1 BAB I PENDAHULUAN Dalam penelitian ilmiah perlu ada fenomena yang melingkupi permasalahan. Salah satu fenomena tersebut adalah fenomena relasi kuasa dalam dinamika tari ulu ambek. Hal tersebut dikupas dalam latar belakang sehingga gambaran tentang kondisi subjek penelitian betul-betul layak untuk disikapi secara ilmiah. Fenomena relasi kuasa dalam dinamika tari ulu ambek akan memunculkan fenomena yang berkaitan dengan hal tersebut. Dengan demikian, semuanya menjadi alasan bahwa subjek perlu diteliti. 1.1 Latar Belakang Alam pemikiran masyarakat dan kebudayaan ditentukan oleh paham individu dan kolektiva mengenai peristiwa dan realitas. Realitas itu merupakan peristiwa yang terjadi di masyarakat ketika berkarya untuk menciptakan sesuatu yang bermanfaat bagi mereka, khususnya bagi masyarakat seni. Penciptaan seni, sebuah perwujudan ekspresi keindahan, ditumbuhkan oleh sekelompok orang yang memiliki gagasan atau ide untuk berkarya yang berguna bagi orang banyak. Karya yang diciptakan oleh seniman merupakan cerminan bagi masyarakat yang ada di lingkungan tempat seni itu berkembang. Adanya pengalaman yang didapatkan di dalam karya sebagai “cermin” dapat memberikan kesadaran, wawasan tentang pemahaman dirinya, dan hal-hal yang ada dalam masyarakat (Suastika, 2002:44). 1 2 Seni memungkinkan seseorang melihat, mencerap, dan merasakan segala sesuatu, dalam hal ini ideologi yang melandasi terbentuknya karya seni. Seni tercipta dari pengalaman hidup manusia itu sendiri. Pengalaman hidup bukan sesuatu yang ada begitu saja. Pengalaman hidup disuguhkan oleh realitas, melalui pengalaman hidup yang spontan dan yang nyata (Althusser, 2010:188-189). Pengalaman hidup dan aktivitas yang dilakukan memotivasi seseorang dalam berkarya, seperti karya tari ulu ambek yang diciptakan oleh masyarakat di Pariaman. Bagaimanapun pada level kekuasaan spesifik dijelaskan bahwa kekuasaan bukan medium kesatuan yang didiami seperti ikan di medium laut. Bahkan kekuasaan yang bersifat dominan akan memunculkan posisi pertentangan yang menyebabkan konflik internal dalam masyarakat. Filsafat dan kebijakan pendidikan yang berbeda antara kebudayaan asal dan kebudayaan yang datang kemudian menyebabkan sebuah kebudayaan mengalami kemunduran. Konsep kekuasaan menjadi titik tolak penelitian ini yang diarahkan pada kajian seni pertunjukan tari ulu ambek. Hal ini disebabkan oleh tidak adanya arti yang inheren yang alami dalam peristiwa tari ulu ambek sebagai subjek penelitian, melainkan juga arti ditempat objek dan peristiwa yang terkonstruksi selalu berorientasi sosial masyarakat Pariaman sebagai pemilik kesenian tersebut. Kekuasaan merupakan sarana dalam aktivitas aktif, baik untuk tari ulu ambek maupun untuk masyarakat Pariaman. Kondisi masyarakat yang berubahubah menyebabkan praktik tersebut sering kali menjadi berbenturan. Benturan akan didasari kepentingan yang berbeda di antara penguasa. Perbedaan akan 3 menjadi sikap yang dimanfaatkan untuk pengembangan kreatif dari tari ulu ambek. Menurut Emile Durkheim (dalam Sahman, 1993:49), seni merupakan jawaban terhadap kebutuhan manusia untuk memperluas dan menganekaragamkan kegiatannya. Dalam hal ini, seni itu berfungsi sesuai dengan kebutuhan manusia dan mempunyai nilai yang dibutuhkan oleh manusia. Berkaitan dengan hal tersebut, nilai seni adalah keberhargaan, keunggulan, atau kebaikan yang timbul dari kegiatan manusia dan melekat pada suatu hal. Menurut Sedyawati (2007:265-266), kegiatan berkesenian itu dapat dipandang sebagai (1) pelestarian warisan nenek moyang, (2) sarana atau komponen pendidikan, (3) kegiatan bersenang-senang dan berhibur, dan (4) sarana mata pencaharian hidup. Berkaitan dengan hal di atas, tari ulu ambek sebagai seni tradisional masyarakat Pariaman yang bercorak spiritual dipertunjukkan dalam upacara pengangkatan datuk atau penghulu. Tarian ini merupakan wadah untuk penyaluran bakti kepada pemimpin, pelestarian budaya, sarana pendidikan, dan hiburan dalam masyarakat Pariaman. Terkait dengan hal ini, Dibia (1999:5) mengatakan bahwa seni pertunjukan tradisional lebih mengutamakan nilai-nilai kolektif yang berlaku di lingkungan masyarakat setempat. Keberadaan seni, khususnya seni tari, berakar dari sebuah kerangka kerja tentang kehidupan kolektif. Seni tari merupakan sebuah bentuk