BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Wanita Usia Reproduktif Merupakan masa antara awal seorang wanita mulai mendapat haid sampai akhir pubertas atau seorang wanita tidak haid lagi/menopouse, bisanya pada usia 1549 tahun (BKKBN, 2011). Usia subur atau reproduktif bagi seorang wanita dapat dibagi menjadi tiga bagian, yaitu : 1. Reproduktif Muda Apabila seorang perempuan itu hamil dan melahirkan dalam usia antara 15-20 tahun. 2. Reproduktif Sehat Apabila seorang perempuan itu hamil dan melahirkan bayi dalam usia antara 20-30 tahun. 3. Reproduktif Tua Apabila perempuan itu hamil dan melahirkan bayi dalam usia antara 30-49 tahun. (BPS Kota Pematang Siantar, 2009). 2.2 Infeksi Menular Seksual (IMS) Infeksi Menular Seksual (IMS) adalah infeksi yang disebabkan oleh bakteri, virus, parasit, atau jamur yang penularannya terutama melalui hubungan seksual dari seseorang yang terinfeksi kepada mitra seksualnya. Penyakit ini dapat ditularkan melalui hubungan seks vaginal, anal, maupun oral. Sebagian besar penyakit menular seksual disebabkan bila seseorang pernah melakukan kontak seksual dengan 7 8 seseorang yang menderita penyakit menular seksual. Sejak tahun 1998 istilah STD berubah menjadi Sexually Transmitted Infection (STI) atau infeksi menular seksual (IMS) adalah nama lain untuk penyakit menular seksual (PMS). Nama IMS sering dipakai karena ada beberapa IMS seperti klamidia, yang dapat menginfeksi seseorang tanpa menimbulkan gejala. Seseorang yang tanpa gejala mungkin tidak menganggap diri mereka memiliki penyakit, namun mereka sudah terinfeksi dan perlu diobati. Beberapa penyakit menular seksual dapat ditularkan oleh orang yang terinfeksi bahkan jika mereka tidak memiliki gejala apapun. IMS tertentu juga dapat menular dari wanita hamil ke anaknya yang belum lahir. Banyak penyakit menular seksual dapat dengan mudah disembuhkan tetapi jika tidak diobati, mereka dapat menyebabkan gejala yang tidak menyenangkan dan bisa menimbulkan kerusakan jangka panjang seperti infertilitas (Morse, 2010) Menurut Gail Bolan, Direktur Divisi Pencegahan Penyakit Menular Seksual (CDC) Centers for Disease Control and Prevention (2012), seseorang yang telah terinfeksi IMS seperti gonore dan klamidia yang menginfeksi uretra, rektum, atau faring dapat meningkatkan risiko infeksi HIV jika belum terinfeksi HIV, dan pada orang yang telah terinfeksi HIV akan memudahkan penularan HIV kepada orang lain (French, 2015). 2.3 Jenis-jenis Infeksi Menular Seksual (IMS) 2.3.1 IMS yang disebabkan oleh Bakteri 1. Klamidia Klamidia adalah salah satu penyakit yang disebabkan oleh bakteri chlamydia trachomatis. Penyakit ini dapat menginfeksi uretra, rektum dan leher rahim pada wanita. Chlamydia ditularkan melalui kontak kelamin atau 9 hubungan seksual dengan seseorang yang sudah terinfeksi. Klamidia merupakan IMS yang paling umum terjadi dan dapat disembuhkan. Individu tidak harus melakukan penetrasi seks karena bakteri dapat berpindah dari satu area muskus ke area lain, seperti mata, tenggorokan, anus, vagina, serviks, atau uretra. Diperkirakan antara 5% dan 10% wanita berusia 24 tahun yang aktif secara seksual dan pria berusia antara 20 dan 24 tahun yang aktif secara seksual mungkin terinfeksi (French, 2015). 