BAB II LANDASAN TEORI A. Tinjauan Pustaka 1. Kegemukan a. Pengertian Kegemukan Kegemukan diartikan sebagai keadaan abnormal dan kondisi berat badan yang berlebih yang akan menggangu kesehatan. Indeks Masa Tubuh (IMT) merupakan ukuran sederhana dari berat badan menurut umur yang digunakan untuk menggolongkan keadaan kegemukan. Menggambarkan berat seseorang dalam kilogram (Kg) per tinggi badan dalam meter di kuadratkan (kg/m2). Klasifikasi menurut WHO (2014) adalah IMT 25-30 = gemuk, dan IMT > 30 = obesitas. Obesitas merupakan keadaan akumulasi lemak didalam tubuh yang abnormal atau berlebihan yang dapat mengganggu kesehatan (Kartika dan Rahayu, 2012). Kegemukan biasanya juga didefinisikan sebagai kelebihan lemak tubuh. Obesitas atau kegemukan terjadi pada saat tubuh menjadi gemuk (obese) yang disebabkan karena adanya penumpukan adipose (jaringan lemak khusus yang disimpan tubuh) secara berlebihan. Obesitas adalah keadaan dimana seseorang memiliki berat badan yang lebih berat dibandingkan berat idealnya yang disebabkan terjadinya penumpukan lemak dalam tubuhnya. Oleh karenanya obesitas sering didefinisikan sebagai berat dan bukan sebagai kelebihan lemak (Cynthia et al. 2009). b. Pengukuran Indeks Masa Tubuh (IMT) Obesitas merupakan suatu penyakit yang ditandai dengan penimbunan jaringan lemak tubuh secara berlebih. Indeks Massa Tubuh (IMT) telah direkomendasikan sebagai baku pengukuran obesitas pada anak dan remaja. IMT merupakan petunjuk untuk menentukan kelebihan berat badan berdasarkan Quetelet yaitu berat badan dalam kilogram dibagi dengan kuadrat tinggi badan dalam meter (kg/m2). Obesitas dapat diukur dengan menggunakan Indeks Quetelet yang dibuat oleh seorang astronomer dari Belgia pada 6 7 tahun1870 (Indriati, 2010). Indeks Quetelet ini sekarang dikenal dengan sebutan Body Mass Indeks (BMI) atau disebut juga dengan Indeks Massa Tubuh (IMT) yang banyak digunakan untuk mengetahui derajat obesitas dan derajat ketahanan hidup seseorang. Henry (1994) dalam Indriati (2010) menyatakan bahwa tingkat derajat 0 berkorelasi dengan mortalitas yang minimal, dan tingkat mortalitas akan meningkat tajam pada tingkat derajat II. Dua ukuran terpenting dalam antropometri, yaitu pengukuran berat badan dan tinggi badan. Indeks massa tubuh biasanya selalu dikaitkan dengan kadar lemak tubuh yang tinggi bila IMT >30 (Indriati, 2010). Tinggi badan berfluktuasi 1% dalam 1 hari, ketika manusia paling tinggi pada pagi hari dan menyusut pada malam hari. Oleh karena itu perlu untuk menentukan waktu pengukuran yang sama setiap hari pada penelitian antropometri dalam jumlah subjek yang banyak (Indriati, 2010). Untuk menentukan seseorang menderita obesitas atau tidak, cara yang paling banyak digunakan adalah dengan pengukuran IMT yang ditunjukkan dengan perhitungan berat badan dalam kilogram per tinggi badan dalam meter kuadrat (kg/m²), berkorelasi dengan lemak yang terdapat dalam tubuh. Rumus untuk menetukan IMT adalah : IMT = Berat Badan (kg) Tinggi Badan (m)² Indriati (2010) menyebutkan bahwa Indeks Quetelet yaitu BB (kg) / TB (cm) merupakan kriteria obesitas yang dibuat oleh Garrow 1981 dengan grade (derajat) kriteria indeks masa tubuh yaitu : a. Derajat 0 = 20 – 24,9 b. Derajat 1 = 25 – 29,9 c. Derajat 2 = 30 – 40 d. Derajat 3 > 40 IMT/U adalah indikator utama yang bermanfaat untuk penapisan gemuk dan sangat gemuk. Untuk anak-anak pada masa tumbuh kembang, penentuan obesitas ditentukan dengan menggunakan kategori dan ambang batas status gizi anak melalui tahapan : a. Penimbangan berat badan. b. Pengukuran tinggi badan. 8 c. Penentuan status gizi dengan Indeks Massa Tubuh menurut Umur (IMT/U). Penentuan status gizi dengan indeks dan IMT/U adalah : Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia tahun 2010 (Kemenkes RI, 2011) nomor: 1995/MENKES/SK/XII/2010 tentang standar antropometri penilaian status gizi dan mengacu pada standar WHO 2007 yaitu dengan menghitung IMT menurut umur (IMT/U) berdasarkan jenis kelamin pada anak umur 5 - 18 tahun. Tabel 2.1 Klasifikasi Gizi Anak Menurut IMT/U Klasifikasi Gizi Anak Menurut IMT/U Kurus <-2 SD Normal -2 SD s/d 1 SD Gemuk > 1 SD s/d 2 SD Obesitas > 2 SD (Kemenkes RI, 2011; Kemenkes RI, 2014). c. Klasifikasi kegemukan Menurut Misnadiarly (2009), jika berdasarkan kondisi selnya, maka kegemukan dapat digolongkan menjadi beberapa tipe, yaitu : 1) Tipe Hiperplastik Adalah kegemukan yang terjadi karena jumlah sel yang lebih banyak dibandingkan kondisi normal, tetapi ukuran selnya sama dengan ukuran sel normal. Biasanya sering terjadi pada masa anak-anak. 2) Tipe Hipertropik Kegemukan pada tipe ini terjadi karena ukuran sel yang lebih besar dibandingkan dengan ukuran sel normal. sering terjadi pada usia dewasa, dan upaya untuk menurunkan berat badannya lebih mudah dibandingkan dengan tipe hiperplastik. 