analisis potensi dan kebutuhan air untuk menyusun rekomendasi

advertisement
Pemanfaatan Pemantauan Elevasi Muka Air untuk Pengelolaan Air Tanah
pada Lahan Gambut di Kabupaten Pelalawan Provinsi Riau
Utilization of Water Level Elevation Monitoring for Water Management of Peatland
in Pelalawan District Riau Province
ELEONORA RUNTUNUWU1, NURHAYATI2, IDA NUR ISTINA2, BUDI KARTIWA1, KHARMILA SARI1,
KURMEN SUDARMAN1, DAN M. WAHYU TRI NUGROHO1
Naskah Diterima 2 Agustus 2012; Hasil Evaluasi 31 Agustus 2012; Hasil Perbaikan 14 November 2012
ABSTRAK
PENDAHULUAN
Lahan gambut untuk pertanian diusahakan tidak
mengalami kekeringan pada musim kemarau dan sebaliknya tidak
tergenang pada musim hujan. Mempertahankan elevasi muka air
yang optimal untuk memenuhi kebutuhan air tanaman tentunya
perlu upaya membangun alat pemantau elevasi muka air. Dengan
demikian, risiko kelebihan air atau kekurangan air dapat
diantisipasi dengan baik. Penelitian ini bertujuan untuk
mengembangkan sistem pemantauan elevasi muka air untuk
pengelolaan air di lahan gambut yang spesifik lokasi. Kegiatan
dimulai dari mengkaji kondisi iklim dan hidrologis wilayah, sampai
dengan pemasangan pintu air dan alat pemantau muka air di
saluran maupun lahan. Pola hujan di lokasi penelitian adalah pola
hujan equatorial dengan dua puncak hujan yaitu bulan Maret dan
November. Dengan adanya pemasangan pintu air, lokasi
penelitian cocok untuk kelapa sawit karena lahan tidak mengalami
genangan. Pembukaan dan penutupan pintu air mengikuti elevasi
muka air tanah, agar berada pada posisi 50-60 cm dari permukaan
tanah sesuai dengan kebutuhan tanaman kelapa sawit. Untuk
beberapa tempat pada musim kemarau elevasi muka air tanah
masih terlalu dalam karena masih berada pada posisi lebih 75 cm
dari permukaan tanah. Agar kondisi ideal yang diinginkan untuk
kelapa sawit tercapai pada tempat tersebut, perlu ditambah saluran
drainage dan pintu air pada saluran yang telah ada.
Provinsi Riau memiliki lahan gambut terluas
yakni 4,81 juta ha atau sekitar 19% dari lahan
gambut di Indonesia (BBSDLP, 2008). Dari 4,81 juta
ha lahan gambut di Riau, sekitar 4,04 juta ha yang
layak untuk pertanian. Agus dan Subiksa (2008)
menjelaskan bahwa lahan gambut sangat bervariasi
baik dari segi ketebalan, kematangan maupun
kesuburan, sehingga tidak semua lahan gambut
layak digunakan untuk pertanian. Secara khusus,
pedoman pemanfaatan lahan gambut untuk
budidaya kelapa sawit telah diatur melalui Peraturan
Menteri Pertanian No 14/2009.
Kata kunci : Elevasi muka air, Gambut, Saluran drainase, Kelapa
sawit
ABSTRACT
Peatland for agriculture has to be cultivated without
drying during dry season and vice versa flooding during rainy
season. Maintaining an optimal water management to meet water
crop requirement is of course required to monitor water level
elevation. Therefore, the risk of water excess or scarcity can be
well anticipated. This study aims to develop the water table
elevation monitoring system for water management in the
specific site of peatlands. The activities were begun by reviewing
the current state of climatic and hydrological instruments in the
area and installing a flood gate to monitor water table fluctuation
in the canal and land. The rainfall pattern of the area is the
equatorial rainfall pattern with two peaks, namely in March and
November. By installing the flood gate, the land is suitable for oil
palm because it prevents flood. Opening and closing of the flood
gates comply with the ground water level, in order to be in a
position of 50-60 cm from the surface in accordance with the
requirements of oil palm plantations. In dry season, the water
table elevation in some points is still too deep (more than 75 cm)
from soil surface. Therefore, to achieve the ideal conditions for
oil palm plantation, installation of additional flood gates and
canals are still required.
Keywords : Water table, Peatland, Drainage canal, Oil palm
ISSN 1410 – 7244
Pengelolaan air di lahan gambut untuk
pengembangan pertanian sangat kompleks karena
menyangkut parameter hidrologis lahan gambut
seperti evaporasi, evapotranspirasi, dan curah hujan
(Shantz and Price, 2006; Brümmer et al., 2012),
elevasi muka air (Evans, 1999), erosi dan aliran
permukaan
(Marttila
and
Kløve,
2010a,b),
kelembaban tanah (Petrone et al., 2004), air tanah
(Fraser, 2001), serta konsentrasi kimia (WindMulder, 1996; Mouser et al., 2005). Hal ini tidak
terlepas dari pengelolaan air berbasis daerah aliran
sungai yang memegang peranan penting dalam
pengelolaan air lahan gambut (Bay, 1969).
