PENTINGNYA RELIGIUSITAS BAGI REMAJA Oleh : Imron ABSTRAK Religiusitas adalah penghayatan agama seseorang yang menyangkut simbol, keyakinan, nilai dan perilaku yang didorong oleh kekuatan spiritual. Fitrah beragama dalam diri manusia merupakan anugerah yang dibawa sejak lahir. Oleh karena itu fitrah beragama bersifat ghorizi bagi setiap manusia. Fitrah inilah yang menggerakkan hatinya untuk melakukan perbuatan “suci” yang diilhami oleh Alloh Subhanahu WaTa’ala. (Al Qur’an Surat Ar Rum ayat 30). Namun, perpaduan dengan jasad telah membuat berbagai kesibukan manusia untuk memenuhi berbagai tuntutan dan berbagai godaan serta tipu daya duniawi yang lain telah membuat pengetahuan dan pengakuan tersebut kadang- kadang terlengahkan, bahkan ada yang berbalik mengabaikan. Dalam konteks perkembangan manusia, masa remaja merupakan masa yang sangat penting diperhatikan. Pada masa ini merupakan masa peralihan dari anak anak menuju dewasa yang tentunya akan terjadi perubahan – perubahan dalam perilaku, dan lain lain yang jika tidak diperhatikan dengan baik akan terjadi hal hal yang merugikan dirinya. Banyak penelitian telah dilakukan bahwa salah satu penanganan remaja ialah dengan cara meningkatkan religiusitasnya. Kata Kunci, Religiusitas, Remaja A. PENDAHULUAN Banyak pakar mendefinisikan tentang keberagamaan atau religiusitas, yang dirumuskan dengan bahasa berbeda. Salah satunya memberikan pengertian bahwa keberagamaan atau Religiusitas adalah penghayatan agama seseorang yang menyangkut simbol, keyakinan, nilai dan perilaku yang didorong oleh kekuatan spiritual. Fitrah beragama dalam diri manusia merupakan anugerah yang dibawa sejak lahir. Oleh karena itu fitrah beragama bersifat ghorizi bagi setiap manusia. Fitrah inilah yang menggerakkan hatinya untuk melakukan perbuatan “suci” yang diilhami oleh Alloh Subhanahu WaTa’ala. (Al Qur’an Surat Ar Rum ayat 30). Namun, perpaduan dengan jasad telah membuat berbagai kesibukan manusia untuk memenuhi berbagai tuntutan dan berbagai godaan serta tipu daya duniawi yang lain telah membuat pengetahuan dan pengakuan tersebut kadang- kadang terlengahkan, bahkan ada yang berbalik mengabaikan. Dalam konteks perkembangan manusia, masa remaja merupakan masa yang sangat penting diperhatikan. Pada masa ini merupakan masa peralihan dari anak anak menuju dewasa. Disamping itu juga pada masa ini akan terjadi perubahan – perubahan dalam perilaku, yang jika tidak ditangani dengan baik sangat memungkinkan akan timbul masalah masalah dalam kehidupannya. Disinilah pentingnya memperhatikan kehidupan remaja yang merupakan masa mencari identitas. Remaja sekarang seringkali dihadapkan pada permasalahan hidup yang kompleks dan membingungkan mereka.Remaja yang memiliki agama, diharapkan pula memiliki religiusitas baik dalam ritual keagamaan maupun perwujudan dalam kehidupan sehari – hari. Masa remaja merupakan masa untuk mencari identitas diri dan untuk memenuhi tugas – tugas perkembangan yang ada, diharapkan religiusitas memiliki peranan dalam memenuhi tugas – tugas perkembangan tersebut. Keyakinan dan penghayatan akan ajaran agama yang sering disebut sebagai religiusitas adalah hal yang penting bagi manusia sehingga dipakai sebagai pedoman hidup, khususnya bagi remaja. B. PROBLEMATIKA REMAJA DALAM PERKEMBANGAN KEPRIBADIANNYA Dalam dunia perkembangan, remaja mempunyai arti yang khusus, yaitu