2. Gonorrhea (GO) Gonorea adalah infeksi bakteri Diplokokus Gram Negatif, yaitu Neisseria gonorrhoea. GO pada wanita sering menimbulkan infeksi pada Glandula Bartolini (Bartholinitis), isinya cepat menjadi nanah dan akan menjadi abses apabila tidak keluar dari duktusnya dan berkumpul di dalam. Wanita dan pria homoseksual yang melakukan hubungan seks melalui anus (anal seks) dapat menderita GO pada rektumnya. Penderita akan merasakan tidak nyaman disekitar anusnya dan dari rektumnya keluar cairan. Daerah disekitar anus tampak merah dan kasar serta tinjanya terbungkus oleh lendir dan nanah. Hubungan seksual melalui mulut (oral seks) dengan seorang penderita GO biasanya akan menyebabkan GO pada tenggorokan (faringitis gonokokal). Umumnya infeksi tersebut tidak menimbulkan gejala, namum kadang-kadang menyebabkan nyeri tenggorokan dan gangguan untuk menelan (Morse, 2010). 3. Sifilis Sifilis merupakan penyakit infeksi kronik dan sistemik yang ditularkan melalui hubungan seksual, juga dapat ditularkan dari ibu hamil kepada janinnya melalui proses persalinan. Bakteri penyebab sifilis adalah 10 Treponema pallidum sub spesies Pallidum. Sifilis ditularkan melalui hubungan seksual dengan cara kontak langsung dari luka yang mengandung Treponema, kemudian dapat melewati selaput lendir yang normal atau luka pada kulit (chancre atau ulkus durum) (Morse, 2010). 4. Ulkus Molle (Kankroid) Ulkus molle merupakan penyakit kelamin dengan ulkus genital yang nyeri sekali. Kuman penyebabnya adalah hemofilus ducrey. Penularannya biasanya dilakukan lewat koitus tetapi dapat pula melalui tangan. Lama inkubasinya pendek, biasanya luka sudah terlihat dalam waktu 3-5 hari atau lebih dini lagi setelah terkena infeksi. Gambaran klinisnya tampak berupa vesikopustula pada vulva, vagina atau servik. Luka sangat nyeri dan mengeluarkan getah yang berbau, kental, dan dapat menular (Morse, 2010). 5. Granuloma Inguinale Granuloma Inguinale adalah suatu penyakit granulomatik ulseratif yang menahun dan bisanya terdapat pada vulva, perineum, dan daerah inguinal. Penularan terjadi melalui hubungan seksual dengan masa inkubasi 8-12 minggu. Penyakit ini tampak seperti papula yang kemudian mengalami ulserasi dan berubah menjadi suatu daerah yang granuler yang berwarna merah dibatasi dengan pinggir yang tajam dengan eksudat yang bau. (Morse, 2010). 6. Limfogranuloma venerum (LGV) Penyakit ini disebabkan oleh Chlamydia trachomatis. Penyakit ini menular melalui hubungan seksual dengan masa inkubasi beberapa hari. Dari tempat masuknya, kuman menyebar melalui saluran dan kelenjar limfe ke daerah genital, inguinal, dan perianal melalui jalan darah. Penyakit ini 11 menimbulkan nyeri yang keras sehingga menimbulkan kesulitan untuk duduk atau berjalan. Pada fase lanjut dapat timbul gejala-gejala sistemik seperti demam, sakit kepala, arthralgia, menggigil, dan kejang abdominal (Morse, 2010). 2.3.2 IMS yang disebabkan oleh virus 1. Herpes Genitalis Herpes genitalis merupakan infeksi pada genital dengan gejala khas berupa vesikel yang berkelompok dengan dasar eritem bersifat rekuren. Herpes genitalis terjadi pada alat genital dan sekitarnya (bokong, daerah anal dan paha). Ada dua macam tipe HSV yaitu : HSV-1 dan HSV-2 dan keduanya dapat menyebabkan herpes genital. Infeksi HSV-2 sering ditularkan melalui hubungan seks dan dapat menyebabkan rekurensi dan ulserasi genital yang nyeri. Tipe 1 biasanya mengenai mulut dan tipe 2 mengenai daerah genital (Susanto, 2013). 2. Kondiloma Akuminata Tumor pada genetalia yang bersifat lunak seperti jengger ayam dan tidak nyeri. Pertumbuhan jaringan yangbersifat jinak, superfisial, terutama di daerah genetalia (kelamin). Kodiloma akuminata/Genitalwarts juga dikenal sebagai kutil kelamin memiliki lesi yang dapat berproliferasi selama kehamilan dan sering mengalami regresi spontan setelah persalinan. Tidak ada komplikasi kehamilan yang disebabkan hPV yang diketahui seperti abortus spontan ataupun persalinan prematur. (Sarwono, 2008). 