Secara alami lahan gambut selalu dalam
kondisi tergenang sehingga langkah awal dalam
pemanfaatan lahan gambut untuk pertanian
membutuhkan
jaringan
drainase.
Proses
1. Peneliti pada Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi, Bogor.
2. Peneliti pada Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Riau.
33
JURNAL TANAH DAN IKLIM NO. 36/2012
“subsidence” dimulai tidak lama setelah gambut
hidrologis dengan batas kawasan saluran tersier dan
dikeringkan, dan proses ini hanya dapat dihentikan
dengan cara membasahi gambut kembali melalui
sistem drainase (Wösten, 2008). Sistem drainase
yang tidak tepat akan mempercepat kerusakan lahan
gambut. Oleh karena itu, pembuatan saluran
drainase perlu segera diikuti dengan pemasangan
pintu air atau pintu tabat agar terhindar dari drainase
berlebihan yang menjadikan gambut kering tak balik
(Noor, 2010).
saluran kuarter. Penelitian dilakukan mulai akhir
Secara mikro, elevasi muka air pada lahan
gambut untuk pertanian perlu diusahakan tidak
terlalu dalam agar lahan gambut tidak mengalami
kekeringan pada musim kemarau dan sebaliknya
tidak terlalu dangkal agar tanaman tidak tergenang
pada musim hujan. Mempertahankan elevasi muka
air yang optimal untuk memenuhi kebutuhan air
tanaman tentunya perlu upaya membangun alat
pemantau elevasi muka air, agar bahaya kelebihan
ataupun kekurangan air dapat diantisipasi dengan
baik. Pemantauan elevasi muka air bersifat spesifik
lokasi karena sangat bergantung pada kerapatan
atau jarak antar saluran sekunder dan tersier,
komoditas tanaman yang dibudidayakan, tipe luapan
pasang,
tipologi
lahan,
ketebalan
gambut,
kedalaman lapisan pirit dan sub-stratum lapisan
bawah (Noor, 2010).
kebutuhan kelapa sawit, tetapi kondisi ini tidak
Tujuan penelitian adalah untuk memanfaatkan
hasil pemantauan elevasi muka air untuk
pengelolaan air pada lahan gambut. Hipotesis
penelitian adalah data elevasi muka air yang tersebar
merata dan secara kontinu dapat meningkatkan tata
kelola air di lahan gambut untuk kebutuhan
pertanian. Oleh karena itu, pemilihan lokasi
penelitian diarahkan pada lahan gambut yang
dimanfaatkan oleh masyarakat untuk pertanian
dengan jenis tanaman tertentu.
BAHAN DAN METODE
Januari 2011 sampai Oktober 2011. Pada saat
penelitian dimulai, lahan tersebut telah ditanami
kelapa sawit dan telah berumur dua tahun. Lokasi
lahan gambut tersebut ditentukan karena memiliki
spesifikasi
gambut
dengan
tingkat
kematangan
saprik-hemik, ketebalan 5-6 m, dengan pH 4,5-5,0.
Kisaran kedalaman air tanah pada saat survei
pendahuluan rata-rata 50-60 cm yang sesuai dengan
merata pada seluruh permukaan. Selain itu, lahan
tersebut kadang mengalami kekeringan pada musim
kemarau dan tergenang pada musim hujan.
Peralatan yang digunakan adalah Automatic
Weather Station (AWS) untuk mengamati parameter
iklim, Total Stasiun (TS) untuk pemetaan dan
mengukur titik elevasi pada lokasi tertentu, Global
Position System (GPS) untuk penentuan posisi
geografis titik acuan (benchmark), portable sonar
untuk mengukur kedalaman saluran, current meter
untuk mengukur debit sesaat di sungai dan saluran,
piezometer untuk mengukur elevasi muka air tanah,
dan rambu ukur (staff gauge) untuk mengukur
elevasi muka air pada saluran.
Kegiatan
penelitian
(Gambar
1)
secara
bertahap terdiri atas: (1) instalasi AWS untuk
mengamati
kondisi
iklim
lokasi
penelitian,
(2)
karakterisasi hidrologis daerah aliran sungai (DAS)
yang
mempengaruhi
dinamika
tata
air
lokasi
penelitian, (3) survei topografi untuk memetakan
kontur
lahan
serta
mengkarakterisasi
drainase, (4) penyusunan
saluran
desain dan pembangunan
pintu saluran untuk mengkondisikan permukaan air
pada saluran drainase yang memiliki ketinggian yang
berbeda, dan (5) instalasi sistem pemantauan elevasi
muka air terpadu berdasarkan titik referensi dengan
Lokasi penelitian lahan gambut terletak di
Desa Telok Ogong, Kecamatan Bandar Sei Kijang,
ketinggian yang sama. Data hasil pengamatan ini
Kabupaten Pelalawan, Provinsi Riau. Kawasan inti
elevasi air tanah dengan curah hujan, dan dianalisis
penelitian seluas 5 ha berada dalam suatu kawasan
secara spasial dengan hidrotopografi.