masa ini merupakan masa peralihan antara masa kanak-kanak dan masa dewasa. Pada masa ini juga sebagai periode perubahan. Pada masa ini juga dikatakan sebagai masa bermasalah dan menimbulkan ketakukan (Hurlock). Masa remaja menunjukkan dengan jelas sifat transisi atau peralihan karena remaja belum memperoleh status dewasa dan tidak lagi memiliki status anak., yang pada saat ini akan terjadi perubahan perubahan pada diri remaja. Perubahan pada masa remaja mencakup perubahan fisik, kognitif, dan sosial. Perubahan secara kognitif pada remaja meliputi peningkatan idealisme dan penalaran logis. Secara sosial, jika dikaitkan dengan arah perkembangan dapat dilihat adanya dua macam gerak yaitu berkurangnya ketergantungan remaja dengan orang tua, sehingga remaja biasanya akan semakin mengenal komunitas luar melalui interaksi sosial yang dilakukannya di sekolah, pergaulan dengan teman sebaya maupun masyarakat luas. Perubahan fisik yang terjadi pada masa remaja yaitu semakin matangnya organ-organ tubuh termasuk organ reproduksi dan seksualnya yang menyebabkan munculnya minat seksual dan keingintahuan remaja tentang seksual. Seiring dengan perubahan perubahan dalam arti perkembangan di atas, maka akan muncul beberapa problem yang terjadi pada remaja. Sebagian problem tersebut adalah : Problema berkaitan dengan perkembangan perilaku sosial, moralitas dan keagamaan. Masa remaja disebut pula sebagai masa social hunger (kehausan sosial), yang ditandai dengan adanya keinginan untuk bergaul dan diterima di lingkungan kelompok sebayanya (peer group). Penolakan dari peer group dapat menimbulkan frustrasi dan menjadikan dia sebagai isolated dan merasa rendah diri. Namun sebaliknya apabila remaja dapat diterima oleh rekan sebayanya dan bahkan menjadi idola tentunya ia akan merasa bangga dan memiliki kehormatan dalam dirinya. Problema perilaku sosial remaja tidak hanya terjadi dengan kelompok sebayanya, namun juga dapat terjadi dengan orang tua dan dewasa lainnya, termasuk dengan guru di sekolah. Hal ini disebabkan pada masa remaja, khususnya remaja awal akan ditandai adanya keinginan yang ambivalen, di satu sisi adanya keinginan untuk melepaskan ketergantungan dan dapat menentukan pilihannya sendiri, namun di sisi lain dia masih membutuhkan orang tua, terutama secara ekonomis. Sejalan dengan pertumbuhan organ reproduksi, hubungan sosial yang dikembangkan pada masa remaja ditandai pula dengan adanya keinginan untuk menjalin hubungan khusus dengan lain jenis dan jika tidak terbimbing dapat menjurus tindakan penyimpangan perilaku sosial dan perilaku seksual. Pada masa remaja juga ditandai dengan adanya keinginan untuk mencoba-coba dan menguji kemapanan norma yang ada, jika tidak terbimbing, mungkin saja akan berkembang menjadi konflik nilai dalam dirinya maupun dengan lingkungannya. Problema berkaitan dengan perkembangan kepribadian, dan emosional. Masa remaja disebut juga masa untuk menemukan identitas diri (self identity). Usaha pencarian identitas pun, banyak dilakukan dengan menunjukkan perilaku coba-coba, perilaku imitasi atau identifikasi. Ketika remaja gagal menemukan identitas dirinya, dia akan mengalami krisis identitas atau identity confusion, sehingga mungkin saja akan terbentuk sistem kepribadian yang bukan menggambarkan keadaan diri yang sebenarnya. Reaksi-reaksi dan ekspresi emosional yang masih labil dan