pola makan dan profil status gizi anak balita di

advertisement
POLA MAKAN DAN PROFIL STATUS GIZI
ANAK BALITA DI POSYANDU JAKARTA UTARA
BERNADETHA BEATRIX SIBARANI
F252130015
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016
ii
iii
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER
INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Pola Makan dan Profil
Status Gizi Anak Balita di Posyandu Jakarta Utara adalah benar karya saya
dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun
kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip
dikutip dari karya yang diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks
dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Oktober 2016
Bernadetha Beatrix Sibarani
NIM F252130015
iv
RINGKASAN
BERNADETHA BEATRIX SIBARANI. Pola Makan dan Profil Status Gizi Anak
Balita di Posyandu Jakarta Utara. Dibimbing oleh MADE ASTAWAN dan
NURHENI SRI PALUPI.
Masa balita merupakan masa yang paling penting dan perlu untuk
mendapatkan perhatian dalam proses pertumbuhan dan perkembangan anak.
Untuk mencapai status gizi yang baik diperlukan pangan yang mengandung zat
gizi cukup dan aman untuk dikonsumsi. Pola makan balita dapat dinilai salah
satunya menggunakan data food recall 1x24 jam yang selanjutnya diolah
menggunakan program Nutrisurvey untuk mendapatkan nilai energi, protein,
lemak, karbohidrat, besi, kalsium, fosfor, vitamin A, vitamin C dan vitamin D.
Nilai asupan zat gizi ini dibandingkan dengan nilai AKG 2013 dan dapat
digunakan untuk menentukan status gizi balita untuk masing-masing kelompok
umur. Secara umum penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pola makan
terhadap profil status gizi anak balita di Posyandu, Jakarta Utara. Adapun tujuan
khususnya adalah: (1) Menilai tingkat kecukupan zat gizi terhadap status gizi anak
balita (BB/U). (2) Mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi status gizi
anak balita. (3)Menganalisis hubungan faktor-faktor yang mempengaruhi status
gizi anak balita dan pengaruh faktor-faktor tersebut terhadap status gizi anak
balita.
Status gizi balita ditentukan dengan menggunakan acuan berat badan
menurut umur (BB/U) dan lingkar lengan atas menurut umur (LILA/U). Jumlah
responden sebanyak 70 balita dari dua posyandu di Jakarta Utara. Posyandu yang
dipilih mewakili dua keadaan sosial demografi yang berbeda. Analisis data yang
diperoleh dilakukan dengan menggunakan korelasi Chi-square. Selang
kepercayaan yang digunakan adalah 95%. Analisis regresi digunakan adalah
regresi logistik. Variabel dependen adalah BB/U, variable independen adalah
pengetahuan gizi ibu, biaya pengeluaran pangan, asupan gizi (energi, protein,
lemak, karbohidrat, besi, kalsium, fosfor, vitamin A, vitamin C, dan vitamin D),
pendidikan dan pekerjaan ibu.
Terdapat perbedaan yang nyata (P < 0.05) pada status gizi balita berdasarkan
pengukuran BB/U antara Posyandu Kelapa Gading dan Sukapura. Terdapat
hubungan yang nyata (P < 0.05) antara pengetahuan gizi ibu, biaya pengeluaran
pangan, asupan besi, asupan vitamin D, dan pendidikan ibu dengan status gizi
balita; Asupan zat gizi energi, protein, lemak, karbohidrat, kalsium, fosfor,
vitamin A, vitamin C, dan pekerjaan ibu tidak berhubungan (P > 0.05) dengan
status gizi balita. Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap status gizi (BB/U)
anak balita pada kedua wilayah posyandu yaitu tingkat pengetahuan gizi ibu,
biaya pengeluaran pangan, tingkat kecukupan zat gizi, dan pendidikan ibu.
Variabel independen mempengaruhi sebesar 19.5% status gizi balita pada kedua
wilayah posyandu.
Kata kunci: food recall, asupan zat gizi, sosial demografi, status gizi
v
SUMMARY
BERNADETHA BEATRIX SIBARANI. Diet and Nutritional Status Profile of
Under Five Years Old Children in Posyandu in North Jakarta. Supervised By
MADE ASTAWAN and NURHENI SRI PALUPI.
The under five year old children period is the most important time and needs
to get attention in the process of child’s growth and development. To achieve a
good nutritional status, food containing sufficient nutrients and safe for
consumption are necessary. Under five year old children diet can be assessed
using 24-hour dietary recall data that is then processed using the Nutrisurvey
program to obtain energy, protein, fat, carbohydrates, iron, calcium, phosphorus,
vitamin A, vitamin C and vitamin D values. These nutrient intake values are
compared with the 2013 recommended dietary allowance (RDA) and can be used
to determine the nutritional status of children for each age group. In general, this
study aimed to analyze the diet pattern towards profile nutritional status of under
five year old children in Posyandu in North Jakarta. The specific objectives of this
study were to: (1) assess the nutrient adequacy towards the nutritional status of
UFYOC (W/A). (2) identify the factors that affect the nutritional status of under
five year old children. (3) analyze the relationship between factors that affect the
nutritional status of under five year old children and the influence of these factors
on the nutritional status of under five year old children.
Nutritional status is determined by using a reference of weight for age
(W/A) and the mid-upper arm circumference by age (MUAC/A). Respondents are
70 from two Posyandu in North Jakarta were involved in this study. These
Posyandu were selected to represent two different socio-demographic conditions.
Data analysis was conducted using Chi-square correlation. Confidence interval
used was 95%. Regression analysis was conducted using logistic regression. The
dependent variable was W/A, while the independent variables were the nutritionrelated knowledge of mother, food expenses, nutrition (energy, protein, fat,
carbohydrates, iron, calcium, phosphorus, vitamin A, vitamin C, and vitamin D),
education and occupation of mother.
There were significant differences (P <0.05) on the nutritional status of
children based on the W/A measurement between Posyandu Kelapa Gading and
Sukapura. There were significant relationships (P <0.05) between the nutritionrelated knowledge of mother, food expenses, iron intake, vitamin D intake, and
mother’s education with under five year old children nutritional status, while
nutrient intake of energy, protein, fat, carbohydrates, calcium, phosphorus,
vitamin A, vitamin C, and mother's occupation showed no relations (P> 0.05) with
the nutritional status of under five year old children. Factors affected the
nutritional status (W/A) of under five year old children in both Posyandu were the
level of nutrition-related knowledge of mother, food expenses, nutrition adequacy,
and mother’s education. Independent variables affected 19.5% of under five year
old children nutritional status in both Posyandu.
Keywords: food recall, nutrient intake, socio-demographic, nutritional status
vi
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB.
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.
vii
POLA MAKAN DAN PROFIL STATUS GIZI
ANAK BALITA DI POSYANDU JAKARTA UTARA
BERNADETHA BEATRIX SIBARANI
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Profesi Teknologi Pangan
pada
Program Studi Teknologi Pangan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016
viii
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr. Ir. Endang Prangdimurti, MSi.
ix
Judul Tesis
Nama
NIM
: Pola Makan dan Profil Status Gizi Anak Balita di Posyandu
Jakarta Utara
: Bernadetha Beatrix Sibarani
: F252130015
Disetujui oleh,
Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Made Astawan, MS
Dr. Ir. Nurheni Sri Palupi, MSi.
Ketua
Anggota
Diketahui oleh,
Ketua Program Studi
Magister Profesi Teknologi Pangan
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. Nurheni Sri Palupi, MSi.
Dr. Ir. Dahrul Syah, MScAgr
Tanggal Ujian: 22 Juni 2016
Tanggal Lulus:
x
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus atas segala
karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan dengan baik. Tema
yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Mei 2015 sampai
Juni 2015 ini adalah Pola Makan dan Profil Status Gizi Anak Balita di Posyandu
Jakarta Utara.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Made Astawan,
MS dan Ibu Dr. Ir. Nurheni Sri Palupi, MSi selaku pembimbing. Di samping itu,
penghargaan penulis sampaikan kepada mama dan adik, serta seluruh keluarga,
dan rekan-rekan atas doa, dukungan dan kasih sayangnya hingga selesainya tugas
akhir ini.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Oktober 2016
Bernadetha Beatrix Sibarani
xi
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
1.2 Ruang Lingkup
1.3 Hipotesis Penelitian
1.4 Tujuan Penelitian
1.5 Manfaat Penelitian
2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Balita
2.2 Penyediaan Menu Seimbang untuk Balita
2.3 Status Gizi
3 BAHAN DAN METODE
3.1 Desain Penelitian
3.2 Waktu dan Tempat Penelitian
3.3 Bahan dan Alat
3.4 Prosedur Penelitian
3.5 Rancangan Percobaan
3.6 Pengumpulan Data
3.7 Pengolahan Data
4 HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian
4.2 Karakteristik Demografi
4.3 Hubungan Karakteristik Responden dengan Status Gizi
4.4 Faktor-Faktor yang Berpengaruh terhadap Status Gizi
5 SIMPULAN DAN SARAN
5.1 Simpulan
5.2 Saran
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP
xi
xii
xii
xii
1
1
2
2
2
3
4
4
5
6
13
13
13
13
14
15
15
15
16
16
17
30
32
33
33
33
34
38
46
xii
DAFTAR TABEL
2.1
2.2
2.3
2.4
2.5
2.6
4.1
4.2
4.3
4.4
4.5
Antropometri anak berdasarkan berat badan dan tinggi badan
Kriteria status gizi dibandingkan standar WHO – NCHS
Interpretasi BB/U yang dipetakan pada kurva berat badan
Interpretasi status gizi dinyatakan dalam nilai persentase BB/U
Interpretasi persentase kehilangan berat badan
Kriteria status gizi berdasarkan nilai LILA
Karakteristik keluarga menurut jenis kelamin balita, usia balita,
pendidikan ibu, pekerjaan ibu tingkat pengetahuan gizi ibu dan biaya
pengeluaran pangan
Hasil uji beda rerata asupan zat gizi balita usia 24-59 bulan di posyandu
Jakarta Utara
Persentase balita terhadap tingkat pemenuhan zat gizi balita usia 24-59
bulan di posyandu Jakarta Utara
Hasil uji beda status gizi balita usia 24-59 bulan di posyandu
Jakarta Utara
Hubungan variabel independen dengan status gizi balita (BB/U) usia
24-59 bulan di posyandu kelapa gading dan sukapura Jakarta Utara
9
9
10
10
10
11
23
24
26
28
31
DAFTAR GAMBAR
Kecenderungan prevalensi status gizi pada balita Indonesia 2007, 2010,
dan 2013
2.2 Kecenderungan prevalensi status gizi balita menurut gabungan
indikator TB/U dan BB/TB, di Indonesia 2007, 2010, dan 2013
4.1 Keadaan geografis posyandu kelapa gading dan sukapura
4.2 Profil balita menurut usia
4.3 Profil balita menurut jenis kelamin
4.4 Profil ibu dari responden menurut pendidikan
4.5 Profil ibu dari responden menurut pekerjaan
4.6 Profil ibu dari responden menurut tingkat pengetahuan gizi
4.7 Profil keluarga dari responden menurut biaya pengeluaran pangan
4.8 Persentase pemenuhan zat gizi pada menu makanan balita usia
24-59 bulan terhadap AKG di posyandu Jakarta Utara
4.9 Profil status gizi BB/U balita usia 24-59 bulan di posyandu
Jakarta Utara
4.10 Profil LILA balita usia 24-59 bulan di posyandu Jakarta Utara
2.1
11
12
16
18
18
19
20
21
22
25
28
29
DAFTAR LAMPIRAN
1
2
Kuesioner penelitian
Formulir food recall 24 jam
39
45
1
1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Anak balita merupakan kelompok umur yang rawan gizi dan rawan
penyakit, dan yang paling banyak menderita gangguan akibat gizi (Kurang Energi
Protein) dikarenakan anak balita berada dalam masa transisi, yaitu perubahan pola
makan dari makanan bayi ke makanan dewasa (Notoadmodjo 2003). Gizi kurang
yang terjadi pada anak-anak, dapat menghambat pertumbuhan, rentan terhadap
penyakit infeksi, dan rendahnya tingkat kecerdasan anak. Konsekuensi
membiarkan anak-anak menderita kurang gizi berarti “mempersiapkan” sebagian
mereka menjadi generasi yang hilang karena terbentuknya potensi intelektual dan
produktivitas yang tidak mampu menghadapi kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi.
Masa balita merupakan masa yang paling penting dan perlu untuk
mendapatkan perhatian dalam proses pertumbuhan dan perkembangan anak.
Untuk itu dalam masa ini, perlu untuk selalu melakukan pemantauan pertumbuhan
dan perkembangan anak. Anak menempati posisi strategis dalam pembangunan
sumber daya manusia masa depan. Anak merupakan kelompok penduduk yang
paling rentan terhadap gangguan kesehatan dan gizi karena status imunitas, diet,
dan psikologi anak belum matang atau masih dalam taraf perkembangan.
Kelangsungan dan kualitas hidup anak sangat tergantung pada penduduk dewasa,
terutama ibu atau orang tuanya (Utomo 1998).
Data Riskesdas 2013 secara nasional, prevalensi berat-kurang pada tahun
2013 adalah 19.6 persen, terdiri dari 5.7 persen gizi buruk dan 13.9 persen gizi
kurang. Kejadian tersebut meningkat dibandingkan dengan angka prevalensi
nasional tahun 2007 (18.4 persen) dan tahun 2010 (17.9 persen). Perubahan
terutama terjadi pada prevalensi gizi buruk yaitu dari 5.4 persen tahun 2007, 4.9
persen pada tahun 2010, dan 5.7 persen tahun 2013. Prevalensi gizi kurang naik
sebesar 0.9 persen dari 2007 dan 2013. Untuk mencapai sasaran millenium
development goal (MDG) tahun 2015 yaitu 15.5 persen maka prevalensi gizi
buruk-kurang secara nasional harus diturunkan sebesar 4.1 persen dalam periode
2013 sampai 2015 (Bappenas 2012). Pada tahun 2013, secara nasional prevalensi
gizi buruk-kurang pada anak balita sebesar 19.6 persen, yang berarti masalah gizi
buruk-kurang di Indonesia masih merupakan masalah kesehatan masyarakat,
mendekati prevalensi tinggi. Di antara 33 provinsi, terdapat tiga provinsi termasuk
kategori prevalensi sangat tinggi, yaitu Sulawesi Barat, Papua Barat, dan Nusa
Tenggara Timur. Status gizi menurut Hermana (1993), merupakan hasil masukan
zat gizi makanan dan pemanfaatannya di dalam tubuh. Untuk mencapai status gizi
yang baik diperlukan pangan yang mengandung zat gizi cukup dan aman untuk
dikonsumsi. Bila terjadi gangguan kesehatan, maka pemanfaatan zat gizi pun akan
terganggu.