komunitas umum yang intens sehingga menambah kekuatan komunikasi, bahkan memperluas makna (Hadi, 2007:10). Makna yang tercipta dari kegiatan kolektif memiliki nilai-nilai estetis. Nilai estetis dalam kesenian dipengaruhi oleh nilai-nilai dan norma-norma 4 yang berlaku pada budaya tertentu. Untuk itu, seperti yang dikemukakan oleh Bastomi (1992:2) bahwa pengamatan pada seni tidak terbatas pada penglihatan indrawi saja, tetapi termasuk penglihatan intuitif, dalam hal ini, wawasan seni menunjukkan aktivitas mengamati, mengetahui, dan memuasi seni, juga melukiskan cara pandang, cara tinjau, cara lihat, dan cara rasa yang menyusup ke dalam seni melalui alat indra. Upaya mengamati tari ulu ambek di Pariaman tidak hanya terbatas pada mengamati wujud sebuah bentuk aktivitas masyarakatnya dengan persoalanpersoalannya, tetapi juga pada hakikat yang terkandung dalam seni tersebut. Jika dikaitkan dengan moralitas, seni berfungsi menemukan dan mengungkapkan makna keindahan semesta karena seni adalah sesuatu yang agung dan mulia sesuai dengan apresiasi terhadap kosmos. Seni dalam pandangan kaum pencinta keindahan tidak bekerja secara langsung mengekspresikan ide atau sikap, tetapi mewujudkan sebuah pengalaman hidup dalam suatu karya seni. Sebagaimana yang dikatakan oleh Immanuel Kant (dalam Sumardjo, 2000:93) bahwa seni sepenuhnya merupakan kepuasan keindahan tanpa pamrih. Tari ulu ambek merupakan bagian dari rangkaian upacara adat di Pariaman. Tari ini dilakukan pada upacara pengangkatan penghulu dan alek nagari (pesta rakyat) di Pariaman. Kondisi tari ulu ambek dalam masyarakat Pariaman saat ini memang memprihatinkan karena kurangnya minat masyarakat untuk mempelajari tari tersebut. Hal ini merupakan pengaruh dari globalisasi, yang membuat kekuasan mengalami perubahan. Perjalanan tari ulu ambek tidak terlepas dari perilaku tradisional 5 masyarakat Pariaman. Secara nyata diperlihatkan bahwa perkembangan sebuah grup kesenian modern tidak sama dengan perkembangan grup kesenian tradisi tari ulu ambek ataupun kesenian-kesenian tradisi lainnya. Sebuah grup didirikan tidak memberikan dampak nyata dalam aktivitas masyarakat secara luas. Dia hanya berarti bagi kalangan tertentu. Tidak pernah diselidiki secara tuntas mengapa sebuah grup didirikan atau mengapa sebuah grup tiba-tiba tidak eksis. Globalisasi membawa penyebaran budaya pluralistik dengan berbagai ideologi yang terkandung di dalamnya yang sulit dihindarkan sehingga berbenturan dengan ideologi yang membangun kesenian tersebut. Dalam hal ini globalisasi, tidak hanya dalam bidang-bidang tertentu, seperti teknologi, tetapi juga bidang-bidang lainnya sesuai dengan karakter dan makna global itu sendiri. Globalisasi menimbulkan perubahan terhadap etika dan estetika yang sudah lama melekat dalam diri manusia tradisional. Pengaruh globalisasi menjadikan etika dan estetika itu bersifat universal. Perubahan etika dan estetika budaya selalu menyangkut kondisi tempat manusia larut dalam arus modernisasi. Menurut Wisran Hadi (2011:92), globalisasi merupakan konsep pemikiran tentang perlunya sebuah tatanan kehidupan masyarakat modern yang terbebas dari keterbatasan wilayah teritorial kenegaraan, wilayah geografis termasuk juga agama dan budaya, sebagai dampak terhadap ancaman perbenturan kebudayaan yang mungkin akan semakin tajam di kemudian hari. Perbenturan kebudayaan tersebut mungkin akan semakin tajam dengan semakin menguatnya etnisitas budaya dari setiap bangsa. Untuk menghindari perbenturan ini diperlukan suatu bentuk kesatuan politik untuk kehidupan bersama. Tatanan kehidupan bersama itu 6 disebut sebagai tatanan kehidupan manusia dalam era modern yang terbebas dari segala sekatan dan keterbatasan. Pemikiran yang tampaknya begitu bagus, dalam pengaplikasiannya, bangsa-bangsa yang maju tetap berada dalam posisi yang strategis dan menentukan. Munculnya teori atau pemikiran tentang multikulturalisme merupakan antitesis dari dampak globalisasi. Oleh karena itu, banyak pendapat mengemuka bahwa globalisasi adalah semacam retorika politik dari negara-negara maju untuk menguasai negara-negara berkembang terutama dalam ketergantungan negaranegara berkembang terhadap ekonomi, politik, dan keamanan. Globalisasi mengacu pada penyempitan dunia dan peningkatan kesadaran kita atas dunia, yaitu