belum terkendali pada masa remaja dapat berdampak pada kehidupan pribadi maupun sosialnya. Dia menjadi sering merasa tertekan dan bermuram durja atau justru dia menjadi orang yang berperilaku agresif. Pertengkaran dan perkelahian seringkali terjadi akibat dari ketidakstabilan emosinya. Selain yang telah dipaparkan di atas, tentunya masih banyak problema keremajaan lainnya. Timbulnya problema remaja dipengaruhi oleh berbagai faktor, baik internal maupun eksternal. Agar remaja dapat terhindar dari berbagai kesulitan dan problema kiranya diperlukan kearifan dari semua pihak. Upaya untuk memfasilitasi perkembangan remaja menjadi amat penting. Dalam hal ini, peranan orang tua, sekolah, serta masyarakat sangat diharapkan. Dengan adanya perubahan yang terjadi dalam fisik, psikologis dan sosial pada remaja yang sangat cepat dan drastis menuntut remaja tersebut untuk bisa menyesuaikan diri dengan perubahan tersebut dan tuntutan-tuntutan lingkungan baru yang menyertainya. Pada kenyataannya tidak semua remaja dapat menyesuaikan dengan perubahan tersebut. Berikut adalah beberapa tanda-tanda penyesuaian diri yang salah pada remaja : 1. Tidak bertanggung jawab, misalnya mengabaikan sekolah. 2. Agresif secara berlebihan dan sikap yang tertalu yakin atas dirinya. 3. Perasaan tidak aman, yang menyebabkan remaja harus menyesuaikan dengan standar kelompok. 4. Homesickness 5. Menghayal secara berlebihan sebagai upaya untuk mengkompensir ketidakpuasan dari kehidupan sehari-hari. 6. Regresi perilaku ke tingkat perkembangan yang lebih awal, misalnya ngompol, ngamuk pada saat marah dan lain-lain. 7. Menggunakan defense mechanism secara berlebihan, seperti rasionalisasi, proyeksi, fantasi, dan displacement. C. PENTINGNYA RELIGIUSITAS BAGI REMAJA Menurut R. Stark dan C.Y. Glock seperti dikutip pada Djamaluddin Ancok, religiusitas ( religiosity) meliputi lima dimensi yaitu : Pertama , Dimensi Ritual; yaitu aspek yang mengukur sejauh mana seseorang melakukan kewajiban ritualnya dalam agama yang dianut. Misalnya; pergi ke tempat ibadah, berdoa pribadi, berpuasa, dan lain-lain. Dimensi ritual ini merupakan peirlaku keberagamaan yang berupa peribadatan yang berbentuk upacara keagamaan. Pengertian lain mengemukakan bahwa ritual merupakan sentimen secara tetap dan merupakan pengulangan sikap yang benar dan pasti. Perilaku seperti ini dalam Islam dikenal dengan istilah mahdaah yaitu meliputi salat, puasa, haji dan kegiatan lain yang bersifat ritual, merendahan diri kepada Allah dan mengagungkannya. Kedua, Dimensi Ideologis; yang mengukur tingkatan sejauh mana seseorang menerima hal-hal yang bersifar dogmatis dalam agamanya. Misalnya; menerima keberadaan Tuhan, ,malaikat dan setan, surga dan neraka, dan lain-lain. Dalam konteks ajaran Islam, dimensi ideologis ini menyangkut kepercayaan seseorang terhadap kebenaran agama-agamanya. Semua ajaran yang bermuara dari Al quran dan hadits harus menjadi pedoman bagi segala bidang kehidupan. Keberagaman ditinjau dari segi ini misalnya mendarma baktikan diri terhadap masyarakat yang menyampaikan amar ma’ruf nahi mungkar dan amaliah lainnya dilakukan dengan ikhlas berdasarkan keimanan yang tinggi. Ketiga, Dimensi Intelektual; yaitu tentang seberapa jauh seseorang mengetahui, mengerti, dan paham tentang ajaran agamanya, dan sejauh mana seseorang itu mau melakukan aktivitas untuk semakin menambah pemahamannya dalam hal keagamaan yang berkaitan dengan agamanya. Misalnya; mengikuti seminar keagamaan, membaca buku agama, dan lain-lain. Secara lebih luas, dimensi intelektual ini memiliki indicator sebagai berikut : 1. Dimensi intelektual ini menunjukkan tingkat pemahaman seseorang terhadap doktrin-doktrin agama tentang kedalaman ajaran agama yang dipeluknya. 