Angka kematian bayi, balita, dan anak merupakan salah satu indikator
kesehatan yang sangat mendasar dan status gizi merupakan faktor utama yang
berpengaruh pada peningkatan atau penurunan angka kematian bayi, balita, dan
anak. Gizi pada balita terutama diperlukan untuk mendukung pertumbuhan dan
perkembangannya. Kurang terpenuhinya gizi pada anak akan menghambat sintesis
2
DNA sehingga menyebabkan terhambatnya pembentukan sel otak yang
selanjutnya akan menghambat perkembangan otak. Jika hal ini terjadi setelah
masa divisi sel otak terhenti, hambatan sintesis protein akan menghasilkan otak
dengan jumlah sel yang normal tetapi dengan ukuran yang lebih kecil. Namun
perubahan yang kedua ini dapat hilang kembali (reversibel) dengan perbaikan
diet.
Selain faktor konsumsi makan dan faktor infeksi atau kesehatan, Engle et al
(1996) menambahkan faktor ketersediaan sumberdaya keluarga seperti pendidikan
dan pengetahuan ibu, pendapatan keluarga, pola pengasuhan, sanitasi dan
kesehatan rumah, ketersediaan waktu serta dukungan ayah, sebagai faktor yang
mempengaruhi status gizi. Status gizi balita secara tidak langsung akan
dipengaruhi oleh status sosial ekonomi keluarga. Masyarakat yang tergolong
miskin dan berpendidikan rendah merupakan kelompok yang paling rawan gizi.
Apabila status sosial ekonomi rendah maka kebutuhan makanan keluarga akan
kurang terpenuhi sehingga balita akan memiliki status gizi kurang.
Faktor lingkungan tempat tinggal sangat berperan penting terhadap
pertumbuhan balita. Wilayah yang memiliki keadaan status sosial ekonomi yang
berbeda akan memberikan juga dampak yang berbeda bagi perkembangan balita.
Posyandu Sukapura dipilih untuk mewakili wilayah dengan kondisi sosial
ekonomi menengah ke bawah, merupakan wilayah perumahan yang padat
penduduk dan terdapat banyak industri garmen di sekitar perumahan warga.
Posyandu Kelapa Gading dipilih untuk mewakili wilayah dengan kondisi sosial
ekonomi menengah ke atas, merupakan wilayah perumahan kompleks tentara
nasional Indonesia (TNI) angkatan laut (AL) dan posyandu ini merupakan salah
satu posyandu berprestasi yang ada di wilayah Kelapa Gading.
1.2 Ruang Lingkup
Ruang lingkup dari penelitian ini adalah mengetahui pola makan balita
melalui tingkat kecukupan zat gizi makanan yang dikonsumsi terhadap status gizi
anak balita dalam suatu keluarga.
1.3 Hipotesis Penelitian
Pola makan melalui tingkat kecukupan zat gizi berpengaruh terhadap status
gizi anak balita dalam suatu keluarga.
1.4 Tujuan Penelitian
Secara umum penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pola makan
terhadap profil status gizi anak balita di Posyandu, Jakarta Utara. Adapun tujuan
khususnya adalah: (1) Menilai tingkat kecukupan zat gizi terhadap status gizi anak
balita (BB/U). (2) Mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi status gizi
anak balita. (3) Menganalisis hubungan faktor-faktor yang mempengaruhi status
gizi anak balita dan pengaruh faktor-faktor tersebut terhadap status gizi anak
balita.
3
1.5 Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini dapat memberikan informasi lebih dini tentang status
gizi balita melalui pengukuran antropometri dan pola makan balita pada setiap
wilayah posyandu. Selain itu hasil penelitian ini juga dapat memberi gambaran
terhadap kekurangan zat gizi yang diderita oleh balita sehingga perlu diberi
tambahan agar tidak terjadi defisiensi zat gizi dalam waktu yang lama khusus nya
zat gizi vitamin dan mineral.
4
2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Balita
2.1.1 Pengertian Balita
Balita atau anak bawah umur lima tahun adalah anak usia kurang dari lima
tahun sehingga bagi usia di bawah satu tahun juga termasuk dalam golongan ini.
Namun faal (kerja alat tubuh semestinya) bagi usia di bawah satu tahun berbeda
dengan anak usia di atas satu tahun, maka anak di bawah satu tahun tidak
termasuk ke dalam golongan yang dikatakan balita. Anak usia 1-5 tahun dapat
pula dikatakan mulai disapih atau selepas menyusu sampai dengan pra-sekolah.
Sesuai dengan pertumbuhan badan dan perkembangan kecerdasannya, faal
tubuhnya juga mengalami perkembangan sehingga jenis makanan dan cara
pemberiannya pun harus disesuaikan dengan keadaannya. Berdasarkan
karakteristiknya, balita usia 1-5 tahun dapat dibedakan menjadi dua, yaitu anak
yang berumur 1-3 tahun yang dikenal dengan Batita merupakan konsumen pasif.
Sedangkan usia prasekolah lebih dikenal sebagai konsumen aktif (Uripi 2004).
Menurut Sutomo dan Anggraeni (2010), balita adalah istilah umum bagi
anak usia 1-3 tahun (batita) dan anak prasekolah (3-5 tahun). Saat usia batita anak
masih tergantung penuh kepada orang tua untuk melakukan kegiatan penting,
seperti mandi, buang air, dan makan. Perkembangan berbicara dan berjalan sudah
bertambah baik, namun kemampuan lain masih terbatas. Anak balita adalah anak
yang telah menginjak usia di atas satu tahun atau lebih popular dengan pengertian
usia anak di bawah lima tahun (Muaris 2006).
Masa balita merupakan periode penting dalam proses tumbuh kembang
manusia. Perkembangan dan pertumbuhan pada masa ini menjadi penentu
keberhasilan pertumbuhan dan perkembangan anak pada periode selanjutnya.
Masa tumbuh kembang di usia ini merupakan masa yang berlangsung cepat dan
tidak akan pernah terulang, karena itu sering disebut golden age atau masa
keemasan.
2.1.2 Karakteristik Balita
Anak usia 1-3 tahun merupakan konsumen pasif, artinya anak menerima
makanan dari apa yang disediakan ibunya. Laju pertumbuhan masa batita lebih
besar dari masa usia prasekolah sehingga diperlukan jumlah makanan yang relatif
besar. Namun perut yang masih lebih kecil menyebabkan jumlah makanan yang
mampu diterimanya dalam sekali makan lebih kecil dari anak yang usianya lebih
besar. Oleh karena itu, pola makan yang diberikan adalah porsi kecil dengan
frekuensi sering.
Pada usia prasekolah anak menjadi konsumen aktif. Mereka sudah dapat
memilih makanan yang disukainya. Pada usia ini anak mulai bergaul dengan
lingkungannya atau bersekolah playgroup sehingga anak mengalami beberapa
perubahan dalam perilaku. Pada masa ini anak akan mencapai fase gemar
memprotes sehingga mereka akan mengatakan “tidak” terhadap setiap ajakan.
Pada masa ini berat badan anak cenderung mengalami penurunan, akibat dari
aktivitas yang mulai banyak dan pemilihan maupun penolakan terhadap makanan.
5
Diperkirakan pula bahwa anak perempuan relatif lebih banyak mengalami
gangguan status gizi bila dibandingkan dengan anak laki-laki (BPS 1999).
2.2 Penyediaan Menu Seimbang untuk Balita
2.2.1. Pengertian Makanan bagi Balita
Pada dasarnya makanan bagi balita harus bersifat lengkap, artinya kualitas
dari makanan harus baik dan kuantitas makanan pun harus cukup dan bergizi.
Makanan harus mengandung semua zat gizi yang dibutuhkan, dengan
memperhitungkan:
1. Pada periode ini dibutuhkan penambahan konsumsi zat pembangun karena
tubuh anak sedang berkembang pesat.
2. Bertambahnya aktivitas membutuhkan penambahan bahan makanan sebagai
sumber energi.
3. Untuk perkembangan mentalnya anak membutuhkan lebih banyak lagi zat
pembangun, terutama untuk pertumbuhan jaringan otak yang mempengaruhi
kecerdasan, walaupun tak secara signifikan.
2.2.2. Pola Makan Sehat dan Seimbang
Menurut Harper (1986), pola makan (dietary pattern) adalah cara seseorang
atau sekelompok orang dalam memilih pangan dan makanannya serta
mengonsumsinya sebagai tanggapan terhadap pengaruh fisiologi, psikologi,
budaya, dan sosial. Pola makan dinamakan pula kebiasaan makan, kebiasaan
pangan atau pola pangan (Suhardjo 2003).
Menu seimbang adalah menu yang terdiri dari beraneka ragam makanan
dalam jumlah dan proporsi yang sesuai, sehingga memenuhi kebutuhan gizi
seseorang guna pemeliharaan, perbaikan sel-sel tubuh, proses kehidupan serta
pertumbuhan dan perkembangan (Almatsier 2004). Pola menu seimbang adalah
pengaturan makanan yang sehat dengan susunan hidangan menu sesuai dengan
kebutuhan gizi esensial dalam jumlah yang ideal serta disesuaikan dengan daya
toleransi anak. Dengan kata lain menu seimbang adalah menu yang kebutuhan
gizinya sudah disesuaikan dengan golongan usia balita.
2.2.3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pola Makan Balita
Dalam hal pola makan dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu :
1. Pengetahuan Gizi Ibu
Bila pengetahuan tentang bahan makanan yang bergizi masih kurang maka
pemberian makanan untuk keluarga biasa dipilih bahan-bahan makanan yang
hanya dapat mengenyangkan perut, tanpa memikirkan apakah makanan itu
bergizi atau tidak, sehingga kebutuhan energi dan gizi masyarakat dan anggota
keluarga tidak tercukupi. Bila ibu rumah tangga memiliki pengetahuan gizi
yang baik, ia akan mampu memilih makanan-makanan yang bergizi untuk
dikonsumsi (Suhardjo 1989).
2. Pendidikan Formal Ibu
Peranan ibu sangat penting dalam penyediaan makanan bagi anak balitanya,
6
pengetahuan yang diperoleh baik formal maupun non formal, sangat
menentukan untuk ditetapkan dalam hal pemilihan dan penentuan jenis
makanan yang dikonsumsi oleh balita dan anggota keluarga lainnya.
Pendidikan gizi ibu bertujuan untuk meningkatkan penggunaan sumber daya
makanan yang tersedia. Dari hal tersebut dapat diasumsikan bahwa tingkat
kecukupan energi dan zat gizi pada balita relatif tinggi bila pendidikan ibu
tinggi (Depkes RI 2010).
3. Pendapatan Keluarga
Pendapatan merupakan salah satu faktor yang menentukan kualitas dan
kuantitas makanan. Perlu disadari bahwa pendapatan tidak selalu membawa
perbaikan pada susunan makanan. Tingkat pendapatan juga ikut menentukan
jenis pangan yang akan dibeli dengan tambahan uang tersebut. Orang miskin
membelanjakan sebagian besar pendapatan tambahan tersebut untuk makanan,
sedangkan orang kaya jauh lebih rendah. Semakin tinggi pendapatan semakin
besar pula persentase dari pendapatan tersebut dipergunakan untuk membeli
buah, sayur mayur, dan berbagai jenis bahan pangan lain (Berg dan Sajogyo
1986).
2.3 Status Gizi
2.3.1 Definisi Status Gizi
Menurut Soekirman (2000) status gizi adalah keadaan kesehatan akibat
interaksi antara makanan, tubuh manusia, dan lingkungan hidup manusia.
Suhardjo (2003) menyatakan bahwa status gizi adalah keadaan tubuh sebagai
akibat dari pemakaian, penyerapan dan penggunaan makanan. Supariasa et al
(2002), status gizi merupakan ekspresi dari keadaan keseimbangan dalam bentuk
variabel tertentu, atau perwujudan dari status tubuh yang berhubungan dengan gizi
dalam bentuk variable tertentu. Jadi intinya terdapat suatu variable yang diukur
(misalnya: berat badan dan tinggi badan) yang dapat digolongkan ke dalam
kategori gizi tertentu (misalnya: baik, kurang, dan buruk).
Pertumbuhan seorang anak bukan hanya sekedar gambaran perubahan
ukuran tubuh, tetapi lebih dari itu memberikan gambaran tentang keseimbangan
antara asupan dan kebutuhan gizi (status gizi). Oleh karena itu pertumbuhan
merupakan indikator yang baik dari perkembangan status gizi anak (Depkes RI
2002).
Status gizi menjadi indikator ketiga dalam menentukan derajat kesehatan
anak. Status gizi yang baik dapat membantu proses pertumbuhan dan
perkembangan anak untuk mencapai kematangan yang optimal. Gizi yang baik
juga dapat memperbaiki ketahanan tubuh sehingga diharapkan tubuh akan bebas
dari segala penyakit. Status gizi ini dapat membantu untuk mendeteksi lebih dini
risiko terjadinya masalah kesehatan. Pemantauan status gizi dapat digunakan
sebagai bentuk antisipasi dalam merencanakan perbaikan status kesehatan anak.
2.3.2 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Status Gizi
Faktor yang menyebabkan kurang gizi telah diperkenalkan UNICEF dan
telah digunakan secara internasional, yang meliputi beberapa tahapan penyebab
timbulnya kurang gizi pada anak balita, baik penyebab langsung maupun tidak
7
langsung. Berdasarkan Soekirman dalam materi aksi pangan dan gizi nasional
(Depkes RI 2000) penyebab kurang gizi dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Penyebab langsung yaitu makanan anak dan penyakit infeksi yang mungkin
diderita anak. Penyebab gizi kurang tidak hanya disebabkan makanan yang
kurang tetapi juga karena penyakit. Anak yang mendapat makanan yang baik
tetapi karena sering sakit diare atau demam dapat menderita kurang gizi.
Demikian pula anak yang makannya tidak cukup baik maka daya tahan tubuh
akan melemah dan mudah terserang penyakit. Kenyataannya baik makanan
maupun penyakit secara bersama-sama merupakan penyebab kurang gizi.
2. Penyebab tidak langsung yaitu ketahanan pangan di keluarga, pola pengasuhan
anak, serta pelayanan kesehatan dan kesehatan lingkungan. Ketahanan pangan
adalah kemampuan keluarga untuk memenuhi kebutuhan pangan seluruh
anggota keluarga dalam jumlah yang cukup dan baik mutunya. Pola
pengasuhan adalah kemampuan keluarga untuk menyediakan waktunya,
perhatian, dan dukungan terhadap anak agar dapat tumbuh dan berkembang
secara optimal, baik fisik, mental, dan sosial. Pelayanan kesehatan dan sanitasi
lingkungan adalah tersedianya air bersih dan sarana pelayanan kesehatan dasar
yang terjangkau oleh seluruh keluarga. Faktor-faktor tersebut sangat terkait
dengan tingkat pendidikan, pengetahuan, dan ketrampilan keluarga. Makin
tinggi pendidikan, pengetahuan, dan ketrampilan terdapat kemungkinan makin
baik tingkat ketahanan pangan keluarga, makin baik pola pengasuhan anak dan
keluarga makin banyak memanfaatkan pelayanan yang ada. Ketahanan pangan
keluarga juga terkait dengan ketersediaan pangan, harga pangan, daya beli
keluarga, serta pengetahuan tentang gizi dan kesehatan.
2.3.3 Penilaian Status Gizi
Penilaian status gizi adalah interpretasi dari data yang didapatkan dengan
menggunakan berbagai metode untuk mengidentifikasi populasi atau individu
yang berisiko atau dengan status gizi buruk (Hartriyanti dan Triyanti 2007).