semakin meningkatnya koneksi-koneksi global dan pemahaman kita atas mereka (Robertson dalam Barker, 2009:117). Globalisasi memengaruhi cara pandang manusia (ideologi) terhadap tari ulu ambek. Cara pandang itu pun dipengaruhi oleh pemikiran-pemikiran filosofis karena pertentangan aliran-aliran filsafat, seperti antara rasionalisme dan empirisme, antara positivisme materialistis dan metafisis, dan lain-lain akan membuat manusia tenggelam dalam alam semesta yang tak berhingga. Masyarakat seni tidak hanya melangkah maju, tetapi juga menciptakan tekanan baru terhadap otonomi lokal (Callinicos, 2008:35). Kebudayaan akan hilang ditelan oleh waktu karena masyarakat yang memilikinya tidak memfungsikannya lagi di tengah-tengah masyarakat. Hal ini bisa dicontohkan dengan seni-seni tradisi yang hari ini kurang diminati oleh masyarakat. Generasi muda lebih akrab dengan seni modern yang datang dari kebudayaan lain. 7 Wisran Hadi (2011:93-94) mengatakan bahwa globalisasi dengan berbagai dampak negatifnya telah dianggap sebagai penjajahan bentuk baru atau imperialisme modern. Bangsa-bangsa yang maju dan kuat ekonominya tidak perlu menjajah sebuah negara atau bangsa lain dengan kekuatan senjata, tetapi cukup menciptakan suatu ketergantungan. Negara-negara berkembang harus bergantung pada negara-negara yang kuat dalam berbagai sektor, terutama dalam sektor ekonomi, politik, dan keamanan. Bahkan, pemilihan seorang presiden dari negara berkembang dapat dicampuri oleh kekuatan negara maju dan kuat. Invasi yang dilakukan Amerika terhadap Irak dan Afganistan adalah salah satu bentuk pengaplikasian isu globalisasi dari negara kuat atas negara yang lemah. Sesampainya isu globalisasi itu di negara-negara berkembang menimbulkan berbagai penafsiran. Ada yang berpendapat bahwa globalisasi adalah sebuah kekuatan raksasa yang tidak dapat dilawan. Kalau tidak ikut dalam arus globalisasi, dikhawatirkan sebuah bangsa akan tersisih dalam kehidupan internasional. Dengan demikian, globalisasi telah memacu semua aktivitas kebangsaan untuk menginternasionalisasikan dirinya. Hal ini berdampak pula pada kehidupan seni budaya. Seni budaya harus mengikuti trend globalisasi dan akibatnya yang paling fatal adalah konsep-konsep etika dan estetika yang sudah mapan dalam sebuah bangsa atau etnis direvisi, diaktualisasi, dan direposisi oleh bangsa itu sendiri, yang ujung-ujungnya berupa perombakan total terhadap sesuatu yang sudah ada. Seniman dan budayawan paling banyak terjebak dalam percaturan demikian. Mereka akan mengatakan dirinya kreatif, seninya bermutu tinggi bila sudah ada pengakuan dari pihak negara maju, tidak peduli apakah seni 8 mereka mengandung nilai-nilai budaya dan nilai-nilai kehidupan bangsanya sendiri. Oleh karena itu, seniman dan budayawan sering merasa menjadi “orang asing” di dalam budayanya sendiri. Kebudayaan akan bertahan bila memiliki sifat yang unik dan universal. Kalau hanya memiliki sifat unik, tetapi tidak universal, maka akan cepat punah dan hancur dimakan zaman. Untuk memilah mana yang unik dan universal dan mana yang unik, tetapi tidak universal perlu adanya persepsi terhadap kebudayaan itu sendiri. Persepsi ini tidak hanya lahir dari kalangan pemerintahan, tetapi juga oleh ilmuwan sosial dan ahli-ahli budaya. Seni tradisi dewasa ini masih memiliki peran yang kuat sebagai tontonan yang memberikan tuntunan dan tatanan hidup bagi masyarakat atau setidaknya bagi masyarakat pendukungnya. Kalau memberikan tuntunan, lalu macam tuntunan seperti apa dan masih relevankah bagi kehidupan yang cenderung penuh dengan berbagai anomi dewasa ini. Belum lagi berbicara masalah tantangan yang terkait dalam dimensi ekonomi, mampukah seni tradisi menghidupi dirinya sendiri dalam konstelasi kehidupan yang semakin tak berbatas ini. Berkaitan dengan masalah keberadaan seni tradisi, baik yang ada di sekitar kita maupun yang kemudian menjadi “temuan seni tradisi” itu sendiri, hal ini kemudian biasanya memengaruhi gaya kehidupan seseorang dalam kehidupan bermasyarakat. Sebuah iklan produk tertentu yang terkenal dengan ungkapannya “sudah seni tradisi,” memberikan nuansa yang berkonotasi pada pemahaman bahwa tiap-tiap orang telah mengonsumsi produknya. Seni tradisi ini juga sudah dilakukan setiap orang sehari-hari, atau setidaknya dilakukan penari atau 