2. Ilmu yang dimiliki seseorang akan menjadikannya lebih luas wawasan berfikirnya sehingga perilaku keberagamaan akan lebih terarah. 3. Dia akan lebih memahami antara perintah dan larangan dan bukan sekedar taklid buta. 4. Dengan ilmu pengetahuan seseorang bisa menyingkap beta besar dan megah ciptaan Tuhan dan betapa lemahnya hamba-hamba-Nya. Semakin banyak ilmu yang dimiliki maka semakin mampu manusia memahami Al quran maka imannya semakin kuat. 5. Melalui argumen yang kuat, seseorang memperoleh pengetahuan agama terutama tentang wujud Tuhan, kehidupan kekal di akhirat dan pengetahuan lainnya Keempat, Dimensi Pengalaman; berkaitan dengan sejauh mana orang tersebut pernah mengalami pengalaman yang merupakan keajaiban dari Tuhan-nya. Misalnya; merasa doanya dikabulkan, merasa diselamatkan, dan lain-lain. Dalam konteks berdoa, Sebagai makhluk manusia pun tidak lepas dari segala bentuk permasalahan dan setiap permasalahan yang dihadapi oleh diri individu yang satu dengan yang lain tidak sama, yaitu sesuai dengan tingkat keimanan masing-masing. Dengan segala kekurangan, keterbatasan dan kelemahan yang ada dalam diri manusia, maka manusia tak bisa melepaskan diri dari Allah sebagai zat pencipta yaitu dengan cara berdoa. Berdoa merupakan salah satu cara untuk mendekatkan diri kepada Allah yang pada akhirnya ketenangan, ketentraman jiwa dan keindahan hidup akan digapai oleh semua manusia. Menurut Zakiah Darojat pengertian doa adalah sebagai berikut : Doa itu penting untuk membuat kesehatan mental, baik untuk penyembuhan, pencegahan maupun untuk pembinaan Dari beberapa pengertian berdoa diatas maka penulis menyimpulkan berdoa adalah memohon, memuji, menyeru dan merupakan aplikasi dari ketundukan umat manusia kepada Allah sebagai zat sang pencipta. Dalam bidang kesehatan sendiri doa juga mempunyai manfaat yaitu bahwa dalam perawatan kesehatan ilmu pengetahuan tanpa kerohanian tidaklah lengkap, sementara keimanan saja tanpa ilmu pengetahuan tidak efektif Adapun hakekat berdoa adalah sebagai berikut : a. Pengakuan seorang dengan seluruh kepribadiannya akan kemahabesaran-Nya dan juga pengakuan bahwa manusia adalah hamba-Nya, maka dari itu Dia merupakan tempat berlindung, dari segala bencana dan tempat meminta sesuatu, tempat mengadukan diri dari permasalahan yang dihadapi manusia. b. Untuk mengintrospeksi diri menyadarkan akan status, fungsi dan kondisinya. Mengingat janji dan ancaman-Nya terhadap umat yang mentaati-Nya dan yang mengingkari-Nya sehingga mendorong manusia untuk berhati-hati dalam bertindak di masa yang akan datang. c. Sarana untuk menyadarkan manusia bahwa kebaikan hanyalah datang dari Allah dan kedamaian, ketentraman akan tercapai bila mematuhi perintah-Nya dan manjauhi larangan-Nya. d. Sarana untuk memohon sesuatu kepada Allah SWT dan sarana untuk mencapai keridhoan-Nya. Kelima, Dimensi Konsekuensi. Dalam hal ini berkaitan dengan sejauh mana seseorang itu mau berkomitmen dengan ajaran agamanya dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya; menolong