maka kenapa pula pintu surga tidak akan terbuka bagi wali-wali (sahabatsahabat) Tuhan? Walaupun dunia ini penuh oleh kesengsaraan dan musibah, namun siapa yang tahu bahwa betapa mereka itu merasakan kelezatan. Seandainya mereka memperoleh kesedihan menanggung derita barang setengah jam saja pun sudah sulit - padahal seluruh umur mereka itu mereka lalui dalam kesengsaraan. Seandainya kepada mereka diberikan sebuah pemerintahan dalam suatu zaman supaya mereka mau menghentikan pekerjaan mereka, maka kapan pula mereka akan mau mendengar kata orang lain? Demikian pula sekiranya gunung akan meletus, mereka tidak akan meninggalkan iradah (kehendak) mereka.” (Malfuzat, jld I, hlm 16 / Pidato Pertama Hadhrat Masih Mau‟ud a.s. pada Jalsah Salanah, 25 Desember 1897). KESEMPURNAAN AKHLAK RASULULLAH SAW. “Pemberi petunjuk kita yang kamil (sempurna), Rasulullah saw., terpaksa harus menyaksikan kedua hal ini. Pada suatu ketika beliau dilempari batu di Tha‟if. Yang satu lagi kelompok mayoritas telah memberikan kesengsaraan jasmaniah yang sangat keras. Akan tetapi keteguhan Yang Mulia Rasulullah saw. tidak pernah goyah. Ketika kaum itu melihat bahwasanya musibah-musibah dan kekerasan tidak memberikan pengaruh apa-apa pada beliau, maka mereka berkumpul dan menjanjikan suatu kerajaan, mereka akan menjadikan beliau sebagai pemimpin mereka, mereka menjanjikan untuk memberikan sarana-sarana bersenang-senang, sampai-sampai mereka juga menjanjikan perempuan yang paling cantik, dengan syarat supaya Yang Mulia Rasulullah saw. berhenti mengecam berhalaberhala. Namun sebagaimana ketika menghadapi musibah di Thaif, begitu pula Yang Mulia Rasulullah saw. pada saat mendapatkan janji kerajaan tersebut tidak mempedulikannya serta memilih lebih baik dilempari batu. Jadi, kalau tidak ada suatu kelezatan yang khusus maka apa perlunya beliau meninggalkan kesenangan [duniawi] lalu menjerumuskan diri ke dalam kesengsaraan? Kecuali Rasul kita – yang atasnya shalawat dan attahyat - kesempatan ini tidak pernah diperoleh oleh nabi lainnya, yaitu bahwa kepada beliau diberikan janji oleh mereka supaya beliau meninggalkan tugas-tugas kenabian. Al-Masih a.s. pun tidak memperoleh hal ini. Di dalam sejarah dunia hanya pada diri Yang Mulia Rasulullah saw. saja masalah ini terjadi, bahwa kepada beliau dijanjikan suatu kerajaan seandainya beliau mau meninggalkan pekerjaan beliau. Jadi, kehormatan ini hanya khusus terdapat pada diri Rasul kita [saw.]. Demikian pula Pemberi petunjuk kita yang kamil (saw.) telah memperoleh kedua macam zaman – yaitu zaman kesengsaraan dan zaman kemenangan – supaya beliau dapat memperlihatkan suri teladan akhlak yang sempurna di dalam kedua zaman tersebut. Allah Ta‟ala menginginkan bagi orang-orang mutaki supaya mereka merasakan dua macam 14 kelezatan. Kadang-kadang dalam corak kelezatan duniawi, ketentraman, dan perempuanperempuan suci; kadang-kadang dalam bentuk kesengsaraan dan musibah, agar mereka dapat memperlihatkan suri teladan akhlak yang sempurna, sebab sebagian akhlak terbuka (nampak) pada saat manusia memiliki kekuatan (kekuasaan), dan sebagian lagi terbuka di kala menghadapi musibah-musibah. Kedua hal ini diperoleh oleh Nabi Karim kita saw.. Jadi, tidak ada umat lain yang dapat memperlihatkan akhlak seperti akhlak beliau saw. yang dapat kita perlihatkan. Misalnya tentang Al-Masih hanya mengenai kesabarannya saja yang dapat ditampilka, bahwasanya beliau dahulu selalu menanggung pukulan. Tetapi dari mana pula akan terdapat bukti bahwa beliau dahulu memperoleh kekuatan (kekuasaan)? Nabi [Isa a.s.] itu tidak diragukan lagi memang benar, namun tidak seluruh jenis akhlak beliau terbukti. Karenakan perihal beliau terdapat di dalam Al-Quran, maka kita mempercayai (beriman kepada) beliau. Dan kecuali di dalam Injil, a tidak ada akhlak beliau yang terbukti seperti kemuliaan para nabi yang perkasa. Demikian pula halnya bagi Pemberi petunjuk kita yang sempurna (saw.), seandainya beliau wafat di dalam musibah-musibah yang tiga belas tahun itu, maka banyak sekali akhlak fadhilah beliau lainnya yang tidak akan terbukti seperti halnya Al-Masih a.s.. Tetapi ketika zaman kedua – yakni zaman kemenangan – telah tiba, dan orang-orang yang berdosa telah ditampilkan ke hadapan beliau, maka dari itu diperoleh bukti tentang sifat kasih-sayang dan sifat pengampun yang beliau miliki. Dan dari itu tampak pula bahwa pekerjaan beliau tidak ada yang berlandaskan pada pemaksaan, tidak pula pada kekerasan, melainkan segala sesuatunya berlangsung dalam corak alami. Demikianlah, banyak lagi akhlak beliau saw. lainnya yang telah terbukti. Jadi, yang difirmankan oleh Allah Ta'ala bahwa: (“Kamilah pelindung-pelindung kamu/kawan-kawan kamu dalam kehidupan dunia dan akhirat” - (Hā Mīm - As-Sajdah, 32). Yakni, "Kami merupakan wali (sahabat) bagi orang-orang yang bertakwa di dunia ini maupun di akhirat", dengan demikian ayat ini pun membuktikan ketidakbenaran orang-orang bodoh yang telah mengingkari perihal turunnya malaikat-malaikat di dalam kehidupan ini juga. Seandainya para malaikat turun pada waktu datangnya maut (kematian), maka bagaimana Allah Ta‟ala dapat menjadi wali (sahabat) dalam kehidupan di dunia ini?” (Malfuzat, jld I, hlm 17-18 / Pidato Pertama Hadhrat Masih Mau‟ud a.s. pada Jalsah Salanah, 25 Desember 1897). DI DUNIA INI KEHIDUPAN AKHIRAT DIPERLIHATKAN KEPADA ORANG MUTAKI “Jadi, ini adalah suatu nikmat, bahwa para wali dapat melihat malaikat-malaikat Tuhan. Kehidupan di alam akhirat hanyalah suatu keimanan (kepercayaan). Akan tetapi kehidupan akhirat itu diperlihatkan kepada orang mutaki di dunia ini. Di dalam kehidupan di dunia ini juga mereka menemukan Tuhan, melihat-Nya serta bercakap-cakap dengan-Nya. Jadi, seandainya hal ini tidak dialami oleh seseorang, maka kematian dan kepergiannya dari dunia ini sangat buruk. Ada perkataan seorang wali, bahwa jika seseorang sepanjang umurnya tidak pernah mendapatkan mimpi yang benar maka kematiannya berbahaya, sebagaimana hal itu 15 pun ditetapkan oleh Al-Quran sebagai tanda orang mukmin. Dengarlah, pada siapa tidak terdapat tanda ini maka di dalam dirinya tidak ada ketakwaan. Jadi, kita semua hendaknya berdoa semoga kita memperoleh karunia berupa ilham, mimpi, dan kasyaf dari Allah Ta‟ala, sebab itu adalah ciri khas orang mukmin, jadi [tanda] ini harus ada. Banyak lagi berkat-berkat lainnya yang diperolah orang mutaki. Misalnya, di dalam surah AlFatihah yang terdapat di awal Al-Quran, Allah Ta‟ala memberikan petunjuk kepada orang-orang mukmin supaya mereka memanjatkan doa: Yakni, “Tunjukkanlah kepada kami jalan lurus,, jalan orang-orang yang atas mereka terdapat nikmat dan karunia Engkau”. Hal ini diajarkan supaya manusia – dengan menggalang semangat yang tinggi -- melaluinya dapat memahami kehendak Sang Khaliq (Pencipta). Dan kehendak-Nya itu adalah supaya umat ini jangan menjalani hidupnya seperti binatang, melainkan supaya segenap tabir-Nya terbuka. Sebagaimana akidah orang-orang Syi‟ah, bahwa setelah Imam yang keduabelas tidak ada lagi kewalian, maka bertentangan dengan itu melalui doa [Al-Fatihah] ini, bahwa dari sejak semula Tuhan telah memiliki iradah (kehendak), yaitu barangsiapa barangsiapa yang mutaki (bertakwa) serta sesuai dengan kehendak Tuhan, maka dia dapat meraih derajat-derajat yang diperoleh oleh para nabi dan sufi. Dari doa ini pun dapat diketahui, bahwa manusia itu memperoleh kekuatan (kemampuan) yang sangat besar, yang akan menampakkan dirinya dan yang akan berkembang jauh. Yaa, seekor kambing dikarenakan bukan manusia maka kekuatannya (kemampuannya) tidak akan dapat berkembang. Manusia yang memiliki semangat tinggi, ketika mendengar tentang keadaan para rasul dan nabi, menginginkan supaya bukan saja dia mempercayai anugerah-anugerah yang telah diperoleh oleh kelompok (jemaat) suci itu, melainkan supaya secara bertahap dia dapat memperoleh ilmul-yaqin, ‗ainul-yaqin dan haqul-yaqin akan anugerah-anugerah tersebut.” (Malfuzat, jld I, hlm 18-19 / Pidato Pertama Hadhrat Masih Mau‟ud a.s. pada Jalsah Salanah, 25 Desember 1897). ORANG MUKMIN & KASYAF, RUKYA ”Dengarkanlah, orang-orang yang di dalam dirinya tidak terdapat tanda tersebut, di dalam dirinya tidak ada takwa, jadi hendaknya doa kita semua adalah semoga persyaratan itu lengkap di dalam diri kita, semoga terdapat karunia-karunia dari Allah Ta‟ala berupa ilham, mimpi dan mukasyafah, sebab itu adalah ciri khas orang mukmin, jadi hal-hal ini harus ada.” (Malfuzat, jld. I, hlm. 19). TIGA TINGKATAN ILMU “Ilmu memiliki tiga tingkatan: ‗ilmul-yaqin, ainul-yaqin, dan haqul-yaqin. Misalnya, timbulnya keyakinan akan api setelah melihat asap yang mengepul dari suatu tempat, adalah suatu ilmul-yaqin. Akan tetapi menyaksikan api itu sendiri dengan mata adalah „ainul-yaqin, dan yang lebih tinggi dari itu adalah tingkatan haqul-yaqin, yakni meyakini akan adanya api melalui 16 panas bakar setelah memasukkan tangan ke dalam api tersebut. Jadi, betapa buruknya nasib orang yang tidak memperoleh tingkatan apa pun dari ketihga tingkatan [yakin] tersebut. Sesuai dengan ayat ini, orang yang pada dirinya tidak terdapat karunia Allah Ta‟ala, berarti ia terperangkap di dalam taqlid buta (mengikuti sesuatu secara membuta - pent.). Allah Ta'ala berfirman: (“dan orang-orang yang berjihad di dalam [jalan] Kami, niscaya akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami” – Al-Ankabūt, 70). Yakni, “Orang-orang yang berusaha gigih di jalan Kami, niscaya Kami akan mmeperlihatkan jalan Kami kepadanya.” Ini adalah suatu janji dan di sana terdapat doa ini: Ihdinash-shirātalmustaqīm (“tunjukkanlah kami jalan yang lurus” - Al-Fatihah, 6). dJadi, dengan memperhatikan hal ini manusia hendaknya memanjatkan doa dengan penuh tadharu di dalam shalat, dan timbulkanlah keinginan untuk menjadi orang-orang yang termasuk di antara mereka – yaitu mereka yang telah memperoleh kemajuan dan bashirat (penglihatan ruhani). Jangan sampai nanti diambil (berangkat) dari dunia ini dalam keadaan tanpa bashirat dan buta. Dia berfirman: (“Barangsiapa yang buta di dunia ini di akhirat pun dia akan buta" – Bani Israil, 73). (Malfuzat, jld I, hlm 19-20 / Pidato Pertama Hadhrat Masih Mau‟ud a.s. pada Jalsah Salanah, 25 Desember 1897). PERSIAPAN UNTUK AKHIRAT HENDAKNYA DILAKUKAN DI DUNIA INI Yang maksudnya adalah, bahwa untuk menyaksikan alam akhirat itu kita harus membawa mata dari dunia ini. Untuk merasakan alam [akhirat] itu harus diadakan persiapan di dunia ini juga. Nah, apakah dapat dianggap bahwa Allah Ta‟ala membuat janji kemudian Dia tidak akan memenuhinya? Yang dimaksud dengan buta adalah orang yang kosong dari makrifat ruhaniah serta kelezatan ruhaniah. Seseorang dengan taqlid buta dikatakan Muslim (orang Islam) karena dia telah ilahirkan di dalam keluarga Islam (Muslim). Demikian juga, seorang Kristen telah lahir di kalangan orang Kristen maka duia menjadi Kristen. Inilah yang menyebabkan orang seperti itu tidak menghormati Tuhan, Rasul dan Al-Quran. Kecintaannya terhadap agamapun diragukan. Dia melewati waktu-waktunya di kalangan orangorang yang mencela Tuhan dan Rasul-Nya. Sebabnya hanyalah bahwa orang seperti itu tidak memiliki mata ruhani. Di dalam dirinya tidak terdapat kecintaan terhadap agama. Dan selain itu, apakah seorang pencinta setia melakukan hal-hal yang bertentangan dengan kekasihnya? Ringkasnya, Allah Ta'ala telah mengajarkan bahwa, “Aku siap untuk memberi, seandainya engkau siap untuk mengambilnya". Jadi, memanjatkan doa pun sudah merupakan persiapan untuk mengambil hidayat (petunjuk) tersebut” (Malfuzat, jld I, hlm 20 / Pidato Pertama Hadhrat Masih Mau‟ud a.s. pada Jalsah Salanah, 25 Desember 1897). TAFSIR AYAT 17 HUDAN-L1L-MUTTAQÎN ”Setelah doa [Al-Fatihah] tersebut, di permulaan Surah Al-Baqarah ada dikatakan, “Hudanlil-muttaqin” (petunjuk bagi orang-orang yang bertakwa), seolah-olah Allah Ta‟ala sudah siap untuk memberi. Yakni, Kitab ini menjanjikan untuk menyampaikan orang mutaki (bertakwa) kepada kesempurnaannya. Jadi, artiny adalah bahwa Kitab [Al-Quran] ini bermanfaat bagi mereka yang bersedia untuk bertakwa dan mendengarkan nasihat. Orang mutaki pada derajat ini adalah dia yang secara alami siap untuk mendengarkan kebenaran. Misalnya, ketika seseorang menjadi Muslim (orang Islam) maka dia akan menjadi mutaki (orang yang bertakwa). Ketika datang hari-hari yang baik bagi agama lain maka di dalam dirinya timbul ketakwaan, sedangkan keangkuhan, kesombongan serta takabur akan lenyap. Ini semua adalah penghalangpenghalang yang telah punah, dan dengan kepunahan semua itu maka jendela rumah yang gelap menjadi terbuka, dan sinar-sinar pun telah masuk ke dalamnya. Ada pun yang difirmankan, bahwa Kitab ini adalah petunjuk bagi orang-orang mutaki (bertakwa) - yakni “hudan- lil-muttaqīn” – kata ittiqa‘ yang berasal dari bab if‟al (perbuatan), bab ini digunakan untuk menyatakan suatu hal yang dilakukan dengan usaha (kerjakeras/kegigihan). Yakni di dalamnya terdapat isyarat bahwa, “Ketakwaan yang Kami inginkan tidak kosong dari usaha gigih (kerja keras), yang untuk menjaga ketakwaan itulah terdapat petunjuk-petunjuk di dalam Kitab ini.” – seakan-akan orang mutaki (bertakwa) terpaksa harus menanggung derita susah-payah dalam melakukan kebaikan.” (Malfuzat, jld I, hlm. 21 / Pidato Pertama Hadhrat Masih Mau‟ud a.s. pada Jalsah Salanah, 25 Desember 1897). HAMBA YANG SALIH “Ketika tahap ini telah dilalui, maka orang yang mengambil jalan tersebut menjadi hamba yang salih, seakan -akan corak derita (susah-payah) tersebut telah sirna, dan orang salih tersebut secara alami dan fitrati mulai melakukan kebaikan. Dia akan berada di dalam sejenis dārul aman (rumah yang aman), yang di dalamya tidak ada bahaya apa pun. Kini, segala peperangan melawan gejolak-gejolak nafsunya telah berakhir, dan dia telah berada di dalam suatu kondisi yang aman, dia terhindar dari segala macam bahaya. Ke arah inilah Pemberi petunjuk kita yang sempurna [saw.] telah mengisyaratkan, beliau bersabda, bahwa, “Pada setiap orang terdapat setan, tetapi setanku telah masuk Islam.” Jadi, orang mutaki (bertakwa) senantiasa berperang melawan setan, namun tatkala ia menjadi orang yang salih maka segenap peperangan pun akan berakhir. Salah satu contohnya adalah sifat riya (pamer) harus ia perangi selama 24 jam. Orang mutaki berada di suatu arena yang senantiasa terjadi pertempuran. Jika Tangan karunia Allah besertanya maka dia akan menang. Misalnya sikap riya (pamer) yang keadaannya seperti semut, kadang-kadang manusia tanpa disadari melakukannya, namun pada saat-saat tertentu manusia memberikan kesempatan bagi sifat riya (pamer) itu untuk timbul di dalam hati. Contohnya, seseorang kehilangan pisau miliknya, lalu ia menanyakan kepada orang lain, maka pada kesempatan itu mulai timbul peperangan antara orang mutaki dengan setan, yang mengajarkan [kepadanya], bahwa cara bertanya seperti itu dari seorang pemilik merupakan suatu penghinaan, yang memungkinkan akan timbul perasaan terbakar pada diri orang yang ditanya tersebut, sehingga mungkin saja dapat timbul perkelahian 18 Pada saat itu seorang mutaki berperang dengan keinginan buruk nafsunya. Seandainya pada diri orang itu terdapat kejujuran yang hanya demi Allah, maka apa perlunya ia marah.” (Malfuzat, jld I, hlm. 21-22 / Pidato Pertama Hadhrat Masih Mau‟ud a.s. pada Jalsah Salanah, 25 Desember 1897). SEJAUH MANA KEJUJURAN DITUTUPI SEJAUH ITU PULA BAIKNYA Sebab sejauh mana kejujuran itu ditutupi maka sejauh itu pulalah baiknya. Misalnya, seorang pemilik batu permata bertemu dengan para pencuri di tengah jalan, dan para pencuri itu berembuk mengenai dirinya. Sebagian mengatakan bahwa dia adalah seorang kaya, dan sebagian lagi menebaknya sebagai orang miskin. Kini, sebagai perbandingan, pemilik permata tersebut akan lebih menyukai kelompok yang menyatakannya sebagai orang miskin. Demikian pula apa sebenarnya dunia ini, yaitu semacam dārul ibtila (tempat ujian dan cobaan). Yang baik adalah orang yang menutupi segala sesuatunya dan menghindarkan diri dari sikap riya (pamer). Orang-orang yang segala amal perbuatan mereka hanya demi Allah, mereka tidak menginginkan amal-amal mereka diketahui oleh siapa pun. Inilah orang-orang yang mutaki (bertakwa). Saya membaca di dalam buku Tadzkiratul Awliyā, bahwa seorang tua memohon di hadapan khalayak ramai bahwa dia memerlukan sejumlah uang dan semoga ada yang memberikan kepadanya. Kemudian seseorang -- dengan menganggapnya sebagai amal salih – memberikan uang sebanyak seribu rupees kepada orang tua itu. Setelah menerima uang tersebut orang tua itu memuji-muji kebaikan hati dan kedermawanannya. Atas hal itu orang tersebut merasa sedih, sebab kalau di situ dia telah memperoleh pujian maka mungkin dia akan luput dan ganjaran di akhirat. Tidak beberapa lama berselang orang itu maju dan mengatakan bahwa uang tadi adalah milik ibunya, yang tidak ingin memberikannya kepada peminta tersebut. Akhirnya uang itu pun dikembalikan, dan setiap orang mengutuk orang tersebut serta dikatakan penipu, bahwa sebenarnya dia tidak berkeinginan untuk memberi. Ketika senja tiba orang tua itu pun kembali ke rumahnya, dan orang tadi pun datang kepadanya sambil membawa uang seribu rupees, lalu dia mengatakan, “Tadi Tuan telah membuat saya luput dari ganjaran akhirat dengan memberikan pujian kepada saya di hadapan umum. Itulah sebabnya saya membuat dalih itu. Sekarang uang ini adalah milik Tuan, tetapi janganlah Tuan memberitahukan nama saya kepada siapa pun.” (Malfuzat, jld I, hlm. 22-23 / Pidato Pertama Hadhrat Masih Mau‟ud a.s. pada Jalsah Salanah, 25 Desember 1897). SEORANG MUTAKI SEJATI MENGINGINKAN KETERSELUBUNGAN Seorang mutaki menyembunyikan dan merasahasiakan pemikirannya setelah ia memerangi nafs ammarahnya. Akan tetapi Allah Ta‟ala senantiasa menzahirkan pemikirannya yang terselubung itu. Seperti halnya seorang manusia bejat ingin hidup bersembunyi dikarenakan perbuatan buruknya, maka seperti itu pula orang yang mutaki (bertakwa) dengan sembunyisembunyi mendirikan salat serta risau kalau-kalau ada orang yang melihatnya. Seorang mutaki yang sejati menginginkan suatu keterselubungan. Tingkat ketakwaan itu 19 sangat banyak. Namun memang untuk ketakwaan itu diperlukan usaha-gigih (susah-payah). Dan orang mutaki itu berada dalam kondisi perang, sedangkan orang salih sudah berada di luar peperangan tersebut. Seperti yang telah saya terangkan di atas mengenai sifat riya (pamer) sebagai contoh, dimana seorang mutaki memeranginya selama 24 jam. Kadang-kadang terjadi peperangan antara sifat riya dengan sifat lembut-hati. Adakalanya amarah manusia menentang Kitab Allah. Mendengar cacian maka nafsunya bergolak. Takwa itu mengajarkan kepadanya supaya dia menahan diri dari amarah, sebagaimana Al-Quran mengatakan: (“dan apabila mereka bertemu dengan (orang-orang) yang mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak berfaedah, mereka berlalu dengan sikap mulia” – Al-Furqān, 73). Demikian pula halnya dia harus sering berperang dengan ketidak-sabaran. Ketidaksabaran maksudnya adalah bahwa dia akan menghadapi kesulitan sedemikian rupa di jalan ketakwaan, sehingga dia dengan sulit baru dapat mencapai tujuannya. Oleh karena itu manusia menjadi tidak sabar. Misalnya [seseorang] harus menggali sumur sampai 25 meter [barulah akan keluar air jernih]. Seandainya setelah 2 atau 4 meter dia menghentikan penggalian maka itu hanya merupakan persangkaan buruknya saja. Jadi, syarat dari takwa itu adalah, terapkanlah sampai akhir segala perintah (hukum) yang telah diberikan Allah Ta‟ala, dan janganlah berlaku tidak sabar. (Malfuzat, jld I, hlm. 23-24 / Pidato Pertama Hadhrat Masih Mau‟ud a.s. pada Jalsah Salanah, 25 Desember 1897). TUGAS SEORANG MUJAHID Adapun yang difirmankan: (dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, niscaya akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami” – Al-Ankabūt, 70). Yakni, “Orang yang berusaha gigih di jalan Kami dia akan menemukan jalan”, artinya adalah bahwa dia berusaha keras (berjuang) bersama Rasul. Apabila setelah dua tiga jam lalu melarikan diri, itu bukanlah pekerjaan seorang mujahid, melainkan siap mengorbankan jiwa adalah pekerjaannya. Jadi, tanda orang yang mutaki (bertakwa) itu adalah istiqamah, sebagaimana difirmankan: (Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan, "Tuhan Kami ialah Allah" kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka” - Hā Mīm – As-Sajdah, 31). Yakni, mereka yang telah mengatakan bahwa "Rabb (Tuhan) kami adalah Allah" serta yang telah memperlihatkan istiqamah (keteguhan), dan mereka telah mencari Allah kesana-kemari. Artinya adalah, bahwa keberhasilan itu terletak pada istiqamah, dan hal itu berupa tindakan mengenali Allah serta tidak takut terhadap ujian, goncangan dan cobaan. Sudah pasti hasilnya adalah bahwa mereka akan memperoleh karunia berbicara dan bercakap-cakap dengan Tuhan, seperti halnya para nabi.” (Malfuzat, jld I, hlm. 23-24 / Pidato Pertama Hadhrat Masih Mau‟ud a.s. pada Jalsah Salanah, 25 Desember 1897). 20 ISTIQAMAH “Nah, orang-orang yang tidak sabar akan berada di dalam belenggu setan. Jadi, orang mutaki pun harus berperang melawan ketidak-sabaran. Di dalam kitab Bustan ada diterangkan perihal seorang „ābid (orang yang senantiasa menyibukkan diri dalam beribadah – pent.), bahwa setiap kali dia beribadah maka Hatif (malaikat yang menyampaikan suara gaib – pent,) selalu menyeru bahwa, “Engkau tidak diterima dan ditolak.” Suatu kali seorang muridnya mendengar suara tersebut lalu ia mengatakan, “Kini kan sudah diputuskan demikian, apa gunanya lagi bersikeras?” Sang „abid menangis tersedu-sedu dan berkata, “Ke mana lagi aku harus pergi meninggalkan Wujud Yang Mulia itu? Jika aku ini terkutuk, biarlah terkutuk. Ini suatu hal yang berharga bahwa aku dikatakan terkutuk.” Belum lagi pembicaraan dengan murid itu berakhir, datanglah suara yang mengatakan, “Engkau sudah dikabulkan.” Jadi, ini semua adalah ketulusan dan kesabaran, yang merupakan syarat untuk menjadi mutaki (orang yang bertakwa). (Malfuzat, jld I, hlm. 24 / Pidato Pertama Hadhrat Masih Mau‟ud a.s. pada Jalsah Salanah, 25 Desember 1897). DUA KELOMPOK YANG MEMILIKI LANGKAH-LANGKAH BEBERKAT PADA JALAN SULUK Di dalam jalan suluk (jalan mencari kebenaran) terdapat dua kelompok yang memiliki langkah-langkah yang beberkat. Pertama, adalah kelompok dīnul ajaiz, yang mengayunkan langkah pada masalah-masalah besar. Misalnya mereka disiplin mengenai hukum-hukum syariat dan mereka memperoleh najāt (keselamatan). Yang kedua, adalah mereka yang melangkah ke depan tanpa merasa letih, dan terus berjalan sampai akhirnya mereka mencapai maksud tujuan. Tetapi kelompok yang gagal adalah mereka yang melangkahkan kaki pada masalah-masalah pokok keagamaan (dīnul ajaiz), tetapi mereka tidak mengarungi jalan suluk, mereka pasti akan menjadi tidak ber-Tuhan. Misalnya sebagian orang mengatakan, “Kami pun selalu mengerjakan shalat dan juga bersemedi, akan tetapi tidak ada faedahnya.” Sama seperti yang diterangkan oleh seseorang bernama Mansur Masih, bahwa yang menyebabkan dia masuk Kristen adalah, bahwa dia pergi kepada orang-orang suci, senantiasa bersemedi, akan tetapi tidak memperoleh manfaat apa-apa, maka dia menjadi Kristen setelah menyimpan prasangka buruk. (Malfuzat, jld I, hlm. 24 / Pidato Pertama Hadhrat Masih Mau‟ud a.s. pada Jalsah Salanah, 25 Desember 1897). UNTUK MENJADI WALI PERLU ADANYA COBAAN Banyak sekali orang datang ke sini dan menginginkan supaya disemburkan mantra-mantra kepada mereka, sehingga [seketika itu juga] mereka dapat mencapai ‗Arasy serta termasuk di antara orang-orang yang berhasil memperoleh maksud (tujuan). Mereka harus melihat bagaimana keadaan para nabi. Tidak benar mengatakan bahwa dengan mengunjungi seorang wali maka seketika itu juga dapat lahir ribuan wali lainnya. Allah Ta‟ala berfirman: 21 (“Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan, "Kami telah beriman", sedang mereka tidak diuji lagi?” (Al-Ankabūt, 3). Yakni, selama manusia belum diberi cobaan, dimasukkan ke dalam fitnah (ujian) maka kapan pula dia akan dapat menjadi wali? Di dalam suatu pertemuan, Bayazid [salah seorang Sultan Turki – pent.] sdang memberikan ceramah keagamaan. Di tempat itu pun hadir juga seorang anak keluarga Syekh, yang memiliki suatu silsilah panjang. Dia menyimpan kecemburuan terhadap beliau. Adalah kebiasaan Allah Ta‟ala untuk meninggalkan keluarga-keluarga lama lalu memilih yang baru, sebagaimana Dia telah meninggalkan Bani Israil dan memilih Bani Ismail, sebab orang-orang itu orang-orang itu telah tenggelam dalam kesenangan dan kebahagiaan [duniawi], sehingga mereka melupakan Tuhan: “Dan hari-hari itu Kami pergilirkan di antara manusia” - Āli ‗Imrān, 141). Maka terpikir oleh anak syekh tersebut bahwa beliau (Bayazid) adalah dari kalangan keluarga biasa, bagaimana pula beliau bisa menjadi orang istimewa, sehingga orang-orang tunduk kepada beliau sedangkan kepadanya tidak? Hal itu dizahirkan Allah Ta‟ala kepada Hadhrat Bayazid, maka beliau pun mulai memberikan ceramah dalam bentuk dongeng, bahwa di suatu tempat, di dalam sebuah pertemuan di malam hari menyela sebuah pelita yang berisikan minyak dan air. Maka terjadilah perdebatan antara minyak dengan air. Si air berkata kepada minyak, "Engkau keruh dan kotor, akan tetapi walaupun engkau keruh dan kotor engkau berada di atasku. Aku adalah barang yang bersih dan aku dipergunakan untuk bersuci, namun aku berada di bawah. Apa sebenarnya yang menyebabkan ini?” Si minyak mengatakan, “Sekian banyak penderitaan yang telah kualami, mana pula engkau menanggungnya – yaitu penderitaan yang karenanya aku memperoleh kedudukan tinggi ini. Ada suatu masa ketika aku disemaikan, hidup terselubung di dalam tanah, menjadi hina. Kemudian atas kehendak Tuhan aku tidak mendapat kesempatan untuk berkembang, aku dikekang. Lalu setelah menjalani berbagai macam jerih-payah aku pun dibersihkan. Aku diperas di tempat penyaringan (penyulingan) minyak, barulah aku menjadi minyak, lalu aku dibakar dengan api. Apakah setelah menjalani setelah menjalani sekian banyak kesengsaraan tersebut aku tidak harus memperoleh ketinggian ini? (Malfuzat, jld I, hlm. 25-26 / Pidato Pertama Hadhrat Masih Mau‟ud a.s. pada Jalsah Salanah, 25 Desember 1897). PARA WALIULLAH MEMPEROLEH BERBAGAI MARTABAT SETELAH MENGALAMI PENDERITAAN DAN KESENGSARAAN Itu adalah suatu contoh, bahwa para wali Allah memperoleh berbagai martabat (derajat) setelah mengalami penderitaan dan kesengsaraan. Ini adalah pemikiran keliru kebanyakan orang, bahwa seseorang pergi kepada orang tertentu kemudian tanpa susah-payah dan tanpa pensucian diri lalu dalam seketika dia telah masuk ke dalam golongan para shiddiq. Perhatikanlah Al-Quran Syarif, bagaimana mungkin Tuhan itu dapat ridha (senang) kepada 22 kalian selama kalian belum mengalami kesengsaraan dan goncangan seperti para nabi [yaitu] mereka yang kadang-kadang dalam keadaan terjepit sampai mengucapkan: (“…sehingga berkatalah Rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya, “Kapankah datangnya pertolongan Allah?" Ketahuilah, sesungguhnya pertolongan Allah sudah dekat Al-Baqarah, 215). Hamba-hamba Allah senantiasa dimasukkan ke dalam kesengsaraan, setelah itu barulah Tuhan menerima mereka.” (Malfuzat, jld I, hlm. 26 / Pidato Pertama Hadhrat Masih Mau‟ud a.s. pada Jalsah Salanah, 25 Desember 1897). DUA JALAN MENUJU KESUKSESAN (KEBERHASILAN) Para sufi menuliskan, bahwa ada dua jalan menuju kesuksesan (keberhasilan). Yang pertama adalah suluk dan kedua adalah jazab. Suluk adalah [suatu jalan] dimana orang-orang dengan kesadaran akal-pikiran mereka memilih jalan Allah dan Rasul saw., sebagaimana difirmankan: (Katakanlah, "Jika kamu mencintai Allah, ikutilah Aku, niscaya Allah mengasihi kamu” (Āli-Imrān, 32). Yakni, “Seandainya kalian ingin menjadi kekasih Allah maka ikutilah Rasul mulia saw..” Beliaulah Rasul yang dimaksud dengan Hādi Kāmil (pemberi petunjuk sempurna), yaitu Rasul yang telah menanggung sekian banyak kesengsaraan (musibah) yang tidak ada bandingannya di dunia ini. Satu hari pun beiau tidak memperoleh kesempatan istirahat. Nah, pengikut-pengikut yang sejati tentulah orang-orang yang berusaha-keras sepenuhnya mengikuti segala tutur-kata dan amal perbuatan orang yang mereka ikuti. Pengikut adalah dia yang mengikuti dalam segala segi. Allah Ta'ala tidak menyukai orang-orang yang mencari kesenangan bagi diri sendiri (bersenang-senang) dan yang mencari-cari (membuat-buat) kesusahan sendiri. Justru mereka itu akan memperoleh kemurkaan Allah Ta‟ala. Di sini diperintahkan oleh Allah Ta‟ala untuk mengikuti Rasul Akram saw., maka tugas seorang sālik (yang menempuh suluk – pent.) itu adalah, pertama-tama dia harus menelaah seluruh riwayat (sejarah) Rasulullah saw. lalu mengikutinya. Itulah yang dinamakan suluk. Di jalan ini banyak sekali kesengsaraan dan penderitaan. Setelah menjalani semua itulah baru manusia menjadi seorang sālik”. Derajat orang-orang yang memperoleh jazab adalah lebih tinggi daripada derajat para sālik. Allah Ta‟ala tidak hanya meletakkan mereka pada derajat suluk, bahkan Dia Sendiri yang memasukkan mereka ke dalam bala musibah serta menarik mereka ke arah-Nya dengan kekuatan magnetis yang sudah ada dari sejak semula. Segenap para nabi merupakan orangorang yang mmeperoleh jazab. Tatkala ruh manusia menghadapi bala-musibah, maka setelah menjalani gemblengan serta pengalaman barulah ruh itu bersinar-sinar. Sebagaimana halnya logam atau kaca, walaupun di dalam wujud mereka terdapat unsur-unsur cahaya, namun mereka baru bisa berkilauan setelah menjalani pemolesan (pembersihan), sampai-sampai wajah orang yang berkaca disitu pun bisa kelihatan. Mujahidah (usaha gigih/perjuangan) pun berfungsi sebagai pemoles (pembersih). Hati ini 23 harus dipoles (dibersihkan) sedemikian rupa, sehingga wajah kita dapat tampak di dalamnya. Apa yang dimaksud dengan tampaknya wajah? Adalah pemenuhan dari "Takhallaqū bi akhlaqillāh” (berakhlaklah dengan akhlak Allah). Hati para salik itu merupakan cermin, yaitu cermin yang telah dipoles (dibersihkan) sedemikian rupa oleh bala musibah dan kesengsaraan, sehingga akhlak Nabi Muhammad saw. membekas di dalamnya. Dan hal ini dapat terjadi pada saat sudah tidak tersisa lagi karat atau kotoran apapun di dalam dirinya, akibat menjalani banyak mujahidah dan pensucian diri, barulah derajat tersebut dapat diraih. Setiap orang mukmin perlu mengadakan pembersihan seperti ini hingga batas tertentu. Tanpa pembersihan (pensucian), tidak seorang mukmin pun akan dapat memperoleh najat (keselamatan). Seorang sālik, ia dengan sendirinya melakukan pemolesan (pembersihan). Mereka menanggung bala-musibah melalui tugas-tugas (pekerjaan) mereka. Akan tetapi orang yang memperoleh jazab dia yang dimasukkan ke dalam bala-musibah. Tuhan sendiri yang melakukan pembersihan bagi dirinya, dan dengan membersihkannya melalui berbagai macam bala-musibah serta kesengsaraan, Dia menganugerahkan kepadanya derajat cermin. Buah yang dihasilkan oleh seorang sālik dan majzub (orang yang memperoleh jazab) pada dasarnya adalah sama.” (Malfuzat, jld I, hlm. 26-28 / Pidato Pertama Hadhrat Masih Mau‟ud a.s. pada Jalsah Salanah, 25 Desember 1897). "IMAN BIL GHAIB" “Sebagaimana yang telah aku uraikan ketakwaan memerlukan suatu usaha gigih (susahpayah), oleh karena itu difirmankan: (Inilah Kitab itu, tidak ada keraguan di dalamnya, petunjuk bagi orang-orang yang bertakwa, [yaitu] mereka yang beriman kepada yang gaib, dan mendirikan shalat, dan menafkahkan sebahagian rezeki yang Kami anugerahkan kepada mereka” – Al-Baqarah, 34). Di dalamnya terdapat suatu usaha gigih (susah-payah). Berbeda dengan kesaksian nyata, beriman kepada hal-hal yang gaib itu memerlukan suatu usaha gigih (jihad). Jadi, seorang mutaki (bertakwa) sampai batas tertentu diperlukan usaha gigih, sebab ketika dia telah meraih derajat salih maka hal-hal yang gaib itu sudah tidak menjadi gaib lagi baginya, karena di dalam diri seorang salih mengalir sebuah sungai yang sampai kepada Tuhan, dia menyaksikan Tuhan serta kecintaan-Nya melalui matanya sendiri, yaitu: (“dan barangsiapa yang buta (hatinya) di dunia ini, niscaya di akhirat (nanti) ia akan lebih buta” - Bani Israil, 73). Dari sini nyata, bahwa sebelum manusia memperoleh cahaya sepenuhnya di dunia ini, kapan pun dia tidak akan dapat menyaksikan Tuhan. Jadi, tugas seorang mutaki (bertakwa) itu adalah senantiasa menyiapkan surma (celak) yang dapat menghindarkan turunnya (susutnya) secara 24 ruhani air yang dimilikinya. Kini, nyatalah bahwa pada awalnya seorang mutaki itu buta adanya. Setelah melalui usaha gigih dan pensucian diri dia pun meraih nur (cahaya). Jadi, setelah mengalami gemblengan serta sudah menjadi salih, maka tidak ada lagi masalah 'iman-bil-ghaib' (iman kepada yang gaib), dan istilah susah-payah pun sudah menjadi tidak ada lag. Sebagaimana Rasul Mulia saw. telah diberikan kesempatan menyaksikan surga dan neraka dengan mata telanjang di dunia ini juga, hal-hal yang harus diakui dalam corak iman bil ghaib (beriman kepada yang gaib) bagai seorang mutaki (bertakwa) keseluruhannya telah disaksikan dengan nyata oleh beliau saw.. Di dalam ayat ini diisyaratkan, bahwa kalau seorang mutaki itu buta adanya, dan harus menanggung perihnya susah-payah (usaha gigih), akan tetapi seorang yang salih telah berada di dalam sebuah dārul aman (tempat yang aman), dan tingkatan nafs-nya sudah mencapai nafs muthmainnah (jiwa yang tentram). Di dalam diri seorang mutaki berlaku kondisi iman-bil-ghaib, dia berjalan dengamn merabaraba bagaikan orang buta. Dia tidak memperoleh kabar apa pun, dan dia bersikap iman bin ghaib terhadap segala sesuatunya. Di situlah terletak ketulusannya, dan sebagai imbalan dari ketulusannya itu Allah Ta'ala menjanjikan bahwa dia akan memperoleh keberhasilan (kesuksesan): (mereka itulah orang-orang yang berjaya” - (Al-Baqarah: 6). (Malfuzat, jld I, hlm. 28-29 / Pidato Pertama Hadhrat Masih Mau‟ud a.s. pada Jalsah Salanah, 25 Desember 1897). MENDIRIKAN SALAT “Setelah itu, berkenaan dengan orang mutaki dikatakan: yakni, “dia mendirikan salat” (Al-Baqarah, 4). Disini digunakan kata mendirikan. Ini pun mengisyaratkan kepada masalah usaha gigih (susah-payah/kerja keras) yang merupakan cirikhas orang mutaki. Yakni tatkala dia mulai mengerjakan salat, maka dia harus melawan berbagai macam rasa waswas (kegelisahan; keraguan) yang mengakibatkan runtuhnya berkalikali salat yang ia lakukan, dan itulah yang harus dia dirikan (tegakkan). Ketika dia mengucapkan “Allahu Akbar”, maka berkecamuk rasa waswas yang membuyarkan konsentrasi di dalam hatinya. Hal itu melayangkannya sampai kemana-mana. Timbul rasa duka, setiap orang berjuang mati-matian untuk tetap sadar dan untuk meraih kelezatan, dan dia berusaha mati-matian untuk mendirikan salat yang jatuh. Berkali-kali ia mengucapkan, “Iyyaka na‘budu wa iyyaka nasta‘īn” (hanya Engkau yang kami sembah dan hanya kepada Engkau kami memohon pertolongan), memanjatkan doa supaya dapat menegakkan salat. Dan dia memohon petunjuk “Ihdinash- shirātahal mutaqim” (tunjukkan kami jalan yang lurus), yang dapat membuat salatnya tegak kembali. Dalam melawan rasa waswas tersebut, seorang mutaki itu bagaikan anak kecil yang berguling-guling menangis di hadapan Tuhan sambil mengatakan , “Aku tengah akhlada ilalardhi” (aku tengah condong/jatuh ke bumi – Al-A‟raf, 177). Jadi, itulah peperangan yang harus 25 dilakukan di dalam salat oleh orang mutaki melawan nafsu, dan berdasarkan itulah dia akan memperoleh ganjaran (pahala). Sebagian orang ada yang ingin langsung melenyapkan rasa waswas di dalam salat sama sekali. Padahal ada maksud lain dari “wa yuqīmunash- shalāta” (dan mendirikan shalat). Apakah Tuhan tidak tahu? Ada sebuah sabda Yang Mulia Syekh Abdul Qadir Jailani (rahmatullahi alaihi), bahwa pahala itu tetap ada selama masih berlangsung mujahidah (usaha gigih; perjuangan). Kalau mujahidah sudah habis, maka pahala pun akan terputus. Jadi, puasa dan shalat itu akan tetap berupa amal selama di dalamnya terdapat usaha gigih melawan rasa waswas. Akan tetapi tatkala di dalamnya telah timbul suatu derajat yang tinggi (mulia) serta orang yang mendirikan shalat dan mengerjakan puasa itu telah selamat keluar dari kondisi usaha gigihnya alam ketakwaan dan telah dia telah dipenuhi oleh corak kesalihan, maka pada saat itu puasa serta salat tersebut sudah tidak berupa amal lagi adanya. Pada saat itu orang-orang menanyakan, "Apakah pada saat itu salat sudah tidak perlu lagi dikerjakan, sebab pahala hanya ada pada tatkala usaha gigih (kerja keras) masih harus dilakukan?” Nah, masalahnya adalah bahwa pada saat itu salat tidak lagi berupa amal, melainkan telah berupa sebuah anugerah (hadiah). Salat itu akan menjadi santapan baginya dan berupa qurratu ‗ain (penyejuk mata) baginya, hal itu seakan-akan bonus surga. Sebaliknya, orang-orang yang masih berada di dalam kondisi usaha gigih (kerja keras) mereka tengah bergulat, sedangkan mereka yang diterangkan di atas telah memperoleh najat (keselamatan). Artinya adalah, bahwa tatkala tahap suluk seorang manusia telah selesai, maka baginya bala-musibah pun telah selesai. Sebagai contoh, jika seseorang yang telah dikebiri mengatakan bahwa dia tidak pernah mengarahkan pandangannya kepada perempuan mana pun, maka nikmat dan pahala apa pula yang layak diberikan kepadanya? Di dalam dirinya saja sudah tidak ada kecenderungan untuk memandang dengan birahi. Akan tetapi jika seorang laki-laki yang jantan (berpotensi) melakukan hal yang seperti itu maka dia akan memperoleh pahala. Demikianlah manusia harus melampaui ribuan fase (tingkatan). Di dalam beberapa masalah, pengalaman-pengalamannya membuat dia dapat menguasai diri, dan dia sudah menjalin perdamaian dengan nafsunya. Kini dia telah berada di dalam surga. Akan tetapi pahala seperti yang pertama tadi sudah tidak ada lagi, melainkan ia telah melakukan jual-beli dan dia tengah menikmati keuntungannya. Corak yang pertama sudah tidak ada. Setelah melakukan suatu pekerjaan dengan usaha-gigih (susah-payah) maka di dalam diri manusia akan timbul corak alami. Seseorang yang secara alami mendapatkan kelezatan maka dia tidak akan dapat dipisahkan lagi dari pekerjaannya itu, dan secara alami dia tidak akan dapat dienyahkan dari situ. Jadi, sampai pada tahap ittiqa dan takwa itu segala sesuatunya belum terbuka dengan jelas melainkan masih merupakan pernyataan.” (Malfuzat, jld I, hlm. 29-31 / Pidato Pertama Hadhrat Masih Mau‟ud a.s. pada Jalsah Salanah, 25 Desember 1897). MENGORBANKAN APA PUN YANG TELAH DIREZEKIKAN ALLAH “Setelah itu tentang orang mutaki dikatakan: 26 (“Dan membelanjakan dari apa yang direzekikan kepada mereka” – Al-Baqarah:4). Di sini, bag orang mutaki digunakan kata mimmī (dari apa), sebab pada saat itu dia sedang berada di dalam kondisi buta. Oleh karena itu apa saja yang telah diberikan Tuhan kepadanya, sebagian dari antara anugerah (rezeki) itu dia berikan atas nama Tuhan. Sebenarnya jika dia memiliki mata, tentu dia akan melihat bahwa dia tidak memiliki apaapa, sebab segala sesuatunya hanya milik Tuhan. Ini adalah suatu tabir yang lazim terdapat di dalam ittiqa (takwa). Keinginan kondisi ittiqa itu yang membuat orang mutaki tersebut mengeluarkan sebagian dari apa-apa yang telah diberikan Tuhan padanya. Rasul Karim saw. pada saat menjelang wafat, beliau menanyakan kepada Hadhrat „Aisyah, “Apakah masih ada yang tersisa dari rumah ini?” Maka diketahui bahwa ada uang satu dinar. Beliau bersabda, "Ini sungguh jauh dari ciri kehidupan seorang yang dekat dengan Tuhan, bahwa dia menyimpan segala-sesuatu pada dirinya". Rasul Mulia saw. telah melewati derajat ittiqa dan sudah sampai pada derajat kesalihan, karena itu tidak ada istilah mimmā (sebagian dari) bagi beliau, sebab orang itu buta, yaitu orang yang menyimpan sebagian pada dirinya dan sebagian lagi dia berikan kepada Tuhan. Namun hal itu merupakan suatu kelaziman bagi orang mutaki, sebab dengan memberikan harta di jalan Tuhan pun sudah merupakan peperangan melawan nafsu baginya. Itulah yang menyebabkan dia memberikan sebagian, sedangkan sebagian lagi dia simpan bagi dirinya. Ya, Rasul Mulia saw. telah memberikan segalla-galanya di jalan Tuhan, dan sedikit pun tidak ada yang beliau simpan untuk diri sendiri. Sebagaimana di dalam tulisan “Dharm mahutsu” terdapat keterangan tentang tiga kondisi manusia yang dialami manusia dari sejak pertama hingga akhir, maka seperti itu pula di sini pun Al-Quran Karim – yang datang untuk membawa manusia menempuh jenjang-jenjang kemajuan – telah memulai dengan ittiqa (ketakwaan). Ini adalah sebuah jalan yang penuh usaha gigih (kerja keras). Ini adalah sebuah medan yang berbahaya. Di tangan orang mutaki terdapat pedang, dan di tangan lawan pun ada pedang. Jika dia selamat maka dia telah najāt (keselamatan), dan tidak termasuk ke dalam golongan 'Asfalus Sāfilīn' (paling rendah dari segala yang rendah). Di sini tentang sifat-sifat orang mutaki tidak ada difirmankan bahwa, “Apa pun yang telah Kami berikan dia keluarkankan seluruhnya”, sebab di dalam diri orang mutaki tidak terdapat kekuatan iman seperti yang ada pada diri para nabi, sehingga – tidak seperti Pemberi petunjuk kita yang sempurna [saw.] – apa pun yang telah diberikan Tuhan kepadanya tidak semuanya diserahkan kembali kepada Tuhan. Oleh karena itu pertama-tama ia hanya diwajibkan membayar pajak yang ringan, supaya setelah merasakan kelezatan itu dia menjadi siap untuk melakukan pengorbanan yang lebih banyak lagi. (Malfuzat, jld I, hlm. 31-32 / Pidato Pertama Hadhrat Masih Mau‟ud a.s. pada Jalsah Salanah, 25 Desember 1897). YANG DIMAKSUD DENGAN REZEKI (”Dan membelanjakan dari apa yang Kami rezekikan kepada mereka” – Al-Baqarah:4). yang dimaksud dengan rezeki tidak hanya harta-kekayaan, melainkan segala sesuatu yang telah dianugerahkan kepada mereka: ilmu, hikmah, kemahiran dalam bidang kesehatan, semua 27 termamsuk di dalam rezeki. Dan hal-hal semacam inilah harus dia keluarkan (belanjakan) di jalan Allah. Manusia harus meraih kemajuan di di jalan ini secara bertahap dan selangkah demi selangkah. Jika seandainya ada ajaran seperti Injil – bahwa setelah memperooeh tamparan di pipi yang satu, maka pipi yang satu lagi pun diserahkan – akibat tidak mungkinnya ajaran seperti itu diterapkan, manusia akan luput dari pahala.” (Malfuzat, jld I, hlm. 32 / Pidato Pertama Hadhrat Masih Mau‟ud a.s. pada Jalsah Salanah, 25 Desember 1897). Namun hingga saat itu belum tahu sampai di mana Jemaat ini bakal berkembang melalui Tangan Ilahi. Jadi ini adalah suatu kepercayaan (iman) yang pada akhirnya akan memberikan faedah. Jika kata yakin dipergunakan secara umum maka maksudnya adalah keyakinan yang derajatnya terendah, yakni dari tiga tingkatan ilmu, derajat 'ilmul-yaqīn adalah tingkatan yang paling rendah. Pada tingkatan inilah orang yang bertakwa itu berada. Namun sesudah itu tingkat ‗ainul-yaqīn dan haqqul yaqīn pun baru bisa diraih setelah melalui jenjang-jenjang ketakwaan. (Malfuzat, jld I, hlm. 32-33 / Pidato Pertama Hadhrat Masih Mau‟ud a.s. pada Jalsah Salanah, 25 Desember 1897). AL-QURAN MEMBIMBING MANUSIA KE ARAH KESUKSESAN (KEBERHASILAN) SECARA BERTAHAP “Akan tetapi Al-Quran -- bersesuaian dengan fitrat manusia – membimbing manusia ke arah kesuksesan (keberhasilan) secara bertahap. Permisalan bagi Injil itu adalah bagaikan seorang anak muda yang dipaksa membaca yang sangat rumit begitu dia dimasukkan ke dalam sekolah. Allah Ta'ala itu Mahaberakal (penuh hikmah). Tuntutan dari hikmah-Nya adalah supaya pendidikan itu diselesaikan secara bertahap. Kemudian tentang orang mutaki (bertakwa) difirmankan: Yakni, “Orang-orang bertakwa itu adalah mereka yang beriman kepada Kitab-kitab yang telah diturunkan sebelumnya, dan kepada Kitab yang telah diturunkan kepada engkau, dan mereka yakin akan akhirat” (Al-Baqarah, 5). Hal ini pun tidak luput dari usaha gigih (susah-payah). Sampai saat itu keimanan masih berada di dalam bentuk mahjubiyyat (keterselubungan). Pandangan orang yang mutaki (bertakwa) bukanlah pandangan yang memiliki makrifat dan bashirat. Dia telah melawan setan dengan ketakwaan, sehingga sampai saat itu dia mempercayai sesuatu. Begitulah keadaan Jemaat kita pada saat ini. Mereka melalui ketakwaan memang telah beriman (percaya). Takwa bukanlah barang yang kecil. Melalui perlawanan terhadap segenap setan yang telah menguasai setiap potensi dan kemampuan yang terdapat di dalam diri manusia. Seluruh potensi (kekuatan) yang terdapat di dalam diri manusi pada kondisi nafs Ammarah merupakan setan. Seandainya tidak ada perbaikan pada potensi-potensi (kekuatan-kekuatan) tersebut maka mereka akan memperbudak manusia. Ilmu dan akal pun jika dipergunakan pada jalan yang buruk menjadi setan. Pekerjaan orang mutaki (bertakwa) adalah mengadakan keseimbangan berkenaan potensi-potensi tersebut serta atas segenap potensi lainnya. Demikian pula orang-orang yang pada segala kondisi menganggap buruk sikap pembalasan, amarah serta nikah, mereka itu menentang hukum kudrat, dan mereka 28 melawan kekuatan (potensi) manusia” (Malfuzat, jld I, hlm. 33 / Pidato Pertama Hadhrat Masih Mau‟ud a.s. pada Jalsah Salanah, 25 Desember 1897). PENGENDALIAN BERBAGAI POTENSI “Meninggalkan kejantanan (dorongan seksual) atau pun amarah yang telah diciptakan oleh Allah Ta‟ala di dalam fitrat manusia, berarti melawan Tuhan. Sama halnya seperti sikap hidup meninggalkan segenap hal-hal keduniawian atau menjadi rahib (petapa). Kesemuanya ini adalah hal-hal yang menghancurkan haqul „ibad (hak para hamba). Jika hal ini memang demikian maka berarti kita mengecam Tuhan yang telah menciptakan potensi-potensi (kekuatan-kekuatan) tersebut di dalam diri kita. Jadi, ajaran-ajaran demikian -- yang terdapat di dalam Injil dan yang mutlak menghancurkan kekuatan-kekuatan (potensi-potensi) tersebut -- akan membawa kita pada kesesatan. Allah Ta'ala memerintahkan untuk mengadakan keseimbangan terhadap potensi-potensi itu. Dia tidak menghendaki supaya potensi-potensi tersebut dihancurkan, firman-Nya: (“Sesungguhnya Allah memerintahkan berlaku adil dan berbuat ihsan (kebajikan)” - – AnNahl, 91). Adil adalah sesuatu yang harus dimanfaatkan oleh semua orang. Ajaran yang ekstrim dari AlMasih a.s. bahwa, "Jika kamu melihat dengan pandangan yang buruk maka congkellah matamu”, di dalamnya pun terletak pembinasaan terhadap potensi (kekuatan) tadi. Sebab beliau tidak mengajarkan bahwa, "Sama-sekali janganlah kamu memandang perempuan yang bukan muhrim”, justru sebaliknya beliau mengizinkannya, “Boleh saja dilihat, tetapi jangan melihatnya dengan pandangan zina”, larangan untuk melihat itu sendiri yang tidak ada. Kalau seseorang akan melihat, maka setelah itu diperhatikan apa pengaruhnya terhadap potensi (kekuatan) yang dia miliki. Kenapa tidak seperti Al-Quran saja yang melarang untuk memandang hal-hal yang dapat menggelincirkan mata serta menyesalkan sikap [ekstrim mencongkel mata], yang merupakan sesuatu yang bermanfaat dan berharga itu? Agama yang benar adalah agama yang melestarikan potensi (kekuatan) manusia, bukannya yang mencabut potensi (kekuatan) tersebut sampai ke akar-akarnya.” (Malfuzat, jld I, hlm. 33-34 / Pidato Pertama Hadhrat Masih Mau‟ud a.s. pada Jalsah Salanah, 25 Desember 1897). YANG DIMAKSUD DENGAN PARDAH ISLAM “Belakangan ini banyak dilancarkan kritik terhadap masalah pardah. Akan tetapi orang-orang ini tidak mengetahui bahwasanya yang dimaksud dengan “pardah Islam” itu bukanlah penjara, melainkan suatu penghalang (pembatasan) supaya laki-laki dan perempuan yang bukan muhrim tidak dapat melihat satu sama lainnya. Kalau pardah ditegakkan maa manusia tidak akan tergelincir. Seorang yang bersikap adil dapat mengatakan, bahwa di kalangan orang-orang dimana lakilaki dan perempuan yang bukan muhrim tanpa seungkan serta tanpa segan dapat berjumpa atau berjalan-jalan, bagaimana mungkin secara mutlak mereka tidak akan tergelincir oleh dorongan nafsu seks? 29 Kadang-kadang kita mendengar serta melihat bangsa-bangsa, yang menganggap bahwa lakilaki dan perempuan yang bukan muhrim hidup bersama di satu rumah dalam kondisi pintu tertutup bukanlah suatu hal yang tercela. Seolah-olah ini merupakan suatu peradaban. Untuk membendung akibat-akibat buruk itulah maka Pembuat Syariat Islam melarang melakukan hal-hal yang dapat mengakibatkan ketergelinciran. Mengenai peristiwa-peristiwa seperti itu dikatakan, bahwa dimana ada berkumpul seorang laki-laki dan perempuan yang bukan muhrim maka yang ketiganya adalah setan. Perhatikanlah akibat-akibat buruk yang ditanggung oleh Eropa karena ajaran yang memutuskan tali hubungan dengan Tuhan itu. Di beberapa tempat berlangsung kehidupan kotor yang benar-benar memalukan. Ini adalah akibat dari ajaran-ajaran tadi. Jika kalian ingin melindungi suatu benda dari pengkhianatan maka jagalah dia. Akan tetapi jika kalian tidak menjaganya serta menganggap bahwa mereka adalah orang-orang yang beradab, maka ingatlah bahwa benda itu pasti hancur. Betapa sucinya ajaran Islam, yang telah memisahkan laki-laki dan perempuan sehingga terhindar dari ketergelinciran, dan ia tidak mengharamkan serta mencemarkan kehidupan manusia – yang karena melakukan hal itulah Eropa telah menyaksikan hari-hari yangb penuh dengan peperangan dan aksi bunuh-diri. Sebagian perempuan-perempuan baik telah menjalani kehidupan kotor. Ini adalah suatu dampak nyata karena adanya izin untuk memandang perempuan yang bukan muhrim.” (Malfuzat, jld I, hlm. 34-35 / Pidato Pertama Hadhrat Masih Mau‟ud a.s. pada Jalsah Salanah, 25 Desember 1897). POTENSI-POTENSI ANUGERAH ALLAH TA‟ALA & PENDAYAGUNAANNYA “Seberapa banyak potensi (kekuatan) yang telah dianugerahkan oleh Tuhan, kesemuanya itu diberikan bukanlah untuk disia-siakan. Menciptakan keseimbangan pada potensi-potensi (kekuatan-kekuatan) itu serta menggunakannya pada jalan yang benar adalah merupakan pertumbuhan (perkembangan) potensi-potensi itu sendiri. Oleh karena itulah Islam tidak mengajarkan supaya potensi kejantanan (seksual) maupun potensi mata itu dicabut (dihilangkan), melainkan ia mengajarkan untuk memanfaatkan mereka pada jalan yang benar serta mensucikan potensi potensi tersebut. Sebagaimana Allah Ta'ala berfirman: "Qad aflahalmu'minūn – “Sungguh telah sukses orang-orang mukmin” (Al-Mu'minun, 2). Dan sama seperti itu Dia telah berfirman di sini -- yakni setelah menguraikan gambaran kehidupan orang mutaki (bertakwa) -- pada akhirnya Dia mengemukakan hasil ketakwaan tersebut, "Wa ulāika humul muflihūn – (“dan sesungguhnya merekalah orang-orang yang sukses” - (Al-Baqarah, 6), yaitu orang-orang yang melangkahkan kaki di atas ketakwaan, yang beriman pada hal-hal gaib, ketika salatnya goyah lalu mereka menegakkannya kembali, mereka yang memberikan apa-apa yang telah dianugerahkan Tuhan, dan walaupun ada ancamanancaman bahaya terhadap nyawa, mereka tetap percaya pada Kitab-kitab Ilahi terdahulu maupun yang telah diturunkan di zaman mereka. Dan akhirnya mereka sampai pada derajat keyakinan. Inilah orang-orang yang memperoleh hidayat (petunjuk). Mereka berada di sebuah jalan yang lurus ke depan, yang melaluinyalah manusia akan memperoleh kesuksesan. Nah, inilah orang-orang yang meraih kesuksesan dan akan sampai pada tujuan-tujuan mereka, dan mereka telah bebas dari segala bahaya. Untuk itulah pada bagian permulaan Allah Ta'ala telah mengajarkan ketakwaan pada kita lalu menganugerahkan sebuah Kitab yang mengandung wasiat-wasiat tentang takwa. 