9 kelompok penari untuk kebutuhan mengikat suatu kebutuhan sekelompok masyarakat tertentu, baik kebutuhan yang bersifat fisik ataupun yang bersifat spiritual. Perkembangan seni tradisi di masyarakat tampaknya tidak bisa berjalan dengan baik karena perubahan paradigma kehidupan yang dimiliki oleh setiap kelompok atau suku. Kondisi saat itu memang kurang mendukung untuk menggeliat dari khasanah perbendaharaan gerak seni tradisi. Peristiwa di atas sengaja dipetik untuk melihat suatu proses kreatif yang terjadi berdasarkan inspirasi seni tradisi yang lain serta berlangsung secara wajar dalam kurun waktu yang relatif tidak terlalu lama. Namun, meledaknya teknologi rekaman kaset audio yang sangat praktis dalam penyimpanan dan pemutarannya kembali memberikan kemudahan yang mencengangkan dewasa ini, belum semua orang menikmatinya. Pengalaman seorang seniman seni tradisi pada masa lalu menjadi bagian yang sangat menarik untuk diketahui bagaimana pengembaraan proses kreatifnya yang sangat peka dan beragam. Kekayaan pengalaman ini membuat seseorang tak lagi memikirkan hanya masalah bentuk, tetapi sudah meloncat pada permasalahan isi dalam loncatan pandangan melebihi masyarakat penikmatnya. Di sini akan terlihat bagaimana seorang seniman seni tradisi yang telah mampu mendudukkan dirinya dalam konteks kehidupan modern pada masa kini. Gerak tari tradisi yang mengalami perubahan wujud dalam suatu kristalisasi terstruktur tak lagi dalam tata hubungan sintagmatis yang kaku, tetapi elemen-elemennya bergeser dalam tata hubungan paradigmatis yang fleksibel. 10 Bahkan, bisa saja terjadi kualitas gerak yang sangat lembut dan cepat. Kebutuhan masyarakat terhadap seni tradisi miliknya sudah bergeser. Kalaupun kemudian menjadi tontonan di kota, masyarakat yang memiliki kebutuhan dengan resiprositas tampaknya juga terbatas di beberapa kalangan. Kalau semata-mata mengandalkan karcis masuk, biasanya tontonan tersebut tidak akan memberikan keuntungan. Bila karcisnya mahal, maka tak akan terjangkau oleh lapis masyarakat pencinta seni tradisi. Keberadaan seni tersebut digalang dalam suatu sistem manajemen yang ditunjang oleh situasi saling percaya di antara mereka (dalam sistem yang diciptakan) sehingga uang yang terkumpul untuk pendanaan pertunjukan di atas terus-menerus berlanjut. Sistem penggalangan dana seperti ini juga sudah membudaya di dalam kampus sehingga frekuensi pertunjukan seni klasik di dalam kampus bisa terlaksana. Malahan, kadang-kadang dirasakan banyak kegiatan pertunjukan seni dengan jadwal yang bersamaan sehingga penonton sulit mengatur pertunjukan mana yang akan dipilih. Hal ini baru salah satu aspek keberadaan seni tradisi yang memiliki bahasa ucap individu dalam tujuan presentasi estetik. Berbicara tentang pertunjukan seni tradisi yang berkaitan dengan ritual, dalam hal ini secara, kausalistik dalam masyarakat tertentu kedudukannya sangatlah dominan. Hal itu terjadi mengingat kebutuhan kelompok masyarakat pendukungnya dalam pelaksanaan ritus akan terus-menerus berulang. Pada kondisi ini, vitalitas kehidupan tarinya akan sangat tinggi akibat keberadaan sistem yang membungkusnya. Untuk kondisi ini, hanya ada satu kekhawatiran 11 dalam hal pelaksanaan ritus yang berlebihan melebihi realitas ritus yang sebenarnya. Hal ini sudah terjadi, terutama pada berbagai fenomena terhadap ritual perkawinan pada masa kini. Istilah identitas warisan budaya sepertinya hanya merupakan konsep ideologis yang dicoba diterapkan di tengah-tengah kebudayaan yang ada. Identitas pada masyarakat tradisional bersifat tetap, kukuh, dan stabil yang merupakan fungsi dari peran sosial sebelumnya dan merupakan sistem mitos tradisional yang memberikan sanksi religius untuk menentukan tempat (Kellner, 2010:315). Konsep ideologi budaya adalah kekuatan sistem nilai budaya dan gagasan vital yang telah diwarisi bangsa dan menjiwai unsur-unsur identitas sehingga perlu dikembangkan dan diwujudkan dalam tingkah laku sehari-hari. Masalah identitas budaya juga sangat erat dikaitkan dengan kreativitas budaya. Ideologi budaya mengupayakan untuk mengondisikan agar potensi kreativitas itu bisa berkembang secara maksimal. Situasi kondusif tersebut hanya akan muncul dan berkembang melalui keluasan intelektual, kreativitas yang diiringi dengan penghargaan atas pencapaian