3) Tipe Hipertopik dan Hiperplastik Kegemukan pada tipe ini terjadi karena jumlah dan ukuran sel melebihi normal. Biasanya kegemukan pada tipe ini dimulai pada masa anak-anak dan terus berlangsung hingga dewasa. Sedangkan upaya untuk menurunkan berat badan pada tipe ini merupakan yang paling sulit, karena dapat beresiko terjadinya komplikasi penyakit degeneratif. 9 d. Etiologi Kegemukan Penyebab mendasar dari kegemukan dan obesitas adalah ketidakseimbangan energi antara kalori yang dikonsumsi dan kalori yang dikeluarkan. Secara umum, penyebab terjadinya kegemukan adalah: asupan makanan padat energi yang tinggi lemak dan kurangnya aktivitas fisik karena dari berbagai bentuk pekerjaan, transportasi, dan meningkatnya urbanisasi. Perubahan pola makan dan aktivitas fisik merupakan dampak dari perubahan lingkungan dan sosial yang terkait dengan pembangunan dan kurangnya kebijakan yang mendukung seperti sektor kesehatan, pertanian, transportasi, perencanaan kota, lingkungan, pengolahan makanan, distribusi, pemasaran dan pendidikan (WHO, 2014). Kegemukan dan obesitas terjadi akibat asupan energi yang lebih tinggi dari pada energi yang dikeluarkan. Asupan energi tinggi disebabkan oleh konsumsi makanan sumber energi lemak tinggi, sedangkan pengeluaran energi yang rendah disebabkan karena kurangnya aktivitas fisik dan perubahan gaya hidup yang mengarah pada sedentary life style (Kemenkes RI, 2014). Kegemukan didefinisikan sebagai peningkatan jumlah energi yang ditimbun sebagai lemak akibat adanya adaptasi yang salah. Beberapa faktor yang dapat menyebabkan terjadinya obesitas diantaranya adalah interaksi antara genetik dan lingkungan yaitu aktivitas fisik, sosioekonomi, gaya hidup, dan asupan zat gizi. Secara umum obesitas terjadi karena keseimbangan energi dalam tubuh. Keseimbangan energi ditentukan oleh asupan energi yang berasal dari zat gizi penghasil energi yang meliputi karbohidrat, lemak, protein serta kebutuhan energi basal, aktivitas fisik dan suatu energi yang diperlukan tubuh untuk mengolah zat gizi menjadi energi (Rosita et al, 2013). Secara umum ada dua penyebab kegemukan, yaitu : 1. Faktor Genetik Dari segi genetik, meskipun berperan namun tidak dapat menjelaskan terjadinya peningkatan prevalensi kegemukan (Kemenkes RI, 2014). 2. Faktor Lingkungan Adapun faktor lingkungan penyebab kegemukan sebagai berikut : 10 a) Aktifitas fisik Kurangnya aktivitas fisik menjadi penyebab utama meningkatnya kegemukan. Penelitian yang dilakukan oleh Mushtaq et al. (2011) di Pakistan, bahwa aktivitas fisik dan gaya hidup anak sekolah adalah prediktor independen dari kegemukan. Gaya hidup yang termasuk menonton televisi, aktivitas pada komputer dan bermain video game menunjukkan hubungan yang signifikan dengan kegemukan. b) Faktor nutrisional. Peranan nutrisional sangatlah besar terhadap penentuan status berat badan. Mushtaq et al. (2011) menyatakan bahwa melewatkan sarapan, makan makanan cepat saji dan makanan ringan satu kali atau lebih dalam seminggu, berpengaruh terhadap kejadian kegemukan. c) Faktor sosial ekonomi. Ada korelasi antara sosio-demografis, perilaku diet, aktivitas fisik dan gaya hidup dengan kejadian kegemukan (Mushtaq et al. 2011). e. Dampak Kegemukan Resiko morbidity akan meningkat jika IMT berada pada rentang 25.029.9 kg/m2 dan akan lebih meningkat lagi jika IMT ≥ 30 kg/m2. Kegemukan akan meningkatkan berbagai resiko penyakit diantaranya adalah diabetes, hipertensi, penyakit jantung koroner, stroke, obstructive sleep apnoea dan osteoarthritis (WHO, 2014). Dengan meningkatnya IMT maka akan meningkat pula resiko kejadian penyakit Non-Communicable disease / penyakit tidak menular yang umumnya akan menyebabkan beberapa penyakit, diantaranya jantung dan stroke (penyebab utama kematian pada tahun 2012), diabetes dan beberapa penyakit kanker. Sementara resiko tinggi yang akan terjadi dari penyakit tidak menular ini pada anak-anak adalah kematian pada usia dini dan juga ketidakmampuan disaat telah dewasa (WHO, 2014). 