30 Jadi, Jemaat kita seharusnya merasakan kedukaan ini lebih hebat dari pada segenap kedukaan duniawi, yaitu apakah di dalam diri mereka telah terdapat ketakwaan atau tidak?” (Malfuzat, jld I, hlm. 35 / Pidato Pertama Hadhrat Masih Mau‟ud a.s. pada Jalsah Salanah, 25 Desember 1897). JALANILAH HIDUP DENGAN KERENDAHAN HATI DAN KESEDERHANAAN “Untuk menjadi seorang mutaki terdapat syarat supaya menjalani hidup ini dengan kerendahan hati dan kesederhanaan. Ini adalah sebuah cabang ketakwaan, yang dengan perantaraannyalah kita akan melawan amarah (murka) yang bukan pada tempatnya. Tahapan yang terakhir dan yang paling sulit bagi orang-orang yang memperoleh makrifat serta bagi para shiddiq adalah menghindarkan diri dari amarah (murka). Kesombongan dan keangkuhan timbul dari amarah, dan kadang-kadang amarah itu sendiri merupakan hasil dari kesombongan dan keangkuhan, sebab amarah tersebut timbul tatkala seorang manusia menganggap dirinya lebih tinggi dari yang lain. Aku tidak ingin kalau warga Jemaatku satu sama lain saling menganggap hina atau menganggap lebih tinggi, atau bersikap angkuh terhadap satu sama lainnya maupun memandang rendah. Tuhan mengetahui siapa yang besar atau siapa yang kecil. Hal demikian itu adalah semacam kenistaan. Dirisaukan bahwa kehinaan tersebut tumbuh besar bagaikan benih dan mengakibatkan kehancuran baginya. Sebagian orang menemui orang-orang besar dengan penuh hormat. Akan tetapi orang besar adalah dia yang mendengarkan (memperhatikan) perkataan orang miskin dengan kerendahan hati, membahagiakan hatinya, menghormati perkataannya, tidak mengeluarkan kata-kata sinis yang dapat melukai hatinya. Allah Ta‟ala berfirman: (“dan jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan, seburuk-buruk panggilan adalah yang buruk sesudah iman, dan barangsiapa yang tidak bertaubat maka mereka itulah orang-orang yang aniaya” - (Al-Hujurat, 12). Yakni, “Janganlah kalian saling mengimbau dengan panggilan buruk. Sikap yang demikian itu adalah suatu perbuatan buruk dan dosa. Barangsiapa mengejek-ejek orang lain, dia tidak akan mati sebelum dia sendiri tenggelam dalam hal seperti itu. Janganlah kalian menganggap hina saudara-saudara kalian. Kalian semua minum dari satu telaga yang sama, maka siapa yang tahu bahwa sudah nasib seseorang ia akan minum air yang lebih banyak. Seseorang tidak dapat menjadi terhormat dan terpandang berdasarkan ketentuan-ketentuan duniawi. Di sisi Tuhan, orang yang besar itu adalah orang yang mutaki (bertakwa): (“Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal” - Al-Hujurat, 14). (Malfuzat, jld I, hlm. 36 / Pidato Pertama Hadhrat Masih Mau‟ud a.s. pada Jalsah Salanah, 25 Desember 1897). 31 PERBEDAAN SUKU BANGSA “Adanya perbedaan suku bangsa, tidaklah menyebabkan kelebihan antara satu sama lainnya. Allah Ta'ala menciptakan suku-suku bangsa ini hanyalah untuk identitas belaka. Dan pada zaman ini untuk mengetahui nenek-moyang lebih dari generasi terdahulu saja sudah sulit. Bukanlah ciri khas orang mutaki (bertakwa) bahwa mereka terlibat dalam perselisihan antar etnis, sebab Allah Ta‟ala telah memutuskan, bahwa bagi-Nya status suku bangsa (etnis) tidak mempunyai arti apa-apa, sebab yang dapat menimbulkan kehormatan dan kebesaran sejati hanyalah ketakwaan.” (Malfuzat, jld I, hlm. 36-37 / Pidato Pertama Hadhrat Masih Mau‟ud a.s. pada Jalsah Salanah, 25 Desember 1897). SIAPAKAH YANG DIMAKSUD DENGAN ORANG MUTAKI (BERTAKWA) Di dalam Kalam Ilahi didapati, bahwa yang dimaksud orang mutaki (bertakwa) adalah orang yang berjalan dengan sikap ramah dan rendah hati. Dia tidak berbicara dengan angkuh. Cara dia berbicara adalah seperti orang bawahan yang berbicara dengan orang besar. Kita harus melakukan hal itu di dalam setiap kondisi, yang dengan itulah kita akan memperoleh kesuksesan (keberhasilan). Allah Ta‟ala tidak menyewa dari siapa pun, Dia secara khusus menginginkan ketakwaan. Barangsiapa yang bertakwa, maka dia akan mencapai derajat yang paling tinggi. Yang Mulia Rasulullah saw. atau pun Hadhrat Ibrahim a.s., di antara keduanya satu pun tidak ada yang memperoleh kehormatan dari harta warisan. Walaupun ini merupakan keimanan kita bahwasanya ayah Yang Mulia Rasulullah saw., Abdullah, bukanlah seorang musyrik, akan tetapi bukan beliau yang telah mengenugerahkan kenabian kepada Rasulullah saw.. Kenabian itu merupakan karunia Ilahi yang diperoleh karena kebenaran (kejujuran/ketulusan) yang terdapat di dalam fitrat mereka itulah yang merangsang turunnya karunia. Hadhrat Ibrahim a.s. yang merupakan sesepuh (datuk) para nabi, karena ketulusan dan ketakwaan beliaulah maka beliau tak sungkan-sungkan untuk mengorbankan nyawa putera beliau. Beliau sendiri pun telah dilemparkan ke dalam api. Lihatlah ketulusan dan kesetiaan Junjungan kita, yang Mulia Muhammad Rasulullah saw.. Beliau saw. telah menentang segala macam pergerakan buruk. Beliau telah menanggung berbagai macam musibah serta penderitaan. Akan tetapi beliau tidak peduli. Itulah ketulusan dan kesetiaan yang membuat Allah Ta‟ala menurunkan karunia-Nya. Untuk itulah Allah Ta‟ala berfirman: (“Sesungguhnya Allah beserta malaikat-malaikat-Nya mengirimkan shalawat kepada Nabi, hai orang-orang beriman, kirimkanlah shalawat dan salam penuh keselamatan kepadanya” Al-Ahzab ,57). Yakni, “Allah Ta‟ala beserta segenap malaikat-Nya mengirimkan shalawat kepada Rasul saw.. Wahai orang-orang yang beriman, kirimkanlah shalawat atas diri Nabi saw.” Dari ayat ini nyata, bahwa amal-amal perbuatan Rasul Akram (Mulia) saw. adalah sedemikian rupa, sehingga untuk memujinya ataupun untuk membatasi gambaran sifat-sifat beliau, Allah Ta‟ala tidak menggunakan suatu kata tertentu. Kata untuk itu memang bisa didapat, namun Dia sendiri yang 32 tidak menggunakannya, yakni pujian akan amalamal salih beliau saw. itu tidak ada batasnya. Ayat yang semacam ini tidak pernah dipergunakan untuk nabi lainnya. Di dalam ruh beliau saw. terdapat kebenaran (ketulusan) dan kesetiaan, dan amal-amal perbuatan beliau saw. begitu disenangi di dalam pandangan Tuhan, ehingga Allah Ta'ala telah memberikan perintah untuk selamanya supaya orang-orang mengirimkan shalawat kepada beliau saw. sebagai rasa syukur. Seandainya kita menelaah dari atas hingga ke bawah, kita tidak akan menemukan bandingan bagi semangat serta ketulusan beliau. Lihatlah sendiri zaman Hadhrat Masih a.s., sampai sejauh mana semangat atau ketulusan dan kesetiaan ruhaniah beliau a.s. telah memberikan pengaruh pada pengikut-pengikut beliau? Setiap orang dapat memahami, betapa sulitnya untuk meluruskan (memperbaiki) kebiasaan buruk, betapa tidak mungkinnya menghapuskan adapt kebiasaan yang telah berakar. Akan tetapi Nabi Suci kita saw. telah meluruskan (memperbaiki) puluhan ribu orang yang sebelumnya adalah lebih buruk daripada binatang. Sebagian ada yang bagaikan hewan, tidak dapat membedakan antara para ibu dan saudara-saudara perempuan. Mereka memakan harta anakanak yatim. Mereka memakan harta orang-orang yang telah meninggal. Sebagian ada yang merupakan penyembah bintang, sebagian adalah atheist, sebagian lagi merupakan para penyembah unsur-unsur alam. Apa daratan Arab ketika itu? Daratan Arab adalah suatu kawasan yang di dalamnya terdapat kumpulan berbagai macam golongan agama.” (Malfuzat, jld I, hlm. 37-38 / Pidato Pertama Hadhrat Masih Mau‟ud a.s. pada Jalsah Salanah, 25 Desember 1897). AL-QURAN ADALAH PETUNJUK YANG PALING SEMPURNA “Manfaatnya yang paling besar adalah bahwa Al-Quran mengandung segala macam ajaran. Di dalamnya terdapat cukup ajaran-ajaran untuk mencabut segala macam akidah yang salah atau pun ajaran buruk dapat timbul di dunia ini sampai ke akar-akarnya. Ini adalah suatu hikmah mendalam dan kebijakan dari Allah Swt.. Dikarenakan Kitab yang paling sempurna itu datang untuk melakukan ishlah (perbaikan) secara sempurna juga, maka adalah pentinh bahwa pada saat ia turun penyakit pun sudah mencapai klimaksnya di tempat ia diturunkan, sehingga dapatlah dilakukan pengobatan yang sempurna terhadap setiap penyakit. Jadi, di daratan Arab tersebut pada saat itu terdapat orang-orang yang sakit parah. Segala macam penyakit ruhaniah ada di sana, yakni yang tengah melanda pada saat itu maupun yang bakal menyerang generasi-generasi sesudahnya. Itulah sebabnya Al-Quran telah memenuhi syariat yang paling sempurna. Hal seperti ini tidak diperlukan pada saat Kitab-kitab lainnya turun, dan tidak pula di dalam Kitab-kitab tersebut terdapat ajaran yang sempurna.” (Malfuzat, jld I, hlm. 38 / Pidato Pertama Hadhrat Masih Mau‟ud a.s. pada Jalsah Salanah, 25 Desember 1897). ISHLAH (PERBAIKAN) YANG DILAKUKAN OLEH NABI KARIM SAW. MERUPAKAN MUKJIZAT AGUNG “Sejauh mana berkat-berkat Nabi Akmal kita saw. seandainya seluruh mukjizat itu 33 diklasifiksikan (dipilah-pilah ?) maka hanya ishlah (perbaikan) yang telah dilakukan oleh beliau saw. sajalah yang merupakan suatu mukjizat agung. Jika ada seseorang yang menelaah keadaan ketika beliau saw. datang, lalu memperhatikan keadaan ketika beliau telah pergi, maka dia terpaksa harus mengakui bahwasanya daya pengaruh beliau itu sendiri merupakan mukjizat. Dan walaupun segenap nabi layak untuk memperoleh kehormatan, tetapi: (“Demikianlah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya” – AlJumu‘ah, 5). Pendeknya, persoalan ini dari setiap lapisan, tidak ada satu golongan pun yang tidak ia (AlQuran) beritahukan bagaimana cara untuk melakukan ishlah (perbaikan) terhadap diri mereka” Malfuzat, jld I, hlm. 39 / Pidato Pertama Hadhrat Masih Mau‟ud a.s. pada Jalsah Salanah, 25 Desember 1897). DI DALAM AL-QURAN SUCI TERDAPAT SELURUH KEBENARAN Ini adalah suatu Kitab [yang selaras dengan] kudrat. Sebagaimana difirmankan: Fiyha kutubun qayyimah (di dalamnya ada perintah-perintah abadi” - Al-Bayyinah, 4), yakni, “ini adalah lembaran-lembaran yang di dalamnya terdapat seluruh kebenaran” Betapa beberkatnya Kitab ini, dimana di dalamnya terkandung segala sarana untuk mencapai derajat yang paling tinggi. Akan tetapi disayangkan, sebagaimana tertera di dalam Hadits, bahwa akan datang suatu zaman pertengahan yang merupakan zaman kebejatan (keburukan). Yakni Rasulullah saw. bersabda, bahwa zaman beliau adalah suatu zaman yang beberkat, dan ada suatu zaman yang merupakan zaman bagi Masih dan Mahdi yang akan datang”. (Malfuzat, jld I, hlm. 39 / Pidato Pertama Hadhrat Masih Mau‟ud a.s. pada Jalsah Salanah, 25 Desember 1897). BUKTI KEBERADAAN TUHAN & Al-MASIH DAN AL-MAHDI ”Jika Rasulullah saw. tidak datang, jangankan kenabian, bukti Ketuhanan pun dengan demikian tidak akan diperoleh. Melalui ajaran beliaulah telah diketahui: (“Katakanlah: "Dia-lah Allah, yang Maha Esa. Allah adalah Tuhan Yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu. Dia tiada beranak dan tidak pula diperanakkan, dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia." - Al-Ikhlas, 2-5). Seandainya di dalam Taurat terdapat ajaran demikian -- sedangkan Al-Quran hanya sekedar memperjelasnya saja -- lalu mengapa sampai ada orang-orang Nasrani? Ringkasnya, sejauh mana Al-Quran telah menunjukkan jalan-jalan ketakwaan serta telah mengajarkan cara untuk menjadi pewaris berbagai jenis manusia serta berbagai macam orang yang berakal, Al-Quran telah menunjukkan jalan bagi orang jahil (tuna ilmu/bodoh), bagaimana caranya menjadi pewaris orang-orang berilmu dan filsuf menjadi pewaris orang-orang 34 berilmu dan filsuf, dan Al-Quran telah memberikan jawaban atas seluruhnya. Masih dan Imam Mahdi bukanlah dua tokoh yang berbeda, melainkan yang dimaksud adalah satu orangnya. Mahdi itu artinya orang yang memperoleh petunjuk. Tidak ada yang dapat mengatakan bahwa Masih Mau‘ud (yang dijanjikan) itu bukanlah Imam Mahdi. Apakah Mahdi itu Masih ataukah tidak, bukanlah tugas orang-orang Islam untuk mengingkari ke-Mahdi-an sang Masih. Sebenarnya Allah Ta'ala menggunakan kedua kata tersebut sebagai tameng bagi cacimakian, bahwasanya dia itu bukanlah seorang kafir, sesat maupun menyesatkan, melainkan dia seorang Mahdi (yang mendapat petunjuk – pent.). Sebab Allah Ta‟ala mengetahui bahwasanya Masih dan Mahdi yang akan datang itu bakal dikatakan dajjal dan sesat. Untuk itulah dia dinamakan Masih dan Mahdi. Kaitan Dajjal itu adalah dengan "Akhlada ilal ardhi – condong ke bumi” (Qs.7:177), sedangkan Masih itu dengan rafa‘ samawi (naik/diangkat). Jadi, apa-apa yang telah diinginkan oleh Allah Ta'ala, kesemuanya itu akan sempurna hanya di dalam dua zaman. Yang pertama di zaman beliau (Rasulullah) saw., dan yang kedua di zaman Masih dan Mahdi. Yakni, di satu zaman telah turun Al-Quran serta ajaran yang benar. Akan tetapi ajaran ini telah diselubungi tabir pada zaman kebejatan (keburukan). Dan telah ditetapkan bahwa tabir penyelubung itu akan disibakkan pada zaman Masih. Sebagaimana difirmankan, bahwa Rasul Akram saw. telah melakukan pensucian diri terhadap sebuah Jemaat (kelompok) yang ada pada masa itu, yakni jemaat para sahabah, dan yang satu lagi adalah terhadap jemaat yang akan datang, yaitu yang mengenai mereka telah dikatakan: "Lamma yalhaqu bihim (“yang belum bergabung dengan mereka” -- Surah AlJumu'ah, 4). Nyatalah bahwa Allah Ta‟ala telah memberikan kabar suka bahwa Dia tidak akan membiarkan agama ini punah pada zaman kesesatan. Bahkan Allah Ta‟ala akan membukakan rahasia-rahasia kebenaran Al-Quran pada zaman yang akan datang sesudah itu. Dari sekian tanda, salah satu di antaranya adalah Masih yang akan datang itu mempunyai suatu kelebihan, bahwa dia memiliki pemahaman dan makrifat yang mendalam sekali tentang Al-Quran, dan dengan hanya merujuk kepada Al-Quran dia akan memperingatkan orang-orang tentang kesalahan-kesalahan yang timbul di kalangan mereka karena tidak mengenal rahasiarahasia kebenaran Al-Quran”. (Malfuzat, jld I, hlm. 39-40 / Pidato Pertama Hadhrat Masih Mau‟ud a.s. pada Jalsah Salanah, 25 Desember 1897). PERSAMAAN SILSILAH MUSAWIYAH DAN MUHAMMADIYAH “Di dalam Al-Quran [Allah Ta‟ala] telah menyatakan Rasul Akram saw. sebagai matsil (misal) Musa, firman-Nya: (“Sesungguhnya Kami telah mengutus kepada kamu seorang rasul, yang menjadi saksi terhadapmu, sebagaimana Kami telah mengutus seorang Rasul kepada Fir'aun” AlMuzzammil, 16). Yakni, “Kami mengutus seorang rasul sebagaimana Kami telah mengutus Musa kepada Fir‟aun.” Jadi, Rasul kita saw. adalah matsir (missal) Musa. Di tempat lain difirmankan: 35 (“Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang salih bahwa Dia niscaya akan menjadikan mereka berkuasa khalifahkhalifah dimuka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka khalifah” - An-Nūr, 56). Yakni, silsilah para khalifah dari matsil (misal) Musa ini pun sama seperti silsilah para khalifah Musa a.s.. Periode silsilah para khalifah Musa a.s. adalah 1400 tahun. Selama periode tersebut secara teratur terus saja berdatangan khalifahnya.. Ini merupakan suatu kabar gaib dari Allah Ta‟ala, bahwasanya sebagaimana silsilah pertama itu bermula maka seperti itu pulalah silsilah ini bermuka, yakni sebagaimana Musa a.s. pada masa permulaan memperlihatkan sikap perkasa membebaskan bangsanya dari Fir‟aun, maka seperti Musa a.s. jugalah Rasul yang bakal datang tersebut. (Maka bagaimanakah kamu akan dapat memelihara diri kamu jika kamu tetap kafir kepada hari yang menjadikan anak-anak beruban, langit menjadi pecah-belah pada hari itu. JjanjiNya itu pasti terlaksana.” (Al-Muzzammil, 18-19). Yakni, sebagaimana Kami telah mengutus Musa, maka pada masa Rasul Akram saw. pun orangortang kafir Arab itu penuh dengan sifat ke-fir‘aun-an. Mereka pun seperti halnya Fir‟aun tidak mau jera sebelum mereka menyaksikan tanda-tanda yang perkasa. Tugas Rasulullah saw. adalah seperti tugas-tugas Nabi Musa a.s.. Pekerjaan-pekerjaan Nabi Musa a.s. bukanlah pekerjaan yang dapat diterima (diakui), namun Quran Syarif telah membuatnya dapat diterima. Pada zaman Hadhrat Musa a.s. walaupun Bani Israil itu telah memperoleh keselamatan dari cengkeraman Firaun, akan tetapi mereka tidak selamat (terlepas) dari dosa-dosa. Mereka bertempur, dan hati mereka pun membelot serta menyerang Musa. Tetapi Nabi kita saw. telah memberikan keselamatan yang sempurna kepada umat beliau saw.. Seandainya Rasul akram (mulia) saw. tidak memberikan kekuatan, keperkasaan serta kekuasaan kepada Islam, umat Islam akan terus teraniaya serta tidak selamat dari tangan orangorang kafir. Pertama-tama Allah Ta'ala telah memberikan keselamatan berupa tegaknya kerajaan Islam yang utuh, dan yang kedua adalah mereka memperoleh keselamatan yang sempurna dari dosa-dosa. Allah Ta‟ala telah memaparkan kedua-macam gambaran, yakni bagaimana Arab sebelumnya dan bagaimana sesudah itu. Seandainya kedua gambaran ini dibandingkan, maka akan dapat dibayangkan bagaimana keadaan yang pertama. Jadi, Allah Ta'ala telah menganugerahkan dua macam keselamatan kepada mereka, yakni telah selamat dari setan dan juga telah selamat dari thaghut.” (Malfuzat, jld I, hlm. 40-41 / Pidato Pertama Hadhrat Masih Mau‟ud a.s. pada Jalsah Salanah, 25 Desember 1897). PERBANDINGAN ANTARA RASULULLAH SAW. DENGAN AL-MASIH A.S. “Kejujuran (kebenaran) dan kesucian yang telah diperlihatkan oleh Rasulullah saw. saw. beserta para sahabat mulia beliau, dimanapun tidak akan ditemukan bandingannya. Untuk 36 mengorbankan nyawa pun mereka tidak takut. Bagi Hadhrat Isa a.s. tidak ada pekerjaan yang sulit dan tidak pula ada pengingkar ilham saat itu. Apalah sulitnya memberikan pemahaman tentang persaudaraan kepada orang-orang Yahudi, sebab orang-orang Yahudi memang sudah membaca Taurat. Mereka beriman kepada Kitab itu, mereka mempercayai bahwa Tuhan itu Esa dan tiada sekutu bagi-Nya. Kadang-kadang terpikir, bahwa untuk apa sebenarnya Hadhrat Isa a.s. itu datang, sebab di kalangan Yahudi hingga saat ini pun masih terdapat rasa cinta terhadap Taurat. Puncaknya dapat dikatakan bahwa, mungkin kelemahan akhlak terdapat di kalangan umat Yahudi, tetapi pelajaran sudah tidak ada di dalam Taurat. Dalam kemudahan dimana kaum itu mempercayai Kitab tersebut, Hadhrat Masih a.s. telah mempelajari Kitab itu dari seorang guru secara bertahap. Sebaliknya, Junjungan kita [saw.] – syang merupakan Pembimbing sempurna – adalah seorang ummī (butahuruf). Beliau tidak mempunyai seorang guru pun, dan ini adalah suatu hal yang para penentang pun tidak dapat mengingkarinya. Jadi, bagi Hadhrat Isa a.s. saat itu ada dua kemudahan. Pertama, adalah orang-orang masih satu persaudaraan, dan hal penting yang diusahakan supaya mereka mengimaninya pun sudah mereka percayai sejak awal. Ya, memang ada beberapa kelemahan di bidang akhlak. Akan tetapi walaupun ada kemudahan-kemudahan seperti itu para hawari (murid-murid Nabi Isa a.s.) tetap tidak betul. Mereka tetap saja tamak. Hadhrat Isa .a. punya uang dan sebagian hawari pun mencurinya. Bahkan beliau mengatakan, “Aku tidak mempunyai tempat untuk meletakkan kepalaku.”. Kita menjadi heran, apa maksud beliau berkata demikian, padahal rumah ada, tempat ada dan harta pun ada sedemikian rupa – samapi-sampai kalau dicuri pun tidak ketahuan. Jadi, ini adalah suatu kalimat berupa kritikan. Hal itu maksudnya adalah untuk menyatakan, bahwa walaupun ada kemudahan-kemudahan, akan tetapi tidak bisa diadakan ishlah (perbaikan). Memang Petrus memperoleh kunci-kunci surga, akan tetapi lidahnya tidak dapat dikontrol dari mengutuk gurunya sendiri. Kini, sebagai perbandingannya, lihatlah secara adil, apa-apa saja pengorbanan yang telah dilakukan oleh sahabat-sahabat Pembimbing Sempurna kita saw. demi Tuhan dan Rasul mereka. Mereka telah diusir dari tanah-air mereka. Mereka mengalami penganiayaan. Mereka menanggung berbagai macam bala-musibah. Mereka mengorbankan nyawa mereka. Akan tetapi mereka tetap saja melangkah dengan penuh ketulusan dan kesetiaan. Nah, apa yang membuat mereka sampai begitu hebat berkorban? Adalah karena gejolak kecintaaan Ilahi sejati, yang pancaran cahayanya telah menerpa relung hati mereka. Oleh karena itu dengan nabi manapun jika dibandingkan – yakni bagaimana ajaran beliau saw., bagaimana pensucian hati yang beliau lakukan, bagaimana beliau membuat para pengikut beliau tidak tergila-gila kepada dunia, bertempur dengan perkasa untuk kebenaran – maka tidak akan ditemukan bandingannya. Itulah derajat para sahabat Rasulullah saw.. Gambaran tentang kecintaan dan kasih-sayang antara sesama mereka telah diterangkan di dalam dua kalimat ini: (“dan yang mempersatukan hati mereka” Al-Anfāl, 64) Yakni, kecintaan yang terdapat di dalam diri mereka tidak akan dapat kalian ciptakan, walaupun untuk itu kalian telah menyerahkan gunung emas. Nah, kini ada sebuah Jemaat Masih Mau‟ud a.s. (Masih yang dijanjikan), yang memiliki 37 corak-ragam para sahabah r.a.. Sahabah r.a. adalah suatu Jemaat suci yang mengenainya seluruh Quran Syarif penuh dengan sanjungan-sanjungan bagi mereka. Apakah kalian juga demikian? Jika Tuhan telah berfirman, bahwa yang akan menyertai Hadhrat Masih itu adalah orang-orang yang menyatu dengan para sahabah, maka sahabah itu adalah orang-orang yang telah menyerahkan harta dan tanah-air mereka pada jalan kebenaran. Mereka telah meninggalkan segala sesuatunya. Tentu saja kalian sering mendengar tentang Hadhrat [Abu Bakar] Shiddiq Akbar r.a.. Suatu kali ketika diperintahkan untuk mengorbankan harta di jalan Allah, maka beliau mengangkut seluruh harta kekayaan beliau. Ketika Rasul Karim saw. menanyakan, "Apa yang engkau sisakan di rumah engkau?” maka beliau r.a. berkata, “Aku hanya menyisakan Allah dan Rasul di rumahku.” Beliau adalah seorang rais (pemimpin) Mekkah, namun beliau mengenaikan pakaian para darwish, pakaian orang-orang miskin. Pahamilah, bahwa mereka ini adalah orang-orang yang telah syahid di jalan Allah, dan bagi mereka telah dituliskan bahwa, “Di bawah pedang itu terletak surga”. Namun bagi kita tidaklah seberat itu, sebab bagi kita dikatakan, "Yadha'ul Harbu". Yakni di zaman Imam Mahdi itu tidak akan ada peperangan.” (Malfuzat, jld I, hlm. 41-43 / Pidato Pertama Hadhrat Masih Mau‟ud a.s. pada Jalsah Salanah, 25 Desember 1897). HAKIKAT PEPERANGAN ISLAM “Allah Ta'ala melakukan suatu pekerjaan atas dasar beberapa hikmah (kebijaksanaan), dan di masa mendatang tatkala pekerjaan itu menimbulkan hujat (kritikan), maka Dia tidak akan meneruskan pekerjaan tersebut. Pada awalnya Rasul Akram kita saw. tidak ada mengangkat pedang, namun demikian beliau terpaksa menanggung penderitaan yang sangat berat. Tigabelas tahun sudah cukup untuk membuat seorang anak kecil menjadi baligh (dewasa). Dan bagi Hadhrat Masih a.s., jika jangka waktu tersebut dikurangi sepuluh bagian (tahun) pun sudah mencukupi bagi beliau. Pendeknya, dalam masa yang panjang itu segala macam penderitaan terpaksa harus dihadapi. Akhirnya beliau saw. pergi dari kampung halaman beliau. Beliau terus dikejar. Beliau pun berlindung di daerah lain, tetapi musuh tetap tidak membiarkan beliau di sana. Dan tatkala keadaan sudah seperti itu, maka untuk menyelamatkan orang-orang teraniaya dari penganiayaan orang-orang zalim (aniaya) turunlah perintah ini: (Telah diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi, karena sesungguhnya mereka telah dianiaya, dan sesungguhnya Allah, benar-benar Maha Kuasa menolong mereka itu, [yaitu] orang-orang yang telah diusir dari kampung halaman mereka tanpa alasan yang benar, kecuali karena mereka berkata, "Tuhan Kami hanyalah Allah" – Al-Hajj, 40-41). Yakni, “Mereka telah diserang dengan semena-mena, mereka diusir dari rumah mereka dengan sewenang-wenang, hanya karena mereka telah mengatakan, “Tuhan kami adalah Allah”. Jadi, itulah yang menyebabkan telah diadakan (diizinkan) perang, selain dari itu beliau saw. tidak pernah mengangkat pedang. Ya, pada zaman kita ini pena telah dihunus dalam menentang kita. Melalui pena kita telah dibuat menderita dan diserang dengan keras. Oleh karena itu sebagai bandingannya senjata kita 38 pun adalah pena.” (Malfuzat, jld I, hlm. 43-44 / Pidato Pertama Hadhrat Masih Mau‟ud a.s. pada Jalsah Salanah, 25 Desember 1897). GANJARAN DIDAPAT SESUAI DENGAN QURUB (KEDEKATAN) DENGAN ALLAH TA‟ALA ”Aku sudah berkali-kali mengatakan, bahwa sejauh mana seseorang itu memperoleh kedekatan, maka sejauh itu pula dia akan mendapatkan perhitungan (ganjaran). Ahli-bait pun dahulu memiliki nilai yang besar dalam memperoleh perhitungan (ganjaran). Orang-orang yang jauh, mereka tidak layak untuk memperoleh perhitungan (ganjaran). Namun kalian harus, sebab jika kalian tidak memiliki keimanan yang lebih baik daripada mereka, maka apalah bedanya antara kalian dengan mereka? Kalian berada dibawah pemantauan ribuan orang. Mereka bagaikan mata-mata pemerintah yang memperhatikan gerak-gerik kalian. Mereka benar. Tatkala para sahabat Masih a.s. sudah sewarna dengan para sahabah radhiallāhu ‗anhum, apakah kalian juga demikian? Jika kalian tidak demikian, maka kelian berada dalam keadaan terancam (bahaya). Walaupun ini merupakan kondisi awal, namun kita tidak bisa memperhitungkan maut (kematian), sebab maut (kematian) adalah suatu mutlak yang dihadapi oleh oleh setiap orang. Jika memang demikian halnya, maka kenapa kalian teledor (lalai)? Kalau ada orang yang tidak menjalin hubungan denganku, itu lain masalahnya, akan tetapi tatkala kalian sudah datang kepadaku, kalian telah menerima pengakuanku serta mempercayai bahwa aku adalah Masih, maka seakan-akan kalian telah menyatakan bahwa kalian adalah sama seperti para sahabah mulia r.a.. Nah, apakah para sahabah r.a. pernah enggan untuk melangkah dengan penuh ketulusan dan kesetiaan? Apakah pada mereka terdapat kemalasan? Apakah mereka orang-orang yang menyakitkan hati? Apakah mereka tidak bisa mengendalikan dorongan-dorongan hati mereka? Bukankah mereka itu orang-orang yang senantiasa merendahkan diri? Bahkan di dalam diri mereka terdapat sikap merendahkan diri yang paling dalam sekali. Maka berdoalah, semoga Allah Ta‟ala memberi taufik seperti itu kepada kalian. Sebab tidak ada seorang pun dapat menjalani kehidupan yang hina serta rendah hati selama Allah Ta‟ala tidak membantunya. Simaklah diri sendiri, dan seandainya kalian menemukan diri kalian lemah bagaikan seorang bayi maka jangan takut. Bagaikan para sahabah, teruslah panjatkan doa "Ihdinash-shirātal mustaqīm" (bimbinglah kami pada jalan yang lurus - Al-Fatihah, 6)”. (Malfuzat, jld I, hlm. 44-45 / Pidato Pertama Hadhrat Masih Mau‟ud a.s. pada Jalsah Salanah, 25 Desember 1897). TAHAJJUD & DOA “Bangunlah di waktu malam dan berdoalah supaya Allah memperlihatkan jalan-Nya kepada kalian. Para sahabat Rasulullah saw. pun telah memperoleh tarbiyat (pendidikan) secara bertahap. Bagaimana mereka itu sebelumnya? Adalah bagaikan penyemaian bibit [oleh] seorang petani, kemudian Rasulullah saw. mengairinya. Beliau saw. telah banyak memanjatkan doa bagi mereka. Benihnya bagus, dan tanahnya pun baik, maka akibat pengairan itu telah muncullah buah-buah yang bagus. Sebagaimana Rasulullah saw. berjalan, seperti itulah mereka berjalan. 39 Mereka tidak menunggu siang atau malam. Bertobatlah kalian dengan hati yang benar. Bangunlah untuk tahajjud, berdoalah, luruskan (perbaikilah) hati. Tinggalkanlah kelemahan-kelemahan, dan buatlah ucapan serta amalan kalian bersesuaian dengan kehendak Allah Ta‟ala. Yakinlah, bahwa barangsiapa senantiasa mengingat nasihat ini dan secara amalan nyata memanjatkan doa, dan secara nyata membawa permohonan (doa) ke hadapan Allah, maka Allah Ta‟ala akan mengaruniainya, dan di dalam hatinya akan timbul perubahan. Janganlah kalian berputus asa terhadap Allah Ta‟ala”. (Malfuzat, jld I, hlm. 45 / Pidato Pertama Hadhrat Masih Mau‟ud a.s. pada Jalsah Salanah, 25 Desember 1897). MANUSIA DICIPTAKAN UNTUK MENJADI WALI (SAHABAT) ALLAH “Sebagian orang mengatakan, “Apakah kita harus menjadi wali?” Sangat disayangkan, mereka sedikit pun tidak menghargai. Tidak diragukan lagi bahwa manusia adalah untuk menjadi wali (sahabat Tuhan). Jika dia berjalan di atas shiratal-mustaqim‖ (jalan lurus) maka Tuhan pun akan bergerak menuju kepadanya. Dan kemudian pada suatu tempat (martabat) dia akan menemui-Nya. Gerakannya ke arah Allah Ta‟ala – walau bagaimana pun pelahannya – namun sebaliknya gerakan Allah Ta‟ala akan sangat cepat. Ayat berikut ini mengisyaratkan kepada hal itu: (“Dan tentang orang-orang yang berjuang untuk bertemu dengan kami, sesungguhnya Kami akan memberi petunyuk kepada mereka” - Al-Ankabut, 70). Jadi, apa saja yang telah aku wasiatkan pada hari ini ingatlah, bahwa hanya di situlah terletak najat (keselamatan). Hubungan kalian sebagai makhluk dengan Tuhan hendaknya sedemikian rupa, di mana di dalamnya benar-benar. Ringkasnya, dengan itu kalian harus menjadi bukti penyempurnaan ayat: (Dan Dia akan membangkitkannya di tengah-tengah suatu golongan lain di antara mereka yang belum pernah bergabung dengan mereka” – Al-Jumu‘ah, ayat 3). (Malfuzat, jld I, hlm. 45-46 / Pidato Pertama Hadhrat Masih Mau‟ud a.s. pada Jalsah Salanah, 25 Desember 1897). DUA SILSILAH: ISRAILI DAN ISMAILI “Ya, sebagaimana sebelumnya telah diterangkan, bahwa hikmah kamil (sempurna) Tuhan telah berkehendak untuk menegakkan dua silsilah di dunia ini, yaitu Israili dan Ismaili. Silsilah pertama bermula dari Hadhrat Musa a.s. dan berakhir pada Hadhrat Masih a.s.. Silisalah tersebut berlangsung selama 1400 tahun. Demikian pula halnya bahwa masa Yang mulia Rasul saw. hingga sekarang telah berjalan 1400 tahun, hal ini mengisyaratkan akan kedatangan seorang Masih. Salah satu hubungan khusus yang terdapat dalam pada angka 14 adalah, bahwa manusia 40 mencapai masa balighnya pada tahun ke 14. Hadhrat Musa a.s. memperoleh kabar bahwasanya Hadhrat Masih a.s. akan datang pada masa tatkala di kalangan umat Yahudi terdapat banyak firqah, terdapat pertentangan yang sengit di dalam masalah akidah-akidah mereka – sebagian mengingkari adanya wujud malaikat, sebagian mengingkari masalah Kiamat dan Kebangkitan. Ringkasnya, tatkala perbuatan dan akidah-akidah buruk telah menyebar maka pada saat itu baru Masih akan datang kepada mereka sebagai Hakam (Hakim). Demikian pula halnya, Pemberi Petunjuk kita yang kamil saw. memberitahukan kepada kita, bahwa tatkala di kalangan kita telah timbul banyak firqah seperti di kalangan orang Yahudi, dan seperti mereka, telah bermunculan berbagai macam akidah buruk serta perbuatan-perbuatan bejat, seperti kaum ulama Yahudi, sebagian telah mengafirkan sebagian lainnya, maka pada saat itu di dalam umat-marhumah (mulia) ini juga akan datang seorang Masih sebagai Hakam (Hakim), yang akan mengambil keputusan dari Quran Syarif atas setiap masalah. Dia, seperti Masih a.s., akan disengsarakan melalui tangan kaum (umat). Dia akan dinobatkan sebagai kafir. Seandainya orang-orang ini – atas ketidakpahaman mereka – menyatakan bahwa dia itu dajjal dan kafir, maka memang harus demikian. Sebab di dalam hadits telah tertera bahwasanya Masih yang akan datang itu akan dikatakan kafir dan dajjal. Akan tetapi akidah yang telah diajarkan kepada beliau benar-benar bersih dan bersinar. Ia tidak memerlukan dalil-dalil lain lagi. Ia mengandung burhan (dalil-dalil) yang telak di dalam dirinya”. (Malfuzat, jld I, hlm. 46-47 / Pidato Pertama Hadhrat Masih Mau‟ud a.s. pada Jalsah Salanah, 25 Desember 1897). KEWAFATAN ALMASIH A.S. Permasalahan pertama adalah mengenai kewafatan Al-Masih a.s.. Terdapat beberapa ayat yang secara nyata mendukung hal itu: ("Hai Isa, sesungguhnya aku akan mewafatkan engkau dan mengangkat engkau kepada-Ku – Āli ‗Imran, 56). (Maka setelah Engkau wafatkan Aku, Engkau-lah yang mengawasi mereka” – Al-Maidah, 118). Kilah yang menyatakan bahwa kata tawaffi mempunyai makna yang lain lagi adalah suatu kedustaan. Ibnu „Abbas dan Pembimbing Kami (sempurna) saw. sendiri mengartikan kata tersebut wafat. Orang-orang ini, di mana saja menggunakan kata tawaffi maka maksud mereka adalah wafat dan pencabutan nyawa. Al-Quran pun di setiap tempat menerangkan makna kata tersebut demikian. Oleh karena itu tidak ada yang bisa mengubah hal tersebut. Tatkala kewafatan Al-Masih a.s. telah terbukti maka tentu yang akan datang itu adalah berasal dari umat ini juga. Yaitu sebagaimana yang diterangkan oleh hadits, “Imāmukum minkum” (imam kamu dari antara kamu). Orang-orang Necri (orang-orang yang hanya mempercayai kenyataan alam; atheis – pent.), mereka beruntung bahwa mereka terhindar dari cobaan (ujian) ini, sebab mereka memang mengakui masalah kewafatan Al-Masih a.s.. Keterangan mengenai Masih Mau'ud (Masih yang dijanjikan) begitu beruntunnya, sehingga tidak mungkin lagi untuk diingkari. Selain itu isyarat-isyarat Al-Quran pun memberikan 41 kesaksian akan hal tersebut. Oleh karenanya seorang yang berakal tidak akan dapat mengingkari masalah kedatangan Masih”. (Malfuzat, jld I, hlm. 47 / Pidato Pertama Hadhrat Masih Mau‟ud a.s. pada Jalsah Salanah, 25 Desember 1897). HUBUNGAN ANTARA AL-MASIH YANG DIJANJIKAN DENGAN ZAMAN INI “Ya, memang sebagian orang berhak untuk mengajukan keberatan, “Apa hubungannya antara Masih Mau‟ud (yang dijanjikan) dengan zaman ini?” Jawabannya adalah, bahwa Quran Syarif secara terbuka memberikan isyarat mengenai adanya persamaan antara khilafat yang terdapat di dalam silsilah Israili dan silsilah Ismaili. Hal itu nyata dari ayat berikut ini: (dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang salih, niscaya Dia akan menjadikan mereka khalifah-khalifah di muka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka khalifah” – An-Nūr, 56). Khalifah terakhir dari silsilah Israili yang datang 14 abad setelah kedatangan Hadhrat Musa a.s. adalah Al-Masih a.s., sebagai bandingannya maka sudah pasti bahwa Masihi umat ini pun akan datang pada abad ke 14. Selain itu, para ahli kasyaf telah menetapkan zaman ini sebagai zaman turunnya Masih. Misalnya Hadhrat Syah Waliullah beserta para ahli-hadits lainnya telah sepakat, bahwasanya tanda-tanda sekunder dan tanda-tanda primer sampai batas-batas tertentu telah sempurna. Akan tetapi dalam hal itu ada sedikit kekeliruan mereka ……... Semua tanda-tandanya telah sempurna. Ciri-ciri ataupun tanda yang besar bagi Masih yang akan datang itu terdapat di dalam Hadis Bukhari: Yaksirus-saliba wa yaqtululkhinzir (ia akan memecahkan salib dan membunuh babi). Yakni, tatkala sang Masih turun, pada saat itu kaum Nasrani dan penyembahan terhadap salib sedang merajalela. Nah, apakah saat ini bukan masanya? Apakah kemudaratan-kemudaratan yang telah dilakukan oleh para pendeta terhadap Islam pada saat ini ada taranya semenjak Nabi Adam hingga sekarang? Di seluruh negeri timbul perpecahan. Tak ada satu keluarga Muslim pun yang separuh dari anggotanya yang tidak keluar. Jadi, masa Masih yang akan datang itu adalah merupakan masa kejayaan penyembahan salib. Kini, apa lagi kemenangan yang lebih hebat dari mereka bahwa betapa mereka bagaikan binatang buas telah menyerang Islam dengan penuh kedengkian dan permusuhan? Apakah ada dari kalangan penentang yang tidak membicarakan perihal Yang Mulia Rasul saw. dengan kata-kata kotor serta caci-makian? Kini, jika saat sekarang bukan merupakan waktunya bagi orang (Al-Masih) yang akan datang itu, maka secepatnya dia akan datang dalam jangka waktu 100 tahun ini, sebab dia merupakan mujaddid bagi zaman ini, yang masa kedatangannya adalah di penghujung abad. Apakah Islam pada saat ini masih memiliki kekuatan lagi yang cukup untuk menghadapi kemenangan para pendeta yang semakin hari semakin meningkat, hingga satu abad? Kejayaan mereka sudah sampai pada klimaksnya, dan orang yang akan datang itu pun telah tiba! Ya, kini 42 dia akan menghancurkan dajjal dengan pemenuhan segala hujjah (dalil/argumentasi), sebab di dalam hadits-hadits dikatakan bahwa di tangannya ditakdirkan kehancuran agama-agama lainnya -- bukan kehancuran manusia atau pun umat agama-agama tersebut. Nah, demikianlah yang telah sempurna”. (Malfuzat, jld I, hlm. 47-48 / Pidato Pertama Hadhrat Masih Mau‟ud a.s. pada Jalsah Salanah, 25 Desember 1897). GERHANA MATAHARI DAN GERHANA BULAN “Salah satu tanda bagi orang yang akan datang (Al-Mahdi) itu adalah, bahwa pada zaman itu di dalam bulan Ramadhan akan terjadi gerhana matahari dan gerhana bulan. Orang-orang yang memperolok-olok Tanda dari Allah Ta‟ala berarti memperolok-olok Tuhan. Terjadinya gerhana matahari dan gerhana bulan setelah adanya pernyataan (pendakwaan) diri dari orang itu adalah suatu hal yang sangat jauh dari kepalsuan maupun mengada-ada. Sebelumnya tidak pernah terjadi gerhana matahari dan gerhana bulan seperti itu. Itu adalah suatu tanda yang dengan perantaraannya Allah Ta‟ala mengumumkan kepada seluruh dunia tentang orang yang akan datang (Al-Mahdi) tersebut, Bahkan, orang Arab pun berdasarkan kecenderungan mereka membenarkan tanda ini. Di tempat mana saja selebaran-selebaran kami – yang merupakan pengumuman itu – tidak dapat sampai, maka gerahana matahari dan gerhana bulan itulah yang telah mengumumkan ke sana perihal tibanya orang yang akan datang itu (Al-Mahdi). Ini adalah Tanda Ilahi yang benarbenar suci dari rencana manusia. Terserah falsafah apa pun yang dianut oleh seseorang, jika dia memperhatikan hal ini serta merenungkannya -- bahwa tatkala Tanda yang ditetapkan itu telah sempurna -- maka orang yang dijanjikan itu pasti sudah datang. Hal ini bukanlah masalah yang terjadi berdasarkan perhitungan belaka, melainkan sebagaimana yang telah dikatakan, bahwa ia akan terjadi tatkala sudah ada seseorang yang mendakwakan diri sebagai Mahdi. Rasul Akram saw. pun telah bersabda, bahwa semenjak Adam a.s. hingga masa kedatangan sang Mahdi itu, peristiwa yang demikian belum pernah terjadi. Jika ada yang dapat membuktikan hal seperti itu dari dalam sejarah, maka kami bersedia untuk mengakuinya”. (Malfuzat, jld I, hlm. 48-49 / Pidato Pertama Hadhrat Masih Mau‟ud a.s. pada Jalsah Salanah, 25 Desember 1897). MUNCULNYA BINTANG BEREKOR “Salah satu Tanda lainnya adalah, bahwa pada saat itu akan muncul bintang berekor, yaitu bintang yang pernah muncul sebelumnya. Maksudnya adalah bahwa bintang yang pernah muncul pada zaman Al-Masih a.s., kini bintang itu pun telah muncul lagi. Bintang itulah yang telah mengabarkan kepada orang-orang Yahudi perihal kedatangan Al-Masih. Demikian pula halnya dengan menelaah Al-Quran pun dapat diketahui [Tanda-tanda yang lain]: 43 (Dan apabila unta-unta yang bunting ditinggalkan, dan apabila binatang-binatang liar dikumpulkan, apabila sungai-sungai dialirkan, dan apabila jiwa-jiwa dipertemukan, dan apabila bayi-bayi perempuan yang dikubur hidup-hidup ditanya, karena dosa apakah ia dibunuh, dan apabila lembaran-lembaran disebarluaskan” (At-Takwir, 5-11.). Yakni, pada zaman itu unta-unta betina yang merupakan kendaraan dan alat pengangkut barang yang terbaik tidak akan bermanfaat lagi. Pada zaman itu system kendaraan sudah demikian rupa baiknya sehingga unta-unta betina tersebut tidak akan terpakai lagi, maksudnya, adalah zaman kereta api. Orang-orang yang beranggapan bahwa aya-ayat tersebut hubungannya adalah dengan Hari Kiamat, mereka tidak berpikir bahwa bagaimana mungkin upada Hari Kiamat unta-unta betina dapat hamil, sebab yang dimaksud dengan ‗isyār adalah unta-unta betina yang sedang hamil. Kemudian tertulis bahwa sungai-sungai akan disalurkan dari segala arah, lalu buku-buku akan diterbitkan dalam jumlah besar. Pendeknya, semua tanda-tanda itu adalah berkenaan dengan zaman sekarang”. (Malfuzat, jld I, hlm. 49-50 / Pidato Pertama Hadhrat Masih Mau‟ud a.s. pada Jalsah Salanah, 25 Desember 1897). TEMPAT TURUNNYA AL-MASIH MAU’UD (ALMASIH YANG DIJANJIKAN) “Kini tinggal masalah tempatnya. Jadi, ingatlah, telah diberitahukan bahwa Dajjal itu akan muncul dari timur, yang maksudnya adalah negeri kita (Hindustan/India -pent.). Bahkan pengarang Kitab Hujajul Kiramah menuliskan, bahwasanya fitnah Dajjal tengah muncul di Hindustan, dan terbukti bahwa Al-Masih pun turun di tempat di mana ada Dajjal. Kemudian, dusun itu pun dinamakan Qad‘ah, yang merupakan singkatan dari Qadian. Mungkin saja di daerah Yaman pun terdapat dusun yang bernama seperti itu. Namun harus diingat bahwa Yaman bukan sebelah timur Hijaz melainkan di sebelah selatannya, dan dalam kenyataaannya di Punjab ini ada satu Qadian yang terletak di dekat Ludhiana. Selain itu, ada pun nama yang telah ditetapkan oleh takdir bagiku, nama itu juga yang mengisyaratkan kepada hal tersebut, sebab berdasarkan nilai huruf, jumlah nilai yang terdapat di dalam nama Ghulam Ahmad Qadiani adalah genap 1300, yakni imam (puncak) dari nama ini akan muncul di permulaan abad ke 14. Demikianlah bahwa isyarat yang diberikan Rasulullah saw. itu tertuju kepada hal ini.” (Malfuzat, jld I, hlm. 50 / Pidato Pertama Hadhrat Masih Mau‟ud a.s. pada Jalsah Salanah, 25 Desember 1897). TRAGEDI LANGIT DAN BUMI “Tragedi-tragedi pun merupakan suatu Tanda. Tragedi samawi (langit) telah mengambil bentuk dalam rupa bencana kelaparan, wabah pes, dan kolera. Wabah penyakit pes suatu azab yang sangat berbahaya, sehingga ia telah mengguncangkan pemerintah [Inggris]. Dan kalau sampai wabah tersebut merajalela, maka seluruh penduduk negeri ini akan punah. Tragedi-tragedi dari bumi adalah dalam bentuk peperangan dan gempa, yang telah menghancurkan negeri ini. Bagi seorang utusan (rasul) Allah adalah penting untuk memperlihatkan Tanda Samawi (langit) sebagai bukti akan dirinya. Ada satu Tanda yaitu tentang Lekh Ram. Apakah Tanda itu masih tidak cukup? Sebagai suatu pertempuran, sebuah syarat dipegang hingga beberapa tahun. Lima tahun lamanya pertempuran itu terus berlangsung. Kedua belah pihak masing-masing menyebarkan 44 selebaran. Masalah itu pun menjadi masyhur dimana-mana. Begitu masyhurnya sehingga tidak mungkin ada bandingannya. Lalu demikianlah yang terjadi sebagaimana yang telah dikatakan sebelumnya. Apakah ada tara bandingannya peristiwa yang seperti itu? Berkenaan dengan ―Dharm Mahutsu‖ pun, beberapa hari sebelumnya telah diumumkan, bahwa Allah Ta‟ala telah memberitahukan kepada kami, bahwsanya artikel kamilah yang akan unggul dari sekian artikel lainnya. Orang-orang yang menyaksikan pertempuran besar tersebut mereka dapat merenungkan sendiri, bahwa mengeluarkan suatu pengumuman seperti itu sebelum tiba waktunya bukanlah suatu tebakan atau khayalan, kemudian demikianlah yang terjadi sebagaimana yang telah dikatakan. Wa ākhiru da‘wanā ‗anil- hamdulillāhi rabbil ‗ālamīn. (Malfuzat, jld I, hlm. 51 / Pidato Pertama Hadhrat Masih Mau‟ud a.s. pada Jalsah Salanah, 25 Desember 1897). DUA MACAM KEBUTAAN ―Buta ada dua macam, satu adalah buta jasmani, dan yang satu lagi berhubungan dengan hati. Sebagaimana buta jasmani tidak ada pengaruhnya terhadap keimanan, tetapi kebutaan pada hati mempengaruhi keimanan. Itulah sebabnya sangat penting seseorang harus terus menerus berdoa kepada Tuhan dengan penuh kerendahan, sehingga Dia menganugerahkan kepadanya kesadaran ruhani dan petunjuk yang benar, dan menolongnya dari keragu-raguan (was-was) yang ditimbulkan setan. Banyak keragu-raguan (was-was) yang ditimbulkan setan dalam hati. Yang paling berbahaya dan yang menjadi sumber kehancuran di dunia ini juga di akhirat adalah berhubungan dengan akhirat, karena sebagian besar amal baik dan kejujuran berhubungan -- bersama faktorfaktor yang lain -- dengan keimanan kepada akhirat. Ketika seseorang menganggap Akhirat tidak lebih dari dongeng, maka tidak diragukan lagi bahwa dia tidak akan diterima dan dia akan kehilangan keduanya.” (Malfuzāt, jld. I, hlm. 51). SEBUAH KASYAF ”Tujuanku menerangkannya saat ini adalah, dikarenakan hidup manusia tidak dapat diperhitungkan. oleh sebab itu sekian banyak orang yang berkumpul di tempatku saat ini, aku kira mungkin tahun depan [sebagian] tidak dapat berkumpul lagi. Dan pada hari-hari belakangan ini aku menyaksikan sebuah kasyaf yang menggambarkan bahwa sebagian orang [di antara hadirin] tidak akan ada lagi di dunia ini tahun depan. Namun aku tidak dapat mengatakan sispasiapa saja yang dimaksudkan oleh kasyaf tersebut. Dan aku mengetahui bahwa hal itu adalah supaya setiap orang dengan sendirinya bersiap-siap untuk perjalanan akhirat. Sebagaimana yang baru saja aku kemukakan, kepadaku sudah diberitahukan nama-namanya, namun atas pemberitahuan Allah Ta‟ala, aku benar-benar mengetahui bahwa takdir itu memiliki suatu waktu. Dan pasti pada suatu waktu harus meninggalkan dunia fana (tidak kekal) ini. Oleh karena itu sangat penting untuk mengemukakan hal ini, supaya setiap orang dan segenap kawan yang hadir pada saat ini, jangan menganggap kata-kataku seperti kisah-kisah yang keluar dari 45 mulut pendongeng, melainan adalah [erkataan dari] seorang wā‘idz min jānibillāh (pemberi peringatan yang berasal dari Allah) dan ma‘mur minallāh (orang yang diutus dari Allah), yang berkata-kata dengan sikap yang sangat peduli terhadap kebaikan dan kemaslahatan hakiki serta dengan penuh solidaritas tinggi” (Malfuzat, jld. I, hlm. 51-52). ALLAH TA‟ALA ”Jadi, aku memberitahukan kepada teman-temanku, ingatlah baik-baik dan dengarlah dari kedalaman kalbu, serta berilah tempat di dalam hati, bahwa Allah Ta‟ala -- sebagaimana telah membuktikan tentang wujud Tauhid-Nya dengan dalil-dalil yang kuat dan mullah (?) – merupakan Wujud Yang Maha Tinggi dan merupakan Nur (Cahaya). Orang-orang yang walau pun menyaksikan kekuasaan-kekuasaan dan keajaiban-keajaiban Wujud Yang Mahakuat ini pun ternyata masih tetap menzahirkan keraguan dan kebimbangannya mengenai Wujud-Nya, ketahuilah bahwa sebenarnya mereka itu adalah orang- orang yang sangat malang. Allah Ta‟ala Sendiri telah berfirman mengenai bukti-buktinya yang Mahakuat dan mengenai Wujud-Nya yang Mahakuat dan mengenai Wujudnya yang Mahakuasa: (Berkata Rasul-rasul mereka, "Apakah ada keragu-raguan terhadap Allah, Pencipta seluruh langit dan bumi?” – Ibrahim. 