Tujuan penilaian status gizi menurut Hammond (2004) antara lain: 1)
mengidentifikasi individu yang membutuhkan dukungan nutrisi cukup; 2)
mempertahankan status gizi seseorang; 3) mengidentifikasi penatalaksanaan
medis yang sesuai; 4) memonitor efektivitas intervensi yang telah dilakukan.
Menurut Supariasa et al (2002), penilaian status gizi dapat dilakukan secara
langsung maupun tidak langsung.
1. Penilaian secara langsung. Penilaian status gizi secara langsung dibagi menjadi
empat penilaian yaitu antropometri, klinis, biokimia, dan biofisik. Adapun
penilaian dari masing-masing adalah sebagai berikut (Supariasa et al 2002):
a. Antropometri
Secara umum bermakna ukuran tubuh manusia. Antropometri gizi
berhubungan dengan berbagai macam pengukuran dimensi tubuh dan
komposisi tubuh dari berbagai tingkat umur dan tingkat gizi. Parameter yang
diukur antara lain BB, TB, LLA, Lingkar kepala, Lingkar dada dan lemak
subkutan. Indeks antropometri bisa merupakan rasio dari satu pengukuran
terhadap satu atau lebih pengukuran atau yang dihubungkan dengan umur
(Hartriyanti dan Triyanti 2007).
8
b. Klinis
Metode ini didasarkan atas perubahan-perubahan yang terjadi yang
dihubungkan dengan ketidakcukupan zat gizi. Hal tersebut dapat dilihat pada
jaringan epitel seperti kulit, mata, rambut dan mukosa oral atau pada organorgan yang dekat dengan permukaan tubuh seperti kelenjar tiroid.
c. Biokimia
Adalah suatu pemeriksaan spesimen yang diuji secara laboratoris yang
dilakukan pada berbagai macam jaringan tubuh. Jaringan tubuh yang
digunakan antara lain: urine, tinja, darah serta beberapa jaringan tubuh lain
seperti hati dan otot.
d. Biofisik
Penentuan gizi secara biofisik adalah suatu metode penentuan status gizi
dengan melihat kemampuan fungsi, khususnya jaringan, dan melihat perubahan
struktur jaringan.
2. Penilaian secara tidak langsung. Penilaian status gizi secara tidak langsung
dibagi menjadi 3 yaitu: survey konsumsi makanan, statistik vital, dan faktor
ekologi (Supariasa, et al 2002). Adapun uraian dari ketiga hal tersebut adalah:
a. Survey konsumsi makanan
Adalah suatu metode penentuan status gizi secara tidak langsung dengan
melihat jumlah dan jenis zat gizi yang dikonsumsi.
b. Statistik vital
Adalah dengan cara menganalisis data beberapa statistik kesehatan seperti
angka kematian berdasarkan umur, angka kesakitan dan kematian akibat
penyebab tertentu, dan data lainnya yang berhubungan dengan gizi.
c. Faktor ekologi
Malnutrisi merupakan masalah ekologi sebagai hasil interaksi beberapa faktor
fisik, biologis, dan lingkungan budaya. Jumlah makanan yang tersedia sangat
tergantung dari keadaan ekologi seperti iklim, tanah, irigasi dan lain-lain.
2.3.4 Jenis dan Parameter Status Gizi
Dalam menentukan status gizi harus ada ukuran baku (reference). Baku
antropometri yang sekarang digunakan di Indonesia adalah baku world health
organization–national centre for health statistics (WHO-NCHS) sesuai
rekomendasi pakar gizi dalam pertemuannya di Bogor tahun 2000. Selain itu juga
dapat digunakan baku rujukan yang dibuat oleh departemen kesehatan Republik
Indonesia (Depkes RI). Depkes RI membuat baku rujukan penilaian status gizi
anak balita yang terpisah antara anak laki-laki dan perempuan. Kriteria jenis
kelamin inilah yang membedakan baku WHO-NCHS dengan baku Harvard.
Antropometri untuk penilaian status gizi berdasarkan parameter:
a. Umur
Umur sangat memegang peranan dalam penentuan status gizi, kesalahan
penentuan akan menyebabkan interpretasi status gizi yang salah. Hasil
penimbangan berat badan maupun tinggi badan yang akurat, menjadi tidak berarti
bila tidak disertai dengan penentuan umur yang tepat. Kesalahan yang sering
muncul adalah adanya kecenderungan untuk memilih angka yang mudah seperti 1
9
tahun; 1.5 tahun; 2 tahun. Oleh sebab itu penentuan umur anak perlu dihitung
dengan cermat. Ketentuannya adalah 1 tahun adalah 12 bulan, 1 bulan adalah 30
hari. Jadi perhitungan umur adalah dalam bulan penuh, artinya sisa umur dalam
hari tidak diperhitungkan (Depkes RI 2004).
Rumus antropometri anak (Soetjiningsih 1998) yang berhubungan dengan umur
dapat dilihat pada Tabel 2.1.
Tabel 2.1 Antropometri anak berdasarkan berat badan dan tinggi badan.
Kategori Umur
1-6 bulan
7-12 bulan
1-6 tahun
1 tahun
2-12 tahun
Berat Badan
BBL (g) + (usia x 600 g)
Tinggi Badan
-
BBL (g) + (usia x 500 g) atau
(usia / 2) + 3
2n + 8
-
1.5 x panjang badan lahir
umur (tahun) x 6 + 77
Kriteria status gizi berdasarkan pengukuran tersebut dibandingkan dengan
WHO – NCHS dapat dilihat pada Tabel 2.2
Tabel 2.2 Kriteria status gizi dibandingkan standar WHO – NCHS.
Parameter
Pengukuran
BB/U
Gizi Baik
>80%
Gizi Kurang
Gizi Buruk
61% - 80%
≤60%
b. Berat Badan
Berat badan merupakan salah satu ukuran yang memberikan gambaran
massa jaringan, termasuk cairan tubuh. Berat badan merupakan pengukuran yang
terpenting pada bayi baru lahir. Hal ini digunakan untuk menentukan apakah bayi
termasuk normal atau tidak (Supariasa et al 2001).
Berat badan merupakan hasil peningkatan atau penurunan semua jaringan
yang ada pada tubuh antara tulang, otot, lemak, dan cairan tubuh. Parameter ini
yang paling baik untuk melihat perubahan yang terjadi dalam waktu singkat
karena konsumsi makanan dan kondisi kesehatan (Soetjiningsih 1998).
Penentuan berat badan dilakukan dengan cara menimbang. Alat yang
digunakan sebaiknya memenuhi persyaratan sebagai berikut: (1) Mudah
digunakan dan dibawa dari satu tempat ke tempat lain; (2) Mudah diperoleh dan
relatif murah harganya; (3) Ketelitian penimbangan maksimum 0.1 kg; (4)
Skalanya mudah dibaca; dan (5) Aman untuk menimbang balita. Berat badan ini
dinyatakan dalam bentuk indeks BB/U (Berat Badan menurut Umur) atau
melakukan penilaian dengan melihat perubahan berat badan pada saat pengukuran
dilakukan, yang dalam penggunaannya memberikan gambaran keadaan kini. Berat
badan paling banyak digunakan karena hanya memerlukan satu pengukuran,
hanya saja tergantung pada ketetapan umur, tetapi kurang dapat menggambarkan
10
kecenderungan perubahan situasi gizi dari waktu ke waktu (Djumadias Abunain
1990) dalam Atmarita et al (2009).
Pengukuran berat badan juga dapat digunakan sebagai dasar perhitungan
dosis dan makanan yang diperlukan dalam tindakan pengobatan. Berat badan
dipetakan pada kurva berat badan menurut umur dan interpretasi dapat dilihat
pada Tabel 2.3.
Tabel 2.3 Interpretasi BB/U yang dipetakan pada kurva berat badan.
Parameter Pengukuran
Berat badan
Defisit
Kelebihan
<sentil ke-10
>sentil ke-90
BB/U dibandingkan acuan standar dapat dinyatakan dalam persentase dalam
menentukan status gizi, interpretasi nya dapat dilihat pada Tabel 2.4.
Tabel 2.4 Interpretasi status gizi dinyatakan dalam nilai persentase BB/U.
Status Gizi
Gizi Lebih
Gizi Baik
Gizi Kurang tanpa edema
Gizi Buruk dengan edema (kwashiorkor)
Marasmus tanpa edema
Marasmus kwashiorkor dengan edema
Nilai Persentase BB/U
>120%
80% - 120%
60% - 80%
60% - 80%
<60%
<60%
Perubahan berat badan (berkurang atau bertambah) perlu mendapat
perhatian karena merupakan petunjuk adanya masalah nutrisi akut. Kehilangan
BB dihitung sebagai berikut (BB saat ini/BB semula) x 100%. Interpretasi nya
dapat dilihat pada Tabel 2.5.
Tabel 2.5 Interpretasi persentase kehilangan berat badan.
Parameter Pengukuran
Ringan
Sedang
Berat
Kehilangan berat badan
5% - 15%
16% - 25%
16% - 25%
c. Lingkar Lengan Atas (LILA)
Pengukuran ini mencerminkan tumbuh kembang jaringan lemak dan otot
yang tidak terpengaruh banyak oleh keadaan cairan tubuh dibandingkan berat
badan. Pada anak umur 1-5 tahun, LILA saja sudah dapat menunjukan status gizi.
Alat yang digunakan adalah pita ukur yang terbuat dari fiberglass, atau jenis
kertas tertentu berlapis plastik. Pengukuran dilakukan pada lengan yang tidak aktif
pada pertengahan bahu dan siku. Pada orang normal (tidak kidal) dilakukan pada
11
tangan kiri, sedangkan pada anak yang kidal dilakukan pengukuran pada lengan
kanan. Interpretasi nya dapat dilihat pada Tabel 2.6.
Tabel 2.6 Kriteria status gizi berdasarkan nilai LILA.
Parameter
Pengukuran
LILA
Gizi Baik
>13.5 cm
Gizi Kurang
Gizi Buruk
12.5 – 13.5 cm
<12.5 cm
Gambar 2.1 menyajikan kecenderungan prevalensi status gizi anak balita
menurut ketiga indeks BB/U, TB/U, dan BB/TB. Terlihat prevalensi gizi buruk
dan gizi kurang meningkat dari tahun 2007 ke tahun 2013. Prevalensi sangat
pendek turun 0.8 persen dari tahun 2007, tetapi prevalensi pendek naik 1.2 persen
dari tahun 2007. Prevalensi sangat kurus turun 0.9 persen tahun 2007. Prevalensi
kurus turun 0.6 persen dari tahun 2007. Prevalensi gemuk turun 2.1 persen dari
tahun 2010 dan turun 0.3 persen dari tahun 2007 (Riskesdas 2013).
Gambar 2.1 Kecenderungan prevalensi status gizi pada balita Indonesia 2007,
2010 dan 2013
Gambar 2.2 menyajikan kecenderungan prevalensi status gizi gabungan
indikator TB/U dan BB/TB secara nasional. Berdasarkan Riskesdas 2007, 2010,
dan 2013 terlihat adanya kecenderungan bertambahnya prevalensi anak balita
pendek-kurus, bertambahnya anak balita pendek-normal (2.1%) dan normalgemuk (0.3%) dari tahun 2010. Sebaliknya, ada kecenderungan penurunan
prevalensi pendek-gemuk (0.8%), normal-kurus (1.5%) dan normal-normal (0.5
%) dari tahun 2010 (Riskesdas 2013).
Data baku WHO-NCHS indeks BB/U, TB/U, dan BB/TB disajikan dalam
dua versi, yakni persentil dan skor simpang baku (standart deviation score = z).
Gizi anak di negara-negara yang populasinya relatif baik, sebaiknya digunakan
persentil, sedangkan di negara untuk anak yang populasinya relatif kurang, lebih
12
Gambar 2.2 Kecenderungan prevalensi status gizi balita menurut gabungan
indikator TB/U dan BB/TB di Indonesia 2007, 2010, dan 2013.
baik menggunakan skor simpang baku (SSB) sebagai persen terhadap baku
rujukan (Depkes RI 2004).
13
3 BAHAN DAN METODE
3.1 Desain Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan pendekatan kuantitatif. Desain penelitian
yang digunakan adalah desain studi deskriptif cross sectional, yaitu suatu
penelitian di mana variabel-variabel yang termasuk efek diobservasi sekaligus
dalam waktu yang bersamaan (Notoatmodjo, 2002). Penelitian dilakukan melalui
wawancara terstruktur menggunakan kuesioner dan lembar food recall 1x24 jam
untuk melihat karakteristik dan gambaran pola pemberian makan dan asupan
makanan pada balita usia 24-59 bulan di posyandu Kelapa Gading dan Sukapura
tahun 2015. Data antropometri diperoleh dengan melakukan pengukuran yang
meliputi pengukuran berat badan, tinggi badan, dan lingkar lengan bagian atas
dari balita yang dimiliki oleh responden.
Wawancara dilakukan oleh peneliti dan dibantu oleh asisten peneliti
(enumerator). Validasi pertanyaan pada kuesioner dan pelatihan enumerator
dilakukan terlebih dahulu sebelum melakukan pengambilan data pada balita usia
24-59 bulan di posyandu Kelapa Gading dan Sukapura tahun 2015.
3.2 Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilakukan pada bulan Mei sampai dengan Juni 2015 di
posyandu Sukapura dan Kelapa Gading, Jakarta Utara. Pemilihan dua posyandu
ini berdasarkan data demografi yang diperoleh dari masing-masing puskesmas
yang mewakili dua wilayah dengan latar belakang ekonomi yang berbeda.
Posyandu Sukapura dipilih untuk mewakili wilayah dengan kondisi sosial
ekonomi menengah ke bawah, merupakan wilayah perumahan yang padat
penduduk dan terdapat banyak industri garmen di sekitar perumahan warga.
Posyandu Kelapa Gading dipilih untuk mewakili wilayah dengan kondisi sosial
ekonomi menengah ke atas, merupakan wilayah perumahan kompleks tentara
nasional Indonesia (TNI) angkatan laut (AL) dan posyandu ini merupakan salah
satu posyandu berprestasi yang ada di wilayah Kelapa Gading.
3.3 Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan adalah: kuesioner, grafik pertumbuhan menurut
WHO, dan KMS balita. Alat yang digunakan adalah: timbangan berat badan
merek SMIC ZT 120 dengan kapasitas maksimal 120 kilogram, pengukur tinggi
badan merek SMIC ZT 120 dengan maksimal tinggi 190 cm, dan pita ukur LILA
dari bahan fiberglass.
Data yang dikumpulkan meliputi: data primer dan sekunder. Data primer
diperoleh melalui metode kuesioner dan wawancara. Data primer yang
dikumpulkan meliputi identitas responden (nama balita, umur, jenis kelamin,
alamat), pengetahuan gizi ibu, pola asuh kesehatan anak balita, pola asuh diri anak
balita, dan data food recall 1x24 jam. Data antropometri diperoleh dengan
melakukan pengukuran yang meliputi pengukuran berat badan, tinggi badan, dan
lingkar lengan bagian atas dari balita yang dimiliki oleh responden. Data sekunder
14
diperoleh dari data KMS yang tersedia di posyandu untuk mendapatkan informasi
apakah balita selalu mengikuti kegiatan posyandu mulai awal sampai dengan
waktu sebelum dilaksanakannya penelitian. Data sekunder ini akan menjadi faktor
inklusi dalam penelitian yang dapat membatasi data balita yang diperoleh akan
dianalisis lebih lanjut atau tidak berdasarkan kelengkapan data KMS.
