cedera otak traumatik/COT

advertisement
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Traumatik brain injury (cedera otak traumatik/COT) yang umumnya
didefinisikan dengan adanya kelainan non degeneratif dan non congenital yang
terjadi pada otak, sebagai akibat adanya kekuatan mekanik dari luar, yang berisiko
menyebabkan gangguan temporer atau permanen dalam fungsi kognitif, fisik, dan
fungsi psikososial, dengan disertai penurunan atau hilangnya kesadaran
(Wahjoepurnomo, 2005; Dowodu, 2013 ).
Cedera otak traumatik merupakan salah satu penyebab kematian dan
kecacatan utama di dunia. Angka kejadian COT di seluruh United States of
America yang masuk kerumah sakit sebanyak 290.000 orang dan 51.000 orang
meninggal serta 80.000 orang mempunyai kecacatan menetap (Sadaka dkk, 2012).
Insiden COT terutama terjadi pada usia produktif antara 15 – 44 tahun, dimana
penyebab tertinggi adalah kecelakaan lalu lintas sebanyak 48% - 53% (Lemke,
2007). Cedera otak traumatik lebih sering terjadi pada laki laki daripada
perempuan dengan perbandingan sekitar 60% berbanding 40%. Remaja, dewasa
dan orang tua adalah yang paling banyak mengalami cedera (Moppet, 2007).
Cedera otak traumatik merupakan masalah yang perlu dilakukan penanganan
segera, sehingga kelanjutan dari cedera otak primer ke cedera otak sekunder
dapat tertangani dengan baik (Satyanegara, 2010).
Di RSUP Dr Sardjito Yogyakarta, data selama beberapa tahun terakhir
menunjukkan adanya kecenderungan peningkatan jumlah kasus cedera otak
1
2
traumatik. Berurutan sejak tahun 2010 sampai dengan 2013 didapatkan kasus
sejumlah 576 pasien, 628 pasien, 727 pasien dan 804 pasien, dengan komposisi
60 % ringan dan 40 % sedang – berat. Dari jumlah tersebut yang dilakukan
kraniotomi di kamar operasi UGD RS Sardjito dari bulan Januari-Juni 2013
sejumlah 30 pasien (Data Primer, 2013).
Penatalaksanaan cedera otak traumatik yang komprehensif meliputi
penanganan prehospital, penanganan di UGD dan penanganan perioperatif serta
durante operatif. Penatalaksanaan tersebut sangat membantu terhadap hasil
prediksi keluaran pasien baik morbiditas maupun mortalitasnya (Lingsma, 2010).
Pengelolaan cedera kepala harus dimulai ditempat kejadian, diteruskan selama
transportasi, di UGD dan sampai terapi definitif
(Bisri, 2012). Manajemen
anestesi dengan menjaga hemodinamik yaitu menjaga stabilitas fungsi
kardiovaskuler, mencegah hipoksia, mencegah hiperkapnea, mencegah kerusakan
neurobiokimiawi dengan cara cerebral protection dan cerebral resucitation (Park
dkk, 2008; Kass dan Cottrel, 2010).
Tingkat keparahan secara klinis dari cedera otak traumatik dapat dinilai
dari Glasgow Coma Scale (GCS/ Skala Coma Glasgow) (Wahjoepurnomo, 2005;
Sadaka, 2012). Penekanan pada standarisasi penilaian awal dengan pendekatan
GCS pada pasien merupakan salah satu indikator yang nyata dan dapat dipercaya
dari cedera otak traumatik dan harus diulang-ulang untuk menentukan perbaikan
atau perburukan sepanjang waktu (Bisri, 2012; Sadaka, 2012).
Prosedur penatalaksanaan perioperative pada operasi kraniotomi dengan
cedera otak traumatik (COT) ialah dengan menjaga hemodinamik pasien dalam
2
3
kondisi stabil dengan harapan tercapainya keadaan yang optimal (Kass dan
Cottrel, 2010). Hal tersebut dilakukan dengan memperhatikan pengendalian
tekanan intrakranial dan volume otak, melindungi jaringan saraf dari iskemia
(brain protection) serta mengurangi perdarahan (Bisri, 2012).
Tindakan perioperatif pada cedera otak traumatik yang dilakukan pada
operasi kraniotomi salah satu tujuannya adalah menjaga hemodinamik pre,
durante dan post operasi dengan terdapatnya tiga target yaitu mengendalikan
tekanan intrakranial dan volume otak, melindungi jaringan saraf dari iskemia dan
cedera serta mengurangi perdarahan (Kass dan Cottrel, 2010; Bisri, 2012).
Salah satu tindakan untuk menurunkan tekanan intrakranial dengan
membuat komponen durameter, parenkhim otak relaks/ slack brain atau “kempis”
selama operasi dengan salah satu cara dengan memberikan osmotik diuretik
(mannitol) maupun cairan Na hipertonik (Kass dan Cottrel, 2010; Bisri, 2012).