11). Lihat, ini adalah satu hal yang sangat jelas dan sederhana, yakni dengan menyaksikan suatu ciptaan maka mau tidak mau harus diakui keberadaan Penciptanya. Dengan melihat sebuah sepatu bagus atau sebuah kotak, maka beriringan dengan itu terpaksa diakui perlunya keberadaan si pembuatnya. Oleh karena itu sangat mengherankan, bagaimana mungkin bisa ada dalih untuk mengingkari Wujud Allah Ta‟ala? Bagaimana mungkin dapat timbul pengingkaran terhadap Wujud Pencipta seperti itu? Yakni [Pencipta] Yang dengan ribuan keajaiban-Nya bumi serta langit ini dipenuhi? Oleh karena itu pahamilah dengan seyakin-yakinnya, bahwa walau setelah menyaksikan keajaiban-keajaiban dan ciptaan-ciptaan qudrat ini -- yang sedikit pun tidak mengandung campur-tangan kekuatan manusia dan kekuatan akal pikiran manusia --– jika ada orang bodoh yang meragukan Dzat dan Wujud Allah, maka berarti manusia …………….. dan ciptaan-ciptaanNya – adalah suatu kebutaan yang sangat besar.” (Malfuzat, jld. I, hlm. 52-53). DUA MACAM KEBUTAAN “Kebutaan itu terdiri dari dua macam. Pertama buta mata, kedua buta hati. Kebutaan pada mata sedikit pun tidak memberikan pengaruh pada keimanan, namun kebutaan pada hati menimbulkan pengaruh pada iman. Oleh karena itu hal ini penting, dan sangat penting agar setiap orang senantiasa memanjatkan doa kepada Allah Ta‟ala dengan penuh kerendahan hati dan penghambaan, supaya Dia menganugerahkan kepadanya makrifat sejati dan bashirat serta penglihatan hakiki. Banyak sekali kebimbangan yang ditimbulkan oleh setan. Kebimbangan dan keraguan 46 paling berbahaya yang timbul di dalam kalbu manusia, lalu membuatnya merugi di dunia dan di akhirat adalah kebimbangan mengenai akhirat. Sebab, sarana yang sangat besar bagi segenap kebaikan dan kebenaran, dibandingkan dengan sarana-sarana lainnya adalah iman terhadap akhirat. Dan ketika manusia menganggap akhirat serta hal-hal yang berkaitan dengan itu sebagai kisah dan dongeng belaka, maka pahamilah bahwa manusia itu telah ditolak dan dia telah gagal di kedua alam ini.” (Malfuzat, jld,I, hlm. I, hlm. 53). KEGUNAAN BERIMAN KEPADA AKHIRAT “Sebabnya adalah, rasa takut akan akhirat pun membuat manusia jadi takut dan kecut, sehingga mau tidak mau menariknya ke arah mata air sejati makrifat. Dan makrifat hakiki tidak dapat diraih tanpa rasa takut yang sungguh-sungguh, dan tanpa rasa takut akan Tuhan. Oleh karena itu ingatlah, timbulnya kebimbangan akan akhirat, berarti meletakkan kehinaan (?) dalam bahaya, dan khatimun bil-khair (hasil akhir yang baik) akan menjadi berantakan. Sekian banyak orang salih dan mutaki (bertakwa) yang berlalu di dunia ini – yang bangun di malam hari dan bersujud hingga subuh – apakah kalian dapat beranggapan bahwa mereka banyak memiliki kekuatan-kekuatan jasmani? Dan bahwa mereka merupakan orang-orang yang sangat perkasa dan memiliki tubuh besar yang sangat kuat? Tidak. Ingat dan ingatlah baik-baik, bahwa pekerjaan yang dapat dilakukan dengan menggunakan kekuatan serta dapat dilakukan dengan mengandalkan kekuatan dan keperkasaan jasmani. Banyak orang yang kalian lihat, yang makan tiga sampai empat kali sehari, dan mereka menyantap makanan yang sangat enak, menu-menu yang menimbulkan tenaga serta (makanan nasi minyak bercampur daging – pent.) dan sebagainya. Namun apa hasilnya? Sampai pagi mereka terus menerus mendengkur, dan mereka senantiasa dikuasai kantuk. Mereka benar-benar tenggelam dalam tidur dan kemalasan, sampaisampai salat Isya pun merupakan hal yang sangat sulit bagi mereka. Lalu, bagaimana mungkin mereka akan rutin mendirikan shalat Tahajjud?” (Malfuzat, jld. I, hlm. 53-54). PENTINGNYA KESIAP-SIAGAAN MENGHADAPI PEPERANGAN “Lihatlah para sahabat Rasulullah saw., apakah karena mereka pecinta kehidupan mewah yang menyebabkan mereka menang melawan musuh-musuh? Bukan, bukanlah demikian. Bahkan dalam riwayat-riwayat terdahulu diriwayatkan bahwa orang-orang ini beribadah kepada Tuhan di malam hari dan berpuasa di siang hari. Mereka menghabiskan malam-malam mereka dengan mengingat Tuhan. Ayat Al-Quran berikut ini menggambarkan kehidupan mereka dengan lengkap: dan Yakni, “Kalian mensiagakan kuda kalian di perbatasan agar selalu terikat dan siaga, sehingga musuh-musuh kalian takut meliat persiapan kalian seperti ktu”, dan . “hai orang-orang yang beriman, sabarlah dan tingkatkanlah kesabaran dan siagalah.” 47 Kata ribāt digunakan untuk kuda-kuda yang diikat dalam keadaan siap [untuk berperang]. Tuhan Yang Maha Perkasa memerintahkan orang-orang yang beriman agar selalu siap siaga untuk mempertahankan diri mereka dari serangan musuh, dan kata ribāt ini Dia gunakan untuk menunjukkan kepada mereka bahwa mereka harus berada dalam siaga yang sempurna. Ada dua tugas yang dibebankan kepada mereka: menghadapi musuh dan berusaha meningkatkan ruhani. Buku kamus menyebutkan bahwa ribāt berarti diri manusia dan juga hati manusia. Di sini perlu dicatat bahwa hanya kuda-kuda semacam itu yang terbukti bermanfaat karena terlatih dan terpelihara baik. Dewasa ini [kuda-kuda] dilatih seperti anak-anak, dirawat dengan penuh perhatian, sebab jika kuda-kuda tidak terlatih maka pada gilirannya kuda-kuda akan terbukti tidak bermanfaat, bahkan mereka akan merugikan dan membahayakan. Hal itu juga menunjukkan, bahwa manusia (ribāt) juga harus terdidik baik, dan mereka harus mampu mengikuti perintah Tuhan, karena jika mereka tidak seperti ini, mereka terbukti tidak berguna di medan pertempuran, dimana manusia harus melawan setan yang merupakan musuh yang paling mematikan. Pertempuran ini berlangsung sepanjang umur. Sebagaimana di dalam pertempuran dan medan peperangan -- selain potensi (kekuatan) tubuh -- juga diperlukan kemampuan yang terlatih. Maka seperti itu jugalah jiwa-jiwa manusia membutuhkan pelatihan dan pendidikan yang tepat untuk pertempuran dan peperangan batiniah tersebut. Dan jika tidak demikian maka setan akan mengalahkannya, dan manusia akan sangat dihinakan. Misalnya, jika seseorang memiliki meriam, senjata, pistol dan sebagainya, tapi tidak tahu cara menggunakannya, maka dia tidak akan pernah dapat menunaikan kewajibannya dalam melawan musuh. Demikian juga sebaliknya, jika seseorang memiliki panah, meriam, dan persenjataan perang sekalipun, dan dia juga tahu cara menggunakannya, tetapi dia tidak memiliki kekuatan pada tangannya maka orang itu pun tidak akan berhasil. Dari itu diketahui bahwa sekedar mempelajari cara penggunaan pun tidak akan berhasil dan bermanfaat selama belum melakukan olah fisik dan latihan, sehingga menimbulkan kekuatan pada lengan. Sekarang, jika seseorang mengetahui cara memainkan pedang, tetapi dia tidak terlatih, maka begitu dia masuk ke medan pertempuran dia akan menebaskan pedangnya tiga empat kali, dan akan mengayunkan tangann ya dua tiga kali, lalu lengannya menjeladi lemas dan dia benar-benar akan keletihan, dan akhirnya dengan sendirinya kan menjadi mangsa bagi musuh. Oleh karena itu pahamilah, dan pahami baik-baik bahwa sekedar memiliki pengetahuan, kemahiran dan pendidikan dangkal saja tidak berguna sedikit pun selama belum ada amal perjuangan dan kerja keras. Lihatlah seorang panglima juga -- dengan pemikiran demikian -tidak membiarkan bala tentaranya berdiam diri tanpa kegiatan. Bahkan pada masa-masa aman pun dia membuat latihan peperangan dan tidak membiarkan bala tentaranya duduk tanpa pekerjaan. Dan sudah menjadi kebiasaan bahwa latihan tembak menembak serta baris berbaris dan sebagainya dilakukan setiap hari. Sebagaimana baru saja aku jelaskan, bahwa untuk berhasil di medan pertempuran, di satu sisi dibutuhkan pendidikan dan pengetahuan cara-cara menggunakan persenjataan dan sebagainya, dan di sisi lain dibutuhkan latihan serta penggunaan yang tepat. Dan lebih lanjut dibutuhkan kuda-kuda perang yang terdidik dan terlatih, yakni kuda-kuda yang tidak takut mendengar suara letusan meriam dan senapan serta yang tidak akan mundur melihat debu yang berkecamuk, justru kuda-kuda itu akan maju ke depan. Seperti itu jugalah jiwa-jiwa manusia tidak akan dapat berhasil di medan pertempuran melawan musuh-musuh Allah tanpa latihan yang sempurna, tanpa kerja-keras, dan tanpa pendidikan yang hakiki” (Malfuzat, jld. I, hlm. 54-56). 48 I KEUNGGULAN BAHASA ARAB ”Bahasa Arab adalah sesuatu yang menakjubkan. Kata ribāth yang tampil di dalam ayat tersebut – yang menyinggung tentang peperangan dan pertempuran duniawi serta mengenai falsafah seni berperang- di situ juga menampilkan hakikat dan keindahan mengenai pertempuran batiniah dan peperangan nafsu (jiwa) yang berlangsung secara ruhani. Ini merupakan satu rangkaian yang menakjubkan. Oleh karena itulah bahasa Arab disebut induk segala bahasa, yakni, bahasa ini menampilkan fungsi-fungsi yang tidak mungkin dapat ditampilkan oleh bahasa lain. Dan insya Allah, makrifat-makrifat ini akan tampil dengan jelas dan mendalam melalui [buku] Minanur-Rahmān, yaitu yang belakangan ini sudah aku mulai mengenai keunggulan bahasa Arab dan pembuktiannya sebagai induk segala bahasa. Dan akan diketahui bahwa penelitian-penelitian orang-orang Eropa sama-sekali tidak berguna dan tidak sempurna. Dan mereka juga akan mengetahui bahwa induk bahasa-bahasa yang sudah lenyap ditemukan pada zaman ketika shadaqat-shadaqat dīniyah (kebenaran-kebenaraan agama/ruhani) lainnya yang sudah hilang ditemukan kembali. Itulah bahasa Arab. Ringkasnya, bahasa Arab juga menampakkan tatanan ruhaniah dalam tatanan jasmaniah Sebabnya adalah perkara-perjara jasmani dan hal-hal yang menyangkut jasmani juga memberikan kesaksian bagi kita, dan kita dengan sangat mudah dapat memmahami hakikat perkara-perkara itu. Jadi, dengan menamsilkan (mengumpamakan) perkara-perkara itu menjadi tidak sulit lagi untuik memahami falsafah perkara-perkara ruhani. Dan ini merupakan karunia dan berkat istimewa dari Allah Ta‟ala, Yang telah menurunkan cahaya makrifat pada masa kegelapan ini, menggiring orang-orang yang tersesat kembali ke jalan benar.Dan Dia telah memperlihatkan jalan serta cara yang hingga saat ini masih merupakan rahasia. Apakah itu? Itulah …….. (pengambilan dalil) dari falsafah dan hakikat bahasa Arab. Beberkatlah orang-orang yang menghargai karunia Allah Ta‟ala dan yang siap untuk mengambilnya.” (Malfuzat, jld. I, hlm. 57). TUJUAN PEPERANGAN SECARA FISIK DALAM ISLAM Sekarang, lihatlah kata ribāth ini yang digunakan terhadap kuda-kuda yang ditambatkan (disiagakan) di perbatasan-perbatasan musuh untuk perlindungan, kata itu juga ditujukan kepada nafs (jiwa-jiwa) yang telah terlatih untuk siaga menghadapi peperangan yang setiap sat berlangsung dengan setan di dalam diri. Memang betul bahwa kepada Islam telah diberikan dua macam kekuatan untuk berperang. Pertama, kekuatan yang digunakan sebagai pertahanan dan pembalasan, yaitu ketika orang-orang musyrik Arab mengacau dan menyalahi, maka seribu orang [mukmin] telah memperlihatkan keberanian mereka melawan seratus ribu orang kafir. Dan dalam setiap ujian, mereka telah memperlihatkan ruh kekuatan serta keberanian yang suci itu. Zaman itu telah berlalu, dan falsafah mengenai kekuatan tempur dan kemahiran berperang secara zahir yang terkandung di dalam kata ribāth itu pun telah tampil.” (Malfuzat, jld. I, hlm. 57-58). 49 PERTEMPURAN BATINIAH Sekarang, pada zaman kita ini, tidak ada kebutuhan dan keperluan yang mutlak untuk melakukan peperangan zahiriah, melainkan di akhir zaman ini yang dituntut adalah memperlihatkan suri teladan dalam peperangan batiniah. Dan yang menjadi perhatian utama adalah perang ruhaniah, sebab pada zaman ini banyak telah dibuat sarana dan persenjataan besar untuk menyebar-luaskan kemurtadan dan penyelewengan batiniah ,oleh karena itu untuk melawannya pun dibutuhkan persenjataan semacam itu juga, sebab sekarang ini adalah masa aman dan damai, dan kita mendapatkan segala macam kemudahan serta ketentraman. Dengan bebas setiap orang dapat menyebar-luaskan dan menablighkan agamanya serta mengamalkan hukum-hukumnya. Lalu Islam yang merupakan pendukung sejati bagi kedamaian – bahkan pada hakikatnya hanya Islam sajalah yang menebarkan kedamaian, keselamatan, dan kerukunan -bagaimana mungkin pada zaman damai dan kebebasan ini dapat menyukai upaya-upaya untuk memperlihatkan contoh yang pertama (perang jasmani) tadi? Jadi, pada sekarang ini yang dituntut adalah contoh kedua, yakni peperangan ruhani.” (Malfuzat, jld. I, hlm. 58). JIHAD DI ZAMAN SEKARANG Ada satu hal lagi, mengenai contoh yang pertama tadi, yakni yang menjadi tujuan pada saat itu adalah memperlihatkan keberanian. Itulah sikap yang pada masa itu dianggap paling terpuji dan paling dicintai, sedangkan pada masa sekarang ini peperangan sudah merupakan suatu teknologi, yang sambil duduk jauh-jauh pun seseorang dapat menembakkan meriam dan senapan. Namun pada masa dahulu itu pemberani yang sejati adalah orang yang tidak takut di hadapan pedang-pedang. Akan tetapi teknologi perang pada masa sekarang ini merupakan upaya untuk menutup-nutupi para pengecut. Yang ada sekarang ini bukanlah sikap pemberani, melainkan siapa saja yang memiliki peralatan perang baru dan meriam-meriam baru serta dia dapat menggunakannya maka dia bisa menang. Maksud dan tujuan peperangan zaman dahulu adalah untuk menampilkan potensi keberanian terselubung yang dimiliki orang-orang mukmin. Dan sebagaimana yang Allah Ta‟ala kehendaki potensi [keberanian] tersebut telah ditampilkan di hadapan dunia dengan cara yang sangat baik. Sekarang ini hal itu tidak dibutuhkan lagi, sebab sekarang peperangan teah berbentuk teknologi dan kelicikan serta taktik. Dan peralatan-peralatan perang baru serta teknologi yang pelik telah menghapuuskan potensi [keberanian] yang berharga dan patut dibanggakan itu. Pada masa permulaan Islam, timbul kebutuhan untuk melakukan peperangan pembelaan diri dan peperangan jasmaniah, sebab para pengimbau kea rah Islam pada masa-masa itu tidak dijawab dengan dalil-dalil mau pun argumentasi pula melainkan dijawab dengan pedang. Oleh karena itu tidak ada cara lain kecuali terpaksa menggunakan pedang. Namun sekarang jawaban [lawan] tidak diberikan melalui pedang melainkan melalui pena (tulisan) dan dalil-dalil yang telah dilancarkan serangan-serangan terhadap Islam. Itulah sebabnya Allah Ta‟ala pada zaman ini menghendaki agar fungsi pedang digantikan dengan pena. Dan supaya para penentang dihalau dengan melawan mereka menggunakan tulisan. Oleh karena itu sekarang tidak patut bagi siapapun untuk berusaha menjawab pena (tulisan lawan) dengan menggunakan pedang.” (Malfuzat ,jld.I, hlm. 58-59). 50 SAAT INI YANG DIBUTUHKAN ADALAH PENA Saat ini yang dibutuhkan adalah – pahamilah dengan seyakin-yakinnya – bukanlah pedang melainkan pena. Para penentang kita telah menaburkan kebimbangan-kebimbangan mengenai Islam, dan dari sudut pandangan ilmu pengetahuan mereka ingin menyerang agama sejati Allah Ta‟ala. Allah Ta‟ala telah menggerakkan aku untuk menggunakan sejata pena lalu turun di medan pertempuran pentehauan dan ………ilmiah ini. Dan supaya aku juga memperlihatkan hebatnya keberanian ruhaniah serta kekuatan batiniah yang dimiliki Islam. Kapan pula aku layak untuk turun di medan ini? Justru hanyalah karunia dari Allah Ta‟ala dan merupakan anugerah-Nya yang tak terhingga bahwa Dia menghnedaki supaya melalui tangan seorang manusia yang lemah seperti aku ini kehormatan agama-Nya dizahirkan. Suatu waktu aku menghitung kritikan-kritikan dan serangan yang dilontyarkan oleh para penentang kita terhadap Islam, maka jumlahnya – menurt perkiraan dan perhutunganku – telah mencapai tiga ribu, dan aku memperkirakan bahwa sekarang akan semakin bertambah lagi. Jangan sampai ada yang beranggapan bahwa fondasi (landasan) Islam, terletak pada hal-hal yang begitu lemah, sehingga tiga ribu kritikan dapat ………. padanya. Tidak! Sama sekali tidak! Kritikan-kritikan ini tampil sebagai kritikan hanya dalam pandangan orang-orang yang terkebelakang atau bodoh. Namun aku katakan kepada kalian dengan sebenar-benarnya, ketika aku menghitung kritikan-kritikan tersebut, waktu itu pun aku mendalami bahwa di lapisan dasar kritikan-kritan tersebut pada hakikatnya terdapat shadaqat (kebenaran-kebenaran) yang sangta lanagka, yang idak tampak oleh para pengeritik karena mereka tidak memiliki bashirat (pandangan ruhaniah). Dan pada hakikatnya ini merupakan hikmah Allah Ta‟ala, bahw adi mana saja pengeritik buta datang dan menebak-nebak, ternyata di situ Dia telah meletakkan khzanah hakikat dan makrfat yang terselubung.” (Malfuzat, jld. I, hlm. 59-60). DIUTUS UNTUK MENGELUARKAN KHAZANAH-KHAZANAH AL-QURAN “Dan Allah Ta‟ala telah mengutuku supaya aku membongkar khazanah-khazanah tertimbun ini lalu memperlihatkannya kepada dunia, dan supaya Lumpur kritikan-kritikan kotor yang telah dilemparkan para permata-permata yang berkilauan itu aku sucikan dan bersihkan kembali. Ghairat (harga diri dan kehormatan) Allah Ta‟ala saat ini sedang sangat bergejolak, supaya kehormatan Quran Syarif diibersihkan dan disucikan dari noda-noda laifikan (??) yang berasal dari segala macam musuh kotor. Ringkasnya, dalam kondisi diman apara penentang ingin dsan sudah menyerangku dengan pena (tulisan), adalah snagat bodoh apabila aku pun siap untuk berkelahi [secara zahir] dengan mereka. Aku beritahukan kepada kalian dengan sejelas-jelasnya, bahwa dalam kondisi demikian jika ada orang yang dengan membawa nama Islam melakukan jawaban menggunakan pedang dan pertempuran berarti dia telah menodai nama Islam. Dan Islam kapan pun tidak pernah berkeinginan untuk mengangkat pedang tanpa tujuan dan tanpa perlu. Sekarang tujuan-tujuan peperangan – seperti yang telah saya jelaskan – telah berubah dalam bentuk teknologi dan tidak lagi demi agama, melainkan yang menjadi topic peperangan itu adalah tujuan-tujuan duniawi. Jadi, betapa aniayanya apabila kepada para pengeritik itu bukannya disampaikan jawaban, melainkan pedang yang diperlihatkan. 51 Sekarang, beriringan dengan zaman, aspek peperangan telah berubah, oleh karena itu dibutuhkan supaya, pertama-tama kalian mensucikan kalbu dan otak kalian dan bersihkanlah jiwa-jiwa kalian. Mintalah bantuan kemenangan dari Allah Ta‟ala dengan menggunakan kesalihan dan ketakwaan. Ini merupakan sebuah bWacum (?) tetap dan asas permanent dari Allah Ta‟ala. Dan jika orang-orang Islam ingin berhasil dan menang dalam pertempuran ini dengan hanya mengandalkan ucapan dan kata-kata yang kosong belaka, maka itu tidaklah mungkin. Sebab Allah Ta‟ala tidak menghendaki omomng-kosong dan kata-kata semata, yang Dia inginkan adalah ketakwaan hakiki, dan Dia menykai kesucian sejati. Sebagaimana Dia berfirman: (Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang bertakwa dan orang-orang yang berbuat kebaikan” – An-Nahl, 129). (Malfuzat, jld. I, hlm. 60-61). (hlm 62-65) AKAL SEJATI ”Hendaknya jangan beranggapan bahwa akal dan kebijakan adalah sesuatu yang dapat diraih begitu saja. Tidak. Ketajaman hati (firasat) yang benar dan akal sejati sama sekali tidak dapat diraih tanpa melalui ruju‘ (kembali) kepadaAllah. Untuk itulah telah dikatakan bahwa, “Takutlah pada ketajaman-hati (firasat) orang mukmin (beriman), sebab ia melihat berdasarkan nur (cahaya) Ilahi.” Ketajaman hati (firasat) yang benar dan akal sejati – sebagaimana telah aku katakana – tidak pernah dapat diraih selama tidak memiliki ketakwaan. Jika kalian ingin sukses maka gunakanlah akal, renungkan dan pikirkan. Di dalam Quran Karim berkali-kali didapati penekanan supaya merenung dan berfikir. Berpikirlah dalam wawasan Kitābun-maknūn dan Quran Karim, dan jadilah kalian orang yang bertakwa. hati kalian menjadi suci, dan kalian menggunakan akal-sehat serta melangkahkan kaki di atas jalanjalan ketakwaan, maka dari hubungan keduanya akan timbul kondisi: (”Wahai Rabb (Tuhan) kami, tidaklah Engkau menjadikan ini sia-sia. Maha Suci Engkau dari perbuatan sia-sia, maka peliharakan kami dari api” - Āli-Imran, 192), yang akan keluar dari dalam hati kalian. Saat itu akan dipahami, bahwasanya makhluk (ciptaan) ini tidaklah sia-sia, bahkan ia memberikan kesaksian akan kebenaran dan kekokohan Sang Pencipta Hakiki, sehingga zahirlah berbagai macam ilmu pengetahuan yang menyokong 52 (membantu) agama” (Malfuzāt, jld. I, hlm 65-66). ILMU DUNIAWI ”Merupakan hal yang sangat penting bahwa untuk mengkhidmati agama kalian harus menguasai ilmu pengetahuan duniawi dengan baik -- dalam hal ini yang paling mutakhir – dan kalian harus berjuang untuk tujuan tersebut. Namun pada saat yang sama, aku ingin memperingatkan kalian -- dan hal ini berdasarkan pengalaman pribadiku – bahwa mereka yang telah berjuang untuk menguasai satu segi pengetahuan, dan mereka tidak punya waktu dan niat untuk mencurahkan sebagian waktu [bergaul] dengan orang-orang suci, atau mereka tidak memiliki cahaya ruhani pada diri mereka sendiri, mereka telah berbuat kesalahan dan menyimpang jauh dari Islam. Bukannya menjadikan ilmu-ilmu tersebut sebagai hamba bagi Islam, mereka malah telah mencoba dengan sia-sia menjadikan Islam sebagai hamba bagi ilmu-ilmu tersebut, dan mereka mulai menganggap bahwa merekalah orang yang bertanggungjawab untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan agama. Tetapi kalian harus ingat, bahwa agama hanya dapat dikhidmati oleh orang-orang yang memiliki cahaya Tuhan pada diri mereka. Sesungguhnya ilmu-ilmu (sains) ini sedang diajarkan seperti kehidupan para padri (pendeta) dan dalam bentuk sebuah filsafat. Hasilnya adalah, bahwa seseorang yang mencoba menguasai ilmu-ilmu ini untuk sementara waktu ia tetap merupakan seorang Muslim yang mukhlis akibat adanya kesan baik yang dia dapatkan tentang agama ini -- untuk sementara waktu -sebab kesan baik yang dia dapatkan tentang agama ini – tetapi kemudian dia mulai menjauh darinya. Kemudian tiba saat ketika dia meninggalkan semua ibadah Islam dan memutuskan dirinya dari hal itu Beberapa dari mereka yang telah menguasai ilmu-ilmu ini telah menjadi pemimpin Negara, tetapi mereka tidak memahami rahasia dan semua masalah penting ini Sebab pencapaian akan ilmu-ilmu ini dapat berguna hanya jika seseorang itu sangat mukhlis dan berkeinginan mengkhidmati agama dan telah menjadi sahabat seorang yang telah diberkati ilmu samawi.” (Malfuzāt, jld.I, hlm. 66). AKAL & ILHAM “Allah Ta‟ala tidak hanya memberikan anugerah akal saja kepada orang-orang Muslim, melainkan bersamaan dengan itu Dia juga menganugerahkan cahaya dan nur ilham. Mereka hendaknya jangan berjalan di atas jalan-jalan yang dikehendaki oleh orang-orang yang mengandalkan logika dangkal (kering) dan oleh para filsuf agar [manusia] berjalan di atasnya. Pada orang-orang-orang yang demikian itu potensi lidah (kemampuan berkata-kata) memang dominant, tetapi potensi ruhaniah sangat lemah. Lihatlah di dalam Quran Syarif berkenaan dengan hamba-hamba-Nya, Allah Ta‟ala berfirman: Ulil aydiy wal abshar (orang-orang yang sigap dan memiliki pandangan ruhaniah). Di mana pun tidak ada tertulis Uwlil-alsinahi (orang yang pandai berkata-kata/bersilat-lidah). Dari itu diketahui, bahwa orang-orang yang disukai oleh Allah Ta‟ala adalah yang melihat pekerjaan (karya) serta firman Allah Ta‟ala melalui mata dan penglihatan ruhaniah lalu mengamalkannya. Seluruh perkara ini sama sekali tidak dapat diperoleh tanpa melalui pensucian diri serta 53 pensucian potensi batiniah” (Malfuzāt, jld. I, hlm. 66-67). KEBERHASILAN DUNIA & AKHIRAT ”Jika kalian menginginkan supaya kalian meraih keberhasilan (kesuksesan) dunia dan akhirat, kalian memperoleh kemenangan atas hati orang-orang, maka terapkanlah kesucian, pergunakanlah akal, dan berjalanlah di atas petunjuk-petunjuk Kalām Ilahi, dan perbaiki (luruskan) diri kalian sendiri serta perlihatkan akhlak kalian kepada orang lain, barulah kalian akan berhasil (sukses)… Jadi, pertama-tama ciptakanlah hati kalian. Yakni jika kalian ingin menanamkan pengaruh terhadap hati [orang-orang lain] maka ciptakanlah potensi amaliah (kekuatan amal perbuatan), sebab tanpa amal perbuatan, kata-kata dan kekuatan manusia sedikitpun tidak dapat memberikan faedah. Orang-orang yang berbicara melalui mulut mereka ratusan ribu jumlahnya. Banyak sekali orang-orang yang menyebut diri mereka maulvi dan ulama. Kemudian mereka naik mimbar dan memberikan nasihat ke sana ke mari seraya menyatakan bahwasanya mereka adalah naibur-rasul (wakil Rasulullah saw.) dan waritsul-anbiya (pewaris para nabi), lalu mengatakan, “Hindarilah takabur, keangkuhan, amal-amal buruk”, akan tetapi perbuatan-perbuatan mereka dan hal-hal negative yang mereka sendiri lakukan, takarannya dapat kalian ketahui melalui sejauh mana pengaruh (kesan) mereka terhadap hati kalian (Malfuzāt, j1d. I, h. 67). KESELARASAN UCAPAN DAN AMAL RASULULLAH SAW. ”Ingatlah oleh kalian ucapanku ini dan tetaplahlah ingat. Jika perkataan (ucapan) seorang manusia itu dilakukannya tidak dengan hati yang benar (jujur), dan di dalamnya tidak terdapat potensi (kekuatan) pengamalan maka ia tidak akan berkhasiat (berpengaruh). Justru dengan itulah dapat diketahui kebenaran agung Nabi Suci kita (saw.), sebab kesuksesan dan pengaruh pada kalbu (hati) yang diraih oleh Rasulullah saw. tidak pernah didapat oleh siapa pun di dalam sejarah umat manusia ini. Dan penyebab kesemuanya itu adalah bahwa pada ucapan dan amal (perbuatan) beliau terdapat keselarasan yang sempurna.” (Malfuzat, jld. I, hlm. 67-68). JEMAAT DAN PENGETAHUAN ”Ucapan-ucapanku ini adalah, bahwa kalian yang menjalin hubungan denganku -- dan yang karena hubungan itu kalian telah menjadi bagian dariku -- supaya kalian mengamalkan hal-hal tersebut. Dan gunakanlah juga akal serta Kalām Ilahi, supaya di dalam diri kalian timbul cahaya makrifat dan keyakinan sejati, dan supaya kalian menjadi sarana untuk menarik orang-orang keluar dari kegelapan lalu membawa mereka kepada cahaya. Sebab landasan-landasan kritikan (kecaman) pada masa sekarang ini adalah masalah-masalah natural, kesehatan, dan astronomi. Oleh karena itu mutlak untuk mengatahui hakikat dan kondisi ilmu-ilmu tersebut, agar sebelum memberi jawaban terlebih dulu kita sudah mengetahui hakikat kritikan (kecaman-kecaman) tersebut.” (Malfuzat, jld I, hlm 68). 54 (hlm 69-72) AKAL & NUR SAMAWI "Akal yang suci berasal dari langit, dan bersamaan dengannya dia membawa serta sebuah nur (cahaya). Akan tetapi dia senantiasa mencari-cari potensi-potersi (bakat-bakat) yang terpendam. Kaidah-kaidah dalam silsilah suci ini ini adalah sama dengan apa yang kita lihat di dalam hukum-hukum jasmani. Hujan turun dari langit, tetapi ada suatu tempat yang menjadi berbunga akibat hujan tersebut, dan ada pula tempat-tempat yamg hanya tumbuh duri dan semak belukar saja. Dan di tempat-tempat tertentu butir-butir air hujan itu jauh ke dasar laut lalu menjadi mutiara yang mulia mulia (berharga). Jika tanah tidak layak maka hujan sedikit pun tidak memberikan manfaat, bahkan justru sebaliknya yang timbul adalah kemudaratan dan kerugian. Untuk itulah turunlah nur samawi (cahaya langit) dan ia ingin menyinari hati [orang-orang]. Bersiap-siaplah kalian untuk menerimanya dan untuk mengambil manfaat darinya. Jangan sampai seperti hujan, tanah yang tidak memiliki potensi yang layak ia akan menyia-nyiakannya. [Jangan sampai] kalian pun berjalan di dalam kegelapan walaupun ada nur (cahaya) dan tergelincir jatuh ke dalam sumur yang dalam sehingga kalian binasa. Allah Ta‟ala jauh lebih Pengasih daripada seorang ibu yang pengasih. Dia tidak menginginkan supaya makhluk-Nya menjadi sia-sia. Dia membukakan bagi kalian jalan-jalan petunjuk dan cahaya. Akan tetapi untuk melangkahkan kaki [di jalan-jalan] tersebut, kalian harus menggunakan akal dan pensucian hati. Sebab seperti halnya tanah, selama belum disiapkan dengan pembajakan maka padanya beliau dapat dilakukan penyemaian benih. Demikian pula selama pensucian hati belum dilakukan dengan perjuangan dan kegigihan maka akal yang suci tidak dapat turun dari langit". (Malfuzāt, jld. I, hlm. 72-73). SERANGAN TERHADAP ISLAM ”Pada zaman ini Allah Ta'ala telah memberikan fadhal (karunia) yang besar. Dan dengan menampakkan ghairat-Nya dalam mendukung agama-Nya serta [dalam mendukung] Yang Mulia Nabi Karim saw., Dia telah mengutus seorang manusia yang tengah berkata-kata kepada kalian, supaya dia mengimbau orang-orang kepada cahaya ini. Jika pada zaman [sekarang] tidak ada kekacauan dan kerusuhan seperti ini, dan tidak ada usaha-usaha seperti yang tengah dilakukan untuk menghapuskan (melupakan) agama maka tidak ada masalah sedikit pun. Akan tetapi kalian menyaksikan bahwa pada setiap penjuru, di kiri dan kanan, segenap umat (kaum) tengah gencar memikirkan untuk menghancurkan Islam. Saya ingat, dan di dalam Barāhin Ahmadiyah pun telah saya kemukakan, bahwa 60 juta buku telah ditulis dan disusun lalu diterbitkan untuk menentang Islam. Perkara yang mengherankan adalah, bahwa jumlah orang-orang Islam di Hindustan pun adalah 60 juta, dan jumlah buku-buku untuk menentang Islam pun sebanyak itu pula. Kalau pun penambahanpenambahan jumlah yang telah berlangsung melalui karangan-karangan tersebut ditinggalkan, maka tetap saja penentang kita telah memberikan satu buku kepada setiap orang Islam. 55 Jika seandainya tidak ada gejolak ghairat Allah Ta‟ala dan janji Innā lahū lahāfizūn (sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya” – Al-Hijr, 10) tidak dipenuhi, maka ketahuilah, bahwa Islam di zaman ini benar-benar akan tercabut dari dunia, dan hingga nama serta tanda-tandanya pun akan lenyap. Namun tidak, tidak akan terjadi demikian, Tangan terselubung Allah Ta'ala sedang melindunginya. Saya menyesali dan merasa duka atas perkara ini, bahwa orang-orang yang menamakan diri mereka Islam (Muslim), untuk sekedar seperti gagalnya pernikahan pun mereka tidak mau memikirkan (merisaukan) tentang Islam. Dan saya benar-benar sering membaca, bahwa para perempuan Kristen pun ketika hendak meninggal dunia mewasiatkan ratusan ribu rupees untuk pelestarian serta pengembangan agama Kristen. Dan setiap hari kita menyaksikan bahwa mereka menggunakan kehidupan mereka untuk pengembangan Kristen. Ribuan tokoh missionaris pergi ke rumah-rumah bdan ke lorong-lorong. Dan bagaimana pun kesempatan yang diperoleh, mereka ke sana ke mari merampasi iman. Seorang pun dari antara orang-orang Islam tidak kelihatan, bahwa ia mewasiatkan sekedar 50 rupees untuk pengembangan Islam, lalu mati. Yaa, untuk perkawinan-perkawinan serta adat kebiasaan duniawi tak terhitung yang dibelanjakan. Bahkan dengan meminjam utang pun mereka dengan senang hari menghambur-hamburkan uang untuk hal yang sia-sia. Namun hanya untuk Islam sajalahlah mereka tidak membelanjakan harta. Sangat disayangkan! Sangat disayangkan! Kondisi yang bagaimana lagi dari umat Islam yang patut dikasihi selain daripada ini?” (Malfuzāt, jld I, hlm. 73-74). GANJARAN AMAL PERBUATAN ”Hal yang sebenarnya adalah, bahwa dampak dari amal-amal buruk adalah amal buruk. Bagi agama Islam terdapat hukum kudrat Allah Ta'ala, bahwa dari sebuah kebaikan akan lahir kebaikan lainnya. Aku teringat, aku telah membaca di dalam di dalam buku Tadzkiratul Awliyā, bahwa ada seorang penyembah api yang tua berusia 90 tahun. Kebetulan terjadi hujan lebat, maka dalam hujan lebat itu dia mmeberi makan burung-burung di loteng rumah. Ada seorang tua berkata di dekatnya, “Hai orang tua, apa yang engkau lakukan?” Ia menjawab, “Wahai Saudara, hujan terus menerus turun selama enam-tujuh hari ini. Saya sedang membari makan burung-burung.” Orang tua itu berkata, “Engkau melakukan pekerjaan yang siasia. Engkau adalah seorang kafir, mana pula ada ganjaran bagi engkau?” Orang itu menjawab, “Saya pasti akan mendapatkan ganjarannya”. Orang tua tadi berkata, “Saya pergi untuk ibadah haji lalu apa yang saya lihat dari jauh? Orang tua itu sedang melakukan thawaf. Melihat hal itu saya menjadi takjub, dan ketika saja maju menghampirinya maka pertama-tama dialah yang berkata, “Apakah saya memberikan makanan kepada burung-burung itu telah sia-sia, ataukah saya telah mendapatkan ganjarannya?” Ini hendaknya dipikirkan, bahwa ganjaran kebaikan seorang kafir pun tidak disia-siakan oleh Allah Ta‟ala, maka apakah Dia akan menyia-nyiakan ganjaran orang-orang Islam? Saya teringat kisah seorang Sahabi, yakni ia berkata, “Ya Rasulullah saw., saya banyak sekali melakukan sedekah pada masa kekafiran saja, apakah saya akan memperoleh ganjarannya?” [Beliau saw. bersabda], “Sedekah-sedekah itulah yang menjadi penyebab engkau menjadi seorang Muslim.” (Malfuzat, jld. I, hlm.74-75). 56 JEMAAT DAN KEBAHAGIAAN HAKIKI ”Persoalannya adalah, keridhaan Allah Ta‟ala yang merupakan penyebab timbulnya kebahagiaan hakiki tidak dapat diraih selama belum menanggung penderitaan-penderitaan sementara. Allah tidak dapat ditipu. Beberkatlah orang-orang yang tidak mempedulikan penderitaan demi untuk meraih keridhaan Ilahi, sebab setelah mengalami penderitaan yang bersifat sementara itulah orang beriman memperoleh cahaya kebahagiaan abadi dan ketentraman yang tetap.” (Malfuzat, jld. I, hlm. 76). JEMAAT DAN MUSLIM SEJATI ”Aku katakan dengan sejelas-jelasnya, selama Allah Ta‟ala tidak didahulukan dalam setiap perkara, dan selama belum memeriksa kalbu (hati) bahwa itu adalah milik-Nya, maka selama itu pula seseorang tidak dapat disebut mukmin (orang beriman) sejati. Orang yang demikian itu saja yang dinamakan mukmin (orang beriman), seperti orang-orang umum juga disebut pelaku shalat (mushallin) atau mukmin. Muslim (orang Islam) adalah dia yang telah memenuhi aslama wajhahu lillāhi (yang menghadapkan wajahnya kepada Allah). Wajh artinya wajah (muka), namun maknanya tertuju kepada diri dan wujud. Jadi, seseorang yang telah menyerahkan segenap potensinya (kemampuannya) ke hadapan Allah, dialah yang berhak dinamakan Muslim sejati. Aku teringat tentang seorang Muslim yang mengajak seorang Yahudi masuk Islam, "Ayolah masuk Islam." Orang Muslim itu sendiri bergelimangan dengan kefasikan (kedurhakan) dan keburukan. Orang Yahudi itu berkata kepada orang Muslim tersebut, “Lihatlah dulu diri sendiri, dan janganlah engkau sombong karena engkau dinamakan Muslim. Allah Ta‟ala menghendaki makna Islam.” Orang Yahudi itu menuturkan ceritanya, “Saya pun menamakan anak saya Khalid (abadi/kekal), namun di hari kedua saya terpaksa menguburkannya [karena mati]. Jika benar pada nama terdapat berkat, kenapa dia mati? Jika kepada seseorang ditanyakan, “Apakah engkau seorang Muslim?” maka dia [dengan enteng] mengatakan, “Alhamdulillāh (segala puji bagi Allah).” (Malfuzat, jld. I, hlm. 76). (hlm 77-81) BAGIAN-BAGIAN TAKWA Takwa memiliki banyak bagian. Menghindarkan diri dari kesombongan, egois, dan uang (barang) haram serta menjauhkan diri dari akhlak-akhlak buruk juga merupakan takwa. 57 Seseorang yang memperlihatkan akhlak baik, maka musuhnya pun dapat berubah menjadi kawan. Allah Ta‟ala berfirmanb: (“Tolaklah perbuatan buruk mereka dengan yang lebih baik” – Al-Mukminun, 97). Sekarang, pikirkanlah, apa pelajaran yang diberikan oleh petunjuk ini? Maksud Allah Ta‟ala di dalam petunjuk ini adalah bahwa jika lawan melontarkan caci-makian maka hendaknya jangan dijawab dengan caci-makian juga, melainkan, bersabarlah. Hasilnya, lawan akan mengakui keunggulan (kelebihan) kalian lalu dengan sendirinya lawan akana menyesal dan malu. Dan hukuman demikian itu jauh lebih berat dari hukuman yang dapat kalian berikan kepadanya dalam bentuk balas dendam. Dengan cara [balas dendam] itu orang dapat saja berusaha membunuh, namun perikemanusiaan tidak menghendaki hal itu, dan ketakwaan pun tidak menginginkan hal itu. Akhlak yang baik merupakan suatu permata sedemikian rupa yang orang anaiaya pun akan jadi terpengaruh olehnya.” (Malfuzat, jld. I, hlm. 81). KEMATANGAN CARA BERPIKIR “Sebagian orang berkata, “Apa yang telah diberikan Al-Quran kepada dunia, yang dapat dikatakan sebagai hal yang baru dan berbeda dengan Kitab-kitab lainnya? Ajarannya tidak berbeda dengan yang di dalam Taurat." Hanyalah karena kedangkalan maka orang Kristen menulis buku “Adam Zarurat-i-Quran”(Tidak perlunya Al-Quran). Jika mereka betul-betul punya mata, mereka tidak akan menyimpang. Orang-orang ini mengatakan, “Taurat menyatakan bahwa jangan kamu berzina, hal yang sama disebutkan juga dalam Al-Quran. Al-Quran mengajarkan Tauhid, demikian juga Taurat. Kalau begitu apa perbedaan ajaran keduanya?” Sepintas lalu ini adalah pertanyaan yang sulit, dan jika hal ini ditujukan kepada orang yang tidak mengerti hakikat ajaran Islam, dia akan menjadi bingung. Sesungguhnya jawaban untuk pertanyaan macam ini -- yang mendesak dan membingungkan -- diajarkan oleh Tuhan sendiri. Ini adalah rahasia-rahasia ruhani Al-Quran yang dibukakan pada saat yang tepat. Tidak pelak lagi bahwa ada persamaan antara Taurat dan Al-Quran, kami tidak membantah hal ini. Tetapi Taurat hanya membericarakan hal-hal yang tidak memiliki bukti dan hanya menekankan pendapat dan penjelasan. Tetapi berkenaan dengan Al-Quran dia menangani seluruh masalah dengan pola pikir yang tinggi. Penyebab hal ini adalah, bahwa kemampuan manusia belum mencapai taraf yang cukup tinggi pada jaman Taurat, sedangkan ketika AlQuran diturunkan kemampuan tersebut telah mencapai puncaknya dan pola pikir telah matang. Dalam hal ini Al-Quran menggunakan cara yang dapat menerangkan kebaikan dari moral yang baik. Dia tidak hanya menjelaskan hal-hal ini, dia juga memberikan bukti tak terbantah atas apa yang dikatakan, itu membuat orang-orang terpelajar lebih mengerti dan susah menolak. Sebagaimana aku katakana, ketika Al-Quran diturunkan, kemampuan daya pikir manusia telah menjadi matang, hal itu tidak terjadi di masa Taurat. Umat manusia mengalami kemajuan bertahap sejak Hadhrat Adam a.s., dan evolusi ini terus berlangsung sampai masa Rasulullah saw., ketika evolusi ini mencapai kesempurnaannya.” (Malfuzāt, jld. I, hlm. 82). 58 (hlm 82-96) TETAP BERIBADAH WALAUPUN TANPA ADANYA SURGA DAN NERAKA "Hak terbesar dari antara hak-hak Allah Taala adalah, melakukan ibadah terhadap-Nya, dan ibadah ini bukan untuk maksud pribadi diri sendiri. Bahkan pula walau tidak ada neraka atau surga sekali pun, tetap saja ibadah kepada-Nya dilakukan dan jangan sampai timbul gangguan apa pun dalam kecintaan sangat pribadi yang seharusnya timbul antara makhluk dengan Khaliqnya (Pencipta-nya). Oleh karena itu dalam [perkara] hak-hak tersebut tidak ada lagi masalah neraka mau pun surga." (Malfuzat, Jld. I, hlm. 96). (hlm 96-100) PRASANGKA BURUK ADALAH PETAKA BURUK ”Prasangka buruk adalah suatu penyakit dan suatu petaka buruk yang membutakan manusia lalu menjatuhkannya ke sebuah sumur gelap kebinasaan. Prasangka buruk juga yang telah membuat seorang manusia tak bernyawa disembah-sembah. Prasangka buruk jugalah yang telah membuat manusia beranggapan bahwa Allah Ta‟ala sudah tidak memiliki sifat-sifat Pencipta, Penyayang , Pemberi rezeki dan sebagainya, sehingga – na'udzubillaah – mereka menganggap Allah Ta‟ala itu sebagai sebuah barang yang tidak berfungsi dan tidak berguna lagi. Ringkasnya, akibat prasangka buruk itu bukannyaa satu bagian besar neraka melainkan tidaklah berlebihan bila dikatakan bahwa seluruh bagian neraka akan bergolak menyala karenanya. Orang-orang yang berprasangka buruk terhadapa para rasul Allah, mereka memandang hina anugerah-anugerah Allah Ta‟ala serta karunia-Nya. Ringkasnya, jika ada yang mengingkari Jemaatku ini – yang telah diteggakn sendiri oleh Allah Ta‟ala melalui Tangan-Nya -- maka saya sangat menyangkan karena berarti suatu ruh mengetuk-ngetuk rantai pintu kebinasaan. Dan ini adalah suatu Jemaat yang begitu jelas, sehingga jika ada orang datang membawa kalbu ( (hati) yang cekatan (siap), maka dengan mendengar ucapan-ucapanku dalam dua jam sajapun dia akan menemukan kebenaran.” (Malfuzat, jld. I, hlm. 100-101). MUKJIZAT AKHLAK RASULULLAH SAW. “Di dalam keramat akhlak (kemuliaan dan kehebatan akhlak) terdapat pengaruh besar. Kalangan filsuf tidak mendapat kepuasan dan ketenangan dari [ilmu-ilmu] makrifat dan hakikat, 59 namun akhlak-akhlak agung menimbulkan pengaruh yang besar s dan mendalam pada diri mereka. Salah satu mukjizat akhlaki Rasulullah saw. adalah, suatu kali beliau tengah tertidur di bawah sebuah pohon [sepulangnya dari suatu peperangan]. Beliau terbangun mendengar suatu keributan. Ternyata seorang badui (Arab gurun) sambil menggenggam pedang mendekati beliau, lalu menggertak, “Hai Muhammad! Katakanlah, siapakah yang akan dapat menyelamatkan engkau dari tanganku saat ini?!” Dengan sangat tenang dan tentram beliau bersabda, “Allah!” Ucapan beliau itu tidak sama seperti ucapan manusia biasa lainnya. “Allah” yang merupakan sebuah nama Zat Allah Ta‟ala -- dan menghimpun segenap Sifat yang sempurna -- keluar dari mulut Rasulullah saw., yang mengalir dari kalbu justru masuk menancap ke dalam kalbu [orang itu]. Dikatakan, itulah Isim A'zam (Nama Teragung) dan di dalamnya terdapat berkatberkat yang besar. Akan tetapi seseorang yang tidak ingat akan Allah Ta‟ala, bagaimana mungkin ia akan mengambil manfaat dari [Isim „Azham] itu. Ringkasnya, demikianlah kata "Allah" telah keluar dari mulut beliau saw. sehingga menimbulkan dampak yang besar pada diri orang itu dan tangannya pun gemetar, sehingga pedang terjatuh. Pedang itu juga yang diambil Rasulullah saw., lalu beliau saw. bersabda kepadanya, “Sekarang katakanlah, siapa yang akan dapat menyelamatkan engkau dari tanganku?” Nama siapa pula yang dapat disebut oleh orang badui yang sudah gemetaran, Akhirnya Rasulullah saw. memperlihatkan akhlak fadhilah beliau dan bersabda, “Pergilah, engkau dibebaskan”, Dan beliau berabda lagi, “Pelajarilah akhlak dan keberanian dariku.” Mukjizat akhlaki tersebut telah memberikan dampak (pengaruh) sedemikian rupa pada orang itu, sehingga akhirnya ia masuk Islam.” (Malfuzat, jld. I, hlm. 101). PENTINGNYA PENINGKATAN AKHLAK “Jadi, sangat patut bagi Jemaatku agar mereka meningkatan akhlak, sebab terdapat ungkapan masyhur bahwa istiqamah (keteguhan) itu lebih hebat daripada karamah (keramat). Mereka hendaknya ingat, jika ada orang yang berbuat kasar kepada mereka, sedapat mungkin berilah jawaban dengan lembut dan baik. Jangan sampai berbuat kasar dan kejam sebagai balasan. Di dalam diri manusia juga terdapat nafs (keadaan jiwa) dan nafs (jiwa) ini terdiri dari tiga macam: nafs ammarah, nafs lawwamah, dan nafs muthmainnah. Dalam kondisi nafs ammarah, manusia tidak dapat mengendalikan dorongan-dorongan nafsu dan gejolak-gejolak yang tidak menentu, serta melampaui perkiraan dan jatuh dari kondisi akhlak. Namun dalam kondisi nafs lawwamah (jiwa yang mencela diri sendiri), manusia mulai dapat mengendalikannya. Aku teringat sebuah hikayat yang ditulis oleh Sa‟adi di dalam [kitab] Bustan. Yakni ada seorang tua digigit anjing. Dia pulang ke rumah, maka orang-orang di rumah pun melihatnya ia telah digigit anjing. Di rumah itu ada seorang anak perempuan kecil, anak itu berkata kepadanya, “Kenapa Tuan tidak membalas mengigitnya?” Orang tua itu menjawab, “Anakku, manusia itu tidak seperti anjing.” Demikianlah juga hendaknya manusia, tatkala ada orang bejad melontarkan cari makian, mutalak bagi orang-orang mukmin untuk tidak menanggapinya [dengan caci-maki pula]. Jika tidak, maka akan sama saja seperti contoh anjing tadi. Orang-orang yang dekat dengan Allah bacanyak dicaci-maki. Mereka digangggu dengan cara-cara yang sangat buruk. Namun kepada 60 mereka telah difirmankan, “‘Arid ‗anil-jāhilīn – berpaling dari orang-orang yang jahil (bodoh)” – Al-A‘raf, 200). Insan kamil (manusia sempurna) sendiri, Nabi kita saw., juga telah dibuat banyak menderita dengan cara-cara yang sangat buruk. Kepada beliau dilontarkan caci-makian, kata-kata kotor, dan kebejadan. Namun apa yang dilakukan oleh wujud yang merupakan himpunan akhlak mulia itu? Beliau mendoakan mereka. Dan dikarenakan Allah Ta‟ala telah berjanji – bahwa jika beliau mengabaikan orang-orang jahil (bodoh) itu maka Allah Ta‟ala akan memelihara dan menyelamatkan kehormatan serta nyawa beliau, dan orang-orang jahil itu tidak dapat menyerang beliau -- ternyata demikianlah yang terjadi. Yakni, para penentang Rasulullah saw. tidak mampu mencoreng-coreng kehormatan beliau. Justru mereka sendiri yang terhina dan roboh di kaki beliau, atau telah binasa di hadapan beliau. Ringkasnya, inilah sifat nafs lawwamah, yakni dalam kondisi tidak menentu manusia masih dapat melakukan ishlah (perbaikan). Hal ini terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Jika ada orang jahil (bodoh) atau orang bejad yang melontarkan caci-makian, atau mereka melakukan keburukan, semakin banyak kalian mengabaikannya maka kehormatan kalian semakin terpelihara. Dan semakin banyak kalian menanggapi serta melawannya maka kalian akan binasa serta terhina. Dalam kondisi nafs muthmainnah (jiwa yang tentram), yang menjadi sifat manusia adalah ha.ycinciat dan khaymcif (kebaikan-kebaikan). Dia sepenuhnya memutuskan diri dari dunia dan dari apa saja selain Allah. Dia berjalan di dunia ini dan berjumpa dengan orang-orang dunia, namun pada hakikatnya dia tidak di dunia ini, dia berada di suatu dunia lain. Langit dan bumi di dunia itu juga lain”. (Malfuzat, jld. I, hlm. 102-103). JANJI ALLAH TA‟ALA TERHADAP JEMAAT SEJATI “Allah Ta‟ala berfirman di dalam Al-Quran: (“dan menjadikan orang-orang yang mengikuti engkau di atas orang-orang yang kafir hingga hari Kiamat” – Āli ‗Imran, 56). Janji yang menentramkan ini diberikan kepada Ibnu Maryam yang dahulu lahir di Nazaret. Namun aku berikan kabar suka kepada kalian, bahwa kepada Ibnu Maryam yang datang membawa nama Yesus Al-Masih (Al-Masih Mau‟ud – pent.) Allah Ta‟ala telah memberikan kabar suka dalam kata-kata seperti itu.. Sekarang, pikirkanlah oleh kalian, orang-orang yang menjalin hubungan denganku dan ingin termasuk di dalam janji kabar agung itu, apakah bisa terdiri dari orang-orang yang tenggelam di jenjang nafs ammarah serta melakukan keburukan-keburukan dan kedurhakaan? Tidak, sama sekali tidak bisa. Orang-orang yang secara benar menghargai janji ini, dan yang tidak menganggap kata-kataku sebagai cerita dongeng, ingatlah dan dengarlah dari lubuk kalbu (hati). Aku sekali lagi mengatakan kepada orang-orang yang menjalin hubungan denganku, hubungan itu bukanlah hubungan biasa melainkan suatu hubungan yang sangat hebat. Hubungan demikian itu tidak hanya berpengaruh sampai pada diriku sendiri saja, melainkan mencapai Wujud Yang telah 61 mengantarkanku sampai kepada Insan kamil suci [saw.] yang telah datang ke dunia membawa ruh shadaqat dan kebenaran. Aku katakan, jika pengaruh hal-hal ini hanya sampai pada diriku saja, maka sedikit pun aku tidak risau dan tidak pula aku mempedulikannya. Namun tidak hanya sampai di situ saja, pengaruhnya sampai kepada Nabi Karim saw. dan Dzat Suci Allah Ta‟ala. Jadi, dalam bentuk dan kondisi demikian, kalian perhatikan dan dengarlah. Jika kalian ingin ikut ambil bagian dalam kabar suka ini, dan kalian mendambakan untuk menjadi penggenapnya, serta di dalam diri kalian terdapat rasa haus sejati terhadap keberhasilan besar itu – yakni bahwa kalian akan tetap unggul di atas orang-orang yang ingkar sampai hari Kiamat – maka cukup aku katakan, bahwa keberhasilan ini tidak akan diperoleh selama kalian belum melewati derajat nafs lawwamah (jiwa yang mencela diri sendiri) lalu mencapai menara nafs muthmainnah (jiwa yang tentram). Aku tidak mengatakan apa pun lebih dari ini, bahwa kalian memiliki hubungan degan seseorang yang merupakan utusan (rasul) dari Allah. Oleh karena itu dengarlah kata-katanya dengan telinga kalbu (hati) kalian, dan benar-benar siaplah untuk mengamalkannya, supaya jangan sampai kalian termasuk di antara orang-orang yang setelah melakukan ikrar ternyata jatuh ke dalam najis keingkaran lalu membeli azab yang abadi.” (Malfuzat, jlid I, hlm.103105). SOLIDARITAS DAN RASA SEPENDERITAAN DALAM JEMAAT “Hal yang sebenarnya adalah, bahwa hubungan sahabat-sahabatku denganku adalah bagaikan anggota tubuh. Dan hal ini kita alami dalam kehidupan sehari-hari, yakni anggota tubuh yang sekecil-kecilnya sekali pun jika sakit – misalnya jari tangan -- maka seluruh anggota tubuh menjadi tidak enak dan gelisah. Allah Ta‟ala benar-benar mengetahui, persis seperti itu bahwa setiap waktu dan setiap saat aku selalu berpikir dan merenung, bagaimana supaya sahabat-sahabatku dapat hidup dengan segala macam ketenangan dan ketenteraman. Solidaritas dan rasa sependeritaan ini tidak dibuat-buat, melainkan sebagaimana seorang ibu senantiasa memikirkan bagaimana supaya setiap anaknya mendapat ketenangan dan ketenteraman, seperti itulah aku, semata-mata demi Allah, memiliki gejolak solidaritas dan sependeritaan terhadap sahabat-sahabatku. Dan solidaritas ini sudah begitu melekat, sehingga ketika aku menerima surat dari salah seorang sahabat-sahabatku, mengabarkan bahwa ia mengalami suatu penderitaan atau jatuh sakit, maka langsung saja hatiku merasa riasau dan resah, dan timbul suatu kesedihan. Semakin banyak sahabat yang demikian, semakin dalam pula kesedihan yang timbul, dan tidak ada atau waktu kosong dimana aku tidak merasa resah dan sedih. Sebab dari antara sekian banyak sahabat, tentu ada saja yang sedang mengalami kedukaan dan penderitaan, dan dengan mengetahui kabar mereka maka di kalbuku timbul kesedihan serta kerisauan. Aku tidak dapat ungkapkan, berapa banyak waktu yang aku lalui dengan kedukaankedukaan, karena kecuali Allah Ta‟ala tidak ada satu wujud lain yang dapat membebaskan kita dari kedukaan dan kerisauan semacam itu, oleh karenanya aku senantiasa memanjatkan doa. Dan doa yang paling diutamakan adalah supaya Allah memelihara sahabat-sahabatku dari kesedihan dan kedukaan-kedukaan, sebab karena kedukaan serta merisaukan merekalah aku menjadi sedih. Kemudian doa ini aku panjatkan secara umum, yakni jika ada yang mengalami suatu kedukaan dan penderitaan, semoga Allah Taala membebaskannya dari itu. 62 Inilah segenap upaya dan gejolak dalam diriku yaitu aku berdoa kepada Allah Taala. Banyak harapan-harapan besar dalam keterkabulan doa.