atau prestasi. Di samping itu, juga adanya kesadaran untuk membuka diri terhadap pengaruh budaya asing yang mungkin saja datang melanda. Keterbukaan dan kebebasan kreativitas itu sudah tentu sering dikaitkan dengan resiko. Resiko tersebut akan melanda kehidupan kebudayaan sehingga kekhawatiran terhadap konsep identitas budaya yang dimaknai secara sempit akan muncul. Identitas budaya hanya terbatas pada pencegahan terhadap bergesernya nilai-nilai budaya yang terdapat pada benda-benda budaya yang dianggap memiliki nilai fundamental. Konsep yang keliru ini sering dipakai untuk 12 mempertahankan sebuah kebudayaan agar tidak berubah. Kekeliruan itu menjadikan kebudayaan merupakan sesuatu yang diam dan statis, padahal kebudayaan itu dinamis. Budaya atau seni tradisi itu bukanlah sesuatu yang tidak bisa berubah; justru tradisi diperpadukan dengan aneka ragam perbuatan manusia dan diangkat dalam keseluruhannya. Manusialah yang membuat sesuatu dengan tradisi itu. Manusia yang menerima, menolak, atau mengubahnya. Itulah sebabnya kebudayaan merupakan cerita tentang perubahanperubahan. Kebudayaan, yaitu karakter cara hidup yang menyeluruh dari para anggota suatu masyarakat yang dipelajari dan dianut secara bersama dalam suatu masyarakat, bukan merupakan hasil langsung dari unsur pewarisan secara biologis (Sanderson. 1995:7). Kebudayaan bagi Sanderson meliputi teknologi, pengetahuan, dan pola-pola tindakan dan pikiran yang terorganisasi. Jadi, dengan banyaknya pengertian kebudayaan maka dalam melakukan pelestarian warisan kebudayaan, kita harus memiliki sikap dalam memilih pengertian yang dianggap bisa mewakili. Kekuasaan terhadap kebudayaan, seperti kesenian tradisi dan lain-lain, merupakan konsep kebudayaan yang diperluas dan didinamisasi. Memang ada kebudayaan yang oleh sebagian masyarakat merupakan takdir yang tak terelakkan dan sulit untuk diubah, tetapi pergeseran ideologi akan selalu ada. Untuk itu, hendaknya identitas budaya mestinya dimaknai sebagai upaya mengembangkan kemantapan orientasi budaya yang secara dialektis harus diartikan. Hal ini akan mengakibatkan kedinamisan unsur-unsur budaya bisa tetap seirama dengan 13 kehidupan masyarakat yang mendukungnya yang selalu berubah sebagai imbas perubahan zaman. Dalam relasi kuasa, dalam dinamika tari ulu ambek pada masyarakat Pariaman, pembicaraan mengarah pada persoalan makna dan nilai-nilai masyarakat tradisi Pariaman itu sendiri. Kesenian akan meliputi kebudayaankebudayaan yang hadir pada masa lalu yang hari ini peninggalannya masih ada dan perlu memperlihatkan identitasnya. Hal ini berkaitan dengan sejarah yang merupakan titik keberangkatan tempat kesenian itu ada. Tari ulu ambek di Pariaman merupakan perwujudan dari peninggalan sejarah untuk dipertahankan identitasnya karena berkaitan dengan etika dan estetika masyarakat tradisi Pariaman. Namun, dalam perwujudan dan pemasyarakatan nilai tersebut selalu berhadapan dengan kebudayaan hari ini yang masyarakatnya cenderung mencoba untuk menipiskan, bahkan menghilangkan nilai-nilai tradisi yang ada. Akibatnya, terjadilah pergeseran makna, nilai, dan fungsi kesenian itu sendiri. Perbicaraan mengenai etika dan estetika kesenian akan selalu berhadapan dengan tipikal masyarakat yang telah menganggap dirinya modern, bahkan mungkin posmodern, sehingga mereka menganggap dengan mempertahankan identitas kesenian tradisi merupakan suatu kemunduran karena harus menjaga sesuatu yang sudah usang. Padahal, pemertahanan identitas budaya bangsa bukan suatu obsesi yang akan mengantarkan kembali masyarakat ke koridor sejarah masa lalu atau menemukan masa silam itu, melainkan usaha untuk menemukan makna ideologi masyarakat tradisi sendiri. Sebuah bangsa lahir bukan dari serpihan kebudayaan bangsa lain, melainkan dari suatu muara budaya yang kaya. 14 Budaya itu pernah mengukir sejarah peradaban bangsa-bangsa di dunia. Keyakinan historis ini secara psikologis tidak hanya akan memberikan kebanggaan, tetapi juga kesetiaan untuk memelihara dan merekayasa nilai-nilai luhur dan tradisi besar bangsanya. Tradisi dalam masyarakat Minangkabau, baik di daerah pedalaman maupun di pesisiran, umumnya didukung oleh sistem sosial yang berakar kuat di dalam masyarakat pendukungnya. Dalam hal ini, kesenian merupakan bagian integral budaya yang secara