34
selanjutnya dipakai untuk melihat hubungan data
RUNTUNUWU ET AL. : PEMANFAATAN PEMANTAUAN ELEVASI MUKA AIR
Pemasangan alat stasiun
iklim dan karakterisasi iklim
UNTUK
PENGELOLAAN AIR TANAH
Karakterisasi hidrologis daerah aliran sungai
Karakterisasi hidrologis daerah aliran sungai
(DAS) dilakukan melalui analisis data debit harian
Karakterisasi hidrologis
daerah aliran sungai
yang terekam pada outlet DAS. Karena sungai di
lokasi penelitian tidak memiliki data pengamatan
debit, maka model hidrologi sederhana dengan empat
parameter yaitu Ge´nie Rural a' 4 parame'tres
Survey tipologi
(kontur lahan dan
karakteristik saluran)
Journalier
(GR4J)
telah
diaplikasikan
untuk
mensimulasi debit harian (Perrin et al., 2003). Model
ini digunakan untuk mensimulasi debit maksimum
dan minimum absolut, yang akan menjadi salah satu
Penyusunan desain,
penentuan tempat, dan
pembuatan pintu air
Instalasi alat pemantau
elevasi muka air tanah
(piezometer dan rambu
ukur)
pertimbangan dalam penyusunan desain pintu air.
Survey topografi dan karakterisasi saluran
Pemetaan
saluran
dilakukan
berdasarkan
survei topografi dengan menggunakan TS dan GPS
Geodetik.
Identifikasi
dan
karakterisasi
saluran
ditentukan melalui pengukuran lebar dan kedalaman
saluran, identifikasi sebaran, jenis, dan dimensi
1. Hubungan elevasi air
dan curah hujan
2. Hidrotopografi
bendung serta pintu saluran.
Karakteristik sungai berupa kedalaman sungai
atau saluran dari hulu ke hilir (Gambar 3) diketahui
dengan menggunakan portable sonar, sedangkan
Gambar 1. Alur penelitian
Figure 1. Research flow
lebar
saluran
dan
dimensi
bendung
diukur
menggunakan meteran panjang. Pengukuran titik
ketinggian juga dilakukan untuk mengidentifikasi
elevasi titik inlet saluran parit, elevasi bendung,
Instalasi stasiun pengamatan iklim
elevasi
rambu
ukur,
elevasi
lahan,
elevasi
piezometer, serta elevasi titik outlet saluran, dengan
Satu unit AWS telah dipasang di demplot
penelitian pada koordinat 0020’59,9” Lintang Utara
dan 101041’13,6” Bujur Timur, dengan ketinggian
46 meter di atas permukaan laut (Gambar 2).
Stasiun iklim yang dipasang adalah AWS yang
dikembangkan
oleh
Badan
Penelitian
dan
Pengembangan Pertanian. Data iklim dari masingmasing sensor dicatat dalam memori data logger dan
selanjutnya dikirim secara periodik melalui satelit
Global System for Mobile Communications (GSM) ke
menggunakan TS.
pusat sistem data iklim pertanian di Balai Penelitian
Agroklimat dan Hidrologi (Runtunuwu, 2010).
dari balok kayu dan pintu dari papan kayu yang
Desain saluran dan pintu air
Penyusunan desain saluran dan
pintu air
dilakukan untuk mengkondisikan ketinggian air di
lahan gambut pada posisi tertentu. Hal tersebut
dapat dicapai dengan membangun saluran drainase
dan pintu air dengan dimensi tertentu sesuai kondisi
lapangan. Pintu air terdiri atas tiang yang terbuat
dapat diatur ketinggiannya (Gambar 4).
35
JURNAL TANAH DAN IKLIM NO. 36/2012
Gambar 2. Peta lokasi pemasangan peralatan pengamatan iklim dan
hidrologi, yang terdiri atas 1 AWS, 19 piezometer, 3 rambu
ukur, dan 2 pintu air
Figure 2.
Location map of climate and hydrologic instrumentation
installation, which consist of 1 AWS, 19 piezometers, 3 staff
gauges, and 2 canal gates
Gambar 3. Karakteristik saluran sungai
Figure 3.
River basin characteristics
Penyusunan desain pintu air dan penentuan
lokasi pemasangan pintu dilakukan berdasarkan hasil
pengukuran lebar dan tinggi saluran sebelumnya.
Dua pintu air telah dipasang (Gambar 5) untuk
mengkondisikan elevasi muka air baik pada saluran
maupun lahan pada tingkat tertentu (Gambar 2).