‖ (Malfuzat, jld I, hln.105-106). ASAS PENGABULAN DOA. Inilah segenap upaya dan gejolak dalam diriku yaitu aku berdoa kepada Allah Taala. Banyak harapan-harapan besar dalam keterkabulan doa.‖ Bahkan ada janji yang jelas dari Tuhan-ku kepadaku, yaitu "Ujību kulla du'a-ika – Aku akan mengabulkan seluruh doa engkau.” Akan tetapi aku benar-benar mengerti, bahwa yang dimaksud dengan kul (seluruh) adalah hal-hal yang dengan tidak mendengarnya (tidak mengabulkannya) akan menimbulkan kemudaratan. Akan tetapi jika Allah Ta'ala menginginkan tarbiyat dan ishlah (perbaikan) maka penolakan itu sendiri merupakan pengabulan doa. Kadang-kadang manusia tidak berhasil dalam suatu doa dan dia beranggapan bahwa Allah Ta'ala menolak doanya. Padahal Allah Ta'ala mendengar doanya, dan pengabulan tersebut adalah dalam bentuk penolakan itu sendiri. Sebab baginya -- baik secara terselubung maupun hakikat – manfaat dan kebaikan terdapat dalam penolakan itu sendiri. Dikarenakan manusia berpandangan sempit dan tidak berpikiran (berwawasan) luas – dan hanya percaya pada hal-hal yang zahir -- karena itu tepat baginya, agar ketika dia berdoa kepada Allah Ta‟ala – dan pada kenyataannya tidak memberikan hasil yang bermanfaat kepadanya – maka hendaknya ia jangan berprasngka buruk terhadap Allah Ta‟ala bahwa, “Dia tidak mendengarkan doaku”. Dia mendengar doa setiap orang, “Ud‘ūni astajib lakum (berdoalah kepada-Ku, Aku kabulkan bagi kamu). Rahasia dan hikmahnya adalah bahwa manfaat dan kebaikan bagi orang yang berdoa itu terletak dalam penolakan doa itu sendiri. Inilah asas dari doa. Dalam mengabulkan doa Allah Ta‟ala tidak mengikuti kehendak dan pikiran kita. Lihatlah, betapa sayangnya seorang ibu terhadap anak-anaknya, dan sang ibu berkeinginan supaya jangan sampai mereka mendapat kesusahan apapun. Akan tetapi jika anak-anak merengek-rengek meminta hal-hal yang tidak bermanfaat dan menangis meminta pisau tajam atau bara api yang menyala-nyala, maka dalam keadaan adanya kecintaan yang halal serta kasihsayang yang sejati, apakah seorang ibu akan pernah dapat membiarkan supaya anaknya mengambil bara api lalu membakar tangannya? Atau menghunjamkan tangannya pada mata pisau yang tajam lalu memotong tangannya? Samasekali tidak. Dari dasar inilah dapat dipahami mengenai asas pengabulan doa”. (Malfuzāt, Jld. I, hlm. hlm. 106-107). SYARAT-SYARAT PENGABULAN DOA “Untuk pengabulan doa pun terdapat beberapa persyaratan. Sebagian adalah berkaitan dengan orang yang memanjatkan doa, sedangkan sebagian lagi berkaitan dengan orang yang minta didoakan. Adalah penting bagi orang yang minta didoakan bahwa dia hendaknya memperhatikan rasa takut dan khauf terhadap Allah Ta‟ala, dan setiap saat takut terhadap sifatNya Al-Ghanī (Yang Maha Berkecukupan), dan supaya cinta damai serta pengabdian terhadap Tuhan dijadikan sebagai cirinya (sikapnya). Ia hendaknya menyenangkan Allah Ta‟ala dengan ketakwaan dan kejujuran (kebenaran), maka dalam keadaan demikian bagi doa akan terbuka pintu pengabulan. Dan jika ia membuat 63 Allah Ta‟ala murka serta dia menyulutkan permusuhan dan peperangan terhadap-Nya, maka kelencangan-kelencangan dan kesalahan-kesalahannya akan menjadi suatu halangan dan hambatan bagi [pengabulan] doa, dan pintu pengabulan baginya menjadi tertutup. Jadi, wajib bagi sahabat-sahabatku, supaya mereka menghindarkan doa-doaku dari kesiasiaan, dan jangan meletakkan suatu hambatan di jalan [doa-doa] itu, yang timbul dari ulah (perbuatan) mereka yang tidak baik. Mereka itu hendaknya mengambil jalan takwa, sebab takwa itu merupakan sesuatu yang dapat disebut intisari dari syariat.” (Malfuzāt, Jld. I, hlm. 108). SEGALA SESUATU ADA MANFAATNYA “Hal ini pun hendaknya benar-benar diingat, bahwa segala sesuatu mengandung manfaat. Perhatikanlah dunia. Dari tumbuh-tumbuhan tinggi sampai ke serangga-serangga dan tikus pun, tidak ada suatu benda yang tidak bermanfaat dan berfaedah bagi manusia Segenap benda ini – apakah benda-benda bumi maupun benda-benda langit – merupakan bayangan dan fenomena Sifat-sifat Allah Ta‟ala. Dan tatkala di dalam Sifat-sifat-Nya saja sudah demikian besar manfaat yang ada, maka bayangkanlah betapa hebatnya manfaat yang terkandung di dalam Dzat itu sendiri. Di sini hendaknya diingat, bahwa sebagaimana pada waktu tertentu muncul kemudaratan dari benda-benda ini, hal itu adalah akibat kesalahan dan ketidakpahaman sendiri, bukan karena dalam nafs ammarah benda-benda itu terdapat kemudaratan. Tidak, melainkan karena kesalahan dan kesilapan sendiri. Demikian pula kita, dikarenakan tidak memiliki pengetahuan tentang Sifat-sifat Allah Ta‟ala maka kita terpuruk ke dalam kesusahan dan bala bencana, sebab Allah Ta‟ala itu Maha Pemurah dan Maha Penyayang. Inilah rahasia di balik kesusahan dan kedukaan di dunia, yakni kita terperangkap dalam bala bencana disebabkan oleh tangan kita sendiri, oleh pemahaman yang tidak benar, oleh pengatahuan yang keliru. Melalui celah mata sifat inilah kita menemukan Allah Ta‟ala sebagaiWujud penuh Manfaat, Yang Maha Pemurah dan Maha Penyayang serta lebih tinggi dari perkiraan. Dan orang yang paling banyak menyaksikan manfaat-manfaat itu adalah dia yang paling dekat dan qarib dengan-Nya. Derajat ini hanya diraih oleh orang-orang yang disebut mutaki (orang yang bertakwa). Mereka memperoleh tempat di dekat Allah Taala. Semakin dekat seorang mutaki (bertakwa) dengan Allah Ta‟ala, dia mendapatkan suatu nur hidayah (cahaya petunjuk), yang menciptakan suatu jenis cahaya khusus di dalam pengetahuan-pengetahuan dan akal mereka. Semakin jauh seseorang [dari Allah Ta‟ala], sebuah kegalapan fatal akan menguasai kalbunya dan pikirannya, sampai akhirnya mereka mengalami kehinaan dan kehancuran setelah menjadi, "Shummun- bukmun 'umyun fahum lā yarji‘ūn (mereka tuli, bisu, buta maka mereka tidak akan kembali – Al-Baqarah, 19). Namun sebaliknya, manusia yang memperoleh penglihatan dari nur (cahaya) akan memperoleh ketentraman dan kehormatan yang tinggi derajatnya, demikianlah Allah Ta‟ala sendiri telah berfirman: (Hai jiwa yang tentram, kembalilah kepada Tuhan engkau dengan ridha (senang) lagi diridhai – Al Fajr, 28-29). 64 (Malfuzat, jld. I, hlm. 110-111). (hlm 111-116) KITAB YANG INDAH “Al-Quran adalah Kitab yang indah. Seorang ummī (butahuruf - Nabi Besar Muhammad saw.) tidak hanya memberikan sebuah Kitab dan mengajarkan kebaikan kepada dunia, beliau juga membuat mereka berjalan sepanjang jalan kesucian sedemikian rupa, sehingga mereka menjadi orang-orang yang menerima pertolongan Tuhan. Perhatikan dan lihatlah, Al-Quran menuntun setiap jenis orang kepada apa yang beliau inginkan dan menghilangkan dahaga setiap orang yang haus akan kebenaran. Coba bayangkan, kepada siapa Sumber Utama Cahaya ini diberikan? Yaitu kepada Nabi Besar Muhammad, yang di satu pihak adalah ummī (buta huruf) dan di pihak lain beliau berbicara tentang hal-hal yang tidak pernah dibicarakan. Ini adalah berkat yang sempurna dari Tuhan, sehingga manusia dapat memahami, seberapa jauh manusia dapat mendekatkan diri kepada Tuhan.” (Malfuzāt, jld. I, hlm. 117). GOLONGAN WUJUDI TELAH JAUH MENYIMPANG DARI KEBENARAN (“Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia yang hidup kekal lagi terus menerus mengurus (makhluk-Nya) – Al-Baqarah, 256). Dengan menelaah ayat ini juga diketahui, bahwa golongan Wujudi sudah jauh menyimpang dari kebenaran, dan mereka telah keliru dalam memahami Sifat-sifat Ilahi. Mereka tidak dapat mengetahui bahwa mereka itu keliru mengenaijalinan hubungan antara manusia dengan Tuhan. Hal yang sebenarnya adalah, tokoh-tokoh ahli kasyaf yang telah berlalu dari antara mereka, ada yang melakukan mujahadah (upaya gigih) sedemikian rupa untuk mengetahui [rahasiarahasia Ilahi], namun mereka tidak dapat membedakan hubungan antara hamba dengan Tuhan, dan mereka pun menganut paham bahwa semua benda yang ada ini merupakan Tuhan. Quran Syarif turun ke dalam kalbu lalu tampil melalui lidah, dan begitu hebatnya hubuungannya dengan kalbu sehingga kalbu itu mengikuti Kalam Ilahi. Mereka dapat tergelincir dalam pembahasan yang sangat halus ini, namun tatkala manusia melangkahkan kaki berdasarkan suatu kesalahpahaman maka ia akan terperangkap dalam jeran-jeratan kesulitan. Sebagaimana baru saja aku terangkan, kekuasaan Allah Ta‟ala tas manusia demikian halusnya (rincinya), sehingga tidak ada satu kekuatan pun yang dapat menjelaskannya. Dan kalau memang demikian maka tentu ke-Tuhan-annya dan sifat-sifat sempurna-Nya tidak tertera di dalam Al-Quran. Kondisi kita yang tidak ada (non eksis) ini membuat keberadaan Wujud- 65 Nya. Dan ini memang benar, tatkala dari segala aspek manusia itu tidak mempunyai ikhtiar (kuasa) berarti manusia tidak ada (non eksis). Sebagian orang tidak memahami rahasia yang mendalam ini lalu mulai mengatakan bahwa semua benda yang ada inilah merupakan ‗aīn/(inti [Tuhan]. Dari antara golongan Wujudi dan Syuhidi, golongan pertama inilah yang mengatakan dan percaya bahwa semua benda merupakan tuhan, sedangka golongan yan kedua adalah mereka yang mengakui fana nazhiri (larut dalam Sifat-sifat Tuhan - ?), dan mereka mengatakan bahw manusia dapat tenggelam (larut) dalam kecintaan sedemikian rupa, sehingga manusia dapat mencapai tahap fana fillah (melebur di dalam Allah secararuhani)…. Walaupun demikian mereka memang harus mengakui kekuasaan Ilahi. Tidak peduli apakah itu golongan Wujudi maupun Syuhudi. Beberapa tokoh utama mereka darai Bayazid Bustami sampai Syibli, dan dari Dzun Nun hingga Muhyiddin Ibnu Arabi, umumnya ucapan-ucapan mereka adalah demikian, yakni ada sebagian yang secara zahir mengarah pada hal itu dan ada pula yang secara terselubung. Aku secara terbuka ingin mengatakan, bahwa kita tidak berhak untuk memandang mereka dengan cemoohan. Tidak, tidak. Mereka adalah orang-orang berakal, masalahnya adalah ini merupakan suatu rahasia makrifat yang sangat halus dan mendalam, hubungannya telah terlepas dari sentuhan [mereka]. Hanya demikian masalahnya, tidak lebih dari itu. Di atas kekuasaan tertinggi Allah Ta‟ala, manusia tampak sebagai zat-zat yang fana (binasa/tidak kekal). Nah, mereka memandang (menganggap) manusia seperti itu, dan dari mulut mereka keluar ucapan-ucapan demikian, sedangkan pikiran berpaling ke tempat lain. Jadi, camkanlah hal ini baik-baik di dalam hati, bahwa dengan batin yang bersih manusia dapat mencapai maqam (derajat) tersebut -- (sebagaimana Nabi Karim saw. telah mencapai derajat yang paling tinggi dalam hal itu) – yaitu suatu derajat dimana manusia memperoleh kemampuankemampuan Ilahi. Namun demikian tetap terdapat suatu perbedaan antara Khāliq (Pencipta) dengan makhluq (yang diciptakan), dan itu suatu perbedaan yang besar, hendaknya [perbedaan] itu jangan pernah 'dihapuskan dari kalbu. Manusia tidak terlepas darikebutuhan-kebutuhan wujudnya. Tidak di dunia ini, dan tidak pula di akhirat sana, makan dan minum. Ada kebutuhan-kebutuhan hidup. Ada yang besarbesar, dan ada yang kecil . Dan seperti itu pula di alam mendatang, sebagian akan berada di neraka dan sebagian di surga abadi. Ringkasnya, manusia kapan pun tidak dapat keluar dari kondisi makhluk. Oleh karena itu aku jadi tidak mengerti ada tabir apa yang dengan terhapusnya tabir itu tiba-tiba manusia dapat menjadi tuhan? Para tokoh zahid dan mujahid besar, mereka tetap saja berada dalam kondisi sebagai makhluk (hamba). (Malfuzat, jld. I, hlm. 116-117). PENGABULAN DOA & TAQDIR ILAHI “Ketika karunia (rahmat) Allah Ta‟ala datang mendekat, maka Dia langsung mewujudkan sarana-sarana untuk terkabulnya suatu doa, lalu di hati kita akan timbul ketenteraman dan ketenangan. Akan tetapi jika belum tiba saat terkabulnya doa itu maka hati kita serasa tidak menentu dan tidak tenang. Hal ini adalah dikarenakan Allah Ta'ala itu kadang-kadang ingin mencetuskan apa yang telah Dia tetapkan (putuskan), dan kadang-kadang Dia mengabulkan doa kita. Oleh karena itu, jika aku tidak menemukan tanda-tanda izin Ilahi, maka aku menaruh 66 harapan yang kecil terhadap terkabulnya suatu doa, dan aku lebih bahagia lagi -- daripada terkabulnya doa – dengan menerima segala yang telah ditakdirkan (diputuskan) oleh Allah, karena faedah dan berkatnya lebih besar jika kita menerima segala takdir serta keputusan-Nya” (Malfuzāt, jld I, hlm. 118). DOA DAN USAHA “Ini memang benar, bahwa jika seseorang tidak mau berusaha bererti dia tidak berdoa, bahkan justru ia menguji Allah. Oleh karena itu sebelum berdoa kita perlu berusaha sekuat tenaga, dan inilah makna dari doa (berdoa). Pertama-tama, penting bagi manusia untuk memperhatikan usaha dan amalnya, karena sudah menjadi adapt (kebiasaan) Allah Ta‟ala bahwa ishlah (perbaikan) itu berpangkal (berawal) dari sarana yang diusahakan, maka Dia akan menciptakan suatu sarana sehingga ishlah (perbaikan) itu menjadi terwujud.” (Malfuzat, jld. I, hlm. 118). TASHARRUFAT ILAHIAH “Ya, ini benar, tidak ada yang dapat mengingkarinya, bahwa tasharrufat (penampakan baru) Allah Ta‟ala tidak terbatas dan tidak terhitung banyaknya. Tidak mungkin untuk menghitung jumlahnya. Manusia semakin banyak menjalani ketakwaan dan upaya gigih, dia semakin dekat dengan Allah Ta‟ala, dan sesuai dengan itu suatu corak tasharrufat tersebut akan turun kepadanya dan pintu pengenalan terhadap tasharrufat Allah Ta‟ala akan terbuka baginya Tampaknya tepat satnya untuk menerangkan tentang perkara ini, bahwa tasharrufat itu ada dua macam. Yang pertama dari segi makhluk dan yang kedua dari segi qurb (kedekatan). Satu bentuk tasharrufat yang berlaku pada para nabi adalah dari segi makhluk yang tampul dalam corak “ya‘kukuth-tha‘āma wa yamsyi fil aswāq – ia memakan makanan dan berjalan di pasarpasar” dan sebagainya. Sehat, sakit, dan sebagainya berada di dalam ikhtiar-Nya. Sebuah tasharrufat yang baru adalah derajat-derajat qurb (kedekatan). Allah Taala sedemikian rupa dekat dengan mereka, sehingga mulailah timbul mukhātabat (percakapan) dan mukālamāt (pembicaraan) dengan mereka, dan doa-doa mereka pun memperoleh jawaban. Akan tetapi sebagian orang tidak mengerti, dan tidak hanya sebatas itu saja, bahkan lebih dari sekedar percakapan dan pembicaraan, yakni datang suatu masa dimana tirai Ketuhanan menerpa menyelimuti mereka, dan Allah Ta‟ala mmeperlihatkan kepada mereka berbagai macam fenomena-fenomena Wujud-Nya. Tamsil (perumpamaan) yang tepat mengenai qurb (kedekatan) dan hubungan itu adalah seperti besi yang diletakkan di dalam api, maka besi itu pun akan terpengaruh dan tampak memerah seperti penggalan api. Pada saat itu di dalam besi tersebut terdapat cahaya seperti api, dan potensi membakar yang terdapat dalam sifat api pun timbul di dalamnya. Akan tetapi jelas bahwa besi itu bukanlah api dan bukan pula bagian dari api.” (Malfuzat, jld. I, hlm. 118-119). (hlm 119-124) 67 TATA CARA BERDOA Ini memang benar, bahwa seseorang yang tidak melakukan amal-perbuatan (upaya) berarti dia itu tidak berdoa, melainkan dia menguji Allah Ta‟ala. Oleh karena itu sebelum berdoa, adalah penting untuk terlebih dulu mengerahkan seluruh tenaga kalian, dan itulah arti berdoa. Pertama-lama mutlak agar manusia memperhatikan keyakinan-keyakinan serta upayaupayanya, sebab merupakan Sunnatullāh (adat kebiasaan Allah Ta‟ala) bahwa ishlah (perbaikan) itu berlangsung sesuai sarana-sarana [yang dimanfaatkan]. Dia menciptakan sarana-sarana tertentu yang dapat menimbulkan ishlah (perubahan). Hal ini perlu direnungkan dalamdalam oleh orang-orang-orang yang mengatakan bahwa apabila sudah melakukan doa maka tidak perlu lagi memanfaatkan sarana-sarana. Orang-orang bodoh itu hendaknya berpikir bahwa doa itu sendiri merupakan suatu saran tyerselubung yang menciptakan sarana-sarana lainya. Dan hal ini dijelaskan secara khusus oleh kalimat doa: "Iyyaaka na'budu — [hanya kepada Engkau-lah kami beribadah” yang mendahului kalimat berikutnya: "Iyaaka nasta'iin — [hanya kepada Engkaulah kami mmeinta pertolongan)” - ( A l Fatihah, 5). Ringkasnya, yang kita saksikan di dalam Sunnatullah adalah Dia itu pasti menciptakan sarana-sarana. Lihat, untuk menghilangkan dahaga Dia telah menyediakan air, dan untuk menghilangkan lapar Dia menyediakan makanan, namun itu msmeua melalui sarana-sarana. Jadi, memang demikianlah rangkaian sarana yang berlaku, dan sarana-sarana pasti disediakan, sebab Allah Ta‟ala memiliki dua Nama ini – sebagaimana yang diuraikan oleh Maulvi Muhamad Ahsan – yakni: "Kānallāhu 'azīzan hakīman (AnNisa, 159). ‟Azīz artinya Yang melakukan segala sesuatu, dan Hakīm artinya Yang melakukan segala sesuatu sesuai hikmah dan situasi serta kondisi yang tepat.” (Malfuzat, jld. I, hlm. 124). (hlm 124-126) SEGI-SEGI MORAL “Aku telah banyak menyaksikan manusia, dan aku telah mempelajari mereka dengan baik, dan aku sampai pada satu kesimpulan bahwa sebaian dari mereka adalah orang yang murah hati tetapi juga penaik darah; sebagian baik hati tetapi kikir; sebagian pemarah dan memukul orang semaunya, mereka sama sekali tidak rendah hati. Sebagian rendah hati dan llembut tetapi tidak memiliki keberanian sama sekali, sampai-sampai hanya karena mendengar merebaknya wabah kolera mereka kehilangan kekuatan (lemas). Aku tidak mengatakan bahwa barangsiapa yang tidak memiliki keberanian berarti tidak mmeiliki keimanan. Bahkan di antara para sahabat Rasulullah saw. pun terdapat orang-orang yang tidak dapat menghadapi peperangan. Rasulullah saw. dalam hal ini memberi pengecualian. Ada banyak segi moral, aku telah menjelaskannya dalam pidatoku yang disampaikan dalam Konperensi Agama-agama (epidato ini kemudian diterbitkan menjadi sebuah buku berjudul “Falsafah Ajaran Islam”). Tidak semua segi moral terdapat di setiap oran, juga tidak dapat dikatakan bahwa ada orang yang tidak memiliki satu pun segi moral. Contoh yang paling sempurna dari seluruh moral yang baik adalah kehidupan Rasulullah saw., karena itulah Tuhan 68 berfirman kepada beliau,”Innaka la‘ala khuluqin ‗azhim –sesungguhnya engkau memiliki akhlak yang agung”. Satu saat beliau membuat orang-orang terpesona karena pidato beliau, dan di lain waktu beliau memperlihatkan keberanian beliau di medan perang. Kemurahan hati beliau bagaikan memberikan gunung-gunung emas kepada manusia. Kebaikan hati beliau memaafkan mereka yang sewajarnya dihukum mati. Pendeknya, Rasulullah saw. tidak ada tandingannya dan sebuah contoh yang sempurna dari moral-moral yang baik. Beliau bagaikan sebuah pohon besar yang di bawahnya ribuan orang duduk menikmati keteduhannya dan sekaligus memenuhi bermacam-macam kebutuhan mereka. Mereka mengambil buahnya, bunga, kulit, dan lain-lain. Jutaan demi jutaan manusia mengambil manfaat dari Rasulullah saw., bergembira seperti anak-anak berlarian di bawah sayap induknya.. Orang yang paling berani di medan perang adalah orang yang paling dekat dengan Rasulullah saw., sebab beliau biasa berada di titik paling berbahaya. Maha Besar Tuhan, betapa sempurnanya beliau. Selama Perang Uhud beliau berada di engah kancah peperangan yang sengit, sampai-sampai para sahabat merasa di luar kemampuan mereka. Tetapi sosok pemberani ini, Rasulullah saw., menghadapi musuh. Tentu saja kesalahan bukan terletak pada para sahabat. Tuhan akhirnya memaafkan kekurangan mereka. Hal itu semata-mata dilakukan untuk memperlihatan betapa beraninya Rasulullah saw.. Suatu saat pedang digunakan dengan kekuatan penuh, Rasulullah saw. sambil menyatakan kenabian beliau berseru sekuat-kuatnya, “Aku Muhammad, Rasulullah!” Diriwayatkan bahwa pada saat itu kening Rasulullah saw. mendapat tidak kurang dari 70 luka, tentu saja tidak parah. Begitulah beliau memperlihatkan moral yang agung. Pada waktu yang lain beliau memiliki begitu banyak kambing dan domba sehingga melebihi jumlah yang dimiliki Kairan dan KIsra. Rasulullah saw. memberikan semua kambing dan domba itu kepada seseorang yang meminta sesuatu. Jika beliau saw. bukan pemiliknya, bagaimana mungkin beliau dapat memberikannya? Jika beliau tidak memiliki kekuasaan bagaimana beliau saat Fatah Mekkah dapat memaafkan orang yang sewajarnya dihukum mati? Inilah orang-orang yang telah menyiksa Rasulullah saw. dan pengikut-pengikut beliau, laki-laki dan perempuan. Ketika beliau bertemu mereka saat Fatah Mekkah, beliau berkata kepada mereka: “Lā tatsriba ‗alaikumul yawma (hari ini tidak ada celaan atas kalian), yakni ”Aku memaafkan kalian.” Jika kesempatan itu tidak muncul, bagaimana mungkin Rasulullah saw. memperlihatkan tingkat moral yang sempurna. Silakan sebut satu saja sifat moral yang tidak dimiliki Rasulullah saw., dalam hal ini moral baik yang sebaik-baiknya.” (Malfuzāt, jld. I, hlm. 127). (hlm 127-136) DUA MACAM KETUARENTAAN Manusia mengalami suatu masa melemahnya fisik, yaitu yang disebua masa tua (renta). Pada saat itu matatidak lagi berfungsi, dan telinga pun tidak dapat mendengar lagi. Ringkasnya, semua bagian tubuh menjadi hamper tidak berfungsi sama sekali. 69 Demikian pula, Ingatlah, masa tua (renta) ini ada dua macam, yakni secara almi dan secara non alamai. Secara alami adalah seperti yang telah dipaparkan tadi, sedangkan secara non-alami adalah tidak mempedulikan penyakit-penyakit yang timbul. Nah, sikap itu membuat manusia inenjadi lemah dan menjadikanya tua sebelum saatnya. Sebagaimana di dalam tatanan jasmani berlaku hal demikian, begitu pula yang berlaku di dalam tatanan ruhani. Jika seseorang tidak berusaha mengganti akhlak- akhlak buruk dengan akhlak-akhlak mulia. Serta dengan sifat-sifat yang baik, maka kondisi akhlaknya benar-benar akan jatuh. Dari sabda-sabda Rasulullah saw. dan dari ajaran Quran Karim hal ini dengan jelas terbukti, bahwa bagi setiap penyakit itu ada obatnya. Namun jika kemalasan telah menguasai seorang manusia, maka selain binasa tidak ada cara lain baginya. Jika seseorang menjalani hidup dengan sikap tidak peduli seperti halnya seorang yang sudah tua-renta maka bagaimana mungkin dia dapat selamat? (Malfuzat, jld. I, hlm. 136-137). Firman-Nya: (Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri” - Ar-Ra‘d, 12). Yakni, Allah tidak akan menjauhkan segala macam musibah dan bencana dari suatu kaum, selama kaum itu sendiri tidak berusaha untuk menjauhkannya. Jangan putus asa. Jika kalian tidak berupaya dengan gigih (sungguh-sungguh) maka bagaimana mungkin dapat terjadi perubahan? Ini adalah Sunnah (kebiasaan) Allah Ta‟ala yang tidak pernah berubah, sebagaimana difirmankan: (“kamu sekali-kali tidak akan pernah akan menemukan perubahan dalam sunnatullah” – AlFath, 24). . Jadi, Jemaatku maupun pihak lain, mereka dapat melakukan perubahan akhlak apabila mereka melakukan mujahadah (perjuangan sungguh-sungguh) dan memanfaatkan doa. Jika tidak, maka tidak akan mungkin.” (Malfuzat, jld. I, hlm. 137). (hlm 138) JALAN KEBERHASILAN “Betapa Penyayangnya Tuhan dan betapa berharganya harta yang dapat kalian simpan di sini, entah itu satu penny atau satu rupee atau satu pound. Pencuri tidak dapat mencuri di sini, dan 70 tidak ada kekhawatiran akan menjadi bangkrut. Hadits menyebutkan, bahwa jika seseorang menyingkirkan sebuah duri dari jalan, dia akan mendapat ganjarannya atas tindkan itu; jika seseorang mengambil air dan menuangkan seember air ke dalam poci (ember) orang lain, ganjarannya tidak akan hilang. Kalian harus ingat, bahwa jalan dimana seseorang tidak akan gagal adalah jalan Tuhan. Jalan duniawi adalah seperti jalan dimana orang tersandung pada setiap langkah, dan di setiap langkah dia mendapati batu-batu besar kegagalan. Mereka yang meninggalkan kerajaan mereka bukanlah orang bodoh: Ibrahim „Adham, Syah Suja, Syah Abdul Aziz – yang dikenal sebagai Mujaddid – adalah sebagian orang yang meninggalkan kerajaan mereka dan mengucapkan selamat tinggal kepada kemegahan dan keindahan mereka. Mereka melakukan hal itu karena mereka menyadari bahwa ada batu sandungan pada setiap langkah. Tuhan adalah sebuah mutiara. Setelah mengenal-Nya, seseorang memandang kepada hal-hal duniawi dengan benci dan menganggapnya hina. Sedemikian rupa sehingga ia tidak mau melihat sekilas pun pada mereka. Kalian harus mencari pengenalan dan pemahaman sepenuhnya atas Tuhan, dan kalian harus berbaris ke arah-Nya, karena di dalamnya, dan hanya di dalamnya, terletak keberhasilan (kesuksesan)” (Malfuzāt, jld. I, hlm. 139). (hlm 139-141) KONDISI AKHLAK ”Akan tetapi kondisi akhlak merupakan suatu keramat, yang tidak dapat diprotes oleh siapa pun. Itulah sebabnya kepada Nabi kita Rasulullah saw. mukjizat terbesar dan terkuat yang telah diberikan adalah akhlak. Sebagaimana difirmankan: (Dan sesungguhnya engkau benar-benar memiliki akhlak/berbudi pekerti yang agung” – AlQalām, 5). Dalam segi kekuatan serta bukti, segala mukjizat Rasulullah saw. melampaui seluruh mukjizat para nabi lainnya. Akan tetapi mukjizat akhlaki beliau adalah yang paling unggul, dan sejarah dunia tidak dapat mengungkapkan serta memaparkan tandingannya.” (Malfuzat, jld. I, hlm. 141). JEMAAT DAN IMBAUAN MEMPERHATIKAN DENGAN SAKSAMA “Jadi, sekali aku katakan dengan tegas, dan sahabata-sahabatku dengarlah. Yakni mereka jangan menyia-nyiakan kata-kataku dan jangan menganggapnya sebagai cerita serta dongeng, melainkan segenap ucapan yang disampaikan dengan rasa sependeritaan dan solidaritas sejati, yang memang secara fitrat terdapat di dalam ruh saya, dengarkanlah semua itu dari kedalaman kalbu dan camkanlah, Ya, ingat baik-baik dan yakini dengan benar, bahwa suatu hari kita harus menuju Allah Ta‟ala. Jadi jika kita berangkat dari sini (dunia) dengan kondisi yang baik maka bagi kita suatu 71 hal yang beberkat dan suatu kegembiraan. Jika tidak, kondisinya sangat berbahaya. Ingatlah, tatkala manusia pergi dalam kondisi buruk maka tempat yang jauh itu baginya dimulai dari sini (dunia) juga, yakni sejak mengalami kematian pada dirinya terjadi perubahan. Allah Taala berfirman: (Sesungguhnya barangsiapa datang kepada Tuhannya dalam keadaan berdosa, maka sesungguhnya baginya neraka jahannam, ia tidak mati di dalamnya dan tidak hidup – Thā Hā, 75). Betapa jelasnya hal itu. Kelezatan sebenarnya terdapat dalam ketentraman dan kebahagiaan hidup. Bahkan seseorang dikatakan hidup apabila dia berada dalam kondisi aman dan tentram dari segala segi. Jika dia mengalami suatu keperihan, misalnya sakit perut atau sakit gigi maka [terasa] lebih buruk daripada mati, dan kondisinya adalah dia tidak dapat disebut mati dan tidak pula dapat disebut hidup. Oleh karena itu bayangkanlah betapa buruknya kondisi azab yang mengerikan di dalam neraka jahanam.” (Malfuzat, jld. I, hlm. 142-143). HUBUNGAN KECINTAAN DENGAN ALLAH TA‟ALA “Orang berdosa adalah dia yang di dalam hidupnya memutuskan hubungannya dengan Allah Ta‟ala. Dia diperintahkan supaya menjadi milik Allah Ta‟ala, dan supaya menetap bergaul bersama para shiddiqin, tetapi dia menjadi hamba hawa-nafsu dan selalu berteman dengan orang-orang bejad serta para musuh Allah dan Rasul. Dari tingkah lakunya dia memperlihatkan seakan-akan dia telah memutuskan hubungan dengan Allah Ta‟ala. Ini adalah suatu Sunnatullah (kebiasaan Alah Ta‟ala), yakni ke mana saja manusia melangkahkan kaki maka dia semakin jauh dari arah yang berlawanan. Dia memisahkan diri dari Allah Ta‟ala lalu menjadi hamba hawa-nafsunya, maka Allah menjadi jauh darinya. Semakin kuat hubungan dengan Allah maka semakin berkurang pula hubungannya dengan nafsu... Jadi, jika manusia melalui amalan menzahirkan ketidakpedulian terhadap Allah Ta‟ala, maka pahamilah bahwa Allah Ta‟ala juga tidak peduli terhadapnya. Dan jika manusia menjalin hubungan kecintaan terhadap Allah Ta‟ala dan tunduk kepada-Nya bagai air [yang mengalir] maka pahamilah bahwa Dia Maha Pengasih. Allah Ta‟ala cinta kepadanya melebihi orang yang mencinta. Dia adalah Allah yang menurunkan berkat-berkat kepada orang-orang yang dicintaiNya. Dan Dia membuat hal ini terasa bagi mereka, bahwa Allah ada bersama mereka. Sampaisampai Dia menanamkan berkat di dalam kata-kata mereka dan pada bibir-bibir mereka. Orangorang mengambil berkat dari pakaian-pakaian mereka dan dari setiap hal yang berasal dari mereka. Bukti tentang keberadaan orang semacam itu di dalam umat Rasulullah saw. sampai sekarang masih ada.” (Malfuzat, jld. I, hlm. 143-144). ALLAH TA‟ALA TIDAK MENYIA-NYIAKAN AMAL BAIK SEKECIL APA PUN “Seseorang yang menjadi milik Allah maka Allah menjadi miliknya Allah Ta‟ala tidak 72 menyia-nyiakan orang yang berusaha keras dan gigih datang menuju kepada-Nya. Hal ini mungkin saj, yakni petani membuat sawah-ladangnya hancur sia-sia. Pelayan berhenti bekerja dan mengalami kerugian. Peserta ujian tidak lulus. Namun, orang yang berusaha keras menuju Allah, tidak pernah gagal. Ada janji-Nya yang benar: (dan orang-orang yang berjihad untuk Kami, Kami niscaya akan tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami” – Al-Ankabut, 70). Yakni, orang yang berusaha gigih mencari jalan-jalan Allah Ta‟ala, akhirnya dia akan mencapai tujuannya. Kita merasa kasihan melihat orang-orang yang mempersiapkan diri menghadapi ujian-ujian duniawi, dan melihat kerja keras serta kondisi para pelajar yang giat belajar sampai larut malam, maka apakah Allah Taala yang kasih-sayang dan karunia-Nya tidak terbatas serta tidak terhitung itu akan menyia-nyiakan orang yang menuju kepada-Nya? Tidak, sama sekali tidak. Allah tidak menyia-nyiakan kerja-keras siapapun: "Innallāha lā yudhi‘u ajral muhsinīn (sesungguhnya Allah tidak menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat baik “– At Taubah, 120). Kemudian Dia berfirman: “Man- yaf‘al mistsqala dzarratin khairan- yarrah (barangsiapa mengerjakan kebaikan seberat dzarrrah” – Al-Zilzal, 8) . Kita menyaksikan setiap tahun ribuan pelajar yang mengalmi kegagalan setelah bekerja keras dan upaya gigih bertahun-tahun lalu melakukan bunuh dir. Namun karunia sempurna Allah Ta‟ala adalah sedemikian rupa, yakni Dia tidak menyia-nyiakan amal sekecil apa pun. Jadi, sangat disayangkan, bahwa untuk hal-hal yang berupa anggapan dan asumsi saja manusia tergila-gila bekerja keras di dunia sedemikian rupa, sehingga mereka tidak menghiraukan istirahat bagi diri mereka, semua itu mereka lakukan hanya didasari harapanharapan kosong, bahwa mungkin mereka akan berhasil. Mereka menanggung ribuan kepedihan dan kedukaan. Seorang saudagar menanamkan uang jutaan rupees dengan mengharapkan keuntungan, namun dia pun tidak begitu yakin bahwa dia pasti akan berhasil. Akan tetapi aku tidak melihat upaya dan usaha gigih seperti itu di kalangan orang yang menuju Allah Ta‟ala, padahal terdapat janji yang pasti dan jelas, bahwa siapa saja yang melangkahkan kaki ke arah-Nya sedikit pun kerja kerasnya tidak akan disia-siakan. Mengapa orang-orang ini tidak mengerti? Mengapa mereka tidak takut bahwa akhirnya suatu hari mereka pasti akan mati? Apakah setelah menyaksikan kegagalan-kegagalan itu mereka tidak susah-payah memikirkan tentang perniagaan yang tidak mengandung kerugian apa pun dan memiliki keuntungan yang pasti? Betapa seorang petani bekerja keras mengolah pertaniannya, tetapi siapa yang dapat mengatakan bahwa hasilnya pasti akan memuaskan?” (Malfuzat, jld. I, hl. 144-145). “KHAZANAH PERMATA” ALLAH TA‟ALA “Allah Ta‟ala Maha Pengasih, dan betapa ini merupakan suatu khazanah. Yakni uang kecil pun dapat terkumpul, demikian pula uang besar dan uang emas. Tidak ada ancaman pencuri dan tidak ada bahaya bahwa akan jatuh miskin. Ada di dalam hadits, bahwa jika seseorang membuang duri yang terdapat di tengah jalan maka pahalanya akan diberikan kepada orang itu. Jika ada yang menimba air satu ember lalu dia berikan ke rumah saudaranya maka Allah tidak 73 akan menyia-nyiakan pahalanya. Jadi, ingatlah, jalan yang di dalamnya manusia tidak akan pernah gagal adalah jalan Allah. Jalan besar dunia (duniawi) adalah suatu jalan dimana manusia dapat tergelincir setelah melangkahkan kaki di atasnya, dan di situ terdapat batu-batu besar kegagalan. Orang-orang yang telah meninggalkan tampuk kerajaan mereka ternyata mereka bukanlah orang-orang bodoh, misalnya Ibrahim „Azham, Syah Syuja‟, dan Syah „Abdul „Aziz yang juga disebut Mujaddid. Mereka melepaskan kekuasaan, kerajaan dan kemuliaan dunia, sebabnya adalah di situ terdapat ketergelinciran pada setiap langkah. Allah Ta‟ala adakah sebuah “permata”, setelah meraih makrifat-Nya manusia akan melihat benda-benda duniawi dengan sangat rendah dan hina sedemikian rupa, sehingga untuk melihatnya pun terpaksa harus memaksa dan merusak kalbu. Oleh karena itu carilah makrifat Allah Ta‘ala, dan langkahkan kaki ke arah-Nya, sebab di situ terletak kesuksesan.” (Malfuzat, jlid I, hlm. 145). KARAMAH AKHLAK “Memohon perbaikan dari Allah Ta‟ala dan mengerahkan kekuatan adalah cara keimanan. Di dalam hadits tertera, seseorang yang menengadahkan tangan untuk berdoa dengan penuh keyakinan, Allah Ta‟ala tidak akan menolak doanya. Oleh karena itu mohonlah kepada Allah Ta‟ala, dan mohonlah dengan penuh yakin dan niat baik. Nasihatku sekali lagi adalah, menampilkan akhlak baik berarti menampilkan karamah kalian. Jika ada yang mengatakan bahwa dia ingin menjadi orang yang memiliki karamah, maka ingatlah bahwa setan dapat menipunya. Sebab yang dimaksud dengan karamah bukanlah keajaiban dan ketakaburan. Melalui karamah orang-orang dapat mengetahui kebenaran dan hakikat Islam. Dan karamah merupakan hidayah (petunjuk), jadi yang seperti tadi itu adalah bisikan setan. Lihatlah jutaan umat Islam yang terdapat di berbagai kawasan muka bumi ini, apakah mereka masuk Islam melalui kekuatan pedang, kekerasan dan pemaksaan? Tidak. Itu sama sekali salah. Justru pengaruh karamah Islamlah yang telah menarik mereka. Karamah itu terdiri dari berbagai macam dan jenis. Salah satu di antaranya adalah karamah akhlak, yang terbukti berhasil di setiap lapangan. Mereka yang telah masuk Islam adalah hanya karena telah menyaksikan karamah orangorang yang benar, dan mereka mendapat pengaruh dari itu. Mereka telah menyaksikan Islam dengan pandangan mulia, bukannya karena mereka menyaksikan pedang. Para peneliti dari Eropa terpaksa mengakui hal ini, bahwa ruh kebenaran Islam itu sendiri yang sedemikian rupa kuatnya, sehingga mmebuat kaum-kaum lain terpaksa masuk Islam.” (Malfuzat, jld I, hlm. 145-146). MENJAGA NAMA BAIK “Seseorang yang memperlihatkan kepada tetangganya perubahan akhlak – yakni sebelumnya dia lain, dan sekarang dia sudah lain lagi – bererti dia memperlihatkan suatu karamah akhlak. Pengaruhnya besar sekali terhadap tetangga. Orang-orang mengecam Jemaatku, bahwa aku tidak mengetahui apa kemajuan yang sudah terjadi. Dan mereka melontarkan tuduhan tuduhan bahwa [warga Jemaat] tenggelam dalam kedustaan dan kemarahan serta kemurkaan. 74 Bukankah hal ini bagi [warga Jemaat] merupakan satu hal yang disesali, yakni orang-orang masuk ke dalam Jemaat ini karena menganggapnya bagus, seperti halnya seorang anak baik yang menampilkan nama baik ayahnya? Sebab orang yang baiat adalah bagaikan anak, karena itulah istri-istri Rasulullah saw. disebut ummahatul-mukminin (para ibu orang-orang beriman). Rasulullah saw. merupakan ayah bagi orang-orang mukmin. Ayah jasmani membawa kita ke bumi dan menyebabkan timbulnya kehidupan zahiriah, namun ayah ruhani membawa kita ke Langit dan membimbing kita ke tujuan utama yang sebenarnya. Apakah kalian suka apabila ada anak yang menodai nama baik ayahnya? Anak itu pergi ke tempat perempuan-perempuan kotor, dan dia bergaul ke sama ke mari, dia minum arak atau melakukan perbauatan-perbuatan buruk yang menodai nama baik ayahnya? Aku tahu, tidak ada yang menyukai perbuatan itu. Namun tatkala anak yang tidak meneruskan [nama baik sang ayah] tersebut berbuat demikian, maka mulut orang-orang tidak akan dapat ditutup. Orang-orang akan mengingatkan hal itu kepada ayahnya, dan mengatakan, “Ini anak si fulan, dia berbuat buruk.” Jadi, anak itu dengan sendirinya menjadi faktor yang menimbulkan noda pada nama baik ayahnya. Demikian pula, tatkala seseorang bergabung dalam suatu Jemaat dan dia tidak menjaga keagungan serta kehormatan Jemaat itu serta melakukan hal-hal yang bertentangan, maka dia pada pandangan Allah akan ditangkap. Sebab dia tidak hanya menjerumuskan dirinya dalam kebinasaan, tetapi juga dia menjadi contoh buruk bagi orang-orang lain dan mengakibatkan orang-orang luput dari keberuntungan dan hidayah (petunjuk). Jadi, sejauh kemampuan yang kalian miliki, mintalah bantuan dari Allah Ta‟ala, dan berusahalah menjauhkan kelemahan-kelemahan kalian melalui segenap kekuatan dan kemampuan kalian. Apabila kalian tidak berhasil, tengadahkanlah tangan dengan jujur dan penuh yakin, sebab tangan yang ditengadahkan dengan khusyuk, yang digerakkan dengan jujur dan penuh yakin, tidak akan kembali dengan hampa. Aku katakan berdasarkan pengalaman, bahwa ribuan doaku telah dikabulkan, dan masuk terus dikabulkan. Ini adalah suatu hal yang pasti, jika seseorang tidak memiliki gejolak solidaritas (kepedulian) bagi sesama manusia berarti dia itu kikir. Jika aku melihat suatu jalan yang di dalamnya terletak kebaikan dan khctir(???). maka adalah kewajibanku untuk berteriak memberitahukannya kepada orang-orang. Hendaknya jangan peduli apakah ada yang mengamalkannya atau tidak.” (Malfuzat, jld. I, hlm. 146-147). PERUBAHAN NYATA “Jika satu orang saja pun tampil memiliki kalbu (hati) yang hidup sudah memadai. Hal ini aku paparkan secara jelas. Bukanlah kondisi diriku bahwa segala sesuatu yang aku katakan ini kepada kalian, hal itu aku katakan dengan niat supaya aku memperoleh pahala. Tidak. Aku merasakan suatu gejolak [kepedulian] dan keperihan yang amat sangat dalam diriku. Tidak tahu apa yang menyebabkan gejolak [kepedulian] itu timbul, namun tidak diragukan lagi bahwa gejolak ini tidak berhenti. Oleh karena itu pahamilah oleh kalian ucapan-ucapan ini sebagai wasiat seseorang yang mungkin tidak akan berjumpa lagi dengan kalian. Amalkanlah sedemikian rupa, sehingga kalian menjadi satu contoh. Bagi orang-orang yang jauh dariku, jelaskanlah kepada mereka melalui pengamalan dan ucapan kalian. Jika tidak demikian dan tidak perlu mengamalkannya, maka katakanlah kepadaku, apakah artinya kalian datang ke sini? 75 Aku tidak menghendaki perubahan terselubung, yang diinginkan adalah perubahan yang nyata, supaya para penentang menjadi malu dan dari satu sisi supaya kalbu (hati) orang-orang memperoleh cahaya, serta supaya tidak ada harapan bagi mereka, sebab penentang itu berada dalam kegelapan. Orang-orang yang sangat bejad datang dan bertaubat di tangan Rasulullah saw.. Apa sebabnya? Sebabnya adalah suri teladan agung yang terdapat di kalangan para sahabah r.a., dan suri teladan mereka yang wajib diikuti itulah yang membuat orang-orang tersebut menjadi malu.” (Malfuzat, jld. I, hlm. 148). TELADAN SUCI IKRIMAH “Kalian tentu telah mendengar tentang Ikramah. Beliau inilah yang merupakan timbulnya petaka di [perang] Uhud, dan ayahnya adalah Abu Jahal. Namun akhirnya suri teladan para sahabah r.a. telah membuatnya malu. Aku berpendapat, bahwa mukjizat-mukjizat pun tidak memberikan dampak seperti ketakjuban yang telah ditimbulkan oleh suri teladan suci dan perubahan-perubahan yang dilakukan para sahabah. Orang-orang menjadi takjub (heran), betapa besarnya perubahan nyang dialami oleh sepupu-sepupu mereka. Akhirnya mereka pun memahami bahwa merekalah yang keliru. Di satu masa, Ikrimah telah menyerang diri Rasulullah saw., dan di masa lain beliau telah memporak-porandakan bala tentara orang-orang kafir. Ringkasnya, di masa Rasulullah saw. suri teladan suci yang diperlihatkan oleh para sahabah r.a. maka sekarang ini dapat kita paparkan dalam corak dalil-dalil dan tanda-tanda. Lihatlah suri teladan Ikrimah. Pada masa kekufuran di daam dirinya terdapat keingkaran, keangkuhan dan sifat-sifat buruk lainnya, dan dia menghendaki – jika mampu -- untuk menghancurkan Islam dari dunia ini. Namun tatkala karunia Allah Ta‟ala telah mendukungnya dan dia sudah masuk Islam, maka di dalam dirinya telah timbul akhlak sedemikian rupa, sehingga keangkuhan dan kesombongan tidak lagi tersisa sedikt pun. Yang timbul adalah kerendahan hati, dan kerendahan hati itu telah menjadi dalil bagi Islam serta telah menjadi bukti bagi kebenaran Islam. Pada suatu kesempatan sedang berlangsung pertempuran dengan orang-orang kafir. Ikrimah adalah panglima lasykar Islam. Orang-orang kafir melakukan perlawanan yang keras, sampaisampai kondisi lasykar Islam sudah mendekati kekalahan. Ketika hal itu disaksikan oleh Ikrimah maka beliau turun dari kuda. Orang-orang mengatakan kepada beliau mengapa turun dari kuda, sebab jika ada peluang untuk menghindar ke sana ke mari kuda itu sangat membantu. Beliau berkata, “Saat ini aku teringat pada zaman ketika aku dulu melawan Rasulullah saw.. Aku ingin melepaskan nyawa ini sebagai tebusan bagi dosa-dosaku.” Lihatlah, betapa kondisinya telah berubah jauh sekali, dan hal itu dikenang berkali-kali dengan penuh pujian. Ingatlah, keridhaan Allah Ta‟ala menyertai orang-orang yang mengumpulkan keridhaan Ilahi di dalam diri mereka. Allah Taala di setiap tempat menyebut mereka radhiallāhu‘anhum. Nasihatku adalah, terapkanlah akhlak-akhlak tersebut dengan penuh disiplin”. (Malfuzat, jld. I, hlm. 148-149). 76 KEBERHASILAN ORANG BERIMAN “Kalian harus selalu memperhatikan hal ini, bahwa keberhasilan (kesuksesan) yang dicapai oleh seorang mukmin membuatnya malu. Ia bersyukur atas rahmat-Nya ini. Ini membuatnya meningkat dalam hal ruhani dan dalam setiap ujian dia tetap teguh. Sekilas tampaknya keberhasilan (kesuksesan) milik seorang mukmin dan seorang kafir sama satu dengan yang lain. Tetapi kalian harus ingat bahwa keberhasilan (kesuksesan) seorang kafir membawanya ke jalan yang sesat, sementara keberhasilan (kesuksesan) seorang mukmin mmebuka keridhaan Allah atasnya. Alasan mengapa keberhasilan (kesuksesan) seorang kafir membawanya ke jalan yang sesat, karena ia tidak menoleh kepada Tuhan, dia menjadikan perjuangan (usahanya), ilmu dan kemampuannya sebagai tuhannya. Di pihak lain orang mukmin melihat kepada Tuhan dan memperoleh hubungan yang lebih dekat dengan-Nya. Dengan demikian setiap keberhasilan (kesuksesan) menguatkannya untuk memulai hubungan yang baru dengan Tuhan, hubungan kedekatan. Itu permulaan proses perubahan dalam dirinya: Innallāha ma‘al-ladzīna taqau -”sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang bertakwa.” Harus diingat bahwa kata takwa seringkali muncul dalam Al-Quran. Setiap tempat dimana kata tersebut muncul pemahaman dan penafsirannya sesuai dengan kata yang mendahuluinya. Di sini kata ma'a mendahuluinya., dengan demikian itu berarti bahwa siapa pun yang memilih Tuhan maka dia dipilih Tuhan, dan dilindungi terhadap segala macam kehinaan di dunia ini. Aku sangat yakin, bahwa jika seseorang ingin dilindungi dari segala macam kehinaan dan kesusahan dia harus bertakwa. Jika dia melakukan hal tersebut dia tidak akan merasa kekurangan. Pendeknya, keberhasilan seorang mukmin membuatnya maju, dia tidak berhenti pada satu tempat”. (Malfuzāt, jld I, hlm. 149). (hlm 149-151) JEMAAT DAN PERUBAHAN NYATA “Ringkasnya, sekali lagi aku katakan kepada kalian, bahwa kalian yang menjalin hubungan sejati denganku, tujuannya adalah ciptakanlah oleh kalian suatu perubahan nyata di dalam akhlak dan adat-kebiasaan kalian, yang mengakibatkan petunjuk dan kebaikan bagi orang-orang lain.” (Malfuzat, jld. I, hlm. 151). JANGAN LALAI MENGAWASI DIRI SENDIRI ”Lihatlah, bagaimana akibat yang dialami kaum Luth dan kaum-kaum lainnya. Adalah wajib bagi setiap orang apabila dia menemukan hatinya keras maka kecamlah hati itu dan beri pelajaran khusyuk. Hal ini sangat penting bagi Jemaat kita, sebab mereka memperoleh makrifat 77 segar (baru). Jika ada yang mengaku memperoleh makrifat tetapi tidak mengamalkannya, itu hanya omong-kosong belaka. Oleh karena itu Jemaatku hendaknya jangan lalai terhadap diri sendiri karena menyaksikan kelalaian orang-orang lain, dan jangan padamkan kecintaan karena melihat hampanya kecintaan mereka. Manusia memiliki banyak sekali keinginan. Namun siapa yang tahu tentang takdir Sang Ghaib? Hidup tak pernah sesuai dengan keinginan-keinginan. Untaian keinginan adalah lain dan untaian takdir pun lain lagi, serta inilah untaian yang benar. Ingatlah riwayat hidup manusia yang terdapat pada Allah Ta‟ala adalah benar. Siapa yang tahu apa yang telah tertulis di situ? Oleh karena itu hendaknya kalbu (hati) harus sering dibangun-bangunkan dan diingatkan.” (Malfuzat, jld. I, hlm. 152). (hlm 152-4) KEBERHASILAN-KEBERHASILAN DUNIAWI “Keberhasilan duniawi tidak kosong dari cobaan. Di dalam Al-Quran suci tertera: (Yang menciptakan kematian dan kehidupan supaya Dia menguji kamu” – Al-Mulk, 3). Yakni, kematian dan kehidupan telah diciptakan untuk menguji kamu. Keberhasilan dan kegagalan pun adalah persoalan antara hidup dan mati. Keberhasilan adalah semacam kehidupan. Apabila seseorang memperoleh berita keberhasilan dirinya maka di dalam dirinya timbul kehidupan, seolah-olah dia memperoleh kehidupan baru. Dan bila datang berita kegagalan maka orang hidup itu menjadi mati, dan kadang-kadang orang yang sangat lemah hatinya menjadi binasa. Hal ini pun hendaknya diingat, bahwa kehidupan dan kematian biasa adalah suatu perkara yang mudah, tetapi kehidupan dan kematian jahannami (neraka) adalah sesuatu yang paling sulit. Seseorang yang aktif penuh upaya, setelah mengalami kegagalan akan menjadi berhasil dan lebih gesit lagi, dan keimanannya terhadap Allah Ta‟ala semakin bertambah. Dia merasakan suatu kenikmatan tatkala dia merenungkan, “Bagaimana Tuhan-ku.” Dan keberhasilan dunia menjadi satu faktor untuk mengenal Tuhan. Bagi orang-orang demikian keberhasilan-keberhasilan dunia menjadi suatu sarana untuk meraih keberhasilan hakiki, yang dalam istilah Islam disebut falah (kesuksesan). Aku katakana dengan sebenarnya kepada kalian, kebahagiaan sejati dan ketentraman hakiki sama sekali tidak ada pada dunia maupun pada benda-benda dunia! Kenyataannya adalah, jika menyaksikan seluruh bagian dunia sekali pun manusia tidak akan dapat meraih kebahagiaan sejati dan abadi. Lihatlah olah kalian, orang-orang kaya yang menyimpan banyak harta, setiap saat mereka selalu tertawa. Namun keadaan mereka bagai seseorang yang menderita sakit eksim (gatal-gatal), dia mendapat ketentraman dengan menggaruk-garuknya. Namun apa dampak akhir [dari menggaruk-garuk] gatal-gatal itu? Ialah keluarnya darah. Jadi, janganlah gembira sedemikian rupa atas keberhasilan-keberhasilan duniawi dan yang 78 sementara itu, sehingga kalian akan menjadi jauh dari keberhasilan hakiki, melainkan jadikanlah keberhasilan-kebarhasilan itu sebagai sarana untuk mengenal Allah. Jangan lupa daratan (sombong) atas kegigihan dan upaya kalian, dan jangan menganggap bahwa keberhasilan ini merupakan buah suatu kemampuan dan kerja keras kalian, melainkan renunkanlah, bahwa “Tuhan Yang Maha Pengasih itulah Yang tidak pernah menyia-nyiakan kerja keras sejati seseorang. Dia telah memberikan buah atas kerja kerasa kami.” Jika tidak, apakah kalian tidak menyaksikan bahwa ratusan pelajar ada yang tidak lulus dalam ujian-ujian? Apakah mereka sebelumnya tidak bekerja keras dan benar-benar bodoh serta tolol? Tidak, justru sebagian ada yang cerdas dan pintar sedemikian rupa, sehingga jika dibandingkan dengan anak-anak umumnya mereka itu lebih pintar. Oleh karena itu adalah wajib dan mutlak agar orang mukmin melakukan sujud syukur di hadapan Allah Ta‟ala akan setiap keberhasilan, sebab Dia tidak membiarkan kerja keras itu menjadi sia-sia. Akibat syukur tersebut kecintaan terhadap Allah Ta‟ala semakin tinggi, dan keimanan menjadi bertambah. Bahkan tidak hanya itu, keberhasilan-keberhasilan lainnya pun akan dicapai, sebab Allah Ta‟ala berfirman, “Jika kalian menyukuri nikmat-nikmat-Ku niscaya Aku akan melipatgandakan nikmat-nikmat itu, sedangkan kjika kalian menjadi orang-orang yang mengingkari nikmat-nikmat maka ingatlah kalian akan terjerat di dalam azab yang keras.” (Malfuzat, jld. I, hlm. 154-155). (hlm 155-159) HAKIKAT SHALAT "Apa [yang dimaksud dengan] salat? la merupakan suatu doa khusus. Akan tetapi orangorang menganggapnya sebagai uang-pajak bagi raja-raja. Orang bodoh sebegitu pun tidak tahu, apa perlunya perkara-perkara itu bagi Allah Ta‟ala. Kemaha-berkecukupan-Nya (Sifat-Nya AlGhanī) mana pula memerlukan supaya manusia sibuk dalam doa, tasbih dan tahlil? Justru di dalamnya terdapat manfaat bagi manusia sendiri, bahwa dengan cara demikian ia dapat mencapai tujuannya. Aku sangat sedih menyaksikan, bahwa pada masa kini tidak ada kecintaan terhadap ibadah-ibadah dan keruhanian. Penyebabnya adalah suatu kebiasaan umum yang beracun. Karena faktor itulah maka kecintaan terhadap Allah Ta‟ala menjadi beku, dan kenikmatan yang seharusnya timbul di dalam