orang lain, bersikap jujur, mau berbagi, tidak mencuri, dan lain-lain. Aspek ini berbeda dengan aspek ritual. Aspek ritual lebih pada perilaku keagamaan yang bersifat penyembahan/adorasi sedangkan aspek komitmen lebih mengarah pada hubungan manusia tersebut dengan sesamanya dalam kerangkan agama yang dianut. Pada hakekatnya, dimensi konsekuensi ini lebih dekat dengan aspek social. Berkenaan dengan hal ini, Jamaludin Ancok, dimensi social ini secara rinci memiliki indicator sebagai berikut : 1. Dimensi sosial adalah menifestasi ajaran agama dalam kehidupan masyarakat, meliputi semua perilaku yang didefinisikan oleh agama 2. Ditinjau dari dimensi ini semua aktivitas yang berhubungan dengan kemasyarakatan umum merupakan ibadah. Hal ini tidak lepas dari ajaran Islam yang menyeluruh, menyangkut semua sendi kehidupan. Jadi religiusitas pada dasarnya merupakan perbuatan seseorang yang berhubungan dengan masyarakat luas dalam rangka mengembangkan kreativitas pengabdian (ibadah) kepada Allah semata. Dari pengertian dan dimensi religiusitas diatas,maka sesungguhnya religiusitas bisa digambarkan adanya konsistensi antara kepercayaan terhadap agama sebagai unsur kognitif, perasaan agama sebagai unsur efektif dan perilaku terhadap agama sebagai unsur psikomotorik. Jadi Religiusitas merupakan integrasi secara komplek antara pengetahuan agama, perasaan serta tindakan keagamaan dalam diri seseorang. Banyak hasil penelitian menunjukkan bahwa religiusitas menjadi sangat penting dalam mempengaruhi kehidupan remaja. Diantaranya adalah penelitian yang dilakukan oleh Indrayani Yanuar dengan judul Hubungan religiusitas, kematangan emosi, dan kecemasan terhadap masa depan pada dewasa awal(2010), menggambarkan bahwa : Masa dewasa awal merupakan masa transisi ketika seseorang dihadapkan pada tugas baru yang berbeda dengan masa remaja. Dalam tahap perkembangan ini pula seringkali ketidakpastian terjadi kecemasan dalam menghadapi pada masa individu depan. terkait Perbedaan dengan tingkat kecemasan setiap orang berbeda-beda, faktor yang mempengaruhi diantaranya adalah tingkat religiusitas dan kematangan emosional. Religiusitas memegang peranan yang besar dalam menghadapi masalah, supaya kecemasan tidak berlanjut. Orang yang mempunyai kematangan emosi dapat mengontrol gejala-gejala tersebut sebelum muncul kecemasan pada dirinya. Dalam penelitian ini disimpulkan ada hubungan antara religiusitas, kematangan emosi, dan kecemasan terhadap masa depan. Dari hasil penelitian ini disarankan kepada individu dewasa awal agar dapat meningkatkan religiusitas dan kematangan emosi dengan cara mengikuti kegiatan religius, dan pelatihan-pelatihan yang dapat meningkatkan kematangan emosi sehingga bisa mengurangi tingkat kecemasan terhadap masa depan. Demikian juga penelitian yang dilakukan oleh Idha Rachmawati yang berjudul Hubungan antara Religiusitas dengan Kecemasan Pasien Penderita Penyakit Kronis (2007). Penyakit kronis adalah penyakit degeneratif yang berkembang dan berkelanjutan dalam kurun waktu yang lama. Seseorang yang telah didiagnosa mengidap penyakit kronis pasti akan merasakan kecemasan. Rasa cemas itu berasal dari rasa takut akan kelanjutan dari penyakitnya itu, takut ditinggalkan dan dijauhi oleh keluarga dan teman-temannya, rasa tidak berdaya dan yang paling membuat cemas adalah kematian. Hal ini