Dengan
dasar-dasar
cerebral
protection,
cerebral
resuscitation,
hemodinamik stabil, dan relaksasi otak yang baik secara objektif akan menjaga
adekuatnya perfusi ke otak sehingga hasil yang diharapkan menjadi baik (Kass
dan Cottrel, 2010). Sebenarnya upaya terapi sesungguhnya untuk mencegah,
menghambat kaskade cedera otak sekunder dengan tidak memperberat tekanan
intrakranial (Park, 2008).
Tatalaksana
dengan
penggunaan
hyperosmolar
therapy
untuk
menurunkan TIK, dengan menggunakan cairan mannitol dan Na laktat Hipertonik
telah direkomendasikan (Patanwala, 2010; Bisri, 2012). Intervensi dari mannitol
maupun Natrium hipertonik terbukti menjadi salah satu terapi untuk mengurangi
3
4
tekanan intrakranial yang diakibatkan edema serebri akibat trauma kepala (Brain
Trauma Foundation, 2011). Pada cedera otak traumatik yang akan dilakukan
operasi kraniotomi, penanganan edema dimaksudkan untuk mengurangi edema
yang dapat mengakibatkan tekanan intrakranial yang tinggi yang secara langsung
mempengaruhi relaksasi otak (Bisri, 2012; Kass dan Cottrel, 2010).
Mannitol merupakan obat diuretik osmotic yang sudah lama digunakan,
yang
diberikan secara intravena, bekerja dengan cara meningkatkan gradasi
osmotik antara plasma dan jaringan otak untuk menarik cairan interstitial ke
rongga
intravascular,
sehingga
terjadi
(Wahjoepurnomo, 2005; Ichai dkk, 2009).
penurunan
tekanan
intrakranial
Cara kerja Diuretic Osmotik
(Mannitol) ialah meningkatkan osmolaritas plasma dan menarik cairan normal
dari dalam sel otak yang osmolarnya rendah ke intravaskuler yang osmolar tinggi,
untuk menurunkan edema (Takagi dkk, 1983). Mannitol mempunyai cara kerja
dengan menurunkan tekanan intrakranial dan meningkatkan CBF (Mendelow dkk,
1985). Mannitol 20% merupakan terapi yang paling sering dipakai sebagai
osmoterapi, dinyatakan aman dan efektif oleh Brain Trauma Foundation dan The
European Brain Injury Consortium, tetapi memiliki beberapa keterbatasan, pada
kondisi sawar darah-otak yang tidak intak, mannitol justru dapat semakin
meningkatkan tekanan intrakranial (Tenenbein dkk, 2008; Bisri, 2012).
Agen osmoterapi baru yang digunakan untuk prosedur bedah saraf yaitu
larutan natrium hipertonik. Penelitian Irene Rozet, dkk (2007) yang berjudul
Effect of Equiosmolar Solution of Mannitol versus Hipertonic Saline on
Intraoperative Brain Relaxation and Electrolyte Balance, memberikan hasil sama
4
5
efektifnya penggunaan kedua agen dalam usaha merelaksasi otak. Produksi urin
lebih banyak serta peningkatan kadar laktat yang lebih tinggi pada penggunaan
mannitol. Osmolaritas cairan serebrospinal meningkat pada 6 jam pada kedua
kelompok dilihat dari nilai awal. Penelitian ini membuktikan larutan natrium
hipertonik sama efektifnya dengan mannitol.
Na laktat hipertonik mampu menurunkan tekanan intrakranial dan
meningkatkan cerebral blood flow serta mampu meningkatkan fungsi kognitif
post cedera otak traumatik (Bisri, 2012; Ichai dkk, 2009). Pada kasus cedera otak,
terutama cedera otak sedang dan berat, akan terjadi perubahan dinamika pada
metabolisme otak, terjadinya penurunan laju metabolism, dan adanya krisis energi
(Kass dan Cottrel, 2010). Na laktat hipertonik sangat bermanfaat karena
memperbaiki fungsi neuronal; laktat sendiri merupakan substrat yang mudah
dimetabolisme menjadi sumber energi setelah terjadi trauma guna memenuhi
kebutuhan energi otak dalam menjaga homeostasis ion (Widodo dkk, 2010;
Mustofa dan Leverve, 2002; Ichai dkk, 2009; Bisri, 2012). Cairan Na laktat
hipertonik dapat digunakan sebagai cairan resusitasi dan dapat meningkatkan
cardiac output, menurunkan resistensi pembuluh darah pulmonal dan sistemik,
meningkatkan oxygen delivery, dan menjadi substrat bagi jantung, otak, dan ginjal
(Mustofa dan Leverve, 2002).
Penelitian Ichai dkk (2009) yang berjudul Sodium Laktate versus Mannitol
in The Treatment of Intracranial Hypertensive Episodes in Severe Traumatic
Brain Injured Patients menyatakan bahwa larutan laktat hipertonik lebih superior
dalam menurunkan tekanan intrakranial dibandingkan mannitol pada pasien
5
6
cedera otak traumatik berat yang diterapi sebelum operasi. Na laktat hipertonik
(NLH) memperlihatkan penurunan TIK dan memperbaiki tekanan perfusi
serebral, mengurangi edema cerebri, sehingga tingkat relaksasi otak yang dapat
dinilai langsung sewaktu pembukaan tulang cranium maupun durameter dapat
mencerminkan terjadi penurunan tekanan intrakranial.