12 3. HIV/AIDS HIV adalah virus dan seperti kebanyakan virus, HIV memerlukan sel inang untuk memperbanyak diri guna melakukan replikasi dan bertahan hidup. HIV diklasifikasikan sebagai retro virus, yaitu virus asam ribonukleat (RNA). Pada manusia, yang berperan sebagi sel inang adalah sistem imun dan dikenal sebagai sel clusterofdifferentiation 4 (CD4). Sistem imun yang sehat mampu menghadapi virus, melindungi tubuh dari penyakit atau infeksi yang memburuk, tetapi HIV menyerang sistem imun ini sehingga proses perlindungan tubuh tidak lagi dapat bekerja secara efektif (French, 2015). 4. Hepatitis B dan C Hepatitis adalah inflamasi hati dan memiliki sejumlah penyebab yang berbeda seperti infeksi, kondisi medis lain, gangguan otoimun, atau penyalahgunaan alkohol. Hepatitis ditandai oleh kondisi akut atau kronik. Semua hepatitis viral adalah penyakit yang dapat dilaporkan terjadi dan harus dilaporkan ke public health serta semua pasangan seksual yang dimilki pasien harus diinformasikan (French, 2015). 5. Moluskum Kontagiosum Moluskum kontagiosum disebabkan oleh virus cacar dan merupakan infeksi kulit yang biasa terjadi terutama pada anak. Virus ini tidak berbahaya dan biasanya menghilang sendiri dalam 12-18 bulan. Virus ini, seperti namanya sangat menular (contagious) dan berpindah dari satu orang ke orang yang lain melalui kontak dengan lesi. Moluskum ditandai oleh adanya papula lembut dengan bagian tengah yang bebentuk cekung (French, 2015). 13 2.3.3 IMS yang disebabkan oleh parasit IMS yang diebabkan oleh parasit trichomonas vaginalis adalah Trikomoniasis. Parasit ini paling sering menyerang wanita, namun pria dapat terinfesksi dan menularkan ke pasangannya lewat kontak seksual. Vagina merupakan tempat infeksi paling sering pada wanita, sedangkan uretra (saluran kemih) merupakan tempat infeksi paling sering pada pria. Parasit ini menyebar melalui hubungan seksual dengan orang yang sudah terkena penyakit ini (Susanto, 2013). 2.3.4 IMS yang disebabkan oleh jamur Infeksi jamur dapat menyerang mulut, kulit, bahkan daerah kewanitaan. Vagina sebenarnya mengandung bakteri sehat yang berfungsi menjaga keasaman daerah intim. Namun jika jumlahnya berlebihan, maka bakteri tersebut dapat menyebabkan infeksi jamur vagina. Ketidakseimbangan dalam produksi bakteri juga meningkatkan risiko infeksi jamur vagina. Ketidakseimbangan tersebut dipicu oleh perubahan hormon, obat-obatan tertentu, atau sistem kekebalan tubuh yang lemah. Penyebab lain dari infeksi jamur vagina adalah kadar hormon esterogen yang meningkat drastis. Estrogen sendiri biasanya meningkat pada saat kehamilan dan kelahiran. Kurangnya menjaga kebersihan alat kelamin pun meningkatkan risiko infeksi jamur vagina. Mencuci alat kelamin dengan sabun dengan aroma kuat dan kandungan kimia berbahaya adalah penyebab terakhir dari munculnya infeksi jamur vagina. (Susanto, 2013). 14 2.4 Faktor Risiko yang Mempengaruhi Infeksi Menular Seksual 2.4.1 Umur Menurut Kemenkes (2013), populasi usia 15-49 tahun termasuk ke dalam data estimasi dan proyeksi prevalensi HIV dari modul AEM (Asean Epidemic Model) yang dirancang untuk dapat menjelaskan dinamika epidemi HIV di negara Asia atau lokasi geografis tertentu, hal ini menunjukkan bahwa pada rentang usia tersebut rentan terhadap kejadian HIV (dalam hal ini IMS). Kelompok usia dengan proporsi kasus AIDS terbanyak dilaporkan pada kelompok 20-29 tahun (47,8%) disusul kelompok umur 30-39 tahun (31%) dan 40-49 tahun (9,2%) (Komisi Penanggulangan AIDS, 2010). Menurut teori dari Daili (2014) yang tergolong kelompok risiko tinggi terkena IMS adalah usia 20-34 tahun pada wanita, 16-24 tahun pada laki-laki dan 2024 tahun pada kedua jenis kelamin. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Budiman dkk (2015) yang meneliti tentang faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian gonore di wilayah kerja Puskesmas Ibrahim Kota Bandung, menyatakan bahwa mereka yang berumur 20-34 tahun berisiko tinggi terkena IMS dibandingkan mereka yang berumur <20 atau >34 tahun. 2.4.2 Pekerjaan Pekerjaan dalam arti luas adalah aktivitas utama yang dilakukan oleh manusia. Dalam arti sempit istilah pekerjaan digunakan untuk satu tugas atau kerja yang menghasilkan uang bagi seseorang. Dalam pembicaraan sehari-hari istilah ini sering dianggap sinonim dengan profesi. Setiap pekerjaan memiliki risiko yang juga dapat menentukan pola penyakit yang akan di derita oleh pekerjanya, oleh karena itu pekerjaan dapat mempengaruhi status kesehatan seseorang yang merupakan salah 15 satu askpek yang dapat mempengaruhi jenis penyakit yang dapat diderita oleh pekerjanya. Wanita usia reproduktif yang bekerja yang berisiko tertular IMS adalah mereka yang bekerja pada industri hiburan seperti pegawai restoran, pegawai cafe, pegawai bar, pegawai karaoke, pegawai diskotek, pegawai klub malam, penari dan penyanyi malam, dan lainnya (Depkes RI, 2006). Salah satu contohnya adalah kejadian HIV yang meningkat pada wanita pekerja hiburan di China karena kurangnya pemahaman kerja wanita tersebut terhadap hubungan seks yang tidak aman. Dengan pendidikan formal yang rendah serta alternatif lapangan pekerjaan yang sedikit, banyak pekerja wanita terpaksa bekerja di industri hiburan (Yang, 2010). Pada penelitian Satriani (2015), menyatakan ada hubungan pekerjaan dengan kejadian IMS pada wanita pasangan usia subur dimana wanita usia subur dengan pekerjaan yang berpeluang berisiko terkena IMS 12,06 kali dibandingkan wanita dengan pekerjaan yang tidak berpeluang. 2.4.3 Status Pernikahan Status pernikahan berperan dalam membentuk perilaku seksual seseorang. Menurut Dachlia (2000), status pernikahan memberi manfaat dalam membantu meningkatkan perilaku seksual yang aman dengan adanya anjuran dari pasangan agar memakai kondom saat berhubungan seks diluar pasangan tetap, terutama bila kedua belah pihak saling terbuka dalam negosiasi seksual. Status pernikahan terutama pada status cerai banyak ditemukan pada WPS dimana WPS tersebut berisiko untuk terkena IMS, berdasarkan data STBP 2007 paling banyak adalah gonore dan klamidia. Selain itu norma yang berlaku secara umum pada masyarakat Indonesia bahwa hubungan seks hanya dibenarkan pada pasangan yang sudah menikah. 16 Hubungan seks diluar ikatan pernikahan masih dianggap tabu serta merupakan pelanggaran norma sosial dan hukum agama (STBP,2007). Muda (2014) setelah melakukan pengkajian lebih dalam dengan penderita IMS, menyatakan bahwa IMS terjadi karena pada seseorang dengan status tidak menikah baik laki-laki maupun perempuan kebutuhan akan seksual lebih tinggi dibandingkan dengan seseorang yang sudah menikah, sehingga perilaku seks yang tidak aman dengan pasangan yang berisiko menularkan IMS dapat menjadi sumber terinfeksinya IMS pada diri seseorang yang tidak memiliki status menikah. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Satriani (2015), menyatakan bahwa ada hubungan antara status pernikahan dengan kejadian IMS. Wanita usia subur yang berstatus tidak menikah berisiko 4, 69 kali untuk terkena IMS dibandingkan yang berstatus menikah. 2.4.4 Umur Pertama Kali Berhubungan Seksual Risiko yang potensial terhadap aktivitas seksual adalah kehamilan yang tidak diinginkan dan IMS. Mudanya usia saat melakukan hubungan seksual pertama kali meningkatkan risiko penyakit menular seksual dan penularan infeksi HIV. Menurut SDKI (2012), umur pertama kali berhubungan seksual dapat mempengaruhi lamanya keterpajanan terhadap virus HIV. Remaja dilaporkan memiliki banyak alasan untuk ingin menjadi seksual aktif, bagaimanapun juga pada mereka yang melakukan hubungan seks pertama sejak dini tidak memiliki kemampuan dalam membuat keputusan untuk memiliki klarifikasi nilai dan masih memiliki pengetahuan yang kurang tentang kontrasepsi dan IMS (Bobak,2005). Wanita muda (15-20 tahun) yang aktif secara seksual memiliki risiko lebih besar berkembangnya agen penyebab PMS. Hal ini disebabkan karena pada saat umur muda, sel – sel rahim masih belum matang 17 secara ssempurna. Sel tersebut akan matang seiring bertambah usia dan menjadi lebih mampu menahan proses yang dihasilkan akibat penetrasi seksual. Terpajan proses ini sebelum matur dapat merusak sel – sel yang belum matang tersebut. Sehingga dipandang semakin muda umur pertama kali seseorang melakukan hubungan seksual, semakin berisiko pula untuk terkena IMS. Menurut Dinas Kesehatan Provinsi Bali (2016) salah satu cara pencegahan IMS adalah dengan menunda berhubungan seks dibawah umur 20 tahun, karena senggama pertama pada umur 15-20 tahun paling berisiko mencetus keganasan leher rahim. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Arnoldus Tiniap (2012), menunjukkan bahwa mereka yang melakukan hubungan seks pertama kali pada usia kurang dari 20 tahun berisiko 1,36 kali untuk terinfeksi HIV (dalam hal ini IMS) dibanding yang melakukannya pada usia 20 tahun atau lebih. 2.4.5 Jumlah Pasangan Seksual Menurut Kemenkes (2010), salah satu cara pencegahan IMS adalah melakukan hubungan seksual hanya dengan satu orang. Jika memiliki pasangan seks lebih dari satu maka sangat berpotensi untuk tertular IMS. Banyaknya pasangan seks memberikan banyak peluang risiko dalam seks yang tidak aman, dimana seks yang tidak aman merupakan faktor penting dalam penularan IMS. Menurut data STBP (2007) abstinen dan setia pada pasangan tetap adalah upaya pencegahan terbaik dari tertular HIV melalui hubungan seks. Menurut penelitian Satriani (2015) menunjukkan bahwa wanita usia subur dengan jumlah pasangan seks lebih dari satu berisiko terkena IMS 14,11 kali dibandingkan dengan WUS yang hanya memiliki satu pasangan seksual. Budiman (2015) dalam faktor yang berhubungan dengan kejadian gonore menyatakan terdapat 18 perbedaan yang signifikan antara jumlah partner seksual merupakan faktor risiko kejadian gonore. Dengan OR 4,23 (95% CI = 1,31-13,62) menyimpulkan bahwa orang yang memiliki jumlah partner seksual >1 orang berisiko terkena gonore sebesar 4,23 kali dibanding dengan orang yang hanya memiliki 1 partnet seksual. Begitu pula pada penelitian Afriana (2011) menyatakan WPS yang memiliki jumlah pelanggan ≥6 perminggu memiliki risiko 1,28 kali lebih besar terinfeksi gonore. 