36
Instalasi sistem pemantau elevasi muka air
Elevasi muka air tanah di lahan penelitian
diidentifikasi berdasarkan pengukuran elevasi muka
air pada piezometer dari titik permukaan tanah yang
memiliki data elevasi. Piezometer dibuat dari pipa
PVC (Polyvinyl chloride) berdiameter 2,5 inci dan
RUNTUNUWU ET AL. : PEMANFAATAN PEMANTAUAN ELEVASI MUKA AIR
UNTUK
PENGELOLAAN AIR TANAH
Gambar 4. Desain pembuatan pintu air
Figure 4.
Design of canal gate construction
Gambar 5. Pemasangan pintu air
Figure 5.
Installation of canal gates
Gambar 6. Pemasangan piezometer
Figure 6.
Installation of piezometer
37
JURNAL TANAH DAN IKLIM NO. 36/2012
panjang 200 cm (Gambar 6). Penetapan titik-titik
pengamatan elevasi muka air tanah dilakukan
menyebar di seluruh lokasi penelitian sebanyak 19
piezometer (Gambar 2) dengan jarak antar
piezometer sekitar 25-50 m. Jarak yang rapat tegak
lurus saluran utama, sedangkan jarak yang lebih
lebar searah dengan saluran utama.
Pemantauan elevasi muka air pada saluran
berupa rambu ukur (staff gauge) yang terpasang
pada tiang penyangga secara permanen (Gambar 7).
Alat ini dibuat dari bahan plastik yang mempunyai
skala decimeter yang ditempelkan pada balok kayu
dengan panjang bervariasi antara 2 sampai 4 m.
Rambu ukur telah dipasang di tiga titik pengamatan
masing-masing di saluran kuarter, tersier, dan
sekunder (Gambar 2).
a
b
Setiap piezometer dan rambu ukur yang
terpasang mengacu pada ketinggian referensi yang
sama (Gambar 8), dan titik referensi yang digunakan
untuk lokasi ini adalah 15,90 meter di atas
permukaan laut.
Sebagai contoh pengamatan (Gambar 9),
dengan panjang piezometer (T) 200 cm, tinggi pipa
dari permukaan tanah/di atas permukaan tanah (P)
sebesar 20 cm, dan panjang pipa yang terendam air
(B) sebesar 150 cm, maka elevasi muka air tanah
adalah T-(B+P+T) sama dengan 30 cm.
Pengamatan piezometer dan rambu ukur dilakukan
dua kali seminggu pada hari dan jam yang relatif
sama. Pada periode tanggal 10 Januari sampai 13
Oktober 2011 dilakukan 81 kali pengamatan elevasi
muka air.
c
Gambar 7. Pemasangan rambu ukur di saluran (a) kuarter, (b)
tersier, dan (c) sekunder
Figure 7.
Staff gauges installation at (a) quarter, (b) tertiary, and
(c) secondary water canals
Gambar 8. Instalasi jaringan pemantau elevasi muka air di lahan dan saluran
Figure 8.
38
Installation of water level elevation monitoring network in farming land
and drainage canal
RUNTUNUWU ET AL. : PEMANFAATAN PEMANTAUAN ELEVASI MUKA AIR
UNTUK
PENGELOLAAN AIR TANAH
berjarak lebih kurang 250 m. Sepanjang jalur
penampang melintang di antara dua saluran Utara
dan Selatan, terdapat 5 piezometer yang memiliki
jarak interval antara 51 sampai dengan 68 m.
Antara saluran tersier Utara dengan piezometer
terdekat yaitu nomor 3 berjarak lebih kurang 10 m,
sedangkan antara saluran tersier Selatan dengan
piezometer terdekat yaitu nomor 12 berjarak lebih
kurang 46 m.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Karakteristik iklim
Gambar 9. Profil piezometer dan petunjuk dasar
perhitungan elevasi muka air
Figure 9.
Piezometer profile and basic instruction
for calculating water level elevation
Analisis hubungan curah hujan dan elevasi air tanah
Analisis statistik sederhana dilakukan untuk
menentukan hubungan antara curah hujan dengan
elevasi air tanah. Rumus yang digunakan (Steel and
Torrie 1993) adalah :
Hasil analisis data seri hujan periode 19751998 di lokasi penelitian menunjukkan pola hujan
equatorial dengan dua puncak hujan yaitu Maret dan
November. Curah hujan rata-rata setahun adalah
2.623 mm dengan curah hujan bulanan di atas 100
mm yang menunjukkan lokasi tersebut termasuk
lembab sepanjang tahun (Oldeman et al., 1979).
Pengamatan
curah
hujan
bulanan
periode
April-September 2011 berada di bawah nilai ratarata curah hujan (bawah normal) kecuali pada bulan
April (Gambar 10).
Curah
hujan
maksimum
selama
periode
pengamatan terjadi pada tanggal 27 April 2011
sebesar 61,4 mm hari-1 (Gambar 11). Selama periode
dimana x dan y adalah parameter curah hujan (mm bulan-1)
dan y adalah elevasi muka air tanah rata-rata (mm).
pengamatan distribusi curah hujan cukup rapat pada
bulan April dan September sedangkan pada bulan
Agustus tidak ada hujan.