ibadah, [ternyata] kenikmatan itu sudah tidak ada lagi. Di dunia ini tidak ada suatu benda pun yang di dalamnya tidak ditanamkan kelezatan atau suatu rasa oleh Allah Ta‟ala. Seperti halnya seorang yang sakit tidak dapat menikmati rasa lezat barang-barang yang enak, dan dia menganggapnya benar-benar pahit atau tawar, demikian pulalah orang-orang yang tidak menemukan kelezatan di dalam ibadah Ilahi. Mereka seharusnya merisaukan penyakit mereka sendiri, sebab sebagaimana baru saja aku katakan, di dunia ini tidak ada satu barang pun yang di dalamnya tidak ditanamkan suatu rasa lezat oleh Allah Ta‟ala. Allah Ta‟ala telah menciptakan umat manusia untuk ibadah. Lalu apa sebabnya sehingga baginya tidak ada kelezatan dan kenikmatan dalam ibadah? Kelezatan dan kenikmatan itu tentu ada, namun pengecap kenikmatan itu pun hendaknya harus ada. Allah Ta‟ala berfirman: 79 “dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepadaKu” (Adz-Dzāriyāt, 57). Nah, tatkala manusia itu diciptakan justru untuk ibadah, maka psati di dalam ibadah itu sudah ditanamkan kelezatan serta kenikmatan yang paling tinggi. Hal ini dapat kita pahami benar melalui kesaksian dan pengalaman kita sehari-hari. Contohnya, lihatlah buah delima dan segenap barang makanan dan minuman yang telah diciptakan untuk manusia. Apakah dari barang-barang itu tidak diperoleh suatu kelezatan dan kenikmatan? Apakah di dalam mulut [manusia] tidak terdapat lidah untuk merasakan dan menikmati rasa itu? Apakah dengan melihat barang-barang yang cantik – baik itu tumbuh-tumbuhan maupun benda mati, hewan atau pun manusia – tidak terasakah suatu kenikmatan? Apakah hati, telinganya tidak merasa nikmat karena suara-suara merdu dan enak? Lalu, apakah masih diperlukan dalil lain untuk membuktikan perkara ini, bahwasanya di dalam ibadah tidak ada kelezatan? Allah Taala berfirman bahwa, “Kami telah menciptakan perempuan dan laki-laki berpasangan. Dan kepada laki-laki diberikan gejolak kecenderungan (ketertarikan). Nah, di situ tidak ada keterpaksaan, justru di dalamnya terlihat suatu kelezatan. Dan jika yang menjadi sasaran hanyalah untuk mendapatkan anak dan keturunan maka maksud tujuan tidak dapat terpenuhi. Perempuan dan laki-laki, dalam kondisi telanjang, ghairat mereka tidak menerima [kecuali] supaya mereka saling berhubungan. Akan tetapi di dalamnya terdapat suatu kenikmatan bagi mereka, dan ada suatu kelezatan. Kenikmatan dan kelezatan itu mencapai tingkat sedemikian rupa, sehingga sebagian orang yang tidak berfikir panjang tidak lagi mempedulikan [masalah mendapatkan] anak keturunan, melainkan yang menjadi tujuan mereka hanyalah untuk mencicipi kenikmatan. Sasaran Allah Taala adalah menciptakan hamba-hamba (manusia), dan untuk hal itu Dia menciptakan suatu hubungan antara perempuan dan laki-laki, dan secara implisit telah menanamkan suatu kenikmatan di dalamnya, yang bagi sebagian orang bodoh telah menjadi tujuan utama. Dengan demikian pahamilah benar-benar, bahwa ibadah pun bukanlah suatu beban atau pajak, di dalamnya juga terdapat kelezatan serta kenikmatan. Dan kelezatan serta kenikmatan yang satu ini justru paling tinggi dan mulia dari sekalian kelezatan dan kenikmatan-kenikmatan nafsiah, seperti suatu kenikmatan dalam hubungan antara perempuan dan laki-laki.. Oleh karena itu yang beruntung adalah pria yang memiliki kekuatan poten. Seorang yang impoten dan banci (kasim) tidak dapat meraih kenikmatan itu. Dan sebagaimana seorang sakit yang tidak dapat mencicipi kelezatan makanan yang enak, demikian pula, ya ada orang sial yang tidak dapat meraih kelezatan dari ibadah Ilahi.” (Malfuzāt, jld I, hlm. 159-160). HAKIKAT HUBUNGAN „UBUDIYYAT & RABBUBIYYAT Perempuan dan laki-laki merupakan pasangan yang tidak-hakiki dan sementara. Saya katakan, bahwa pasangan yang sejati, abadi, dan penuh kelezatan adalah antara manusia dengan Allah Ta‘ala. Saya sangat sedih dan kadang-kadang kedukaan itu mulai menggerogoti jiwaku, bahwa jika suatu hari seseorang merasa sudah tidak enek makan maka ia langsung pergi ke tabib, dan berbagai macam ungkapan (keluhan) ia dia paparkan serta membelanjakan [sekian banyak] 80 uang. Dia bersusah-payah untuk mendapatkan kembali kenikmatan itu. Seorang pria impoten yang tidak dapat meraih kenikmatan dari istrinya, kadang-kadang begitu kalutnya, sehingga berniat untuk bunuh diri. Dan banyak kematian yang terjadi dalam corak demikian. Akan tetapi, sangat disayangkan, orang yang sakit ruhaninya; yang tidak berhasil, yang tidak merasakan kenikmatan dalam ibadah, mengapa ia tidak tercekam oleh rasa sedih? Apalah yang dapat dilakukan oleh dunia dan kegembiraan-kegembiraannya. Namun dia tidak merasakan haus serta dahaga akan ketentraman-ketentraman abadi dan hakiki. Betapa malangnya dia. Betapa luputnya dia. Dia mencari pengobatan bagi kelezatankelezatan yang sementara dan fana (tidak kekal) lalu meraihnya. Apakah mungkin bahwa pengobatan bagi kelezatan yang abadi dan permanen tidak ada? Ada, pasti ada, akan tetapi untuk mencari kebenaran diperlukan langkah yang permanen dan kokoh. Di dalam Quran Karim, pada suatu kesempatan Allah Ta‟ala mengemukakan permisalanpermisalan tentang orang-orang salih dalam bentuk perempuan-perempuan. Di situ pun terdapat hikmah dan rahasia Bagi orang-orang beriman diberikan tamsil (misal) Maryam dan Asiyah. Yakni, dari orang-orang musyrik Allah Ta‟ala menciptakan orang-orang mukmin. Ringkasnya, dalam ungkapan permisalan dalam bentuk perempuan-perempuan, sebenarnya merupakan pengungkapan suatu rahasia halus, yakni sebagaimana halnya hubungan satu sama lain antara perempuan dan laki-laki, seperti itulah hubungan antara 'ubudiyyat (kehambaan/manusia) dengan Rabbubiyyat (Ketuhanan). Jika ada keserasian antara perempuan dan laki-laki, dan satu sama lain saling mencintai, maka psangan itu menjadi beberkat dan bermanfaat. Jika tidak, maka tatanan rumahtangga akan berantakan, dan tujuan utama tidak akan tercapai. Laki-laki (suami) menjadi rusak di tempat lain, membawa berbagai macam penyakit, tenggelam dalam penyakit syphilis, lalu luput dari dunia ini. Dan kalau pun ada anak keturunan, maka untaian itu terus bersambung sampai beberapa generasi. Sedangkan si perempuan (istri) ke sana ke mari berbuat asusila, dan dengan menghancurkan kehormatan pun mereka tidak dapat meraih ketentraman sejati (hakiki). Pendeknya, demikian banyak dampak buruk dan kebobrokan yang timbul akibat terpecahnya pasangan itu. Demikian pula halnya apabila manusia memisahkan diri dari pasangan ruhaniah akan bergelimang dengan penyakit dan terhina. Ia akan menjadi sasaran kedukaan dan bala bencara yang lebih besar, daripada [yang dialami oleh] pasangan duniawi. Sebagaimana dari pasangan perempuan dan laki-laki terdapat kenikmatan untuk semacam keberlangsungan, demikian pula di dalam pasangan ‗ubudiyyat dan Rabubiyyat terdapat suatu kenikmatan untuk suatu keberlangsungan abadi. [Para] sufi mengatakan, seseorang yang memperoleh kenikmatan itu, dia akan paling memprioritaskannya lebih tinggi dari segenap kenikmatan dunia beserta apa yang ada di dalamnya. Jika sepanjang hidupnya satu kali saja pun ia mengetahui hal itu maka ia tentu akan fana (larut) di dalam hal itu. Akan tetapi sulitnya adalah, mayoritas manusia di dunia ini adalah orang-orang yang tidak memahami rahasia tersebut. Salat-salat mereka hanyalah gerakan-gerakan yang dilakukan dari lapisan hati bagian luar, dengan rasa berat dan sempit, hanya sebagai [kebiasaan] bangun dan duduk saja. Aku jadi lebih menyayangkan lagi tatkala menyaksikan, bahwa sebagian orang mengerjakan salat. hanya supaya mereka menjadi lebih dipercaya dan dihormati. Dan kemudian hal itu mereka dapatkan pula dari salat tersebut. Yakni, mereka dikatakan sebagai orang yang taat salat serta bertakwa. Lalu, mengapa mereka tidak merasakan kedukaan yang termakan ini -yakni tatkala mereka sendiri dapat memperoleh martabat itu melalui salat yang tidak sepenuh hati serta yang dibuat-buat saja – lalu mengapa pula dengan menjadi ‗abid hakiki (pelaku ibadah 81 sejati) tidak akan dapat diraih suatu (Malfuzāt, jld I, hlm. 160-162). kehormatan, dan kehormatan yang bagaimana itu?” TIDAK MERASA LEZAT DALAM SHALAT & CARA PENGOBATANNYA "Ringkasnya, aku melihat orang-orang menjadi malas dan lalai dalam salat-salat, disebabkan mereka tidak mengetahui akan kelezatan serta kenikmatan yang telah ditanamkan Allah Taala di dalam salat, dan itulah faktor primanya (utamanya). Kemudian di kota-kota dan di desa-desa kemalasan serta kelalaian itu lebih besar lagi. Limapuluh persen pun tidak ada yang menundukkan kepala di hadapan Sang Majikan Sejati dengan ketegaran penuh serta dengan kecintaan hakiki. Lalu timbul pertanyaan: Mengapa? Mereka tidak mengetahui perihal kelezatan itu, dan tidak pula mereka pernah mencicipi enaknya. Dan di dalam agama-agama lain tidak ada ketentuan-ketentuan seperti ini. Kadang-kadang kita tengah sibuk dalam pekerjaan-pekerjaan kita, dan mu‘adzdzin pun mengumandangkan adzan, lalu mendengarkannya pun merka tidak ingin, seakan-akan hati mereka disakiti. Orang-orang ini patut dikasihi. Sebagian orang-orang di sini pun demikian. Lihatlah, toko-toko mereka berada di bawah mesjid. Namun mereka tidak pernah pergi, sekedar untuk berdiri sekali pun. Jadi, aku ingin mengatakan, hendaknya dipanjatkan doa kepada Allah Ta‟ala dengan suatu gejolak serta keperihan yang amat sangat, bahwa sebagaimana pada buah-buahan mau pun pada benda-benda lainnya Dia telah menganugerahkan berbagai macam kelezatan, semoga Dia pun satu kali memberikan cicipan lezatnya salat dan ibadah [kepada orang-orang semacam itu]. Sesuatu yang telah dimakan akan terus teringat. Lihatlah, jika ada yang melihat orang cantik dengan penuh nikmat, maka dia benar-benar akan senantiasa mengingatnya. Dan kemudian, jika dia melihat seseorang yang jelek, menjijikkan dan buruk, maka langsung saja tampil bayangan [orang cantik] tadi di hadapannya. Ya, jika tidak ada hubungan maka tidak akan ingat seperti itu. Seperti itulah salat merupakan denda (hukuman). Menurut orang-orang yang tidak salat bahwa tanpa guna harus bangun pagi, berwudhu dalam cuaca dingin, meninggalkan mimpi dan istirahat, berbagai macam kesenangan ditinggalkan, lalu terpaksa mengerjakannya. Sebenarnya, ia benci terhadap [salat]. Ia tidak dapat memahaminya. Ia tidak mengetahui perihal kelezatan dan ketentraman yang terdapat di dalam salat, lalu bagaimana mungkin ia dapat meraih kenikmatan di dalam salat? Aku melihat seorang peminum dan pemabuk, selama belum merasakan kenikmatan, terus-menerus dia meneguk minuman, sampai akhirnya dia merasakan semacam kemabukan. Seorang manusia berakal dan baik dapat mengambil manfaat (pelajaran) dari itu, yakni dawamlah mengerjakan salat dan teruslah kerjakan, sampai akhirnya terasa kenikmatan itu. Sebagaimana di dalam benak seorang peminum terdapat suatu kelezatan – dimana memperolehnya merupakan tujuan utamanya -- seperti itu pulalah hendaknya di dalam pikiran serta konsentrasi seluruh kekuatan dalam salat itu ditujukan pada pencapaian kenikmatan tersebut. Dan kemudian dengan suatu ketulusan serta semangat – paling tidak seperti gejolak dan keasyikan sang pemabuk tadi -- hendaknya timbul suatu doa, semoga kelezatan itu dapat diraih, maka aku mengatakan, dan dengan sebenarnya aku katakan, pasti dan pasti kelezatan itu akan dapat diraih! 82 Lalu ketika mengerjakan shalat itu hendaknya manfaat-manfaat yang timbul darinya harus tetap menjadi fokus, dan ihsan hendaknya harus tetap diutamakan: (sesungguhnya kebaikan itu menghapus kejahatan (keburukan)” – Hud, 115). Yakni, kebaikan-kebaikan menjauhkan keburukan. Jadi, tanamkanlah hasanāt serta kelezatan itu di dalam kalbu, lalu berdoalah, semoga dapat meraih shalat para shiddiq dan muhsin. Ada pun yang difirmankan: Innal hasanāti yudz-hibnas sayyi-āti, yakni “kebaikankebaikan atau salat menjauhkan keburukan-keburukan” – atau di tempat lain Dia berfirman, bahwa salat menghindarkan [kita] dari kebejatan-kebejatan (fakhsya) dan keburukan (munkar) -dan kita menyaksikan, bahwa sebagian orang walau pun mengerjakan salat tetap saja berbuat keburukan. Jawabannya adalah, merka memang mengerjakan salat, akan tetapi tidak dengan sepenuh hati dan tidak secara benar. Mereka tegak dan duduk hanya sekedar sebagai adat kebiasaan saja, ruh mereka mati. Allah Ta‟ala tidak menamakan [salat] itu sebagai hasanāt (kebaikankebaikan), dan disini yang digunakan adalah kata hasanāt, bukan ash-shalāt, padahal makanya demikian. Sebabnya adalah supaya memberikan isyarat ke arah keindahan dan kebaikan salat, bahwa salat yang menjauhkan keburukan-keburukan adalah salat yang di dalamnya terkandung suatu ruh kebenaran, dan di dalamnya terdapat efek-efek karunia. Salat seperti itu pasti dan pasti menjauhkan keburukan-keburukan, sebab salat bukan nama [suatu gerakan] berdiri dan duduk. Inti serta ruh dari salat adalah doa yang di dalamnya terkandung suatu kelezatan serta kenikmatan.” (Malfuzāt, jld I, hlm. 162-164). (hlm 164-178) PENTINGNYA AMAL SALIH BAGI ORANG MUTAKI (BERTAKWA) ”Aku katakan kepada Jemaatku, yang diperlukan adalah amal salih. Jika ada sesuatu yang dapat mencapai Allah Ta‟ala adalah amal-amal salih: (“kepada-Nya naik perkataan-perkataan yang baik, dan amal salih diangkat-Nya” – AlFathir, 11). Allah Ta‟ala Sendiri berfirman, bahwa saat ini qalam (pena) aku menyamai pedang-pedang Rasulullah saw., namun kemenangan dan pertolongan hanya diraih oleh orang mutaki (bertakwa). AllahTa‟ala telah menjanjikan: (dan Kami selalu berkewajiban menolong orang-orang yang beriman” – Ar-Rūm, 48). Dan: (“dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk 83 mengalahkan orang-orang yang beriman” – An-Nisā, 142). Oleh karena itu ingatlah , kemenangan kalian adalah karena takwa. Jika tidak, Arab dahulunya hanyalah tukang ceramah, tukang pidato dan penyair. Mereka telah menerapkan ketakwaan dan Allah Ta‟ala telah menurunkan malaikat-Nya untuk menolong mereka. Jika manusia membaca sejarah maka akan tampak olehnya bahwa sekian banyak kemenangan yang diraih oleh para sahabah ridhwānullāhi ‗alaihim ajma‘īn bukanlah karena kekuatan dan upaya manusia, hingga Utsman r.a. dalam tempo 20 tahun kerajaan Islam telah menyebar ke seantero manca negara. Sekarang, katakanlah, apakah manusia dapat berbuat demikian? Oleh karena itu Allah Ta‟ala berkali-kali berfirman: (“sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang bertakwa dan orang-orang yang berbuat kebaikan” – An-Nahl, 129). Mutaki itu artinya orang yang takut. Pertama, orang yang meninggalkan keburukan, dan kemudian yang menyampaikan kebaikan. Mutaki itu mengandung arti meninggalkan keburukan, sedangkan muhsin menginginkan penyampaian kebaikan. Mengenai hal itu aku membaca sebuah hikayat, yakni ada seorang suci yang mengundang seseorang untuk makan. Sepenuhnya beliau telah menjamu tamunya dengan baik dan secara pantas. Ketika sang tamu telah selesai makan maka orang suci itu dengan rendah hati mengatakan, “Saya belum dapat melakukan pengkhidmatan yang pantas untuk anda.” Tamunya berkata, ”Sebenarnya Tuan tidak berbuat ihsan (baik) kepada saya, melainkan sayalah yang telah berbuat ihsan (baik) kepada Tuan, sebab ketika Tuan sedang sibuk [mempersiapkan makanan], kalau saya membakar barang-barang milik Tuan maka apalah jadinya”. Ringkasnya, tugas orang mutaki adalah meninggalkan keburukan-keburukan, dan lebih maju dari itu adalah menyampaikan kebaikan, yaitu yang disebut di sini muhsinin (orang yang berbuat ihsan/baik). Manusia baru daoat menjadi seorang mutaki sempurna apabila ia meninggalkan keburukan-keburukan lalu memperhatikan apa saja yang merupakan kebaikan.” (Malfuzat, jld I, hlm. 178-179). QUWWAT QUDSIYAH RASULULLAH SAW. Atas pertanyaan orang-orang, Rasulullah saw. bersabda: "Surah Hud telah membuatku tua, sebab berdasarkan perintah itu kepadaku telah diberikan tanggungjawab yang besar sar ini”. Memperbaiki diri sendiri, sepenuhnya menerapkan perintah-perintah Allah Ta‟ala, sejauh yang berkaitan dengan diri sendiri adalah mungkin saja untuk melakukannya. Namun membuat orang-orang lain juga melakukan hal tersebut tidaklah mudah. Dari hal itu dapat diketahui kemuliaan dan quwwat qudsi (kekuatan untuk memsucikan orang lain) yang dimiliki Rasulullah saw.. Demikianlah betapa beliau saw. telah memenuhi perintah tersebut. Dari para sahabah, beliau saw. telah membentuk suatu Jemaat (kelompok) suci, sehingga mereka itu disebut: (“kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia” – Ali ‗Imran, 111). 84 Dan mengenai diri mereka difirmankan: (Allah ridha terhadap mereka dan merekapun ridha kepada-Nya – Al-Bayyināh, 9). Di masa kehidupan beliau saw. tidak ada seorang munafik pun yang hidup di Madinah Thayyibah. Ringkasnya, begitu hebatnya keberhasilan beliau saw., sehingga tidak didapati bandingannya dalam kehidupan nabi mana pun. Tujuan Allah Ta‟ala yang terdapat dalam hal itu adalah hendaknya jangan hanya terbatas pada ucapan dan pengakuan belaka, sebab jika kita hanya terbatas pada ucapan, pengakuan serta pertunjukan belaka, maka tidak ada lagi yang membedakan kita dengan pihak-pihak lainnya, dan tidak ada kelebihan kita dari pihak-pihak lain. Kalian hendaknya memperlihatkan suri teladan kalian dalam hal amal-perbuatan, dan hendaknya timbul suatu kilauan cahaya sedemikian rupa dalam amal perbuatan kalian sehingga pihak lain akan bersedia menerimanya. Sebab selama pada sehelai kain masih terdapat sebuah noda sekali pun maka terasa tidak baik. Setiap orang menyukai barang yang baik. Demikian pula selama akhlak-akhlak kalian belum mencapai derajat yang tinggi maka selama itu pula kalian belum dapat mencapai tahap apa pun. “ (Malfuzat, jld. I, hlm. 180-181). ALLAH TA‟ALA TIDAK AKAN PEDULI KALAU BUKAN KARENA IBADAH MANUSIA (Katakanlah, "Tuhan-ku tidak mengindahkan kamu, sekiranya tidak ada ibadah kamu” Al-Furqan, 78). Yakni, “Tuhan-ku tidak akan mempedulikan kamu jika kamu tidak melakukan ibadah (berdoa) kepada-Nya”. Perkara ini hendaknya dicamkan baik-baik di dalam hati, bahwa untuk beribadah kepada Allah Ta‟ala diperlukan kecintaan, sedangkan kecintaan itu ada dua macam, yang pertama adalah kecintaan zati (hakiki), dan yang satu lagi [kecintaan] yang berhubungan dengan maksudmaksud tertentu. Yakni faktornya hanyalah beberapa perkara temporer, yang dengan sirnanya perkara-perkara tersebut kecintaan itu pun menjadi dingin dan menjadi penyebab timbulnya kesedihan dan kedukaan. Akan tetapi kecintaan zati (hakiki) menciptakan ketenteraman hakiki." (Malfuzāt, jld I, hlm. 181). MASALAH WIHDATUL WUJUD Ini adalah kondisi dimana orang-orang tidak sepenuhnya menempuh jenjang-jengajang suluk dalama meraih qurub Ilahi (kedekatan dengan Tuhan), yakni kemungkinan mereka tergelincir, atau mereka tidk mengenal [hakikat] Ilahi serta tidak memahami qurub Ilahi (kedekatan dengan Tuhan), sehingga timbul kesalahpahaman, lalu mereka membentuk [paham kepercayaan] Wihdatul Wujud (kesatuan dalam Zat). Hal ini pun hendaknya jangan sekali-kali dilupakan, bahwa dimana saja manusia terpuruk dalam kesalahan, perbuatan itu tidak sesuai dengan kehendak Tuhan. Keridhaan Allah Ta‟ala bertentangan dengan hal itu. Orang yang demikian berada di bawah dorongan-dorongan 85 kehendak-kehendaknya sendiri, bukan di bawah kehendak Ilahi. Namun manusia yang dinamakan (sahabat Allah) – dan Tuhan menjadi penanggungjawab hidupnya -- dia itulah yang setiap gerakan dan diamnya tidak pernah bertentangan dengan Kitab Ilahi. Setiap hal dan kehendaknya dia sesuaikan dengan Kitab Ilahi, dan dia meminta pendapat dari Kitab Ilahi. Kemudian dikatakan [mengenai orang itu] bahwa Allah Ta‟ala sangat bimbang untuk mencabut nyawa orang tersebut. Allah Ta‟ala suci dari kebimbangan, artinya di sini adalah bahwa untuk suatu hikmah tertentu kepada orang seperti itu diberikan maut (kematian), dan untuk suatu hikmah agung sanga wali itu di bawah kea lam berikutnya. Jika tidak, sebenarnya Allah Ta‟ala Allah sangat senang terhadap kelanggengan (keabadian) orang itu [di dunia]. Jadi, jika manusia tidak memiliki kehidupan sedemikian rupa -- yang Allah Ta‟ala “merasa ragu” untuk mencabut nyawanya -- berarti ia lebih buruk daripada hewan-hewan. Sebab dari seekor kambing banyak orang yang dapat hidup. Kulitnya pun berguna. Manusia [bejad] dalam kondisi apa pun -- apalagi kalau mati -- tidak berguna untuk apa pun. Namun seorang manusia salih pengaruhnya mengena sampai kepada anak-anak keturunannya dan mereka mengambil manfaat dari itu. Sebenarnya, padahakikatnya [orang salih] itu tidak mati. Kalau pun mati kepadanya diberikan suatu kehidupan baru. Hadhrat Daud a.s. mengatakan: “Aku dahulu anak kecil, lalu kini sudah tua. Aku tidak pernah melihat seorang penyembah Tuhan berada dalam kondisi hina, dan tidak pula aku melihat anak-anaknya mengemis meminta makanan.” Tampak bahwa Allah Ta‟ala juha bertanggungjawab terhadap anak-anak keturunan orang mutaki (bertakwa). Namun di dalam hadits disebutkan, bahwa seorang yang zalim (anaiaya) ia telah berbuat zalim terhadap anak-istrinya, sebab pengaruh buruknya juga mengena kepada diri mereka” (Malfuzat, jld. I, hlm. 182-183). TUJUAN UTAMA PENCIPTAAN MANUSIA & RUKYA PENYEMBELIHAN DOMBA-DOMBA Jadi, betapa pentingnya agar kalian memahami, bahwa tujuan Allah Ta‟ala menciptakan kalian adalah supaya kalian menyembah (ibadah) kepada-Nya, dan menjadi total untuk-Nya. Jangan sampai dunia menjadi tujuan kalian. Aku berkali-kali menjelaskan masalah ini, bahwa menurutku inilah suatu perkara yang untuknya manusia dilahirkan, dan ini jugalah suatu perkara yang darinya manusia telah menjauh. Aku tidak mengatakan supaya kalian meninggalkan usaha (perniagaan) dunia, meninggalkan istri dan anak-anak, lalu pergi ke sebuah hutan atau gunung. Islam tidak mengizinkan hal itu, dan rahbaniyah (hidup membujang selamanya) bukanlah tujuan Islam. Islam justru ingin membuat manusia menjadi gesit (lincah), pintar dan gigh. Oleh sebab itu aku katakana kerjakanlah usaha (perniagaan) kalian dengan gigih. Di dalam hadits disebutkan jika seseorang memiliki tanah dan tidak dia budi-dayakan maka dia akan dihisab. Jadi, jika ada yang mengartikan hal tersebut supaya dia meninggalkan usaha (perniagaan) dunia, dia keliru. Tidak demikian. Sebenarnya seluruh usaha (perniagaan) yang kalian lakukan, apakah di situ yang menjadi tujuan adalah keridhaan Allah Ta‟ala serta tidak mendahulukan tujuan-tujuan pribadi serta tidak keluar dari iradah-Nya (kehendak-Nya), sehingga kalian mendahulukan tujuan-tujuan pribadi dan gejolak-gejolak perasaan kalian. 86 Jadi, jika yang menjadi tujuan hidup manusia adalah untuk sekedar menjalani supaya kehidupan foya-foya serta segenap kesuksesannya terletak pada melimpahnya makanan, minuman, pakaian, dan mimpi – sedangkan untuk Allah Ta‘ala tidak dia sisakan sedikit pun tempat di dalam kalbunya – maka ingatlah, orang seperti ini mengubah fitrat Allah. Akibatnya adalah dia lambat-laun akan membuat potensi (kekuatan) yang dia miliki menjadi tidak berguna. Ini adalah suatu perkara yang jelas, bahwa tatkala kita mengambil (menjadikan) suatu barang untuk tujuan tertentu, jika barang tersebut tidak memenuhi tujuan itu maka ia akan kita nyatakan tidak berguna. Misalnya, sebilah kayu diambil untuk [membuat] kursi atau meja, dan terbukti kayu tersebut tidak layak untuk fungsi itu, maka kita akan menjadikannya sebagai kayu bakar saja. Seperti itulah, tujuan sebenarnya penciptaan manusia adalah ibadah Ilahi. Akan tetapi jika manusia mengubah fitratnya melalui unsur dan hubungan-hubungan luar, maka Allah Ta‟ala tidak akan mempedulikannya. Ke arah inilah ayat [berikut] ini memberikan isyarah: (Katakanlah, "Tuhan-ku tidak mengindahkan kamu, melainkan kalau ada ibadatmu” – AlFurqān, 78). Aku juga suatu kali telah menjelaskan, bahwa aku pernah melihat sebuah mimpi. Aku sedang berdiri dalam sebuah hutan. Di situ terdapat sebuah parit besar dari barat ke timur, di pinggir parit tersebut domba-domba digeletakkan. Dan semua domba tidak berdaya di hadapan tukang jagalnya masing-masing yang memegang pisau serta meletakkan pisau itu di leher dombadomba tersebut. Para tukang jagal itu menengadahkan muka mereka ke langit. Aku sedang berjalan dekat mereka. Menyaksikan pemandangan itu aku berpikir bahwa mereka sedang menanti perintah Samawi (langit), lalu aku mmebacakan ayat: (Katakanlah, "Tuhan-ku tidak mengindahkan kamu, melainkan kalau ada ibadatmu” – AlFurqān, 78). Begitu mendengarnya, para tulang jagal itu langsung menjalankan pisau-pisau mereka dan mengatakan, “Apalah kalian ini. Kalian hanyalah domba-domba pembohong!” Ringkasnya, Allah Taala mempedulikan kehidupan orang mutaki (bertakwa) dan memuliakan keberlangsungannya, sedangkan yang berialan menentang kehendak-Nya, Dia tidak mempedulikan orang itu serta memasukkannya ke dalam neraka. Oleh karena itu wajib bagi setiap orang untuk menarik keluar diri (jiwa) masing-masing dari perbudakan setan. Seperti halnya choloroform (obat bius) yang membuat orang terbius, seperti itu pulalah setan menghancurkan manusia serta menidurkannya dalam biusan kelalaian, dan dalam [keadaan] demikianlah setan membunuhnya” (Malfuzat, jld. I, hlm. 184-185). (hlm 186-188) ORANG YANG MENENTANGKU BERARTI MENENTANG ALLAH TA‟ALA 87 Jika seseorang yang di dalam imannya tidak terdapat potensi (kekuatan) untuk tumbuh dan berkembang, melainkan keimanannya itu mati, maka darinya tidak dapat diharapkan timbulnya pohon suci amal salih yang berbuah. Oleh karena itu Allah Ta‟ala di dalam surah Al-Fatihah dengan menyebutkan Shirathal ladziina an'amta 'alaihim – jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka” (Al-Fatihah, 7). Dia telah mengukuhkan bahwa jalan ini bukan jalan yang tidak menghasilkan buah dan bukan jalan yang mengecewakan, melainkan dengan menempuh jalan ini manusia akan menjadi berhasil dan berjaya (sukses). Dan untuk ibadah, kesempurnaan di bidang amal perbuatan adalah sesuatu yang penting. Jika tidak, maka itu hanyalah sebuah permainan, sebab jika pohon tidak memberikan buah -- betapa pun tingginya pohon itu -- maka tidak dapat memberi manfaat. Kondisi para penentangku adalah dirisaukan bahwa iman mereka itu mati, sebab mereka menyebut yang baik sebagai sesuatu yang buruk, dan seorang yang diutus oleh Allah Ta‟ala mereka sebut pendusta. Hal itu mulai menimbulkan peperangan dengan Allah Ta‟ala. Dan ini merupakan suatu hal yang jelas, bahwa Allah Taala telah mengutusku ke dunia ini dengan nama Masih Mau'ud (Almasih yang dijanjikan). Orang-orang yang menentangku, mereka itu bukan menentang aku melainkan menentang Allah Ta‟ala, sebab sebelum aku mendakwakan diri, banyak sekali di antara mereka yang memandangku dengan penuh hormat. oMereka menganggap berpahala memabakan semangkuk air bagiku guna berwuduk. Dan banyak sekali yang mendesakku untuk menerima baiat mereka. Ketika Jemaat ini didirikan dengan nama Allah dan atas pemberitahuan dari Allah Ta‟ala, maka mereka pun bangkit menentang. Dari itu tampak dengan jelas bahwa mereka tidak memiliki rasa permusuhan pribadi denganku, melainkan permusuhan mereka adalah dengan Allah Ta‟ala. Jika mereka dahulu memiliki hubungan yang sejati dengan Allah Ta‟ala, maka kerohanian, ketakwaan dan rasa takut mereka terhadap Allah akan mendorong mereka untuk pertama-tama menyambut pengumumanku, dan setelah mereka bersujud syukur, mereka bersalaman denganku. Namun mereka tidak demikian. Mereka keluar berdiri dengan membawa senjata-senjata mereka. Dan mereka telah melakukan penentangan itu sedemikian rupa sehingga mereka menyebutku kafir, tidak beragama, dan dajjal. Sangat disayangkan. Orang-orang bodoh ini tidak tahu bahwa seseorang yang kepadanya dikatakan: "Qul innii umirtu wa anaa awwalul muminiin" (katakanlah: Aku telah diperintah dan aku ada orang yang pertama beriman) serta "Anta minnii bimanzilati tauhidii wa tafridi (engkau dariku bagaikan Tauhid-Ku dan Ketunggalan-Ku) bagaimana mungkin dapat mempedulikan kata-kata kotor serta caci-makian mereka? Sangat disayangkan, bahwa orang-orang bodoh ini tidak juga mengetahui, abhwa kekufuran (keingkaran) dan iman itu tidak ada hubungannya dengan dunia melainkan dengan Allah Ta‟ala. Sedangkan Allah Ta‟ala memberikan bukti kebenaran akan kedudukanku sebagai mukmin (orang beriman) dan orang yang diutus (ma‟mur/rasul), lalu bagaimana mungkin aku dapat mempedulikan omong-kosong ini?” (Malfuzat, jld. I, hlm. 189-190). (hlm 191-192) PENTINGNYA BERGAUL DENGAN RASUL ALLAH 88 “Agama menghendaki kedekatan pergaulan [dengan Rasul Allah]. Jika kalian enggan terhadap pergaulan itu maka mengapa kalian berharap dapat meraih nilai-nilai keagamaan? Aku berkali-kali telah menasihatkan kepada kawan-kawanku, dan sekali lagi aku katakana: berkali-kali lah datang menetap di sini dan ambillah manfaat. Namun, sangat sedikit perhatian yang diberikan. Orangorang dengan menggenggamkan tangan mereka ke dalam tangan [ketika baiat] melakukan ikrar, bahwa mereka akan mendahulukan agama daripada dunia, namun hal itu sedikitpun tidak mereka pedulikan. Ingatlah, kubur (kematian) sedang memanggil-manggil, dan kematian setiap waktu semakin mendekat. Setiap nafas membawa kalian mendekat kepada kematian, sedangkan nafas itu kalian anggap sebagai saat-saat penangguhan [untuk bersenang-senang]. Berbuat makar terhadap Allah Taala bukanlah pekerjaan orang mukmin. Tatkala waktu bagi maut (kematian) telah tiba maka satu detikpun tidak dapat dimajukan atau ditangguhkan. Orang-orang yang tidak menghargai Jemaat ini, mereka tidak mengenali keagungannya, biarkanlah mereka. Namun orang yang paling malang dari semua itu dan yang berbuat aniaya atas dirinya sendiri adalah dia yang telah mengenali Jemaat ini dan telah berusaha susah-payah masuk ke dalamnya, tetapi dia sedikitpun tidak menghargainya. Orang-orang yang tidak sering datang ke sini, ke tempatku, dan mereka tidak mendengarkan serta tidak memperhatikan hal-hal yang setiap hari ditampilkan oleh Allah Ta‟ala dalam mendukung Jemaat ini, maka betapa pun mereka merupakan orang yang baik dan mutaki (bertakwa) serta salih di tempat mereka, tetapi aku tetap mengatakan bahwa mereka tidak menghargai [hubungannya dengan Jemaat ini] sebagaimana mestinya. Sebelumnya pun sudah aku katakan, setelah menyempurnakan ilmu, hal berikutnya yang diperlukan adalah penyempurnaan amal, sebab penyempurnaan amal tidak mungkin tanpa penyempurnaan ilmu. Dan selama belum datang menetap di sini, penyempurnaan ilmu adalah sulit. Berkali-kali datang surat yang menyatakan bahwa, "Orang-orang melakukan kritikan (kecaman) dan kami tidak dapat memberi jawaban.” Apa sebabnya? Sebabnya adalah orangorang itu tidak datang ke sini, dan mereka tidak mendengar hal-hal yang secara ilmu sedang dizahirkan oleh Allah Ta‟ala dalam inendukung Jemaat-Nya ini. Oleh karena itu, jika kalian benar-benar telah mengenali Jemaat ini, dan kalian telah beriman kepada Allah serta kalian berjanji untuk mendahulukan agama daripada dunia, maka aku bertanya: Apa buktinya pengamalan terhadap hal itu? Apakah perintah “Kūnu ma‘ash-shādiqīn (bergaullah selalu dengan orang-orang benar – At-Taubah, 119) sudah mansukh (batal/hapus)? Jika kalian benar-benar telah beriman, dan memang demikianlah keberuntungan sejati, maka dahulukanlah Allah Ta‟ala. Jika kalian menganggap hal-hal ini sebagai sampah dan tidak berguna, maka ingatlah, kalian akan dinyatakan sebagai orang-orang yang memperolok-olok Allah Ta‟ala.” (Malfuzat, jld. I, hlm. 193-194). (hlm 195-197) 89 DOA “Aku menyatakan dengan sebenarnya, bahwa jika pekikan (rintihan) kita begitu sendunya, maka hal itu akan membangkitkan rahmat dan karunia-Nya serta lalu menariknya. Berdasarkan pengalamanku mengatakan, bahwa saya merasakan bagaimana saya menarik karunia dan rahmat Allah Ta‟ala yang merupakan jawaban dari doa itu. Bahkan aku mengatakan bahwa saya telah melihatnya. Ya, para ahli pikir (filsuf) zaman kini yang memiliki pikiran yang kelam, tidak dapat merasakan maupun menyaksikannya, maka shadaqat (kebenaran) ini tidak dapat dihapuskan dari dunia ini, terlebih-lebih dalam keadaan dimana aku bersedia setiap saat untuk membuktikan [masalah] keterkabulan doa ini.” (Malfuzāt, jld. I, hlm. 198). (hlm 198-201) DUA MACAM PERBEKALAN “Sesungguhnya perbekalan itu ada dua macam, yang satu berhubungan dengan ujian-ujian, dan yang lain berhubungan dengan manusia sebagai makhluk pilihan Tuhan. Yang berhubunagn dengan ujian-ujian menyebabkan manusia jauh dari Tuhan, sampai-sampai menyebabkan hancur. Inilah kenyataan yang kepadanya Tuhan telah berfirman: (“janganlah hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu” – Al-Munāfiqun, 10). Perbekalan yang lain adalah yang dianugerahkan Tuhan dengan keridhaan-Nya. Tuhan sendiri yang menjadi Penjaga terhadap orang semacam itu, dan apapun yang mereka miliki, mereka anggap itu sebagai untuk Tuhan (milik Tuhan), dan mereka membuktikannya dengan amal perbuatan. Perhatikanlah para sahabat Rasulullah saw., Hadhrat Abubakar Shiddiq adalah yang pertama kali membungkus tubuh beliau dengan selimut (karena beliau telah memberikan semuanya kepada Rasulullah saw. karena Tuhan), maka betapa besar ganjaran yang diberikan Tuhan kepada beliau. Beliaulah yang pertama kali menjadi Khalifah. Ini betul-betul kebajikan yang sempurna serta patut dipuji. Dan harus diingat, bahwa hanya apa-apa yang kita belanjakan karena Tuhan sajalah yang menjadi sumber kepuasan dan kebahagiaan ruhani.” (Malfuzat, jld I, hlm. 202). (hlm 203-204) KESEMPURNAAN HENDAKNYA MENULAR 90 “Kalian harus ingat bahwa kesempurnaan hendaknya seperti penyakit menular. Orang-orang mukmin yang telah diperintahkan untuk menjadikan tingkah-laku dan sikapnya begitu sempurna sehingga dapat menjadi menular, karena tidak ada satu pun – betapa pun baiknya – yang dapat membuat orang mau mengikutinya atau melakukannya kecuali hal itu memiliki cahaya dan daya tarik. Kecemerlangan bendalah yang menjadikannya menarik, dan daya tarik itulah yang menarik orang kepadanya. Bagian yang baik dari satu bendalah yang mendorong orang untuk melakukan hal yang sama.” (Malfuzāt, jld. I, hlm. 204). RAMADHAN BULAN PENUH BERKAT Pada tanggal 15 Januari 1981 Hadhrat Masih Mau‟ud a.s. bersabda: “Bulan Ramadhan adalah bulan yang penuh berkat (mubarak) [untuk banyak memanjatkan] doa-doa” (Malfuzat, jld I. hlm. 205). (hlm 205-207) TAKABBUR & PENYEMBAH BERHALA Orang-orang dengan bebas dapat berbicara pada Hadhrat Masih Mau‟ud a.s., mengenai hal itu beliau a.s. bersabda: ”Bukanlah cara hidupku agar aku duduk dengan sikap dingin dan menyeramkan, sehingga orang-orang menjadi takut seperti takut kepada binatang buas. Dan aku sangat benci untuk menjadi berhala. Aku justru datang untuk membasmi penyembahan berhala, bukannya untuk menjadi berhala sehingga orang-orang menyembahku. Allah Ta‟ala mengetahui bahwa aku sedikitpun tidak melebihkan diriku atas diri orang-orang lain, dan [melakukan] hal-hal yang menimbulkan kemarahan Allah, lalu menciptakan suatu perubahan hakiki dan melangkah maju ke depan serta menerapkan ketakwaan. Dalam hal ini pun Allah melimpahkan kasih-sayang-Nya, yakni tertibkanlah oleh kalian kebiasaan-kebiasaan manusiawi sehingga menjadi nilai-nilai yang beradab. Jangan kalian murka. Ambillah sikap ……. dan merendahkan diri. Beriringan dengan perbaikan akhlak berikan jugalah sedekah sesuai dengan kemampuan yang dimiliki: (Dan mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang miskin, anak yatim dan orang yang ditawan. [Mereka berkata], “Sesungguhnya kami memberi makanan kepada kamu hanyalah untuk mengharapkan keridhaan Allah, kami tidak menghendaki balasan dari kamu dan tidak pula terima kasih. Sesungguhnya Kami takut akan (azab) Tuhan kami pada 91 suatu hari yang (di hari itu) orang-orang bermuka masam penuh kesulitan” – Ad-Dahr, 9-11). Ringkasnya, berdoalah dan bertaubatlah serta selalu memberi sedekah supaya Allah Ta‟ala melimpahkan karunia dan anugerah-Nya kepada kalian.” (Malfuzat, jld. I, hlm. 208). PEMBENAHAN AKHLAK ”Keadaan akhlak hendaknya baik sedemikian rupa, yakni dengan niat baik memberi penjelasan kepada seseorang serta memberitahukan kesalahannya pada waktu yang tepat, sehingga hal itu tidak terasa buruk olehnya. Janganlah melihat seseorang dengan pandangan yang meremehkan. Jangan menyakiti hati orang. Jangan menimbulkan perselisihan dan pertengkaran di antara sesama di dalam Jemaat. Jangan memandang saudara yang miskin secara ruhani dengan pandangan hina. Jangan membanggakan diri atas dasar harta kekayaan dan silsilah keturunan yang mulia, lalu memandang orang-orang lain secara hina, sebab yang mulia di sisi Allah Ta‟ala adalah orang mutaki (bertakwa), Dia berfirman: (“Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu disisi Allah ialah orang yang paling takwa di antara kamu” – Al-Hujurāt, 14). Bersikaplah dengan akhlak sempurna kepada orang-orang lain. Yang memperlihatkan akhlak buruk, itu pun tidak baik. Orang-orang hanya mencari-cari alasan untuk menyeret Jemaat kita ke pengadilan. Bagi orang-orang lain terdapat sebuah wabah pes, sedangkan bagi Jemaat kita terdapat dua wabah pes. Jika ada satu orang saja dari Jemaat kita yang berbuat buruk maka akibat ulah satu orang tersebut Jemaat ini akan mengalami cercaan. Oleh karena itu tingkatkanlah kebijakan, kelembutan hati dan sikap memaafkan. Hal-hal bodoh yang dilontarkan oleh orang-orang jahil tanggapilah dengan kata-kata yang sungguh-sungguh dan berisi keselamatan. Janganlah membalas hal-hal yang nonsense dengan hal-hal yang nonsens juga.” (Malfuzat, jld.I, hlm. 208209). KETIDAK ABADIAN DUNIA “Dunia adalah tempat yang fana (tidak abadi), akhirnya akan mati juga. Kebahagiaan terdapat pada perkara-perkara dīn (agama/keruhanian). Tujuan yang sebenarnya adalah dīn.” (Malfuzat, jld. I, hlm. 209). ARTI KATA RAMADHAN “Ramadh artinya panas matahari, di dalam bulan Ramadhan karena manusia bersabar dari makan, minum dan segenap kelezatan lainnya. Arti kedua, ia menimbulkan suatu panas dan gejolak terhadap perintah-perintah Allah Ta‟ala, dengan menyatunya panas dan suhu tinggi ruhaniah maupun jasmaniahv terjadilah Ramadhan. Para ahli bahasa mengatakan, bahwa dikarenakan [bulan] ini datang pada bulan (musim) panas maka ia dikatakan Ramadhan. Menurutku hal itu tidak benar, sebab [bulan suci] ini ini 92 tidak khusus untuk [orang-orang/negeri] Arab. Yang dimaksud dengan Ramadh ruhaniah adalah: minat, kecenderungan tinggi serta panas diniyah (keagamaan). Ramadh pun artinya sesuatu yang darinya batu bisa menjadi panas.” (Malfuzat, jld I, hlm. 209-210). KEGEMBIRAAN DUNIAWI Pada tgl. 30 Januari 1898 Hadhrat Masih Mau‟ud a.s. bersabda: I)Lima (??) dan kegembiraan-kegembiraan duniawi pada hakikatnya tidak lebih dari I)el-Incu . wilt Ifibitran.(??) sebab semua itu bersifat sementara dan hanya untuk beberapa hari saja. Akibat kegembiraan-kegembiraan itu manusia menjadi jauh dari Tuhan. Namun kelezatan yang ada di dalam pandangan Tuhan adalah sesuatu yang tidak pernah dilihat oleh mata, tidak pernah didengar oleh telinga, dan tidak pernah oleh suatu indera lainnya, ia adalah sesuatu yang bakal tampil keluar. Setiap saat darinya akan timbul ketentraman baru yang tidak pernah terlihat sebelumnya. Manusia memiliki hubungan yang istimewa dengan Allah Ta‟ala. Orang-orang yang memiliki irfan (makrifat/pengetahuan), mereka telah melakukan perbincangan mendalam tentang hubungan pasangan antara basyariyah (kemanusiaan) dengan Rabbubiyyah (Ketuhanan). Jika sebongkah batu dilekatkan pada mulut bayi, apakah ada orang bijak yang beranggapan bahwa dari batu itu akan keluar air susu, dan sang bayi akan kenyang? Sama sekali tidak! Demikian pula manusia tidak akan menjatuhkan diri di hadapan Singgasana Allah Ta‟ala, ruhnya tidak akan luluh dan tidak menciptakan serta tidak dapat menciptakan hubungan dengan Rabbubiyyah, selama dia tidak meluluhkan dirinya atau menyerupa9 mati -- sebab Rabbubiyyah menghendaki hal itu -- maka selama itu pula dia tidak akan dapat meraih air susu ruhani. Di dalam pol-nictimin (……??) tercakup juga segala kelezatan makanan dan minuman. Akibatnya lihatlah, tidak lain hanyalah kekenyangan (kenyang). Bersikap angkuh (merasa bangga) atas perhiasan, kendaraan, rumah-rumah bagus, atau sombong atas kekuasaan maupun keluarga, semuanya itu adalah sesuatu yang pada akhirnya akan menjadi semacam kehinaan yang menimbulkan kepedihan dan membuat perasaan menjadi sedih serta tidak tentram. Di dalam hiburan pun tercakup juga di dalamnya kecintaan terhadap perempuanperempuan. Manusia pergi kepada perempuan, tetapi tidak lama kemudian kecintaan dan kelezatan itu berubah menjadi kebosanan. Namun jika semua itu dilakukan setelah terjalin kecintaan hakiki dengan Allah Ta‟ala, maka yang akan diperoleh adalah ketentraman demi ketentraman, serta kelezatan demi kelezatan sejati menjadi terbuka dan semakin masuk ke dalam suatu ketentraman yang abadi serta tidak akan punah. Di situ tidak lain yang ada hanya kesucian dan kekudusan. Itulah kelezatan yang terdapat dalam Allah. Berusahalah untuk mendapatkannya, dan dapatkanlah hal itu hanya dari-Nya, sebab hanya itulah kelezatan yang hakiki.” (Malfuzat, jld. I, hlm. 211-212). AL-QURAN KARIM UNTUK SEMUA ORANG ”Kalian harus ingat, bahwa Al-Quran Karim memiliki dua bagian, bahkan tiga bagian. Satu 93 bagian adalah sedemikian rupa, sehingga orang awam yang tidak terpelajar pun dapat memahami. Bagian yang kedua dapat dipahami oleh orang-orang yang agak terpelajar – mereka bukannya tidak terpelajar sama sekali, tetapi juga tidak dapat dikatakan memiliki bakat terpelajar. Bagian ketiga adalah bagian orang-orang yang sangat terpelajar, dengan kata lain mereka yang disebut para filsuf. Inilah kekhususan Al-Quran dan dia menyampaikan ajarannya kepada ketiga jenis manusia tersebut. Satu dan juga mengajarkan kepada orang yang yang tak terpelajar, orang yang memiliki sedikit pemahaman dan pengetahuan, dan kepada para filsuf yang sangat berbakat. Tentu saja bagian yang menakjubkan ini adsalah milik Al-Quran dan bukan milik Kitab-kitab lain, karena setiap jenis manusia mendapat berkat sesuai dengan kemampuan dengan dirinya”. (Malfuzāt, jld I, hlm. 212). (hlm 213-214) CAHAYA PENGETAHUAN Sebagaimana Tuhan menghendaki agar umat manusia hendaknya bertakwa pada-Nya, Dia juga menghendaki agar mereka hendaknya memperoleh cahaya pengetahuan, dan melalui pengetahuan ini mereka hendaknya mencapai ketinggian ruhani. Pengetahuan hakiki tersebut tidak hanya menghasilkan jenis takwa yang benar saja, dia juga menimbulkan keinginan untuk beribadah kepada Tuhan. Ada sebagian orang malang yang menyibukkan diri dalam memperoleh pengetahuan, sehingga menyimpang dari pemahaman hukum takdir. Ada sebagian lagi yang percaya kepada takdir sedemikian rupa, sehingga mereka menolak untuk memperoleh (mencari) pengetahuan. Tetapi Al-Quran Karim telah memerintahkan manusia dalam kedua cara itu, dan perintah yang diberikan Al-Quran karim adalah yang paling sempurna. Al-Quran menginginkan manusia untuk mendapatkan pengetahuan yang benar karena dapat melahirkan takwa kepada Tuhan. Dan semakin seorang manusia maju menuju Tuhan, kesadaran bertambah, maka dia mulai semakin memahami kebesaran Tuhan dan semakin besar kecintaannya kepada-Nya. Hal itu mengajar manusia untuk menerima hukum takdir, sehingga menimbulkan keyakinan kepada Tuhan, dan manusia tersebut menjadi sepenuhnya mengerti makna dari tawakal kepada Tuhan, yang memberinya kepuasan dan kebahagiaan, dan itulah tujuan sasaran sebenarnya dari najat (keselamatan).” (Malfuzāt, jld. I, hlm. 215). (hlm 216-222) PEMBELAAN DENGAN PENA 94 “Dalam jaman ini, dengan pedang pena-lah kita diserang, dan tombak-tombak tuduhan diluncurkan pada kita. Kita hendaknya juga jangan membiarkan kekuatan kita terbuang percuma. Kita harus mengunakan pena kita untuk membuktikan kebenaran agama Tuhan dan kenabian Nabi terpilihnya-Nya saw.. Lebih-lebih ini adalah tugas kita untuk melakukannya, karena kita hidup di bawah sebuah pemerintah yang memberikan kebebasan beragama kepada setiap orang. Mereka yang tidak mengerti prinsip bersyukur (berterimakasih) kepada seseorang yang melakukan kebajikan kepada orang lain, mereka menuduhku karena perkataanku yang seperti ini, yang memuji pemerintah [Inggris]. Tuhan-ku mengetahui bahwa aku tidak dapat bermulutmanis pada seseorang di dunia ini. Aku bukan orang semacam itu. Tentu saja tertanam dalam sifatku, bahwa aku harus menyampaikan terimakasih kepada orang yang berbuat baik. Hanya semata-mata karunia Tuhan maka Dia tidak menjadikanku orang yang memberontak dan tidak tahu terimakasih. Aku menghargai kebaikan yang dilakukan pemerintah Inggris, dan aku menganggapnya sebagai karunia Tuhan, karena Dia telah menolong kita dari kekuasaan tirani Sikh, dan mengirim orang-orang (bangsa) lain dari jarak ribuan mil untuk mengurus Negara kita. Jika bukan karena hal itu masalahnya, kami tidak akan dapat menjawab tuduhan-tuduhan [dari non-Muslim terhadap Wujud Tuhan dan kenabian Nabi Suci Muhammad saw..” (Malfuzāt, jld I, hlm. 223). (hlm.224-234) SEBUAH DOA HADHRAT MASIH MAU‟UD A.S. ”Wahai, Rabbul „ālamin, aku tidak mampu mensyukuri ihsan-ihsan (kebaikan-kebaikan) Engkau. Engkau Maha Pengasih, Maha Penyayang, dan tidaka terhitung banyaknya ihsan Engkau atas diriku. Ampunilah dosa-dosaku supaya aku tidak binasa. Tanamkanlah kecintaan yang murni terhadap engkau di dalam kalbuku supaya ku dapat meraih kehidupan, dan selubungilah aku, dan buatlah aku melakukan amal-amal yang darinya Engkau jadi ridha. Dengan sifat Engkau Yang Maha Penyayang, aku memohon perlindungan Engkau supaya kemurkaan Engkau tidak menimpa diriku. Kasihanilah aku dan selamatkanlah aku dari bala bencana di dunia dan di akhirat, sebab segala karunia dan anugerah hanyalah milik Engkau. Amiin tsumma amiin‖ (Malfuzat, jld. I, hlm. 235). (hlm 236-237) MIMPI HARTA DAN SALAT „ID 95 ”Di dalam ilmu ta‟bir rukya (mimpi), makna harta maknanya hati. Oleh karena itu bersedekah berarti mengorbankan nyawa. Pada waktu bersedekah betapa manusia memperlihatkan ketulusan dan keteguhan. Dan sebenarnya sekedar berucap saja tidak ada maknanya (manfaatnya) selama belum membuktikan suatu perkara secara amalan. Hal ini dinamakan shadaqah, karena ia memang memperlihatkan tanda para shādiqīn (orang-orang yang benar/tulus).... Mengenai ta'bir mimpi Munshi Rustam Ali, seorang court inspector di Delhi, Hadhrat Masih Mau'ud a.s. bersabda, “Mengerjakan salat „Id di dalam kota berarti kesuksesan besar.” (Malfuzat, jld. I, hlm. 238). (hlm. 238-241) PUNCAK TAUHID Salah satu jenis Tauhid juga adalah, dalam kecintaan terhadap Allah Ta‟ala melenyapkan keinginan-keinginan diri sendiri serta meleburkan wujud sendiri ke dalam keagungan-Nya” (Malfuzat, jld. I, hlm. 241). (hlm.242-257) MENYINGKIRKAN HALANGAN “Kalian harus ingat, bahwa jika kalian secara teguh mematuhi perintah-perintah Tuhan, dan jika kalian mulai mengkhidmati agama-Nya, maka Tuhan Sendiri yang akan menyingkirkan semua halangan yang datang kepada kalian, dan kalian akan mendapatkan kesusksesan (berhasilan) yang diharapkan. Bukankah kalian pernah menyaksikan petani yang me nyingkirkan semua tumbuhan yang tidak bermanfaat dari ladangnya, dan menjadikan ladangnya indah dengan pohon dan pagar yang cantik? Dia melindungi ladangnya dengan baik dan menjaganya terhadap segala sesuatu yang akan merusakkannya. Namun demikian, pohon-pohon dan tanaman yang tidak menghasilkan buah dan membusuk serta kering, akhirnya tidak akan dipelihara dan mungkin akan menjadi makanan ternak, atau seseorang mungkin akan menebangnya dan memanfaatkannya menjadi kayu bakar. Kalian juga harus ingat, bahwa jika kalian termasuk ke dalam orang-orang yang tulus di 96 pandangan Tuhan, tak seorangpun yang akan dapat menyakiti kalian. Tetapi apabila kalian tidak berubah menjadi lebih baik, dan kalian tidak berjanji dengan teguh untuk patuh kepada Tuhan maka Dia tidak akan peduli pada kalian. Apakah ada seseorang yang peduli atas ribuan domba dan kambing yang yang disembelih setiap hari? Sedangkan jika seorang manusia dibunuh, penyelidikan seksama akan dilakukan atasnya. Jika kalian tidak lebih baik daripada binatang-binatang tidak berguna dan cercboh, kalian akan diperlakukan dengan cara yang sama. Kalian harus berusaha dengan segenap kemampuan kalian agar termasuk di dalam daftar orang-orang yang mencintai Tuhan, sehingga tidak ada penderitaan dan kesusahan yang dapat menimpa kalian, karena tidak ada yang terjadi di bumi tanpa izin dari Tuhan. Kalian harus menyingkirkan setiap sumber perselisihan, pertikaian dan permusuhan. Sekarang ini adalah saatnya kalian harus menyampingkan hal-hal yang kecil dan mulai menyibukkan diri kalian dengan hal-hal yang besar dan penting.” (Malfuzat, jld. I, hlm.258). (hlm 258-364) ALLAH TA‟ALA JUGA BERKATA-KATA KEPADA ORANG-ORANG SELAIN NABI ”…Sebelum peristiwa itu pun Hadhrat Sarah r.a. suatu kali telah mengusir Hadhrat Hajrah r.a. dari rumah. Pada saat itu pun malaikat Allah Ta‟ala telah berkata-kata dengan beliau, sebab selain dengan