11 2. Kebugaran Jasmani a. Pengertian Kebugaran Jasmani Dalam menjalankan kehidupan sehari-hari setiap orang tidak akan lepas dari kebugaran jasmani, karena kebugaran jasmani merupakan salah satu faktor yang sangat penting dalam menjalankan kehidupan sehari-hari. Kebugaran jasmani terkait erat dengan keadaan kesehatan seseorang. Semua bentuk kegiatan manusia selalu memerlukan dukungan fisik, masalah kemampuan fisik merupakan faktor dasar bagi setiap aktifitas manusia. Maka untuk melakukan setiap aktifitas sehari-hari, minimal harus mempunyai kemampuan fisik yang selalu mendukung aktifitas tersebut. Salah satu indikator seseorang dikatakan sehat adalah mempunyai kebugaran jasmani yang baik. Kusmaedi (2008) mengungkapkan bahwa kebugaran jasmani adalah kemampuan tubuh seseorang untuk melakukan tugas dan pekerjaan sehari-hari tanpa menimbulkan kelelahan yang berarti, sehingga tubuh masih memiliki simpanan tenaga untuk mengatasi beban tambahan. Subagyo & Nugroho (2010) mengemukakan bahwa kebugaran jasmani adalah kemampuan tubuh seseorang untuk melakukan tugas pekerjaannya sehari-hari dengan lebih efesien, efektif, dan produktif tanpa menimbulkan kelelahan yang berarti dan masih mempunyai cadangan tenaga untuk menikmati waktu luang serta untuk keperluan mendadak. Titik berat sebuah kebugaran jasmani adalah Physiological Fitness yaitu merupakan kemampuan tubuh untuk menyesuaikan alat-alat tubuhnya dalam batas fisiologis terhadap keadaan lingkungan atau kerja fisik dengan cara yang cukup efisien tanpa merasakan kelelahan yang berlebihan, sehingga masih dapat melakukan kegiatan-kegiatan lainnya dan juga telah mengalami pemulihan sebelum datangnya tugas yang sama keesokan hari. Kebugaran jasmani yang dimaksud adalah tidak hanya mencakup disisi fisik saja, tetapi juga mental, sosial dan emosional sehingga juga merupakan kebugaran total (total fitness) yang juga diistilahkan dengan “Well-Being” atau sehat sejahtera paripurna (Ismaryati, 2011). 12 Dalam aktivitas sehari-hari, kebugaran jasmani menggambarkan keadaan tubuh seseorang selain mampu mengerjakan pekerjaan rutin harian juga masih sanggup melakukan aktivitas fisik lainnya. Orang yang memiliki kesegaran jasmani yang lebih baik dapat menjalankan aktifitas fisiknya dengan lebih baik pula. Pembinaan kebugaran jasmani sangat berpengaruh bagi siswa guna menunjang proses pembelajaran di sekolah, serta aktivitas fisik lain diluar sekolah. Tidak ada alasan yang kuat untuk memisahkan jenis kelamin pada kegiatan olahraga anak hingga usia 15 tahun, karena pertumbuhan biologi anak dibawah umur ini adalah sama, dan barulah setelah umur 15 tahun mulai terjadi perbedaan pertumbuhan, perkembangan dan pematangan oleh adanya pengaruh dari hormon, sehingga pada usia ini, perbedaan perorangan tidak dibedakan atas umur maupun jenis kelamin (Giriwijoyo & Sidik, 2012). b. Faktor Yang Mempengaruhi Kebugaran Jasmani Menurut Erminawati (2009) pada umumnya kebugaran jasmani dipengaruhi oleh dua faktor utama yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal adalah sesuatu yang sudah terdapat dalam tubuh seseorang yang bersifat menetap misalnya genetik, umur, jenis kelamin. 1). Genetik Faktor genetik, yaitu sifat-sifat spesifik yang ada dalam tubuh seseorang dari sejak lahir. Pengaruh genetik terhadap kekuatan otot dan daya tahan otot pada umumnya berhubungan dengan komposisi serabut otot yang terdiri dari atas serat merah dan serat putih. Seseorang yang lebih banyak memiliki rangka serat merah lebih tepat untuk melakukan kegiatan yang bersifat aerobik seperti maraton, sedangkan seseorang yang lebih banyak memiliki serat otot putih, lebih mampu untuk melakukan kegiatan yang bersifat anaerobik seperti lari jarak pendek, angkat besi, dan sebagainya. 