Analisis hidrotopografi
Data elevasi air tanah dianalisis secara spasial
dengan peta hidrotopografi untuk memperlihatkan
elevasi air tanah di lahan relatif terhadap elevasi
muka air di saluran. Pola sebaran spasial elevasi
muka air tanah dianalisis berdasarkan data
pengamatan 19 piezometer selama periode 20
Januari 2011 yang mewakili musim hujan dan
periode 11 Juli 2011 yang mewakili musim
kemarau. Terdapat pola penampang melintang
elevasi muka air tanah pada arah Utara Selatan yang
dibatasi saluran kuarter di Utara dan Selatan yang
Karakteristik hidrologi DAS lokasi penelitian
Karakteristik hidrologis DAS yang menjadi
sumber pemasok debit masuk lahan (inflow) lokasi
penelitian, digambarkan berdasarkan hasil simulasi
debit menggunakan aplikasi model hidrologi GR2M.
Gambar 12 menyajikan ilustrasi debit DAS yang
berpengaruh terhadap perilaku tata air pada lahan
penelitian. Debit sungai pada akhir bulan Maret
adalah sekitar 7,50 m3 s-1, sedangkan pada awal
bulan Oktober sekitar 1,73 m3 s-1.
39
JURNAL TANAH DAN IKLIM NO. 36/2012
September yaitu sebesar 106,06 mm atau setara
dengan rata-rata debit sebesar 1,23 m3 s-1.
Kondisi elevasi muka air
Gambar 10. Perbandingan curah hujan bulanan
April-September 2011 terhadap nilai
rata-rata
Figure 10.
Comparison of monthly rainfall period
of April-September 2011 to average
rainfall data
Gambar 13 mengilustrasikan debit bulanan
pada outlet DAS lokasi penelitian berdasarkan
aplikasi model debit bulanan GR2M. Debit sungai
tertinggi terjadi pada bulan Maret sebesar 182,5 mm
atau setara dengan rata-rata debit sebesar 2,11 m 3
s-1, sedangkan debit terendah terjadi pada bulan
Gambar 14 menunjukkan fluktuasi elevasi
muka air tanah antar tempat dan antar waktu.
Peningkatan elevasi air tanah yang cukup signifikan
terjadi pada pengamatan ke-8 pada tanggal 31
Januari 2011, pengamatan ke-34 pada tanggal 2
Mei 2011 dan pengamatan ke-68 pada tanggal 28
Agustus 2011. Penurunan yang nyata terjadi pada
pengamatan ke-24 pada tanggal 28 Maret 2011,
pengamatan ke-55 pada tanggal 14 Juli 2011. Data
19 titik pengamatan yang tersebar di lokasi
penelitian menunjukkan elevasi air tanah terendah
sebesar 14,81 m dan yang tertinggi 15,52 m.
Berdasarkan data piezometer nomor-1 yang
posisinya berada ditengah lokasi penelitian, terlihat
pada awal pengamatan (10 Januari 2011) elevasi air
tanah pada posisi 15,35 m kemudian naik pada
tanggal 31 Januari, 2 Mei, 28 Agustus 2011 secara
berturut-turut menjadi 15,38; 15,37; dan 16,13 m.
Hal ini berarti pada awal pengamatan elevasi muka
air tanah terhadap permukaan lahan sebesar 78 cm
berubah menjadi 75 cm pada tanggal 31 Januari,
Gambar 11. Distribusi curah hujan harian periode 27 Maret-10 Oktober 2011
Figure 11.
40
Daily rainfall distribution period March 27 to October 10, 2011
RUNTUNUWU ET AL. : PEMANFAATAN PEMANTAUAN ELEVASI MUKA AIR
UNTUK
PENGELOLAAN AIR TANAH
Gambar 12. Simulasi debit harian DAS lokasi penelitian
Figure 12.
Simulation of daily discharges for watershed research sites
Gambar 13. Simulasi debit bulanan DAS lokasi penelitian
Figure 13.
Simulation of monthly discharges for watershed research
sites
menjadi 109 cm pada tanggal 28 Maret, kemudian
menjadi 141 cm pada tanggal 14 Juli 2011 dan 90
cm pada akhir pengamatan.
Berdasarkan Gambar 15, terlihat lokasi
penelitian cocok untuk kelapa sawit karena lahan
tidak
mengalami
genangan
selama
musim
penghujan, akan tetapi pada musim kemarau elevasi
muka air tanah masih terlalu dalam karena masih
berada pada posisi lebih 75 cm dari permukaan
tanah. Agar kondisi ideal yang dibutuhkan kelapa
sawit tercapai, perlu menambah pintu air pada
saluran yang telah ada. Pembukaan dan penutupan
pintu air ini mengikuti elevasi muka air tanah di
lahan, agar tetap berada pada posisi 50-60 cm yang
sesuai dengan kebutuhan kelapa sawit.