para nabi, kepada orang-orang yang bukan-nabi pun Allah Ta‟ala berkata-kata dengan perantaraan malaikat. Demikianlah Allah Ta‟ala dua kali berkata-kata dengan Hadhrat Hajrah r.a.” (Malfuzat, jld. I, hlm.264). TAKUT KEPADA ALLAH TA‟ALA “Oleh karena itu kalian jangan hidup tanpa rasa takut. Selalulah istighfar dan banyak berdoa serta ciptakanlah suatu perubahan suci. Sekarang bukan waktunya lagi untuk lalai. Jiwa memberi ketentraman palsu kepada manusia bahwa umur kalian akan panjang. Pahamilah bahwa maut (kematian) sudah dekat. Wujud Allah adalah nyata. Orang yang secara aniaya mengalihkan hakhak Allah kepada pihak lain, dia akan mengalami kematian yang hina” (Malfuzat, jld. I, hlm. 265). (hlm. 265-266) HAMBA-HAMBA YANG SALIH 97 “Untuk itu bertaubatlah sebelum pintu taubat tertutup setelah kedatangan azab Ilahi. Orangorang takut sedemikian rupa terhadap hukum-hukum dunia, tetapi apa sebabnya mereka tidak takut terhadap hukum-hukum Allah Ta‟ala? Apabila petaka telah datang maka terpaksa harus menanggungnya. Hendaknya setiap orang berusaha bangun salat tahajjud, dan bacalah qunut dalam salat-salat lima waktu. Bertaubatlah dari setiap hal yang mendatangkan kemurkaan Allah. Yang dimaksud dengan taubat adalah meninggalkan segenap perbuatan buruk. Allah Ta‟ala tidak peduli terhadap siapa pun, kecuali kepada hmba-hamba-Nya yang salih. Ciptakanlah kecintaan dan persaudaraan di antara sesama, dan tinggalkanlaha kebuasan serta pertentangan. Sama sekali hindari diri kalian dari segala macam olok-olokkan dan sikap mempermain-mainkan, sebab sikap memperolok-olokkan membaw ahati manusia sangat jauh dari kebenaran. Bersikaplah dengan penuh hormat terhadap satu sama lain. Setiap orang hendaknya mendahulukan ketenteraman saudaranya daripada ketenteraman diri sendiri. Ciptakanlah suatu perdamaian sejati dengan Allah Ta‟ala, dan kembalilah kalian ke dalam ketaatan terhadap-Nya. Kemurkaan Allah Ta‟ala sedang melanda bumi, dan yang selamat dari itu hanyalah orang-orang yang secara sempurna telah bertaubat dari seluruh dosa mereka, lalu hadirlah di hadapan-Nya. ngatlah oleh kalian. Jika kalian mengamalkan firman-firman Allah Ta‟ala, dan kalian berusaha gigih dalam menyokong agama-Nya, maka Allah Ta‟ala akan menjauhkan segenap hambatan, dan kalian kan berhasil. Tidakkah kalian melihat bahwa seorang petani demi tumbuhtumbuhan yang bagus dia mencabut dan membuang semak-semak yang tidak berguna, dan petani itu menatap sawah-ladangnya dengan pohon-pohon yang indah serta tanaman-tanaman yang berbuah dan menjaganya. Dia melindungi sawah-ladangnya dari segala macam kerusakan dan kemudaratan. Namun pohon dan tumbuh-tumbuhan yang tidak menghasilkan buah dan membusuk serta mulai mengering, maka pemiliknya tidak akan peduli jika ada hewan tenak yang memakannya, atau ada tukang kayu yang memotongnya lalu memasukkannya ke dalam tungku api. Jadi, seperti itu pulalah kalian harus ingat. Jika kalian dinyatakan shadiq (benar) di hadapan Allah Ta‟ala maka penentangan yang berasal dari siapa pun tidak akan membuat kalian susah. Namun jika kalian tidak membenahi kondisi kalian, dan kalian tidak mengadakan suatu perjanjian yang benar untuk mentaati Allah Ta‟ala maka Allah Ta‟ala tidak akan peduli terhadap siapa pun. Ribuan domba dan kambiung setiap hari disembelih, namun tidak ada yang kasihan terhadap hewan-hewan itu. Tetapi kalau ada satu orang saja yang dibunuh, betapa hebatnya penyelidikan dan pemeriksaan yang dilakukan. Jadi, jika kalian menjadikan diir kalian tidak berguna dan tidak peduli seperti binatang-binatang buas, maka demikian juga keadaan yang akan kalian alami. Hendaknya kalian masuk ke dalam kalangan orang-orang mulia Allah, supaya musibah atau malapetaka manapun tidak berani menyentuh kalian. Sebab tidak ada suatu hal yang berlangsung di dunia ini tanpa izin dari Allah Ta‟ala. Hapuskanlah perselisihan, emosi dan permusuhan antara sesama, sebab sekarang adalah waktunya bagi kalian untuk mengetepikan (mengenyampingkan) perkara-perkara kecil itu, lalu menyibukkan diri dalam pekerjaanpekerjaan besar dan luar biasa.” (Malfuzat, jld. I, hlm. 266-268). MIMPI MENCABUT GIGI 98 Pada tanggal 1 Agustus 1898 setelah salat Subuh, Hadhrat Masih Mau‟ud a.s. bersabda: “Aku melihat di dalam mimpi ada bagian gigi geraham yang telah rusak. Saya mencabutnya dari dalam mulut dan gigi itu sangat bersih.” Kemudian beliau a.s. bersabda: “Di dalam mimpi, [jika] gigi dicabut dengan tangan, hal itu bermakna kabar duka, jika tidak, kabar suka." Kemudian Muhammad Shadiq memperdengarkan dua mimpinya. Yang pertama, menemukan kain-kain cahaya, dan yang kedua menulis yang indah dengan tangan artikel yang diberikan oleh Hadhrat Masih Mau‟ud a.s.. Hal itu dita‟birkan oleh beliau a.s. sebagai suatu kesuksesan (keberhasilan). (Malfuzat, jld. I, hlm. 269). DUA MACAM DUKUNGAN ILAHI Salah satu dukungan Ilahi adalah sangat jelas dan tampil secara nyata, dan orang-orang mukmin dapat melihatnya. Namun sebagian dukungan itu terselubung sedemikian rupa, sehingga dalam pemahamanku tidak ada suatu kaidah pun yang dapat inenunjukkannya kepada orang-orang secara umum. Misalnya adalah tulisan bahasa Arab. Aku benar-benar mengetahui sejauh mana aku menguasai bahasa Arab. Namun, ketika aku mulai menulis maka satu persatu kata-kata yang tepat dan sesuai itu diilhamkan kepadaku. Sekarang cobalah katakana, bagaimana caranya aku dapat memberitahukan dukungan Ilahi ini, yakni mengapa Allah menanamkan kata-kata itu ke dalam kalbu? Dan Dan lihatlah di dalam buku Ayyāmu Shuluh ini banyak sekali artikel muncul yang tidak ada sedikit pun di dalam tulisan-tulisanku sebelumnya. Dan Allah Ta‟ala benar-benar mengetahui bahwa artikel-artikel itu tidak pernah sebelumnya terlintas di dalam pikiranku. Namun sekarang artikel-artikel itu muncul di dalam kalbu sedemikian rupa, sehingga tidak dapat aku pahami selama belum adanya dukungan Ilahi yang membuatnya demikian. Dan ini merupakan karunia Allah Ta‟ala yang Dia berikan kepada hamba-hamba-Nya yang Dia maksudkan untuk suatu penugasan tertentu. Ini juga suatu hal yang benar, bahwa untuk penulisan buku-buku, selama tidak ada kesehatan dan waktu yang luang maka pekerjaan itu tidak dapat berjalan. Dan karunia Allah Ta‟ala ini diraih oleh orang-orang yang ditetapkan oleh-Nya untuk suatu penugasan (pekerjaan) tertentu. Kemudian barulah segenap sarana yang diperlukan untuk penulisan tersebut terkumpul dengan sertamerta” (Malfuzat, jld. I, hlm. 269-270). FILSAFAT KONTEMPORER “Pada petang hari, tgl. 23 Agustus 1898, Hadhrat Masih Mau‟ud a.s. bertanya, “Mengapa filsafat yang ada sekarang (kontemporer) ini kebanyakan menimbulkan hal-hal yang bertentangan dengan agama?” Menanggapi hal itu Master Ghulam Muhammad Sialkoti mengatakan, “Pada hakikatnya, jiwa-jiwa yang sejak semula memang sudah cenderung kepada hal-hal yang bertentangan dengan agama, atas merekalah [filsafat kontemporer] itu memberikan dampak (pengaruh). Jika tidak, sebenarnya kebanyakan pendeta-pendeta besar yang berpembawaan sebagai filsuf sangat kental dengan dalam agama mereka” Atas hal itu Hadhrat Masih Mau‟ud a.s. bersabda: “Setelah menelaah hal-hal tersebut, dengan 99 sangat disayangkan pikiran beralih ke arah lain, bahwa di satu sisi para pendeta ini mengajarkan filsafat serta mantik (logika) di Perguruan-perguruan Tinggi dan di sekolah-sekolah, sedangkan di sisi lain mereka mempercayai bahwa Al-Masih adalah anak Tuhan dan Tuhan. Dan mereka menganut akidah Trinitas dan lain sebagainya yang tidak dapat kita pahami. Bagaimana mungkin [perkara-perkara] itu mereka sesuaikan dengan filsafat?” (Malfuzāt, jld. I, hlm. 27027l). ASAS FILSAFAT KRISTEN TIDAK DIDUKUNG OLEH METODE INDUKSI “Landasan mantik (logika) Barat adalah manthiq istiqra‘i (logika induktif = llogika yang bertolak dari penarikan kesimpulan berdasarkan kaidah khusus untuk menentukan kaidah yang umum – pent.), lalu manthiq istiqa‘i (logika induksi) yang bagaimana ini, bahwa Jesus adalah anak tuhan? Bentuk apa kiranya yang ia timbulkan? Rupanya demikian, misalnya orang-orang yang di dalam diri mereka memiliki potensipotensi semacam itu, mereka adalah tuhan atau anak tuhan. Sedangkan di dalam diri AlMasih terdapat potensi-potensi tsb., oleh karenanya beliau pun adalah tuhan atau anak tuhan. Dengan [konsep] ini pasti akan timbul banyak [tuhan atau anak tuhan] yang mutlak tidak mungkin. Aku, apabila menelaah perkara ini, semakin menjadi heran. Entahlah, mengapa orang-orang ini tidak berpikir?” (Malfuzāt, jld. I, hlm. 271). (hlm 272-274) LINGKUP KEHIDUPAN & WAWASAN MIMPI Pada tanggal 26 September 1898, setelah salat Subuh, Hadhrat Masih Mau‟ud a.s. bersabda: “Sekarang kondisiku sudah sedemikian rupa, sehingga jika tampak suatu mimpi maka aku tidak mengartikannya secara khusus untuk pribadi atau diriku sendiri, melainkan aku pahami hal itu sebagai sesuatu yang berkaitan dengan Islam dan Jemaatku. Dan dengan bersumpah aku dapat mengatakan bahwa aku sedikit pun tidak mempedulikan diriku. Malam tadi aku melihat mimpi meminum syarbat (jus) dalam sebuah mangkuk besar. Kelezatannya sedemikian rupa, sehingga perasaanku tidak sanggup menanggungnya, namun demikian tetap saja meminumnya. Dan di dalam hatiku pun sampai timbul pikiran bahwa banyak sekali saya buang air kecil, tetapi mengapa aku meminum syarbat yang begitu manis dan begitu banyak? Tetapi tetap saja aku meneguk mangkuk itu. Ada pun yang dimaksud dengan syarbat adalah kesuksesan, dan hal itu merupakan isyarah kabar suka tentang kesuksesan Islam dan Jemaat kita. Sebenarnya, sejauh mana keluasn hubungan-hubungan seorang manusia, seluas itu pulalah wawasan mimpinya, sesuai hubunganhubungan itu. Misalnya, jika ada seseorang di Kalkuta, yang kita sendiri tidak kenal maka tidak akan ada mimpi yang berkaitan dengan orang itu. Demikianlah, beberapa tahun lalu, ketika hubunganku dengan beberapa orang saja, maka 100 pada waktu itu mimpi yang datang pun hanya sebatas mereka saja. Sedangkan kini hubungan sudah dengan ribuan orang.” (Malfuzat, jld. I, hlm. 275-276). (hlm 277-284) PENTINGNYA MEMPELAJARI BAHASA ARAB Aku hendak menegaskan kepada para anggota Jemaatku, bahwa mereka hendaknya mempelajari bahasa Arab, karena tanpa bahasa Arab seseorang tidak dapat menikmati Al-Quran Karim. Untuk mengetahui terjemahan Al-Quran Karim, seseorang juga harus mencoba mempelajari sedikit bahasa Arab. Akhir-akhir ini berbagai macam cara telah dikemuk ……….. “Sejak diwajibkan atas setiap Muslim bahwa dia harus mempelajari Al-Quran Karim, bagaimana mungkin hal itu berarti seseorang harus menghabiskan seluruh hidupnya mempelajari bahasa Inggris dan bahasa-bahasa lainnya dengan mengorbankan bahasa Arab?” (Malfuzāt, jld I, hlm. 285). (hlm 285-287) HUBUNGAN RUH DENGAN KUBUR Pada tanggal 15 Januari 1899, Maulvi Quthbuddin Sahib bertanya: “Dikatakan bahwa ruh mempunyai hubungan dengan kubur. Bagaimana sebenarnya hal itu?” Hadhrat Masih Mau‟ud a.s. menjelaskan: Sebenarnya yang dipaparkan dalam hadits-hadits Rasulullah saw. mengenai hubungan ruh dengan kubur, sungguh benar dan tepat. Ya, ini memang suatu perkara lain lagi, yakni apa hakikat dan makna hubungan itu? Yaitu perkara yang tidak perlu bagi kita untuk mengetahuinya. Namun demikian bisa saja merupakan kewajiban kita untuk membuktikannya, bahwa memang ada hubungan semacam itu antara kubur dan arwah (ruh-ruh), serta tidak mutlak di situ timbul ketidakmungkinan secara akal. Dan untuk itu kita mendapatkan sebuah contoh di dalam hukum kudrat Allah Ta‟ala. Pada hakikatnya perkara ini adalah semacam berikut ini, yakni sebagaimana kita menyaksikan bahwa kebenaran dan hakikat beberapa perkara hanya dapat diketahui melalui lidah saja. Dengan lebih memperluasnya aku mengatakan bahwa Allah Ta‟ala telah menyediakan berbagai cara untuk mengetahui hakikat benda-benda. Beberapa sifat (khasiat) benda dapat diketahui melalui mata, dan beberapa kebenaran hanya dapat diketahui melalui telinga, dan beberapa lainnya ada yang diketahui melalui beberapa indera lainnya. Dan banyak sekali kebenaran yang diketahui melalui potensi (kemampuan) pusat yakni kalbu (hati). Ringkasnya, untuk mengetahui kebenaran, Allah Ta‟ala telah menetapkan berbagai cara dan sarana. Misalnya, jika gula-gula (permen) diletakkan di depan telinga maka telinga tidak dapat 101 mengetahui rasanya dan tidak dapat pula memberitahukan warnanya. Demikian pula jika diletakkan di depan mata maka mata sedikit pun tidak dapat memberitahukan tentang rasanya. Dari kenyataan tersebut diketahui dengan jelas, bahwa untuk mengetahui hakikat-hakikat benda (obyek) terdapat berbagai potensi (kemampuan) dan kekuatan. Sekarang mengenai mata, jika ingin mengetahui bagaimana rasa suatu benda, lalu benda tersebut diletakkan di depan mata, maka apakah kita dapat mengatakan bahwa tidak ada rasa apa-apa pada benda tersebut? Atau, ada suara, lalu telinga ditutup dan lidah digunakan untuk mengetahuinya, maka sampai kapan pun hal itu tidaklah mungkin. Orang-orang yang menjunjung filsafat pada masa sekarang mereka sangat terkecoh, yakni mereka mengingkari suatu kebenaran karena ketidaktahuan mereka. Dalam pekerjaan seharihari kita menyaksikan bahwa semua pekerjaan tidak dillakukan oleh satu orang, melainkan pekerjaan-pekerjaan itu telah ditetapkan secara terpisah. Tukang air bekerja membawa air, tukang cuci bertugar mencuci pakaian, tukang masak bertugas memasak makanan. Ringkasnya, pembagian tugas pekerjaan ditemukan juga dalam sistim yang dibentuk sendiri oleh manusia. Jadi ingatlah hal mendasar ini, yakni berbagai potensi (kemampuan) memiliki berbagai macam tugas. Manusia lahir membawa banyak macam potensi (kemampuan), dan untuk kesempurnaannya berbagai macam tugas telah diserahkan kepada masing-masing potensi. Filsuf bodoh ingin mengambil keputusan tentang segala hal melalui akalnya yang tidak sempurna, padahal ini sungguh keliru. Hal-hal yang berhubungan dengan sejarah hanya dapat dibuktikan melalui sejarah, dan sifat-sifat segenap benda hanya dapat diketahui melalui pengalaman (percobaan) yang benar. Hal-hal yang bersifat pemikiran dapat diketahui melalui akal. Demikianlah terdapat sarana-sarana yang berbeda untuk berbagai macam hal. Manusia akan terperangkap dalam kekeliruan memahami hakikat-hakikat berbagai hal apabila hanya satu benda saja yang ia tetapkan sebagai sarana untuk kesempurnaan hal-hal tersebut. Aku rasa tidak perlu berbicara banyak mengenai kebenaran asas ini, sebab dengan berpikir sedikit saja pun hal ini langsung dapat dimengerti. Dan dalam kehidupan sehari-hari kita menyaksikan kebenaran hal-hal tersebut. Jadi, tatkala ruh itu terpisah atau pun memiliki hubungan dengan tubuh, maka hal- hal-hal itu tidak dapat diputuskan melalui akal, sebab jika memang dapat diputuskan melalui akal, tentu para filsuf dan orang-orang bijak tidak akan terjerumus ke dalam kesesatan. Demikian pula halnya hubungan ruh-ruh dengan kubur. Itu merupakan suatu kebenaran, tetapi bukanlah pekerjaan mata [jasmani] ini untuk mengetahuinya, melainkan tugas mata kasyafiah itulah untuk memperlihatkannya. Jika kalian ingin mengetahuinya hanya melalui akal saja, maka orang yang paling tajam akalnya sekali pun tidak akan mampu menjelaskan apakah ada atau tidak wujud ruh itu. Terdapat ribuan pertentangan mengenai masalah ini, dan terdapat ribuan filsul atheis yang mengingkari hal itu. Jika memang akal semata berfungsi untuk [memahami ruh] ini maka mengapa harus terjadi pertentangan? Sebab ketika tugas mata adalah melihat maka aku tidak dapat mengatakan bahwa mata Zaid melihat sebuah benda berwarna putih, sedangkan mata Bakar dapat memberitahukan rasa benda yang putih itu. Maksudku adalah, akal semata tidak dapat memaparkan secara pasti mengenai keberadaan wujud ruh, maka bagaimana mungkin akal dapat menciptakan pengetahuan tentang kondisi dan hubungan-hubungan ruh itu? Para filsuf mempercayai ruh seperti sebilah kayu hijau, dan menurut mereka ruh secara terpisah tidak bermakna apa-apa. Tafsir-tafsir mengenai wujud ruh 102 serta hubungannya dan sebagainya ini diperoleh melalui mata air nubuwat (informasi gaib), hdan orang yang hanya mengandalkan akal tidak dapat menyatakan apa-apa. Jika kalian mengatakan bahwa beberapa filsuf telah menuliskan beberapa hal [mengenai ruh], maka ingatlah, bahwa mereka secara logika (akal) telah mengambilnya dari mata air nubuwat, lalu itulah yang mereka kemukakan. Jadi, tatkala telah terbukti bahwa hal-hal yang berkaitan dengan ruh dapat diraih melalui mata-air nubuwwat, maka masalah hubungan ruh-ruh dengan kubur hendaknya disimak dengan kaca-mata itu juga, dan mata kasyafiah telah memberitahukan bahwa ruh memiliki hubungan dengan gundukan tanah ini. Dengan mengatakan: Assalāmu‘alaykum yā ahlal qubur‖ akan diperoleh jawaban. Jadi, seseorang yang menggunakan potensi (kemampuan) yang dapat memperlihatkan kasyaf kubur, dia mampu melihat hubungan-hubungan tersebut. Satu hal aku kemukakan sebagai contoh. Letakkan seonggok serbuk garam di satu sisdan seonggok serbuk gula di sisi lain. Nah, apa yang dapat difatwakan oleh akal mengenai itu? Ya, jika kedua serbuk tersebut dicicipi barulah akan diketahui rasanya yang berbeda, sebab yang satu adalah garam dan yang satu lagi gula. Namun jika tidak ada indera lidah perasa maka apa yang dapat membedakan antara yang asin dengan yang manis? Jadi, tugasku adalah hanyalah memberikan pemahaman melalui dalil-dalil. Sebagaimana pengingkaran yang dilakukan oleh seorang buta mengenai matahari yang terbit tidak menimbulkan perubahan apa-apa, dan sebagaimana dengan mengabaikan argumentasi seseorang yang tidak memiliki suatu indera (potensi) tidak dapat menggugurkan hal tersebut. Demikian pula jika seseorang tidak memiliki mata kasyafiah maka bagaimana mungkin dia dapat melihat hubungan ruh [dengan kubur] tersebut? Jadi, pengingkaran yang dia lakukan karena dia tidak mampu melihat, berarti pengingkarannya itu tidaklah sah. Hal-hal semacam ini tidak dapat diketahui hanya melalui akal dan pemikiran saja. Untuk itulah Allah Ta‟ala telah menganugerahkan berbagai potensi (kemampuan) kepada manusia. Jika semua pekerjaan dapat dilakukan oleh satu potensi (kemampuan) saja maka apa perlunya Dia memberikan potensi-potensi sebanyak ini? Beberapa hal berkaitan dengan mata, dan beberapa hal lagi berkaitan dengan telinga. Beberapa hal berkaitan dengan lidah, dan sebagian lagi berkaitan dengan hidung. Manusia memiliki bermacam-macam indera. Untuk menyaksikan hubungan ruh dengan kubur diperlukan potensi dan indera kasyafiah. Jika ada yang mengatakan bahwa hal itu tidak benar, dia mengatakan hal yang salah. Sebab di dunia ini telah berlalu sejumlah besar para nabi a.s. dan jutaan wali serta orang-orang salih. Dan tidak terhitung banyaknya telah berlalu para mujahadah, dan mereka semua merupakan saksi hidup akan hal itu. Walau keaslian dan faktor hubungan-hubungan tersebut secara logika (akal) dapat kita ketahui atau pun tidak, tetapi hubungan nafs (jiwa) tidak dapat diingkari. Ringkasnya, segenap hal ini dapat diputuskan melalui dalil-dalil kasyfiah. Jika telinga tidak dapat melihat, itu bukan salah telinga, justru telinga memiliki tugas (fungsi) tersendiri. Aku merupakan saksi melalui pengalaman pribadiku, bahwa ruh secara pasti memiliki hubungan dengan kubur. Manusia dapat berkata-kata dengan jenazah. Ruh juga memiliki hubungan dengan langit, dan di sana ruh memperoleh sebuah tempat. Sekali lagi aku katakan bahwa ini merupakan suatu kebenaran yang telah terbukti. Di dalam kitab-kitab orang Hindu juga terdapat kesaksian akan hal tersebut. Hal hal itu secara umum merupakan suatu masalah yang telah diakui oleh golongan yang mengingkari keabadian ruh. Dan dengan tempat apa ia (ruh) memiliki hubungan, potensi (kemampuan) kasyafiah itulah yang dengan sendirinya akan memberitahu. Geologis (ahli geologi) dapat memberitahukan bahwa di tempat tertentu terdapat metal 103 (logam), dan di tempat tertentu lainnya terdapat bahan tambang. Lihatlah pada diri mereka terdapat potensi (kemampuan) yang dengan tepat dapat memberitahukan hal tersebut. Jadi, ini adalah suatu hal yang benar, bahwa ruh secara pasti memiliki hubungan dengan kubur. Bahkan para ahli kasyaf melalui konsentrasi (pemusatan pikiran) juga dapat bercakapcakap dengan jenazah. Sedangkan untaian kebimbangan dan kecaman begitu panjangnya sehingga tidak habis-habisnya (Malfuzat, jld. I, hlm. 287-291) KHASIAT DOA :Jika tidak ada doa maka manusia tidak dapat mencapai tahap haqqul yaqin dalam mengenali Allah. Melalui doalah ilham diperoleh. Melalui doa kita berkata-kata dengan Allah Ta‟ala. Tatkala mahnusia manusia terus-menerus memanjatkan doa dengan , ikhlas, dengan Tauhid, dengan kecintaan, kesungguhan, dan kesucian, lalu mencapai kondisi fana maka barulah Tuhan Yang Hidup itu zahir baginya, yaitu Tuhan yang terselubung bagi orang-orang lain” (Malfuzat, jld. I, hlm. 291). TAKWA SEJATI DAN BERDAMAI DENGAN ALLAH TA‟ALA ”Berdamailah dengan Allah, terapkanlah ketakwaan sejati. Langit sedang memberi peringatan melalui kejadian-kejadian yang luar biasa. Burni sedang memberi peringatan melalui penyakit-penyakit. Beberkatlah dia yang mau mengerti!” (Malfuzat, jld. I, hlm. 291). LARANGAN BERPUASA DALAM PERJALANAN Ada seseorang bertanya apa hukumnya berpuasa di dalam perjalanan? Hadhrat Masih Mau‟ud a.s. menjawab: “Dari Al-Quran Karim yang diketahui adalah: (Maka barangsiapa di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan maka [wajib baginya berpuasa] sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain” _ Al-Baqarah, 185). Yakni, orang sakit dan musafir jangan berpuasa. Di situ terdapat perintah, dan Allah Ta‟ala tidak berfirman bahwa siapa yang sanggup maka dia dapat [berpuasa] sedangkan yang tidak sanggup jangan. Menurut pendapatku, musafir hendaknya jangan berpuasa. Dan dikarenakan pada umumnya orang tetap saja berpuasa, oleh karena itu jika ada yang melakukannya dengan menganggap sebagai ta'ammul (amal), maka tidak mengapa. Akan tetapi tetap harus memperhatikan [perintah] "Iddatun- min ayyamin ukhar (hendaknya berpuasa pada hari-hari lain)" (Al-Baqarah, 185). Atas hal itu Hadhrat Maulana Hakim Nuruddin r.a. bersabda: ”Walaupun demikian manusia hendaknya berpuasa dalam satu bulan. Kami sekedar ingin mengatakan, bahwa dalam suatu kesempatan Hadhrat Aqdas (Masih Mau‟ud a.s.) bersabda, “Orang yang berpuasa di perjalanan 104 dengan menanggung derita, hal itu seolah-olah dia ingin membuat Allah Ta'ala ridha (senang) dengan kekuatannya, tetapi dia tidak ingin membuat Allah gembira dengan taat kepada perintahNya. Ini adalah suatu kesalahan, sebab iman sejati itu adalah taat kepada perintah dan larangan Allah Ta‟ala”. (Malfuzat, jld. I, hlm. 292-293). (hlm 293) SEMANGAT TINGGI “Hendaknya jangan patah semangat. Semangat merupakan suatu akhlak fadhilah. Dan orang mukmin merupakan orang yang memiliki semangat tinggi, dan dia hendaknya setiap saat selalu siap untuk memberikan bantuan serta dukungan terhadap agama, dan hendaknya jangan memperlihatkan sikap pengecut. Sikap pengecut merupakan ciri orang munafik. Orang mukmin adalah adalah pemberani. Namun, yang dimaksud dengan berani bukanlah sikap yang tidak mengenal situasi serta kondisi. Suatu perbuatan yang dilakukan tanpa mengenal situasi dan kondisi adalah merupakan sikap berani yang buta. Di dalam diri orang mukmin tidak terdapat sikap terburu nafsu, melainkan dia senantiasa siap untuk membantu agama dengan sangat bijak dan lembut dan dia tidak pengecut. Kadang-kadang manusia melakukan hal-hal yang membuat Allah Ta‟ala marah, dan kadangkadang membuat-Nya senang. Misalnya, jika seorang pengemis diusir maka hal itu dapat menimbulkan sikap keras [dari Allah], dan itu merupakan suatu perbuatan yang mendatangkan kemarahan Allah Ta‟ala. Oleh karena itu orang tersebut tidak akan memperoleh karunia guna memberikan sedikit kepada [pengemis] itu. Namun, jika pengemis itu diperlakukan dengan lembut dan penuh akhlak, maka walau sekedar memberi semangkuk air sekali pun, hal itu dapat mengobati kondisi kalbu yang sesak (sempit)” (Malfuzat, jld. I, hlm. 294). HATI YANG GUNDAH DAN HATI YANG LAPANG Hati yang gundah dan hati yang lapang selalu dialami manusia. Dalam kondisi hati yang lapang, maka kenikmatan dan kelezatan semakin bertambah, dan di dalam kalbu timbul suatu kelegaan, perhatian ke arah Allah Taala pun menjadi meningkatm di dalam shalat-shalat timbul kelezatan serta kenikmatan. Namun, kadang-kadang timbul kondisi dimana kelezatan dan kenikmatan itu hilang. Di dalam kalbu timbul suatu kondisi yang sempit (sesak). Jika timbul kondisi demikian maka obatnya adalah banyak-banyaklah istighfar dan bacalah shalawat sebanyak-banyaknya. Dirikanlah shalat berkali-kali. Inilah cara pengobatan bagi kondisi kalbu yang sempit (sesak) itu” (Malfuzat, jld. I, hlm. 294-295). BERTUMPU SEPENUHNYA KEPADA ALLAH TA‟ALA Ciri khas Islam adalah bertumpu sepenuhnya kepada Allah Ta‟ala. Orang Muslim adalah dia yang mempercayai sedekah dan doa. Orang-orang Kristen tidak percaya terhadap hal ini. Mengapa? Sebab, mereka telah menciptakan tuhan jasmani (materi). 105 Kebahagiaan terbesar bagi manusia yang tidak akan punah, yang yang akan menyelamatkannya di kala bahaya adalah bertumpu sepenuhnya kepada Allah. Ini hanya merupakan ajaran Islam, yaitu agar bertumpu sepenuhnya kepada Allah.” (Malfuzat, jld. I, hlm. 295). ILMU SEJATI ”Yang dimaksud dengan ilmu bukanlah mantiq (logika) atau filsafat, melainkan ilmu sejati adalah yang dianugerahkan Allah Ta‟ala melalui karunia-Nya semata. Ilmu ini menjadi sarana untuk [meraih] makrifat Allah Ta‟ala, dan melaluinya timbul rasa takut terhadap Tuhan, sebagaimana di dalam Quran Syarif Allah Ta‟ala telah berfirman: (“Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama (orang-orang berilmu)” – Al Fāthir, 29). Jika melalui ilmu tidak bertambah rasa takut akan Allah Ta‟ala, maka ingatlah bahwa ilmu [yang dimiliki] itu bukan merupakan sarana untuk meraih makrifat.” (Malfuzat, jld. I, hlm. 295). (hlm 296) PENDERITAAN Tidak ada satu penderitaan pun yang melanda selama belum ada keputusan Langit. Walaupun penderitaan-penderitaan juga dialami oleh para nabi, tetapi itu timbul dalam corak kecintaan, dan di dalamnya terselubung semacam pelajaran yang ditampilkan melalui sikap dan perilaku kelompok suci para nabi ‗alaihimus-salam tersebut dalam menghadapi penderitaan-penderitaan itu. Dan ada penderitaan yang menimpa sebagian orang, tetapi itu merupakan akibat dari perbuatan-perbuatan mereka sendiri: (“dan arangsiapa yang mengerjakan kejahatan sebesar dzarrahpun, niscaya dia akan melihatnya pula” – Al-Zilzal, 9). Jadi, wajib bagi manusia agar dia tetap bertaubat dan istighfar, dan dia harus senantiasa memeriksa jangan-jangan perbuatan buruk telah melampaui batas dan mengundang kemurkaan Allah Ta‟ala. Tatkala Allah Ta‟ala melayangkan pandangan dengan karunia kepada seseorang, maka umumnya Dia menanamkan kecintaan terhadap orang itu di dalam kalbu-kalbu orang lain. Namun tatkala keburukan seorang manusia telah melampaui batas, pada saat itu begitu timbul iradah (kehendak) untuk menentangnya maka sesuai kehendak Allah Ta‟ala hati orang-orang menjadi keras [terhadapnya]. Namun begitu dia menjatuhkan diri di hadapan singgasana Ilahi dan dengan bertaubat serta istighfar dia memohon perlindungan, maka dengan sendirinya timbul rasa-kasih di dalam diri orang- 106 orang. Dan seorang pun tidak ada yang mengetahui bagaimana benih kecintaan terhadap orang itu sampai tersemai di dalam kalbu orang-orang. Ringkasnya, taubat dan istighfar adalah resep mujarab yang tidak akan meleset.” (Malfuzat, jld. I, hlm. .297-298). MENUTUPI KELEMAHAN ORANG LAIN “Satu sifat Tuhan adalah Sattar – Dia Yang Menutupi kelemahan-kelemahan manusia. Dia melihat seeorang melakukan dosa, tetapi karena sifat-Nya ini, Dia menutupi dosanya sampai orang itu melampaui batas. Sedangkan manusia, bahkan meskipun dia belum melihat kelemahan seseorang, dia akan berteriak dan memprotes orang itu. Sesungguhnya manusia itu adalah picik, sedangkan Tuhan itu Maha Penyabar dan Maha Pemurah. Orang jahat bersalah kepada dirinya sendiri. Kadang-kadang dia menjadi keterlaluan (melampaui batas), dan itu karena kebodohannya akan Tuhan Yang Penyabar. Pada saat itu sifat Tuhan, Dzuntiqam (Yang memberi pembalasan) akan berlaku, dan orang itu dihukum atas kekurang-ajarannya. Orang Hindu mengatakan bahwa Tuhan dengan orang yang keterlaluan (melampauai batas) tidak dapat akur. Dengan kata lain Tuhan tidak menyukai orang yang keterlaluan [ dalam perbuatan jahat]. Tentu saja Tuhan adalah Maha Pemurah dan Maha Penyayang, dan jika seseorang – bahwa sekali pun dia telah melakukan sebuah dosa besar -- memohon pengampunan dengan hati yang tulus dan doa yang khusyuk, Tuhan memperlihatkan Kemurahan-Nya. Dalam hal ini, sebagaimana Tuhan memaafkan kelemahan-kelemahan kita dan tidak langsung menghukum kita dan tidak juga menghinakan kita, oleh karena itu kita pun hendaknya tidak cepat membicarakan orang lain dalam hal yang dapat membuat mereka menjadi malu.” (Malfuzāt, jld. I, hlm. 298). (hlm 298-300) OBAT BAGI KELALAIAN ADALAH TAUBAT DAN ISTIGHFAR “Keadaan sebagian orang adalah mereka dikepung oleh sarana-sarana sedemikian rupa, misalnya pekerjaan atau karena sebab lain, sehingga sebagian besar umur mereka telah berlalu dalam kegelapan. Mereka tidak memperhatikan bagaimana harus disiplin terhadap salat. Tidak pula mereka memperoleh kesempatan untuk mendengar firman Allah dan sabda Rasul. Tidak terpikirkan sedikit pun oleh mereka untuk menyimak Kitab Allah. Dalam kondisi demikian, tatkala satu jangka masa telah berlalu dalam kegelapan, maka pikiran-pikiran demikian menguat dan menjadi suatu sifat yang kedua. Jadi, pada waktu itu apabila manusia tidak mengerahkan perhatian ke arah taubat dan istighfar maka pahamilah bahwa manusia ini sungguh malang. Obat paling baik untuk kelalaian dan kemalasan adalah istighfar. Ketika timbul suatu cobaan karena kelalaian-kelalaian serta kemalasan-kemalasan di masa lampau, maka seringlah bangun di 107 malam hari dan berdoalah sambil bersujud, dan berjanjilah di hadapan Allah Ta‟ala untuk melakukan suatu perubahan yang sejati dan suci.” (Malfuzat, jld. I, hlm. 300-301). KEBAJIKAN SEJATI ADALAH KEIMANAN “Kebajikan dan kesucian sejati menuntut seseorang untuk beriman kepada Tuhan, karena penegak hukum dunia tidak mengetahui apa yang diperbuat seseorang dalam keempat dinding rumahnya dan di balik tirai. Bahkan, jika seseorang menyatakan dirinya taat pada agama, dia tidak dapat ditangkap (dihukum) atas apa yang ada dalam hatinya. Tidak ada satu pemerintahan pun di dunia yang ditakuti manusia, sama besarnya saat malam atau siang, dalam gelap atau terang, di tempat terpencil atau di depan khalayak ramai, dalam tempat yang suci atau di pasar. Itulah sebabnya moral dapat diperbaiki hanya dengan beriman pada Wujud Yang mengawasi manusia kapan saja dan di mana saja, serta mengetahui rahasiarahasia di dalam hatinya. Sebab orang salih yang sebenar-benarnya adalah dia yang yang bagian dalam dan bagian luar hatinya tidak berselisih (bertentangan) satu sama lain. Siapa saja yang seperti itu adalah bagaikan malaikat di muka bumi.” (Malfuzāt, jld I, hlm. 301). (hlm 302) PENTINGNYA KETAKWAAN ”Kemarin (yakni tanggal 22 Juni 1899) ilham Urdu ini turun sering kali: "Tum log muttaqi ban jao aor taqwa ki baariik raahung par calo to khuda tumhaare saath hoga “Jadilah kalian orang-orang mutaki dan tempuhlah jalan-jalan halus ketakwaan, maka Allah akan menyertai kalian." Hal itu menimbulkan suatu rasa perih yang mendalam di hatiku, yakni apa yang harus aku perbuat agar Jemaatku menerapkan takwa dan thaharat (kebersihan/kesucian) yang sejati. Aku begitu banyak berdoa sehingga dalam berdoa dan berdoa itu rasa letih menguasai diriku, dan kadangkadang sampai tidak sadarkan diri serta sampai seperti hampir mati. Selama suatu Jemaat belum menjadi mutaki (bertakwa) pada pandangan Allah Ta‟ala maka pertolongan Allah Ta‟ala tidak akan dapat menyertai mereka. Takwa merupakan intisari ajaranajaran segenap Kitab Suci Taurat dan Injil. Quran Karim telah menzahirkan kehendak agung dan keridaan (?) penuh Allah Ta‟ala hanya di dalam satu kata itu. Aku juga berpikir untuk memisahkan dari kalangan Jemaatku orang-orang yang merupakan mutaki sejati dan yang mendahulukan agama daripada dunia, serta yang memutuskan hubungan dengan apa pun, lalu menjalin hubungan dengan Allah. Dan aku ingin menyerahkan beberapa tugas keagamaan kepada mereka, kemudian aku tidak akan mempedulikan sedikit pun orang-orang yang tenggelam dalam kesibukan dunia, dan yang siang-malam mencari dunia yang bagaikan bangkai itu.” (Malfuzat, jld. I, hlm. 303). (hlm 304-305) 108 MIMPI TENTANG RATU VICTORIA Pada hari Sabtu tgl. 10 Juli 1899, waktu Zhuhur, terjadi suatu peristiwa yang menakjubkan. Yaitu beliau a.s. menerima sebuah surat yang berisi kabar gembira. Dan di hari sebelumnya Hadhrat Masih Mau‟ud a.s. terlenih dulu telah melihat mimpi. Di dalam mimpi itu Hadhrat Masih Mau‟ud a.s. melihat Ratu Victoria, Inggris, datang ke rumah beliau a.s.. dengan penuh kebesarannya, dan menetap selama dua hari di dalam rumah beliau. Dan beliau mengatakan bahwa hal itu patut disyukuri. Mimpi tersebut dita‟birkan sebagai pertanda akan turunnya suatu pertolongan Ilahi, sebab nama sang ratu adalah Victoria, yang bermakna pemenang; yang memperoleh kemenangan, dan juga pada waktu itu Ratu Victoria adalah yang paling sukses dan paling beruntung dari segenap penguasa yang ada di muka bumi ini. Oleh karena itu kedatangan sang ratu dengan jubah kebesarannya ke rumah Masih Mau‟ud a.s. adalah pertanda berkat dan kesuksesan yang besar. Ta‟bir mimpi ini langsung terbukti pada waktu Zhuhur, ketika Hadhrat Masih Mau‟ud a.s. menerima sepucuk surat yang mengabarkan, bahwa di Jalal Abad, daerah Kabul (Afganistan) terdapat mimbar Nabi Yus Asaf. Dan di sana terkenal bahwa nabi ini datang ke sana dari Syiria 2000 tahun lalu. Dari penguasa Kabul pun beberapa areal tanah [di sana] disebut dengan nama mimbar tersebut. Membeca surat ini Hadhrat Masih Mau'ud a.s. gembira sekali. Beliau bersabda: Allah Taala adalah Saksi dan Maha Mengetahui, bahwa jika ada yang membawakan (memberikan) jutaa rupees untuku, aku tidak akan gembira sedemikian rupa seperti gembiranya aku menerima surat ini." (Malfuzat, jld. I, hlm. 306-307). BUKTI PRIBADI TUHAN “Tujuanku mengirim selebaran-selebaran dan pengumuman ke Amerika dan Eropa, adalah karena aku harus membimbing mereka kepada Tuhan yang telah aku lihat sendiri. Aku tidak ingin menunjukkan kepada mereka T uhan dalam bentuk dongeng-dongeng. Aku ingin memperkenalkan diriku kepada mereka sebagai saksi keberadaan Tuhan. Itu adalah hal yang langsung dan sederhana. Siapapun yang bergerak menuju Tuhan, akan mendapati Tuhan bergerak menuju dia dengan kecepatan yang lebih cepat daripada dia sendiri. Kami mendapati bahwa jika seseorang disebutkan baik dalam buku orang yang terhormat, dia juga akan dihormati orang. Apakah kalian kira orang yang memperoleh kedekatan kepada Tuhan tidak ada artinya dibandingkan tanda-tanda yang menjelmakan kebesaran dan kekuatan tak terbatas dari Tuhan? Kalian harus ingat, bahwa kecemburuan (gairat) Tuhan tidak membiarkan orang seperti itu ditinggalkan, dipermalukan dan dilindas. Tidak, hal itu tidak dapat terjadi. Sebab sebagaimana Tuhan itu Esa, tanpa sekutu, Dia juga suka menjadikan hamba-hamba-Nya menjadi yang terpilih dan berbeda serta tanpa tandingan. Orang semacam itu diserang dari semua arah. Orang yang menyerang -- [karena] tidak mengetahui kekuatan [orang yang diserangnya] -- menyangka bahwa dia akan menghabisinya. Tetapi akhirnya dia m enyadari kenyataan bahwa orang ini yang tidak terluka, di luar kekuatan manusia dan sumbernya ada di tempat lain. Jika dia mengetahui hal ini sebelumnya, dia tidak akan pernah menyerangnya. Dengan demikian, orang-orang yang memperoleh kedekatan pada Tuhan -- dan tidak lain 109 melainkan merupakan sebuah tanda dan penjelmaan-Nya – dianggap sebagai sasaran yang mudah. Orang yang menentangnya merencanakan dan berusaha sekuat tenaganya, tetapi mereka dilindungi dari semua serangan itu dan mereka keluar dari pertarungan dengan selamat dan sejahtera serta dengan penghormatan dan kemenangan yang besar. Inilah yang mengejutkan kebanyakan musuh.” (Malfuzāt, jld. I, hlm. 307). TANDA-TANDA JELAS Aku mencoba menyeru orang-orang untuk datang dan tinggal bersamaku, kadang-kadang aku melakukannya dengan membuat pengumuman, bahwa mereka hendaknya datang. Itu semua karena aku ingin mengabarkan kepada mereka tentang Tuhan Yang telah aku temukan dan lihat, dan aku harus menunjukkan jalan terpendek untuk mencapai-Nya, jalan yang akhirnya menjadikan seseorang sebagai manusia-Tuhan. Sesungguhnya aku tidak percaya bahwa cerita-cerita masa lalu saja dapat menambah kesadaran seseorang akan Tuhan. Hal itu hanya mungkin melalui pengalaman langsung, dan mustahil tanpa berjalan melalui jalan milik kami. Seseorang tidak harus melalui kesulitan-kesulitan untuk berjalan melalui jalan ini. hati-lah yang berperan di sini. Sesungguhnya Tuhan melihat ke dalam hati, dan hati yang penuh dengan kecintaan kepada Tuhan tidak membutuhkan sebuah berhala untuk tegak di hadapannya. Penyembah berhala tidak dapat membimbing seseorang kepada kesimpulan yang tepat dan pasti”. (Malfuzāt, jld. I, hlm. 308). (hlm 309-311) SEPERTI DUA SAHABAT “Dua orang sahabat dapat meneruskan persahabatan mereka hanya apabila dalam suatu ketika yang satu melakukan kehendak yang lain, dan di lain waktu bertindak sebaliknya. Sebab jika salah seorang dari mereka memaksakan yang lain untuk melakukan apa pun yang dia katakan maka persahabatan itu tidak akan bertahan lama. Hal yang sama berlaku dalam hubungan Tuhan dan manusia. Suatu saat Tuhan mendengarkan apa yang dikatakan manusia dan memberkatinya dengan rahmat-Nya, sedangkan lain waktu manusia menerima dengan sabar apa pun takdir Tuhan atas dirinya. . Sesungguhnya hal ini sebenarnya adalah milik Tuhan semata, yaitu Dia menguji manusia, dan ujian-ujian yang datang dari Tuhan semuanya adalah untuk kebaikan manusia. Inilah hukum yang dinyatakan Tuhan, bahwa hasil-hasil yang baik dari ujian-ujian tersebut menjadikan manusia berhak menerima rahmat Tuhan.” (Malfuzāt, jld I, hlm. 311). KEGEMBIRAAN DALAM KEIMANAN “Keadaan hatiku adalah luar biasa. Sebagaimana jika hari sangat panas dan angin pun tidak bertiup, maka orang-orang besar harapan bahwa akan datang hujan. Ketika aku mendapati kotak 110 uangku kosong dan aku yakin betul akan rahmat Tuhan -- bahwa kotak uang itu akan dipenuhi [dengan uang] -- hal itu betul-betul terjadi. Aku bersumpah demi Tuhan, bahwa ketika dompetku kosong, aku merasakan kegembiraan dan kenikmatan yang luar biasa dalam kepercayaanku kepada Tuhan. Aku tidak mampu mengungkapkan perasaanku untuk menjelaskan keadaan hatiku. Sesungguhnya keadaan itu adalah sebuah sumber kenimmatan yang besar dan memberikan ketenangan serta kepuasan, mellebihi saat dompetku penuh Sewaktu ayah dan kakakku terlibat dalam kasus pengadilan yang membuat mereka cemas, mereka selalu iri padaku dan menganggapku sebagai orang yang sangat beruntung, yang sama sekali tidak khawatir” (Malfuzāt, jld. I, hlm. 312). KEBAIKAN SEJADI DAN KEIMANAN HAKIKI ”Untuk suatu kebaikan sejati, mutlak diperlukan keimanan terhadap Wujud Allah, sebab pemerintah biasa tidak mengetahui apa yang dilakukan oleh seseorang di dalam rumahnya, dan apa yang dilakukan oleh seseorang di balik tabir. Walau pun seseorang itu menyatakan suatu kebaikan melalui lidahnya, tetapi apa pun yang ada di dalam kalbunya, dia tidak takut untuk diperkarakan oleh kita. Dan tidak ada satu pun dari antara pemerintah-pemerintah di dunia -- yang rasa takut terhadapnya – tetap sama timbul pada diri manusia siang malam.. dalam gelap mau pun terang, ketika seorang diri atau pun ketika berada di hadapan orang lain, ketika sendirian ataupun ramai-ramai, ketika berada di dalam rumah mau pun ketika di pasar. Jadi, untuk perbaikan akhlak, mutlak diperlukan keimanan (kepercayaan) terhadap Wujud Tuhan Yang mengawasi [manusia] dalam setiap kondisi, dalam setiap waktu, serta yang menyaksikan amal-amal perbuatan manusia serta segenap rahasia kalbunya.” (Malfuzat, jld. I, hlm. 313). (hlm 313-319) TUJUAN PENGUTUSAN HADHRAT MASIH MAU‟UD A.S. A”Tujuanku tidak lain kecuali yang stau ini, yakni memberi petunjuk kepada orang-orang kea rah Allah yang telah aku saksikan sendiri. Aku tidak ingin memperlihatkan Allah Ta;aka dalam bentuk cerita dan kisah yang didengar-dengar saja, melainkan aku ingin membuat dunia percaya (beriman) kepada Wujud Allah Ta‟ala dengan cara menyodorkan diri serta wujudku sendiri. Ini adalah suatu hal yang jelas, sekian banyak langkah yang diayunkan seseorang kea rah Allah maka Allah Ta‟ala lebih cepat dari itu datang bergegas ke arahnya. Di dunia kita menyaksikan bahwa utusan seorang yang mulia pun dianggap mulia serta wajib dihormati, maka apakah orang yang berhasil meraih qurub (kedekatan) Allah Ta‟ala di dalam dirinya tidak terdapat cirri-ciri yang merupakan contoh kudrat-kudrat dan kekuasaan-kekuasaan yang tidak terbatas milik Allah Ta‟ala?” (Malfuzat, jld. I, hlm. 320). 111 (hlm 320-322) JEMAAT YANG SETIA “Aku bersyukur kepada Tuhan karena Dia telah menganugerahkan kepadaku Jemaat yang tulus dan setia. Aku dapat melihat bahwa apa pun tugas yang aku serukan kepada mereka, mereka maju dengan penuh semangat dan berlomba-lomba satu sama lain untuk lebih dahulu melakukannya dan dengan seluruh kemampuan mereka seizin Tuhan. Mereka setia kepada Imam mereka dan mereka tulus. Aku hanya mengatakan sesuatu perkataan kepada mereka dan mereka bersiap sepenuhnya untuk itu. Sesungguhnya tidak ada satu Jemaat pun yang dapat berdiri kokoh kecuali anggotaanggotanya siap mematuhi Imam dengan semangat, kesetiaan dan kepatuhan semacam ini. Masalah yang harus dihadapi oleh Al-Masih berakar dari kelemahan para pengikut beliau. Ketika beliau ditangkap, seorang pengikut sekaliber Petrus mendustakan beliau pada tahap-tahap awalnya. Dia tidak hanya mendustakan beliau, bahkan ia mengutuk beliau tiga kali. Sebagian besar pengikut meninggalkan beliau dan lari. Di pihak lain, lihatlah ketulusan dan kesetiaan dari para sahabat Rasulullah saw., iketulusan dan kesetiaan mereka tidak ada bandingannya dalam sejarah manusia. Mereka menanggung segala macam kesusahan demi beliau, mereka meninggalkan tanah air yang mereka cintai, mereka berpisah dengan yang mereka cintai dan dari milik mereka. Mereka bahkan tidak segan mempertaruhkan jiwa mereka demi beliau. Ketulusan dan kesetiaan inilah yang memberi keberhasilan kepada mereka. Aku dapat melihat, bahwa Jemaatku juga penuh dengan kesetiaan dan kepatuhan dan mereka betul-betul murni dalam baiat mereka dan mereka sangat tulus” (Malfuzāt, jld. I, hlm. 322). MEMBUAT SENANG DUNIA ”Aku mampu melontarkan kata-kata dan menerbitkan tulisan-tulisan – yang dalam istilah orangorang "dif ucingkan dalam imccuict orang yang tidak mencari-cari musuh" (???), -sehingga semua bangsa yang saling bertentangan pun menjadi senang, dan tidak seorang pun dari kalangan pemerintah-pemerintah serta rakyat ada yang dapat memperoleh peluang untuk mencela hal itu. Namun dengan membuat senang dunia yang kikir ini, bagaimana mungkin aku memperoleh kekuatan untuk menanggung penolakan dari Tuhan-Ku?” (Malfuzat, jld I, hlm. 323). HAKIKAT DOA ”Terasa sangat diperlukan untuk kembali menuliskan masalah doa, sebab tulisan-tulisan sebelumnya terbukti tidak mencukupi mengenai hal itu. Doa adalah suatu hal yang sangat pelik, untuknya diperkukan syarat berupa hubungan yang kokoh sedemikian rupa antara si pendoa dan Wujud yang kepada-Nya doa dipanjatkan, sehingga rasa perih yang dialami oleh pihak pertama menjadi rasa perih yang juga dialami oleh pihak kedua, dan kegembiraan satu pihak menjadi kegembiraan pihak lainnya. 112 Seperti halnya tangis seorang bayi yang masih menyusui akan membuat sang ibu menjadi tidak tentram dan membuat air susunya mengalir, demikian pula kondisi Wujud -- yang kepadaNya doa dipanjatkan -- menjadi penuh gejolak tatkala pemanjat doa melakukan doa dan istighatsah (mohon pertolongan).” (Malfuzat, jld. I, hlm. 323). TIMBULNYA TAWAJUH (KONSENTRASI) DAN KEHANGATAN DALAM DOA BERASAL DARI ALLAH TA‟ALA ”Pada hakikatnya semua hal ini [yakni tawajuh/konsentrasi dan jalinan yang hidup dalam doa] merupakan anugerah-anugerah Allah Ta‟ala. Upaya-upaya manusia sama-sekali tidak ada campurtangan di dalamnya. Tawajuh (konsentrasi) dan kehangatan [dalam doa] juga turun dari Allah Ta‟ala. Ketika Allah Taala menghendaki untuk membukakan jalan keberhasilan bagi seseorang, maka Dia menciptakan tawajuh (konsentrasi) dan kehangatan [untuk berdoa] di dalam kalbu si pelaku doa. Namun dalam rangkaian sarana-sarana adalah penting agar si pelaku doa memiliki sauatu factor penggerak dan penarik yang sangat kuat. Upaya-upaya yang harus dia lakukan adalah bagaimana supaya timbul kondisi sedemikian rupa pada Wujud Yang kepada-Nya doa dipanjatkan, sehingga Dia membuat si pelaku doa mencurahkan perhatian (tawajuh) kepadaNya” (Malfuzat, jld. I, hlm. 323-324). PENGKHIDMATAN TERHADAP AGAMA “Sahabat-sahabatku hendaknya menanamkan niat pengkhidmatan terhadap agama dalam kalbu (hati) mereka. Apa pun bentuk dan corak pengkhidmatan yang dapat dilakukan, lakukanlah..... Aku katakan dengan sebenar-benarnya, bahwa orang yang merupakan pengkhidmat agama dan orang yang memberi manfaat kepada manusia, baginya terdapat kehormatan dan derajat di sisi Allah Ta‟ala. Jika tidak, Dia sedikit pun tidak peduli apabila orang-orang mati seperti anjing dan domba-domba sekali pun.” (Malfuzat, jld. I, hlm. 324). HUBUNGAN HAMBA DENGAN ALLAH TA‟ALA “Persahabatan antara dua orang kawan dapat terjalin dalam bentuk dimana kadang-kadang yang satu menuruti kawannya, dan kadang-kadang kawannya yang menuruti dia. Jika satu orang selalu hanya ingin kemauannya sendiri saja yang harus dituruti, maka hubungan itu pun menjadi hancur. Demikian pula hendaknya hubungan antara Allah Ta‟ala dengan hamba-Nya. Kadangkadang Allah Ta‟ala mendengarkan si hamba, dan kadang-kadang si hamba yang menuruti keputusan serta takdir-Nya. Hal yang sebenarnya adalah, memang merupakan hak Allah Ta‟ala untuk menguji hambahamba-Nya, dan ujian ini darinya adalah untuk manfaat-manfaat manusia. Hukum kudrat-Nya memang berlaku demikian, yakni setelah adanya ujian maka yang lulus dengan baik akan dijadikan-Nya sebagai pewaris karunia-karunia-Nya.” (Malfuzat, jld. I, hlm. 324-325). 