3.4 Prosedur Penelitian
Prosedur pengumpulan data pada penelitian ini dimulai dengan pembuatan
surat izin persetujuan pengambilan data awal dari Program Studi MPTP IPB.
Populasi dalam penelitian ini adalah anak balita dan ibunya dari keluarga yang
berdomisili di posyandu wilayah Sukapura dan posyandu di wilayah Kelapa
Gading, Jakarta Utara. Dua posyandu ini dipilih untuk mewakili dua keadaan
dengan status sosial ekonomi yang berbeda. Metode yang digunakan untuk
menentukan jumlah sampel adalah menggunakan rumus Slovin (Sevilla et al
2007) sebagai berikut:
n=
N
1 + N e2
dimana
n: jumlah sampel
N: jumlah populasi
e: batas toleransi kesalahan (error tolerance)
Jumlah balita yang berusia 24-59 bulan dari posyandu Kelapa Gading
berjumlah 36 balita, jika menggunakan rumus Slovin maka diperoleh jumlah
responden minimal 32 balita. Jumlah balita yang berusia 24-59 bulan dari
posyandu Sukapura berjumlah 77 balita, jika menggunakan rumus Slovin maka
diperoleh jumlah responden minimal 65 balita. Terdapat perbedaan jumlah
responden antara posyandu Kelapa Gading dan Sukapura, karena pada posyandu
Kelapa Gading secara keseluruhan, tidak semua balita datang ke posyandu untuk
mengikuti kegiatan penimbangan rutin setiap bulan. Warga yang berada di sekitar
posyandu Kelapa Gading banyak yang membawa balitanya ke dokter pribadi atau
rumah sakit untuk pemeriksaan rutin setiap bulannya sehingga meskipun yang
terdaftar di posyandu jumlah balitanya banyak, tetapi yang datang untuk
penimbangan ke posyandu jumlahnya sedikit. Warga yang berada di sekitar
posyandu Sukapura banyak yang membawa balitanya ke posyandu untuk
pemeriksaan rutin setiap bulannya. Warga sangat memanfaatkan fasilitas yang
diberikan oleh pemerintah karena harga pemeriksaan yang murah dan pelaksanaan
posyandu berada dekat dengan wilayah tempat tinggal warga, sehingga jumlah
balita antara yang terdaftar dengan yang datang ke posyandu saat penimbangan,
sama jumlahnya. Oleh karena itu jumlah responden yang ditetapkan adalah
mengikuti jumlah responden minimal yang berasal dari posyandu Kelapa Gading,
yaitu sejumlah 35 responden.
Prosedur pengambilan data meliputi: peneliti menjelaskan tujuan dari
penelitian kemudian dilakukan penimbangan berat badan, pengukuran tinggi
badan, dan pengukuran lingkar lengan bagian atas dari balita. Setelah itu ibu dari
15
balita diminta untuk mengisi atau menjawab setiap pertanyaan yang terdapat
dalam lembar kuesioner serta dilakukan wawancara dengan ibu dari balita untuk
memperoleh data food recall 1x24 jam dari balita.
3.5 Rancangan Percobaan
Analisis data dilakukan secara deskriptif. Pengolahan statistik deskriptif
untuk memperoleh gambaran tentang karakteristik keluarga, tingkat kecukupan
zat gizi, dan status gizi anak balita berdasarkan BB/U. Untuk menguji hubungan
pengetahuan gizi ibu, biaya pengeluaran pangan, pendidikan ibu, pekerjaan ibu,
tingkat kecukupan zat gizi terhadap status gizi anak balita dipergunakan uji
korelasi Chi-square pada selang kepercayaan 95%. Untuk mengetahui faktorfaktor apa saja yang berpengaruh terhadap status gizi anak balita dipergunakan
analisis regresi logistik menggunakan program statistical package for social
science (SPSS).
Faktor yang menjadi variabel independen terdiri dari lima variabel yaitu
tingkat pengetahuan gizi ibu, biaya pengeluaran pangan, tingkat kecukupan zat
gizi, pendidikan ibu dan pekerjaan ibu. Faktor dependen dalam analisis ini adalah
status gizi berdasarkan antropometri BB/U balita.
3.6 Pengumpulan Data
Data yang dikumpulkan dari penelitian ini berupa:
1. Konsumsi pangan melalui food recall 24 jam sebanyak dua kali ulangan.
Ulangan pertama dilakukan pada saat akhir pekan (weekend) dan ulangan
kedua dilakukan pada saat hari biasa (weekdays). Hal ini dilakukan untuk
mengetahui rata-rata asupan zat gizi balita.
2. Data antropometri anak balita yang meliputi berat badan, tinggi badan, dan
lingkar lengan atas balita.
3.7 Pengolahan Data
Pengolahan data dilakukan secara bertahap mulai dari data terkumpul di
lapangan sampai siap untuk dianalisis. Terhadap data dari hasil pengumpulan di
lapangan dilakukan tahap pengkodean (coding) dengan memberikan kode
terhadap jawaban yang ada pada kuesioner yang bertujuan untuk mempermudah
analisis data dan mempercepat proses entry data. Tahap pengeditan (editing), yaitu
memastikan semua pertanyaan telah dijawab oleh responden. Apabila ada data
yang salah atau meragukan maka dapat ditelusuri kepada responden yang
bersangkutan. Tahap pemasukan data ke dalam komputer (entry data), data
dimasukkan ke dalam program yang digunakan untuk mengolah data
menggunakan komputer dan perangkat lunak yang sesuai. Tahap pembersihan
data (cleaning) dengan cara melihat distribusi dan frekuensi setiap peubah.
Apabila ada kesalahan memasukkan data ke dalam komputer, dilakukan
pengecekan ulang pada kuesioner.
16
4 HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian
Posyandu Kelapa Gading dan posyandu Sukapura berada di wilayah Jakarta
Utara.
4.1.1 Keadaan Geografis
Posyandu Kelapa Gading dan posyandu Sukapura berada di wilayah kerja
Suku Dinas Kesehatan (Sudinkes) Jakarta Utara. Batas wilayah untuk posyandu
Kelapa Gading yaitu, Utara: Kali Pertamina Kelurahan Rawa Badak dan
Kelurahan Tugu Selatan, Selatan: Jalan Perintis Kemerdekaan mulai Perempatan
Coca Cola sampai dengan Jalan Dolog atau PT. Goro, Timur: Jalan Dolog Jaya –
Jalan Pelepah Raya – Jalan Boulevard Utara Tersusun, Kelurahan Kelapa Gading
Timur – Kelurahan Pegangsaan Dua, Barat: Jalan Yos Sudarso mulai Perempatan
Coca Cola sampai dengan Jembatan Pertamina. Komposisi luas wilayah tersebut
terdiri dari perumahan penduduk, mall, ruko, perkantoran, pergudangan, dan
apartemen.
Batas wilayah untuk Posyandu Sukapura yaitu, Utara: Laut Jawa, Selatan:
Kecamatan Cakung, Timur: Kota administrasi Bekasi, Barat: Kecamatan Koja dan
Kecamatan Kelapa Gading. Komposisi luas wilayah tersebut terdiri dari
perumahan padat penduduk, pasar, ruko, pergudangan, dan pabrik garmen.
Keadaan geografis posyandu kelapa gading dan posyandu sukapura dapat dilihat
pada Gambar 4.1.
Gambar 4.1 Keadaan geografis posyandu kelapa gading dan posyandu
sukapura.
17
4.1.2 Keadaan Demografi
Kelurahan Kelapa Gading Barat terbagi dalam 22 Rukun Warga (RW) dari 22
RW tersebut enam RW merupakan komplek perumahan TNI AL, sepuluh RW
merupakan komplek perumahan real estate, tiga RW merupakan apartemen, dan tiga
RW merupakan perumahan perkampungan yang ada disepanjang Jalan Inspeksi Kali
Sunter dan Jalan Rawa Sengon. Kelurahan Sukapura terbagi dalam 19 Rukun Warga
(RW) dari 19 RW tersebut tujuh RW merupakan komplek perumahan sederhana,
empat RW merupakan komplek perumahan real estate dan delapan RW merupakan
perumahan perkampungan yang ada disepanjang Jalan Tipar Cakung dan Pegangsaan.
Penduduk di wilayah Kelurahan Kelapa Gading Barat, Kecamatan Kelapa
Gading, Kota Madya (Kodya) Jakarta Utara berjumlah 39,056 jiwa. Penduduk di
wilayah Kelurahan Sukapura Kecamatan Cilincing, Kodya Jakarta Utara berjumlah
56,140 jiwa (Dinas Kependudukan Jakarta Utara 2015).
4.2 Karakteristik Demografi
4.2.1 Usia dan Jenis Kelamin Balita
Penilaian hasil pengukuran antropometri dapat berupa usia, berat badan,
panjang badan jika usia kurang dari dua tahun atau tinggi badan jika usia dua
tahun atau lebih, serta lingkar lengan atas (LILA). Usia dalam bulan ditentukan
dari tanggal lahir dan tanggal pengukuran antropometri. Dilakukan pembulatan ke
atas bila lebih dari 15 hari dan demikian sebaliknya. Usia yang digunakan adalah
menggunakan perhitungan bulan penuh sehingga keakuratan usia balita sangat
diperlukan saat pengumpulan data. Umur sangat memegang peranan dalam
penentuan status gizi, kesalahan penentuan akan menyebabkan interpretasi status
gizi yang salah (Depkes RI 2004).
Umur merupakan salah satu faktor yang penting untuk menentukan jumlah
asupan yang dapat dikonsumsi balita, sehingga makanan yang dikonsumsi balita
akan sesuai menurut umurnya, tidak kekurangan dan kelebihan, karena apabila
balita mengonsumsi makanan kurang dari jumlah yang seharusnya secara
kumulatif, balita tersebut bisa menjadi terlalu kurus atau bahkan sampai
mengalami kurang energi protein (KEP), sementara apabila terlalu berlebihan,
balita akan menjadi kegemukan bahkan ada yang sampai obesitas. Semakin
bertambah umur, kebutuhan zat gizi seseorang relatif lebih rendah untuk tiap
kilogram berat badannya. Kebutuhan energi bayi atau balita 100-120 kkal/kg berat
badan, sedangkan pada orang dewasa 40-50 kkal/kg berat badan. Hal ini
dikarenakan pada usia balita terjadi pertumbuhan dan perkembangan sangat pesat
(Depkes RI 2003).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa jumlah usia balita pada kedua wilayah
posyandu adalah sama, balita yang berusia 24-36 bulan berjumlah 15 balita
dengan jumlah persentase sebesar 50% sedangkan untuk balita yang berusia 37-59
bulan berjumlah 20 balita dengan jumlah persentase sebesar 50%. Jumlah jenis
kelamin balita pada kedua wilayah posyandu adalah sama, balita laki-laki
berjumlah 20 balita dengan jumlah persentase sebesar 50% sedangkan untuk
balita perempuan berjumlah 15 balita dengan jumlah persentase sebesar 50%.
Data ditunjukkan pada Gambar 4.2, Gambar 4.3 dan Tabel 4.1.
18
Gambar 4.2 Profil balita menurut usia.
Gambar 4.3 Profil balita menurut jenis kelamin.
Kebutuhan zat gizi berbeda antara laki-laki dan perempuan (Depkes 2002).
Perbedaan ini disebabkan oleh komposisi tubuh dan jenis aktivitas. Anak laki-laki
umumnya lebih aktif dibandingkan dengan anak perempuan sehingga kebutuhan
zat gizinya lebih banyak. Kejadian gizi buruk lebih rentan diderita oleh balita
perempuan dengan rentang usia 25-36 bulan, meskipun berat badan lahir normal
dan berada pada urutan kelahiran pertama atau kedua pada Wilayah Kerja
Puskesmas Rangkah Kota Surabaya (Rusjayanti dan Siti 2009). Pada saat anak
berusia 2-3 tahun, perhatian ibu kepada anak biasanya mulai berkurang. Hal itu
menyebabkan gangguan psikis pada anak dan hilangnya nafsu makan sehingga
memperburuk status gizi balita (Pratiwi 2007). Pada usia ini, pertumbuhan anak
semakin memburuk, bahkan tidak jarang berat badan tetap atau menurun.
Penyebabnya adalah kurang asupan protein dan karbohidrat, selain itu
pertumbuhan sudah jarang dipantau. Keadaan ini diperparah dengan seringnya
menderita sakit infeksi seperti diare dan infeksi saluran pernafasan atas (ISPA)
(Adi, 2001).
19
Hasil survei di wilayah Lembata NTT oleh PLAN Indonesia tahun 2006
menemukan prevalensi underweight pada anak perempuan 52.4% hampir sama
dengan prevalensi pada anak laki-laki 52.1%. Selain itu, hasil analisis data susenas
menunjukkan bahwa status gizi anak perempuan secara umum lebih baik dari
status gizi anak laki-laki. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa balita gizi
kurang lebih banyak terdapat pada balita laki-laki dibandingkan balita perempuan.
Jumlah balita laki-laki yang mengalami gizi kurang sebanyak tujuh balita dan
jumlah balita perempuan yang mengalami gizi kurang sebanyak dua balita. Hal ini
menunjukkan bahwa jenis kelamin tidak berhubungan dengan kejadian gizi buruk,
karena gizi buruk memiliki kecenderungan dapat dialami balita laki-laki dan
perempuan (Sihadi 2006). Kecenderungan memburuknya status gizi anak lebih
dikarenakan buruknya kualitas dan kuantitas makanan serta kemungkinan
eksposur terhadap lingkungan yang lebih tinggi intensitasnya yang
memungkinkan anak mudah tertular penyakit infeksi, terlebih kondisi lingkungan
yang buruk (PLAN Indonesia 2006).
4.2.2 Karakteristik Keluarga menurut Pendidikan Ibu, Pekerjaan Ibu,
Tingkat Pengetahuan Gizi Ibu dan Biaya Pengeluaran Pangan
Pembagian tingkat pendidikan menurut Depdiknas (2003), digolongkan
menjadi dua tingkatan. Dikatakan memiliki tingkat pendidikan tinggi, jika
seseorang tamat SLTA/MA, diploma atau perguruan tinggi. Dikatakan memiliki
tingkat pendidikan rendah, jika seseorang tidak pernah sekolah atau tidak tamat
SD/MI, dan tamat SLTP/MTs. Tingkat pendidikan ibu pada wilayah Posyandu
Kelapa Gading didominasi oleh tingkat pendidikan tinggi yaitu berjumlah 33 ibu
(73.3%) dan tingkat pendidikan rendah sebanyak dua ibu (8%). Tingkat
pendidikan ibu pada wilayah Posyandu Sukapura didominasi oleh tingkat
pendidikan rendah yang berjumlah 23 ibu (92%) dan tingkat pendidikan tinggi
yang berjumlah 12 ibu (26.7%). Tingkat pendidikan ibu disajikan pada Gambar
4.4 dan Tabel 4.1.