Variasi atau perubahan elevasi air di saluran
sekunder,
tersier
dan
kuarter
menunjukan
kecenderungan yang sama (Gambar 16). Elevasi air
di saluran dari yang terbesar ke yang terkecil adalah
di saluran kuarter (S32), tersier Utara (S33), tersier
Selatan (S30), dan saluran sekunder (S34).
Perubahan elevasi air di saluran sekunder selalu
41
JURNAL TANAH DAN IKLIM NO. 36/2012
Gambar 14. Variasi elevasi muka air pada lahan
Figure 14.
Variation of water level elevation on farming land
diikuti oleh perubahan elevasi air saluran tersier dan
kuarter. Di sisi lain, apabila air di saluran tersier dan
kuarter tidak ditabat akan selalu masuk ke saluran
sekunder. Mengingat elevasi air tanah terhadap
permukaan lahan terlalu dalam terhadap permukaan
tanah, terutama pada musim kemarau, maka
disarankan pintu air ditambah agar elevasi air tanah
dapat mendekati permukaan tanah.
Hubungan elevasi muka air dan curah hujan
Fluktuasi curah hujan dan keterkaitannya
dengan elevasi muka air dianalisis dengan interval
waktu bulanan. Gambar 17 menunjukkan dinamika
fluktuasi elevasi muka air tanah berdasarkan ratarata pengukuran dari 18 piezometer sangat
dipengaruhi oleh curah hujan bulanan di lokasi
penelitian. Pada bulan April saat curah hujan bulanan
sebesar 300 mm, elevasi muka air tanah tercatat
15,30 m, sedangkan pada Juli saat curah hujan
bulanan mencapai 52 mm, elevasi muka air tanah
hanya setinggi 14,95 m. Koefisien korelasi antara
42
curah hujan dengan elevasi air tanah mingguan
hanya 0,30 dan bulanan sebesar 0,54 yang
menunjukkan bahwa respon elevasi air di lahan tidak
langsung diikuti oleh naiknya elevasi air tanah. Dari
Gambar 16 terlihat elevasi muka air tanah yang
terlambat merespon curah hujan selama 1 bulan. Hal
yang sama terjadi juga di lahan gambut Kalimantan
Tengah (Runtunuwu et al., 2011), walau dengan
koefisien korelasi yang cukup besar yakni 0,74.
Informasi ini menjadi masukan di dalam pengelolaan
air secara temporal, karena diduga pengaruh musim
yang lebih besar dibandingkan fluktuasi mingguan
atau bulanan.
Hidrotopografi
Hasil perbandingan pola hidrotopografi di
musim hujan (Gambar 18) dengan musim kemarau
(Gambar 19), menunjukkan pola yang agak berbeda.
Saat musim hujan kondisi hidrotopografi relatif
memiliki pola teratur, sedangkan pada saat musim
kemarau relatif beragam dan komplek. Pola
RUNTUNUWU ET AL. : PEMANFAATAN PEMANTAUAN ELEVASI MUKA AIR
UNTUK
PENGELOLAAN AIR TANAH
Gambar 15. Perbandingan elevasi muka air dan elevasi lahan pada beberapa
periode pengamatan
Figure 15.
Comparison of water table and land elevation on several
observation dates
Gambar 16. Variasi elevasi air saluran drainase
Figure 16.
Variation of water level elevation on drainage canal
hidrotopografi pada dua musim yang berbeda
menunjukkan kecenderungan penurunan elevasi
muka air dari arah Barat menuju Timur, yang
mengindikasikan arah yang sama dengan arah aliran
pada saluran tersier.
Perbandingan penampang elevasi muka air
tanah dan saluran pada periode musim yang berbeda
menunjukkan pola kemiripan yang hampir sama.
Secara umum pola elevasi muka air tanah yang
berada diantara dua saluran berbentuk cembung
43
JURNAL TANAH DAN IKLIM NO. 36/2012
Gambar 17. Fluktuasi curah hujan dan elevasi muka air tanah di lahan
Figure 17.
Fluctuations of rainfall and water level elevation on
farming land
dimana elevasi muka air pada bagian tengah relatif
paling tinggi, sebaliknya pada posisi yang
berdekatan dengan saluran memiliki elevasi muka air
paling rendah. Hal ini perlu mendapat penanganan
yang berbeda, agar elevasi muka air tanah baik yang
di dekat saluran maupun yang jauh tetap berada
dalam kondisi yang sesuai dengan kondisi tanaman.
Salah satu cara adalah dengan menambah saluran
drainase pada lahan yang cukup jauh dengan saluran
air, yang tentunya dilengkapi dengan pintu air agar
agar dapat dibuka dan ditutup sesuai kebutuhan.
terendah terjadi
pada bulan September
yaitusebesar 106,06 mm atau setara dengan
rata-rata debit sebesar 1,23 m3 s-1.