kuat di masyarakat, terutama yang hidup, baik di daerah pedesaan maupun nagari (desa). Seni tradisi merupakan wadah pengikat solidaritas sosial dan penyampai nilai-nilai budaya yang dianut masyarakat pendukungnya, selain menjadi media hiburan juga berfungsi sebagai sarana upacara. Dengan demikian, fungsi seni tradisi memiliki nilai filosofi yang kuat dan berakar dari sejarah dan budaya masyarakat Minangkabau. Piaman atau Pariaman sebagai daerah pesisiran terletak di pantai barat Sumatera. Wilayah tersebut memiliki budaya dan tradisi yang beragam, yaitu tari ulu ambek, indang, musik gandang tambua atau gandang tasa, yang menjadi identitas budaya masyarakat Pariaman. Berbagai seni tradisi tersebut biasanya ditampilkan dalam acara alek nagari (pesta desa) yang merupakan sebuah institusi budaya yang sangat penting dalam masyarakat Minangkabau. Alek nagari atau dapat juga disebut Festival Rakyat (Folk Festival) merupakan simbol masyarakat nagari (anak nagari) untuk menjalin silaturahmi budaya secara partisipatif dan berkelanjutan. Konteks kebudayaan Minangkabau pada alek nagari, selain berfungsi sebagai jembatan silaturahmi, sekaligus juga berperan sebagai ruang 15 ekspresi untuk mempertahankan dan mengembangkan spirit budaya yang dimiliki. Tari ulu ambek awalnya adalah tradisi silat yang berkembang hampir di seluruh wilayah Pariaman, Sumatera Barat. Dalam hal ini, silat merupakan seni beladiri tertua di Minangkabau dan di Piaman. Setiap wilayah di Minangkabau memiliki gerak silat tersendiri yang memiliki perbedaan-perbedaan yang mendasar. Gerak dan gaya silat Kumango berbeda dengan gerak silat Piaman. Gerak tari ulu ambek di Pariaman merupakan pengembangan dari pencak silat itu sendiri. Dari pencak silat ini lahir tari ulu ambek. Tari ulu ambek menggambarkan kuasa seorang pemimpin (datuk) dalam melangkah, bertindak, dan berpikir untuk kemakmuran rakyatnya. Permainan silat tari ulu ambek dimainkan oleh dua orang dengan posisi yang berbeda, yakni satu menyerang dan yang satu lagi dalam posisi bertahan. Akan tetapi, mereka tidak pernah bersentuhan. Pada pertengahan permainan keduanya berpindah posisi, yang bertahan bergantian melakukan penyerangan dan yang sebelumnya menyerang jadi bertahan. Dalam perkembangannya kemudian, permainan silat atau tari ulu ambek banyak dimainkan pada acara alek nagari di Piaman. Alek nagari ini terdiri atas dua kategori, yaitu alek tuo dan alek mudo. Alek tuo merupakan alek ninik mamak (penghulu) yang mencerminkan kebudayaan yang tinggi di Piaman. Sementara itu, alek mudo merupakan alek anak-anak muda yang penuh gurauan dan bersifat menghibur. Dalam hal ini, tari ulu ambek berada pada posisi Alek Tuo (alek ninik mamak) yang memang dihadiri oleh penghulu-penghulu yang mempunyai kepentingan atau yang diundang. Tempat duduk para penghulu, pendekar, dan 16 yang lainnya diatur oleh janang atau kapalo mudo nagari agar tidak menyalahi adat. Untuk melihat etika dan estetika masyarakat tradisi Pariaman khususnya dan Minangkabau umumnya, salah satu caranya adalah dengan melihat makna dan fungsi kesenian dan tentu saja dari perjalanan historisnya. Kesenian memiliki fungsi sebagai pengungkap etika dan estetika masyarakat tradisi Pariaman. Lewat kesenian ini diketahui bagaimana kepercayaan, pola hidup, adat istiadat, dan lainlainnya dari masyarakat Pariaman. Menurut Usman Pelly dan Asih Menanti (1994:36), untuk membangun suatu parochialism (kejumutan) atau obsolescence (tembok yang membendung arus informasi dunia) diperlukan ketahanan budaya, tetapi untuk mendapatkan jati diri diperlukan latar kearifan masa silam. Nilai baru yang masuk diseleksi secara kreatif dan dengan ketajaman intelektual yang muncul dari proses kebudayaan ilmu pengetahuan modern. Hal ini merupakan unsur inovatif yang kuat dalam suatu masyarakat yang telah memiliki kepribadian sendiri. Dalam memfungsikan kebudayaan antara warisan budaya masa silam dan kebudayaan hari ini dan masa depan akan selalu terjadi perubahan-perubahan pandangan tentang kebudayaan itu sendiri. Perubahan kebudayaan seperti yang dikatakan Malinowski (1983:63-79) adalah proses dari susunan masyarakat yang ada yang dikenal dengan peradaban kemasyarakatan, kerohanian, dan peradaban kebendaan yang bertukar menjadi suatu susunan masyarakat yang lain. Dengan cara