dikarenakan penyakit kronis itu tidak bisa disembuhkan dan dihilangkan dari tubuh pasien. Dokter hanya bisa memberikann terapi untuk mengurangi rasa sakit dan gejalagejalanya. Rasa cemas yang dirasakan antara pasien satu dengan lainnya berbeda-beda. Yang membedakannya salah satunya adalah tingkat religiusitas individu. Individu yang memiliki religiusitas tinggi akan merasa lebih ikhlas, tawakal dan menerima keadaannya. Selain melakukan pengobatan secara fisik, individu yang mempunyai religiusitas tinggi akan lebih mendekatkan diri lagi pada Tuhan, karena mereka sadar bahwa hidup dan mati itu ada di tangan Tuhan. Sedangkan individu yang memiliki religiusitas rendah akan selalu menyalahkan nasib, merasa rendah diri, menutup diri, ingin marah dan takut mati. Mereka akan merasa bahwa hidup itu tidak adil. Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan yang sangat signifikan antara religiusitas dengan kecemasan pasien penderita penyakit kronis, yaitu semakin tinggi religiusitas maka kecemasan pasien penderita penyakit kronis semakin rendah. Sebaliknya semakin rendah religiusitas pasien maka kecemasannya akan semakin tinggi. Hal yang sama juga dingkapkan oleh Kirana Mustikasari dalam penelitian dengan judul Hubungan Religiusitas Dengan Kecemasan Pada Siswa Kelas Xii Smu Negeri 5 Surakarta Yang Akan Menghadapi Ujian Nasional (2010). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah terdapat korelasi antara religiusitas dengan kecemasan siswa kelas XII SMU Negeri 5 Suurakarta yang akan menghadapi Ujian Nasional. Simpulan penelitian: Terdapat korelasi negatif yang bermakna antara tingkat religiusitas dengan tingkat kecemasan siswa kelas XII SMU 5 Surakarta yang akan menghadapi Ujian Akhir Nasional (UAN) dengan kekuatan korelasi lemah. Artinya semakin tinggi religiusitas siswa maka kecemasannya semakin rendah. Direkomendasikan siswa yang akan menghadapi Ujian Nasional meningkatkan tingkat religiusitasnya untuk mengurangi rasa kecemasan yang muncul. D. PENGARUH RELIGIUSITAS TERHADAP KESEHATAN JIWA DAN EMOSI Kehidupan masyarakat modern dengan segala hiruk pikuknya, seringkali menimbulkan gejolak dalam pribadi maupun sosial masyarakat. Hal ini bisa berakibat pada kehidupan yang pada gilirannya orang kehilangan pegangan, hanyut terbawa arus globalisasi dan lepas dari tali Agama. Kondisi ini kadang berimbas pada kesehatan rohani (jiwa) ataupun jasmani. Berbekal dari hal di atas, maka agama menjadi sesuatu yang sangat dibutuhkan (Q.S, Al Isra’ ayat 9). Hal ini di sebabkan agama dengan segala konsekuensi ajarannya akan membawa pengaruh pada kesehatan jiwa mereka atau emosi mereka Dalam hubungan anatar agama dan kesehatan jiwa, seperti dikutip (Hawari). Cancellaro, Larson dan Wilson (1982) telah melakukan penelitian terhadap tiga kelompok yaitu : a. kronik alkoholik, b. kronik drug addict dan, c. skizorfrenia. Ketiga kelompok tadi dibandingkan dengan kelompok kontrol. Dari ketiga kelompok gangguan jiwa dan kelompok kontrol yang hendak diteliti adalah riwayat keagamaan mereka. Hasilnya sungguh mengejutkan, ternyata pada kelompok kontrol lebih konsisten dalam keyakinan agamanya dan pengamatannya. Menurut Larson dalam penelitiannya antara kelompok kontrol dan hipertensi dimana variabel seperti merokok, umur dan berat badan sudah terikat menemukan bahwa orang yang rajin menjalankan ibadah keagamaan dan