MEMPELAJARI PERUMPAMAAN Perumpamaan Yesus sudah lama menjadi favorit dari para pengkhotbah dan jemaat, jadi kita memiliki banyak contoh bagaimana mereka telah memahami selama berabad-abad. Dalam banyak hal, khotbah lama menunjukkan betapa berbedanya kita dari nenek moyang rohani kita. Perbedaan-perbedaan ini kadang-kadang membuat interpretasi mereka menjadi perumpamaan yang menarik untuk dibaca. Misalnya, interpretasi yang terkenal adalah perumpamaan Orang Samaria yang Baik Hati oleh Agustinus. Dari kedua abad kesembilan belas, perumpamaan adalah metode utama yang digunakan untuk menafsirkan perumpamaan. penjelasan Augustinus tentang perumpamaan Yesus tentang orang Samaria yang baik adalah contoh yang sangat baik dari penafsiran alegoris. Dalam penafsirannya, setiap elemen memiliki makna. Kunci dengan metode penafsiran adalah bahwa setiap elemen dari perumpamaan merupakan sesuatu yang lain. Gereja Kristen tidak menemukan penafsiran alegoris; itu sudah ada dalam tradisi pendidikan Yunani. Namun, menggunakan perumpamaan untuk memahami perumpamaan memiliki beberapa konsekuensi yang agak petaka. Pertama, penafsiran alegoris biasanya melakukan kekerasan terhadap makna perumpamaan secara keseluruhan. Sementara setiap detil menjadi bermakna, pesan logis dari perumpamaan hilang. Kedua, interpretasi kiasan yang sama sekali mengabaikan situasi historis di mana perumpamaan pertama kali diberikan. Mereka berasal dari pelayanan Yesus dan, dengan demikian, memiliki tujuan yang nyata, baik pada debat langsung antara Yesus dan lawanNya dan sebagai alat pengajaran berharga. Tetapi interpretasi kiasan memperlakukan perumpamaan sebagai abadi, dengan arti dapat diterapkan pada situasi apapun. Ketiga, interpretasi kiasan agak sewenang-wenang. Ketika kita melihat apa yang dicap sebagai perumpamaan dalam Injil, kita menemukan arti perumpamaan itu adalah istilah umum yang dapat digunakan untuk menggambarkan sejumlah berbagai macam hal. sebenarnya digunakan untuk berikut 1. Metafora (Lukas 5: 36-38) 2. Ucapan figuratif (Markus 7: 14-17) 3. Kiasan atau perumpamaan 4. Perumpamaan cerita (Lukas 14: 16-24) Survei singkat untuk membantu kita dalam perumpamaan Injil telah menunjukkan bahwa tidak semua perumpamaan itu sama. Jadi keanekaragaman ini harus menjadi dasar untuk prinsip pertama penafsiran perumpamaan yang baik: peka terhadap tipe, jika perumpamaan sedang dipelajari. Prinsip kedua penafsiran perumpamaan yang baik: perumpamaan yang terbaik ditafsirkan dengan mencari satu titik perbandingan perumpamaan membuat. Ketiga: kita harus menafsirkan perumpamaan dengan cara yang yang sesuai dengan arti perumpamaan secara menyeluruh. Keempat: kita perlu menafsirkan arti perumpamaan dalam konteks Alkitab, sejarah, dan sosial. Kelima: penafsir harus sangat berhati-hati untuk menambahkan sebuah interpretasi yang tidak bisa dibenarkan oleh teks (pendeta berhati-hatilah!)