Gambar 4.4 Profil ibu dari responden menurut pendidikan.
20
Tingkat pendidikan, khususnya tingkat pendidikan wanita mempengaruhi
derajat kesehatannya (WNPG 2004). Seseorang dengan tingkat pendidikan rendah
belum tentu kurang mampu menyusun makanan yang memenuhi persyaratan gizi
dibandingkan orang lain yang pendidikannya lebih tinggi. Seseorang yang
berpendidikan rendah, apabila rajin mendengarkan atau melihat informasi
mengenai gizi, bukan mustahil pengetahuan gizinya akan lebih baik.
Faktor pendidikan akan mempengaruhi tingkat pengetahuan orangtua
terhadap masalah gizi. Secara teori, pendidikan yang rendah identik dengan
pengetahuan gizi yang rendah. Rendahnya pendidikan juga berhubungan dengan
tingkat ekonomi yang rendah karena terbatasnya kesempatan kerja. Dampak dari
ekonomi yang rendah dan pengetahuan gizi yang kurang menyebabkan ibu tidak
dapat memilih makanan yang dapat memenuhi kecukupan gizi balita (Wigati
2008).
Status pekerjaan ibu dari kedua wilayah posyandu didominasi oleh ibu yang
tidak bekerja. Wilayah posyandu Kelapa Gading untuk ibu rumah tangga (tidak
bekerja) berjumlah 31 ibu (50.8%) dan yang bekerja berjumlah empat ibu
(44.4%). Wilayah posyandu Sukapura untuk ibu rumah tangga (tidak bekerja)
berjumlah 30 ibu (49.2%) dan yang bekerja berjumlah lima ibu (55.6%).
Pekerjaan ibu disajikan pada Gambar 4.5 dan Tabel 4.1.
Gambar 4.5 Profil ibu dari responden menurut pekerjaan.
Menurut Aditianti (2010), status pekerjaan orang tua mempengaruhi pola
pengasuhan. Pada orang tua yang bekerja, khususnya ibu, dapat menyebabkan
alokasi waktu untuk anak lebih sedikit dibandingkan ibu yang tidak bekerja. Ibu
yang bekerja di luar rumah dapat menyebabkan anak tidak terawat, sebab anak
balita sangat bergantung pada pengasuhannya atau anggota keluarga yang lain.
Selain itu, ibu yang bekerja di luar rumah cenderung memiliki waktu yang lebih
terbatas untuk melaksanakan tugas rumah tangga dibandingkan ibu yang tidak
bekerja, oleh karena itu pola pengasuhan anak akan berpengaruh dan pada
akhirnya pertumbuhan dan perkembangan anak juga akan terganggu.
Untuk mengetahui pengetahuan gizi ibu digunakan wawancara terstruktur
yang berisi pertanyaan untuk mengidentifikasi pengetahuan ibu tentang gizi pada
21
balita, kemudian diberi skor masing-masing jawaban yang dipilih oleh responden,
diberi nilai satu bila jawaban benar dan nilai nol bila jawaban salah. Jawaban
dinyatakan benar bila sesuai teori dan sebaliknya. Data yang diperoleh dari
responden ditabulasi yang kemudian disajikan dalam bentuk grafik distribusi
kategori jumlah pertanyaan benar. Untuk mengukur tingkat pengetahuan gizi
digunakan rumus prosentase sebagai berikut :
P=
X
×100%
n
Keterangan:
P = prosentase
X = jumlah jawaban yang benar
n = nilai maksimum
Dari hasil perhitungan data yang bersifat kuantitatif untuk aspek pengetahuan
dimasukkan ke dalam standar objektif sebagai berikut: Cukup : > 75% dan
Kurang : ≤ 75%.
Pengetahuan orang tua terutama ibu, tentang gizi sangat berpengaruh
terhadap tingkat kecukupan gizi yang diperoleh oleh balita. Pengetahuan tentang
gizi yang penting diketahui oleh ibu adalah berkaitan dengan kandungan
makanan, cara pengolahan makanan, kebersihan makanan dan lain-lain. Orang tua
perlu memahami pengetahuan tentang gizi, terutama yang berkaitan dengan zatzat yang dikandung dalam makanan, cara mengolah makanan, menjaga kebersihan
makanan, waktu pemberian makan dan lain-lain, sehingga pengetahuan yang baik
akan membantu ibu atau orangtua dalam menentukan pilihan kualitas dan
kuantitas makanan (Fatimah et al 2008). Tingkat pengetahuan gizi ibu disajikan
pada Gambar 4.6.
Gambar 4.6 Profil ibu dari responden menurut tingkat pengetahuan gizi.
22
Pengetahuan gizi ibu di wilayah posyandu Kelapa Gading didominasi oleh
nilai cukup yang berjumlah 34 ibu (55.7%) dan nilai kurang berjumlah satu ibu
(11.1%). Pengetahuan gizi ibu pada wilayah posyandu Sukapura yang
mendapatkan nilai cukup berjumlah 27 ibu (44.3%) dan nilai kurang berjumlah
delapan ibu (88.9%). Data dapat dilihat pada Tabel 4.1.
Biaya pengeluaran untuk makanan merupakan kejadian yang dapat
menggambarkan keadaan ekonomi suatu keluarga. Keluarga ekonomi rendah akan
cenderung membelanjakan penghasilan keluarga untuk memenuhi kebutuhan
dasar yaitu makanan. Makanan yang lebih banyak dibeli yaitu makanan berpati
sedangkan untuk makanan sumber protein adalah terutama protein hewani. Hal ini
akan menghubungkan tidak terpenuhinya kebutuhan gizi anak terutama kebutuhan
protein sehingga akan mempengaruhi kesehatan dan status gizi anak. Status gizi
anak dan kurangnya asupan protein akan menyebabkan anak menjadi sulit tumbuh
dan berkembang. Keadaan ini diperparah apabila tidak mempunyai alokasi dana
sehingga kejadian ini akan memperparah kondisi kesehatan, status gizi, dan
tumbuh kembang anak (Santi 2011). Biaya pengeluaran pangan disajikan pada
Gambar 4.7.
Gambar 4.7 Profil keluarga dari responden menurut biaya pengeluaran pangan.
Biaya pengeluaran pangan di wilayah posyandu Kelapa Gading yang
memiliki biaya pengeluaran tinggi berjumlah tujuh keluarga (87.5%) dan biaya
pengeluaran rendah berjumlah 28 keluarga (45.2%). Biaya pengeluaran pangan di
wilayah posyandu Sukapura yang memiliki biaya pengeluaran tinggi berjumlah
satu keluarga (12.5%) dan biaya pengeluaran rendah berjumlah 34 keluarga
(54.8%). Data dapat dilihat pada Tabel 4.1.
23
Tabel 4.1 Karakteristik keluarga menurut jenis kelamin balita, usia balita,
pendidikan ibu, pekerjaan ibu, tingkat pengetahuan gizi ibu dan biaya
pengeluaran pangan.
Posyandu
Posyandu
Kelapa Gading
Sukapura
Variabel
jumlah
jumlah
responden
%
responden
%
(n)
(n)
Jenis Kelamin Balita
Laki-laki
20
50
20
50
Perempuan
15
50
15
50
Usia Balita
24-36 bulan
15
50
15
50
37-59 bulan
20
50
20
50
Pendidikan Ibu
Rendah
2
8
23
92
Tinggi
33
73.3
12
26.7
Pekerjaan Ibu
Bekerja
4
44.4
5
55.6
Tidak Bekerja
31
50.8
30
49.2
Tingkat Pengetahuan Gizi Ibu
Kurang
1
11.1
8
88.9
Cukup
34
55.7
27
44.3
Biaya Pengeluaran Pangan
Rendah
28
45.2
34
54.8
Tinggi
7
87.5
1
12.5
4.2.3 Tingkat Kecukupan Zat Gizi Anak Balita
Pola makan berhubungan dengan pengaturan makanan yang seimbang
dengan asupan gizi yang dibutuhkan. Gizi yang dibutuhkan tubuh dihasilkan dari
zat gizi untuk menjaga kesehatan. Dengan demikian pola makan yang sehat
berhubungan dengan aneka ragam makanan yang dapat memenuhi zat gizi yang
diperlukan sesuai dengan usia. Kelebihan atau kekurangan gizi akan
menyebabkan masalah pada status gizi pada balita dan anak. Ada dua pendekatan
yang bisa digunakan sebagai indikator untuk mengukur pola makan balita, yaitu
indikator hasil penelitian sebelumnya atau indikator yang sudah ditetapkan oleh
WHO/UNICEF. Pola makan balita dapat dilihat dari dua aspek, yaitu kualitatif
dan kuantitatif. Indikator yang bisa digunakan untuk metode kualitatif adalah
frekuensi makan dan jenis makanan, sedangkan pada metode kuantitatif adalah
jumlah zat gizi makanan yang dikonsumsi.
Tingkat kecukupan zat gizi anak balita dihitung dari konsumsi zat gizi yang
diperoleh berdasarkan perhitungan konsumsi pangan balita (metode recall 1x24
jam) dengan ulangan sebanyak dua kali. Selanjutnya hasil perhitungan konsumsi
pangan tersebut dikonversi ke dalam nilai energi, protein, lemak, karbohidrat,
24
besi, kalsium, fosfor, vitamin A, vitamin C, dan vitamin D dengan menggunakan
program software Nutrisurvey dan daftar komposisi bahan makanan (DKBM).
Selanjutnya dihitung nilai rata-rata tingkat kecukupan zat gizi dibandingkan
dengan AKG sesuai dengan usia balita. Hasil uji beda rerata asupan zat gizi balita
usia 24-59 bulan di posyandu Jakarta Utara dapat dilihat pada Tabel 4.2.
Tabel 4.2 Hasil uji beda rerata asupan zat gizi balita usia 24-59 bulan di
posyandu Jakarta Utara.
Zat Gizi
Energi
Protein
Lemak
Karbohidrat
Besi
Kalsium
Fosfor
Vitamin A
Vitamin C
Vitamin D
Satuan
kkal
g
g
g
mg
mg
mg
mcg RE
mg
mcg
Posyandu
Kelapa Gading
1169 ± 12
45.9 ± 1.6
41.1 ± 0.8
153.3 ± 3.6
9.5 ± 0.9
603 ± 30.6
715.7 ± 26.1
599.7 ± 111.5
40.5 ± 6.5
5.9 ± 1.1
Posyandu
Sukapura
1208 ± 62.7
43.6 ± 2.1
43.1 ± 4.3
159.6 ± 3.5
5.7 ± 1
457.7 ± 115.3
605 ± 98.9
415.9 ± 32.3
20.7 ± 3.7
2.8 ± 1.2
Signifikansi
0.484
0.342
0.574
0.222
0.056
0.227
0.266
0.154
0.065
0.118
Kategori untuk zat gizi energi dikatakan cukup jika memiliki nilai persentase
lebih dari sama dengan 70% dan dikatakan kurang jika memiliki nilai persentase
kurang dari 70%. Kategori untuk zat gizi protein dikatakan cukup jika memiliki
nilai persentase lebih dari sama dengan 80% dan dikatakan kurang jika memiliki
nilai persentase kurang dari 80%. Kategori untuk zat gizi mikro untuk vitamin dan
trace mineral dikatakan memenuhi AKG jika memiliki nilai persentase lebih dari
sama dengan 100% dan dikatakan tidak memenuhi AKG jika memiliki nilai
persentase kurang dari 100%. Distribusi tingkat kecukupan zat gizi menurut
acuan AKG balita usia 24-59 bulan di posyandu Jakarta Utara disajikan pada
Gambar 4.8.
Masalah gizi dibedakan menjadi masalah gizi makro dan masalah gizi
mikro. Masalah gizi makro dapat berbentuk gizi kurang dan gizi lebih, sedangkan
untuk masalah gizi mikro hanya dikenal gizi kurang. Masalah gizi makro,
terutama masalah KEP, merupakan masalah yang mendominasi perhatian dunia.
Kekurangan konsumsi protein mengakibatkan berbagai penyakit. Masalah gizi
makro yang sering disebut KEP adalah salah satu masalah gizi kurang akibat
konsumsi makanan yang tidak cukup mengandung energi dan protein serta karena
gangguan kesehatan. Golongan penduduk yang rawan terhadap kekurangan gizi
termasuk rawan terkena KEP adalah balita, ibu hamil dan ibu menyusui. Beberapa
masalah gizi yang penting antara lain kurang protein, kurang energi atau
kombinasi kurang energi dan protein. Masalah gizi mikro, khususnya masalah
kurang vitamin A, kurang zat iodium, kurang zat besi, dan kurang zat seng
sedangkan masalah gizi lebih, yaitu kelebihan konsumsi energi yang bersumber
dari lemak.
25
Gambar 4.8 Persentase pemenuhan zat gizi pada menu makan balita usia 2459 bulan terhadap AKG di posyandu Jakarta Utara.
a
Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada selang
kepercayaan 95%.
Kecukupan zat gizi menurut AKG di wilayah posyandu Kelapa Gading yang
memiliki nilai energi cukup berjumlah 21 balita (45.7%) dan yang memiliki nilai
energi kurang berjumlah 14 balita (58.3%). Zat gizi protein dengan nilai cukup
berjumlah 31 balita (49.2%) dan protein dengan nilai kurang berjumlah empat
balita (57.1%). Zat gizi besi dengan nilai memenuhi AKG berjumlah 16 balita
(72.7%) dan besi dengan nilai tidak memenuhi AKG berjumlah 19 balita (39.6%).
Zat gizi vitamin A dengan nilai memenuhi AKG berjumlah 18 balita (50%) dan
vitamin A dengan nilai tidak memenuhi AKG berjumlah 17 balita (50%).
Kecukupan zat gizi menurut AKG di wilayah posyandu Sukapura yang
memiliki nilai energi cukup berjumlah 25 balita (54.3%) dan yang memiliki nilai
energi kurang berjumlah 10 balita (41.7%). Zat gizi protein dengan nilai cukup
berjumlah 32 balita (50.8%) dan protein dengan nilai kurang berjumlah tiga balita
(42.9%). Zat gizi besi dengan nilai memenuhi AKG berjumlah enam balita
(27.3%) dan besi dengan nilai tidak memenuhi AKG berjumlah 29 balita (60.4%).
Zat gizi vitamin A dengan nilai memenuhi AKG berjumlah 18 balita (50%) dan
vitamin A dengan nilai tidak memenuhi AKG berjumlah 17 balita (50%). Data
dapat dilihat pada Tabel 4.3.
Asupan makanan merupakan zat gizi yang dikonsumsi oleh tubuh untuk
beraktifitas serta untuk mencapai kesehatan yang optimal. Asupan makanan yang
dilihat dalam penelitian ini adalah asupan energi, protein, lemak, karbohidrat,
besi, kalsium, fosfor, vitamin A, vitamin C, dan vitamin D. Kebutuhan energi total
untuk anak balita diperlukan untuk memenuhi kebutuhan energi basal dan untuk
beraktifitas. Energi yang dibutuhkan berasal dari zat gizi yang dikonsumsi seperti
karbohidrat, protein dan lemak. Dari hasil penelitian diketahui bahwa asupan
energi, protein dan vitamin A masih berada pada nilai rata-rata AKG sedangkan
zat gizi besi (Fe) yang tidak memenuhi AKG menduduki nilai paling besar (lebih
dari 50%) terutama di wilayah posyandu Sukapura yaitu sebesar 82.9%.