religiusitas tinggi ternyata tekanan darahnya lebih rendah dibandingkan dengan yang tidak melaksanakan kegiatan keagamaan, disamping itu komitmen agama juga menjadikan manusia lebih tahan terhadap stres dan depresi. Tolok ukur yang dipakai pada penelitian di atas adalah kedalaman seseorang atas kepercayaanya seperti rutinitas melakukan ibadah seharihari doa dan membaca kitab suci atau munculnya berbagai pertanyaan tentang hubungan vertikal antara hamba dengan Tuhan (Sang Pencipta). Selanjutnya bagaimana dengan ibadah dalam agama Islam seperti puasa doa dan shalat dapat mempengaruhi emosi ataupun kesehatan jiwa mereka. Berikut ini adalah beberapa bukti bahwa religiusitas seseorang dapat mempengaruhi kesehatan ataupun emosinya. Menurut penelitian Dr Nicolayev seperti dikutip (Ancok) pada lembaga psikiatri Moskow mencoba menyembuhkan gangguan jiwa dengan berpuasa. Dalam usahanya itu ia menterapi pasien sakit jiwa dengan menggunakan puasa selama tiga puluh hari (persis puasa umat Islam dalam jumlah harinya) Nicolayev mengadakan penelitian eksperimen dengan membagi subyek menjadi 2 kelompok yang sama besar baik usia maupun berat ringan penyakit yang diderita, kelompok pertama diberi ramuan obatobatan, kelompok kedua diperintahkan puasa selama 30 hari. Dua kelompok tadi diikuti perkembangannya baik fisik maupun mental dengan tes-tes psikologis. Dari eksperimen itu diperoleh hasil yang sangat baik yaitu banyak pasien yang tak bisa disembuhkan dengan terapi medis ternyata bisa disembuhkan dengan berpuasa. Selain itu kemungkinan pasien untuk tidak kambuh lagi setelah 6 tahun kemudian lebih tinggi. Ditinjau dari penyembuhan kecemasan seperti dilaporkan Alan Cott bahwa penyakit seperi susah tidur, merasa rendah diri dapat disembuhkan dengan berpuasa (Ancok). Menurut penelitian yang lain seperti yang dikutip (Ancok) bahwa berpuasa dapat meningkatkan rasa percaya diri kepada diri sendiri yang lebih besar, konsep diri yang optimis, yang merupakan indikasi adanya mental sehat dan tidak rapuh menghadapi tantangan hidup. Doa juga akan memberikan makna kesadaran diri secara sadar yang kemudian membentuk rasa tanggung jawab. Dalam pelatihan pengembangan diri yang dilakukan di Pesantren Al – Maghfiroh dilakukan penelitian secara rutin setiap satu bulan penuh terhadap 20 pasien yang terkena ketergantungan narkoba. Disamping konseling dan program motivasi khusus kepada mereka diminta berdoa dan berdzikir secara penuh setelah melakukan shalat wajib. Setelah 3 bulan mereka diperbolehkan cuti selama 1 minggu di bawah pengawasan orang tuanya. Dari penelitian ini diperoleh hasil lima orang yang berdoa secara sungguh-sungguh dapat mengatasi sugesti (hasrat ingin memakai obat), dua belas orang kembali ke pesantren sebelum masa cuti habis dan 3 orang kembali ke pesantren melampaui masa cuti dan kembali memakai obat (Toto Tasmara, 2001 : 18). Jadi jelas bahwa doa dapat membentuk sikap optimisme, kepercayaan diri dan rasa tanggung jawab bagi dirinya. Menurut Jamaludin Ancok (2001) bahwa ada empat aspek terapeutik dalam shalat yaitu aspek olah raga, aspek meditasi, aspek auto sugesti dan aspek kebersamaan. Aspek olah raga shalat adalah proses yang menuntut suatu aktivitas fisik. Kontraksi otot, tekanan dan masage pada bagian otot tertentu dalam pelaksanaan shalat merupakan proses relaksasi. Salah satu teknik yang banyak dipakai