2). Umur Umur mempengaruhi hampir semua komponen kebugaran jasmani. Pada daya tahan kardiovaskuler ditemukan, sejak usia anak-anak sampai sekitar umur 20 tahun, daya tahan kardiovaskuler meningkat dan mencapai 13 maksimal diusia 20-30 tahun. Daya tahan tersebut akan semakin menurun sejalan dengan semakin bertambahnya usia, namun penurunan ini dapat berkurang, bila seseorang berolaraga teratur sejak dini. 3). Jenis kelamin Kebugaran jasmani antara pria dan wanita berbeda karena adanya perbedaan tubuh yang terjadi setelah masa pubertas. Daya tahan kordiovaskuler pada usia anak-anak, antara pria dan wanita tidak berbeda, namun setelah masa pubertas terdapat perbedaan, karena wanita memiliki jaringan lemak yan lebih banyak dan hemoglobin lebih rendah dibanding dengan pria. Hal yang sama juga terjadi pada kekuatan otot, karena perbedaan kekuatan antara pria dan wanita disebabkan oleh adanya perbedaan ukuran otot baik besar maupun proporsinya dalam tubuh. Menurut Suharjana (2008) faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat kebugaran jasmani seseorang adalah sebagai berikut: 1) Umur. Setiap tingkatan umur mempunyai tataran tingkat kebugaran jasmani yang berbeda dan dapat ditingkatkan pada hampir semua usia. Kebugaran jasmani anak-anak meningkat sampai mencapai maksimal pada usia 25-30 tahun. Selanjutnya akan terjadi penurunan kapasitas fungsional dari seluruh organ tubuh kira-kira sebesar 0,81 -1%. Namun dengan rajin berolahraga, kecepatan penurunan tersebut dapat diperlambat hingga separuh/setengahnya. 2) Jenis Kelamin. Tingkat kebugaran jasmani putra biasanya lebih baik jika dibandingkan dengan tingkat kebugaran jasmani putri. Hal ini disebabkan karena kegiatan fisik yang dilakukan oleh putra lebih banyak bila dibandingkan dengan putri. Sampai usia pubertas, biasanya kebugaran jasmani anak lakilaki hampir sama dengan anak perempuan. Setelah mencapai / melewati usia pubertas, anak laki-laki biasanya mempunyai tingkat kebugaran jasmani yang jauh lebih besar dibandingkan dengan tingkat kebugaran jasmani anak perempuan. 14 3) Makanan. Asupan gizi yang seimbang (12% protein, 50% karbohidrat, dan 38% lemak) akan sangat berpengaruh bagi kebugaran jasmani seseorang. Dengan gizi yang seimbang, maka diharapkan akan terpenuhinya kebutuhan gizi tubuh. Selain gizi yang seimbang, makanan juga sangat dipengaruhi oleh kualitas bahan makanan. Yang dimaksud bahan makan yang berkualitas adalah bahan makanan yang sesedikit mungkin mengandung polutan. Cara pengolahan bahan makanan juga sangat mempengaruhi kualitas makanan yang dikonsumsi. 4) Tidur dan Istirahat. Istirahat sangat dibutuhkan bagi tubuh untuk membangun kembali otototot setelah latihan sebanyak kebutuhan latihan yang ada di dalam perangsangan pertumbuan otot. Istirahat yang cukup sangatlah perlu bagi pikiran dangan makanan dan udara, Sehingga dari beberapa pendapat di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa kesegaran jasmani dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu: Makanan yang bergizi, aktivitas (olahraga) dan istirahat. Asma juga dapat mempengaruhi kebugaran jasmani seseorang. aktivitas jasmani dapat menjadi pemicu terjadinya asma, atau bahkan terkadang menjadi satu-satunya pemicu terjadinya AO (Asma-Olahraga). Asma merupakan gangguan pernafasan yang paling umum, meliputi ± 10% siswa di banyak negara (Giriwijoyo & Sidik, 2012). Asma merupakan penyakit yang ditandai dengan meningkatnya kepekaan mukosa trakhea dan bronchi terhadap berbagai rangsangan dan diwujudkan dengan adanya penyempitan jalan nafas (American Thoracic Society, 1962 Cit. Giriwijoyo & Sidik, 2012). Penderita asma mempunyai sistem bronkhial yang hipersensitif dan bereaksi berlebihan terhadap infeksi saluran nafas, debu, stres, tertawa terbahak-bahak, bulu binatang ataupun juga terhadap kegiatan fisik (Giriwijoyo & Sidik, 2012). c. Tes Kebugaran Jasmani 15 Penilaian tingkat kebugaran jasmani pada anak sekolah yang gemuk dan obes menggunakan single test yang sesuai dengan kondisi fisik medis sehingga test lari jarak menengah yang dipilih dilakukan dengan jalan cepat saja. Tes ini merupakan suatu perangkat tes lapangan untuk anak usia 10-19 tahun yang dibagi menjadi 2 kelompok usia yaitu: kelompok usia 10-12 tahun dan kelompok usia 13-19 tahun. Untuk usia 6-9 tahun tidak dapat dilakukan single test ini tetapi dapat disusun program latihan fisik. 1. Penggolongan jarak tempuh test menurut umur dan jenis kelamin: Tabel 2.2 Penggolongan Jarak Tempuh Tes Kebugaran Jasmani Umur Janis Jarak (Tahun) Kelamin Tempuh 10 – 12 Laki-laki 1000 m Perempuan 1000 m Laki-laki 1600 m Perempuan 1600 m 13 – 19 (Kemenkes, 2014). 