2.4.6 Riwayat Penggunaan Kondom Hubungan seksual yang aman membicarakan tentang melindungi diri dan pasangan dari infeksi terutama dengan menggunakan metode kontrasepsi barier kondom dan dental dam (pelindung dari gigitan). Penting untuk diingat bahwa infeksi tidak hanya dapat ditularkan melalui kegiatan seks dengan penetrasi. Ketika individu dekat dengan seseorang ia mempunyai risiko tertular penyakit orang tersebut, dan jika individu melakukan hubungan seksual dengan seseorang, ia mempunyai risiko tertular penyakit kelamin orang tersebut. Melakukan hubungan seksual yang aman yaitu dengan menggunakan pelindung seperti kondom akan sangat mengurangi risiko penularan melalui hubungan seksual (French, 2015). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Tiniap (2012) didapat hasil hubungan antara penggunaan kondom dan risiko terinfeksi HIV yang merupakan salah satu jenis IMS bahwa mereka yang tidak pernah menggunakan kondom saat berhubungan seks berisiko 6,40 kali untuk terinfeksi HIV dibanding yang pernah menggunakan. Dari hasil analisis penelitian Budiman (2015) didapatkan bahwa responden yang tidak menggunakan kondom saat berhubungan seksual dapat meningkatkan risiko untuk terkena IMS. Dimana orang yang tidak menggunakan kondom berisiko terkena gonore sebesar 3,99 kali dibandingkan orang yang 19 menggunakan kondom, dengan nilai P=0,045 menunjukkan adanya hubungan yang signifikan. Hal ini juga sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Amalya (2012) mengenai perilaku pemakaian kondom dengan kejadian Infeksi Menular Seksual didapatkan nilai p = 0,000 yang berarti terdapat hubungan antara perilaku pemakaian kondom dengan kejadian IMS. 2.5 Strategi Global untuk Pencegahan dan Pengendalian IMS Upaya pencegahan IMS di berbagai negara belum memberikan hasil yang memuaskan. Hal ini disebabkan beberapa hambatan seperti timbulnya resistensi terhadap obat, pengaruh lingkungan yang mempermudah penyebaran IMS, kesulitan mendiagnosa, pengobatan yang tidak tepat, dan kurangnya fasilitas pelayanan kesehatan yang tersedia. Pengendalian IMS tepat menjadi prioritas WHO. Majelis Kesehatan Dunia mengesahkan strategi global untuk pencegahan dan pengendalian IMS pada Mei 2006. Strategi ini mendesak semua negara untuk mengontrol transmisi IMS dengan menerapkan sejumlah intervensi, termasuk yang berikut : 1. Pencegahan dengan mempromosikan perilaku seksual yang lebih aman. 2. Akses ke kondom berkualitas dengan harga terjangkau. 3. Promosi langkah utama untuk pelayanan kesehatan oleh orang-orang yang menderita IMS dan oleh mitra mereka. 4. Memasukkan pengobatan IMS dalam pelayanan kesehatan dasar. 5. Layanan khusus untuk populasi yang sering atau berperilaku seksual yang berisiko tinggi, seperti pekerja seks, remaja, jarak jauh dari pasangan (truck-drivers), personil militer, pengguna susbtansi dan tahanan. 6. Pengobatan IMS yang benar, yaitu menggunakan obat yang benar dan efektif, pengobatan mitra seksual, pendidikan dan nasihat. 20 7. Penapisan klinis pasien asimptomatik (misalnya sifilis, klamidia). 8. Penyisihan konseling dan tes sukarela untuk infeksi HIV. 9. Pencegahan dan perawatan sifilis kongenital dan neonatalconjunctivitis. 10. Keterlibatan semua pihak terkait, termasuk sektor swasta dan masyarakat dalam mencegah dan perawatan IMS. Kelompok risiko tinggi tertular IMS termasuk HIV / AIDS adalah mereka yang memiliki perilaku suka berganti -ganti pasangan seksual (multiplesexualpatner), penggunaan jarum suntik bersama, transfusi darah, dan yang berisiko rendah adalah wanita hamil kepada bayi yang dikandung serta masyarakat umum lainnya. Strategi penularan IMS termasuk HIV dilakukan dengan pemutusan mata rantai penularan dengan melakukan pencegahan penularan melalui hubungan seksual, darah dan produksi darah, dari ibu hamil kepada anaknya (WHO,2015).