26
Tabel 4.3 Persentase balita terhadap tingkat pemenuhan zat gizi balita usia
24-59 bulan di posyandu Jakarta Utara.
Posyandu
Posyandu
Kelapa Gading
Sukapura
Variabel
jumlah
jumlah
responden
%
responden %
(n)
(n)
Rerata AKG Energi
Cukup ( ≥ 70% )
21
60
25
71.4
Kurang ( < 70% )
14
40
10
28.6
Rerata AKG Protein
Cukup ( ≥ 80% )
31
88.6
32
91.4
Kurang ( < 80% )
4
11.4
3
8.6
Rerata AKG Lemak
Memenuhi AKG ( ≥ 100% )
8
22.9
10
28.6
Tidak Memenuhi AKG ( < 100% )
27
77.1
25
71.4
Rerata AKG Karbohidrat
Memenuhi AKG ( ≥ 100% )
10
28.6
8
22.9
Tidak Memenuhi AKG ( < 100% )
25
71.4
27
77.1
Rerata AKG Besi
Memenuhi AKG ( ≥ 100% )
16
45.7
6
17.1
Tidak Memenuhi AKG ( < 100% )
19
54.3
29
82.9
Rerata AKG Kalsium
Memenuhi AKG ( ≥ 100% )
8
22.9
4
11.4
Tidak Memenuhi AKG ( < 100% )
27
77.1
31
88.6
Rerata AKG Phosfor
Memenuhi AKG ( ≥ 100% )
26
74.3
23
65.7
Tidak Memenuhi AKG ( < 100% )
9
25.7
12
34.3
Rerata AKG Vitamin A
Memenuhi AKG ( ≥ 100% )
18
51.4
18
51.4
Tidak Memenuhi AKG ( < 100% )
17
48.6
17
48.6
Rerata AKG Vitamin C
Memenuhi AKG ( ≥ 100% )
9
25.7
4
11.4
Tidak Memenuhi AKG ( < 100% )
26
74.3
31
88.6
Rerata AKG Vitamin D
Memenuhi AKG ( ≥ 100% )
4
11.4
0
0
Tidak Memenuhi AKG ( < 100% )
31
88.6
35
100
Salah satu mikronutrien esensial bagi manusia adalah Fe atau zat besi yang
merupakan mineral mikro yang paling banyak di dalam tubuh yaitu sebanyak 3-5
gram di dalam tubuh (Almatsier, 2004). Sumber zat besi paling utama dan paling
baik adalah pada makanan hewani, seperti daging, ayam, ikan dan makanan hasil
olahan darah. Sumber zat besi yang baik lainnya adalah telur, serealia, kacangkacangan, biji-bijian, sayuran hijau, dan buah-buahan. Disamping jumlah besi,
perlu diperhatikan kualitas besi di dalam makanan yang dimakan dan ketersediaan
biologisnya. Besi dalam serealia dan kacang-kacangan mempunyai ketersediaan
27
biologis sedang, dan besi dalam sebagian besar sayuran, terutama yang
mengandung oksalat tinggi seperti bayam mempunyai ketersediaan biologis
rendah.
Menurut Indonesian Pediatric Society kekurangan zat besi sangat
mempengaruhi fungsi kognitif, tingkah laku, dan pertumbuhan seorang bayi.
Gejala yang paling sering ditemukan adalah pucat yang berlangsung lama (kronis)
dan gejala komplikasi antara lain lemas, mudah lelah, mudah infeksi, gangguan
prestasi belajar, menurunnya daya tahan tubuh terhadap infeksi, dan gangguan
perilaku (Anonim 2015).
Data riset kesehatan dasar (Riskesdas) yang dilakukan pada tahun 2007 dan
2010 secara konsisten menunjukkan bahwa rata-rata asupan kalori dan protein
anak balita masih di bawah AKG. Akibat dari keadaan tersebut, anak balita
perempuan dan anak balita laki-laki Indonesia mempunyai rata-rata tinggi badan
masing-masing 6.7 cm dan 7.3 cm lebih pendek daripada standar rujukan WHO
2005 (Bappenas 2012). Anisa (2012), dalam penelitiannya menunjukkan bahwa
terdapat hubungan yang bermakna antara asupan protein dengan
kejadian stunting.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan Dewi dan Kadek (2014), ada
pengaruh yang bermakna pada konsumsi protein, konsumsi seng dan riwayat
penyakit infeksi terhadap kejadian pendek. Faktor dominan yang mempengaruhi
kejadian pendek di wilayah kerja Puskesmas Nusa Penida III adalah konsumsi
seng (p=0.006 OR=9.94 artinya konsumsi seng mempunyai peluang 9.94 lebih
baik dibandingkan yang tidak mengonsumsi seng terhadap kejadian pendek di
wilayah kerja Puskesmas Nusa Penida III) dan riwayat penyakit infeksi anak
(p=0.025 OR=5.41 artinya riwayat penyakit infeksi anak mempunyai peluang 5.41
untuk mempengaruhi kejadian pendek di wilayah kerja Puskesmas Nusa Penida
III ).
4.2.4 Berat Badan Balita menurut Umur
Status gizi merupakan suatu ukuran keseimbangan antara kebutuhan dan
masukan nutrisi yang diindikasikan oleh variabel tertentu yang diukur melalui
indikator BB/U, TB/U dan IMT/U berdasarkan standar baku WHO-Antropometri
2005 (Kemenkes 2011). Dalam penelitian ini indeks yang digunakan adalah
indeks BB/U dengan nilai rujukan WHO–NCHS sesuai Kepmenkes RI No.
1995/MENKES/SK/XII/2010 tentang standar antropometri penilaian status gizi
anak. Indeks ini digunakan karena keterbatasan waktu penelitian. Berat badan
dapat berkembang lebih cepat atau lebih lambat dari keadaan normal (Supariasa
2002). Berdasarkan karakteristik berat badan ini, maka indeks berat badan
menurut umur digunakan sebagai salah satu cara pengukuran status gizi.
Mengingat karakteristik berat badan yang labil, maka indeks BB/U lebih
menggambarkan status gizi seseorang saat ini (current nutritional status)
(Supariasa 2002). Sementara apabila menggunakan BB/PB–TB memerlukan
waktu yang lama karena pertumbuhan tinggi badan tidak seperti berat badan,
relatif kurang sensitif terhadap masalah kekurangan gizi dalam waktu pendek.
Pengaruh defisiensi zat gizi terhadap tinggi badan akan nampak dalam waktu yang
relatif lama (Supariasa 2002). Distribusi status gizi BB/U balita usia 24-59 bulan
di posyandu Jakarta Utara disajikan pada Gambar 4.9.
28
Gambar 4.9 Profil status gizi BB/U balita usia 24-59 bulan di posyandu
Jakarta Utara.
Berat badan balita menurut umur di wilayah posyandu Kelapa Gading yang
memiliki gizi normal yaitu nilai Z skor lebih dari sama dengan -2 sampai dengan
2 berjumlah 34 balita (97.1%) dan gizi kurang yaitu nilai Z skor kurang dari -2
berjumlah satu balita (2.9%). Berat badan balita menurut umur di wilayah
posyandu Sukapura yang memiliki gizi normal yaitu nilai Z skor lebih dari sama
dengan -2 sampai dengan 2 berjumlah 27 balita (77.1%) dan gizi kurang yaitu
nilai Z skor kurang dari -2 berjumlah delapan balita (22.9%). Jumlah balita yang
memiliki gizi kurang di wilayah posyandu Sukapura lebih banyak dibandingkan
dengan balita yang berada di wilayah posyandu Kelapa Gading. Hasil uji beda
status gizi balita usia 24-59 bulan di posyandu Jakarta Utara dapat dilihat pada
Tabel 4.4.
Tabel 4.4 Hasil uji beda status gizi balita usia 24-59 bulan di posyandu Jakarta
Utara.
Parameter
Status Gizi
BB/U (z score)
LILA/U (z score)
TB/U (z score)
Posyandu
Kelapa Gading
0.2 ± 0
0.4 ± 0.1
-0.1 ± 0
Posyandu
Sukapura
Signifikansi
-0.4 ± 0.1
-0.2 ± 0
-0.9 ± 0
0.002
0.005
0.000
Makanan yang memiliki asupan gizi seimbang sangat penting dalam proses
tumbuh kembang dan kecerdasan anak. Bersamaan dengan pola makan yang baik
dan teratur yang harus diperkenalkan sedini mungkin pada anak, dapat membantu
memenuhi kebutuhan akan pola makan sehat pada anak, seperti variasi makanan
dan pengenalan jam-jam makan yang tepat. Pola makan yang baik harusnya
dibarengi dengan pola gizi seimbang, yaitu pemenuhan zat-zat gizi yang telah
disesuaikan dengan kebutuhan tubuh dan diperoleh melalui makanan sehari-hari.
29
Dengan makan makanan yang bergizi dan seimbang secara teratur, diharapkan
pertumbuhan anak akan berjalan optimal. Nutrisi sangat penting dan berguna
untuk menjaga kesehatan dan mencegah penyakit (Waladow et al 2013). Hal ini
didukung dengan penelitian Dina (2011), bahwa upaya untuk mengatasi masalah
gizi yang sangat penting adalah dengan pengaturan pola makan. Pola makan yang
diterapkan dengan baik dan tepat sangat penting untuk membantu mengatasi
masalah gizi yang sangat penting bagi pertumbuhan balita. Ditambah dengan
asupan gizi yang benar maka status gizi yang baik dapat tercapai.
4.2.5 Lingkar Lengan Atas (LILA) Balita
LILA menggambarkan tumbuh kembang jaringan lemak di bawah kulit dan
otot yang tidak banyak terpengaruh oleh keadaan cairan tubuh dibandingkan
dengan berat badan (BB). LILA lebih sesuai untuk dipakai menilai keadaan gizi
atau tumbuh kembang pada anak kelompok umur prasekolah (1-5 tahun).
Distribusi LILA balita usia 24-59 bulan di posyandu Jakarta Utara disajikan pada
Gambar 4.10.
Gambar 4.10 Profil LILA balita usia 24-59 bulan di posyandu Jakarta Utara.
LILA balita di wilayah posyandu Kelapa Gading yang memiliki gizi baik
yaitu nilai LILA lebih dari 12.5 cm berjumlah 35 balita (100%). LILA balita di
wilayah posyandu Sukapura yang memiliki gizi kurang yaitu nilai LILA kurang
dari sama dengan 12.5 cm berjumlah dua balita (5.7%), dan gizi baik yaitu nilai
LILA lebih dari 12.5 cm berjumlah 33 balita (94.3%). Hasil uji beda status gizi
balita usia 24-59 bulan di posyandu Jakarta Utara dapat dilihat pada Tabel 4.4.
30
4.3 Hubungan Karakteristik Responden dengan Status Gizi
4.3.1 Hubungan Antara Tingkat Pengetahuan Gizi Ibu dengan Status Gizi
Balita (BB/U)
Terdapat hubungan yang nyata antara pengetahuan gizi ibu dengan status
gizi balita melalui pengukuran BB/U pada kedua wilayah posyandu pada selang
kepercayaan 95% berdasarkan hasil uji korelasi Chi-square. Data dapat dilihat
pada Tabel 4.5. Apooh dan Krekling (2005), mengemukakan bahwa pengetahuan
gizi ibu sangat berhubungan dengan status gizi anak balita.
Penelitian Rahmaulina (2008), menunjukkan adanya hubungan nyata dan
positif antara pengetahuan ibu mengenai gizi dengan tumbuh kembang anak serta
pemberian stimulasi psikososial pada anak. Semakin tinggi pendapatan per kapita
dan pendidikan orang tua maka pengetahuan ibu mengenai gizi dan tumbuh
kembang anak serta pemberian stimulasi psikososial semakin baik. Pengetahuan
ibu mengenai gizi dan tumbuh kembang anak serta pemberian stimulasi
psikososial juga menunjukkan hubungan positif dan signifikan dengan
perkembangan kognitif anak. Semakin tinggi pengetahuan ibu mengenai gizi dan
tumbuh kembang anak serta pemberian stimulasi psikososial pada anak maka
perkembangan kognitif anak semakin baik.
4.3.2 Hubungan Antara Biaya Pengeluaran Pangan dengan Status Gizi Balita
(BB/U)
Riset Kesehatan Dasar 2007 mengemukakan persentase rumah tangga
dengan konsumsi energi rendah dan protein rendah menurut tingkat pengeluaran
rumah tangga per kapita menunjukkan pola spesifik, yaitu semakin tinggi tingkat
pengeluaran rumah tangga per kapita, semakin menurun persentase rumah tangga
yang konsumsi energi dan proteinnya rendah. Hasil uji korelasi Chi-square
menunjukkan terdapat hubungan yang nyata antara biaya pengeluaran pangan
dengan status gizi balita melalui pengukuran BB/U di kedua wilayah posyandu
pada selang kepercayaan 95%. Data dapat dilihat pada Tabel 4.5.
Hasil penelitian Tuankotta (2012), menunjukkan terdapat hubungan berbeda
secara bermakna antara pengeluaran keluarga untuk makanan dengan kecukupan
total asupan energi pada anak usia 24-59 bulan. Pada keluarga yang pengeluaran
untuk makanannya lebih tinggi sebesar 1.930 kali mengalami total asupan energi
yang cukup, dibandingkan anak pada keluarga yang pengeluaran untuk
makanannya lebih rendah.
4.3.3 Hubungan Antara Tingkat Kecukupan Zat Gizi dengan Status Gizi
Balita (BB/U)
Menurut Prasetyawati (2012), kesehatan tubuh anak sangat erat kaitannya
dengan makanan yang dikonsumsi. Zat-zat yang terkandung dalam makanan yang
masuk dalam tubuh sangat mempengaruhi kesehatan. Faktor yang cukup dominan
yang menyebabkan keadaan gizi kurang meningkat ialah perilaku memilih dan
memberikan makanan yang tidak tepat kepada anggota keluarga termasuk anak-
31
anak. Dari hasil penelitian diketahui bahwa asupan zat gizi relatif masih kurang.
Hasil uji korelasi Chi-square menunjukkan terdapat hubungan yang tidak nyata
antara tingkat kecukupan zat gizi dengan status gizi kecuali pada zat gizi besi dan
vitamin D. Terdapat hubungan nyata antara tingkat kecukupan zat gizi besi dan
vitamin D dengan status gizi balita melalui pengukuran BB/U di kedua wilayah
posyandu pada selang kepercayaan 95%. Data dapat dilihat pada Tabel 4.5.
Tabel 4.5 Hubungan variabel independen dengan status gizi balita (BB/U) usia
24-59 bulan di posyandu kelapa gading dan sukapura Jakarta Utara.