2. Alat dan fasilitas (1) Lapangan olahraga ataupun sarana lain yang memiliki fasilitas lintasan jalan cepat yang datar dan tidak licin sejauh 1000-1600m. (2) Tiang pancang untuk rambu lintasan lari. (3) Bendera start. (4) Nomor dada. (5) Stopwatch. (6) Peluit. (7) Alat tulis 3. Pelaksanaan test (1) Peserta test berdiri dibelakang garis start. (2) Peserta mengambil sikap berdiri, siap untuk jalan cepat. (3) Pada aba-aba “Ya” peserta tes melakukan jalan cepat konstan menuju garis finish dengan menempuh jarak 1000 atau 1600 meter sesuai dengan kelompok usia dan jenis kelamin. 16 4. Penentuan tingkat kebugaran jasmani menurut Kemenkes (2014). Tabel 2.3 Tes Jalan Cepat 1600 m Putra (Usia 13 - 19 Tahun) Usia Klasifikasi (Menit, Detik) (Tahun) Cukup Kurang Kurang Baik Sekali Baik 13 ≤ 7,23 7,24 – 8,41 – 9,58 9,59 – 11,15 ≥ 11,16 14 ≤ 7,06 8,40 8,15 – 9,21 9,22 – 10,28 ≥ 10,29 15 ≤ 6,32 7,07 – 7,47 – 9,01 9,02 – 10,16 ≥ 10,17 16 ≤ 6,31 8,14 7,44 – 8,55 8,56 – 10,06 ≥ 10,07 17 ≤ 6,28 6,33 – 7,41 – 8,52 8,53 – 10,04 ≥ 10,05 18 ≤ 6,27 7,46 7,27 – 8,56 8,27 – 09,25 ≥ 09,26 19 ≤ 6,21 6,32 – 7,22 – 8,26 8,21 – 09,29 ≥ 09,20 Sekali 7,43 6,29 – 7,40 6,28 – 7,27 6,22 – 7,21 Tabel 2.4 Tes Jalan Cepat 1600 m Putri (Usia 13 - 19 Tahun) Usia Klasifikasi (Menit, Detik) (Tahun) Baik Sekali Baik Cukup Kurang Kurang Sekali 13 ≤ 9,29 9,30 – 10,56 – 12,21 12,22 – 13,46 ≥ 13,47 14 ≤ 9,26 10,55 10,52 – 12,15 12,16 – 13,39 ≥ 13,40 15 ≤ 9,03 9,27 – 10,34 – 12,04 12,05 – 13,34 ≥ 13,35 16 ≤ 7,55 10,51 09,49 – 11,40 11,41 – 13,32 ≥ 13,33 17 ≤ 7,54 9,04 – 09,44 – 11,33 11,34 – 13,22 ≥ 13,23 18 ≤ 7,52 10,33 09,28 – 11,02 11,03 – 12,37 ≥ 13,28 19 ≤ 7,51 7,56 – 09,26 – 11,00 11,01 – 12,34 ≥ 12,35 17 09,48 7,55 – 09,43 7,53 – 09,27 7,52 – 09,25 3. Prestasi Akademik a. Pengertian prestasi Akademik Kata “Prestasi” berasal dari bahasa Belanda yaitu prestatie. Kemudian dalam bahasa Indonesia menjadi “prestasi” yang berarti “hasil usaha”. Kata prestasi banyak digunakan dalam berbagai bidang dan kegiatan antara lain dalam kesenian, olah raga, dan pendidikan, khususnya pembelajaran. Sementara prestasi belajar adalah suatu bukti keberhasilan belajar atau kemampuan seseorang siswa dalam melakukan kegiatan belajarnya sesuai dengan bobot yang dicapainya (Arifin, 2009). Menurut Sunarsih (2009), prestasi merupakan hasil yang dicapai seseorang ketika mengerjakan tugas atau kegiatan tertentu. Prestasi akademik adalah hasil belajar yang diperoleh dari kegiatan pembelajaran di sekolah atau di perguruan tinggi yang bersifat kognitif dan biasanya ditentukan melalui pengukuran dan penilaian. Sementara prestasi belajar adalah penguasaan pengetahuan atau keterampilan yang dikembangkan oleh mata pelajaran, lazimnya ditunjukkan dengan nilai tes atau angka nilai yang diberikan oleh guru ataupun dosen. Belajar ialah suatu proses usaha yang dilakukan seseorang untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan, sebagai hasil pengalamannya sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya (Slameto, 2010). Belajar merupakan perubahan tingkah laku atau penampilan, dengan serangkaian kegiatan misalnya dengan membaca, mengamati, mendengarkan, meniru dan lain sebagainya, Sehingga dapat disimpulkan bahwa secara umum definisi belajar adalah usaha yang dilakukan seseorang 18 untuk dapat berubah ke arah yang lebih baik, melalui serangkaian kegiatan yang dijalani selama proses belajar berlangsung (Isnaini, 2014). Menurut Azwar (2011) prestasi atau keberhasilan akademik dapat dioperasionalkan dalam bentuk-bentuk atau indikator-indikator berupa nilai raport, indeks prestasi studi, angka kelulusan, predikat keberhasilan dan sebagainya. b. Bentuk-bentuk belajar Riyanto (2010) bentuk-bentuk belajar dapat dibedakan menjadi 3, yaitu : 1) Bentuk belajar menurut fungsi psikis (a) Belajar dinamik Belajar karena menghendaki sesuatu secara wajar karena dorongan untuk bertindak agar kebutuhannya dapat terpenuhi. (b) Belajar afektif Menghayati nilai dari objek yang dihadapi melalui alam perasaan baik berupa orang, benda maupun peristiwa. Dapat pula dikatakan sebagai ungkapan perasaan dalam bentuk expresi yang wajar. (c) Belajar kognitif Menggunakan bentuk-bentuk representasi yang mewakili objek yang dihadapi dan dipresentasikan melalui tanggapan, gagasan ataupun lambang. (d) Belajar sensoris motorik Menghadapi objek secara fisik termasuk kejasmanian manusia sendiri. 2) Bentuk belajar menurut materi yang dipelajari (a) Belajar teoritis Bertujuan untuk mendapatkan data dan fakta (pengetahuan) dalam suatu kerangka organisasi mental, sehingga dipahami dan digunakan untuk memecahkan masalah seperti pada bidang studi ilmiah. (b) Belajar tekhnis Mengembangkan keterampilan dalam menangani benda serta menyusun bagian-bagian materi menjadi keseluruhan dan disebut juga belajar motorik. 