3. Instalasi pintu air yang terpasang pada saluran
tersier cukup efektif mempertahankan elevasi
muka
air
lahan
pada
ketinggiaan
tertentu
sehingga lahan tidak mengalami genangan pada
musim penghujan. Masalah muncul pada puncak
musim kemarau disebabkan pasokan air dari
saluran dan sungai sangat rendah, sehingga
elevasi muka air lahan berada pada posisi lebih
75 cm dari permukaan tanah terutama. Agar
KESIMPULAN DAN SARAN
1. Pola hujan lokasi penelitian adalah pola hujan
equatorial dengan dua puncak hujan yaitu bulan
Maret dan November. Curah hujan rata-rata per
ahun adalah 2.623 mm dengan curah hujan
bulanan di atas 100 mm menunjukkan lokasi
tersebut lembab sepanjang tahun. Jumlah curah
hujan bulanan selama penelitian berada di bawah
nilai rata-rata curah hujan (bawah normal), yang
sangat mempengaruhi elevasi muka air tanah di
lahan.
2. Debit sungai tertinggi terjadi pada bulan Maret
sebesar 182,5 mm atau setara dengan rata-rata
debit sebesar 2,11 m3 s-1, sedangkan debit
44
kondisi ideal yang dibutuhkan kelapa sawit
tercapai, perlu menambah pintu air pada saluran
yang telah ada.
4. Hasil pengamatan elevasi muka air pada lahan
dan pada saluran menunjukkan bahwa trend
bulanan elevasi muka air lahan dan saluran
mengikuti pola curah hujan bulanan, dan
terdapat keterlambatan waktu respon elevasi
muka air terhadap curah hujan sekitar satu bulan.
5. Hasil perbandingan peta hidrotopografi di musim
hujan dengan musim kemarau, menunjukkan
pola yang agak berbeda. Saat musim hujan
kondisi
hidrotopografi
relatif
memiliki
pola
teratur, sedangkan pada saat musim kemarau
RUNTUNUWU ET AL. : PEMANFAATAN PEMANTAUAN ELEVASI MUKA AIR
UNTUK
PENGELOLAAN AIR TANAH
Piezo 19
Piezo 3
38900
Piezo 5
Piezo 2
Piezo 18
Piezo 4
38850
Piezo 17
y (m)
Piezo 16
Piezo 15
Piezo 1
Piezo 6
38800
Piezo 7
Piezo 8
Piezo 13
Piezo 11
Piezo 9
38750
Piezo 14
Piezo 12
38700
799200
799250
799300
Piezo 10
799350
799400
x (m)
PENAMPANG MELINTANG ELEVASI MUKA AIR SALURAN DAN LAHAN
PENAMPANG MELINTANG ELEVASI MUKA AIR SALURAN DAN LAHAN
ARAH UTARA SELATAN, PERIODE 11 JULI 2011, LOKASI LUBUK OGONG, RIAU
ARAH UTARA SELATAN, PERIODE 20 JANUARI 2011, LOKASI LUBUK OGONG, RIAU
19
19
18
18
17
17
17
17
16
16
16
16
15
15
15
15
14
14
14
14
13
13
13
13
12
12
12
12
11
11
11
11
10
10
10
Elevasi Lahan
19
Elevasi Muka Air
Tersier Utara
Piezo 3
Piezo 2
Piezo 1
Piezo 11
Piezo 12
Tersier Selatan
20
Elevasi Lahan
19
Elevasi Muka Air
18
Elevasi Muka Air (m)
Elevasi Lahan (m)
18
Elevasi Lahan (m)
20
Elevasi Muka Air (m)
20
20
10
Tersier Utara
Piezo 3
Piezo 2
Piezo 1
Piezo 11
Piezo 12
Tersier Selatan
Gambar 18. Hidrotopografi dan penampang
melintang elevasi muka air pada
tanggal 20 Januari 2011
Gambar 19. Hidrotopografi dan penampang melintang
elevasi muka air pada tanggal 11 Juli
2011
Figure 18.
Figure 19.
Hydrotopography and crosssectional of water level elevation on
January 20, 2011
relatif beragam dan komplek. Pola hidrotopografi
pada kedua musim tersebut menunjukkan kecenderungan penurunan elevasi muka air tanah dari
arah Barat menuju Timur, yang mengindikasikan
arah yang sama dengan arah aliran pada saluran
tersier. Pengamatan elevasi muka air pada
lintasan melintang antara dua saluran, menun-
Hydrotopography and cross-sectional of
water level elevation on July 11, 2011
jukkan elevasi muka air tanah yang berada jauh
dari saluran memiliki nilai lebih tinggi dibandingkan elevasi muka air tanah yang berada dekat
saluran. Salah satu cara adalah dengan
menambah saluran drainase pada lahan yang
cukup jauh dengan saluran air, yang tentunya
dilengkapi dengan pintu air agar agar dapat
dibuka dan ditutup sesuai kebutuhan tanaman.