113 AIR MATA TANGISAN DUNIA Seorang pemuda datang kepada Hadhrat Mmasih Mau‟ud a.s., dia menceritakan tentang musibah-musibah duniawi dan mengungkapkan berbagai macam duka nestapanya. Hadhrat Masih Mau‟ud a.s. banyak menasihatinyta. Beliau bersabda: ”Sepenuhnya menenggelamkan diri dalam perkara-perkara dunia menimbulkan kemudharatan-kemudharatan di akhirat. Dan berkeluh-kesah seperti ini hendaknya jangan dilakukan oleh seorang mukmin.” Melihat pemuda itu malah menangis keras-keras, hal itu membuat Hadhrat Masih Mau‟ud a.s. sangat marah dan beliau menyatakan ketidaksukaan beliau: “Sudah, cukup!. Aku menganggap tangis seperti ini sebagai penyebab masukknya seseorang ke dalam neraka! Menurutku, air mata yang diteteskan untuk kesedihan dan keduaan duniawi adalah api yang akan membakar orang yang meneteskannya sendiri. Hatiku menjadi keras melihat keaadaan orang seperti ini, yang tersendu-haru dalam mengejar ketamakan dunia,” (Malfuzat, jld. I, hlm. 325). KONDISI KALBU HADHRAT MASIH MAU‟UD A.S. YANG MENAKJUBKAN “Aku menemukan kondisi yang snagat menakjubkan pada kalbuku. Sebagaimana dngan adanya kondisi dimana angina tidak bertipu dan suhu sangat panas, maka orang-orang sangat yakin berharap bahwa pasti saat itu akan turun hujan, maka demikian pula ketika aku melihat kotak uangku sudah kosong, maka dalam diriku timbul suatu keyakinan yang penuh akan karunia Allah bahwa sekarang kotal itu akan penuh kembali, dan ternyata memang demikian yang terjadi. Ketika saku aku sudah kosong maka kelezatan dan kenikmatan yang aku rasakan saat itu dalam bertawakal kepada Allah Ta‟ala tidak dapat aku uraikan. Kondisi itu sangat menentramkan sedemikian rupa, sehingga melebihi ketentraman ketika saku sedang dalam keadaan penuh. Pada masa-masa ketika ayahku dan kakakku tenggelam dalam berbagai macam kesedihan dan kepedihan akibat perjara-perjara urusan duniawi, mereka kadang-kadang merasa iri melihat keadaanku, dan mereka sering mengatakan, “Sungguh dia seorang yang sangat beruntung, sebab dia tidak pernah merasa sedih.” (Malfuzat, jld. I, hlm. 325-326). IMAN LEBIH KUAT - AMAL LEBIH BAIK ”Walaupun aku mengetahui, bahwa kemampuan untuk melakukan sebuah kebaikan adalah sebuah proses yang bertahap, tak pelak lagi, kecuali iman itu kuat, tidak ada yang dapat dikerjakan. Semakin kuat iman, semakin baik pula amal-amal baik sedemikian rupa, sehingga jika kekuatan iman ini memperoleh kesempatan mencapai puncak perkembangannya, orang tersebut akan mencapai taraf syahid, karena dalam hal ini tidak ada yang dapat menghalanginya, dan dia tidak segan mengorbankan hidupnya. Aku sudah berulang kali mengatakan, bahwa pengulangan-pengulangan itu bukan tidak pada tempatnya, bahwa pengutusan nabi-nabi -- terlebih lagi Rasulullah saw. -- dan diturunkan-Nya Al-Quran mempunyai satu tujuan. Siapa saja yang mengatakan bahwa perbuatan Tuhan ini tidak ada artinya, menunjukkan kekurangajaran dan ketidaksopanan, karena bukanlah Sifat Tuhan 114 melakukan sesuatu yang sia-sia. Perlu diketahui bahwa tujuan Tuhan menurunkan Al-Quran dan mengutus Rasulullah saw. ke dunia adalah untuk memperlihatkan sebuah Tanda Rahmat yang besar kepada dunia, Tuhan berfirman: (Tidaklah Kami mengutus engkau melainkan sebagai rahmat bagi sekalian alam – AlAnbiya, 108). Sedangkan tujuan diturunkan-Nya Al Quran dinyatakan dalam kalimat ini: Hudan- lilmuttaqīn (petunjuk bagi orang-orang yang bertakwa – Al-Baqarah, 3). Tujuan-tujuan ini begitu indah sehingga tidak ada satu pun yang seperti itu. Tuhan telah berkehendak, bahwa sebagaimana semua kesempurnaan yang dimiliki secara berbeda oleh para nabi semuanya terkumpul dalam wujud Rasulullah saw., seperti itu juga semua kebenaran abadi yang terdapat dalam semua Kitab, semuanya terkumpul dalam dalam Al-Quran. Demikian juga hal-hal baik yang dimiliki oleh para pengikut nabi-nabi lain secara terpisah, semuanya diberikan kepada para pengikut Rasulullah saw.. Adalah kehendak Tuhan agar kita mewarisi semua kesempurnaan ini. Di sini perlu diingat, bahwa sebagaimana Dia menginginkan kita mewarisi kesempurnaan yang sedemikian besar, Dia juga menganugerahkan kepada kita bakat-bakat, karena jika Dia tidak memberikan bakat macam itu kepada kita, kita tidak akan mampu menanamkan (menyerap) kesempurnaan tersebut di dalam diri kita.” (Malfuzat, jld. I, hlm. 326). (hlm 327-239) AGAMA YANG BENAR DAN TAUHID ISLAM ”Pada zaman sekarang ini ditampakkan kebencian yang besar terhadap agama, dan datang kepada agama yang benar bagaikan pergi ke mulut kematian. Agama yang benar adalah yang syariat batiniah pun turun memberikan kesaksian akan hal itu. Misalnya, aku memaparkan ajaran Tauhid Islam, dan aku mengatakan bahwa ini ajaran yang benar, sebab di dalam fitrat manusia terdapat ajaran Tauhid, dan fenomena qudrat (alam) juga memberikan kesaksian akan hal itu. Allah Ta‟ala telah menciptakan makhluk berbeda-beda lalu menarik mereka ke arah kesatuan. Dari kenyataan tersebut diketahui bahwa kesatuan itulah yang dikehendaki. Satu tetes air jika dilepaskan maka butir air itu jadi bulat. Bulan, matahari, dan segenap benda-benda langit pun bulat, dan bulatan itu menghendaki kesatuan.” (Malfuzat, jld. I, hlm. 329). (hlm 329-331) MENENTANG WALI ALLAH MENYEBABKAN KEHILANGAN IMAN 115 “Para Waliullah adalah orang-orang yang mereka itu Tuhan Yang Maha Perkasa jadikan dekat dengan-Nya. Kata wali berarti orang yang dekat. Mereka inilah orang-orang yang seolaholah bertatap-muka dengan Tuhan, sedangkan yang lain ada tirai di antara mereka, dan seolaholah ada dinding di hadapan mereka. Bagaimana mungkin dua orang itu sama, yang satu tidak ada tirai di hadapannya, Tuhan Maha Perkasa telah memberi mata kepadanya, dan Dia juga telah memberikan penglihatan kepadanya, yaitu penglihatan yang menuntunnya dalam setiap ucapan dan tindakannya. Dia dia tidak seperti orang yang tidak dapat melihat, yang tersandung di sana sini, seolah-olah Tuhan turun ke dalam hatinya, dan dalam setiap langkahnya Dia menuntunnya. Kegelapan setan tidak dapat mencapainya, bahkan kegelapan itu luluh jadi debu, dan segala sesuatu menjadi tampak kepadanya dengan sangat jelas. Apa pun yang dia katakan, itu semua berasal dari pengalaman ruhani dan dia dia menjelaskan hal-hal yang gaib. Apapun penafsiraan atas sebuah hadits yang dia berikan, itu dan hanya itulah yang benar, karena dia dapat mendengar kata-kata tersebut langsung dari Rasulullah saw., dan dengan demikian hadits memiliki bentuk dari pengungkapannya sendiri, sementara orang lain harus berpijak pada riwayat yang tidak kurang dari 303 tahun. Bagaimana mungkin dua macam orang ini dapat dibandingkan dengan baik? Semua waliullah memiliki harta makrifat Ilahi (pengertian tentang Tuhan), suci dan jelas. Orang yang menentangnya dan menolak semua perkataannya – seolah-olah dia telah memutuskan untuk menentang wali Allah tersebut dalam hal apa pun yang dikatakannya – membuat runtuh batu-bata dinding kesadarannya akan Tuhan. Jika seseorang menunjukkan jalan yang benar, dan yang lain menolak apa pun yang dia katakan, hasilnya adalah bahwa yang disebut terakhir akan menolak semua inti sari iman yang disebutkan dalam Al-Quran, dan akhirnya dia akan kehilangan keimanan mengenai keberadaan Tuhan. Dengan kata lain, dia kehilangan keimanannya.” (Malfuzāt, jld I, hlm. 332). (hlm 334-335) WALI-WALI ALLAH (SAHABAT-SAHABAT ALLAH) “Banyak orang di dunia yang hidup dengan terkenal dan mewah, mereka sangat mendambakan kehormatan dan kekayaan dunia serta harta-benda. Dalam seluruh hidupnya mereka tetap berjuang dan berambisi dengan sia-sia dan terus berusaha untuk itu, sampai ajal mereka tiba. Orang-orang ini juga telah diberi bakat, dan jika mereka menggunakannya dengan tepat, mereka akan mendapatkan kebenaran. Tuhan tidak pernah kikir pada siapa pun. Beberkatlah dia yang menggunakan dengan tepat bakat mereka yang diberikan Tuhan. Banyak orang yang ketika dikatakan kepada mereka untuk bertakwa kepada Tuhan san mematuhi perintah-Nya, dengan ketus menjawab, “Apakah kami harus menjadi seorang wali?!” Jawaban seperti itu hanyalah bid‟ah (mengada-ada), itu adalah pemikiran yang jahat tentang Tuhan. Hanya pemerintahan dunia yang kekurangan lapangan pekerjaan, hal itu tidak berlaku bagi Tuhan. Siapa saja yang memiliki hubungan yang benar dengan Tuhan dapat memperoleh berkat-Nya yang dianugerahkan kepada orang-orang yang benar di masa itu.Tuhan telah menyebut orang-orang yang dicintainya wali, dan adakah kesulitan bagi-Nya menjadikan para wali? Tidak sama sekali. Mudah bagi-Nya untuk menjadikan para wali. Yang dibutuhkan dalam hal ini adalah manusia hendaknya bergerak menuju Tuhan dengan tulus dan teguh, tidak ada kesulitan yang dapat menggoyahkannya. Ketika seorang manusia memiliki hubungan yang benar dengan Tuhan dan menjadi suci dan 116 salih serta menjauhkan dirinya dari hal-hal yang tidak disukai Tuhan maka Tuhan juga memberikan hubungan dengannya dan mendekat kepadanya. Tetapi sebaliknya, jika seseorang menjauhkan diri dari Tuhan dan menjalani kehidupan yang kotor, Tuhan tidak mempedulikannya. Dia berfirman: (Maka tatkala mereka berpaling, Allah pun memalingkan hati mereka” – Ash-Shaf, 5). Yakni, “maka tatkala mereka menjadi jahat, Tuhan menjadikan hati mereka menjadi jahat”. (Malfuzāt, jld I, hlm. 335). KESETIAAN JEMAAT ”Pada hakikatnya suatu kaum dan suatu Jemaat tidak dapat terbentuk selama di dalamnya tidak ada benih gejolak semangat ketulusan dan kesetiaan semacam ini untuk mematuhi dan mengikuti Imamnya. Kesulitan-kesulitan dan penderitana-penderitaan yang dialami Al-Masih, salah satu factor penyebabnya adalah kelemahan dan ketidakberanian yang terdapat pada jemaat [beliau]. Ketika Almasih ditangkap maka hawari (para sahabatnya) yang paling hebat seperti Petrus sekali pun telah ingkar di hadapan junjungan dan gurunya sendiri. Dan tidak sekedar ingkar saja, bahkan juga telah melaknatnya sebanyak tiga kali. Dan kebanyakan para hawari telah lari meninggalkan Al-Masih. Sebaliknya, para sahabat radhiallahu „anhum yang dimiliki Rasulullah saw., mereka telah memperlihatkan suri teladan kejujuran dan kesetiaan sedemikian rupa yang bandingannya tidak ditemukan dalam sejarah dunia. Menanggung segala penderitaan demi beliau saw. telah mereka anggap mudah. Bahkan mereka meninggalkan orang-orang dan negeri yang mereka cintai. Mereka telah terpisah dari harta kekayaan milik mereka dan dari sanak saudara mereka, dan akhirnya mereka tidak sungkan-sungkan melepaskan nyawa mereka demi beliau saw.. lnilah kejujuran dan kesetiaan yang akhirnya telah membuat mereka sukses (berhasil). Seperti itu pulalah aku melihat bahwa Allah Ta‟ala juga telah menganugerahkan suatu gejolak semangat kepada Jemaatku sesuai kadar dan kedudukannya, dan warga Jemaatku mmeperlihatkan suri teladan kesetiaan dan kejujuran.” (Malfuzat, jld. I, hlm. 336-337). CINTA YANG TULUS KEPADA TUHAN “Sebagian orang berpendapat, bahwa menangis di hadapan Tuhan tidak bermanfaat sama sekali. Tetapi penclapat ini sangat salah. Orang-orang macam ini tidak memiliki keimanan akan keberadaan dan kekuasaan Tuhan. Jika mereka memiliki keimanan sejati dan benar, mereka tidak akan mau mengemukakan pendapat ini. Kapan saja seseorang datang kepada Tuhan dan bertaubat dengan tulus, dia telah menjadi penerima rahmat Tuhan yang tetap. Seseorang dengan tepat telah menggambarkannya, "Tidak ada seseorang kekasih yang tidak dirawat oleh orang yang dicintainya. Tentu saja: "Ya, Tuan, tidaklah engkau sakit, kecuali dokter ada di situ.” Tuhan menginginkan kalian datang kepadanya dengan hati yang suci, tentu saja keadaan kalian harus menjadi apa yang Dia kehendaki. Kalian harus mengubah diri kalian, yang menjadikan kalian seseorang yang cukup pantas hadir di hadapan Tuhan. 117 Aku beritahu kebenaran kepada kalian, bahwa Tuhan Yang Maha Perkasa memiliki kekuatan yang indah, dan rahmat serta berkat-Nya tidak terbatas, tetapi kalian pun harus memiliki mata kecintaan untuk melihatnya. Jika seseorang memiliki kecintaan yang tulus kepada-Nya, Dia sangat menerima doa-doanya dan menganugerahkan pertolongan-Nya kepadanya” (Malfuzāt, jld. I, hlm. 338). EMPAT PANGKAT “Perlu diingat, bahwa sebagian bagian Al-Quran menjelaskan sebagian yang lain, mereka seperti tafsir atas bagian yang lain. Sesuatu disebutkan secara singkat di satu tempat dan penjelasannya diberikan di tempat lain, seolah-olah itu adalah tafsir atas bagian yang menyebutkannya secara singkat: (jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka). Satu hal telah dinyatakan selintas di sini, di tempat lain dinyatakan dengan terinci: Yaitu: Nabi-nabi, shiddiq-shiddiq, syuhada (saksi-saksi), dan orang-orang salih” (An-Nisa, 70). Mun‘am ‗alaihim (orang-orang yang atas mereka diberi nikmat) ada empat jenis: para nabi, para shiddiq, para syahid (saksi-saksi), dan para salih. Keempat pangkat ini diberikan kepada seorang nabi, karena kenabian adalah kesempurnaan yang tinggi. Tugas manusialah untuk mencoba meraih pangkat-pangkat ini melalui cara-cara perjuangan yang benar, dia harus menempuh jalan yang ditunjukkan Rasulullah saw. melalui sunah-sunnah beliau saw.. Aku juga ingin menyampaikan kepada kalian, bahwa banyak orang yang merancang cara mereka sendiri untuk mencapai pangkat-pangkat ini, menyatu dengan Tuhan, tetapi sesungguhnya semua cara tersebut diluar yang diberikan Rasulullah tidak ada artinya. Pengalaman siapa berkenaan dengan mun‘am ‗alaihim (orang-orang yang diberi nikmat) yang dapat lebih baik daripada milik Rasulullah saw. -- yang adalah kenabian yang sangat sempurna? Jalan yang beliau lakukan adalah jalan yang paling sempurna dan paling singkat. Merancang jalan-jalan lain dan meninggalkan yang ini – betapa pun menyenangkannya tampaknya -adalah berjalan sepanjang jalan kehancuran. Inilah yang telah diwahyukan Tuhan kepadaku.” (Malfuzat, jld. I, hlm. 340). (hlm 341-347) DEFINISI ‘ĀLIM RABBANI Ingatlah, yang dimaksud dengan ‗ālim Rabbani bukanlah seorang yang hanya sangat mahir dalam hal nahu sharaf (tata-bahasa Arab) atau pun mantiq (logika), melainkan yang dimaksud dengan ‗ālim Rabbani adalah seseorang yang senantiasa takut kepada Allah Ta‟ala, dan 118 lidahnya tidak melontarkan hal-hal yang tidak berguna. Namun di zaman sekarang ini orang-orang yang memandikan jenazah pun menyebut diri mereka sebagai ‗ulama, dan kata itu telah mereka leburkan di dalam diri mereka, sehingga dengan cara demikian mereka telah membuat nilai kata („ulama) tersebut jatuh sekali. Dan makna yang mereka gunakan dari kata itu adalah yang bertentangan dengan tujuan serta kehendak Allah Ta‟ala, sSebab pada hakikatnya di dalam Quran Syarif telah dipaparkan ciri-ciri ‗ulama sebagai berikut: (Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya hanyalah ulama “ – Al-Fāthir, 29). Yakni, yang takut kepada Allah Ta‟ala adalah hamba-hamba Allah yang merupakan „ulama (orang-orang berilmu). Sekarang, adalah mutlak untuk memperhatikan, bahwa orang-orang yang di dalam diri mereka tidak terdapat sifat-sifat takut kepada Allah dan sikap takwa kepada Allah maka mereka sama sekali tidak berhak dipanggil dengan sebutan itu („ulama). Sebenarnya, ‗ulama adalah bentuk jamak dari „ālim, dan ‗ilm (ilmu) adalah sesuatu yang pasti dan qath‟i, sedangkan ilmu sejati diperoleh dari Quran Syarif, tidak diperoleh dari filsafat Yunani, dan tidak pula dari filsafat Inggris, melainkan filsafat ruhaniah sejati diraih melalui Quran Syarif. Titik sempurna dan mikraj bagi seorang mukmin (orang beriman) adalah dia mencapai tahap ‗ulama tersebut, dan dia meraih derajat haqqul-yaqin, yang merupakan derajat ilmu yang paling tinggi. Namun orang-orang yang kosong dari ilmu-ilmu sejati serta jalan-jalan makrifat, dan bashirat (penglihatan ruhani) tidak terbuka atas diri mereka, maka walaupun dari mulut mereka tetap menyebut diri mereka sebagai ‘ulama, tetapi pada hakikatnya orang-orang semacam itu betul-betul buta dari keindahan-keindahan dan sifat-sifat ilmu, dan cahaya serta nur yang diraih melalui ilmu hakiki sama-sekali tidak didapati pada diri mereka. Justru orang-orang demikian itu pada hakikatnya merugi. Orang-orang itu mengisi akhirat mereka hanya dengan asap-asap kosong serta kegelapan belaka. Mengenai orang-orang seperti itulah Allah Ta‟ala telah berfirman: (“Barangsiapa yang buta di dunia ini, niscaya di akhirat pun ia akan lebih buta” - Bani Israil, 73). Yakni, barangsiapa yang buta di dunia ini maka ia akan dibangkitkan di akhirat dalam keadaan buta, yaitu seseorang yang di dunia ini tidak memperoleh ilmu bashirat serta makrifat maka di sana pun dia tidak akan memperoleh ilmu apa-apa. Mata untuk melihat Allah Ta‟ala harus dibawa dari dunia ini juga. Orang yang di dunia ini tidak ammpu menciptakan mata demikian maka dia tidak dapat diharapkan bakal menyaksikan Allah Ta‟ala di akhirat. Namun orang-orang yang dianugerahi makrifat serta bashirat sejati, dan juga dianugerahi ilmu yang mengakibatkan timbulnya rasa takut terhadap Allah, mereka itulah orang-orang yang di dalam hadits diberi kesamaan dengan para nabi Bani Israil.” (Malfuzat, jld. I, hlm. 348-349). MATA AIR ILMU-ILMU SEJATI ADALAH QURAN MAJID 119 ”Dan itu adalah karena Allah Ta‟ala telah menyerahkan kepada umat ini Quran Syarif, yang merupakan mata air serta sumber ilmu-ilmu sejati. Seseorang yang menemukan hakikat-hakikat dan makrifat-makrifat ini -- yaitu yang telah dipaparkan di dalam Quran Syarif, dan yang hanya dapat diraih melalui ketakwaan sejati serta melalui rasa takut terhadap Allah -- berarti dia meraih ilmu yang membuatnya sama seperti para nabi Bani Israil. Ya, hal ini memang benar, bahwa seseorang yang kepadanya telah diserahkan senjata, jika dia tidak menggunakan senjata itu maka itu merupakan kesalahannya sendiri, bukan kesalahan senjata. Begitu jugalah kondisi dunia saat ini. Umat Islam, walaupun pada mereka terdapat Quran Syarif yang merupakan anugerah yang tiada duanya ini dan yang telah menyelamatkan mereka dari kesesatan, serta yang telah mengeluarkan mereka dari setiap kegelapan – akan tetapi mereka telah meninggalkannya, dan mereka sedikit pun tidak mempedulikan ajaran-ajaran sucinya. Akibatnya, mereka betul-betul jauh dari Islam. Sampai-sampai, jika Islam disodorkan di hadapan mereka, dikarenakan mereka sama-sekali tidak mengenali dan tidak mengetahui Islam sejati itu, oleh sebab itu mereka menyebut seorang mukmin sejati sebagai kafir‖. (Malfuzat, jld. I, hlm. 349). PENTINGNYA MEMANFAATKAN POTENSI-POTENSI ANUGERAH ILAHI ”Banyak sekali orang yang menjalani kehidupan yang penuh dengan kebejadan dan kesenangan. Mereka menginginkan kebanggaan duniawi, kehormatan duniawi, dan harta kekayaan duniawi. Mereka menghabiskan umur mereka dalam upaya-upaya gigih dan pencarianpencarian untuk memenuhi keinginan-keinginan serta kemauan-kemauan yang semacam itu. Keinginan-keinginan mereka tidak ada habis-habisnya, sampai akhirnya datang panggilan maut (kematian). Allah Ta‟ala juga telah memberikan potensi-potensi (kemampuan) kepada mereka. Jika mereka memanfaatkan potensi-potensi tersebut tentu mereka akan menemukan kebenaran. Allah Ta‟ala tidak bersikap pelit terhadap siapa pun. Namun orang-orang itu sendiri yang tidak memanfaatkan potensi-potensi tersebut. Itu adalah kesialan yang mereka pilih sendiri. Sangat beruntung dan sangat beberkatlah orang yang memanfaatkan potensi anugerah Ilahi. Banyak sekali orang yang apabila dikatakan kepada mereka: "Takutlah kalian kepada Allah Ta‟ala. Turutilah perintah-perintah-Nya. Jauhilah larangan-larangan-Nya,” maka mereka menjawab, "Apakah kami mau menjadi wali?" Kalimat semacam itu menurutku adalah kalimat kufur. Itu merupakan prasangka buruk terhadap Allah Ta‟ala. Tidak ada kekurangan sedikit pun pada Allah Ta‟ala. Tidak seperti pemerintah, Dia tidak memiliki petugas-petugas yang terbatas, yang dapat habis, melainkan siapa saja yang menjalin hubungan-hubungan sejati dengan Allah Ta‟ala, dia dapat meraih karuniakarunia yang telah dianugerahkan kepada orang-orang salih terdahulu. Allah Ta‟ala menamakan hamba-hamba kecintaan-Nya wali. Lalu apakah suatu kesulitan bagi Allah Ta‟ala untuk menjadikan wali? Sama sekali tidak. Justru bagi-Nya hal itu sangat mudah. Yang diperlukan hanyalah manusia hendaknya melangkahkan kaki di jalan-Nya dengan benar, dan manusia harus menempuh jalan-Nya dengan sabar, teguh, dan setia. Langkahnya hendaknya tidak terganggu oleh suatu kedukaan, penderitaan, dan musibah apa pun. Tatkala manusia menjalin hubungan yang sejati dengan Allah Ta‟ala, dan menjauhkan diri dari hal-hal yang mendatangkan kemurkaan Allah Ta‟ala serta dia menempatkan (?) kesucian 120 dan kekudusan, dan menghindarkan diri dari hal-hal kotor, maka Allah Ta‟ala juga akan menjalin hubungan dengannya serta menjadi dekat dengannya. Namun jika seseorang menjauh dari Allah Ta‟ala dan dia tidak berusaha untuk keluar dari kekotoran, maka Allah Ta‟ala pun tidak akan peduli terhadapnya, sebagaimana Dia telah berfirman: (Maka tatkala mereka berpaling (dari kebenaran), Allah memalingkan hati mereka” – AshShaf, 6). (Malfuzat, jld.I,hlm. 349-350). KESEMPURNAAN TERTINGGI DARI SHIDDIQ “Prinsip dan kesempurnaan tertinggi dari shiddiq (orang yang benar) adalah ketika dia merasakan dirinya lemah serta miskin, dan mengatakan “Iyyāka na‘budu” (hanya kepada Engkau kami menyembah), sedemikian rupa dalam kekuatannya, dia mengambil kebenaran dan meninggalkan kedustaan; dia menjauhi semua kotoran yang berhubungan dengan kedustaan. Dia memutuskan untuk tidak akan pernah berkata dusta, dia tidak akan memberikan kesaksian palsu, dia tidak akan mengatakan dusta meskipun dikuasai emosi -- baik itu untuk tujuan baik atau pun perbuatan jahat – ia tidak akan berkata dusta. Mencapai taraf ini dia seolah-olah bertindak sesuai iyyāka na‘budu (hanya kepada Engkau kami beribadah), tindakannya tersebut adalah ibadah yang sempurna. Iyyāka na‘budu (hanya kepada Engkau kami beribadah) diikuti oleh iyyāka nasta‘īn (hanya kepada Engkau kami memohon pertolongan). Meskipun dia tidak mengucapkan katakata ini, Tuhan Yang Maha Perkasa – Yang adalah Sumber utama dari semua anugerah dan kebenaran -- pastilah menolongnya. Dia juga akan menjelaskan prinsip kejujuran dan kebenaran. Contohnya, setiap orang mengetahui bahwa pedagang yang mengikuti prinsip yang baik serta bertindak benar dan jujur, akan mendapat tambahan ribuan rupees atas penanaman modalnya yang satu penny”. (Malfuzāt, jld I, hlm. 350). CARA MENJADI WALI Ringkasnya, potensi-potensi yang telah dianugerahkan kepada manusia ini, jika manusia memanfaatkannya pasti dia dapat menjadi wali. Aku katakan dengan seyakin-yakinnya, bahwa di dalam umat ini terdapat orang-orang yang memiliki potensi (kemampuan) besar, yaitu orangorang yang dipenuhi oleh nur, kebenaran (kejujuran), dan kesetiaan. Oleh karena itu, hendaknya jangan ada orang yang menganggap dirinya mahrum (luput). Apakah Allah Ta‟ala telah menerbitkan suatu daftar yang darinya diphami bahwa kita tidak akan memperoleh berkat-berkat itu? Allah Ta‟ala adalah Maha Penyayang. Kasih-sayangnya merupakan lautan yang luas dan dalam, yang tidak akan pernah bisa habis, dan yang tidak pernah 121 luput bagi orang yang berusaha dan mencari. Oleh karena itu hendaknya kalian bangun di malam-malam hari dan panjatkanlah doa-doa. Mohonlah karunia-Nya. Di dalam setiap salat, terdapat berbagai kesempatan untuk berdoa: rukuk (?) berdiri, duduk, sujud, dan sebagainya. Kemudian sehari-semalam mengadakan salat lima kali: subuh, zuhur, ashar, maghrib, dan isya. Lebih maju dari itu adalah salat-shalat isyraq dan tahajjud. Semua ini merupakan kesempatan-kesempatan untuk berdoa.” (Malfuzat, jld. I, hlm. 351-352). INTISARI SALAT ADALAH DOA Tujuan dan intisari hakikat salat adalah doa, dan memanjatkan doa sangat sesuai dengan hukum kudrat Allah Ta‟ala. Mislnya kita secara umum melihat, bahwa tatkala seorang bayi menangis-nangis dan menampakkan kegelisahannya, maka betapa sang ibu menjadi tidak tenang lalu memberikan susu kepada bayi itu. Antara Tuhan dengan hamba juga terdapat hubungan semacam itu, yang tidak dapat dipahami oleh setiap orang. Ketika seorang manusia menjatuhkan diri di hadapan pintu Allah Ta‟ala, dan dengan merendahkan diri serta dengan isak tangis menyampaikan keadaannya, serta memohonkan kebutuhan-kebutuhannya, maka kasih-sayang Allah Ta‟ala pun akan bergejolak, dan orang yang seperti itu akan dikasihi. Susu karunia dan kasih-sayang Allah Ta‟ala juga menghendaki adanya tangis, karena itu hendaknya ditampilkan mata yang menangis.” (Malfuzat, jld. I, hlm. 352). MANUSIA TIDAK BERDAYA “Tidak ada seorang pun yang dapat berbuat sesuatu tanpa karunia dan bantuan Tuhan. Tetapi ketika seseorang ditarik ke arah Tuhan dan menyatu dengan Wujud-Nya, dia melakukan tindakan yang dapat disebut sebagai perbuatan Tuhan, dan kemudian cahaya kesempurnaan mulai menyinarinya. Berkaitan dengan kelemahan manusia, hal itu tidak terbatas. Dia bahkan tidak dapat bergerak satu langkah pun tanpa karunia dan pertolongan Tuhan. Aku betul-betul yakin bahwa jika seseorang tidak ditolong oleh Tuhan, dia bahkan tidak dapat mengancingkan celananya setelah ke belakang. Dokter berkata bahwa ada sebah penyakit yang dapat membunuh manusia melalui bersin. Sesungguhnya manusia adalah kumpulan kelemahan-kelemahan, dan itu sebabnya Tuhan berfirman: Khuliqal insānu dha‘īfa -- manusia diciptakan lemah. Tidak ada sesuatu yang dimiliki manusia. Dia tidak punya organ tubuh sebanyak penyakit yang diapunyai. Dia adalah sasaran dari segala macam kelemahan, keamanannya hanya bergantung pada kejujurannya kepada Tuhan-nya. Dia hendaknya menjadi hamba-Nya yang sejati serta tulus, dan untuk itu dia harus menjalankan kejujuran yang sempurna. Bahkan tubuh jasmani pun bergantung pada kejujuran. Mereka yang meninggalkannya dan melakukan kedustaan, perlindungan mereka betul-betul rusak. Sangat mungkin seseorang dapat memperoleh sesuatu dengan berkata dusta, tetapi jelas hal itu menggelapkan hati dan dia digerogoti dari dalam seperti rayap menggerogoi sesuatu dari dalam. Seseorang harus mengatakan banyak dusta untuk menutupi satu dusta yang harus diberi 122 sedikit warna kebenaran. Dengan demikian bakat ruhani dan moralnya terkikis dari dalam, dan dia mencapai taraf dimana dia mendustakan Tuhan dan rasul-rasul-Nya, sehingga dia ditetapkan Tuhan sebagai pendusta, sebagaimana Dia berfirman: (Maka siapakah yang lebih aniaya daripada orang yang membuat-buat dusta terhadap Allah atau mendustakan Ayat-ayat-Nya?” – Al-A‘rāf, 38). (Malfuzāt, jld. I, hlm. 352). MENANGIS DI HADAPAN ALLAH TA‟ALA Sebagian orang beranggapan bahwa tidak ada yang diperoleh dengan menangis di hadapan Allah Ta‟ala. Itu sama-sekali salah dan tidak benar. Orang-orang semacam itu tidak percaya pada Wujud Allah Ta‟ala, pada sifat-sifat, kudrat, dan kekuasaan-Nya. Jika mereka memiliki keimanan sejati maka tentu mereka tidak akan berani berucap demikian. Bila saja seseorang datang ke hadapan Allah Ta‟ala, dan dia kembali dengan sikap taubat yang sejati maka Allah Ta‟ala selalu melimpahkan karunia-Nya kepada orang itu….. Allah Ta‟ala menghendaki supaya kalian datang kepada-Nya membawa kalbu yang suci. Syaratnya hanyalah jadikanlah diri kalian sesuai dengan-Nya. Dan perubahan hakiki yang menjadikan seseorang berkelayakan untuk datang ke hadapan Allah Ta‟ala, tunjukkanlah di dalam diri kalian bahwa itu sudah terjadi. Aku katakan dengan sebenar-benarnya, bahwa pada Allah Ta‟ala terdapat kudrat-kudrat yang sangat menakjubkan, dan Dia memiliki karunia serta berkat-berkat yang tidak ada batasnya. Namun untuk melihat dan memperolehnya ciptakanlah mata kecintaan. Jika sudah ada kecintaan sejati maka Allah Ta‟ala akan mendengarkan banyak sekali doa [kalian], dan Dia akan memberikan dukungan.” (Malfuzat, jld. I, hlm. 352-353). KECINTAAN TERHADAP ALLAH TA‟ALA Namun syaratnya adalah terdapat kecintaan dan keikhlasan terhadap Allah Ta‟ala. Kecintaan terhadap Allah adalah sesuatu yang menghanguskan kehidupan rendah (hina) manusia lalu menjadikannya sebagai seorang manusia yang baru dan bersih. Saat itu dia menjadi melihat sesuatu yang tidak pernah dilihatnya sebelumnya, dan dia mendengar sesuatu yang tidak pernah dia dengar sebelumnya. Ringkasnya, hidangan karunia dan berkat-berkat yang telah disediakan Allah Ta‟ala bagi manusia, untuk meraihnya dan untuk memanfaatkannya, Allah Ta‟ala juga telah menganugerahkan potensi-potensi (kemampuan-kemampuan). Sebab jika Dia hanya menganugerahkan potensi-potensi itu saja, tetapi tidak menyediakan sarana (bahan), maka itu pun merupakan suatu kekurangan. Atau, jika yang ada hanya sarana (bahan) tetapi potensipotensi tidak diberikan maka apa gunanya? Namun tidak. Tidak demikian halnya. Dia telah menganugerahkan potensi-potensi, dan Dia juga telah menyediakan sarana-sarana (bahan). Seperti halnya di satu sisi Dia telah menciptakan sarana (bahan) berupa makanan, di sisi lain 123 Dia juga telah menyiapkan mata, lidah, gigi, lambung, hati untuk tugas tersebut. Dan tumpuan semua pekerjaan itu diletakkan pada makanan. Jika di dalam perut tidak ada sedikit pun, maka dari mana datangnya darah untuk jantung? Dan dari mana timbulnya gizi? Demikian juga, pertama-tama Allah Ta‟ala telah memberikan karunia ini, yakni mengutus Rasulullah saw. dengan memberikan kepada beliau Islam yang merupakan agama sempurna. Dan beliau saw. dinyatakan-Nya sebagai Khātamun Nabiyyīn. Dan Dia telah menganugerahkan Quran Syarif yang merupakan Kitab yang penghabisan -- yakni sesudahnya dan hingga Kiamat tidak akan ada Kitab lain, dan tidak pula ada nabi baru yang akan membawa syariat baru -kemudian, potensi pikiran dan renungan yang ada, jika kita tidak memanfaatkannya serta tidak melangkahkan kaki ke arah Allah Ta‟ala maka betapa kita merupakan orang yang malas dan tidak bersyukur. Renungkanlah, di dalam surah pertama [Al-Quran] ini, betapa Dia telah memberitahukan jalan karunia yang sangat lapang. Di dalam surah itu – yang dinamakan Khātimul Kitāb dan Ummul Kitāb – dengan jelas diberitahukan apa yang menjadi tujuan hidup manusia dan jalan apa untuk meraihnya? "Iyyāka na'budu – [hanya kepada Engkau-lah kami menyembah]" (AlFatihah:5). Itu merupakan tujuan dan maksud hakiki bagi manusia. Dan hal itu diterangkan lebih dahulu dari "Iy yāka nasta'īn – [ hanya kepada Engkau-lah kami meminta pertolongan]" (Al-Fatihah:5), hal itu menunjukkan bahwa, pertama-tama yang paling penting adalah sejauh kemampuan, asa, dan pemahaman yang dimiliki manusia, hendaknya manusia berusaha dan berjuang keras menempuh perjalanan keridhaan Allah Ta‟ala, dan memanfaatkan sepenuhnya potensi-potensi anugerah Allah Ta‟ala, dan sesudah itu barulah memanjatkan doa untuk kesempurnaan dan perolehan hasilnya yang baik”. (Malfuzat, jld. I, hlm. 353-354). TUJUAN HIDUP MANUSIA & MENEMPUH SHIRATAL-MUSTAQIM Maksud dan tujuan hidup manusia adalah menempuh shirāthal mustaqīm (jalan lurus) dan mencarinya. Yaitu yang telah diterangkan di dalam surah ini sebagai berikut: "Ihdinash shiraathal mustaqiim shiraathal ladziina an'amta 'alaihim" -- Wahai Allah, tunjukilah kami jalan yang lurus, yaitu jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka” (AlFatihah, 6-7). Ini adalah tujuan doa yang yang dipanjatkan di dalam setiap salat dan setiap rakaat. Pengucapan doa ini sekian banyak kali menunjukkan betapa pentingnya doa in. Jemaatku hendaknya ingat, ini bukanlah hal yang biasa. Dan tujuannya bukannya sekedar mengucapkannya begitu saja dari mulut bagai burung beo, melainkan doa ini merupakan sebuah resep yang mujarab dan resep yang tidak akan meleset, untuk menjadikan manusia sebagai insan kamil (manusia sempurna). Doa ini hendaknya harus dijadikan sebagai motto utama setiap saat. Dan hendaknya selalu diingat seperti jimat. Di dalam ayat ini dipanjatkan doa untuk meraih empat macam kesempurnaan. Jika manusia meraih keempat macam kesempurnaan ini berarti dia telah memenuhi hak (tujuan) pemanjatan doa dan penciptaan manusia. Dan juga akan terpenuhi hak untuk memanfaatkan potensi-potensi serta kemampuan yang telah dianugerahkan kepadanya. Hal ini hendaknya jangan pernah dilupakan, bahwa sebagian isi Al-Qurabn Syarif memberikan penafsiran dan penjelasan terhadap sebagian isi lainnya. Di satu tempat jika suatu perkara itu dipaparkan secara garis besar saja, maka di tempatt lain perkara itu dipaparkan 124 secara terbuka. Jadi, penjelasan kedua menafsirkan penjelasan pertama. Jadi, di sini dimana Dia berfirman: "Shiraathal l adzi i na an' amta 'al aihi m – t(jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka” – Al-Fatihah, 7), itu merupakan bentuk garis besar. Namun di tempat lain dipaparkan tafsir mengenai orang-orang yang telah memperoleh nikmat (anugerah) tersebut: (“Yaitu: Nabi-nabi, para shiddiqiin, syuhada (saksi-saksi), orang-orang salih” - An-Nisa, 70). Yakni, orang-orang yang telah memperoleh anugerah itu terdiri dari empat macam: nabi, shiddiq, syahid, dan salih. Keempat kemuliaan ini terkumpul di dalam diri para nabi, sebab [nabi] itu merupakan kesempurnaan yang tertinggi Merupakan kewajiban setiap manusia untuk berusaha keras melakukan upaya gigih – sesuai cara yang telah diperlihatkan oleh Rasulullah saw. – guna meraih kesempurnaan-kesempurnaan tersebut.” (Malfuzat, jld. I, hlm. 355). KALĀM ALLAH & KALĀM-E-NAFS Aku menyayangkan, bahwa aku tidak menemukan kata-kata yang dapat menggambarkan hakikat kesempurnaan (kehebatan) itu. Ini merupakan satu ketentuan bahwa, semakin tinggi sesuatu itu, semakin lemah (sedikit) kata-kata yang dapat menjelaskannya. Dan nubuwat (kenabian) itu merupakan suatu derajat yang paling tinggi bagi manusia, oleh karena itu bagaimana mungkin kata-kata ini dapat menggambarkannya. Secara ringkas serta secara tidak memadai aku dapat menyebutkan, bahwa tatkala manusia meninggalkan kehidupan rendah (hina) serta benar-benar memisahkan diri dari kehidupan itu -seperti kulit ular yang ditinggalkan -- maka keadaannya menjadi lain. Secara zahir dia tampak berjalan ke sana ke mari di muka bumi ini, makan, minum, dan hukum kudrat pun berlaku atas dirinya seperti orang-orang lainnya, namun walaupun demikian dia terpisah dari dunia ini, dan dia mencapai kemajuan demi kemajuan sehingga mencapai kedudukan (derajat) yang disebut nuqthah nubuwwat (derajat kenabian), dan dia bercakap-cakap dengan Allah Ta‟ala. Dan percakapan itu mulai berlangsung tatkala dia terlepas dari jiwa (nafsu) dan hubungan-hubungan lainnya, lalu hanya menjalin hubungan dengan Allah Ta‟ala semata serta dengan Dia-lah ia bercakap-cakap. Keadaan manusia adalah sedemikian rupa, bahwa dia tidak pernah hidup tanpa melakukan sesuatu, dan tidak pernah putus berdialog (bercakap-cakap) dengan jiwanya Dialognya (percakapannya) mulai berlangsung dengan jiwanya serta setan – jika tidak ada dialog dengan yang lainnya. Kadang-kadang orang melihat bahwa insan (manusia) betul-betul diam, namun pada hakikatnya dia tidak diam. Dia mulai melakukan dialog (percakapan) dengan jiwanya, dan kadang-kadang hal itu terlalu berkepanjangan, serta dia perpanjang sendiri dalam corak setaniah. Dia biarkan dialog itu berlangsung dalam bentuk kotor (amoral). Rangkaian dialog ini kadangkadang tampil dalam bentuk dosa, khayalan, kadang-kadang dalam bentuk angan-angan yang nonsen dan sia-sia. Dia tidak pernah lepas dari dialog tersebut selama belum meninggalkan kehidupan rendah seperti itu. Ini pun hendaknya diingat, bahwa untaian bahaya dan pemikiran-pemikiran semacam ini -yang tidak dibiarkan berkepanjangan oleh manusia, dan lenyap di dalam hati seperti pemikiran- 125 pemikiran biasa lainnya -- adalah dimaafkan. Akan tetapi tatkala untaian [dialog/percakapan jiwa] itu dibuarkan berlarut-larut dan diwujudkan dalam bentuk tekad (keinginan besar) maka itu merupakan dosa, dan manusia harus mempertanggungjawabkannya. Tatkala manusia membuang pemikiran-pemikiran yang timbul di dalam hatinya itu, serta tidak memperpanjangnya, maka tidak diragukan lagi bahwa hal itu dapat diampuni. Akan tetapi jika dalam kondisi yang berlarut-larut itu telah timbul kelezatan dan terus saja dia kembangkan, maka hal itu akan dituntut, sebab itu sudah termasuk tekad (keinginan besar). Sebagaimana sebelumnya pun telah aku jelaskan, ingatlah akan hal ini, yakni kalām-enafsi (percakapan/dialog dengan jiwa sendiri) terdiri dari dua macam. Kadang-kadang larut dalam pemikiran-pemikiran buruk setaniah dan tenggelam dalam suatu untaian panjang anganangan. Selama manusia masuk terjerat dalam untaian keduanya maka sangat besar peluang untuk dipengaruhi setan, dan sangat besar kemungkinan baginya untuk mengalami kemudharatan, dan setan melukainya. Misalnya, ada orang yang menyusun rencana, bahwa seseorang telah menjadi hambatan besar bagi keinginan dan cita-citanya maka orang itu hendaknya dibunuh saja. Atau seseorang telah menyebutnya dengan perkatakan “kau/kamu”, dia ingin membalas dendam dan memotong hidung orang itu. Ringkasnya, dia terus saja terjerat dalam rencana-rencana dan pemikiran semacam itu. Penyakit ini sangat berbahaya. Orang itu tidak mengerti betapa dia sedang merusak jiwanya melalui hal-hal demikian dan betapa dia menimbulkan pengaruh buruk terhadap potensi-potensi akhlak dan ruhaninya. Oleh karena itu hendaknya selalulah hindarkan diri dari pernikiranpernikiran semacam itu. Apabila pemikiran-pemikiran nonsens seperti itu mulai timbul, segeralah berusaha menghapuskannya. Bacalah istighfar, mintalah pertolongan dan taufik dari Allah Ta‟ala dengan perantaraan Lā haula, dan sibukkanlah diri dalam menelaah Kitab Allah Ta‟ala. Dan camkanlah, bahwa rangkaian pemikiran semacam itu sedikit pun tidak bermanfaat, yang ditimbulkannya hanyalah kehancuran dan kemudharatan. Kalau pun musuh mati, apalah artinya? Dan kalau pun hidup, apalah artinya? Menimbulkan keuntungan dan kemudharatan (kerugian) itu terletak di dalam ikhtiar Allah Ta‟ala. Tidak ada seorang pun yang dapat menimbulkan kedukaan pada diri orang lain…. Jadi, manusia hendaknya merenungkan, apalah keuntungan dan kebahagiaan yang dapat diperoleh melalui rencana dan pemikiran-pemikiran semacam itu. Rangkaian seperti itu sangat berbahaya. Obatnya adalah taubat, istighfar, lā haula, dan menelaah Kitab Allah Ta‟ala. Dalam kondisi [manusia] tidak memiliki kegiatan dan kesibukan, untaian pemikiran semacam itu dapat timbul berlarut-larut. Jenis kedua kalām-e-nafsi (percakapan/dalog dengan jiwa sendiri) adalah amāni. Ini pun dikarenakan menimbulkan keinginan-keinginan nonsense serta darinya timbul penyakit-penyakit dengki dan mementingkan diri sendiri (egoisme), maka begitu untaian tersebut terbentuk, segeralah hapuskan. Kedua jenis kalām-e-nafsi yang aku uraikan ini, akhirnya menghancurkan manusia. Akan tetapi nabi terpelihara dari kedua kalām (percakapan) semacam itu.” (Malfuzat, jld. I, hlm. 356-359). DOA NABI SETIAP SAAT Nabi setiap saat berkata-kata dengan Allah Ta‟ala, dan nabi senantiasa memanjatkan doa 126 ini, yakni, “Ya Allah, aku cinta kepada Engkau, dan hanya keridhaan Engkau-lah yang aku cari. Limpahkanlah karunia kepadaku sedemikian rupa, sehingga aku dapat mencapai tahap yang merupakan tahap keridhaan Engkau. Berikanlah taufik kepadaku untuk berbuat amal-amal yang disukai (diridhai) pada pandangan Engkau. Bukakanlah mata dunia, supaya mereka mengenali Engkau dan menjatuhkan diri di hadapan singgasana Engkau”. Inilah pemikiran-pemikiran [nabi] itu, dan inilah keinginan-keinginannya. Dan dia begitu lenyap dan fana (larut) di dalam hal itu, sehingga orang lain tidak dapat mengenalinya. Nabi mempertahankan rangkaian kondisi itu dengan penuh kelezatan. Kemudian di situ dia mencapai suatu tahap dimana kalbunya menjadi cair dan ruhnya mengalir. Dia dengan sepenuh kekuatan dan tenaga menjatuhkan diri di hadapan singgasana Ilahi, dan meneriakkan "Anta Rabbii, Anta Rabbii – [Engkaulah Tuhan-ku, Engkau Tuhan-ku).” Maka karunia dan kasih-sayang Allah Ta‟ala bergejolak, dan Dia berbicara dengan nabi itu serta memberi jawaban kepada nabi itu melalui Kalam-Nya. Ini adalah suatu rangkaian [percakapan] yang begitu nikmat, sehingga tidak setiap orang dapat memahaminya, dan kenikmatan ini sedemikian rupa sehingga kata-kata tidak mampu menjelaskannya. Jadi, nabi itu berkali-kali mengetuk pintu Allah seperti orang yang haus meminta-minta minum. Dan di sang dia menemukan kenyamanan serta ketenteraman bagi dirinya. Dia berada di dunia, tetapi dia terpisah dari dunia. Dia tidak menginginkan benda apa pun di dunia, tetapi dunia menjadi khadimnya (pengkhidmatnya), dan Allah Ta‟‟ala membawakan dunia di hadapan kakinya [siap untuk mengkhidmati]” (Malfuzat, jld. I, hlm. 360-361). (hlm 362-366) MANUSIA TIDAK SUCI “Pada hakikatnya, selama manusia belum meninggalkan dusta, dia tidak akan memperoleh kesucian. Orang-orang dunia yang tak berguna dapat saja mengatakan bahwa, "Tanpa dusta, tidak dapat hidup." Itu adalah suatu ucapan yang sia-sia, sebab jika dengan cara jujur tidak dapat hidup, maka dengan dusta pun sama-sekali tidak dapat hidup! Sangat disayangkan orang-orang bejad ini tidak menghargai Allah Ta‟ala. Mereka tidak tahu, bahwa tanpa karunia dari Allah Ta‟ala tidak akan dapat hidup. Mereka menganggap najis dusta itu sebagai berhala dan jalan keluar bagi kesulitan-kesulitan mereka. Itulah sebabnya Allah Ta‟ala telah menguraikan tentang dusta dalam Al-Quran Suci dengan menghubungkannya pada kenajisan berhala-berhala. Pahamilah seyakin-yakinnya. Jangankan satu langkah, satu hirupan nafas pun tidak akan dapat kita hirup tanda adanya karunia dari Allah Ta‟ala. Berapa banyak kemampuan yang ada di dalam tubuh kita, namun apakah kita dapat menggunakannya melalui kekuatan kita sendiri? Tidak, sama sekali tidak.” (Malfuzat, jld. I, hlm. 367). ARTI BERTAWAKKAL KEPADA ALLAH Orang-orang yang bertumpu sepenuhnya pada kemampuan diri mereka dan meninggalkan Allah Ta‟ala, akibat akhir yang akan mereka alami tidak baik. Arti bertumpu sepenuhnya pada Allah Taala bukanlah supaya diam saja berpangku tangan, melainkan memanfaatkan saranasarana yang telah diciptakan oleh Allah Ta‟ala, lalu menggunakan potensi-potensi 127 (kekuatan/kemampuan) yang telah dianugemhkan Allah Ta‟ala, kemudian barulah bertumpa sepenuhnya kepada Allah Ta‟ala. Nah, demikian itulah jalan yang hakiki, dan itu berarti menghargai Allah Ta‟ala. Orang-orang yang tidak memanfaatkan potensi-potensi anugerah Ilahi, dan dengan mulut mereka saja mereka mengatakan, bahwa mereka bertumpu sepenuhnya kepada Allah Ta‟ala, mereka itu dusta, dan mereka tidak menghargai (menghormati) Allah Ta‟ala. Dan dengan cara demikian mereka itu bersikap lancang dan kurang ajar di hadapan Allah Ta‟ala. Mereka jauh menyimpang dari makna "Iyyaaka na'budu – (hanya kepada Engkau-lah kami menyembah), dan mereka tidak mengamalkan hal itu, melainkan tanpa mengamalkan hal itu mereka hanya menginginkan "Iyyaaka nasta'iin (hanya kepada Englau kami meminta pertolongan]." Hal itu samasekali tidak pantas, melainkan sedapat mungkin, dan sejauh kemungkinan serta kemampun yang ada hendaknya harus menggunakan sarana-sarana. Namun, sarana-sarana ini hendaknya jangan dianggap sebagai tuhan dan solusi, melainkan dengan memanfaatkannya, lalu serahkanlah hasil akhirnya pada karunia-karunia Allah. Dan hendaknya bersujudsyukurlah, sebab Allah telah menganugerahkan potensi-potensi dan kemampuan seperti itu. (Malfuzat, Jld. 1, hlm.367-368). DERAJAT SYAHID ”Tuhan Yang Maha Perkasa berfirman dalam Al Quran: (Dan niscaya akan Kami berikan cobaan kepada kamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan” – Al-Baqarah, 156). Di sini makna “buah-buahan” termasuk juga anak-anak. Lebih lanjut adalah hal yang mungkin, bahwa hasil panen yang telah dipersiapkan dengan susah-payah, ketika mulai matang dia seketika hancur jadi debu. Atau, pekerjaan lain yang telah berlangsung dengan susah-payah ternyata tidak memberikan hasil. Pendeknya, banyak jenis ujian dan kesusahan yang dapat diderita manusia dan semua itu adalah ujian dari Tuhan. Orang-orang yang dalam keadaan seperti ini menyerahkan diri mereka kepada kehendak Tuhan dan tunduk kepada takdir-Nya, mereka hanya berkata. “ Innā lillāhi wa innā ilaihi rāji‘ūn – “sesungguhnya kami adalah kepunyaan Tuhan dan kepada-Nya-lah kami kembali.” Dan mereka mengatakan hal tersebut dengan kerelaan dalam hati, mereka tidak mengeluh mengapa hal tersebut terjadi pada diri mereka. Mereka inilah jenis manusia yang Tuhan berfirman: ulāika ‗alaihim shalawātun yakni, “Mereka inilah manusia yang diberkati secara khusus oleh Tuhan”. Dia menuntun mereka jalan di dalam kesusahan mereka. Kalian harus ingat, bahwa Tuhan adalah Maha Pemurah dan Maha Penyayang, dan siapa pun yang menyerah kepada kehendak-Nya tidak akan dibiarkan tanpa pertolongan-Nya. Inilah derajat dimana Tuhan menghendaki manusia menerima jalan apa pun yang Dia berikan baginya. Ada lagi derajat lain, “Ud-‗ūnī astajib lakum -- “berdoalah kepada-Ku, Aku kabulkan bagi kamu.” Di sini Tuhan berjanji bahwa Dia akan melakukan apa pun permintaan hamba-Nya kepada-Nya. Syahid adalah derajat pertama, dimana dengan gembira dia menerima apa pun yang Tuhan berikan kepadanya. Segala kepedihan yang terjadi padanya bagaikan hadiah dari Temannya (Tuhan Yang Maha Perkasa)” (Malfuzāt, jld I, hlm. 368). 128 BERDUSTA MEMBUAT GELAP “Pahamilah seyakin-yakinnya, bahwa manusia adalah himpunan kelemahan-kelemahan. Sehubungan dengan itu Allah Ta‟ala berfirman: "Khuliqal insānu dha'īfa -- (manusia diciptakan dalam keadaan lemah" - An-Nisa:29). Manusia tidak memiliki apa-apa, dari kepala sampai kaki tidak ada satu bagian pun yang tidak terkena penyakit. Apabila manusia sudah merupakan sasaran dan kumpulan kelemahan-kelemahan, maka jalan yang aman dan sehat baginya adalah ialah hendaknya urusannya dengan Allah Ta‟ala menjadi bersih, dan dia menjadi hamba-Nya yang sejati serta mukhlis. Baginya mutlak supaya dia menerapkan shiddiq (kejujuran/benar), sebab keharmonisan tatanan jasmani pun adalah shiddiq (kejujuran/benar). Orang-orang yang meninggalkan kejujuran dan berkhianat, lalu menganggap kedustaan itu sebagai tempat perlindungan bagi kejahatan-kejahatan, mereka sungguh keliru. Untuk sesaat dan untuk sementara mungkin saja manusia memperoleh manfaat darinya, namun pada hakikatnya dengan melakukan kedustaan maka kalbu manusia menjadi gelap dan dia digerogoti dari dalam. Demi satu kedustaan dia terpaksa mengarang banyak sekali kedustaan lainnya, sebab dia harus membalut kedustaan itu dengan warna kebenaran. Demikianlah, potensi-potensi akhlak dan ruhaninya dari dalam menjadi runtuh, sampaisampai dia jadi demikian berani serta nekadnya, sehingga diapun berdusta pada Allah Ta‟ala dan juga mendustakan para Rasul dan Allah Ta‟ala, dan di sisi Allah Ta‟ala dia menjadi orang yang paling aniaya. Sebagaimana Allah Ta‟ala berfirman: (dan siapakah yang lebih aniaya daripada orang yang membuat-buat suatu kedustaan terhadap Allah, atau mendustakan ayat-ayat-Nya? – Al-An‘ām, 22). Yakni, siapakah yang dapat lebih aniaya dari orang yang mengada-adakan dusta dan kebohongan atas Allah Taala, atau mendustakan Tanda-tanda-Nya? Ingatlah baik-baik, dusta adalah sebuah petaka sangat buruk yang membinasakan manusia. Dampak berbahaya dari kedustaan apa lagi, kecuali manusia tersebut menjadi layak menerima hukuman atas sikap mendustakan para Rasul Alah Ta‟ala dan Ayat-ayat-Nya (Tanda-tanda-Nya)? Oleh karena itu mutlak bagi kalian supaya menerapkan sifat shiddiq (jujur/benar). Tertera di dalam riwayat tentang Hadhrat Sayid Abdul Qadir Jailani, bahwa ketika beliau berangkat dari rumah untuk menuntut ilmu, ibu beliau menjahitkan 80 uang emas di lipatan kain baju beliau di bawah ketiak, lalu menasihati beliau, “Anakku, sekali-kali engkau jangan berdusta.” Ketika Hadhrat Sayyid Abdul Qadir Jailani berangkat, pertama-tama beliau melewati sebuah belantara tempat persembunyian gerombolan pencuri dan penyamun, dan di sana beliau berjumpa dengan gerombolan penyamun, mereka menangkap beliau dan menanyakan apa yang ada pada beliau. Beliau melihat bahwa pada tahap pertama saja sudah dihadang oleh cobaan, maka beliau ingat akan nasihat ibu beliau, dan langsung menjawab, “Pada saya terdapat 80 keping uang emas, yang dijahitkan oleh ibu saja di bawah ketika saya.” Mendengar hal itu penyebut tersebut sangat heran, “Apa pula yang diucapkan faqir ini? Belum pernah kami menemukan orang jujur seperti ini.” Lalu mereka menangkap beliau dan membawa beliau kepada pemimpin mereka sambil menceritakan hal itu. Ketika kepala penyamun itu bertanya lagi kepada beliau, tetap saja beliau membeberkan 129 jawaban yang sama. Akhirnya ketika jahitan di baju beliau itu dibuka, ternyata benar ada 80 keping uang emas. Mereka semua menjadi heran. Kepala penyamun itu menanyakan kenapa berbuat demikian? Maka beliau pun menjelaskan tentang nasihat ibu beliau dan mengatakan, “Saya berangkat dari rumah untuk menuntut ilmu agama. Jika pada tahap pertama saja sudah berkata dusta, maka apalah yang dapat saya raih? Oleh karena itu saya tidak meninggalkan kejujuran." Ketika beliau menjelaskan hal tersebut lalu kepala penyamun itu menangis meraung-raung dan menjatuhkan diri di telapak kaki beliau, dan dia bertaubat atas segala dosanya terdahulu. Diriwayatkan bahwa orang itulah yang menjadi murid pertama beliau. Ringkasnya, kejujuran (kebenaran) adalah sesuatu yang menyelamatkan manusia dari keadaan yang paling sulit sekalipun….Jadi, seberapa banyak manusia menerapkan kejujuran (kebenaran) dan mencintai hal itu, maka sebanyak itu pulalah dalam kalbunya (hatinya) timbul kalām (percakapan) Allah Ta‟ala dan kecintaan terhadap para nabi serta makrifat, sebab itu merupakan suri-teladan dan sumber mata air segenap orang jujur (shiddiq). Dan perintah, "Kūnū ma‘ash-shādiqīn – (bergaullah dengan orang-orang yang jujur/benar” – At-Taubah, 119) adalah atas dasar prinsip tersebut.” (Malfuzat, jld. I, hlm. 369-371). MARAH DAN SABAR [Orang-orang] ini mencaci-makiku, namun aku tidak akan mempedulikan caci-makian mereka, dan tidak pula aku menyesali mereka, sebab dalam pertandingan ini mereka telah kalah. Dan mereka tidak dapat menyembunyikan kekalahan mereka, serta ketaklukkan mereka mereka tidak harus mengalamii kutukan atas kedustaan mereka dan tentu mereka akan selamat dari itu. Aku katakan, sebenarnya, prasangka buruk adalah petaka sangat buruk yang membinasakan iman manusia, dan yang melemparkan manusia jauh dari kejujuran serta kebenaran, dan yang mengubah kawan-kawan menjadi musuh. Untuk mencapai kesempurnaan para shiddiq, mutlak agar manusia benar-benar menghindarkan diri dari prangsangka buruk. Dan jika mengenai seseorang timbul prasangka buruk, maka banyak-banyaklah beristighfar, dan banyaklah berdoa kepada Allah Ta‟ala, supaya kalian terhindar dari dosa itu serta dari dampak buruknya, yaitu [dampak buruk] yang mengikuti prangsangka buruk tersebut dari belakang. Jangan pernah menganggapnya sebagai hal biasa, Ini adalah penyakit sangat berbahaya yang darinya manusia sangat cepat binasa. Ringkasnya, prangsangka buruk menghancurkan manusia, sampai-sampai ada tertulis, ketika orang-orang neraka akan dimasukkan ke dalam api neraka, Allah Ta‟ala akan berfirman kepada mereka bahwa mereka telah berprasangka buruk terhadap Allah Ta‟ala. Sebagian ada yang beranggapan bahwa Allah Ta‟ala akan mengampuni orang-orang yang berbuat kesalahan, sedangkan orang-orang yang berbuat baik akan diberi azab. Pemikiran seperti itu juga merupakan prasangka buruk terhadap Allah Ta‟ala, sebabnya benar-benar bertentangan dengan sifat Adil-Nya, seakan-akan kebaikan serta akibat-akibatnya yang telah Dia tetapkan dalam Al-Quran Syarif sungguh dibuat sia-sia dan dianggap tidak bermakna. Jadi, ingatlah baik-baik, dampak akhir prasangka buruk adalah neraka. Jangan menganggapnya sebagai penyakit biasa. Dari prasangka buruk itu timbul keputus-asaan, dari keputus-asaan timbul kejahatan-kejahatan, dan dari kejahatan-kejahatan itu yang diperoleh adalah neraka. Prasangka buruk adalah sesuatu yang memotong akar kebenaran, Oleh karena itu kalian harus menghindarkan diri darinya, dan banyaklah berdoa untuk meraih kemampuankemampuan sebagai orang shiddiq. (Malfuzat, jld. I, hlm. 371-372). 