itu perubahan budaya meliputi proses perubahan yang pesat dalam perlembagaan politik suatu masyarakat. Dalam pengertian yang luas, perubahan 17 budaya ialah faktor tetap dalam peradaban manusia. Perubahan bersifat sangat kompleks sebab hal itu meliputi setiap aspek alam dan masyarakat. Hal itu terjadi karena kehidupan manusia merupakan sistem ekologis-kultural menyeluruh tempat setiap bagian saling terkait, dan hal ini pada gilirannya memacu pelbagai perubahan lebih lanjut (Walker, 2010:97). Perubahan budaya berlaku di manamana dan pada setiap masa. Perubahan budaya mungkin didorong oleh faktor dan kuasa yang serentak yang timbul di kalangan masyarakat dan keterkaitannya dengan budaya yang berlainan. Dengan cara yang pertama, perubahan budaya merupakan evolusi bebas, sedangkan yang kedua merupakan perubahan budaya yang melewati proses yang dalam kajian antropologi biasanya dinamakan difusi. Untuk mengetahui identitas budaya yang menyangkut etika dan estetika masyarakat tradisi itu sendiri, perlu diadakan penelusuran sejarah mengenai kehidupan budaya tersebut. Peninggalan-peninggalan masa silam pada seni tradisi itu bukan hanya merupakan pajangan yang tak bermakna, melainkan merupakan peninggalan yang bernilai dan bersejarah. Begitu juga dalam persoalan pengembangan seni tradisi, supaya tidak punah dan hilang ditelan zaman yang semakin mengglobal, maka harus dibuatkan konsep pengembangannya yang bisa diterapkan di tengah masyarakat. Konsep pengembangan tersebut akan menjadi temuan dalam penelitian ini. Secara aplikatif konsep pengembangan bisa diterapkan pada generasi-generasi yang akan meneruskan keberlanjutan tari ulu ambek di Pariaman. Penelitian ini diarahkan pada relasi kuasa dalam dinamika tari ulu ambek 18 yang diakibatkan oleh perubahan kuasa masyarakat Pariaman. Untuk itu, perlu dijelaskan bentuk tari ulu ambek sebelum perubahan dan kemudian sesudah perubahan. Dari penjelasan terhadap relasi kuasa dalam dinamika tari ulu ambek akan ditemukan relasi kuasa yang ideal masyarakat Pariaman. Sementara itu, etika dan estetika dinamika akan memunculkan daya kreativitas masyarakat yang disesuaikan dengan kondisi masyarakat Pariaman saat ini. Tentu saja dinamika akan mengakibatkan beberapa bentuk yang sebetulnya sangat penting menjadi hilang. Oleh karena itu perlu ada penyadaran kembali kepada masyarakat agar bentuk yang penting tersebut bisa dikembalikan. Dari fenomena dan pemikiran di atas, penelitian “Relasi Kuasa dalam Dinamika Tari Ulu Ambek pada Masyarakat Pariaman, Sumatera Barat” menarik untuk diteliti secara kritis, dan holistis sebagai sebuah kajian budaya (cultural studies). Cultural studies, seperti yang dijelaskan oleh Hartley (2010:41-42) bahwa kajian budaya mengarah pada empat butir penting dalam wilayah kajian, yaitu (1) hubungan antara kesadaran dan kuasa tempat budaya dijadikan lahan politik; (2) identitas masyarakat dan nilai budaya yang berhadapan dengan formasi dalam modernitas serta budaya sebagai kehidupan sehari-hari; (3) budaya populer yang dikaitkan dengan hiburan dan dimediasi maka hal ini merupakan budaya sebagai teks hari ini; dan (4) ekspansi dari perbedaan arus globalisasi yang menimbulkan pluralitas budaya yang menyebabkan sebuah kebudayaan menjadi beragam. Tari ulu ambek memperlihatkan kesadaran masyarakat Pariaman dalam mempertahankan seni tradisi mereka. Kesadaran ini berujung pada kuasa untuk 19 membentuk ideologi yang mengarah pada politik pemberdayaan kebudayaan di tengah masyarakat. Masyarakat Pariaman menilai bahwa kesadaran harus ditumbuhkan secara bersama-sama sehingga nilai kebersamaan akan menciptakan kuasa atas sesuatu. Gambaran kehidupan masyarakat Pariaman yang ada pada tari ulu ambek merupakan identitas masyarakat Pariaman. Saat ini identitas tersebut berbenturan dengan nilai-nilai yang datang kemudian yang dinamakan globalisasi. Kebudayaan yang dipertahankan merupakan kebudayaan yang memiliki relevansi dengan kehidupan sehari-hari masyarakat Pariaman, terutama terhadap nilai yang dianutnya. Ketika berhadapan dengan budaya kekinian, tari ulu ambek memang menjadi asing dan tersisihkan. Budaya populer yang ada sekarang menjadi sosok yang menakutkan bagi kebudayaan asli yang sudah lama ada. Upaya membuat tari tradisional bisa beradaptasi dengan nilai kekinian memang