dalam proses gangguan jiwa adalah pelatihan relaksasi. Menurut Arif Wibisono seperti dikutip Jamaludin Ancok (2001) menunjukkan adanya korelasi negatif yang signifikan antara keteraturan menjalankan shalat dengan tingkat kecemasan. Makin rajin dan teratur melakukan shalat makin rendah kecemasannya. Aspek meditasi shalat menuntut konsentrasi yang dalam Islam disebut khusuk, hasil penelitian tentang pengaruh meditasi terhadap perbedaan kecemasan jiwa telah dilaporkan Eugene Walker (1975). Kalau dikaitkan dengan shalat yang juga berisikan meditasi maka shalatpun dapat menghilangkan kecemasan. Shalat yang dilakukan dengan khusuk juga bermanfaat yaitu ketenangan hati, perasaan aman, berperilaku soleh dan terhindar dari stres (Hawari). Aspek auto-sugesti, bacaan dalam shalat adlaah ucapan yang dipanjatkan kepada Allah. Di samping berisi pujian pada Allah juga berisikan doa dan permohonan kepada Allah agar selamat dunia akherat. Ditinjau dari hipnosis pengucapan kata-kata itu berisi proses auto-sugesti. Dengan doa tersebut akan mensugesti diri untuk selalu berbuat baik. Aspek kebersamaan, dalam mengerjakan shalat sangat dianjurkan oleh agama untuk shalat berjamaah (bersama orang lain). Pahalanya 27 derajat dibanding shalat sendiri. Beberapa ahli psikologi juga berpendapat bahwa perasaan keterasingan dari orang lain yang menjadi penyebab gangguan jiwa, dengan berjamaah perasaan terasing dapat hilang. Dengan berjamaah juga akan meningkatkan rasa persaudaraan sesama manusia, saling membutuhkan, saling merasakan penderitaan dan kesenangan orang lain dan juga menumbukan tanggung jawab sosial yang akan menjaga kemungkinan terjadinya gangguan jiwa. DAFTAR PUSTAKA Ancok, Jamaludin dan Fuad Anshari Suroso, Psikologi Islam : Solusi Islam Atas Problema-Problema Sikologi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1995. Aulia Iskandarsyah, Remaja dan Permasalahannya, Perspektif psikologi terhadap permasalahan remaja dalam bidang pendidikan Disajikan pada ceramah untuk siswa, guru dan orang tua yang diselenggarakan oleh SMUN 1 Cianjur, tanggal 15 Desember 2006 di Cibodas - Puncak. Sudrajat, Akhmad , masalah pada masa-remaja www.akhmadsudrajat.wordpress.com / dikutip pada tanggal 7 Mei 2012 Darajat Zakiyah, Doa Menunjang Semangat Hidup, CV. Ruhana, Jakarta, 1996. Darajat, Zakiah, Peranan Agama Dalam Kesehatan Mental, Jakarta: Gunung Agung, 1982 Departemen Agama Republik Indonesia, Al Qur’an dan Terjemahnya, Semarang : CV Toha Putra 1989 Hawari, Dadang, Doa dan Dzikir Sebagai Pelengkap Terapi Medis , PT. Dhani Bhakti Primayasa, Jakarta, 1997. Hurlock, Elizabeth B. (1980). Psikologi Perkembangan. Jakarta : Erlangga Indrayani, Yanuar. 2010. Hubungan Religiusitas, Kematangan Emosi, dan Kecemasan terhadap Masa Depan pada Dewasa Awal . Skripsi, Program Studi Psikologi, Jurusan Bimbingan Konseling dan Psikologi, Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Malang. karya-ilmiah.um.ac.id Mustikasari, Kirana , 2010 Hubungan Religiusitas Dengan Kecemasan Pada Siswa Kelas Xii Smu Negeri 5 Surakarta Yang Akan Menghadapi Ujian Nasional. http://digilib.uns.ac.id Rachmawati, Idha, 2007. Hubungan antara Religiusitas dengan Kecemasan Pasien Penderita Penyakit Kronis, Universitas mUhammadiyah Malanghttp://digilib.umm.ac.id/ Toto Tasmara, (2001). Kecerdasan Ruhaniah (Trancendental Intelligence). Jakarta: Gema Insan Press