Parameter
Pengetahuan Gizi Ibu
Biaya Pengeluaran Pangan
Zat Gizi Energi
Zat Gizi Protein
Zat Gizi Lemak
Zat Gizi Karbohidrat
Zat Gizi Besi
Zat Gizi Kalsium
Zat Gizi Fosfor
Zat Gizi Vitamin A
Zat Gizi Vitamin C
Zat Gizi Vitamin D
Pendidikan Ibu
Pekerjaan Ibu
Signifikansi
0.012
0.024
0.314
0.690
0.584
0.584
0.010
0.205
0.434
1
0.124
0.024
0.000
0.721
Odd Ratio
0.099
0.118
1.667
1.376
1.350
0.741
0.246
0.435
0.663
1
0.373
0.118
0.032
0.774
Hasil penelitian ini juga diperkuat oleh penelitian Tella (2012), pada daerah
Mapanget yang mengatakan bahwa hubungan pola makan dengan status gizi
sangat kuat. Asupan gizi seimbang dari makanan memegang peranan penting
dalam proses pertumbuhan anak dibarengi dengan pola makan yang baik dan
teratur yang perlu diperkenalkan sejak dini, antara lain dengan perkenalan jamjam makan dan variasi makanan dapat membantu mengkoordinasikan kebutuhan
akan pola makan sehat pada anak.
Hasil penelitian Hendrayati et al (2013) menunjukkan dari jumlah sampel
sebanyak 30 balita pada usia 24 – 59 bulan, tidak ada hubungan antara asupan
energi dengan kejadian wasting (p=0.061), tidak ada hubungan antara asupan
protein dengan kejadian wasting (p=0.212), tidak ada hubungan antara asupan
lemak dengan kejadian wasting (p=0.261), ada hubungan antara asupan
karbohidrat dengan kejadian wasting (p=0.04). Secara umum asupan makanan
tidak mempengaruhi kejadian wasting pada anak balita di Kecamatan
Marioriwawo Kabupaten Soppeng, Makasar.
Menurut penelitian Bahmat et al (2012), ada hubungan yang signifikan
antara asupan seng dan kejadian stunting pada anak usia 24-59 bulan di
Kepulauan Nusa Tenggara. Ada hubungan yang signifikan antara asupan zat besi
dan kejadian stunting pada bayi 24-59 bulan di Kepulauan Nusa Tenggara. Tidak
ada hubungan yang signifikan antara asupan vitamin A dan kejadian stunting pada
bayi 24-59 bulan di Kepulauan Nusa Tenggara. Seng dan Zat Besi merupakan
32
variabel yang paling kuat mempengaruhi kejadian stunting pada bayi 24-59 bulan
di Kepulauan Nusa Tenggara.
4.3.4 Hubungan Pendidikan Ibu dengan Status Gizi Balita (BB/U)
Menurut Salimar et al (2009), keluarga dengan ibu berpendidikan lebih
tinggi (≥ SLTA) mempunyai peluang 1.405 kali memiliki anak balita dengan total
asupan energi yang cukup dibandingkan dengan ibu berpendidikan rendah
(< SLTA). Hasil uji korelasi Chi-square menunjukkan terdapat hubungan yang
nyata antara pendidikan ibu dengan status gizi balita melalui pengukuran BB/U di
kedua wilayah posyandu pada selang kepercayaan 95%. Data dapat dilihat pada
Tabel 4.5. Hasil penelitian Tuankotta (2012), menunjukkan adanya hubungan
berbeda secara bermakna antara tingkat pendidikan ibu dengan kecukupan total
asupan energi pada anak usia 24-59 bulan, dimana terdapat peluang anak dari ibu
dengan tingkat pendidikan tinggi sebesar 1.968 kali terhadap kecukupan total
asupan energi dibandingkan anak dari ibu dengan tingkat pendidikan rendah.
Dengan kata lain anak dari ibu dengan tingkat pendidikan tinggi berpeluang lebih
besar untuk mendapatkan kecukupan total asupan energi dibandingkan anak dari
ibu dengan tingkat pendidikan rendah.
4.3.5 Hubungan Pekerjaan Ibu dengan Status Gizi Balita (BB/U)
Hasil uji korelasi Chi-square menunjukkan terdapat hubungan yang tidak
nyata (p > 0.05) antara pekerjaan ibu dengan status kesehatan balita melalui
pengukuran BB/U pada kedua wilayah posyandu pada selang kepercayaan 95%.
Data dapat dilihat pada Tabel 4.5. Hasil penelitian Zahroh (2012) pada wilayah
kerja puskesmas Kecamatan Ciputat Timur menunjukkan bahwa faktor-faktor
yang berhubungan dengan pengetahuan gizi ibu tentang gizi buruk adalah
pendidikan (p=0.000; r=0.761), umur (p=0.024; r=0.254), pekerjaan (p=0.000; r=
-0.436), pendapatan (p=0.004; r=0.323), sedangkan faktor yang tidak
berhubungan dengan pengetahuan ibu tentang gizi buruk adalah pengalaman
(p=0.343).
4.4 Faktor-Faktor yang Berpengaruh terhadap Status Gizi
Analisis faktor-faktor yang memengaruhi status gizi anak balita pada
keluarga dilakukan dengan uji regresi logistik. Berdasarkan hasil uji kolerasi Chisquare diperoleh lima variabel yang memiliki hubungan dengan status gizi balita
(BB/U) yaitu: (1) tingkat pengetahuan gizi ibu, (2) biaya pengeluaran pangan, (3)
tingkat kecukupan zat gizi besi, (4) tingkat kecukupan zat gizi vitamin D dan (5)
pendidikan ibu. Dari persamaan model diperoleh koefisien determinasi (R2)
sebesar 0.195. Hal ini berarti 19.5% faktor-faktor yang memengaruhi status gizi
anak balita melalui pengukuran BB/U dapat dijelaskan oleh lima variabel tersebut
yang memiliki hubungan, sedangkan sisanya 80.5% dipengaruhi oleh faktor-faktor
lain yang tidak diukur seperti misalnya kelengkapan pemberian air susu ibu (ASI)
saat balita berusia kurang dari dua tahun, makanan pendamping air susu ibu (MP
ASI), kelengkapan imunisasi, dan kebiasaan tidur siang balita.
33
5 SIMPULAN DAN SARAN
5.1 Simpulan
Berdasarkan hasil dan pembahasan dalam penelitian ini, maka didapat
kesimpulan: terdapat perbedaan yang nyata (P < 0.05) pada status gizi balita
berdasarkan pengukuran BB/U antara Posyandu Kelapa Gading dan Sukapura.
Terdapat hubungan yang nyata (P < 0.05) antara pengetahuan gizi ibu, biaya
pengeluaran pangan, asupan besi, asupan vitamin D, dan pendidikan ibu dengan
status gizi balita; Asupan zat gizi energi, protein, lemak, karbohidrat, kalsium,
fosfor, vitamin A, vitamin C, dan pekerjaan ibu tidak berhubungan (P > 0.05)
dengan status gizi balita. Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap status gizi
(BB/U) anak balita pada kedua wilayah posyandu yaitu tingkat pengetahuan gizi
ibu, biaya pengeluaran pangan, tingkat kecukupan zat gizi, dan pendidikan ibu.
Variabel independen mempengaruhi sebesar 19.5% status gizi balita pada kedua
wilayah posyandu.
5.2 Saran
Berdasarkan hasil penelitian ini maka disarankan untuk mengukur
penggunaan energi pada balita dikedua wilayah posyandu.
34
DAFTAR PUSTAKA
Adi AC. 2001. Makanan Penambah Berat Badan Anak. Jakarta: Puspa Swara.
Aditianti. 2010. Faktor Determinan Stunting Pada Anak Usia 24-59 Bulan di
Indonesia. Bogor: Tesis. Institut Pertanian Bogor.
Almatsier S. 2004. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Umum.
Anisa P. 2012. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Stunting pada
Balita Usia 25-60 Bulan di Kelurahan Kalibaru Depok Tahun 2012. Skripsi.
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia.
Anonim. 2015. Faktor Penyebab Stunted. http://alwaysnutritionist.blogspot.co.id
/2015/04/faktor-penyebab-stunted.html [ diakses pada 9 Mei 2015 pukul
21:00]
Appoh LY, Krekling S. 2005. Maternal Nutritional Knowledge and Child
Nutritional Status in The Volta Region of Ghana. Blackwell Publishing.
Maternal and child nutrition, 1 pp 100-110.
Apriadji WH. 1986. Gizi Keluarga. Seri Kesejahteraan Keluarga. Jakarta: PT
Penebar Swadaya.
Arisman. 2004. Buku Ajar Ilmu Gizi, Gizi dalam Daur kehidupan. Jakarta: EGC.
Atmarita, Soendoro T, Jahari BA, Trihono, Tilden R. 2009. Kejadian Masalah
Balita Pendek Bersamaan dengan Kegemukan Merupakan Ancaman Bagi
Pertumbuhan dan Perkembangan Anak Di Indonesia. PERSAGI : Jurnal
Ilmiah persagi.org/index.php?hal=8&jmlP=13.
[Bappenas] Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Kementerian Negara
Perencanaan Pembangunan Nasional. 2012. Laporan Singkat Pencapaian
Millenium Development Goals Indonesia 2009. Jakarta.
[BKKBN] Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional. 2010. Profil Hasil
Pendataan Keluarga Tahun 2009. Jakarta.
Bahmat DO, Bahar H, Idrus J. 2012. Hubungan Asupan Seng, Vitamin A, Zat Besi
dan Kejadian Stunting di Kepulauan Nusa Tenggara (Riskesdas 2010).
Jakarta: Skripsi. Universitas Esa Unggul.
Berg A, Sajogyo. 1986. Pendidikan Untuk Gizi Yang Lebih Baik. Peranan Gizi
dalam Pembangunan Nasional. Jakarta : Rajawali.
[BPS] Badan Pusat Statistik. 1999. Indikator Kesejahteraan Rakyat 1998. Jakarta:
BPS.
[BPS] Badan Pusat Statistik. 2009. Pengeluaran Untuk Konsumsi Penduduk
Indonesia. Jakarta: BPS.
Dinas Kependudukan Jakarta Utara. 2015. Kecamatan Kelapa Gading, Kodya
Jakarta Utara.
Dina AA, Nur. 2011. Hubungan Pola Makan Dengan Status Gizi Balita di
Kelurahan Tanggung Kecamatan Kepanjen Kidul kota Blitar (Studi pada
Balita Umur 24-60 bulan). Malang: Universitas Negeri Malang.
[Depkes RI] Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2000. Gizi dan
Kesehatan Saluran Pencernaan pada Bayi dan Anak. Jakarta: Nestle
Nutrilon.
[Depkes RI] Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2002. Pemantauan
Pertumbuhan Anak. Direktorat Gizi Masyarakat, Jakarta.
35
Departemen Kesehatan dan Kesejahteraan Sosial Republik Indonesia. 2003. Gizi
Seimbang Menuju Hidup Sehat Bagi Balita. Departemen Kesehatan dan
Kesejahteraan Sosial RI. Jakarta.
[Depdiknas] Departemen Pendidikan Nasional. 2003. Undang-undang Sistem
Pendidikan Nasional. Jakarta.
[Depkes RI] Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2004. Pedoman Gizi
Seimbang. Jakarta : Dirjen Kesmas.
[Depkes RI] Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2007. Profil Kesehatan
Indonesia 2005. Jakarta.
[Depkes RI] Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Laporan Hasil Riset
Kesehatan Dasar Indonesia (Riskesdas). 2007. Jakarta.
[Depkes RI] Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2010. Profil Kesehatan
Indonesia. Direktorat Gizi Masyarakat. Jakarta.
[Depkes RI] Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2011. Pedoman Kader
Seri Kesehatan Anak. Direktorat Gizi Masyarakat. Jakarta.
[Depkes RI] Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2013. Laporan Hasil
Riset Kesehatan Dasar Indonesia (Riskesdas). Jakarta.
Dewi I, Kadek TA. 2014. Pengaruh Konsumsi Protein dan Seng serta Riwayat
Penyakit Infeksi terhadap Kejadian Pendek pada Anak Balita Umur 24-59
bulan di Wilayah Kerja Puskesmas Nusa Penida III. Tesis. Universitas
Udayana. Bali.
Engle PL, Menon P, Haddad L. 1996. Care and Nutrition ; Concept and
Measurement. Washington D.C. International Food Policy Research Institute
(IFPRI).
Evelin PN, Djamaludin N. 2010. Panduan Pintar Merawat Bayi & Balita. Jakarta:
PT Wahyu Media.
Fatimah S, Nurhidayah I, Rakhmawati W. 2008. Faktor-Faktor Yang
Berkontribusi Terhadap Status Gizi Pada Balita Di Kecamatan Ciawi
Kabupaten Tasikmalaya. Vol.10 (18): 37-51.
Fikawati S, Syafiq A. 2011. Penyebab Keberhasilan dan Kegagalan Praktik
Pemberian ASI Eksklusif. Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional: 4(3):
120-131.
Hammond KA. 2004. Dietary and Clinical Assessment. USA: Saunders.
Harper I, Deaton BJ, Driskel JA. 1986. Pangan, Gizi dan Pertanian Diterjemahkan
oleh Suharjo. Jakarta: UI Press.
Hartriyanti Y, Triyanti. 2007. Penilaian Status Gizi. In : Syafiq, A. et all, eds. Gizi
dan Kesehatan Masyarakat. Jakarta: Rajagrafindo Persada.
Hermana. 1993. Keamanan Pangan dan Status Gizi. Widyakarya Nasional
Pangan dan Gizi. Jakarta: LIPI.
Ayu Bulan Febry KD, Marendra Z. 2008. Buku Pintar Menu Balita. Tangerang:
PT Wahyu Media.
Moreira P, Santos S, Padrao P, Cordeiro T, Bessa M, Valente H, Barros R, Teixeira
V, Mitchell V, Lopes C, Moreira A. 2010. Food Patterns According to
Sociodemographics, Physical Activity, Sleeping, and Obesity in Portuguese
Children. International Journal of Environmental Research and Public
Health. www.mdpi.com/journal/ijerph [ diakses pada 9 Mei 2015 pukul
36
21:00]
Mualim K. 2001. Pengaruh Pemberian Makanan Tambahan Pemulihan (PMT-P)
Program JPS-BK Terhadap Peningkatan Status Gizi Balita Gizi Buruk di
Kabupaten Temanggung Tahun 2001. Semarang: Skripsi. Universitas
Diponegoro.
Muaris H. 2006. Sarapan Sehat Untuk Anak Balita. Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama.
Notoatmodjo, S. 2002. Ilmu Kesehatan Masyarakat. Jakarta: Buku Kedokteran
ECG.
Notoatmodjo S. 2003. Metodologi Penelitian Kesehatan. Edisi kedua. Jakarta: PT
Rineka Cipta.
Nadeak MH. 2012. Gambaran Pola Makan Dan Status Gizi Anak Balita Ditinjau
Dari Karakteristik Keluarga Di Kecamatan Dolok Masihul Kabupaten
Serdang Bedagai. Medan: Tesis. Universitas Sumatera Utara.
PLAN Indonesia. 2006. Penilaian Situasi Pangan Dan Gizi Di Wilayah Kerja
PLAN Indonesia Program Unit Lembata. http:ntt-academia.org/Flores/
Lembata_SituasiPangan_Report-FNS-Complete-draft.pdf [ diakses pada 9
Mei 2015 pukul 21:00].