susah walaupun sangat mungkin dilakukan. Keberagaman masyarakat Pariaman saat ini menjadikan seni tari ulu ambek seolah-olah hilang. Kehilangan bentuk seni ini akan menjadikan kehilangan ideologi yang dimiliki masyarakat. Hilang mungkin adalah kata yang terlalu apatis, tetapi kenyataannya masyarakat seperti berjarak dengan kesenian tersebut. Jarak tersebut terutama ada dalam diri generasi muda yang telah terpengaruh oleh kebudayaan modern. Budaya tari ulu ambek di Pariaman memperlihatkan kesenjangan ideologi yang bermakna di tengah masyarakat. Budaya yang dipahami dengan cara seperti 20 ini merupakan ranah hegemoni budaya yang dilawan untuk mempertahankan nilai-nilai yang selama ini telah mapan. Hal ini merupakan kritik tradisional tentang seni yang berbicara tentang nilai estetik yang melekat di dalamnya. Ditambahkan oleh Hartley (2010:42-43) bahwa cultural studies telah mengembangkan kerangka kerja yang berusaha untuk memulihkan dan menempatkan budaya kelompok yang terlupakan. Tujuan cultural studies ini ialah untuk memahami bagaimana budaya seharusnya ditentukan dalam dirinya sendiri dan dalam relasinya dengan produksi kreatif dan politik. Arah yang berkaitan dengan relasi kuasa dalam dinamika tari ulu ambek pada masyarakat Pariaman merupakan wilayah yang sangat urgen dalam cultural studies. Kajian budaya membawa persoalan menyeluruh hidup manusia, baik pada masa lalu, masa sekarang, maupun masa yang akan datang. Tari ulu ambek pada masa lalu merupakan gambaran kondisi masyarakat Pariaman yang sampai saat ini masih relevan untuk dipertahankan walaupun mengalami dinamika. Dinamika tidak bisa dielakkan, tetapi dicerap sebagai pengembangan. 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas maka dapat dirumuskan tiga pertanyaan, sebagai berikut. 1) Bagaimanakah bentuk relasi kuasa dalam dinamika tari ulu ambek pada masyarakat Pariaman, Sumatera Barat? 2) Apakah faktor pendorong terjadinya relasi kuasa dalam dinamika tari ulu ambek pada masyarakat Pariaman, Sumatera Barat? 21 3) Bagaimanakah dampak dan makna relasi kuasa dalam dinamika tari ulu ambek pada masyarakat Pariaman, Sumatera Barat? 1.3 Tujuan Penelitian Penelitian ini memiliki tujuan, baik secara umum maupun secara khusus, yang dapat dijelaskan sebagai berikut. 1.3.1 Tujuan Umum Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk mengungkapkan fenomena relasi kuasa dalam dinamika tari ulu ambek yang juga bisa mengungkap identitas budaya dalam tari tersebut pada masyarakat Pariaman, Sumatera Barat. 1.3.2 Tujuan Khusus Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk: 1) Menjelaskan bentuk relasi kuasa dalam dinamika tari ulu ambek pada masyarakat Pariaman, Sumatera Barat; 2) Memahami faktor pendorong terjadinya relasi kuasa dalam dinamika tari ulu ambek pada masyarakat Pariaman, Sumatera Barat; 3) Menginterpretasi dampak dan makna relasi kuasa dalam dinamika tari ulu ambek pada masyarakat Pariaman, Sumatera Barat. 1.4 Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan membawa manfaat, baik manfaat teoretis maupun manfaat praktis. Kedua manfaat ini dapat dijelaskan di bawah ini. 22 1.4.1 Manfaat Teoretis Manfaat teoretis penelitian ini adalah sebagai berikut: 1) dapat menambah ilmu pengetahuan mengenai permasalahan tentang relasi kuasa dan dinamika tari ulu ambek pada masyarakat Pariaman, Sumatera Barat; 2) dapat memberikan kontribusi dan menambah wawasan bagi peneliti dalam bidang ilmu kajian budaya, yang berkaitan dengan seni tari ulu ambek tersebut atau untuk peneliti lain dalam bidang yang sama dengan topik berbeda; 3) sebagai informasi akademis dan proses perubahan budaya dalam tari ulu ambek dalam konteks sosio-religius masyarakat Pariaman. 1.4.2 Manfaat Praktis Manfaat praktis penelitian adalah sebagai berikut: 1) dapat memberikan sumbangan pemikiran kepada masyarakat Pariaman, Sumatera Barat, tentang relasi kuasa dalam dinamika tari ulu ambek; 2) dapat memberikan kontribusi pemikiran bagi Pemerintah Daerah Tingkat II Padang Pariaman dan Pemerintah Daerah Tingkat I Sumatera Barat yang berkaitan dengan dinamika tari ulu ambek pada masyarakat Pariaman dalam menentukan berbagai kebijakan dalam bidang kebudayaan; 3) dapat memberikan inspirasi bagi masyarakat Pariaman dalam usaha mengembangkan tari ulu ambek pada masa yang akan datang.