19 (c) Belajar sosial Bertujuan mengekang dorongan dan kecendrungan spontan demi kehidupan bersama dan membebaskan orang lain untuk memenuhi kebutuhannya. (d) Belajar estetis Bertujuan membentuk kemampuan untuk menciptakan dan menghayati keindahan diberbagai bidang kesenian. 3) Belajar dengan insidental Saat orang mempelajari sesuatu dengan tujuan tertentu namun juga belajar hal lain yang tidak menjadi sasarannya. (a) Belajar secara tersembunyi Dicontohkan seperti upacara bendera, dimana guru secara implisit melatih siswanya untuk disiplin. (b) Belajar dengan coba-coba Melakukan sesuatu seperti sebuah eksperimen “trial and error” yang pada akhirnya menemukan hasil. c. Faktor yang mempengaruhi prestasi akademik Menurut Daryanto (2010), Secara umum faktor-faktor yang mempengaruhi belajar siswa dapat dibedakan menjadi 1) Faktor internal (a) Faktor jasmaniah (fisiologis) (1) Kesehatan Kesehatan jasmani dan rohani sangat besar pengaruhnya terhadap kemampuan belajar. Proses belajar seseorang akan terganggu jika kesehatannya terganggu, selain itu ia akan cepat lelah, kurang semangat, mudah pusing, ngantuk jika badannya lemah kurang darah (anemia) ataupun ada gangguan- gangguan/kelainan-kelainan fungsi alat indranya serta tubuhnya. Demikian pula halnya jika kesehatan rohani (jiwa) kurang baik, misalnya mengalami gangguan pikiran, misalnya kecewa karena konflik dengan orang tua atau karena sebab lainnya, hal ini 20 dapat mengganggu atau mengurangi semangat belajar. Karena itu, pemeliharaan kesehatan sangat penting bagi setiap orang baik secara fisik maupun mental, agar badan tetap kuat, pikiran selalu segar dan semangat dalam melaksanakan kegiatan belajar (Isnaini, 2014). (2) Cacat tubuh Cacat tubuh seseorang adalah sesuatu yang menyebabkan kurang baik atau kurang sempurna mengenai tubuh/badan. Cacat dapat berupa buta, setengah buta, tuli, setengah tuli, patah kaki, dan patah tangan, lumpuh dll. Keadaan cacat dapat mempengaruhi belajar. Siswa yang cacat belajarnya juga terganggu. Jika hal ini terjadi, hendaknya ia belajar pada lembaga pendidikan khusus atau usahakan alat bantu agar dapat menghindari atau mengurangi pengaruh kecacatannya itu (Slameto, 2010). (b) Faktor psikologis (1) Intelegensi dan bakat Bila seseorang mempunyai intelegensi tinggi dan bakatnya ada dalam bidang yang dipelajari, maka proses belajarnya akan lancar dan sukses bila dibandingkan dengan orang yang memiliki bakat saja tetapi intelegensi rendah. Demikian pula, jika dibandingkan dengan orang yang intelegensinya tinggi tetapi bakatnya tidak ada dalam bidang tersebut, orang berbakat lagi pintar (intelegensi tinggi) biasanya akan sukses dalam kariernya. (2) Konsentrasi Konsentrasi adalah memusatkan segenap kekuatan perhatian pada situasi belajar. Seseorang yang tidak dapat berkonsentrasi dalam belajar, ia tidak dapat menyerap pelajaran yang dipelajari sepenuhnya. Pada saat belajar, konsentrasi mutlak diperlukan. 21 (3) Perhatian Perhatian merupakan keaktifan jiwa yang dipertinggi, jiwa itupun semata-mata tertuju pada suatu objek (benda/hal) atau sekumpulan objek. Untuk dapat menjamin hasil belajar yang baik, maka siswa harus mempunyai perhatian terhadap bahan yang dipelajari. Jika bahan pelajaran tidak menjadi perhatian siswa, maka timbulah kebosanan, sehingga ia tidak suka lagi belajar. (4) Cara belajar Cara belajar juga mempengaruhi pencapaian hasil belajar. Belajar tanpa memperhatikan tekhnik dan faktor fisiologis, psikologis, dan ilmu kesehatan, akan memperoleh hasil yang kurang memuaskan. (5) Kematangan Kematangan adalah suatu tingkat/fase dalam pertumbuhan seseorang, dimana alat-alat tubuhnya sudah siap untuk melaksanakan kecakapan baru. Kematangan belum berarti anak dapat melaksanakan kegiatan secara terus-menerus. Untuk itu diperlukan latihan-latihan dan pelajaran. Dengan kata lain anak yang sudah siap (matang) belum dapat melaksanakan kecakapannya sebelum belajar. Belajarnya akan lebih berhasil jika anak sudah siap (matang). Jadi kemajuan baru untuk memiliki kecakapan itu tergantung dari kematangan belajar. (6) Kesiapan Kesiapan adalah kesediaan untuk memberi reponse atau reaksi. Kesediaan itu timbul dari dalam diri seseorang dan juga berhubungan