Prasetyawati. 2012. Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) Dalam Millenium
Development Goals (MDGs). Yogyakarta : Aulia Medika.
Pratiwi ET. 2007. Hubungan Pola Asuh Dengan Kasus Gizi Buruk Pada Balita
Usia 1-5 Tahun: Studi Di Wilayah Kerja Puskesmas Setono Dan Bungkal,
Kabupaten Ponorogo. Surabaya: Skripsi. Universitas Airlangga.
Rahmaulina DN. 2008. Hubungan pengetahuan ibu tentang gizi dan tumbuh
kembang anak serta stimulasi psikososial dengan perkembangan kognitif
anak usia 2-5 tahun. Bogor. Tesis. Institut Pertanian Bogor.
Rusjayanti VA, Siti RN. 2009. Hubungan Pengetahuan Dan Pola Asuh Ibu Dengan
Kasus Gizi Buruk Pada Balita Usia 1-3 Tahun: Studi di Wilayah Kerja
Puskesmas Rangkah Kota Surabaya. Surabaya: Tesis. Universitas Airlangga.
Santi. 2011. Hubungan Tingkat Pendidikan Ibu, Pendapatan Keluarga, Kecukupan
Protein & Zink dengan Stunting (pendek) pada Balita Uisa 6-35 Bulan di
Kecamatan Tembalang Kota Semarang. Jurnal Kesehatan Masyarakat. Vol.
1 (2): 617-626.
Setiarini A. 2008. Report of The Gizi Assessment: Suggetions For Expanding The
Approach In Indonesia. Depkes .www.positivedeviance.org/PD.
Sevilla CG, Ochave JA, Punzalan TG, Regalla BP, Uriarte GG. 2007. Research
Methods. Rex Printing Company. Quezon City.
Sihadi, Sudjasmin, Suhartato, Latifah T. 2000. Gambaran Perubahan Status Gizi
Anak Balita Gizi Buruk Pengunjung Klinik Gizi Bogor. In.
Sihadi. 2006. Kurang Energi Protein pada Anak Balita. Jurnal Epidemiologi
Indonesia. Vol. 8 Edisi 3.
Soekirman. 2000. Ilmu Gizi dan Aplikasinya untuk Keluarga dan Masyarakat.
Ditjen Dikti. Jakarta : Departemen Pendidikan Nasional.
Soetjiningsih. 1998. Tumbuh Kembang Anak. Jakarta: EGC.
Suhardjo. 1989. Sosio Budaya Gizi. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi.
Bogor: IPB.
Suhardjo. 1996. Berbagai Cara Pendidikan Gizi. Jakarta: Bumi Aksara.
37
Suhardjo. 2003. Perencanaan Pangan dan Gizi. Jakarta: Bumi Aksara.
Supariasa IDN, Bakri B, Fajar I. 2001. Penilaian Status Gizi. Jakarta: EGC.
Supariasa IDN, Bakri B, Fajar I. 2002. Penilaian Status Gizi. Jakarta: EGC.
Sutomo B, Anggraini DY. 2010. Makanan Sehat Pendamping ASI. Demedia.
Jakarta.
Tella AC. 2012. Hubungan pola makan dengan status gizi pada balita di wilayah
kerja Puskesmas Paniki Kecamatan Mapanget. Manado: Tesis. Program
Studi Ilmu Keperawatan Fakultas Kedokteran. Universitas Sam Ratulangi.
Tuankotta K. 2012. Hubungan Pengeluaran Rumah Tangga Untuk Makanan
Dengan Kecukupan Total Asupan Energi Pada Anak Usia 24-59 Bulan Di
Provinsi Jawa Barat Tahun 2010 (Analisis Data Sekunder Riskesdas 2010).
Skripsi. Universitas Indonesia. Depok.
Uripi V. 2004. Menu Sehat Untuk Balita. Jakarta: Puspa Suara.
Utomo B. 1998. Dampak Krisis Moneter dan Kekeringan terhadap Status
Kesehatan dan Gizi Anak. Jakarta.
Waladow M, Warouw SM, Julia VR. 2013. Hubungan Pola Makan Dengan Status
Gizi Pada Anak Usia 3-5 Tahun Di Wilayah Kerja Puskesmas Tompaso
Kecamatan Tompaso. EJurnal Keperawatan. Vol.1 (1): 1-6.
[WNPG] Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi. 2004. Jakarta : Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia.
Wigati TR. 2008. Risiko Pola Asuh Terhadap Kejadian Gizi Buruk Pada Anak
Balita Di Kelurahan Sidotopo Kecamatan Semampir Kota Surabaya.
Surabaya: Tesis, Universitas Airlangga.
Zahroh A. 2012. Faktor-faktor Yang Berhubungan Dengan Pengetahuan Ibu
Tentang Gizi Buruk Pada Anak (Bawah Lima Tahun) Balita Di Wilayah
Kerja Puskesmas Kecamatan Ciputat Timur. Skripsi. Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah. Jakarta.
38
LAMPIRAN
39
Lampiran 1. Kuesioner penelitian gambaran pola makan dan status gizi anak
balita tahun 2015
Kode :
KUESIONER PENELITIAN
GAMBARAN POLA MAKAN DAN STATUS GIZI ANAK BALITA
TAHUN 2015
Petunjuk I pengisian:
a. Saudara/I diharapkan bersedia menjawab semua pertanyaan yang diajukan
peneliti berdasarkan urutan yang tertulis di lembar kuesioner ini.
b. Jika kurang jelas silahkan bertanya kepada peneliti.
Tanggal Wawancara : _________________
A. Identitas Responden
1. Nama Responden :____________________
2. Umur :____________________ tahun
3. Pekerjaan a. Pegawai Negeri/TNI/POLRI
b. Pedagang
c. Petani
d. Ibu rumah tangga
e. Lainnya
4. Pendidikan : a. Tidak sekolah/Tidak tamat SD
b. SD
c. SMP
d. SMA
e. Perguruan Tinggi
5. Jumlah Anggota Keluarga :__________ orang
6. Pengeluaran Keluarga :
No
1.
Jenis Pengeluaran
a. Makanan Pokok
- Beras
- Lauk pauk
- Sayur mayur dan buah-buahan
- Gula pasir
- Minyak goring
- Susu
Biaya pengeluaran/ bulan
40
- Telur
- gas ELPIJI
b. Makanan Ringan/ Snack
- Biskuit
- Roti
- Kue
2.
Non Makanan:
 Tarif listrik
 Telepon dan pulsa
 Tarif air PAM
 Biaya anak sekolah
 Transportasi
 Kesehatan
 Pakaian
 Hiburan dan rekreasi
 Dll
B. Karakteristik Anak Balita
−
−
−
−
−
Nama Anak Balita : __________________________
Tanggal Lahir (tgl/bln/thn) : ____/____/_____
Jenis Kelamin : 1) Laki-laki 2) Perempuan
Anak Ke : ______ dari _____ bersaudara
Pendidikan : 1) Belum sekolah 2) PAUD
Antropometri Anak Balita
− Berat Badan : …………………….kg
− Tinggi Badan : …………………….cm
− LILA : …………………….cm
C. Status Kesehatan Anak Balita
− Jenis Penyakit yang pernah di derita Anak Balita :
− Frekuensi Penyakit Anak Balita :
− Dalam 1 bulan terakhir Anak Balita menderita sakit :
41
Petunjuk II pengisian:
a. Semua pertanyaan dibawah ini adalah pengetahuan ibu dalam pemenuhan
gizi balita.
b. Beri tanda silang (X) pada jawaban yang saudara/i anggap benar.
D. Kuisioner Pengetahuan Gizi Ibu
1. Makanan bergizi adalah :
a. Makanan yang mengandung sumber energi, protein, vitamin dan mineral
b. Makanan yang porsinya banyak
c. Makanan yang rasanya enak dan gurih
d. Makanan yang bersih dan menarik
2. Pernyataan di bawah ini yang benar adalah :
a. Makanlah makanan yang banyak mengandung lemak
b. Makanlah makanan yang banyak mengandung serat dan lemak
c. Makanlah makanan yang beragam, bergizi dan seimbang
d. Makanlah makanan yang sudah diawetkan dan bervariasi
3. Makanan yang banyak mengandung zat tenaga adalah:
a. Mie, jeruk, tomat dan sayuran
b. Jeruk, apel, salak dan pepaya
c. Kacang tanah, buncis dan kacang panjang
d. Ubi kayu, ubi jalar, jagung, roti dan nasi
4. Makanan di bawah ini adalah makanan yang banyak mengandung Protein/zat
pembangun, yaitu:
a. Kacang hijau dan tomat
b. Daun singkong, kangkung, dan sayuran berwarna hijau
c. Tahu, tempe, telur dan ikan
d. Bayam, kacang
5. Makanan yang banyak mengandung zat pengatur atau vitamin dan mineral
adalah
a. Mi goreng, bakso, tahu goreng
b. Kacang tanah, buncis, ,wortel, bayam, kacang panjang, kangkung
c. Ubi kayu, ubi jalar, jagung, roti dan nasi
d. Daging, ikan, tempe, tahu
6. Manfaat dari makan makanan beraneka ragam pada anak balita adalah:
a. Melengkapi kekurangan zat gizi dari berbagai makanan, yang menjamin
terpenuhinya kecukupan sumber zat tenaga, zat pembangun dan zat pengatur.
b. Melengkapi kekurangan zat tenaga.
c. Melengkapi kekurangan zat pembangun.
d. Melengkapi kekurangan zat zat pengatur.
42
7. Pemenuhan zat gizi bagi anak balita bermanfaat untuk :
a. Membuat anak lincah
b. Mendapatkan balita yang gemuk
c. Meningkatkan berat badan anak balita
d. Membuat anak balita menjadi sehat dan pintar
8. Makanan apa yang paling baik untuk bayi ?
a. Nasi
b. Susu sapi
c. ASI
d. Buah
9. Keuntungan pemberian ASI adalah :
a. Menghemat biaya pengeluaran
b. Bayi sehat, tidak mudah sakit, cerdas dan tidak cengeng
c. Bayi cepat kenyang
d. Pengganti vitamin
10. Makanan pendamping ASI sebaiknya diberi sejak:
a. Usia bayi 4 bulan
b. Usia bayi 1 bulan
c. Usia bayi 6 bulan
d. Bayi lahir
11. Menu makanan yang tepat untuk anak balita adalah :
a. Roti, kue dan biskuit
b. Mie dan es krim
c. Bubur/nasi, ikan/daging, sayur-mayur, buah-buahan dan susu.
d. Keripik
12. Menu makanan anak diatur berdasarkan apa ?
a. Kesukaan anak
b. Keinginan anak
c. Kebutuhan gizi anak
d. Keinginan pengatur menu
13. Pemenuhan zat gizi bagi anak balita bermanfaat untuk :
a. Membuat anak balita menjadi sehat dan pintar
b. Mendapatkan anak balita yang gemuk
c. Meningkatkan berat badan anak balita
d. Membuat anak lincah
43
E. Pola Asuh Kesehatan Anak Balita
1. Apakah ibu membawa balita ke posyandu tiap kali imunisasi dan penimbangan
a. Ya
b. Tidak
2. Apakah ibu membawa KMS tiap kali datang ke posyandu?
a. Ya
b. Tidak
3. Jika petugas kesehatan datang ke rumah ibu untuk melakukan imunisasi dan
penimbangan, apa yang ibu lakukan?
a. Mengizinkan petugas kesehatan untuk mengimunisasi balita
b. Menolak petugas kesehatan
4. Apakah balita mendapatkan imunisasi sesuai umur
a. Ya
b. Tidak
5. Bila balita ibu sakit, apa tindakan yang ibu lakukan...
a. Di bawa ke puskesmas
b. Di bawa ke dukun
c. Dibiarkan saja
6. Jika anak ibu terkena diare, apa yang ibu lakukan
a. Memberikan oralit
b. Memberinya obat-obat tradisional
7. Apakah ibu memantau setiap jenis makanan yang dikonsumsi balita (termasuk
jajanan)?
a. Ya
b. Tidak
c. Kadang-kadang
8. Apakah ibu mencuci tangan sebelum memberikan makan kepada balita
a. Ya
b. Tidak
c. Kadang-kadang
44
F. Pola Asuh Diri Anak Balita
1. Berapa kali balita mandi setiap hari
a. 3 kali
b. 4 kali
c. 2 kali
2. Apakah ibu selalu memotong kuku balita tiap kali panjang
a. Kalau ingat
b. Ya
c. Tidak
3. Jika anak bermain di luar, apakah ibu membiasakan memakai sandal
a. Ya
b. Tidak
c. Kadang-kadang
4. Jika balita bermain tanah, apa tindakan yang ibu lakukan
a. Membiarkan
b. Membiarkannya lalu dibersihkan
c. Segera dibersihkan
5. Berapa kali ruangan rumah dibersihkan setiap hari
a. 2 kali
b. 3 kali
c. Setiap kali kelihatan jorok
6. Apakah ibu langsung membersihkan piring makanan balita setelah selesai makan
a. Ya
b. Tidak
7. Peralatan makan balita dibersihkan dengan
a. Menggunakan sabun dan air di ember
b. Tidak menggunakan sabun
c. Menggunakan sabun di air mengalir
8. Apakah ibu membiasakan balita mencuci tangan dengan sabun setiap kali makan
a. Ya
b. Tidak
c. Kadang-kadang
9. Jika balita ingin BAB, apa yang ibu lakukan
a. Membiarkannya BAB di celana
b. Membawanya ke jamban
10. Setelah selesai BAB, apakah ibu mencuci tangan dengan sabun
a. Ya
b. Tidak
c. Kadang-kadang
45
Lampiran 2. Formulir food recall 24 jam
Kode :
FORMULIR
FOOD RECALL 24 JAM
Hari/Tanggal : ..............................................
Hari ke- : .................................................
Waktu
Nama Masakan
Pagi
(Jam)
Antara
Pagi dan siang
(Jam)
Siang
(Jam)
Antara Siang
dengan malam
(Jam)
Malam
(Jam)
Sebelum tidur
malam
(Jam)
( Modifikasi dari Nadeak, 2012 )
Bahan Penyusun
Banyaknya
Jenis
URT
Gram
46
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 24 Juli 1983 sebagai anak
pertama dari pasangan Edwin Mercurius Sibarani (alm.) dan Sonaria Theresia
Sitanggang. Pendidikan sarjana ditempuh di Program Studi Biologi, Fakultas
Biologi, Universitas Atma Jaya Yogyakarta. Penulis lulus pada November 2005.
Pada November 2013, penulis melanjutkan studi ke Program Studi Magister
Profesi Teknologi Pangan pada Program Pascasarjana IPB dan menamatkannya
pada tahun 2016.
Penulis setelah lulus dari pendidikan sarjana, bekerja di PT Centralproteina
Prima sebagai Supervisor bagian unit pengawasan mutu (quality control),
kemudian pada 2011 bekerja sebagai Senior Supervisor pada unit quality control
di PT Frisian Flag Indonesia hingga tahun 2013. Saat ini penulis bekerja sebagai
Head of quality control di PT Orang Tua Group.
Download