130 PRASANGKA BURUK DAN AKIBATNYA “Ingatlah baik-baik, segenap kekacauan dan keburukan timbul dari prasangka buruk. Oleh karena itu Allah Ta‟ala sangat melarangnya: "I nna ba'dhazh zhanni itsmun — [sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa” -- Al-Hujurāt, 13). Seandainya para ulama tidak berprasangka buruk terhadapku, dan dengan hati yang benar serta teguh mereka mendengar ucapan-ucapanku; membaca buku-bukuku, serta menetap bersamaku dan menyaksikan keadaan-keadaanku, maka tentu mereka samasekali tidak akan melontarkan celaan-celaan yang mereka tujukan kepadaku itu. Namu ketika mereka tidak menghargai perintah Allah Ta‟ala tersebut dan tidak menerapkannya (mengamalkannya), maka akibatnya mereka berprasangka buruk terhadapku dan juga berprangka buruk terhadap Jemaatku. Dan mereka mulai melontarkan tuduhan-tuduhan palsu serta celaan-celaan. Sampai-sampai ada sebagian yang dengan sangat tidak bermalu menuliskan, "Ini adalah golongan orang yang tidak percaya pada Tuhan. Orang-orang ini tidak salat. Mereka tidak puasa,” dan sebagainya. Jika mereka menghindarkan diri dari prasangka buruk ini, tentu mereka tidak harus mengalami kutukan atas kedustaan mereka dan tentu mereka akan selamat dari itu. Aku katakan, sebenarnya prasangka buruk adalah petaka sangat buruk yang membinasakan iman manusia, dan yang melemparkan manusia jauh dari kejujuran serta kebenaran, dan yang mengubah kawan-kawan menjadi musuh. Untuk mencapai kesempurnaan para shiddiq adalah mutlak agar manusia benar-benar menghindarkan diri dari prasangka buruk. Dan jika mengenai seseorang timbul prasangka buruk maka hendaknya istighfar banyak-banyak. Dan banyaklah berdoa kepada Allah Ta‟ala, supaya kalian terhindar dari dosa itu serta dari dampak buruknya, yaitu [dampak buruk] yang mengikuti prasangka buruk tersebut dari belakang. Jangan pernah menganggapnya sebagai hal biasa. Ini adalah penyakit sangat berbahaya yang darinya manusia sangat cepat binasa. Ringkasnya, prasangka buruk menghancurkan manusia, sampai-sampai ada tertulis, ketika ketika orang-orang neraka akan dimasukkan ke dalam api neraka Allah Ta‟ala akan berfirman kepada mereka bahwa mereka telah berprasangka buruk kepada Allah Ta‟ala. Sebagian orang ada yang beranggapan, bahwa Allah Ta‟ala akan mengampuni orang-orang yang berbuat kesalahan, sedangkan orang-orang yang berbuat baik akan diberi azab. Pemikiran seperti itu juga merupakan prasangka buruk terhadap Allah Ta‟ala. Sebabnya adalah, benarbenar bertentangan dengan sifat Adil-Nya, seakan-akan kebaikan serta akibat-akibatnya yang telah Dia tetapkan dalam Al-Quran Syarif itu sungguh dibuat sia-sia dan dianggap tidak bermakna. Jadi, ingatlah baik-baik, dampak akhir prasangka buruk adalah neraka. Janganlah menganggapnya sebagai penyakit biasa, dari prasangka buruk itu timbul keputus-asaan, dari keputus-asaan timbul kejahatan-kejahatan, dan dari kejahatan-kejahatan itu yang diperoleh adalah neraka. Prasangka buruk adalah sesuatu yang memotong akar kebenaran. Oleh karena itu kalian harus menghindarkan diri darinya, dan banyaknya berdoa untuk meraih kemampuankemampuan sebagai orang shiddiq (benar/jujur)” (Malfuzat, jld, I, hlm. 373-374). LĀ ILĀHA ILLALLĀH DAN KEBERANIAN 131 “ Orang-orang Islam ditekankan untuk mengucapkan Lā ilāha illallāhu (tidak ada Tuhan kecuali Allah), karena tanpa ini mereka tidak akan menjadi berani. Ketika seseorang berkata Lā ilāha illallāhu, dia mulai menyadari kebenaran dari kekuasaan seluruh penguasa, pejabat, musuh dan teman adalah sia-sia. Dengan demikian dia bertindak dengan berani dan tidak ada yang dapat menggentarkannya……… Penglihatan ruhani (bashirah) juga adalah sesuatu yang bermanfaat. Seorang Yahudi melihat Rasulullah saw. yang menatap padanya, dan mengatakan bahwa dia dapat melihat tandatanda kenabian pada beliau. Seperti juga ketika orang-orang Kristen ditantang untuk mubahalah (bertanding doa), mereka menolak tawaran itu karena penasihat mereka mengatakan kepada mereka, bahwa apa yang dia lihat pada wajah beliau saw. adalah, jika beliau memerintahkan gunung berpindah, gunung itu akan berpindah dari tempatnya.” (Malfuzāt, jld I, hlm. 374). IKUTI JEJAK PARA SAHABAH RASULULLAH SAW. Senantiasalah perbaiki dan sesuaikan ucapan serta perbuatan kalian. Seperti yang telah diperlihatkan oleh para sahabah r.a. di dalam kehidupan mereka, seperti itu pulalah hendaknya kalian mengikuti jejak-langkah mereka, dan memperlihatkan suri teladan ketulusan serta kesetiaan kalian. Ingatlah selalu contoh yang telah diperlihatkan Hadhrat bu Bakar Shiddiq r.a.. Simaklah masa yang dialami Rasulullah saw. ketika orang-orang Quraisy yang merupakan musuh berusaha mencelakakan beliau dari segala arah. Mereka telah menyusun rencana untuk membunuh beliau. Masa itu merupakan masa yang penuh cobaan. Pada waktu itu sikap persahabatan yang telah diberikan Hadhrat Abu Bakar r.a., tidak ditemukan tandingannya di dunia ini. Kekuatan dan kemampuan ini sama sekali tidak dapat timbul tanpa keimanan yang tulus (benar). Pada hari ini, sekian banyak kalian yanag duduk di sini, pikirkanlah di tempat kalian masing-masing, yakni jika cobaan semacam itu menghadang kita, berapa banyak di antara kalian yang bersedia untuk terus menemani? Misalnya, jika ada interogasi dari Pemerintah -- yakni, “Siapa-siapa saja yang telah baiat kepada orang ini?” -maka berapa orang yang akan dengan berani mengatakan bahwa mereka memang termasuk di antara orang-orang yang telah baiat? Aku tahum, bahwa dengan mendengar hal itu, kaki dan tangan sebagian orang akan menjadi kaku, dan langsung akan teringat kepada mereka tentang harta-kekayaan mereka serta sanakkeluarga mereka, bahwa semua itu terpaksa akan ditinggalkan. (Malfuzat, Jld. I, hlm. 374-375). TETAP SETIA MENEMANI PADA MASA-MASA SULIT Tetap setia pada masa-masa sulit adalah merupakan pekerjaan orang-orang yang inemiliki keimanan sempurna. Oleh karena itu selama manusia belum menanamkan keimanan di dalam dirinya secara amalan maka sekedar berucap dari mulut tidak akan menghasilkan apa-apa, dan selama itu pula sikap mencari-cari dalih (alasan) tidak akan lenyap. Pada waktu timbul musibah secara fakta, maka saat itu sedikit yang akan tampil dengan langkah yang teguh. Para hawari (sahabat) Hadhrat Masih Nazaretih, pada saat-saat terakhir -yang merupakan saat musibah bagi mereka -- telah melarikan diri meninggalkan beliau seorang 132 diri, dan sebagian ada yang mengutuk beliau di hadapan beliau sendiri. Pada hakikatnya, itu merupakan suatu suasana untuk menampilkan rasa ghairat (rasa kecintaan dan kedekatan) yang mendalam. Hadhrat Imam Hussein r.a. juga mengalami suatu masa seperti itu. Ketika Muslim (beliau) r.a. telah memimpin salat bagi 70.000 orang dan memperoleh janji dari mereka untuk tetap menemani (menyertai) Hadhrat Imam Hussein r.a., tetapi ketika seseorang mengabarkan tentang kedatangan Yazid, maka semuanya mereka meninggalkan beliau seorang diri.” (Malfuzat, jld. I, hlm. 375). AMAL MERUPAK AN PERH IASAN BAGI IMAN Kejadian-kejadian seperti sangat menakutkan. Oleh. karena itu timbanglah keimanan kalian. Amal merupakan perhiasan bagi iman. Jika kondisi amal perbuatan manusia tidak benar makan iman pun tidak ada. Mukmin (orang beriman) merupakan sesuatu yang cantik. Sebagaimana seorang manusia cantik jika kepadanya dipakaikan perhiasa yang biasa dan sederhana sekali pun maka tambah membuatnya menjadi lebih cantik. Demikian pulalah bagi seorang mukmin (orang beriman), amalnya membuatnya sangat cantik. Jika dia beramal buruk maka sedikit pun tidak ada artinya. Jika di dalam diri manusia tercipta keimanan hakiki maka dia merasakan suatu kelezatan khusus dalam melakukan amal-amal baik, dan mata makrifatnya menjadi terbuka. Dia mengerjakan salat sedemikian rupa seperti yang memang sepatutnya salat itu dikerjakan. Pada dirinya timbul rasa benci terhadap dosa-dosa. Dia tidak suka terhadap perkumpulan yang kotor, dan dia mendapatkan suatu semangat dan dorongan khusus di dalam kalbunya untuk memperlihatkan keagungan dan keperkasaan Allah Ta‟ala serta Rasul-Nya. Keimanan yang seperti itu tidak menghalanginya untuk naik ke tiang salib seperti yang dialami Hadhrat Al-Masih a/s/. Hanya untuk Allah dan semata-mata hanya demi Allah Ta‟ala dia menjadi rela untuk terjun ke dalam api seperti halnya Hadhrat Ibrahim a.s.. Tatkala dia memberlakukan keinginannya sesuai dengan keridhaan Ilahi, maka Allah Taala -- Yang Maha Mengetahui apa-apa yang terkandung di dalam dadanya -- akan menjadi Pelindung serta Pemelihara baginya, dan Allah Ta‟ala akan menurunkannya hidup-hidup dari tiang salib serta akan mengeluarkannya dari api dalam kondisi selamat. Namun keajaiban-keajaiban ini hanya disaksikan ole orang-orang yang memiliki keimanan yang penuh terhadap Allah Ta‟ala. (Malfuzat, jld. I, hlm. 376). (hlm 377-389) PEKERJAAN ILAHI KETIKA TAMPIL PADA DIRI MANUSIA Tanpa karunia dan dukungan Allah Ta‟ala, manusia tidak dapat berbuat apa pun. Tatkala manusia ditarik ke arah Allah Ta‟ala, dan dia menjadi fana (lenyap/larut) di dalam Allah Ta‟ala, 133 maka darinya timbul hal-hal yang disebut pekerjaan-pekerjaan Ilahi, dn pada dirinya mulai timbul nur (cahaya) yang mulia dan lebih mulia. Kelemahan manusia sedikit pun tidak dapat diandalkan. Tanpa karunia dan dukungan Allah Ta‟ala manusia tidak dapat mengayunkan kaki satu langkah pun, sampai halk ini saya yakini, bahwa jika manusia tidak memperoleh bantuan dari Allah Ta‟ala, maka setelah buang hajat dia tidak akan mampu walau untuk mengikat tali celananja sekali pun. Para tabib (dokter) menuliskan tentang sebuah penyakit, yakni kondisinya adalah apabila manusia bersin maka bersamaan dengan itu pula manusia mati. Ingatlah dengan pasti, bahwa manusia merupakan himpunan kelemahan (Malfuzat, jld. I, hlm. 389). (hlm 390-393) IBADAH BESAR PADA ZAMAN INI "Bagi seorang Muslim adalah penting, untuk turut ambil sedikit bagian dalam menjauhkan fitnah (cobaan) yang melanda Islam di tengah-tengah zaman ini. Ibadah yang besar adalah, setiap Muslim sedikit-banyak turut ambil bagian dalam menjauhkan fitnah (cobaan) itu. Keburukan-keburukan dan kelancangan yang telah tersebar pada masa kini hendaknya menghapuskan perkara-perkara itu dari dunia ini melalui pidato (seruan) dan ilmu, dan dengan segala kekuatan yang telah dianugerahkan dengan upaya-upaya yang tulus. Jika seseorang mendapatkan ketentraman serta kelezatan dari dunia ini apalah gunanya? Kalau pun meraih kedudukan di dunia, apalah yang telah didapat? Ambillah ganjaran Hari Kemudian yang tidak terbatas itu. Setiap orang Islam hendaknya memiliki gejolak semangat untuk Tauhid Allah Ta‟ala sedemikian rupa, seperti halnya gejolak yang dimiliki Allah Ta‟ala sendiri untuk Tauhid-Nya. Perhatikanlah, dimana pula akan ditemukan lagi di dunia ini seorang yang teraniaya seperti Nabi kita saw.? Tidak ada lagi suatu kotoran, cacian, dan permusuhan yang tidak dilontarkan kepada beliau. Apakah saat ini merupakan waktunya bagi orang-orang Islam untuk duduk berdiam diri? Jika pada saat ini tidak seorang pun berdiri bangkit memberikan kesaksian atas kebenaran, lalu membungkam mulut pendusta, dan membiarkan saja orang-orang kafir tanpa malu melontarkan tuduhan-tuduhan keji atas diri Nabi kita saw. dan membuat orang-orang lainnya menjadi tersesat, maka ingatlah, bahwa tanpa diragukan lagi dia berada di bawah suatu interogasi yang besar! Hendaknya sedikit-banyak ilmu serta pengetahuan yang kalian miliki, kalian pergunakan di jalan ini, dan selamatkanlah orang-orang dari bencana ini. Dari hadits terbukti, bahwa jika kalian tidak membunuh Dajjal tetap saja dia akan mati. Ada sebuah ungkapan yang terkenal “War kamala raaz waale” (bala-bencana ini telah mulai sejak abad ke tigabelas), dan sekarang dekat waktu bagi kehancurannya. Oleh karena itu merupakan kewajiban setiap orang Islam supaya sedapat mungkin -- dengan segala upaya -- memperlihatkan nur dan cahaya kepada orang-orang." (Malfuzāt, jld I, hlm. 394-395). 134 PUJI SANJUNG BAGI ALLAH DALAM SALAT Pada pandangan Allah Ta‟ala, orang yang menjadi wali Allah dan penerima berkat-berkat adalah orang yang memperoleh gejolak semangat ini. Allah Ta‟ala menginginkan agar keperkasaan-Nya menjadi zahir. Kalimat "Subhaana rabii-al 'azhiim dan Subhaana rabbial ‗alaa yang diucapkan dalam salat, itu juga merupakan keinginan untuk menzahirkan keperkasaan Allah Ta‟ala. Yakni, bahwa keagungan Allah Ta‟ala itu sedemikian rupa, tidak ada tandingannya. Dari tasbih dan taqdis yang dilakukan tersebut kondisi ini tampil, bahwa Allah Ta‟ala telah memberikan penekanan, yakni [seorang manusia] secara fitrati dengan gejolak semangat – melalui pekerjaan-pekerjaan dan upaya-upayanya – memperlihatkan bahwa tidak ada satu benda pun yang bertentangan dengan keagungan Ilahi dapat menguasai dirinya. Ini adalah suatu ibadah yang sangat besar. Orang yang memiliki gejolak semangat sesuai kehendak-Nya, mereka itulah yang disebut muayyid (orang yang memberi dukungan), dan mereka itulah yang memperoleh berkat-berkat. Orang-orang yang tidak memiliki gejolak semangat untuk [menzahirkan] keagungan, keperkasaan, dan kekudusan Allah Ta‟ala, berarti salat-salat mereka itu palsu, dan sujud-sujud mereka tidak ada gunanya. Sebab selama tidak ada gejolak semangat bagi Allah Ta‟ala, maka selama itu pula sujud-sujud tersebut hanya merupakan celotehan mantra kosong belaka, yang melaluinya mereka ingin memperoleh surga. Ingatlah, suatu perkara jasmani tidak dapat memberikan faedah selama belum dibarengi kondisi hakiki. Sebagaimana daging kurban tidak dapat mencapai Allah Ta‟ala, demikian pula rukuk dan sujud kalian tidak akan mencapai-Nya selama beriringan dengan itu belum tercipta kondisi hakiki. Allah Ta‟ala menghendaki kondisi hakiki, dan dia mencintai orang-orang yang memiliki gejolak semangat bagi kehormatan dan keagungan-Nya. Orang-orang yang berbuat demikian, mereka melewati suatu jalan yang sangat halus, dan tidak ada orang lain dapat meliwati jalan itu bersama mereka. Selama belum ada kondisi hakiki, selama itu pula manusia tidak dapat meraih kemajuan. Tampak bahwa Allah Ta‟ala itu telah bersumpah, bahwa selama belum ada gejolak semangat bagi-Nya, maka selama itu pula Dia tidak akan memberikan kelezatan. (Malfuzat, jld. I, hlm. 395-396). MENDAHULUKAN KEAGUNGAN ILAHI DARIPADA KEINGINAN-KEINGINAN PRIBADI Setiap orang memiliki suatu keinginan. Namun seseorang tidak dapat menjadi mukmin [hakiki] selama belum mendahulukan kegungan Allah Ta‟ala daripada segenap keinginannya. Wali artinya yang dekat dan sahabat. Apa yang diinginkan oleh sahabatnya itu menjadi keinginannya, barulah dikatakan wali. Allah Ta‟ala berfirman: (“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepadaKu” - Adz-Dzāriyyāt, 57). Manusia hendaknya memiliki gejolak semangat untuk Allah Ta‟ala maka barulah dia akan lebih baik dari sesama manusia, dan dia akan masuk di antara hamba-hamba-Nya yang memperoleh qurub (kedekatan). Hendaknya janganlah seperti mayat. Jika suatu benda dimasukkan ke dalam mulut mayat dari 135 satu sisi maka benda itu keluar lagi dari sisi lain. Seperti itu pulalah dalam kondisi bejad dan kalbu yang keras, maka tidak ada suatu benda baik pun yang dapat masuk ke dalam. Ingatlah, tidak ada suatu ibadah dan sedekah yang dikabulkan selama belum ada gejolak semangat pribadi bagi Allah Ta‟ala, yaitu gejolak semangat yang di dalamnya tidak ada campur tangan manfata dan keuntungan-keuntungan pribadi. Dan suatu semangat sedemikian rupa dimana orang itu sendiri tidak dapat mengetahui mengapa gejolak semangat itu sampai bisa timbul di dalam dirinya. Sangat diperlukan lahirnya orang-orang seperti ini dalam jumlah besar. Namun kecuali iradah (kehendak) Allah Ta‟ala, tidak ada suatu apa pun yang dapat terjadi.” (Malfuzat, jld. I, hlm. 396). (hlm 397-400) TAKWA DAN PERTOLONGAN TUHAN “Tuhan juga telah menyiapkan syarat lain, kita bisa menyebutnya Tanda orang muttaqi (bertakwa): (Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang bertakwa – An-Nahl, 129). Inilah orangorang yang telah menyatu dengan Tuhan, orang yang mendapat pertolongan Tuhan. Sebab pertolongan Tuhan-lah yang dapat dianggap sebagai bukti bahwa seseorang itu muttaki (bertakwa). Pertama, pintu walayat (persahabatan) yang ditutup, kemudian pintu pertolongan Tuhan juga ditutup. Kalian harus ingat, bahwa pertolongan Tuhan tidak pernah diberikan kepada orangorang yang kotor dan aniaya. Hanya orang muttaqi yang menerima pertolongan Tuhan. Ketika seseorang ditimpa kesusahan dan penderitaan -- dan dia harus memenuhi kebutuhannya -- hanya melalui ketakwaannya sajalah dia dapat ditolong. Penyelesaian dari keadaannya yang terjepit juga terletak dalam takwa. Tuhan berfirman: (Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan Mengadakan baginya jalan keluar, dan memberinya rezki dari arah yang tiada disangka-sangkanya – Ath-Thalaq, 3-4). Yakni, Tuhan Yang Maha Perkasa menunjukkan jalan kepada orang mutaki untuk tertolong dalam kesusahan-kesusahannya, dan Dia mengatur pertolongan-Nya dari yang gaib. Dia memberi anugerah kepadanya dari arah yang tidak pernah dia ketahui. Apa yang manusia inginkan di dunia ini? Keinginan terbesarnya selalu agar dia dapat hidup senang. Untuk itu hanya ada satu jalan yang terbuka kepadanya, dan itulah jalan takwa. Dengan kata lain itulah jalan yang disebut dalam Al-Quran atau sirāth-i-mustaqim (jalan yang lurus). Jangan biarkan orang-orang beranggapan, bahwa orang-orang yang ingkar juga memiliki kekayaan yang besar, dan mereka juga hidup senang, bahkan mereka asyik dalam kemewahan yang membuat mereka mabuk. Aku katakan kepada kalian yang sebenarnya, orang-orang ini tampak bahagia di mata orang-orang awam, yang hanya dapat melihat sesuatu pada permukaannya saja. Sesungguhnya mereka memiliki semacam api dan mereka selalu terlibat 136 dalam kesulitan. Kalian hanya melihat pada wajah mereka, aku melihat pada hati mereka. Mereka seolaholah dirantai dan terbakar. Tuhan berfirman: (“Sesungguhnya Kami menyediakan bagi orang-orang kafir rantai, belenggu dan neraka yang menyala-nyala” – (Ad- Dahr, 5). Yakni, mereka tidak dapat berpaling kepada kebajikan, mereka demikian terbelenggu rantai, sehingga mereka tampak lebih buruk daripada binatang buas. Mereka selalu melihat pada keuntungan duniawi, dan mereka selalu condong ke bumi. Jauh di dalam lubuk hatinya mereka memiliki api. Jika tumpukan harta mereka berkurang, atau mereka tidak tidak mendapatkan hasil yang diharapkan, mereka merasa sangat putus asa, dan mereka merasakan semacam api. Kadang-kadang saat menjalani masa-masa semacam itu mereka menjadi gila dan lari ke pengadilan. Tak pelak lagibahwa dia yang hanya memikirkan harta duniawi selalu memiliki semacam api, dia tanpa kepuasan dan ketenangan. Itu persis seperti pemabuk yang mengambil satu minuman dan minta tambah. Dia merasakan semacam api. Demikian pula orang yang melulu hanya memikirkan harta duniawi, api keserakahannya tidak dapat dipadamkan walau sesaat. Kebahagiaan hakiki adalah takdir orang bertakwa, yang kepadanya Tuhan telah menjanjikan dua surga. Seorang mutaki (bertakwa) dapat memperoleh kebahagiaan dalam gubuk ilalang, sementara orang duniawi tidak dapat memperolehnya dalam kastil (istana) yang besar dan megah. Semakin banyak yang dia peroleh, semakin besar pula persoalan yang dia hadapi. Kalian harus ingat, bahwa kebahagiaan sejati bukanlah takdir orang duniawi. Janganlah beranggapan bahwa kekayaan yang melimpah-ruah dan pakaian-pakaian yang indah yang indah adalah sumber kebahagiaan. Sama sekali tidak demikian. Sumber dari kebahagiaan sejati adalah takwa.” (Malfuzat, jld I, hlm. 401-402). KETINGGIAN SOLIDARITAS RASULULLAH SAW. ”Tanda pengaruh pada ruh adalah, tatkala seorang Rabbani wā‘idz (Pemberi ingat dari Allah) dan haqiqi reformer (pembaharu sejati) berbicara, maka dalam memberikan pesan-pesan (nasihat), dia menganggap para pendengar itu seperti tidak ada. Dia terus saja menyampaikan pesan-pesannya (nasihatnya). Pada kondisi demikian di dalam kalbu (hati) timbul suatu kelembutan (keluluhan). Sampaisampai seperti suatu curahan air yang jatuh dari tebing tinggi menuju ke lubuk yang dalam, ia mencucur tanpa kendali. [Air] itu mengalir dari Allah Ta‟ala, dan dalam aliran [sang pemberi ingat] tersebut merasakan suatu kelezatan dan kenikmatan sedemikian rupa yang tidak dapat aku gambarkan dalam kata-kata. Jadi, di dalam penjelasan-penjelasan serta ucapan-ucapannya dia menyaksikan Wajhullāh (Wajah Allah). Dia sedikit pun tidak peduli akan halnya para pendengar – yakni apa yang akan mereka katakan setelah mendengar [nasihat tsb.]. Dia mendapatkan kelezatan dari satu arah lain, dan dari dalam sendiri dia merasakan kegembiraan, bahwa, “Aku sedang menyampaikan perintah dan pesan Majikan serta Penguasa-ku.” Kesulitan-kesulitan dan penderitaan yang dialaminya dalam menyampaikan pesan-pesan tersebut pun menimbulkan kelezatan serta kenikmatan bagi dirinya. 137 Orang-orang seperti itu tenggelam dalam solidaritas terhadap umat manusia. Oleh karena itu mereka siang-malam senantiasa memikirkan bagaimana supaya orang-orang memasuki jalan ini dan satu kali meneguk minuman dari mata air ini. Solidaritas dan gejolak semangat inilah yang terdapat di dalam diri Junjungan kita yang mulia Nabi Karim saw. dalam kadar yang sangat tingi. Tidak ada yang dapat memilikinya lebih dari itu. Demikianlah kondisi solidaritas dan rasa sependeritaan Rasulullah saw., sehingga Allah Taala sendiri yang telah memaparkan: (Boleh jadi engkau (Rasulullah) akan membinasakan diri engkau karena mereka tidak beriman” – Asy-Syu‘ara, 4). Jika kalian tidak dapat memahami sepenuhnya hakikat ayat ini, itu perkara lain. Akan tetapi di dalam hatiku hakikat hal itu tak lain seperti darah dalam tubuh.” (Malfuzat, jld. I, hlm. 403). JADILAH BAIK DAN BERBUATLAH KEBAIKAN “Sebelum kalian mengucapkan sesuatu, kalian harus memikirkan hal itu baik-baik dan memahami apa akibat yang akan terjadi dari ucapan itu. Kalian juga harus yakin, apakah Islam mengijinkan kalian mengucapkan hal itu atau tidak? Kecuali kalau kalian telah memikirkannya dengan matang, kalian sebaiknya tidak perlu mengucapkan sesuatu. Lebih baik diam daripada jika berbicaa dapat menimbulkan kekacauan. Tetapi juga tidak pantas bagi orang Mukmin untuk ragu-ragu menyatakan kebenaran. Dia tidak perlu memperhatikan ejekan orang-orang atau tidak perlu takut pada seseorang untuk mengucapkan kebenaran, atau memberi kesaksian demi kebenaran. Lihatlah Rasulullah saw. ketika beliau mendakwakan diri sebagai nabi, semua orang menentang beliau, tetapi beliau sama sekali tidak memikirkan penentangan itu, sampai-sampai ketika orang-orang menekan paman beliau, Abu Thalib, dan dia berkata kepada beliau mengenai hal itu, Rasulullah saw. mengatakan kepadanya secara gamblang, bahwa beliau tidak akan mundur dari menyampaikanm apa-apa yang beliau anggap benar, tidak peduli dia akan mendukung beliau atau tidak. Demikian pula hal yang sangat penting, bahwa seseorang hendaknya tidak mengucapkan sesuatu yang tidak menyenangkan Tuhan, juga penting bahwa seseorang harus berkata saat harus mengataan kebenaran: Ya‘muruna bil-ma‘rufi wa yanhawna ‗anil- munkar -- (mereka menyuruh berbuat kebaikan dan melarang berbuat jahat.). Inilah hal yang perlu bagi seorang mukmin, bahwa sebelum seseorang menyuruh orang lain untuk berbuat baik dan menjauhi keburukan, maka penting sekali baginya untuk berbuat kebaikan dan menjauhi kemunkaran, dia harus menunjukkan kemampuannya melakukan kebaikan, sehingga dia dapat mempengaruhi orang lain sebagaimana yang dia inginkan. Perlu kalian catat, bahwa lidah tidak pernah dicatat untuk menyuruh orang lain melakukkan kebaikan dan menjauhi keburukan. Tentu saja seseorang harus memperhatikan kesempatan yang tepat dan harus menyampaikannya dengan cara yang sangat baik, dalam arti seseorang harus menyampaikan dalam kalimat yang sopan dan sederhana, sehingga dapat dipahami dengan mudah. Perlu dicatat, bahwa adalah dosa besar jika berkata bertentangan dengan takwa.” (Malfuzāt, jld I, hlm. 404). 138 (hlm 404-407) SIAPAKAH ABDAL? Kalian hendaknya mengetahui, bahwa seseorang yang melakukan perubahan dalam dirinya dia memasuki derajat abdal. Rahasia-rahasia keutamaan Al-Quran tidak disampaikan kepada seseorang, kecuali orang itu termasuk golongan abdal. Sebagian besar orang salah mengerti makna kata abdal dan mereka memberikan bermacammacam tafsir, sementara sesungguhnya abdal adalah orang-orang yang melakukan perubahan suci dalam hidupnya, perubahan yang menyingkirkan kegelapan dosa dan menghapuskan karat. Kerajaan setan dihancurkan dan hati mereka diisi Tuhan Yang Maha Perkasa. Lebih lanjut mereka menjadi orang yang menerima kekuatan dari Ruh-ul Qudus dan mereka dianugerahi Kemurahan Tuhan. Aku sampaikan kabar gembira kepada kalian, bahwa siapa saja di antara kalian yang mengadakan perubahan suci dalam hidupnya akan menjadi abdal. Jika seseorang bergerak menuju Tuhan, rahmat Tuhan datang menyambutnya. Adalah hal yang sebenar-benarnya -- dan aku ingin mengemukakannya kepada kalian -- bahwa tidak ada andil kecerdasan…. yang dapat membuat manusia memhami rahasia-rahasia Al-Quran. Memiliki otak yang cerdas tidak cukup untuk meraih ilmu Al-Quran. Sumber hakiki dari ilmu itu adalah takwa. Tuhan sendiri yang menjadi Guru bagi orangorang mutaki (bertakwa). Itulah sebabnya kebanyakan nabi butahuruf, dan itu pula sebabnya Rasulullah saw. disebut ummī (butahuruf).” (Malfuzat, jld. I, hlm. 408). DUA MACAM REZEKI ”Sebenarnya rezeki itu ada dua macam, yang pertama sebagai ibtila (ujian/cobaan), yang kedua sebagai ishihifa. Rezeki yang sebagai cobaan adalah rezeki yang tidak ada hubungannya dengan Allah Ta‟ala, bahkan rezeki yang satu ini membuat manusia semakin jauh dari Allah sampai akhirnya dia binasa. Ke arah inilah Allah Ta‟ala mengisyaratkan: Lā tulhikum amwālukum – “harta kalian jangan membinasakan kalian” (Al-Munāfiqun, 10). Rezeki yang sebagai ishihifa adalah rezeki yang diperuntukkan bagi Allah. Allah akan menjadi Pelindung bagi orang-orang seperti itu. Segala sesuatu yang ada pada mereka, mereka anggap sebagai milik Allah semata, dan hal itu mereka buktikan melalui amal perbuatan mereka. Lihatlah kondisi para sahabah [Rasulullah saw.] ketika masa cobaan tiba, maka segala sesuatu yang ada pada seseorang di antara mereka semuanya diserahkan di jalan Allah Ta‟ala. Hadhrat Abu Bakar r.a. adalah yang paling pertama datang dengan mengenakan kain [menyerahkan semua milik beliau]. Dan Allah Ta‟ala telah membalas ganjarannya, yakni beliau adalah yang pertama menjadi khalifah……. 139 (hlm 409-410) JANJI-JANJI TUHAN Sesungguhnya Tuhan telah memberikan janji-janji kepada orang-orang mutaki (bertakwa). Apa lagi yang lebih besar daripada persahabatan dengan Tuhan? Mereka yang bukan mutaki (orang bertakwa) tetapi mereka menyatakan telah memperoleh kedekatan dengan Tuhan, adalah membuat pernyataan palsu, mereka bukan mutaki, mereka hidup dalam kehidupan dosa dan melakukan penipuan yang kotor dan keji dengan mengatakan kepada orang lain bahwa mereka adalah wali dan mereka telah memperoleh kedekatan dengan Tuhan. Mereka pertama-tama harus memenuhi kriteria sebagai mutaki (orang bertakwa).” (Malfuzat, jld. I, hlm. 410). (410-418) SAAT YANG LAYAK BAGI PEMBERIAN MAAF “Pemberian maaf adalah kemampuan moral. Seseorang harus melihat apakah orang lain perlu dimaafkan atau tidak? Sebab pelanggar ada dua macam, sebagian adalah jenis pelanggaran mereka yang mengganggu seseorang tetapi mereka perlu dimaafkan. Ada pula yang laun, yang jika dimaafkan menjadi semakin keterlaluan dan dapat membahayakan. Sebagai contoh, ada seorang pelayan yang sangat taat dan patuh. Dia membawa air teh dan kebetulan dia tersandung sesuatu dan cangkir air teh itu pecah dan air teh itu juga tumpah atas majikannya. Jika majikan itu memukul dan memaki pelayan tersebut habis-habisan, tindakannya itu hanyalah satu kebodohan. Inilah kesempatan dimana majikan itu hendaknya memaafkan pelayan tersebut karena tidak memecahkan cangkir dengan sengaja. Jika pelayan itu dimaafkan dia akan merasa malu atas apa yang dia perbuat dan untuk selanjutnya ia akan lebih berhati-hati lagi. Tetap jika ada seorang pelayan yang memecahkan cangkir setiap hari dan menimbulkan kerugian kepada majikannya, dia harus dihukum dan itu akan merupakan bentuk kemurahan kepadanya. Itulah makna “mimmā razaqnāhum yunfiqūn” (membelanjakan apa yang Kami rezekikan kepada mereka). Setiap orang mukmin harus memutuskan [hukuman atau pengampunan] sesuai dengan keadaan. Dia harus memberikan apa yang dia anggap layak.” (Malfuzāt, jld I, hlm. 418). (hlm 419) CIRI-CIRI ORANG MUTAKI 140 Pada hakikatnya terdapat janji-janji besar bagi orang-orang bertakwa (mutaki). Dan apalah yang lebih baik daripada ini, yakni bahwa Allah Taala itu merupakan wali (sahabat) bagi orangorang mutaki. Pendustalah mereka yang mengatakan bahwa mereka merupakan orang-orang yang memperoleh qurub Ilahi (kerdekatan dengan Tuhan) tetapi mereka tidak mutaki (bertakwa), bahkan mereka menjalani hidup yang penuh kefasikan (kedurhakaan) dan kejahatan. Mereka melakukan suatu keaniayaan serta kemunkaran, karena mengaitkan (menghubungkan) derajat wali serta qurub Ilahi pada diri mereka. Sebab untuk memperoleh qurub (kedekatan) itu Allah Ta‟ala telah memberlakukan syarat agar menjadi mutaki (bertakwa). . Kemudian Dia menetapkan satu syarat lainnya – atau, katakanlah bahwa Dia telah memberitahukan sebuah ciri orang-orang mutaki – yakni: (Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang bertakwa - An-Nahl, 129). Yakni Allah menyertai yakni menolong mereka yang bertakwa (mutaki). Bukti Allah Ta‟ala menyertai mereka adalah pertolongan yang Allah berikan kepada mereka. Jadi, pintu pertama kewalian sudah tertutup bagi mereka [yang berdusta itu], sedangkan pintu kedua, yaitu disertai olehAlah dan ditolong oleh Allah dengan demikian jugabtelah tertutup bagi mereka. Ingatlah, pertolongan Allah Ta‟ala tidak pernah dapat diraih oleh orang-orang yang kotor dan fasik (durhaka), sebab pertolongan itu berdasarkan pada ketakwaan semata. Dukungan Allah hanya diperuntukkan bagi orang-orang bertakwa (mutaki) saja. Untuk pemecahan persoalan serta kelancaran [urusan] mereka, ketakwaan juga telah ditetapkan sebagai landasannya. Jalan keluar dari kesulitan-kesulitan hidup dan dari kesulitankesulitan lainnya juga takwa, difirmankan: (“Dan barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan Mengadakan baginya jalan keluar,. dan memberinya rezki dari arah yang tiada disangka-sangkanya” – Ath-Thalāq, 3-4). Yakni Allah menciptakan suatu makhraj (jalan keluar) bagi orang mutaki (bertakwa) dalam setiap kesulitan. Dan Di dari kegaiban menyediakan saransa-sarana bagi orang mutaki itu untuk terlepas dari cengkeraman kesulitan. Dan Dia memberikan rezeki kepadanya dengan cara sedemikian rupa, sehingga orang itu tidak tahu menahu bagaimana sampai hal itu bisa terjadi. (Malfuzat, jld. I, hlm. 420 ). (hlm 421-436) KENDALIKAN DIRIMU ”Siapakah yang menyampaikan kepada teman kita bahwa mereka akan hidup panjang? Tidak ada seorang pun yang mengetahui kapan kematian akan menjelang. Untuk itu berapa pun waktu yang diberikan kepada seseorang perlu dipergunakan sebaik-baiknya, sebab waktu itu tidak akan kembali, hanya kenangan yang akan tinggal. Berkenaan denganku, aku begitu mengendalikan diriku, dan Tuhan Yang Maha Perkasa telah menjadikanku seorang Muslim, yang jika seseorang terus menerus memaki-makiku dengan kotor 141 – bahkan di hadapanku – sepanjang tahun, dialah yang harus malu dan dia terpaksa mengakui bahwa dia tidak dapat mengubahku, dia tidak dapat mempengaruhiku. Sesungguhnya tidak ada yang dapat terjadi di dunia ini kecuali hal itu sudah diputuskan di langit. Tidak ada yang dapat terjadi kecuali dikehendaki Tuhan Yang Maha Perkasa, dan dan Dia tidak membiarkan hamba-hamba-Nya dihinakan, dan juga Dia tidak akan membiarkan mereka sia-sia” (Malfuzāt, jld. I, hlm.436). ”Ketika berkat Allah Ta‟ala datang mendekat, maka bersamaan dengan itu Dia mengirimkan unsur-unsur keterkabulan doa, di dalam hati akan timbul rasa sendu dan perih. Akan tetapi ketika bukan saatnya bagi pengabulan suatu doa, maka ketentraman dan sikap rujuk (kembali) tidak akan timbul di dalam hati. Betapapun kalian paksakan tabiat kalian, tabiat itu tidak akan dapat memusatkan perhatiannya. Sebabnyanya adalah bahwa kadang-kadang Allah Ta‟ala menginginkan supaya keputusan dan takdir-Nya berlaku, serta kadang-kadang Dia mengabulkan doa. Oleh karena itulah selama aku belum menemukan tanda-tanda izin Ilahi, maka aku menaruh harapan yang tipis bagi pengabulan doa, dan aku rela terhadap keputusan serta takdir-Nya dengan kegembiraan yang lebih besar daripada kegembiraan yang timbul pada saat terkabulnya suatu doa. Sebab buah dan berkat-berkat dari keridhaan (kerelaan) terhadap keputusan Ilahi itu adalah jauh lebih besar (Malfuzāt, jld I, hlm. 440). (hlm 436-442) PERHATIAN PADA YANG KESUSAHAN ”Bagiku, jika aku sedang mengerjakan shalat dan aku mendengar suara seseorang yang sakit, aku akan menghentikan shalat dan melakukan apapun yang dapat aku lakukan untuk menunjukkan perhatian sebanyak yang aku miliki. Bukanlah sifat yang baik seseorang membiarkan saudaranya yang kesusahan. Jika tidak ada yang dapat kalian lakukan untuknya, paling tidak kalian dapat mendoakannya. Berkaitan dengan masyarakat kita -- bahkan yang lain dan orang-orang Hindu -- harus diperlakukan dengan baik dan penuh perhatian. Seseorang jangan memperlihatkan ketidakpeduliaan dalam bentuk apapun” (Malfuzāt, jld. I, hlm. 442). TERUSLAH MENSUCIKAN DIRI “Al Quran mengatakan: Qad aflaha man zakkāha. Yaitu, dia yang mensucikan dirinya memperoleh kesuksesan. Dan pensucian diri menuntut seseorang untuk terus bergaul dengan orang-orang yang baik dan dekat dengan orang-orang yang suci, hal itu sangat menolong. Orang itu harus meninggalkan dusta dan perbuatan buruk, dan dia yang berjalan pada jalan itu harus diminta petunjuknya. Orang itu juga harus berangsur-angsur terus menyingkirkan kelemahan-kelemahannya. Sebab sebagaimana sebuah tulisan tidak mungkin sempurna tanpa 142 diperiksa berulang-ulang, demikian juga moral pun tidak dapat sempurna kecuali orang itu terus menyingkirkan kelemahan-kelemahan. Manusia adalah semacam hewan yang dia hanya dapat tetap di jalan yang benar jika dia terus mensucikan dirinya setiap waktu. Jika hal-hal itu tidak dilakukan, dia dapat menyimpang kapan saja.” (Malfuzāt, jld. I, hlm. 443). (hlm 443-450) TAKABUR BERDASARKAN KETURUNAN ”Allah Ta‟ala tidak menyukai kulit, yang Dia terima adalah ruhaniah dan isi, karena itu Dia berfirman dalam Al-Quran Syarif: (“Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapai-Nya” – Al-Hajj, 38). Dan ditempat lain dia berfirman: Allah, tetapi ("Sesungguhnya Allah hanya menerima (korban) dari orang-orang yang bertakwa" (AlMāidah, 28). Pada hakikatnya ini adalah suatu kawasan yang halus (pelik). Di sini [kedudukan sebagai] keturunan nabi pun tidak berfungsi. Rasulullah saw. juga telah mengatakan demikian kepada Hadhrat Fatimah r.a.. Dan dalam Al-Quran pun dengan kata-kata yang jelas tertera: (“Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu disisi Allah ialah orang yang paling takwa di antara kamu” – Al-Hujurāt, 14). Yahudi juga merupakan keturunan nabi. Tidakkah di antara mereka telah lahir ratusan nabi? Namun paedah apa yang telah diberikan oleh [kedudukan sebagai] keturunan nabi itu kepada mereka? Jika amal-amal mereka baik, mengapa mereka mengalami: (“lalu ditimpahkanlah kepada mereka kenistaan dan kehinaan” – Al-Baqarah, 62). Allah Taala menghendaki suatu perubahan suci. Kadangkala rasa takabur akan keturunan juga telah membuat manusia luput dari dari [berbuat] kebaikan-kebaikan, dan mereka beranggapan bahwa melalui [keturunan] itu mereka akan memperoleh najat (keselamatan). Padahal itu sungguh merupakan pikiran yang tidak benar. Orang takabur itu berkata, “Untung saya dilahirkan keluarga Camar (nama sebuah clan/famili – pent.). Kami orang yang lebih mulia, sangat beruntung, semua yang berada di bawah kami akan memberi salam kepada kami!” Allah Ta‟ala menyukai kesetiaan serta kejujuran, dan Dia menghendaki amal-amal salih. Sikap takabur tidak membuat-Nya ridha.” (Malfuzat, jld. I, hlm. 143 450-451). (hlm 451-455) Menghargai Waktu dan Peluang Siapa pula yang mengatakan kepada rekan-rekan saya bahwa hidup ini sangat panjang. Tidak ada waktu tertentu bagi maut, yakni kapan maut itu datang merenggut. Olen karena itu, sangat tepat bila menganggap waktu yang diperoleh itu sebagai sesuatu yang sangat berharga. Hari-hari ini tidak akan dialami kembali. Dan semua ini akan tinggal sebagai cerita. (Malfuzhat, Add. Nazir Isyaat, London, 1984, j1d.1, h.456 / MI 17.11.2000). ORANG-ORANG YANG ENGGAN DATANG MENETAP BERSAMA HADHRAT MASIH MAU‟UD A.S. Hadhrat Masih Mau'ud a.s. menekankan kepada para pengikut beliau untuk seriang-sringcdatang dan menetap bersama beliau agar memperoleh siraman ruhani. Namun terdapat orang-orang yang banyak memberikan dalih untuk tidak datang. Dengan sangat menyesal beliau a.s. mengeluhkan orang-orang tersebut, khususnya yang tidak datang untuk Jalsah yang telah beliau tetapkan: “Orang-orang yang memberikan dalih (alasan) ini adalah seperti orang-orang yang berdalih kepada Hadhrat Nabi Karim saw.: “Inna buyutinaa ‗auratun (sesungguhnya rumah-rumah kami terbuka” – Al-Ahzab, 14). Dan Allah Ta‟ala telah menyatakan bahwa hal itu tidak benar: "ly yuriiduuna illaa firaara (mereka tidak lain hanyalah hendak melarikan diri” – AlAhzab, 14). (Malfuzat, jld. I, hlm. .456.). TETAP TEAR MENGHADAPI PERLAKUAN PARA PENENTANG Hadhrat Masih Mau'ud a.s. tidak pemsh gentar terhadap penderitaan-penderitaan serta kesulitan-kesulitan yang ditimbulkan oleh orang-orang [terhadap diri I beliau]. Mengenai hal itu beliau a.s bersabda: “Tiada satu perkara pun terjadi di dunia ini selama belum ada keputusan terlebih dahulu di Langit Dan tidak ada yang dapat terjadi sedikit pun tanda iradah (kehendak) Allah Ta‟ala. Dan Dia tidak akan membiarkan hina serta tidak akan menyia-nyiakan para hamba-Nya (Malfuzat, jld. I, hlm. 456-457). MASA COBAAN ”Pada waktu cobaan, yang aku risaukan adalah beberapa orang warga Jemaatku yang masih lemah hatinya. Keadaanku sendiri adalah, jika datang suara yang jelas kepadaku bahwa, “Engkau diabaikan, dan tidakm ada satu pun kenginginan engkau yang akan Kami penuhi” maka aku 144 bersumpah demi Allah, aku tidak akan mundur sedikit pun dari kecintaan dan kegilaan terhadap Allah Ta‟ala dan dari pengkhidatan tergadap agama ini. Sebabnya adalah aku telah menyaksikan-Nya: (“Apakah kamu mengetahui ada seorang yang sama dengan Dia?” – Maryam, 66). (Malfuzat, jld. I, hlm. 457). TIDAK TAHAN MENYAKSIKAN SERANGAN TERHADAP AGAMA ALLAH Hancurnya harta-bendaku, dan anak-anakku dicincang-cincang di hadapan mata saya, adalah lebih mudah bagiku dibandingkan dengan bersabar menyaksikan serangan dan penghinaan trehadap dīn (agama) (Malfuzat, jld. I, hlm. 457). (hlm 457- 475) SIKAP BAIK TERHADAP PEMBANTU RUMAHTANGGA Suatu kali Hadhrat Masih Mau'ud a.s. menyerahkan sepucuk surat kepada pembantu runah beliau, Hamid Ali, untuk memasukkannya ke kartor pos. Temyata surat itu hilang dari tangannya. Setelah satu minggu, surat itu ditemukan dari tempat sampah. Ketika ditemukan lalu Hadhrat Masih Mau'ud a.s. memanggil Hamid Ali dan memperlihatkan surat itu kepadanya. Lalu, dengan lembut beliau as. bersabda: “Hamid Ali, engkau sudah banyak sekali lupa, engkau harus hati-hati (Malfuzat, jld. I, hlm. 475). (hlm 475-458) KEaDAAN KETIKA MENERIMA ILHAM Para tabib (dokter) telah menetapkan penyebab•penyebab alamiah bagi tidur. Namun aku menyaksikan bahwa tatkala Allah Ta‟ala berkehendak untuk berwawan-cakap denganku, maka saat itu yang merupakan dalam kondisi sadar (bangun) sepenuhnya, tiba-tiba berubah menjadi kondisi ngantuk dan tidur serta benar-benar terlepas dari kondisi alam jasmaniah ini. Sebabnya adalah supaya timbul keselarasan penuh dengan alam [ruhaniah] tersebut. Kemudian terjadi begini, yakni ketika percakapan selesai maka kesadaran itu dikembalikan lagi oleh-Nya, sebabnya adalah supaya orang yang menerima ilham itu dapat mengingatnya. Kemudian timbul lagi kondisi ngantuk tadi, dan supaya dapat diingat maka Dia sadarkan kembali. Ringkasnya, hal semacam itu bisa terjadi sampai 50 kali. Itu merupakan suatu kekuasaan Ilahi, hal itu sama sekali tidak ada hubungannya dengan kondisi tidur secara alamiah. Para tabib 145 dan para dokter tidak dapat memahami hakikat kondisi itu. (Malfuzat, jld I, hlm. 458-459) PERLAKUAN TERHADAP PENGEMIS Suatu hari, seorang pengemis meminta-minta kepada Hz.Masih Mau'ud a.s. ketika beliau sedang menuju ke bagian dalam kediaman beliau, setelah selesai shalat. Namun, karena ramai orang, suara pengemis itu tidak terdengar dengan baik. Setelah beliau a.s. masuk ke dalam, beliau cepat-cepat keluar dan menyuruh para pemuda mencari pengemis tersebut untuk memanggilnya kembali. Namun, pengemis itu sudah tidak ditemukan lagi. Sore harinya barulah si pengemis itu datang. Ketika dia meminta maka Hadhrat Masih Mau'ud a.s. mengeluarkan sejumlah uang dari saku beliau dan memberikannya kepada pengemis tersebut. Setelah beberapa hari kemudian dalam suatu kesempatan, Hadhrat Masih Mau'ud a.s. bersabda: “Hari itu, ketika pengemis tersebut tidak ditemukan, di dalam hatiku rasa berat sedemikian rupa sehingga membuatku gelisah, dan aku takut kalau-kalau saya telah berbuat dosa, yakni tidak memberikan perhatian kepada pengemis itu, dan begitu saja aku masuk ke dalam. Syukur aku panjatkan kepada Allah Ta‟ala, sebab dia datang lagi sore harinya. Jika tidak, hanya Allah Yang tahu betapa gelisahnya aku. Dan aku juga telah berdoa saat itu supaya Allah Ta‟ala mendatangkan kembali pengemis itu. (Malfuzat, jld. I, hlm. 459). BERSIKAP BAIK KEPADA SIAPA SAJA Seseorang bertanya: “Bagaimana sikap terhadap pemerintah dan kaum kerabat?” Hadhrat Masih Mau'ud a.s. menjelaskan: “Bersikap baiklah terhadap setiap orang. Patuh dan setia kepada pemerintah merupakan kewajiban setiap Muslim. Pemerintah ini melindungi kita, dan memberikan segala macam bentuk kebebasan beragama kepada kita. Aku menganggap suatu pengkhianatan besar apabila tidak menaati dan tidak setia kepada Pemerintah dengan setulus hati. Bagi kaum kerabat ada hak-hak mereka. Kepada mereka juga hendaknya bersikap baik. Ada pun hal-hal yang bertentangan dengan keridhaan Allah Ta‟ala yang [kalian] dapati di kalangan mereka, hendaknya kalian menjauhkan diri dari itu. Prinsipku adalah, berbuatlah adil terhadap setiap orang, dan berbuatlah ihsan terhadap segenap makhluk Allah Ta‟ala. (Malfuzat, jld. I, hlm. .459-460). Tatkala karunia Allah Ta‟ala mendekat, maka Dia menyediakan sarana-sarana pengabulan doa. Di dalam kalbu ti mbul suatu kondisi yang sejuk dan mengalir. Namun, tatkala bukan waktunya bagi pengabulan doa, maka di dalam kalbu tidak timbul ketenteraman serta keterpaduan. Betapa pun hebatnya kalbu dipaksakan, tetap saja tidak dapat berkonsentrasi. Sebabnya adalah, kadang-kadang Allah Ta‟ala ingin agar manusia menerima keputusan taqdir-Nya, dan kadang-kadang Dia mengabulkan doa (permintaan). Oleh karena itu, selama aku belum menemukan tanda-tanda izin Ilahi, maka aku tidak berharap banyak pada pengabulan doa. Dan dengan senang hati aku rela terhadap keputusan taqdir-Nya melebihi kegembiraan 146 yang terdapat pengabulan doa, sebab buah-buah serta berkat-berkat yang timbul dari kerelaan menerima keputusan takdir jauh lebsar dari [pengabulan doa] itu. (Malfuzat, jld. I, hlm. 460). (hlm 460-461). NIAT DATANG DAN MENETAP DI QADIAN Suatu kali sceorang warga Jemaat menyampaikan kepada Hadhrat Masih Mau‟ud a.s., bahwa dia ingin datang ke Qadian untuk berniaga. Terhadap hal itu Hadhrat Masih Mau'ud a.s. bersabda: Niat itu sendiri tidak benar, hendaknya bertaubat dari itu. Justru datang ke sini hendaknya untuk dīn (agama/ruhani), dan hendaknya menetap di sini dengan maksud memperbaiki hal-hal yang akan dirauh di akhirat. Inilah yang hendaknya menjadi niat utama. Dan jika kemudian bersamaan dengan itu ada maksud untuk memenuhiu keinginan menetap di sini dengan perniagaan dan sebagainya maka tidaklah mengapa. Tujuan yang sebenarnya harus dīn, bukan dunia. Apakah untuk perniagaan tidak ada kota lain yang lebih baik? Tujuan utama datang ke sini hendaknya idak ada lain kecuali untuk din. Kemudian, segala sesuatu yang diperoleh, pahamilah itu sebagai karunia Allah. (Malfuzat, jld. I, hlm .461-462). JEMAAT DAN AKHLAK MULIA ”Keadaanku adalah, apabila seseorang mengalami sakit dan aku sedang tekun shalat, lalu kednegaran suaranya di telingaku, maka aku akan menghentikan shalat lalu memberi bantuan kepadanya, jika memang dengan begitu dapat membantunya. Dan sejauh yang memungkinkan aku akan berbagi rasa menanggung penderitaannya. Adalah bertentangan dengan akhlak apabila tidak memberi bantuan kepada saudara yang berada dalam musibah dan kesusahan. Jika sedikit pun tidak ada yang dapat kalian lakukan untuknya maka paling tidak doakanlah. Jangankan terhadap sesama kita, aku katakan, perlihatkan jugalah akhlak mulia terhadap orang-orang ghair dan orang-orang Hindu, dan terapkanlah solidaritas (kepedulian) terhadap mereka. Sama sekali kalian jangan memiliki sifat membatu (tidak peka). Suatu kali aku sedang jalan-jalan ke luar, bersamaku ada seorang patwari (akuntan pengawas tanah), Abdul Karim, dia agak di depan dan aku di belakang. Di perjalanan bertemu seorang perempuan tua berusaia 70 atau 75 tahun. Dia memohon kepada patwari. Di perjalanan bertemu seorang perempuan tua berusia 70 atau 75 tahun. Dia memohon kepada patwari itu untuk membacakan selembar surat untuknya. Namun patwari itu membentak dan mengetepikannya. Hatiku terluka [melihatnya], lalu perempuan tua itu memberikan surat tersebut kepadaku. Aku ambil dan aku bacakan untuknya. Aku jelaskan dengan baik kepada perempuan tua itu. Melihat hal itu patwari tersebut merasa malu sekali, sebab dia terpaksa ikut berhenti, dan juga luput dari pahala.” (Malfuzat, jld. I, hlm. 462-463). RAJA-RAJA AKAN MASUK KE DALAM 147 JEMAAT HADHRAT MASIH MAU‟UD A.S. “Melalui kasyaf yang sangat jelas aku telah mengetahui bahwa raja-raja pun akan masuk ke dalam Jemaat ini. Sampai-sampai kepadaku telah diperlihatkan raja-raja tersebut. Mereka menunggang kuda. Dan Allah Ta‟ala juga telah berfirman bahwa: "Aku akan menganugerahkan berkat kepada engkau, sehingga raja-raja akan mencari berkat dari pakaian-pakaian engkau.” Setelah suatu jangka masa tertentu, Allah Ta‟ala akan memasukkan orang-orang seperti itu ke dalam Jemaatku, dan kemudian beriringan dengan mereka maka dunia akan mengarah ke sini” (Malfuzat, jld. I, hlm. 463). SENANTIASA TAKUT KEPADA ALLAH Malam hari, ketika hening dimana-mana, dan aku sendirian, pada saat itu dalam mengingat Allah, kalbu terus menerus takut, sebab Dia itu Al-Ghaniy (Maha Berkecukupan) (Malfuzat, jld. I, hlm. 464). PENSUCIAN JIWA ”Di dalam Al-Quran Syarif tertera: (“Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu” – Asy-Syams, 10) Untuk tazkiyyah nafs (pensucian jiwa), hidup dalam pergaulan bersama orang-orang salih dan menjalin hubungan dengan orang-orang baik adalah sangat bermanfaat. Dusta dan akhlakakhlak buruk hendaknya ditinggalkan, dan terhadap orang yang sedang berjalan di atas jalan [yang lurus] hendaknya tanyakan kepadanya mengenai jalan itu. Beriringan dengan itu perbaiki jugalah kesalahan-kesalahan diri sendiri, sebab sebagaimana dalam tulisan, tanpa memperbaiki kesalahan-kesalahan maka tulisan tersebut tidak akan benar, demikian pula tanpa memperbaiki kesalahan-kesalahan maka akhlak juga tidak dapat dibenahi. Manusia adalah makhluk hidup yang pensuciannya berlangsung scara bersamaan. Tempuhlah oleh kalian jalan yang lurus. Jika tidak, kamu akan tersesat” (Malfuzat, jld. I, hlm. 464). KEPUTUSAN TAKDIR ILAHI DAN PENGABULAN DOA Ketika manusia meraih kesuksesan (keberhasilan) – dan dia tidak lagi mengalami kehinaan serta musibah – maka maka orang yang pada saat itu bersikap merendahkan diri dan dia tetap mengingat Allah maka dia itu sempurna” (Malfuzat, jld. I, hlm. 464). 148 149 150