45
JURNAL TANAH DAN IKLIM NO. 36/2012
UCAPAN TERIMA KASIH
Ucapan terima kasih disampaikan pada
Indonesia Climate Change Trust Fund (ICCTF),
BAPPENAS
melalui
Badan
Penelitian
dan
Pengembangan Pertanian, tahun 2010-2011 yang
telah mendanai penelitian ini.
DAFTAR PUSTAKA
Agus, F. dan I G.M. Subiksa. 2008. Lahan Gambut:
Potensi
untuk
Pertanian
dan
Aspek
Lingkungan. Balai Penelitian Tanah dan
World Agroforestry Centre (ICRAF), Bogor,
Indonesia.
Bay, R.R. 1969. Runoff from small peatland watersheds. Journal of Hydrology 9(1):90-102.
BBSDLP. 2008. Laporan Tahunan Balai Besar
Penelitian dan pengembangan Pertanian.
Konsorsium Penelitian dan Pengembangan
Perubahan Iklim pada Sektor Pertanian. Balai
Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian (BBSDLP), Bogor.
Brümmer, C., T.A. Black, R.S. Jassal, N.J. Grant,
D.L. Spittlehouse, B. Chen, Z. Nesic, B.D.
Amiro, M.A. Arain, A.G. Barr, C.P.A.
Bourque, C. Coursolle, A.L. Dunn, L.B.
Flanagan, E.R. Humphreys, P.M. Lafleur,
H.A. Margolis, J.H. McCaughey, and S.C.
Wofsy. 2012. How climate and vegetation
type influence evapotranspiration and water
use efficiency in Canadian forest, peatland
and grassland ecosystems. Agricultural and
Forest Meteorology 153:14-30.
Evans, M.G., T.P. Burt, J. Holden, and J.K.
Adamson. 1999. Runoff generation and
water table fluctuations in blanket peat:
evidence from UK data spanning the dry
summer of 1995. Journal of Hydrology
221(3-4):141-160.
Fraser, C.J.D., N.T. Roulet, and M. Lafleur. 2001.
Groundwater flow patterns in a large
peatland. Journal of Hydrology 246:142-154.
Marttila, H. and B. Kløve. 2010a. Managing runoff,
water quality and erosion in peatland
forestry by peak runoff control. Ecological
Engineering 36:900-911.
Marttila, H. and B. Kløve. 2010b. Dynamics of
erosion and suspended sediment transport
from drained peatland forestry. Journal of
Hydrology 388:414-425.
46
Mouser, P.J., W.C. Hession, D.M. Rizzo, and N.J.
Gotelli. 2005. Hydrology and geostatistics of
a Vermont, USA Kettlehole Peatland. Journal
of Hydrology 301:250-266.
Noor, M. 2010. Lahan Gambut. Pengembangan,
Konservasi, dan Perubahan Iklim. Gajah
Mada University Press.
Oldeman, L.R., I. Las, and S. N. Darwis. 1979. An
Agroclimatic map of Sumatra. Contr. Centr.
Res.Ins.Agric. No 52. P 35.
Perrin, C., C. Michel, and V. Andréassian. 2003.
Improvement of a parsimonious model for
streamflow simulation. Journal of Hydrology
279(1-4):275-289.
Petrone, R.M., J.S. Price. J.M. Waddington, and
H.V. Waldow. 2004. Surface moisture and
energy exchange from a restored peatland,
Que´bec, Canada. Journal of Hydrology
295:198-210.
Runtunuwu, E., B. Kartiwa, Kharmilasari, K. Sudarman, W.T. Nugroho, dan A. Firmansyah.
2011. Variabilitas elevasi muka air pada
lahan dan saluran air di lahan gambut. Riset
Geologi dan Pertambangan 21(2):63-74.
Runtunuwu, E. 2010. The agricultural climate
database system developed for supporting
agricultural research. Jurnal Sumberdaya
Lahan 4(1):39-46.
Shantz, M.A. and J.S. Price. 2006. Hydrological
changes following restoration of the Boisdes-Bel Peatland, Quebec, 1999-2002.
Journal of Hydrology 331:543-553.
Steel, G.D.R. dan J.H. Torrie. 1993. Prinsip dan
Prosedur Statistika. Suatu Pendekatan
Biometrik. Edisi 2. Cetakan 3. Alih Bahasa
Bambang Sumantri. Gramedia Pustaka
Utama, Jakarta.
Wind-Mulder H.L., L. Rochefort, and D.H. Vitt.
1996.
Water
and
peat
chemistry
comparisons of natural and post-harvested
peatlands across Canada and their relevance
to
peatland
restoration.
Ecological
Engineering 7:161-181.
Wösten, J.H.M., E. Clymans, S.E. Page, J.O. Rieley,
and
S.H.
Limin.
2008.
Peat-water
interrelationships in a tropical peatland
ecosystem in Southeast Asia. Catena
73:212-224.
Download