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut di atas: Mannitol 20 % dengan dosis
0,5 gr/KgBB pre operasi dapat diberikan pada pasien cedera otak traumatik yang
dilakukan kraniotomi untuk menurunkan tekananan intra kranial dengan menilai
tingkat relaksasi otak. Demikian juga Natrium laktat hipertonik dosis 1,5
ml/KgBB pre operasi dapat diberikan pula pada pasien cedera otak traumatik yang
dilakukan kraniotomi untuk menurunkan tekananan intra kranial dengan menilai
tingkat relaksasi otak.
Dapat dirumuskan permasalahan yaitu bagaimana tingkat relaksasi otak
pada pasien cedera otak traumatik yang diberikan mannitol dibandingkan dengan
pada pasien cedera otak traumatik yang diberikan Natrium laktat hipertonik yang
diberikan pada periode pre operasi.
C. Pertanyaan Penelitian
Apakah pemberian
cairan Na laktat Hipertonik dosis 1,5 ml/Kg BB
dibanding cairan mannitol 20 % dengan dosis 0,5 gr/kgBB pre operasi
mempunyai efek relaksasi otak lebih baik pada pasien cedera otak traumatik yang
dilakukan kraniotomi?
6
7
D. Tujuan Penelitian
Membandingkan efek yaitu tingkat relaksasi otak pada pasien cedera otak
traumatik yang dilakukan operasi kraniotomi yang diberikan cairan Mannitol 20%
dengan dosis 0,5 gr/kgBB dibanding dengan cairan Na laktat hipertonik dosis 1,5
ml/Kg BB preoperasi.
E. Manfaat Penelitian
Penelitian ini akan memberikan manfaat sebagai berikut :
1. Manfaat bagi ilmu pengetahuan, penelitian ini dapat melengkapi serangkaian
penelitian pembuktian bahwa pada pasien-pasien yang diberikan cairan Na
laktat hipertonik pada pasien dengan cedera otak traumatik lebih mempunyai
efek penurunan TIK atau penurunan volume otak yang lebih baik, dibanding
dengan Mannitol;
2. Penelitian ini akan bermanfaat bagi klinisi khususnya dokter anestesi dalam
hal menentukan pilihan pemberian cairan untuk terapi tekanan intrakranial
perioperative sehingga mempunyai kemungkinan keluaran yang lebih baik
dengan adanya substrat energi otak, adanya anti inflamasi pada Na laktat
hipertonik dibanding dengan Mannitol;
3. Penelitian ini dapat memberikan manfaat bagi pasien, yaitu mendapatkan
pelayanan optimal dengan penatalaksanaan proteksi dan resusitasi otak pada
pasien cedera otak berat sehingga dapat menurunkan morbiditas dan
mortalitas.
7
8
F. Keaslian Penelitian
Sepengetahuan penulis, penelitian tentang tingkat penurunan tekanan
intrakranial dan tingkat relaksasi otak dengan pemberian cairan Mannitol 20 %
dengan Na laktat hipertonik yang dilakukan operasi kraniotomi belum pernah
dilakukan di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta.
8
9
Peneliti/tahun
Intervensi
Desain/
Sampel
Munar dkk/2000
Perbandingan
pasca pemberian,
menunjukkan hipertonik saline versus
mannitol pada pasien TBI
Kohort/14
Pemberian Na hipertonik
lebih baik cerebral
hemodinamiknya dibandingkan dengan mannitol
20%, p=0.02
Harutjunyan
dkk/2005
Efektifitas 7.2% hipertonik saline
hydroxyethyl starch 200/0.5
versus mannitol 15% dalam terapi tekanan
intrakranial pada pasien neurosurgical
RCT/40
Na Hipertonik lebih efektif menurunkan tekanan
intracranial dan mempunyai hemodinamik yang
lebih stabil dibanding mannitol, p<0.05
Ichai dkk/2009
Perbandingan Na laktat versus mannitol
dalam terapi episode hipertensi pada cedera
otak traumatik berat
RCT/34
Na laktat solution Glasgow outcome scorenya lebih
baik dibanding dengan mannitol 20 % untuk,
p=0.0016
Utomo dkk/2010
Efek pemberian Na laktate hipertonik
terhadap fungsi kognitif dan Glasgow
outcome score pada penderita cedera
kepala
Efek pemberian Na Hipertonik dan
mannitol terhadap relaksasi otak
Efek pencegahan dan perlakuan brain
proteksi terdapat perbaikan kondisi pasien
cedera otak traumatic
RCT/40
Na Laktat hipertonik mampu memberikan fungsi
kognitif yang lebih baik
RCT/40
Na hipertonik dan mannitol mampu memberikan
relaksasi otak yang sama baiknya
Perlakuan proteksi otak penderita cedera otak
traumatik mempunyai hubungan terhadap kondisi
luaran
Rozet dkk/2007
Marwan/2013
RCT/22
Hasil
9
Download