dengan kematangan, karena kematangan berarti kesiapan untuk melaksanakan kecakapan. Kesiapan itu perlu diperhatikan dalam proses belajar, karena jika siswa belajar dan ada kesiapan maka hasil belajarnya lebih baik. (c) Faktor kelelahan Faktor kelelehan pada seseorang walaupun sulit untuk dipisahkan tetapi dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu kelelahan 22 jasmani dan kelelahan rohani (bersifat psikis). Kelelahan jasmani terlihat dengan lemah lunglainya tubuh dan timbul kecenderungan untuk membaringkan tubuh. Kelelahan jasmani terjadi karena terjadinya kekacauan subtansi sisa pembakaran di dalam tubuh, sehingga darah tidak/kurang lancar pada bagian-bagian tertentu. Kelelahan rohani dapat dilihat dengan adanya kebosanan sehingga minat dan dorongan untuk menghasilkan sesuatu hilang/menurun. 2) Faktor eksternal (a) Keluarga (1) Cara orang tua mendidik Cara orang tua mendidik anaknya besar pengaruhnya terhadap belajar anaknya. Hal ini jelas dan dipertegas dengan pernyataan yang menyatakan bahwa keluarga adalah lembaga pendidikan yang pertama dan utama. Orang tua yang kurang/ tidak memperhatikan pendidikan anaknya akan menyebabkan anak tidak terkontrol sehingga malas belajar dan merasa tidak diperhatikan. Selain itu, mendidik dengan cara yang keras, memaksa dan mengejar-ngejar anaknya belajar juga cara yang tidak baik. Anak akan diliputi ketakutan dan akhirnya benci terhadap belajar, bahkan jika ketakutan itu semakin serius, anak akan mengalami gangguan kejiwaan akibat dari tekanan-tekanan tersebut. (2) Relasi antar anggota keluarga Untuk kelancaran belajar serta keberhasilan anak, perlu adanya relasi yang baik di dalam keluarga terutama relasi orang tua dengan anak. Hubungan yang baik adalah yang penuh perhatian dan kasih sayang, disertai dengan bimbingan dan bila perlu hukuman-hukuman untuk mensukseskan belajar anak. (3) Suasana rumah Suasana rumah dimaksudkan sebagai situasi atau kejadiankejadian yang sering terjadi di dalam keluarga dimana anak berada dan belajar. Suasana rumah juga merupakan faktor penting yang tidak termasuk faktor yang disengaja. Suasana rumah yang 23 gaduh/ramai tidak akan memberikan ketenangan pada anak yang belajar, suasana tersebut dapat terjadi pada keluarga yang besar dan terlalu banyak penghuninya. Suasana rumah tegang, ribut dan sering terjadi percekcokan antar anggota keluarga akan menyebabkan anak tidak betah dirumah sehingga malas belajar dan lebih memilih untuk main diluar rumah. Rumah yang sering dipakai untuk keperluan lain misalnya untuk resepsi, pertemuan, pesta, upacara keluarga dll, akan menganggu belajar anak apalagi ruang yang bising dengan suara televisi/radio pada saat belajar akan mengganggu konsentrasi anak dalam belajar. (4) Keadaan ekonomi keluarga Keadaan ekonomi keluarga erat hubungannya dengan belajar anak karena berhubungan dengan pemenuhan kebutuhan pokok seperti makanan, minuman, gizi, pakaian, rumah, perlindungan kesehatan dan lain-lain. Termasuk pemenuhan kebutuhan tambahan seperti alat tulis belajar, ruang belajar, meja, kursi, buku pelajaran dan adanya les tambahan bagi orang tua yang mampu dalam hal materi akan memudahkan anak untuk belajar. Sebaliknya, anak yang hidup dikeluarga miskin atau kurang mampu kebutuhan pokoknya kurang sehingga mengakibatkan kesehatan anak terganggu, begitu juga dengan nutrisinya. Selain itu, pada anak yang kurang mampu, terkadang waktu belajarnya terganggu karena harus membantu orang tuanya bekerja. Namun bukan berarti pada anak yang orang tuanya kaya raya akan menjadi anak yang pandai atau semangat dalam belajarnya, karena orang tua yang kaya raya sering mempunyai kecenderungan untuk memanjakan anak sehingga anak hanya bersenang-senang atau berfoya-foya yang berakibat kurangnya perhatian terhadap pelajaran. (5) Latar belakang budaya 24 Tingkat pendidikan atau kebiasaan didalam keluarga mempengaruhi sikap anak dalam belajar. Perlu ditanamkan kebiasaan-kebisaan yang baik kepada anak agar mendorong semangat untuk belajar. (b) Sekolah Keadaan sekolah tempat belajar mempengaruhi tingkat keberhasilan belajar. Kualitas guru, metode mengajar, kesesuaian kurikulum dengan kemampuan anak, keadaan fasilitas di sekolah, keadaan ruangan, jumlah murid perkelas, pelaksanaan tata tertib sekolah dan sebagainya, semua itu turut mempengaruhi keberhasilan belajar anak. Bila suatu sekolah kurang memperhatikan tata tertib, maka murid kurang mematuhi perintah para guru dan akibatnya mereka tidak mau belajar sungguh-sungguh disekolah ataupun dirumah. Hal ini mengakibatkan prestasi belajar anak menjadi rendah. Demikian juga dengan jumlah murid per kelas yang terlalu banyak (50-60 orang), dapat mengakibatkan kelas kurang tenang, suasana yang tidak kondusif, hubungan antara guru dan murid kurang akrab, kontrol guru menjadi lemah, murid jadi kurang acuh terhadap gurunya, sehingga motivasi belajar menjadi lemah. (c) Masyarakat Keadaan masyarakat menentukan prestasi belajar. Bila di sekitar tempat tinggal terdiri dari orang-orang yang berpendidikan, terutama anak-anaknya rata-rata bersekolah tinggi dan bermoral baik, maka hal ini akan mendorong anak lebih giat belajar. Tetapi sebaliknya, apabila tinggal dilingkungan banyak anak-anak yang nakal, tidak bersekolah dan pengangguran, hal ini akan mengurangi semangat belajar atau tidak menunjang sehingga motivasi belajar kurang. (d) Lingkungan sekitar Keadaan lingkungan tempat tinggal, bangunan rumah, suasana sekitar, keadaan lalu lintas, iklim dan sebagainya sangat mempengaruhi prestasi belajar. Misalnya bangunan rumah penduduk sangat rapat, akan mengganggu belajar. Keadaan lalu lintas yang bising, suara hiruk pikuk 25 orang di sekitar, suara pabrik, polusi udara, suara pabrik, iklim terlalu panas, akan mempengaruhi kegairahan belajar. Sebaliknya, tempat yang sepi dengan iklim yang sejuk akan menunjang proses belajar (Slameto, 2010). d. Tes Prestasi Akademik Tes prestasi akademik merupakan salah satu alat pengukuran dibidang pendidikan yang sangat penting sebagai sumber informasi guna pengambilan keputusan. Tes prestasi berupa tes yang disusun secara terencana untuk mengungkap performansi maksimal subjek dalam menguasai bahan-bahan atau materi yang telah di ajarkan. Dalam kegiatan pendidikan formal dikelas, tes prestasi dapat berbentuk ulangan-ulangan harian, tes formatif, tes sumatif bahkan ebtanas dan ujian-ujian masuk perguruan tinggi (Azwar, 2011). 21 B. Penelitian yang relevan No. 1. 2. Peneliti Hartini, Judul Penelitian Korelasi Derajat Metode Studi Potong lintang Hasil analitik. 211 (16,1%) anak obesitas. 60% laki-laki, Soetjiningsih Obesitas dg Prestasi Pemilihan sampel acak bertingkat, umur 7 - 12 tahun, rentang IQ 81 - 119. & Nurani, Belajar Siswa SD usia 6-13 tahun, Januari-Juni 2011, Analisis regresi linier = Derajat obesitas 2014. Kodya Denpasar. pada 1305 siswa. Annas, 2011. Hubungan Survei analitik berhubungan dengan prestasi belajar siswa SD. Cross-sectional. Tidak ada hubungan tingkat kesegaran jasmani Kesegaran Jasmani, Populasi 183 siswa kelas II MTs Al dengan prestasi belajar siswa. Hb, Status Gizi, dan Asror kecamatan Gunungpati kota Tidak ada hubungan status gizi dengan prestasi Makan Pagi terhadap Semarang. Sampel 65 siswi dengan belajar siswa. Prestasi Belajar. Simple Random Sampling. Ada hub status Hb dengan prestasi belajar siswa. 3. 4. Rismayanthi, Hubungan status gizi Penelitian korelasi. Tidak ada hub status gizi - prestasi hasil 2012. dan tingkat Dua Independen : status gizi dan belajar. kebugaran jasmani kebugaran jasmani. Ada hub kebugaran jasmani - prestasi hasil terhadap prestasi Satu Dependen : hasil belajar mata belajar. hasil belajar siswa. kuliah praktek mahasiswa FIK Ada hubungan status gizi dan kebugaran UNY. jasmani - prestasi hasil belajar. Widiantini & Aktivitas Fisik, Survei Cross sectional, Mei - Juni Prevalensi obesitas 48%. Tafal, 2013. 2013. Populasi seluruh PNS Ada hub aktivitas fisik dan stres dengan Stres, dan Obesitas 22 pada Pegawai Negeri SekJend. Kemenkes RI, 1.119 obesitas. Sipil. aktivitas fisik sedang/berat (0,6X) lebih rendah orang. untuk mengalami obesitas. 23 C. Kerangka Pikir Kegemukan Genetik Umur Pola Makan Kebugaran Jasmani Aktivitas Fisik Kemampuan Kognitif Intelegensi Prestasi Akademik Jenis Kelamin Kondisi Fisik Gambar 2.1 Kerangka Pikir Keterangan : : Variabel penelitian : Variabel perancu terkendali : Variabel perancu tak terkendali D. Hipotesis 1. Ada hubungan antara kegemukan dengan kebugaran jasmani siswa sekolah menengah pertama berbasis gender. 2. Ada hubungan antara kegemukan dengan prestasi akademik siswa sekolah menengah pertama berbasis gender. 3. Ada hubungan antara kebugaran jasmani dengan prestasi akademik siswa sekolah menengah pertama berbasis gender.